Anda di halaman 1dari 33

PROMOSI KESEHATAN

Social Learning Theory

Disusun Oleh:
Evi Febrika Widyastuti
J410140005

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai


tindakan belajar yang dialami oleh siswa sendiri (Dimyati dan Mujiono, 1996:7).
mengemukakan siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses
belajar. Tiap ahli psikologi memberi batasan yang berbeda tentang belajar, atau
terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna
belajar.Belajar merupakan sesuatu yang sangat penting sekali dalam rentang
perkembangan pada diri seseorang, dengan belajar seseorang telah mengalami
suatu proses menuju kearah yang lebih baik.

Dalam kaitannya dengan belajar ini sangat banyak teori- teori yang
membahas tentang belajar.Dimana teori belajar merupakan unsur penting dalam
pendidikan. Tanpa teori pembelajaran tidak akan ada suatu kerangka kerja
konseptual yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan pembelajaran.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak sekali teori-teori yang berkembang
dari tokoh-tokoh psikologi salah satunya adalah teori belajar sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura.

Albert Bandura sangat terkenal dengan teori belajar sosial (sociallearning


theory), salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada
komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi terhadap lingkungan.
Eksperimen yang sangat terkenal dalam teori ini adalah eksperimen Bobo Doll
yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang
dewasa disekitarnya.

Teori pembelajaran sosial (social learning theory) biasa juga disebut


pembelajaran observasional (observational learning), telah memberi penekanan
tentang bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitar melalui
penguatan (reinforcement) dan pembelajaran peniruan serta cara berfikir yang
kita miliki terhadap sesuatu dan juga sebaliknya, yaitu bagaimana tingkah laku
kita mempengaruhi orang yang ada disekitar dan menghasilkan penguatan
(reinforcement) dan peluang untuk diperhatikan oleh orang lain (observational
opportunity).

2
Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap
orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar.Teori Bandura
menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang
berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini.
Teori belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang
belajar dalam keadaan atau lingkungan sebenarnya. Bandura menghipotesiskan
bahwa tingkah laku, lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pelajar yang
mempengaruhi persepsi dan aksi merupakan hubungan yang saling berpengaruh
atau berkaitan (interlocking). Menurut Albert Bandura lagi, tingkah laku sering
dievaluasi, yaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh mengubah kesan-kesan
personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi
diri individu.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menjabarkan tentang teori


belajar sosial oleh Albert Bandura. Untuk lebih spesifiknya maka penulis
mendeskripsikan bagaimana kajian teoritis tentang teori belajar sosial yang
dikemukakan oleh Albert Bandura, apa kelebihan dan kekurangan teori belajar
sosial, dan aplikasi teori belajar sosial. Selain itu, penulis menyajikan sebuah
jurnal untuk dianalisis kaitannya dengan Teori Belajar Sosial. Dengan
pendeskripsian tersebut, maka kita akan mengetahui lebih lanjut mengenai teori
belajar sosial Albert Bandura.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Asumsi Dasar Teori Pembelajaran Sosial

Sebuah teori dalam bidang psikologis yang berguna dalam mengkaji


dampak media massa adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning
Theory). Teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard
Walter. Adapun asumsi dasar teori pembelajaran sosial adalah sebagai berikut:

1. Tingkat tertinggi dari pembelajaran hasil pengamatan dicapai dengan


mengatur dan berlatih memperagakan perilaku secara simbolis kemudian
memerankannya secara terbuka. Peniruan perilaku termasuk kata, label atau
kesan pada ingatan yang lebih baik dari sekadar mengamati.
2. Individu kemungkinan besar mengadopsi perilaku model jika model tersebut
serupa dengan si pengamat dan memiliki kekaguman padanya dan perilaku
memiliki fungsi nilai.
3. Individu kemungkinan besar mengadosi perilaku orang lain jika
berkesudahan dengan penghargaan padanya.

B. Pembahasan Teori Pembelajaran Sosial

4
Teori belajar secara tradisional menyatakan bahwa belajar terjadi dengan
cara menunjukkan tanggapan (response) dan mengalami efek-efek yang
timbul.Penentu utama dalam belajar adalah peneguhan (reinforcement), dimana
tanggapan akan diulangi menjadi pelajaran jika organisme mendapat hukuman
(reward). Tanggapan tidak akan diulangi kalau organisme mendapat hukuman
(punishment) atau bila tanggapan tidak memimpinnya ke tujuan yang
dikehendaki. Jadi, perilaku diatur secara eksternal oleh kondisi stimulus yang
ditimbulkan oleh kondisi-kondisi peneguhan.
Bandura berpendapat bahwa lingkungan mempengaruhi perilaku dan
sebaliknya, perilaku juga mempengaruhi lingkungan. Dia menamakan konsepnya
ini reciprocal determinism (aturan timbal balik) yang maksudnya lingkungan dan
perilaku seseorang saling mempengaruhi satu sama lain.
Kemudian lebih lanjut ia memulai untuk melihat kepribadian sebagai
sebuah interaksi di antara tiga komponen, yaitu: lingkungan, perilaku, dan porses
psikologis seseorang. Proses psikologis tersebut maksudnya terdiri dari
kemampuan kita untuk memiliki gambaran dalam pikiran kita dan
bahasa.Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial menekankan
pada:
1. Observational Learning (pembelajaran dari hasil pengamatan) atau
modeling
Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pengaruh peniruan menghasilkan
pembelajaran melalui fungsi informatif. Selama mengamati, pengamat umumnya
mendapatkan representasi simbolis dari aktivitas-aktivitas model yang melayani
sebagai pemandu untuk penampilan yang tepat.Ada beberapa langkah yang
diperlukan dalam proses modeling:
a. Attention Processes
Ketika kita sedang ingin mempelajari sesuatu, kita harus
memperhatikannya. Demikian juga sesuatu yang mengurangi perhatian, maka
akan mengurangi pembelajaran, termasuk pembelajaran dari hasil pengamatan.
Sebagai contoh, jika kita mengantuk, grogi, kecanduan, sakit, gugup atau
“berlebihan”, kita tidak dapat belajar dengan baik. Demikian pula bila pikiran kita
dikacaukan oleh rangsangan persaingan.

5
Sesuatu yang mempenaruhi perhatian adalah karakteristik model. Kita
akan lebih memperhatikan ketika modelnya colorful, dramatis, atraktif, atau
berwibawa atau terlihat sangat kompeten. Kita juga akan lebih memperhatikan
jika model tersebut terlihat sama dengan diri kita. Inilah jenis-jenis variabel yang
ditujukan langsung oleh Bandura ke arah pengujian televisi dan dampaknya pada
anak-anak.
b. RetentionProcesses (ingatan/penyimpanan)
Tahap yang kedua, kita harus mampu menyimpan (mengingat) apa yang
harus diperhatikan. Ini merupakan awal di mana perumpamaan dan bahasa
berasal: kita menyimpan apa yang kita lihat pada yang dilakukan model dalam
bentuk penggambaran mental atau deskripsi verbal. Ketika benar-benar
disimpan, kemudian kita dapat “membawa” kesan atau deskripsi itu, kita dapat
menirunya dengan tingkah laku kita sendiri.
c. Motor Reproduction Processes
Dalam hal ini, kita hanya duduk dalam angan-angan atau lamunan. Kita
harus menerjemahkan atau mewujudkan kesan/deskripsi ke dalam tingkah laku
yang sebenarnya. Jadi, kita harus memiliki kemampuan mereproduksi tingkah
laku sebagai urutan terpenting. Sebagai contoh, kita biasa melihat orang bermain
sepak bola, belum tentu kita tidak bisa menendang bola dengan keras menuju
gawang apabila kita tidak bisa bermain sepak bola dengan baik. Namun, kita bisa
bermain sepak bola, dalam dunia nyata kemampuan kita akan meningkat apabila
menonton pemain sepak bola yang bermain lebih baik dari kita.
Hal penting lainnya dari reproduksi yaitu kemampuan kita untuk meniru
akan bertambah baik dengan latihan pada hal-hal menyangkut tingkah laku. Tak
hanya itu, kemampuan kita akan bertambah baik ketika kita membayangkan
penampilan diri kita.
d. Motivational processes
Teori pembelajaran sosial membedakan antara kemahiran dan
penampilan karena orang-orang tidak akan melakukan apapun jika tidak
termotivasi untuk meniru.Jenis-jenis motivasi menurut Bandura:
1) Past Reinforcement: menurut tingkah laku tradisional,
2) Promised Reinforcement: dorongan-dorongan yang dapat kita bayangkan,

6
3) Vicarious Reinforcement: melihat dan menghubungkan kembali model untuk
diperkuat,
4) Past Punishment: hukuman yang telah berlalu,
5) Promised Punishment: hukuman yang akan tiba (ancaman),
6) Vicarious Punishment: hukuman yang seolah-olah dialami oleh diri sendiri.
Ulasan di atas (poin 1, 2, 3) secara tradisional dipertimbangkan menjadi
suatu “penyebab” pembelajaran. Bandura mengatakan bahwa mereka tidak
banyak menjadi penyebab pembelajaran seperti menyebabkan kita untuk
menunjukkan apa yang sudah kita pelajari. Jadi, ia melihat mereka sebagai
motivasi.
Motivasi negatif ternyata ada baiknya juga dan memberikan kita alasan
untuk tidak meniru seseorang (poin 4, 5, 6). Seperti pada kebanyakan behavioris
tradisional, Bandura mengatakan bahwa hukuman dalam bentuk apapun tidak
akan bekerja dengan baik sebagai penguatan dan faktanya memiliki
kecenderungan “sudah terbaca sebelumnya” oleh kita.

2. Self-Regulation (regulasi diri)
Pengaturan diri – mengontrol tingkah laku kita sendiri – dalam kata lain
“pekerja keras” pada kepribadian manusia. Bandura menyatakan tiga langkah,
yaitu:
a. Self-Observation (observasi diri),
Kitamelihat diri kita sendiri, tingkah laku kita dan menjaga etiket itu.
b. Judgment(penilaian),

7
Kitamembandingkan apa yang kita lihat dengan sebuah standar. Sebagai
contoh, kita dapat membayangkan penampilan kita dengan standar tradisional,
seperti “aturan tatacara” atau kita dapat menciptakan aturan yang lebih mengikat,
seperti “saya akan membaca buku seminggu sekali”. Atau kiat dapat bersaing
dengan orang lain atau dengan diri kita sendiri.
c. Self-Response (respon diri),
Jika kita mengerjakan sesuatu dengan baik dalam perbandingan dengan
sebuah standar, kita memberikan diri kita sendiri penghargaan atau apresiasi
sebagai respon diri. Kalau kita mengerjakan sesuatu yang buruk, kita
memberikan hukuman untuk diri kita sendiri sebgai respon diri. Respon diri
berkisar dari nyata (mendorong lebih pada tindakan langsung) dan lebih
tersembunyi (merasa malu atau bangga).
Konsep yang sangat penting dari psikologi yang dapat dimengerti dengan
regulasi adalah self-concept (konsep diri, lebih dikenal sebagai selfesteem -
penghargaan diri-). Jika kita sudah cukup lama hidup (telah dewasa), kita akan
menemukan standar hidup kita sendiri dan kehidupan yang memiliki self-
praise dan self-reward akan mempunyai sebuah self-concept yang baik (self-
esteem yang tinggi). Begitupun sebaliknya, kalau kita gagal menemukan standar
hidup kita sendiri dan sering menghukum diri sendiri, kita akan memiliki self-
concept yang buruk (self-esteem rendah).
Behavioris umumnya memandang reinforcement penguatan adalah efektif
danpunishment (hukuman) penuh dengan masalah. Tiga akibat dari self-
punishment yang berlebihan menurut Bandura, yaitu:
1) Kompensasi: kompleks yang superior, contohnya khayalan tentang
kemewahan,
2) Ketidakaktifan: apatis, depresi, dan kebosanan,
3) Pelarian(escape): narkoba, alkohol, fantasi televisi, atau mungkin bunuh diri.
Bandura mengemukakan tiga langkah self-regulation terhadap penderita self-
esteemyang buruk, yaitu:
1) Regarding Self-Observation: observasi mengenai diri. Tahu siapa diri
mereka. Tahu gambaran yang tepat tentang perilaku kita.

8
2) Regarding Standards: yakinkan diri standar kita tidak terlalu tinggi, jangan
sampai diri kita gagal. Tetapi kalau standar kita terlalu rendah, tentu tidak
berarti pula.
3) Regarding Self-Response: gunakanlah penghargaan (self-reward) bukan self-
punishment serta rayakanlah kemenenganmu, jangan larut pada kegagalan.

3. Self-Efficacy (Efikasi Diri)
Efikasi diri merupakan persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri
dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri juga merupakan perasaan
optimis mengenai diri kita yang berkemampuan dan efektif. Secara singkat,
efikasi diri adalah sejauh mana kita mampu mencapai sesuatu. Efikasi diri
tumbuh dari keberhasilan-keberhasilan yang pernah dilakukan.

4. Reciprocal Determinism (Faktor-faktor Hubungan Timbal Balik)


Dari perspektif pembelajaran sosial, fungsi psikologi adalah lanjutan
interaksi timbal balik antara kepribadian, tingkah laku, dan lingungan sebagai
pengatur.
a. Interdependence of Personal and Environmental Influence (ketergantungan
antara pribadi dan lingkungan)
Seperti kita ketahui, faktor pribadi internal dan tingkah laku juga
menjalankan sebagai faktor-faktor hubungan timbal balik dari yang lainnya. Salah
satu contohnya adalah ekspektasi seseorang berpengaruh pada bagaimana dia
berperilaku dan hasilnya akan merubah ekspektasinya. Kelemahan utama dari
perumusan tradisional adalah mereka menghilangkan penempatan perilaku dan
lingkungan sebagai kesatuan yang terpisah. Pada kebanyakan bagian,
lingkungan hanya sebuah kemampuan hingga perwujudan dengan aksi yang
tepat.

b. Reciprocal influence and the exercise of self-direction


Diskusi proses sebab akibat melahirkan masalah pokok determinisme dan
kebebasan individu. Dalam kerangka pembelajaran sosial, kebebasan
didefinisikan sebagai hubungan dari sejumlah pilihan yang tersedia pada
manusia dan penggunaan yang tepat baginya. Dari perilaku alternatif dan hak
istimewa yang dimiliki seseorang, yang terbesar adalah kebebasannya beraksi.
c. Reciprocal Influence and The Limits of Social Control (pengaruh timbal balik
dan terbatasnya kontrol sosial)

9
Operasi dari pengaruh timbal balik menekankan pada perhatian publik
untuk memajukan pengetahuan psikologis akan meningkatkan pada perhitungan
manipulasi dan kontrol orang-orang. Reaksi yang umum pada ketakutan adalah
semua perilaku itu tidak dapat diacuhkan untuk dikontrol. Ketika orang-orang
memberitahukan tentang bagaimana perilaku dapat dikontrol, ia cenderung untuk
menolak pengaruhnya, dengan begitu membuat manipulasi semakin sulit.

5. Vicarious Reinforcement
Vicarious reinforcement menandai ketika pengamat meningkatkan
perilaku terhadap sesuatu yang pernah ia lihat dari orang lain. Akibat positif
pengamatan paling utama mungkin untuk membantu pengembangan adopsi
perilaku yang mana memiliki aspek yang kurang baik dan oleh karena itu
membutuhkan dorongan jika mereka ingin melakukannya. Ketika orang lain
mengajak untuk berpartisipasi pada aktivitas yang menyenangkan, biasanya
terhalang oleh larangan sosial.

C. Aplikasi Teori Pembelajaran Sosial


Teori pembelajaran sosial telah diterapkan secara ekstensif untuk
pemahaman agresi dan gangguan psikologis, terutama pada konteks perubahan
perilaku. Teori ini juga dasar teoritis untuk teknik peniruan perilaku yang
digunakan pada program pelatihan secara luas. Contoh pembelajaran sosial
yang umum adalah pada televisi komersial.
Teori ini diaplikasikan pada perilaku konsumen. Teori ini menyatakan
bahwa terjadi banyak pembleajaran melalui pengamatan pada perilaku orang
lain. Teori ini juga sangat berguna untuk menganalisis kemungkinan dampak
kekerasan yang ditayangkan televisi.

10
BAB III

PEMBAHASAN

1. Untuk pembelajaran pengamatan, bekal apa yang diperlukan sebelum


mengamati sesuatu?
Jawaban: Sebagian besar informan menyatakan bahwa mereka mengikuti
perkembagan budaya pop Korea melalui televisi, selain itu salah
satu informan menyatakan bahwa ia lebih sering mengikuti
perkembangan budaya pop Korea melalui internet yang
menurutnya lebih cepat dalam menampilkan berbagai informasi
terbaru tentang budaya pop Korea, dan juga mereka
mendapatkan informasi dari teman atau keluarga mereka. Peneliti
menyatakan bahwa semakin seringnya keluarga atau teman
mereka memperkenalkan dan membicarakan budaya ini membuat
mereka semakin tertarik untuk mencari tahu tentang budaya
tersebut.
2. Apakah belajar melalui pengamatan selalu menilai model yang diamati?
Jawaban: iya, berdasarkan penelitian jurnal diatas, dengan keberadaan
musik pop Korea, gaya berpakaian dan bahasa selebriti Korea,
akhirnya menjadi produk yang sangat diminati oleh para remaja
termasuk di Indonesia, secara khusus para remaja yang adalah
siswa/siswi di SMA Negeri 9, Manado
3. Dari kedua variabel sebelumnya, apa output yang terjadi pada para remaja?
Jawaban: gaya hidup mulai dari gaya berpakaian dan aksesoris dan tidak
sedikit dari mereka pun harus rela menghabiskan uang yang
tidak sedikit untuk membeli aksesoris tersebut. Beberapa dari
mereka mengatakan bahwa mereka membeli aksesoris-aksesoris
Korea dengan menggunakan uang tabungan mereka namun
adapula yang mengatakan bahwa mereka meminta uang
tambahan dari orang tua dikarenakan harganya yang mahal.
Mereka memang mengakui bahwa beberapa gaya Korea tidak
sesuai dengan budaya Indonesia, akan tetapi mereka merasa hal
itu tidak terlalu menjadi masalah karena mereka selalu berusaha

11
untuk menyesuaikan dengan etika yang berlaku di Indonesia atau
tidak terlalu berlebihan dalam menerapkan gaya berpakaian
Korea.
4. Elemen apa saja yang penting untuk melakukan pembelajaran dengan
pengamatan?
Jawaban: elemen yang dimaksud dalam hal ini adalah motivasi para remaja
SMAN 9 Manado. Keunikan dan originalitas budaya pop Korea
terutama trend fashion Korea tersebutlah yang membuat mereka
tertarik untuk mengimitasi budaya ini. Sedangkan 1 informan
menyatakan bahwa ia mengikuti budaya pop Korea karena ia
mau ikut trend populer di kalangan teman-temannya sehingga ia
tidak ketinggalan jaman. Mereka pun mengatakan bahwa mereka
percaya diri apabila apa yang mereka imitasi terlihat cocok dan
menarik dengan diri mereka sendiri terlebih apabila mereka
mendapatkan tanggapan positif dari orang-orang di sekitar
mereka dan tidak sedikit dari mereka pun harus rela
menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk membeli aksesoris
tersebut.
5. Bagaiman para remaja SMAN 9 Manado bisa mulai tertarik dengan budaya
K-Pop?
Jawaban: sebagian besar informan menyatakan bahwa mereka mengikuti
perkembagan budaya pop Korea melalui televisi, selain itu salah
satu informan menyatakan bahwa ia lebih sering mengikuti
perkembangan budaya pop Korea melalui internet yang
menurutnya lebih cepat dalam menampilkan berbagai informasi
terbaru tentang budaya pop Korea, dan juga mereka
mendapatkan informasi dari teman atau keluarga mereka.
Peneliti menyatakn bahwa semakin seringnya keluarga atau
teman mereka memperkenalkan dan membicarakan budaya ini
membuat mereka semakin tertarik untuk mencari tahu tentang
budaya tersebut.

12
6. Bagaimana cara mereka menilai tentang k-pop?
Jawaban: berdasarkan hasil penelitian peneliti 1 informan menyatakan
bahwa ia mengikuti budaya pop Korea karena ia mau ikut trend
populer di kalangan teman-temannya sehingga ia tidak
ketinggalan jaman. Mereka pun mengatakan bahwa mereka
percaya diri apabila apa yang mereka imitasi terlihat cocok dan
menarik dengan diri mereka sendiri terlebih apabila mereka
mendapatkan tanggapan positif dari orang-orang di sekitar
mereka dan tidak sedikit dari mereka pun harus rela
menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk membeli aksesoris
tersebut.
7. Apa sikap yang diambil para remaja dengan mereka mengimitasi budaya k-
pop?
Jawaban: berdasarkan penelitian peneliti para remaja remaja SMAN 9
Manado mulai mengikuti gaya hidup dari budaya korea mulai
dari gaya berpakaian dan aksesoris dan tidak sedikit dari
mereka pun harus rela menghabiskan uang yang tidak sedikit
untuk membeli aksesoris tersebut. Beberapa dari mereka
mengatakan bahwa mereka membeli aksesoris-aksesoris Korea
dengan menggunakan uang tabungan mereka namun adapula
yang mengatakan bahwa mereka meminta uang tambahan dari
orang tua dikarenakan harganya yang mahal. Mereka memang
mengakui bahwa beberapa gaya Korea tidak sesuai dengan
budaya Indonesia, akan tetapi mereka merasa hal itu tidak
terlalu menjadi masalah karena mereka selalu berusaha untuk
menyesuaikan dengan etika yang berlaku di Indonesia atau
tidak terlalu berlebihan dalam menerapkan gaya berpakaian
Korea.

13
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sesuai dengan teori dalam tema yang dibawakan dalam jurnal tersebut,
bahwa sebuah teori dalam bidang psikologis yang berguna dalam mengkaji
dampak media massa adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning
Theory).
2. Teori Pembelajaran Sosial atau Social Learning Theory dikemukakan juga
dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard Walter.
3. Dalam Teori Pembelajaran ini memiliki beberapa ciri tertentu Inti dari teori ini
adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan inilah yang merupakan salah
satu langkah penting dari pembelajaran terpadu. Pertama-tama seseorang
akan melakukan pengamatan akan sikap, perilaku, dan hasil dari perilaku
orang lain tersebut yang kemudian akan ia tiru (imitasi) sehingga orang
tersebut akan dijadikan role model bagi dirinya.
4. PengapilkasianTeori Pembelajaran Sosial di jurnal “Analisa Gaya Hidup
Remaja dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi”
dalamvariable intinya :

a. Observational Learning (pembelajaran dari hasil pengamatan) atau


modeling. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pengaruh peniruan
menghasilkan pembelajaran melalui fungsi informatif. Terdapat beberapa
langkah dalam modeling:

1) Attention Processes

Variable ini diaplikasikan dalam jurnal dengan tindakan remaja SMA 9


Manado yaitu mereka mulai mengikuti perkembangan zaman. Mereka
mulai mempelajari adanya budaya korea yang terbawa ke negera
Indonesia melalui media TV, internet, serta media sosial lainnya.
Sehingga mereka mulai mengamati model Korea yang menjadi bagian
dari era globalisasi.

14
2) RetentionProcesses (ingatan/penyimpanan)

Menurut hasil penelitian dari jurnal tersebut para remaja memiliki


frekuensi menonton Korea kurang dari 4 kali dalam 1minggu sebanyak
50%, menonton Korea lebih dari 4 kali dalam seminggu sebesar 40%
serta lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa setelah remaja SMA 9
Manado mempelajari dan mengamati model Korea tersebut mereka
menjadi mengingatnya sehingga muncul ketertarikan yang membuat
mereka selalu mengingat untuk tetap mengamati perkembangan K-pop
selanjutnya.

3) Motor Reproduction Processes


Ketika sudah diperoleh hasil penelitian seperti dalam variabel
sebelumnya dapat diketahui bahwa K-pop mampu menarik perhatian
remaja SMA 9 Manado. Ketertarikan para remaja dapat dibuktikan
dengan melihat frekuensi mereka melihat K-pop yang menyatakan
hampir sebagian besar melihat k-pop meski dalam frekuensi yang
berbeda, yang menjadikan mereka semakin mengagumi K-pop sampai
membuat mereka mengimitasi K-pop baik dalam segi gaya hidup, gaya
berpakaian, gaya bersikap dan lainnya, karena mereka menganggap
mengimitasinya K-pop merupakan sebuah modernisasi atau tren’
B. Saran
1. Penjelasan dalam jurnal ini sudah baik, akan tetapi dalam melakukan
penguraian antara pembahasan teori berdasarkan ilmuan kemudian
dihubungkan dengan pokok objek yang dibahas akan lebih baik dipisahkan
agar tidak membingungkan.
2. Ketika mengambil sebuah data kuantitatif mohon dilakukan perhitungan
jumlah rata-rata untuk setiap objek yang diambil, sehingga dapat lebih
generalkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro., dkk. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Edisi


Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Baldwin, John R. 2004. Communication Theories: for Everyday Life. USA:


Pearson Education. Inc

Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, New Jersey:


Prentice-Hall. Inc.

Bastable, Susan B. 2002. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran


dan Pembelajaran. Jakarta: EGC

Ee Ah Meng. 2002. Psikologi Pendidikan 111. Penerbitan Fajar Bakti

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality, Second


Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc

Maulana, Heri. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC

NN. 2006. Psikologi Sosial: The Mental. Diktat. Jatinangor: Universitas


Padjadjaran Fakultas Psikologi.

Santrock, John. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika

Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius

Severin, Werner J. dan James W. Tankard, Jr. 2007. Teori Komunikasi: Sejarah,


Metode, dan Terapan Di Dalam Media Edisi Ke-5. Penerjemah Sugeng
Hariyanto. Jakarta: Kencana

16
LAMPIRAN

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

ANALISA GAYA HIDUP REMAJA DALAM MENGIMITASI BUDAYA POP


KOREA MELALUI TELEVISI

(Studi pada siswa SMA Negeri 9, Manado)

Oleh : Olivia M. Kaparang

NIM. 080815058

E-Mail: oliviakaparang@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan


metode deskriptif dimana realita akan pengimitasian budaya pop Korea melalui
televisi yang dilakukan oleh remaja SMA Negeri 9, Manado dalam gaya hidup
mereka digambarkan apa adanya. Dalam penentuan informan, digunakan teknik
purposive sampling dimana informan dipilih dengan pertimbangan dan tujuan
tertentu, dalam hal ini yang dipilih adalah siswa/i SMA Negeri 9, Manado yang
mengikuti perkembangan budaya pop Korea dan mengimitasinya ke dalam gaya
hidup mereka. Untuk memperoleh data, dilakukan wawancara mendalam dan
observasi langsung.Selain itu beberapa artikel yang diperoleh dari media cetak
dan internet.Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode analisis deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisa gaya hidup remaja dalam mengimitasi budaya pop Korea melalui
televisi.

Berdasarkan hasil penelitian, budaya pop Korea sangat terlihat mulai


mendominasi remaja SMA Negeri 9, Manado dan tampak jelas mereka mulai
meninggalkan budaya Indonesia sebagai pegangan hidup keseharian.Mereka
bahkan rela menghabiskan banyak waktu untuk memperoleh informasi mengenai
budaya ini dibandingkan budaya sendiri.Hal ini membuktikan bahwa telah
terjadipergeseran budaya dan hal tersebut perlu ditindaklanjuti dari sekarang.

17
Peran orang tua dan guru diperlukan dalam pengawasan akan perkembangan
hidup para remaja dalam hal berhadapan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

dan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi. Pihak pemerintah


pun perlu turut memajukan budaya bangsa dan membuatnya menjadi lebih
menarik sehingga para remaja jadi lebih tertarik untuk memajukan budaya
bangsa.

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi masa kini juga semakin


berkembang pula terutama di zaman globalisasi ini.Globalisasi membuat
interaksi antar seluruh warga dunia menjadi bebas dan terbuka seolah-olah
batas-batas suatu Negara menjadi sempit dan salah satu dampak dari globalisasi
yakni perkembangan teknologi.Perkembangan teknologi ini pun tampaknya
semakin memudahkan kita dalam berbagai bidang terlebih dalam bidang
telekomunikasi.Kita dapat dengan mudah dan cepat dalam memperoleh berbagai
informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.Hal ini membuat
seakan-akan sudah tidak ada batasan-batasan dalam berbagi informasi diantara
sesama manusia. Berbagai inovasi-inovasi telekomunikasi pun semakin banyak
seperti handphone yang dulu hanya dipakai untuk keperluan menelpon ataupun
mengirim pesan singkat sekarang dapat dipakai pula untuk mengakses internet,
televisi pun yang dulunya hanya bisa dipakai untuk menonton saja sekarang bisa
disambungkan dengan jaringan internet, dan masih banyak lagi inovasi-inovasi
mutakhir yang telah berhasil diciptakan.

Tidak hanya berbagai informasi yang dapat disebarkan dengan cepat


melalui hadirnya berbagai teknologi telekomunikasi yang mutakhir tersebut,
budaya pun dapat dengan mudah disebarkan ke seluruh dunia.Hal ini berkaitan
dengan globalisasi budaya dimana pernyataan ini dapat dikatakan sebagai suatu
gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu dari suatu Negara ke seluruh
dunia sehingga menjadi budaya dunia atau world culture.

18
Salah satu budaya yang tengah mempengaruhi berbagai Negara adalah
budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan sebutan K-Pop/Hallyu
Wave/Korean Wave. Indonesia pun terikut imbas penyebaran budaya ini
terutama dikarenakan Indonesia yang merupakan Negara berkembang yang

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

mudah dipengaruhi oleh Negara-negara maju. Penyebaran budaya pop Korea ini
juga terbantukan dengan berbagai media massa yang giat memperkenalkan
budaya tersebut dan salah satu media massa yang intensif dalam menyebarkan
budaya ini adalah televisi. Hampir setiap hari kita dapat menonton acara-acara
yang berhubungan dengan budaya pop Korea ini di hampir seluruh stasiun
televisi.

Ketertarikan akan budaya ini pun semakin meningkat terutama di


kalangan remaja, secara khusus di kalangan remaja SMA Negeri 9, Manado.
Berawal dari melihat berbagai berita di media massa, mereka perlahan-lahan
mulai mengumpulkan informasi mengenai budaya tersebut dan akhirnya mulai
mengimitasi budaya itu ke dalam hidup gaya hidup keseharian mereka. Dapat
dikatakan terjadi pergeseran dalam mengaktualisasikan nilai budaya Indonesia
ke budaya pop Korea dimana budaya tersebut belum tentu sesuai dengan
budaya kita dan terkesan semakin melupakan budaya bangsa sendiri.Jika hal
tersebut terus terjadi, budaya bangsa sendiri bisa hilang padahal remaja adalah
penerus bangsa dimana merekalah yang seharusnya mengembangkan bangsa
kita.Pada akhirnya, tidak hanya nilai positif yang didapatkan dari pertukaran
informasi global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa
dampak yang tidak baik terhadap perkembangan remaja di Indonesia, secara
khusus para remaja di SMA Negeri 9, Manado.

Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian adalah para siswa/i di
SMA Negeri 9, Manado secara khusus mereka yang sangat meminati atau
mengimitasi budaya pop Korea.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian ini


mengangkat permasalahan penelitian sebagai berikut :

19
“Bagaimana gaya hidup remaja di SMA Negeri 9, Manado mengimitasi budaya
pop Korea melalui televisi?”

Dengan perumusan masalah tersebut maka tujuan daripada penelitian ini


adalah untuk menganalisa gaya hidup remaja SMA Negeri 9, Manado dalam
mengimitasi budaya pop Korea melalui televisi.

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Konsepsi Tentang Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang


mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut
dalam masyarakat di sekitarnya. Definisi gaya hidup itu sendiri dikemukakan oleh
Plummer sebagai berikut :

“Gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasikan oleh


bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang
mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang
mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya.” (Plummer, 1983).

Jadi, gaya hidup dapat dikatakan sebagai suatu pola hidup seseorang di
dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan
lingkungannya.

Menurut Chaney (dalam Subandy, 1997), ada beberapa bentuk gaya


hidup, antara lain:

a. Industri Gaya Hidup


Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami
estetisisasi, "estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan bahkan tubuh/diri pun
justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari
pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya
maka kamu ada !" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan
kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya
hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup

20
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para
politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era
globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam
membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture)
adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang
mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di
muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa
yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme
Gaya Hidup Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada
kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture),
para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen
kontemporer.Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran
"aksesori fashion". Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-
Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui
identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity), cara mereka
berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk
jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen
demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
d. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak
kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk
mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan
kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan.Nalar adalah alat
untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan
perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan
terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan
terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya
konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan
merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta

21
menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian
tersebut.

e. Gaya Hidup Hedonis


Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk
mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar
rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat
perhatian.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup
dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan melalui media iklan, modeling
dari artis yang di idolakan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata
sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung
jawab dalam pola perilakunya.

Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003), gaya hidup


seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan
jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan
kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut Amstrong menyatakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang
berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar
(eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan,
kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi sedangkan faktor eksternal terdiri
dari kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.

Dari berbagai macam dan bentuk gaya hidup yang ditampilkan dan
dijelaskan di atas, maka sejatinya gaya hidup yang hendak ditelusuri dan teliti
adalah bentuk gaya hidup Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup sebab
gaya hidup ini memiliki korelasi langsung dengan proses imitasi siswa/siswi SMA
Negeri 9, Manado terhadap gaya hidup budaya pop Korea. Gaya hidup
PublicRelations dan Journalisme gaya hidup, memperlihatkan bagaimana gaya

22
hidup selebriti yang adalah public figure dalam masyarakat yang diimitasi oleh
masyarakat luas misalnya para remaja. Dengan berbagai aksesoris fashion
membuat mereka menjadi “produk” yang ditiru oleh para remaja.

Konsep Remaja

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal
anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10
hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun (Sarwono, 1997).

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Monks berpendapat bahwa secara global masa remaja berlangsung


antara 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun merupakan masa remaja
awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, dan 18- 21 tahun
merupakan masa remaja akhir (Monks, 2002). Sedangkan WHO menetapkan
batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Batasan usia tersebut
didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita yang berlaku juga untuk
remaja pria, dan dibagi kurun usia tersebut menjadi duabagian yaitu remaja awal
(10-14 tahun) dan remaja akhir (15-20 tahun). Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka
keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda
Internasional. Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB
tentang pemuda adalah kurun usia 11-24 tahun dan belum menikah.

Konsep Imitasi

Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Imitasi tidak


berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima dan
mengagumi terhadap apa yang diimitasi. Untuk mengadakan imitasi atau meniru
ada faktor psikologis lain yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak
berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan sehingga
seseorang mengadakan imitasi. Bagaimana orang dapat mengimitasi sesuatu
kalau orang yang bersangkutan tidak mempunyai sikap menerima terhadap apa
yang diimitasi itu. Dengan demikian untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya
sikap menerima, ada sikap mengagumi terhadapapa yang diimitasi itu, karenaitu
imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya. Contoh dari imitasi adalah bahasa;

23
anak belajar berbahasa melalui peniruan terhadap orang lain, selain itu mode-
mode yang melanda masyarakat berkembang karena faktor imitasi.

Konsep Budaya Pop Korea

Untuk mendefinisikan budaya pop, kita perlu mengkombinasikan dua


istilah yaitu “budaya” dan “populer”.Definisi “budaya” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang
sudah berkembang (http://kamusbahasaindonesia.org/budaya).

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Sedangkan menurut Raymond Williams, tokoh studi budaya (cultural


studies) dari Inggris, memberikan beberapa definisi mengenai budaya. Pertama,
budaya dapat digunakan untuk mengacu pada suatu proses umum
perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, budaya berarti
pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu.

Selain itu, Williams juga mengatakan bahawa budaya pun bisa merujuk
pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik. Dengan kata
lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk
menunjukkan, menandakan, memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang
menciptakan makna tertentu. (Williams, 1983:90).

Kata “pop” diambil dari kata “populer” yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti dikenal dan disukai orang banyak atau umum
( http://kamusbahasaindonesia.org/populer). Untuk istilah populer, Williams
memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja
rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya
yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. (Williams, 1983:237).

Menurut beberapa definisi dari kata “budaya” dan “populer” di atas, dapat
disimpulkan bahwa budaya populer adalah suatu kebudayaan yang sudah
berkembang atau suatu pandangan hidup, praktik, dan karya yang banyak
disukai oleh banyak orang.

Ciri-ciri budaya populer diantaranya adalah sebuah budaya yang menjadi


trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer;
sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak

24
penjiplak; Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi
oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; Durabilitas, sebuah budaya populer
akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer
yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak
dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang
sudah ada berpuluh-puluh tahun; Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer
berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang
mendukungnya.

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Budaya populer Korea diantaranya adalah sinetron/drama TV Korea


(contoh: Full House, You’re Beautiful, Boys Before Flower,dll), film Korea
(contoh: My Sassy Girl, Marrying The Mafia, dll), fashion Korea, musik pop
Korea, reality show Korea (contoh: Running Man, Infinity Challenge, dll).

Perkembangan IPTEK dalam konteks ilmu komunikasi akhirnya


memberikan kesempatan kepada masyarakat dunia untuk menampilkan serta
menunjukan budayanya kepada orang lain melalui media intenet dan televisi.
Pertukaran informasi dan budaya dalam dunia komunikasi tersebut akhirnya
mendapat respon yang baik bahkan dijadikan sebagai bentuk gaya hidup oleh
orang/budaya lain. Misalnya, Budaya pop Korea. Dengan musik pop, gaya
berpakaian, bahasa, akhirnya menjadi produk yang sangat diminati oleh para
remaja termasuk di Indonesia, secara khusus para remaja yang adalah
siswa/siswi di SMA Negeri 9, Manado. Oleh karena itu dalam penulisan skripsi
ini, budaya yang akan diteliti adalah budaya pop Korea secara spesifik pada
penampilan atau cara berpakaian atau fashion budaya Korea.

Konsep Televisi

Kata "televisi" merupakan gabungan dari kata tele ("jauh") dari Kata
"televisi" merupakan gabungan dari kata tele ("jauh") dari bahasa Yunani dan
visio ("penglihatan") dari bahasa Latin, sehingga televisi dapat diartikan
sebagaialat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual/penglihatan.
Penggunaan kata "Televisi" sendiri juga dapat merujuk kepada "kotak televisi",
"acara televisi", ataupun "transmisi televisi".
(http://www.pengertiandefnisi.com/2012/02/pengertian-televisi.html).

25
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Televisi artinya adalah: 1).
Sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau
melalui angkasa dengan menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar)
dan bunyi (suara) menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi
berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar; 2).Pesawat
penerima gambar siaran televisi
(http://www.pengertiandefnisi.com/2012/02/pengertian-televisi.html).

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Konsep Teori Modelling

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teori Modelling dimana teori


ini merupakan aplikasi dari Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Albert
Bandura (1986), seorang psikolog dari Kanada. Menurut teori belajar sosial,
orang belajar dari orang lain melalui observasi, peniruan, dan pemodelan
(http://lenterakecil.com/teoribelajar-sosial-menurut-bandura/).

Inti dari teori ini adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan inilah
yang merupakan salah satu langkah penting dari pembelajaran terpadu.
Pertama-tama seseorang akan melakukan pengamatan akan sikap, perilaku, dan
hasil dari perilaku orang lain tersebut yang kemudian akan ia tiru (imitasi)
sehingga orang tersebut akan dijadikan role model bagi dirinya. Ada dua jenis
pembelajaran melalui pengamatan. Yang pertama, pembelajaran melalui
pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain, contohnya
seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena
perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang
tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari
penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui
pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan
penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu
sedangmemperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin
dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau
penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak
harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga
menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.Sekitar

26
tahun 1959-1963 Albert Bandura dan Richard Walters, telah melakukan
eksperimen pada anak – anak yang juga berkenaan dengan peniruan.Hasil
eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui
pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan
itu tidak dilakukan terus menerus.

Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau


pembelajaran melalui pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial


yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek
mental seseorang. (http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-belajar-
sosial-albert-bandura/). Hal itulah yang membuat sehingga muncullah aplikasi
lanjutan dari teori belajar sosial yang lebih dikenal dengan teori modeling.

Ada beberapa tahap (memperhatikan perilaku, mengidentifikasi-diri,


terasa fungsional, untuk merespon situasi, merasa puas dan pengukuhan)
seseorang membentuk perilaku sebagai pengaruh dari pesan-pesan tayangan
media. Bila teori modeling ini diaplikasikan kedalam bentuk pengaruh penampilan
akibat terpaan media massa, maka secara esensial berproses: (1) Individu yang
menonton penampilan orang (model) memperhatikan bentuk perilaku tertentu
dari model tersebut. (2) Pemirsa lalu mengidentifikasikan diri dengan model
tersebut. Jika dia berpenampilan seperti model tersebut maka dia akan merasa
tampak menarik dan baik. (3) Pemirsa baik secara sadar atau tidak ketika
berpenampilan seperti model yang ditiru merasa memperoleh sesuatu yang
fungsional seperti diharapkan, ketika digunakan atau ditampilkan dalam situasi
tertentu. (4) Apa yang diperoleh pemirsa dengan mengidentifikasi dari model
yang ditiru dapat digunakan sebagai media dalam merespons situasi yang
relevan. (5) Tindakan yang dihasilkan dari mengidentifikasi-diri dengan model
dirasakan dapat menimbulkan kepuasan, ganjaran, sehingga tindakan meniru
tersebut seakin dikukuhkan. (6) Tindakan pengukuhan tersebut lalu akan selalu
diulang dalam merespons setiap situasi yang dihadapi (Hamidi, 2007).

Kaitan antara Teori Modeling dengan penelitian yang akan dilaksanakan


adalah salah satu efek dari media massa adalah terjadinya pengimitasian yang

27
dilakukan pemisa yang didasarkan pada apa yang ia lihat di media massa.
Dalam hal ini, efek dari tayangan televisi yang berhubungan dengan budaya pop
Korea menarik perhatian dari permirsa di kalangan remaja sehingga terjadilah
pengimitasian. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka teori modeling dapat
menjelaskan bagaimana remaja SMAN 9, Manado mengimitasi budaya pop
Korea yang tengah populer ke dalam gaya hidup mereka sehari-hari dimana saat
ini budaya Korea tengah menjadi role model mereka.

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Metodologi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 9, Manado dan yang menjadi


informan dalam penelitian ini adalah siswa/i SMA Negeri 9, Manado yang
mengikuti perkembangan budaya pop Korea dan mengimitasinya ke dalam gaya
hidup keseharian mereka. Dengan demikian teknik yang digunakan untuk
menentukan informan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling
dimana informan dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Prastowo,
2012:197).Data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara mendalam serta
observasi langsung serta beberapa artikel-artikel dari majalah/Koran/internet
yang kemudian data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Sebagian besar informan menyatakan bahwa mereka mengikuti


perkembagan budaya pop Korea melalui televisi bahkan mereka pun mengetahui
waktu penanyangan untuk acara-acara Korea tersebut. Hal ini pula sesuai
dengan praktek hidup dan gaya mereka yang mengadopsi sekaligus mengoleksi
segala hal yang berhubungan dengan budaya pop Korea. Selain itu salah satu
informan menyatakan bahwa ia lebih sering mengikuti perkembangan budaya
pop Korea melalui internet yang menurutnya lebih cepat dalam menampilkan
berbagai informasi terbaru tentang budaya pop Korea. Dapat dikatakan bahwa
mereka lebih mengikuti perkembangan budaya luar dibandingkan budaya sendiri.

Pentingnya pengawasan orang tua dalam membina anak pun terlihat


kurang direspon dengan baik.Hal ini dapat dibuktikan dengan frekuensi serta
durasi menonton acara Korea melalui televisi yang dikemukakan oleh para

28
informan. Sebanyak 50% informan menyatakan bahwa mereka frekuensi
menonton acara Korea dalam seminggu adalah kurang dari 4 kali, dan untuk
frekuensi menonton acara Korea dalam seminggu sebanyak lebih dari 4 kali ada
40%, sedangkan 10% menyatakan bahwa ia tidak tahu pasti seberapa seringnya
ia menonton acara Korea melalui televisi dikarenakan ia lebih memilih live
streaming melalui internet. Untuk frekuensi menonton acara Korea melalui
televisi dalam sehari, 40% informan menyatakan bahwa mereka menghabiskan
waktu sebanyak lebih 5 kali, sedangkan masing-masing 30% informan

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

menyatakan dapat menghabiskan kurang dari 3 kali dan 3-5 kali dalam sehari
untuk menonton acara tersebut.

Sedangkan frekuensi untuk menonton acara Korea melalui televisi per


jamnya dalam sehari, 60% informan menyatakan bahwa mereka menghabiskan
lebih dari 4 jam dalam sehari dan 40% informan menyatakan bahwa mereka
menghabiskan 2-4 jam dalam sehari untuk menontonnya.

Berdasarkan data tersebut, peran orang tua sebagai guru pertama bagi
remaja terlihat lemah.Orang tua seharusnya bisa memberikan pengertian dan
mengajak anak mereka unuk lebih mencintai budaya bangsa sendiri. Namun,
pada kenyataanya orang tua membiarkan anak mereka menghabiskan banyak
waktu mereka untuk menonton dan mencari tahu tentang perkembangan budaya
pop Korea. Bahkan beberapa remaja lebih memilih membuang waktunya untuk
menonton acara Korea dibandingkan menghabiskan waktunya untuk membaca
ataupun belajar.Tidak sedikit dari mereka pun mengungkapkan bahwa mereka
bisa belajar sambil menonton acara Korea favorit mereka.

Ketertarikan informan akan budaya pop Korea ini dikarenakan adanya


pengaruh dari orang-orang terdekat mereka, yakni keluarga dan teman. Semakin
seringnya keluarga atau teman mereka memperkenalkan dan membicarakan
budaya ini membuat mereka semakin tertarik untuk mencari tahu tentang budaya
tersebut.Selain itu 9 dari 10 informan menyatakan bahwa mereka mengimitasi
budaya pop Korea karena keinginan mereka sendiri. Keunikan dan originalitas
budaya pop Korea terutama trend fashion Korea tersebutlah yang membuat
mereka tertarik untuk mengimitasi budaya ini. Sedangkan 1 informan

29
menyatakan bahwa ia mengikuti budaya pop Korea karena ia mau ikut trend
populer di kalangan teman-temannya sehingga ia tidak ketinggalan jaman.

Mereka pun mengatakan bahwa mereka percaya diri apabila apa yang
mereka imitasi terlihat cocok dan menarik dengan diri mereka sendiri terlebih
apabila mereka mendapatkan tanggapan positif dari orang-orang di sekitar
mereka dan tidak sedikit dari mereka pun harus rela menghabiskan uang yang
tidak sedikit untuk membeli aksesoris tersebut. Beberapa dari mereka
mengatakan bahwa mereka membeli aksesoris-aksesoris Korea dengan

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

menggunakan uang tabungan mereka namun adapula yang mengatakan bahwa


mereka meminta uang tambahan dari orang tua dikarenakan harganya yang
mahal. Mereka memang mengakui bahwa beberapa gaya Korea tidak sesuai
dengan budaya Indonesia, akan tetapi mereka merasa hal itu tidak terlalu
menjadi masalah karena mereka selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan
etika yang berlaku di Indonesia atau tidak terlalu berlebihan dalam menerapkan
gaya berpakaian Korea.

Semua data hasil penelitian tersebut menampilkan bagaimana budaya


pop Korea menjadi incaran kaum muda kita. Mungkin mereka akan menjelaskan
dengan gaya dan pemahaman mereka tentang apa yang sementara mereka
gemari dan hidupi dalam keseharian hidup. Namun disisi lain tampak dengan
jelas mereka mulai meninggalkan budaya Indonesia sebagai pegangan dalam
hidup keseharian. Mereka lebih memperjuangkan budaya lain dari pada budaya
sendiri. Kepercayaan diri serta motivasi yang tinggi serta pengakuan positif dari
kalangan masyarakat dan keluarga akan sangat membantu mereka lebih tumbuh
dalam menghidupi budaya bangsa lain. Pertanyaan yang kita hadapi sekarang,
bagaimana bangsa kita bisa mengatasi masalah ini? Inilah yang disebut sebagai
sebuah proses pergeseran budaya dimana budaya pribumi menjadi hal yang
aneh bagi anak bangsa sementara budaya luar menjadi santapan lezat bagi para
remaja kita. Dengan jelas, teknologi dan informasi yang berkembang di zaman
ini, memperlihatkan dua sisi, positif dan negatif. Positif jika hal itu dapat
membantu kita untuk mempelajari budaya lain sebagai sebuah kekayaan
informasi dan pengetahuan sementara hal itu menjadi negatif jika dijadikan

30
sebagai sebuah pegangan dan panutan dalam hidup. Nilai-nilai budayaIndonesia
yang memiliki banyak bentuk tidak menjadi hal yang digemari dikalangan para
remaja.

Kesimpulan

1. Para remaja di Indonesia terlebih khusus pada siswa SMAN 9, Manado


mengimitasi budaya pop Korea yang saat ini sangat populer dalam kalangan
masyarakat. Budaya pop Korea yang diimitasi lebih kearah fashion Korea.

Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Mereka tanpa ragu berpakaian layaknya remaja Korea atau artis-artis Korea
di dalam keseharian mereka,
2. Proses perkembangan dan pengimitasian mereka terhadap budaya pop
Korea semakin meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi dan
informasi melalui media massa, terlebih khusus melalui televisi. Mereka rela
menyediakan banyak waktu hanya untuk dapat menyaksikan sosialisasi
budaya lain,
3. Proses pengimitasian para remaja ini, memperlihatkan terjadinya sebuah
pergeseran kekaguman terhadap budaya sendiri. Nampak dengan jelas
proses pergeseran budaya. Orang tua tak mampu mengarahkan anak
mereka untuk tetap mengagumi dan mengimitasi budaya sendiri melainkan
mengizinkan anak-anak mereka mengimitasi budaya pop korea dengan cara
berpakaian serta bergaya Korea.

Saran

1. Para siswa dianjurkan untuk mengembangkan budaya bangsa dengan cara


menghidupi gaya serta nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Indonesia,
2. Para guru dan orang tua disarankan untuk dapat membantu dan
memperhatikan proses perkembangan hidup para remaja dalam hal
berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
teristimewa terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini, akan
membantu para remaja untuk lebih selektif dalam bergaya.,
3. Pemerintah dituntut untuk lebih memajukan budaya bangsa secara lebih
menarik dan kontekstual atau sesuai dengan konteks zaman sekarang

31
sehingga para remaja dapat menghidupinya dalam pergaulan keseharian
mereka.

Daftar Pustaka
Hamidi, M.Si, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press.
Monks,F.J. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Nugraheni,P.N.A. 2003. Perbedaan Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada
Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Skripsi (tidak diterbitkan).
Plummer,R. 1983. Life Span Development Psychology: Personality and Socialization.
New York: Academic Press.
Prastowo, Andi. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Subandy, Idi. 1997. Ecstasy Gaya Hidup. Bandung: Penerbit Mizan. Williams,
Raymond. 1983. Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. London: Fontana.
Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013

Sumber lain:
http://arihdyacaesar.wordpress.com/2012/01/13/pengertian-imitasi-akulturasi-
demografiglobalisasi-variabel-unik diakses pada tanggal 4 Oktober 2012.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-belajar-sosial-albert-bandura/
diakses pada tanggal 9 Oktober 2012.
http://kamusbahasaindonesia.org/budaya diakses pada tanggal 4 Oktober 2012.
http://kamusbahasaindonesia.org/populer diakses pada tanggal 4 Oktober 2012.
http://lenterakecil.com/teori-belajar-sosial-menurut-bandura/ diakses pada tanggal
9 Oktober 2012.
http://www.duniapsikologi.com/remaja-pengertian-dan-definisinya diakses pada
tanggal 4 Oktober 2012.
http://www.pengertiandefinisi.com/2012/02/pengertian-televisi.html diakses pada
tanggal 4 Oktober 2012.

32
http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer diakses pada
tanggal 4 Oktober 2012.

33

Anda mungkin juga menyukai