Anda di halaman 1dari 2

Resume Kasus Kapas Transgenik

Pemberdayaan kapas transgenik didongkrak agar mencapai suatu tujuan, yaitu pemenuhan
kebutuhan akan serat kapas yang tercatat menggapai 464.400 ton per tahun, dalam industri tekstil di
Indonesia. Produksi kapas berdasarkan kebutuhan dalam negeri hanya menyentuh 2% di Indonesia yang
mengakibatkan negara perlu mengimpor untuk mengakomodasi.

Minimnya tingkat produktivitas kapas di Indonesia tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor
antara lain seperti, budidaya, teknologi, ketersediaan bibit unggul, kondisi iklim, dan gangguan hama.
Faktor- faktor demikian menyebabkan laju perkembangan serta pertumbuhan tumbuhan kapas menjadi
tersendat. Pada akhirnya potensi pada pemberdayaan kapas yang unggul menjadi kurang maksimal.

Kapas transgenik Bollgard merupakan salah satu produk yang ditemukan dari hasil rekayasa
genetik, yaitu rekombinan ADN. Tumbuhan kapas dapat mencapai titik daya guna pengendalian yang
tinggi dikarenakan gen Bt yang ditransfer pada tumbuhan kapas.

Hal ini juga membuat tanaman kapas memiliki memiliki sistem kendali yang efektif terhadap hama
utama tumbuhan kapas yaitu H. armigera. Menjadi harapan bersama agar produktivitas tanaman kapas
menunjukkan hasil yang signifikan.

Tidak hanya terpaku pada peningkatkan produktivitas, pada pengembangan kapas transgenik
Bollgard memerlukan pengkajian yang matang saat uji coba di lingkungan. Protein crylAc yang diproduksi
oleh Bt yang terkandung dalam kapas Bollgard memiliki kemungkinan untuk tertransfer pada tumbuhan
lain. Hal ini akan mempengaruhi serangga non-target dan mikroba tanah yang juga memiliki pengaruh
pada tingkat kesuburan tanah.

Ahli ilmu tanah dari Universitas Jember, Dokter Ir Suyono M.Sc., memberi pandangannya
mengenai uji penanaman produk rekayasa genetik di Indonesia. Menurut beliau uji coba ini bisa
berdampak pada lingkungan hidup. "Pemerintah wajib melakukan pengkajian ulang mengenai kebijakan
transgenik itu sendiri. Aabila dibiarkan saja, hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya kadar
kesuburan tanah." ujarnya, Jumat (28 September 2012).

Beliau juga menuturkan bahwa sebagian negara di benua Afrika juga India memberikan penolakan
pada praktik transgenik. Mereka beranggapan bahwa praktik hal tersebut dapat mencemari lingkungan
serta hasil produksi transgenik dinilai kurang efektif. Indonesia perlu mengambil pembelajaran dari
berbagai negara mengenai praktik transgenik. Beliau kembail menegaskan bahwa pemerintah RI
sepatutnya mengambil langkah dan tidak hanya memperhitungkan suatu prospek dari sudut pandang
bisnis saja, tetapi mempertimbangkan area lingkungan hidup yang dituju pada praktik transgenik, akan
tetapi butuh lebih mencermati pula akibat area hidup atas kebijakan transgenik tersebut.

Problematika yang dihasilkan oleh transgenik kapas ini sudah menyebabkan kerugian pada para
petani kapas, sebab di dalam kapas transgenik mengandung residu yang berpotensi merusak jasad mikro
di dalam tanah, sehingga menurunkan kadar kesuburan tanah.

Apabila kita bercermin pada salah satu kasus yang terjadi di Indonesia, sosok bernama Monsanto
erat kaitannya dengan kapas transgenik. Jenis kapas ini telah menjadi pemicu munculnya polemik pada
tahun 2001. Hal ini disebabkan oleh Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor. 107/ Kpts/ KB. 430/
2/ 2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul dengan
Nama NuCOTN 35B (Bollgard). Surat Keputusan yang dikeluarkan pada 7 Februari 2001 tersebut
dikehendaki atas permintaan PT Monagro Kimia, yang merupakan anak industri dari Monsanto di
Indonesia. Akan tetapi, merujuk pada amanat yang terlampir pada Surat Keputusan yang dimaksud,
aktivitas produksi kapas transgenik tersebut dilakukan dalam batas yang ditentukan. Hal demikian
memaksudkan agar petani di daerah Sulawesi Selatan dapat mengambil manfaat dari tindakan Menteri
Pertanian. Persebaran daerah tanamnya hanya meliputi Kabupaten Takalar, Bantaeng, Bone, Gowa,
Bulukumba, Wajo, serta Soppeng.

Asas-asas pengelolaan lingkungan terhadap praktik kapas transgenik di Indonesia

1. Hak gugat legal standing atau hak gugat organisasi masyarakat telah diatur dalam pasal 38 UU No.23
Tahun 1997 di Pasal 92 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan
sebutan hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan.
2. Apabila kasus demikian terjadi pada tahun 2013, dengan disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 maka Produk Transgenik tersebut jelas tidak dapat dipasarkan atau diperjual belikan. Karena
dalam UU tersebut, telah diatur bahwa untuk mendapatkan Izin Usaha, pelaku Agribisnis memerlukan
Izin Lingkungan terlebih dahulu yang persyaratan utamanya adalah AMDAL.
3. Apabila kita menggunakan peraturan perundang-undangan saat ini, yaitu UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapatlah kita nyatakan bahwa pemerintah
melakukan pelanggaran terhadap AMDAL dan environmental risks assessment.

Dirangkum oleh,

Nama: Mahendi Alvines

NIM: 03011382025118

Kelas: B

Kampus: Palembang

Anda mungkin juga menyukai