ت لِلرَّحْ َم ِنُ ْفَ ُكلِي َوا ْش َربِي َوقَرِّي َع ْينًا فَإ ِ َّما ت ََريِ َّن ِمنَ ْالبَ َش ِر أَ َحدًا فَقُولِي إِنِّي نَ َذر
)٢٦( صوْ ًما فَلَ ْن أُ َكلِّ َم ْاليَوْ َم إِ ْن ِسيًّا
َ
“sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.
(QS. MARYAM [19]:26).
Maksud puasa disini adalah menahan untuk tidak berbicara kepada orang lain.
Secara istilah puasa adalah menahan atau mencegah diri dari kemauan untuk
makan-minum, berhubungan seksual suami istri, dan segala hal yang termasuk
dalam pengertian itu semua, selama sehari penuh dari terbit fajar hingga
terbenam matahari dengan niat menunaikan perintah Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.1
Adapun dalil bahwa puasa adalah menahan diri dari memenuhi kebutuhan dua
macam syahwat (makan-minum dan berhubungan seksual suami istri),
sebagaimana firman allah berikut,
ث إِلَ ٰى نِ َسائِ ُك ْم هُ َّن لِبَاسٌ لَّ ُك ْم َوأَنتُ ْم لِبَاسٌ لَّه َُّن ُ َأُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَةَ الصِّ يَ ِام ال َّرف
اب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َعن ُك ْم فَاآْل َن َ َون أَنفُ َس ُك ْم فَتَ َُعلِ َم هَّللا ُ أَنَّ ُك ْم ُكنتُ ْم تَ ْختَان
ُب هَّللا ُ لَ ُك ْم َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّ ٰى يَتَبَي ََّن لَ ُك ُم ْال َخ ْيط َ َاشرُوهُ َّن َوا ْبتَ ُغوا َما َكت ِ َب
صيَا َم إِلَى اللَّي ِْل َواَلِّ اأْل َ ْبيَضُ ِم َن ْال َخي ِْط اأْل َس َْو ِد ِم َن ْالفَجْ ِر ثُ َّم أَتِ ُّموا ال
َ ِك ُح ُدو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْق َربُوهَا َك ٰ َذل
ك َ اج ِد تِ ْل
ِ ون فِي ْال َم َس َ ُاشرُوهُ َّن َوأَنتُ ْم َعا ِكف ِ َتُب
َ ُاس لَ َعلَّهُ ْم يَتَّق
ون ِ َّيُبَي ُِّن هَّللا ُ آيَاتِ ِه لِلن
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
ister-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsu.
Karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka,
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan-minum lah hinga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid. Itulah larangan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187).
Dalil tersebut dikuatkan dengan sabda rasulullah saw. Yang disandarkan
riwayatnya kepada Allah swt. (hadits qudsi),
“setiap amal manusia itu baginya kecuali puasa. Puasa itu bagu-Ku. Aku
sendiri yang akan memberinya pahala. Dia meninggalkan makan dan minum
syahwatnya karena aku.”
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015) 473.
fiqih | 1
Dalam riwayat lain disebutkan,
“dia meninggalkan makan karena Aku. Meninggalkan minum karena Aku,
meninggalkan syahwat karena Aku, meninggalkan isteri karena Aku.”
Sebenarnya, makna puasa seperti ini sudah dikenal masyarakat Arab sebelum
Islam. Dimasa jahiliyah mereka biasa puasa Asyura (10 Muharram) sebagai
pengagungan terhadap hari tersebut. Karena itulah maka ketika Nabi saw.
Memerintahkan umat Islam untuk berpusa pada hari Asyura, kemudian
memerintahkan juga untuk puasa Ramadhan, sebagaimana difirmankan Allah
(“telah diwajibkan atas kalian berpuasa”) mereka semua paham maksudnya,
dan mereka pun bergegas menunaikannya.
Ketika ada orang Arab kampung (Badui) bertanya kepada Nabi saw. Tentang
Islam, lalu beliau menjawab dengan menyebutkan tentang kewajiban shalat lima
waktu dan pada bulan Ramadhan, dia tidak bertanya lagi tentang makna puasa
yang beliau maksud. Karena dia memang sudah mengerti maknanya. Justru dia
bertanya, “Apakah masih ada kewajiban lainnya?”
Puasa dalam islam ini merupakan jenis puasa yang paling utama, yang dikenal
oleh manusia. Sedangkan bagi penganut agama-agama lain, sebagian mereka
berpuasa hanya dari jenis makanan-makanan yang bernyawa saja. Pada saat yang
sama mereka tetap menyantap segala jenis makanan dan minuman yang lezat-
lezat, sebagaimana mereka juga tidak berpuasa dari syahwat untuk berhubungan
seksual.
Sebagian lainnya berpuasa sepanjang hari sehingga menyebabkan sakit badan
dan menyiksa batin. Akibatnya, tidak ada yang sanggup melakukannnya kecuali
orang-orang tertentu saja. Sementara puasa dalam Islam wajib ditunaikan oleh
seluruh kaum muslimin tanpa kecuali.2
B. Jenis-Jenis Puasa
Ditinjau dari segi hukum, puasa ada bermacam-macam. Ada yang wajib, ada
yang sunnah. Atau dalam ungkapan lain, ada puasa wajib, puasa sunnah, juga ada
puasa yang haram dan makruh.
Puasa wajib sendiri ada yang sifatnya fardhu’ain, yaitu puasa yang diwajibkan
oleh Allah atas setiap muslim pada waktu yang telah ditentukan, yakni puasa
Ramadhan. Ada juga puasa wajib yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu
yang ditetapkan oleh Allah, yaitu puasa kafarat seperti kafarat sumpah, kafarat
dzihar, kafarat membunuh secara tidak sengaja, dan sebagainya. Ada pula puasa
wajib karena diwajibkan sendiri oleh orang yang bersangkutan, yaitu puasa
nadzar.
Disini kita akan bahas jenis-jenis puasa, yaitu puasa Ramadhan dan puasa
sunnah.
a. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah kewajiban suci sekaligus ibadah dalam islam
yang memiliki nilai syiar yang sangat besar. Ia juga merupakan salah satu
rukun diantara lima rukun Islam, dimana agama ini ditegakkan.
Kewajiban puasa Ramadhan ini ditetapkan secara pasti didalam kitab suci
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma. Allah swt. Berfirman,
2
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 6-9.
fiqih | 2
ۡب َعلَى الَّ ِذ ۡينَ ِم ۡن قَ ۡبلِ ُکمۡ لَ َعلَّ ُكم
َ ِا ُكت‰‰يَا ُم َک َم‰‰الص
ِّ ب َعلَ ۡي ُک ُم َ ِوا ُكت‰‰ ۡ ُٰيٓـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمن
َّدةٌ ِّم ۡن‰تؕ فَ َم ۡن َكانَ ِم ۡن ُكمۡ َّم ِر ۡيضًا اَ ۡو ع َٰلى َسفَ ٍر فَ ِع ٍ ﴾ اَيَّا ًما َّم ۡع ُد ۡو ٰد2:183﴿ َتَتَّقُ ۡو ۙن
ٌر‰‰خَي ۡ خَرؕ َو َعلَى الَّ ِذ ۡينَ يُ ِط ۡيقُ ۡونَهٗ ِف ۡديَةٌ طَ َعا ُم ِم ۡس ِك ۡي ٍنؕ فَ َم ۡن تَطَ َّو َع خ َۡيرًا فَهُ َو َ ُاَي ٍَّام ا
2:184﴿ َخَي ٌر لَّـ ُکمۡ اِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ت َۡعلَ ُم ۡون ۡ ﴾لَّهٗ ؕ َواَ ۡن تَص ُۡو ُم ۡوا
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu…” (Al-Baqarah:183-
184).
ا ِن‰‰َدَى َو ْالفُرْ ق‰ ُت ِّمنَ ْاله ُ ْنز َل فِي ِه ْالقُر ُ َ ضانَ الَّ ِذ
ٍ اس َوبَيِّنَاِ َّآن هُدًى لِّلن ِ يأ َ َش ْه ُر َر َم
َّدةٌ ِّم ْن أَي ٍَّام‰فَ ٍر فَ ِع‰ ا أَوْ َعلَى َس‰ يض ً انَ َم ِر‰‰ص ْمهُ َو َمن َك ُ َفَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي
ُوا هّللا َ َعلَى ْ ُأُخ ََر ي ُِري ُد هّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َوالَ ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر َولِتُ ْك ِمل
ْ َّدةَ َولِتُ َكبِّر‰‰وا ْال ِع
ََما هَدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) pada bulan Ramadhan, bulan
diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat
tinggalnya) dibulan itu maka hendaklah ia berpuasa…” (Al-Baqarah:185).
b. Puasa Sunnah
Di dalam Islam ibadah-ibadah yang dituntut utnuk dilakukan oleh
setiap muslim itu ada dua tingkat, yaitu: pertama tingkat wajib(fardhu) dan
kedua tingkat sunnah (tathawwu).
o Pertama Tingkat Fardhu,yaitu ibadah yang wajib dijalankan oleh setiap
orang yang mukallaf (sudah cukup umur dan berakal sehat), tidak boleh ada
malas atau enggan menunaikannya. Kalau ada yang malas atau enggan
menunaikkannya maka ia akan mendapatkan celaan dan dosa di dunia serta
azab di akhirat. Ini merupakan batas minimal yang harus dilakukan oleh
seorang muslim. Allah swt. Berfirman,
Diantara dampak positif dari ibadah yang bersifat sunnah ini adalah bias
menutupi kekurangan dari ibadah-ibadah wajib. Dalam sebuah hadits disebutkan
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 475-476
fiqih | 4
bahwa pada hari kiamat nanti setiap manusia akan dihitung (hisab) amalnya dan
yang pertama kali dihitung adalah shalat wajib yang merupakan hak Allah
dimana jika shalat wajibnya telah ditunaikan dengan sempurna maka ia
beruntung. Tetapi, jika shalat wajibnya tidak ditunaikan dengan sempurna maka
akan ditanyakan tentang shalat-shalat sunnahnya untuk menutupi kekurangan-
kekurangan dari shalat-shlat wajibnya.
fiqih | 5
”puasa hari arafah, aku berharap Allah ta’ala menghapuskan dosa-dosaku
selama satu tahun yang akan datang dan satu tahun yang sudah berlalu.”5
Uqbah bin Amir r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
”hari arafah, hari nahar, dan hari-hari tasyrik adalah hari-hari raya kami
umat islam. Hari-hari itu untuk makan dan minum.”
Abu Hurairah r.a. berkata, ”Rasulullah melarang puasa arafah ketika
seorang berada di arafah.”
Ummu Fadhl meriwayatkan, “para sahabat ragu mengenai apakah Rasulullah
berpuasa pada hari arafah atau tidak. Maka, aku mengirim susu kepada beliau
dan beliau meminumnya ketika sedang berkhutbah dihadapan banyak
manusia di arafah.”
5
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 183-192.
6
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 193.
7
Ibid, 194-195.
fiqih | 6
Pada bulan Sya’ban kita disunnahkan untuk memperbanyak puasa.
Selain dimaksudkan sebagai persiapan untuk menghadapi bulan Ramadhan,
memperbanyak puasa dibulan Sya’ban ini juga mengikuti jejak perbuatan
Rasulullah saw. Dalam sebuah Hadits Aisyah ra. Mengatakan,
“Rasulullah saw. Tidak pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak dari
pada di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa hampir sepanjang bulan.”
Dalam riwayat lain dikatakan,
“beliau tidak pernah puasa dalam satu bulan sebagaimana puasa pada bulan
sya’ban. Beliau puasa (dibulan Sya’ban) sepenuhnya kecuali beberapa hari
saja, bahkan nyaris sepenuhnya.”8
Usamah bin Zaid r.a.berkata, “aku berkata kepada Rasulullah, ‘wahai
Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa (dengan sungguh-sungguh)
seperti engkau berpuasa pada bulan sya’ban. Beliau menjawab,
“itu adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia diantara bulan Rajab dan
Ramadhan. Ia adalah bulan yang didalamnya amal-ama manusia dinaikkan
kepada tuhan semesta alam. Maka, aku ingin agar amalku dinaikkan
sementara aku dalam keadaan berpuasa.”
Mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan puasa karena
anggapan bahwa hari tersebut lebih utama dari pada hari-hari lainnya adalah
suatu hal yang tidak didukung oleh dalil yang benar.9
Begitu juga Ibnuda Ummu Salamah ra. Dalam sebuah hadits beliau
menagatakan,
”Rasulullah saw. Tidak pernah puasa sunnah sebulan penuh kecuali pada
bulan sya’ban, beliau menyambungnya dengan puasa Ramadhan.”
Akan tetapi, riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw.
Tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Bias
jadi yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Tidak pernah menekuni dan tetap
mengerjakan puasa secara teratur setiap hari selama sebulan penuh kecuali
pada bulan Ramadhan. Adapun di luar Ramadhan, kadang-kadang beliau
puasa sebulan penuh, kadang-kadang tidak puasa pada sebagiannya.10
8
Ibid, 198-199.
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 484.
10
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 199.
fiqih | 7
“sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama
yang lurus. Maka, jangan kamu menganiaya diri dalam bulan yang empat
ini.” ( At-Taubah:36)
Mengenai dilaporkannya amal kepada Allah swt. Pada dua hari tersebut
terdapat sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Pada hari senin dan kamis pintu-pintu surge dibuka. Maka, diampuni
segala dosa hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun,
kecuali seorang laki-laki yang bertikai dengan saudaranya. Maka, dikatakan,
“lihat dulu dua orang ini, sampai mereka berdamai.”13
Sabda Rasulullah saw. Itu dibenarkan oleh Allah swt. Dengan menurunkan
firman-Nya,
َون‰ۡ ‰َم ۡن َجٓا َء بِ ۡال َح َسنَ ِة فَلَهٗ ع َۡش ُر اَمۡ ثَالِهَا ۚ َو َم ۡن َجٓا َء بِال َّسيِّئَ ِة فَاَل ي ُۡج ٰ ٓزى اِاَّل ِم ۡثلَهَا َوهُمۡ اَل ي ُۡظلَ ُم
6:160﴿
12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 484.
13
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 204.
14
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 485.
fiqih | 9
”barang siapa yang datang kepada-Ku dengan membawa satu kebaikan
maka akan aku lipat-gandakan pahalanya masing-masing sepuluh kali
lipat.” (Al-An’am:160).15
Tetapi hal itu tidak berlaku jika antara tamu dan tuan rumah sudah
saling mengerti, dan perasaan tidak enak itu tidak ada lagi maka puasanya
tetap dianjurkan untuk dilanjutkan. Meskipun demikian, ada udzur atau tidak,
orang yang menjalani puasa sunnah tetap berkuasa atas dirinya sendiri
sehingga tidak ada masalah sekiranya dia membatalkan puasanya, sepanjang
itu memang bukan puasa wajib atau hal yang diwajibkan atas dirinya sendiri
dengan nadzar.
15
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Puasa (Jakarta Timur: AL-Itishom Cahaya Umat, 2014), 202.
16
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 205.
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 485.
fiqih | 10
Diriwayatkan juga dari Abu Sa’id al-Khudri ra. Dia berkata, “Aku
memasak makanan buat Rasulullah saw. Maka, ketika aku hidangkan,
seorang laki-laki berkata, ‘aku puasa’, maka Rasulullah saw. Bersabda,
“Saudaramu mengajakmu (makan), tetapi kamu membebani diri (dengan
puasa). Berbukalah, dan gantikan puasamu hari ini pada hari yang lain, jika
kamu mau!”. 18
1. Imsak
Yang dimaksud dengan imsak disini adalah menahan diri dari hasrat untuk
makan dan minum serta berhubungan suami-isteri berikut segala hal yang
termasuk dalam hukum-hukumnya sepanjang hari puasa.
Termasuk dalam hukum makan dan minum disini adalah segala hasrat dan
keinginan yang biasa dilakukan orang, meskipun dalam istilah sehari-hari tidak
disebut makan atau minum, seperti merokok, dimana sebagian orang
menganggap lebih penting dari makan dan minum, baik itu berupa sigaret,
syisyah (rokok khas Arab), permen yang dikunyah, uap yang dihisap, dan
sebagainya, semua itu bedasarkan ijma ulama diseluruh dunia dilarang dalam
puasa. Sebab semua itu lebih berat untuk ditinggalkan oleh hasrat manusia
sehingga syariat memerintahkan untuk menahannya dalam puasa.
Termasuk dalam hukum makan dan minum juga adalah segala aktivitas
menelan benda apapun dari luar mulut secara sengaja, meskipun itu tidak
menimbulkan rasa lezat, seperti obat-obatan, baik jenis obat telan maupun hisap.
Ini juga sudah menjadi ijma seluruh ulama.
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Depok: Fathan Media Prima, 2015), 207-208.
fiqih | 11
2. Niat
Niat dalam puasa, sebagaimana dalam sebuah ibadah, adlah fardhu yang
harus ada. Yang dimaksud dengan niat disini adalah bahwa dia menunaikan
ibadah dalam rangka memenuhi perintah Allah swt. Dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
Dasar diwajibkannya niat adalah firman Allah swt.,
هّٰللا
َد ِّۡين‰ص ۡينَ لَـهُ ال ِ ِ َو َم ۤا اُ ِمر ُۡۤوا اِاَّل لِيَ ۡعبُ ُدوا َ ُم ۡخل ۙ َ ٰلوة‰الص
َّ وا‰‰ٓا َء َويُقِ ۡي ُم‰‰َُحنَف
ؕ ك ِد ۡي ُن ۡالقَيِّ َم ِة
َ ِ﴿ َوي ُۡؤتُوا ال َّز ٰكوةَ َو ٰذل
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-
Nya semata-mata karena (menjalankan) agama”. (QS. Al-Bayyinah[98]:5)19
fiqih | 14
“ Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa”(Q.S Al-Baqarah).
Berpuasalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah
swt. Allah telah memberikan kita banyak kemudahan (keringanan) untuk
mengerjakan ibadah puasa ini, jadi jika kita berpuasa sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah kami sebutkan diatas, kita sendiri akan merasakan betapa
indahnya berpuasa dan betapa banyak faedah dan manfaat yang kita dapatkan
dari puasa ini.
Daftar Pustaka
fiqih | 16