Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai negara hukum Indonesia mempunyai sistem hukum yang
berlaku demikian juga halnya dalam sistem peradilan. Dalam persidangan
berlaku hukum acara tertentu dalam menyelesaikan proses perkara di
Pengadilan. Didalam perkara pidana khususnya ada pengaturan proses
menyelesaikan proses perkara pidana di pengadilan. Maka hukum acara
pidana pengaturannya mengenai petunjuk dan uraiaan tentang bagaimana
negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan pidana terhadap pelaku.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan acara pemeriksaan
perkara di sidang Pengadilan Negeri. Dasar titik tolak perbedaan tata cara
pemeriksaan, ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diadili pada satu
segi, dan dari segi mudah atau sulitnya pembuktian perkara pada pihak
lain, Umumnya perkara tindak pidana yang diancam hukumannya 5 (lima)
tahun keatas, dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian, biasanya
diperiksa dengan pemeriksaan acara biasa, sedangkan perkara yang
ancaman hukumannya ringan serta pembuktian tindak pidananya dinilai
mudah, diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat. Atas perbedaan
pemeriksaan tersebut, kita 2 mengenal 3 jenis acara pemeriksaan perkara
pada sidang Pengadilan Negeri yaitu:1
1. Acara Pemeriksaan Biasa, diatur dalam bagian ketiga Bab XVI;
2. Acara Pemeriksaan singkat, diatur dalam bagian kelima Bab XVI;
3. Acara Pemeriksaan Cepat, diatur dalam bagian Keenam Bab XVI yang
terdiri dari dua jenis yaitu:

11
Yahya Harahap M, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan Penuntutan
Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 109
a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan;
b. Acara Pemerisaan perkara pelanggaran Lalu Lintas Jalan.
Dalam Acara Pemeriksaan Acara Cepat terhadap tindak pidana
ringan, penyidik atas kuasa penuntut umum demi hukum, dalam waktu
tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan
terdakwa berserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke sidang
pengadilan (Pasal 205 KUHAP).
Pembuktian dalam sistem acara pemeriksaan cepat pelimpahan
yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang
mengharuskan penyidik melimpahkan hasil pemeriksaan penyidikan
kepada penuntut umum, dan untuk seterusnya penuntut umum yang
berwenang melimpahkan ke pengadilan dalam kedudukannya sebagai
aparat penuntut. Dengan adanya Pasal 205 ayat (2) KUHAP, prosedur
ketentuan umum ini dikesampingkan dalam perkara pemeriksaan tindak
pidana ringan. Dengan kata lain penyidik mengambil alih wewenang
penuntut umum, atau wewenang penuntut sebagai aparat penuntut umum
dilimpahkan Undang – undang kepada penyidik.
Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan pengadilan
mengadili perkara dengan “hakim tunggal” pada tingkat pertama dan
terakhir.
Penjatuhan putusan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa
dapat meminta banding. Sesuai dengan ketentuan ini maka putusan hakim
tunggal dalam perkara ringan yang berbentuk hukuman denda secara
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan oleh karena itu secara
langsung dapat dieksekusi (Pasal 205 ayat (3) KUHAP). Penyidik
mengirimkan tembusan berkas tersebut kepada kejaksaan negeri selaku
eksekutor putusan termasuk putusan dalam acara pemeriksaan cepat.
Perkara tindak pidana ringan yang diterima pengadilan harus segera
disidangkan pada hari itu juga.
Di dalam beberapa praktik banyak permasalahan mengenai ketika
putusan tindak pidana ringan dijatuhi putusan perampasan hak terhadap
terdakwa. Kemudian terdakwa mengajukan banding terhadap putusan
perampasan kemerdekaan, siapa yang akan membuat kontra memori
banding terhadap putusan perampasan kemerdekaan tersebut? Apakah
penyidik yang melakukan penuntutan tersebut mempunyai kewenangan
untuk membuat kontra memori banding terhadap putusan dengan adanya
perampasan hak kemerdekaan tersebut, ataukah Penuntut Umum?

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hakim menentukan hari siding dan pemanggilan?
2. Bagaimana proses pemeriksaan perkara biasa?
3. Bagaimana proses pemeriksaan singkat?
4. Bagaimana proses pemeriksaan cepat?

C. Tujuan Penulisan
Berkaitan dengan permasalahan yang penulis rumuskan
sebelumnya, maka penulisan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana;
2. Untuk mengetahui pengertian Hukum Acara Pidana;
3. Untuk mengetahui tujuan Hukum Acara Pidana;
4. Untuk mengetahui asas-asas Hukum Acara Pidana;
5. Untuk mengetahui proses penentuan hari sidang dan pemanggilan;
6. Untuk mengetahui proses Pemeriksaan Perkara Biasa, Singkat dan
Cepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Pengertian Dan Tujuan Hukum Acara Pidana


A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana dalam pengertian yang sempit dapat diartikan sebagai
peraturan hukum tentang penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai
putusan pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Adapun hukum acara
pidana dalam pengertian yang luas diartikan bahwa disamping memuat peraturan
hukum tentang penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan dan
pelaksanaan putusan hakim juga termasuk peraturan mengenai susunan peradilan,
wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar
peraturan itu ada kaitannya dengan urusan perkara pidana2.
Secara garis besar hukum pidana membedakan menjadi dua yaitu hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Dimana proses peradilan pidana sangat
erat hubungannya dengan penerapan hukum acara pidana dalam mepertahankan
hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil dinamakan dengan hukum pidana
yang berisikan petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat
dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang pidana. Sedangkan hukum
pidana formil dinamakan dengan hokum acara pidana yang mengatur bagaimana
Negara melalui alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana3.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan
definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan,
penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum,
penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lainlain. Untuk
memahami apa arti dan hakekat hukum acara pidana sebaiknya kita melihat
beberapa pendapat para sarjana diantaranya sebagai berikut :

2
Bambang Poernomo, 1998, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, cet.2, Amerta Buku, Yogyakarta, hal.14
3
Andi Hamzah, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sasaran Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, Hal.15
1. Menurut Van Bemmelen, melukiskan hukum acara pidana sebagai berikut:
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara. Karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran
Undang-undang pidana:
a. Negara melalui alatnya menyidik kebenaran;
b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat
dan kalau perlu menahannya;
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim
dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib;
f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib4.
2. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana,
memberikan definisi hukum acara pidana yaitu5:
Hukum pidana formil itu adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum
yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal berikut:
a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan,
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana;
b. Cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana
apakah yang telah dilakukan;
c. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa
dan cara bagaimana harus mencari dan menyidik orang-orang yang
disangka bersalah terhadap tindak pidana itu;
d. Cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu;

4
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.17
5
R. Soesilo, 1979, Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor, Hal.2
e. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa,
menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta memeriksa
barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka;
f. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana dan;
g. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana
harus dilaksanakan dan sebagainya.
atau dengan singkat dapat dikatakan, bahwa hukum acara pidana
adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil
sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi
keputusan itu harus dilaksanakan6.
3. Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum acara pidana
sebagai berikut : Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya
hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-
peraturan. Maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa,
yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai
tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana7.
Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan
hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman
pidana, jika ternyata ada hak dari badan pemerintahan yang bersangkutan
untuk menuntut seorang guna mendapat hukum pidana, jika ternyata ada
hak dari badan pemerintahan yang bersangkutan untuk menuntut seorang
guna mendapat hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak menuntut
itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana dan oleh siapa putusan pengadilan,
yang menjatuhkan suatu hukum pidana, harus dijalankan. Hal ini semua
harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan hukum acara pidana8.

6
Darwin Prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, Hal.1
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1974, Hal. 13.
8
Ibid, Hal. 13-14
4. Sudarto, memberikan definisi tentang hukum acara pidana ialah
aturanaturan yang memberikan petunjuk apa yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat
didalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar9.
Dari berbagai pengertian diatas, yang dimaksud dengan hukum acara
pidana dalam skripsi ini adalah bagaimana cara negara melalui alat-alatnya
melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara
pidana yang berlaku di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Tahun 1981 Nomor 76) yang mencabut HIR (Staatblad 1951 Nomor 9) jo.
Ketentuan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

B. Tujuan Hukum Acara Pidana


Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman
sebagai berikut.
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari unsur perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan10”
Ini merupakan suatu kalimat yang terlalu Panjang, yang mestinya dapat
disingkat. Penulis tidak dapat menyetujui bagian kalimat yang berbunyi: “…
setidak-tidaknya mendekati kebenaran.” Kebenaran itu harus didapatkan dalam
menjalankan hukum acara pidana. Umumnya para penulis menyebut “mencari
kebenaran materiil”, merupakan tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi, usaha

9
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal 22.
10
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi ke 2 Cetakan 12 2018 hal. 7-9
hakim menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa.
Hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau
menambah perbuatan yang didakwakan.
Dalam batas surat dakwaan itu, hakim harus benar-benar tidak boleh puas
dengan kebenaran formal. Untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat
meminta bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu
pula saksi-saksi yang diajukan kedua pihak.
Hakim dalam mencari kebenaran materiil itu, ia tidak mesti melemparkan
suatu pembuktian kepada hakim perdata. Putusan hakim perdata tidak mengikat
hakim pidana. Meskipun KUHAP tidak mengatakan hal ini, namun dapat dikeahui
dari doktrin dan dalam Memori van Teolichting Ned Sv.
Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu
sebagai berikut :
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian keputusan oleh hakim.
3. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga funsi di atas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua
fungsi berikut, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang
diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti itulah, hakim akan sampai kepada
keputusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh
jaksa.
Karena fungsi yang pertama itu sangat penting, maka definisi hukum acara
pidana yang tidak menyebut itu sebagai sesuatu kekurangan, misalnya rumusan de
Bosch Kemper. “keseluruhan asas-asas dan peraturan undang-undang mengenai
mana negara menjalankan hak-haknya karena terjadi pelanggaran undang-undang
pidana11”.
Menurut undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 Tahun
2004, pasal 36 ayat (4)) pelaksanaan keputusan tersebut harus berdasarkan
perikemanusiaan dan keadilan.

11
J.M. van Bemmelen, loc.cit
II. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Asas-asas hukum acara pidana adalah dasar atau patokan hukum yang
melandasi KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas ini akan menjadi
pedoman bagi semua orang termasuk didalamnya aparat penegak hukum, serta
orang-orang yang tengah berkepentingan dengan hukum acara pidana.
Adapun asas-asas hukum acara pidana adalah sebagai berikut12 :
1. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
2. Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
3. Asas Oportunitas
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
8. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

12
Andi Hamzah, 2018, Hukum Acara Pidana Indonesia Cetakan 12 hal 10 - 25
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penentuan Hari Sidang dan Pemanggilan


B. Pemeriksaan Perkara Biasa
C. Pemeriksaan Singkat
D. Pemeriksaan Cepat

A. Penentuan Hari Sidang dan Pemanggilan


Penentuan hari siding dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
menyidangkan perkara (Pasal 152 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini hakim memerintahkan
kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk dating di siding
pengadilan. (Pasal 152 ayat(2) KUHAP)
KUHAP mengatur dalam Pasal 145, syarat syarat tentang sahnya suatu pemanggilan
kepada terdakwa sbb:
1. Disampaikan dialamat tempat tinggal nya apabila tempat tinggal tidak diketahui,
disampaikan ditempat tinggal terakhir.
2. Apabila terdakwa tidak ada ditempat atau ditempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa tempat tinggal terdakwa atau tempat
tinggal terakhirnya.
3. Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan melalui
pejabat rumah tahanan Negara.
4. Penerimaan surat melalui oranglain menggunakan tanda penerimaan.
5. Apabila tempat tinggal/ kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pd tempat pengumuman digedung pengadilan yang berwenang mengadili
perkaranya
Begitu pula pemanggilan saksi berlaku hal yang sama ( Pasal 146 ayat (2))
B. Pemeriksaan Perkara Biasa

1. Perkara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, diterima oleh Panitera Muda Pidana
dan harus dicatat dalam buku register perkara seterusnya diserahkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim/Majelis yang menyidangkan perkara
tersebut.
2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil
Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.
3. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penagguhan/pengalihan
penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas
musyarawah Majelis Hakim.
4. Dalam hal pemrohonan pengangguhan/pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan
ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.
5. Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara,
untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat formil dan materil.
6. Syarat formil : nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan
dari si terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
6. Syarat-syarat materiil:
    a. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti)
    b. Perbuatan yang didakwakan harus jelas dirumuskan unsur-unsurnya.
    c. Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan
masalah yang memberatkan dan meringankan.
    Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan (Pasal 143 ayat (3) KUHAP)
6. Dalam hal Ketua Pengadilan berpendapat bahwa perkara tersebut adalah
wewenang Pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan kepada Jaksa Penuntut
Umum dengan penetapan agar diajukan ke Pengadilan Negeri lain yang berwenang
mengadili perkara tersebut (Pasal 148 KUHAP). Jaksa Penuntut Umum selambat-
lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap
penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib
mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (Pasal 149 ayat (1) butir d
KUHAP).
C. Pemeriksaan Perkara Singkat
Acara pemeriksaan singkat diatur dalam Pasal 203 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:
 
(1)  Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara
kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal
205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya mudah dan sifatnya sederhana;
(2)  Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut
umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan
barang bukti yang diperlukan;
(3)  Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:
a.     
1.    penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang
menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155
ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada
terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan
menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu
dilakukan;
2.    pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan
merupakan pengganti surat dakwaan;
b.   dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya
diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas
hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga
dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan cara
biasa;
c.    guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan
atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama
tujuh hari;
d.    putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita
acara sidang;
e.    hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f.    isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
putusan pengadilan dalam acara biasa
 
Pasal 205 ayat (1) KUHAP:
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 Bagian ini;

D. Pemeriksaan Perkara Cepat

1. Yang diartikan dan termasuk perkara-perkara dengan acara cepat adalah perkara
pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau
denda Rp. 7.500, yang mencakup tindak pidana ringan, pelanggaran lalu lintas juga
kejahatan penghinaan ringan yang dimaksudkan dalam Pasal 315 KUHP dan diadili
oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa ada kewajiban dari Penuntut Umum
untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya Penuntut Umum menyatakan
keinginannya untuk hadir pada sidang itu.

2. Terdakwa tidak hadir di persidangan, Putusan verstek yakni putusan yang


dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, dalam hal putusan yang dijatuhkan berupa
pidana perampasan kemerdekaan, terpidana dapat mengajukan
perlawanan (verzet). Panitera memberitahukan perlawanan (verzet) tersebut kepada
Penyidik dan Hakim menetapkan hari persidangan untuk memutus perkara
perlawanan tersebut . Perlawanan diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa.

3. Terhadap putusan dalam perkara cepat tidak diperkenankan updaya hukum


banding kecuali terhadap putusan berupa perampasan kemerdekaan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai