Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KONSEP POPULASI TERLANTAR, MISKIN DAN TUNAWISMA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas 2
Dosen Pengajar: Ns. Dely Maria P, M.Kep., Sp., Kep.Kom

Disusun oleh:
Eva Paridah (17.156.01.11.010)
Hilyah Rahmaniyyah Uzhma (17.156.01.11.014)
Ive Hana Ruth Sitepu (17.156.01.11.018)
Magdalena Afilarianty Wonga (17.156.01.11.020)
Naomi Kristi Basauli (17.156.01.11.023)
Reni Lumora Pasaribu (17.156.01.11.027)
Rosdianty Marvia Dewi (17.156.01.11.029)
Wina Sulistia Fitriani (17.156.01.11.041)

Kelompok 5
4A / S1 Ilmu Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES MEDISTRA INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya maka kami
kelompok 5 dapat  menyelesaikan penyusunan makalah tentang Konsep Populasi Terlantar,
Miskin Dan Tunawisma.
Adapun penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Komunitas 2 di STIKes Medistra Indonesia.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini dan selanjutnya.

Bekasi, November 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  i

DAFTAR ISI  ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori
B. Asuhan Keperawatan
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004).

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia ini. Bukan tidak
mungkin banyak permasalahan mengenai kehidupan masyarakat indonesia yang harus
segera mendapat perhatian. Dan masalah – masalah itu salah satunya adalah banyaknya
tunawisma atau homeless atau dalam konotasi negative disebut dengan gelandangan
terutama di kota – kota besar. Yang menyebabkan kota terlihat kumuh dan kotor serta
menimbulkan berbagai  penyakit dan bencana   alam seperti banjir.

Kondisi geografis indonesia yang berpulau –  pulau, dan ketidakmerataan


penduduknya menyebabkan kemiskinan semakin tak terindahkan. Upaya  pemerintah  
dalam melakukan transmigrasi pun kurang berhasil, kebanyakan penduduk berpikiran
bahwa di kota –  kota besar mereka dapat merubah nasib dan mendapat pekerjaan yang
layak. Mereka berangkat dengan membawa keahlian / keterampilan yang tidak biasa
digunakan di kota misalnya keahlian  bertani. Alhasil, kota besar menjadi sesak menjadi
sesak oleh masyarakat tanpa keahlian yang tak dibutuhkan.

Dalam mencukupi kebutuhannya, penduduk kota tanpa keahlian tersebut   menjadi


pengemis, pemulung, atau bahkan melakukan melakukan aksi kriminalitas seperti
mencopet, merampok, dsb. Mereka berpindah –  pindah dan tinggal dimanapun tempat
yang dapat mereka tinggali. Seperti emperan toko, kolong jembatan, taman umum,
pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk
tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik
pribadi, mereka sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium,
lembaran.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaiamana konsep teori populasi terlantar, miskin dan tunawisma?


2. Bagaimana asuhan keperawatan komunitas berdasarkan konsep populasi
terlantar, miskin dan tunawisma?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep teori populasi terlantar, miskin dan tunawisma


2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan komunitas berdasarkan konsep teori
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP TEORI
Populasi berasal dari Bahasa latin yaitu populous (rakyat,berarti penduduk).  jadi
populasi adalah kumpulan indivudu sejenis indivudu sejenis yang hidup pada suatu
daerah dan waktu tertentu.
Komunitas pada populasi terlantar, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup
dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam
masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di
wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Tuna Wisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan layak,
orang yang tidak mempunyai mata pencaharian yang tetap dan layak atau orang yang
berpindah-pindah tempat tinggalnya dan berkeliaran di kota, makan dan minum
disembarangan tempat. Masalah sosial seperti pada populasi terlantar, miskin dan tuna
wisma merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam
kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang
dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus
urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk.
Terbatasnya lapangan pekerjaan, pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka
banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dan terpaksa menjadi
gelandangan.
Gelandangan atau tunawisma sering dikategorikan sebagai kelompok yang terisolasi,
terpinggirkan, tidak beruntung dan kelompok rentan. Definisi pemerintah tentang
gelandangan atau tuna wisma yang dapat diterima secara luas  pada saat sekarang adalah
orang yang kekurangan suatu tempat tinggal permanen pada malam hari, atau yang
memiliki tempat tinggal hanya pada saat malam hari sebagai tempat bermukim sementara
seperti pada fasilitas publik atau tempat –  tempat pribadi / swasta yang tidak dirancang
sebagai akomodasi tempat tidur bagi manusia (Situmorang, (Situmorang, 2008 ).
1. KETERLANTARAN
Keterlantaran Berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2001 tentang
perlindungan  perlindungan anak, yang dimaksud dimaksud dengan anak terlantar
terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik,
mental, spiritual dan  juga sosial.
Anak jalanan merupakan gejala sosial yang muncul akibat krisis pada berbagai
bidang dan menjadi menjadi salah satu contoh nyata dari sekian banyak  populasi  
terlantar yang ada di Indonesia. Mereka anak-anak dibawah umur 16 tahun yang
sebagian besar hidupnya di jalanan untuk mencari uang.

2. KEMISKINAN
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan
kesehatan.
Secara harafiah (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kemiskinan adalah tidak
berharta benda, tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup standard dan tingkaat
penghasilan rendah.
Kriteria miskin menurut standar Badan Pusat Statistik (Isdijo, W., 2016) adalah
sebagai berikut :
a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang  
b. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
c. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok
tanpa diplester
d. Tidak memiliki fasilitas BAB/ bersama-sama dengan rumah tangga lain
e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/ sungai/ air hujan
g. Behan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
h. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu
i. Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun  
j. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
l. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500
m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000, -  per bulan
m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat
SD
n. Tidak memiliki tabunngan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000, - seperti sepeda motor, atau barang modal lainnya
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dinyatakan miskin.

3. TUNAWISMA/ GELANDANGAN/ TERLANTAR


a. Definisi  
Homeless  atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk
tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah
dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari
semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak
memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan
profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena
kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan
lain menjadi tunawisma adalah kehilangan  pekerjaan, ditinggal oleh keluarga,
kekerasan dalam rumah tangga,  pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu
apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke  pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma


1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan  banyaknya
gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa
seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang
layak, serta menjadikan mengemis sebagai  pekerjaan. Ketidakmampuan
seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya
dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik
dengan  pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap
bertahan hidup. Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang
lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang
menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.
2) Rendah Tingginya Pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap  persaingan didunia kerja.
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk
mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan dan  pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi
mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan
perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga
yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga  broken home membuat
mereka merasa kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga
mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang
lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun,
membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan
mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan
alternatif terakhir mereka untuk  bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani,
2012) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6) Rendahnya Keterampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan
seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali
salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk
dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam
mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang
membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a) Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan
mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta minta. Dalam hal ini,
harga diri bukanlah sesuatu yang berharga  bagi mereka. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b) Sikap pasrah pada nasib
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada
kemauan untuk melakuan perubahan.
c) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak
sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai  pengemis. Momen ini
digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah.
Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama,
terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi
kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan
membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari
peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih
memperburuk keadaan. Tidak adanya  potensi yang alam sedia untuk diolah
membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan
membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi
pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil
meminta-minta
10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh
pemerintah hanya setengah hati. Selama ini  penanganan yang telah nyata
dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu
dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyatanya, penanganan ini tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali
lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang
dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk
mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di
panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan
terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan  pengemis sehingga ia tidak
perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus
mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.

c. Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah Kesehatan


Pada Tunawisma
1) Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi  
b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak
layak
c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik
2) Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin
menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial
mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran  jender berbeda dalam
konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3) Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan  pendidikan.
Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari
kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya  biasanya anak laki-
laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang
berpengaruh tetapi juga jender  berpengaruh pula terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang
berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap
masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai
pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri
sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan
masyarakat.
4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita
masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak
kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap
tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat
mengawinkan anaknya agar lepas tanggung  jawabnya dan diserahkan anak
wanita tersebut kepada suaminya. Ini  berarti wanita muda hamil mempunyai
resiko tinggi pada saat  persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua
kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain,
mereka  putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik
dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks
bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang
melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan
rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk
membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu
karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
(P. Agus. A., 2015)
7) Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan
terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan,
penganiyaan secara seksual, pemerkosaan,  penjerumusan anak dalam
prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya
Riau dan Batam.

d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma


1) Gangguan Fisik Akut Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan
fisik akut seperti:
a) Gangguan fisik akut :
 ISPA (infeks sistem pernfasan atas)
 Trauma-cedera ringan hingga berat
 Penyakit kulit
 TBC
 Terserang kutu dan tungau
 Gizi buruk/ kekurangan gizi
b) Gangguan fisik kronik :
 Kecanduan alkohol dan zat lain
 Hipertensi
 Gangguan pencernaan
 Gangguan sistem saraf tepi
 Masalah gigi
 Diabetes melitus
 HIV/AIDS
2) Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak
Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
a) Kegelisahan
b) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
c) Masalah bahasa dan berbicara
d) Penyakit pernafasan atas dan asma
e) Infeksi telinga
f) Gangguan pencernaan/mata
g) Trauma
h) Terserang kutu rambut
3) Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan
a) Perawatan pre-natal yang kurang baik
b) Kurang nutrisi
c) Komplikasi kehamilan
4) Masalah kesehatan mental
a) Skizofrenia
b) Gangguan bipolar
c) Depresi
d) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
e) Kepribadian yang kacau

e. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma)


1) Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang
tua dan lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi  pada tunawisma
baik dari segi kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini
adalah memberikan asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami
masalah kesehatan secara holistik atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya  pendidikan
mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat
menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan
gaya hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah
perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada
tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah,
pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan
kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan
dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran  perawat
yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan
pembuatan keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan
bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya.
Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan
mereka terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik
dan emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu mereka
untuk beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)


1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap
berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya  bantuan
publik, mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan  permohonan untuk
mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar
tidak terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada
tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala
kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit
mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak
memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan
mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak
yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder
ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
menjalani medikasi dan regimen terapi.  
b) Obat –  obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat
penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai
yang ada di tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit
nutrisi.
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan
usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor –  faktor yang menghambat para tunawisma agar
tetap mendapatkan pelayanan Kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah
pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
1. Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat
penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para
gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki
semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam
dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai  potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam
memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para
gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan
mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada
juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini,
dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua
gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
2. Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,
terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu  pemeriksaan kesehatan
bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan
dimulai dengan penyadaran tentang  pentingnya kesehatan badan atau
jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan
memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang
sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis
(gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup
sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak
diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
3. Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1
bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib
lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga  para gelandangan dan
pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di
jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam
proses bimbingan ketertiban ini  biasanya pihak dinas sosial
mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti  pada saat pertama mengikuti wejangan dari
pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat
antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada
dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat
berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
4. Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan
pengemis

4. PREVALENSI POPULASI TERLANTAR, MISKIN, DAN TUNAWISMA


Menentukan prevalensi populasi terlantar, miskin, dan tunawisma membutuhkan
tidak hanya definisi tentang siapa yang dihitung tetapi juga cara pengumpulan data.
Dari karakteristik populasi dan subpopulasi yang ada tentang tunawisma, sulit untuk
memperoleh hitungan akurat. Upaya untuk menghitung tunawisma telah berubah
selama tiga dekade terakhir.
Kementrian sosial (2015) menyatakan jumlah anak miskin Indonesia sebanyak 44
juta dan yang terlantar sebnyak 4,1 juta (4,8% dari jumlah anak di Indonesia) dan
jumlah balita terlantar 1,2 juta. Berita Resmi Statistik pada Badan Pusat Statistik
(2017) menyatakan  bahwa:  bahwa: jumlah penduduk penduduk miskin di Indonesia
Indonesia pada Maret 2017 mencapai mencapai 27,77 juta (10,64%) dari keseluruhan
penduduk. Presentase penduduk miskin didaerah perkotaan pada bulan Maret 2017
sebanyak 7,72%, sementara presentase penduduk miskin di daerah perdesaan 13.93%.
B. ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2001 tentang perlindungan anak,
yang dimaksud dengan anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar baik fisik, menttal, spiritual dan juga sosial.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,  pendidikan dan keseh
pendidikan dan kesehatan.
Tunawisma adalah individu yang "tidak memiliki tempat tinggal pasti, tetap dan
adekuat pada malam hari".
Faktor perilaku dan psikososial yang menyebabkan masalah kesehatan pada
tunawisma antara lain kemiskinan, antara lain mengakibatkan, gender, pendidikan yang
rendah, kawin muda, seks bebas, penggunaan drugs, eksploitasi seksual

B. Saran
Dari makalah ini semoga dapat diambil manfaat untuk penulis dan  pembaca.
Semoga pembaca dapat mengambil beberapa hal yang penting dalam makalah ini seperti
memahami lebih definisi dari populasi terlantar, miskin dan tunawisma, mengetahui
prevalensinya. Dari makalah ini pula penulis mengalami banyak kendala. Maka banyak
kesalahan yang dibuat oleh penulis. Oleh karena itu penulis membutuhkan saran dari
pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta :
EGC
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi.
 Jakarta : Salemba Medika Riyadi.
Smeltzer, & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Jakarta : EGC
R, Fallen. (2010). Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas.  Yogyakarta: Nuha Medika
Wulandari, Sri. Dkk. 2017.  Asuhan Keperawatan Pada Agregat Dalam  Komunitas
Populasi Rentan : Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar Di akses
tanggal 27 November 2020
Darmawan, Lili. Dkk. 2017. Penyakit Mental, Kecacatan Dan Populasi Terlantar Di akses
tanggal 27 November 2020
Iman B, Aisiyah. Dkk. 2017. Askep Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi  Rentan
(Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar) Di akses tanggal 27
November 2020

Anda mungkin juga menyukai