Anda di halaman 1dari 12

Kalâm dalam Sejarah Islam1

Oleh Ahmad Barizi

Sejarah kalâm dalam Islam mulai digelar sejak wafatnya Nabi Saw. Ketika
Nabi wafat, perselisihan meruncing sangat keras (isytadda fîhâ al-khilâf) di kalangan
para sahabat soal kepemimpinan yang pantas menggantikan beliau. Golongan
Anshâ r bersikeras bahwa yang pantas menggantikan posisi kepemimpinan pasca-
Nabi adalah dari Anshâ r, karena mereka telah berjasa menolong sekaligus berimana
kepada seruan Nabi (nasharahû al-anshâr wa ‘âmanû bihî), meninggikan agamanya
(a’azzû dînahû), mencegah dan melindungi setiap bahaya yang bakal menimpanya
(mana’ûhu wa shahabhû mimman arâda bihim sû’an). Sedang kaum Muhâ jirîn
berdalih bahwa merekalah yang paling pantas, karena cukup lama bersama Nabi,
golongan pertama yang beriman kepadanya (awwal man ‘âmana bihî), dan
senantiasa dalam kebersamaan dengan Nabi di saat suka-duka. Sementara Ali r.a.,
tdiak hadir di saat kontestasi pemilihan kepemimpinan yang digelar di Saqîfah Banî
Sâ’adah itu, yang kemudian menyepakati melantik Abû Bakar r.a. menjadi khalifah.
Ketidakhadiran Ali inilah kemudian muncul perbedaan-perbedaan sekaligus
interpretasi politis yang beragam.1
Jika pada masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, Ali diam dan tidak
banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik (sakanat wa khamadat). Tetapi
kala Usman berkuasa, Ali dan kawan-kawannya mulai melontarkan banyak kritik
atas kepemimpinan Usman yang rasis. Rasisme Usman makin menonjol manakala
Marwâ n ibn al-Hakam al-Amawî diangkat menjadi sekretaris dan bendahara, yang
dalam gerak politiknya banyak melakukan praktik-praktik politik kotor seperti
mengubur Islam yang telah dibangun Abu Bakar dan Umar.2 Bahkan, selama
pemerinatahan Usman (644-656) ketegangan yang tidak pernah dirasakan di dalam
kegencaran ekspansi di bawah Umar meningkat dan mulai terbuka. 3
Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat menjadi khalîfah yang
keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula
menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Makkah yang mendapat
sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari Aisyah, Thalhah, dan Zubair ini dipatahkan Ali
dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 yang dikenal dengan perang
Jamâl.4
Tantangan paling dahsyat datang dari Mu’âwiyah, Gubernur Damaskus dan
keluarga yang dekat bagi Usman. Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, ia tak
mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum
pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal
pembunuhan itu.5 Sampai akhirnya terjadi perang Shiffîn, yakni perang antara Ali
dan Mu’awiyah. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai yang menguntungkan
Mu’awiyah, yang dikenal dengan Tahkîm Kitâb Allâh. Qurrâ’ yang ada di pihak Ali
mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah
perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangakat dua
orang; ‘Amr ibn al-‘Â sh dari pihak Mu’awiyah dan Abû Mû sâ al-Asy’arî dari pihak Ali.
Arbitrase ini ditentang banyak kalangan. Hingga mereka pecah ke dalam tiga
golongan, yaitu Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah.6 Sebab, dalam kenyataan sejarah,
perdamaian itu hanyalah strategi dan rekayasa politik (khid’ah harbiyyah)
Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan dari Ali.7
1
Makalah dipresentasikan pada Kuliah Kedua “Teologi Islam” pada Program Studi SIAI PPs. UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, pada Sabtu, 21September 2013.
2

Jadi, pagelaran masalah kalâm telah mengemuka sejak abad pertama


hijriyah. Masalah-masalah teologis seperti hukuman dan status pembunuh, orang
berdosa besar, hubungan antara iman dan amal, siapa yang selamat, sifat al-Qur’an,
dan legitimasi otoritas politik, yang kesemuanya itu terkristalisasi ke dalam struktur
dan tema-tema kalâm, adalah telah muncul sejak abad itu.8 Lebih-lebih ketika Islam
bertemu Yunani, yakni ketika kaum Muslim giat menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah “bekas” peperangan, antara kekuatan Islam dan kekuatan Bizantium,
seperti Mesir, Suriah, dan Irak; dan kekuatan kerajaan Persia di Iran. Meski mereka
telah berada di bawah kekuasaan dan kekuatan Islam, tetapi mereka tetap pada
keyakinan dan agama sebelumnya, yaitu Yahudi dan Nasrani. Menurut Nasr, di
sanalah terjadi perdebatan-perdebatan kalâm dengan mengembangkan argumen-
argumen teologis dan filosofis untuk membela ajaran-ajaran keimanan masing-
masing, sehingga memaksa umat Islam untuk mengembangkan bangunan
konseptual mereka sendiri untuk melindungi dan membela Islam. 9
Universalisme Islam yang “lentur” membuat Islam cepat menyebar.
Penyebaran Islam yang cepat ini mengimplikasikan bermacam-macam aliran dan
mazhab dalam kalâm, seperti Kahwarij, Sy’iah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah,
Mu’tazilah, dan Asy’ariyah. Beberapa aliran dan mazhab kalâm inilah yang bakal
diurai di bawah ini, dengan fokus bahasan kepada: 1). Aliran dan mazhab kalâm yang
muncul karena persoalan politis dan persoalan teologis; 2). Sebab-sebab beberapa
aliran kalâm tidak bisa bertahan hidup dan menghilang; 3). Kelemahan-kelemahan
aliran kalâm (khususnya Mu’tazilah dan Asy’ariyah); dan 4). Relevansi studi ilmu
kalam untuk menghadapi tantangan zaman.

A. Aliran dan Mazhab Kalâm Yang Muncul Karena Persoalan Politis dan Non-
Politis

Sedikitnya ada dua kategori yang menandai munculnya aliran dan mazhab
kalâm yang berbeda-beda dalam konteks pengalaman historis masing-masing.
Pertama, aliran dan mazhab kalam yang muncul karena persoalan-persoalan pilitik.
Kedua, aliran dan mazhab kalam yang muncul bukan karena persoalan-persoalan
politik. Kedua aliran dan mazhab ini berkembang sesuai situasi dan kondisi
intelektual yang mengitarinya.
Aliran dan mazhab kalam yang awalnya lahir karena persoalan-persoalan
politik—beberapa di antaranya—adalah Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Secara tegas
Imâ m Muhammad Abû Zahrah, guru besar dan mantan rektor Universitas al-Azhar,
Mesir, dalam bukunya Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah mengidentifkasi ketiga
aliran kalam ini ke dalam ranah politik.10 Syi’ah, misalnya, yang secara etimologis
berarti “partai,” tegasnya partai Ali atau golongan Ali.11 Partai atau golongan ini telah
mengikat diri sejak Ali masih hidup, yaitu bahwa mereka akan menjadi “sahabat
orang-orang yang memerlakukan Ali sebagai sahabat, dan musuh bagi orang-orang
yang dimusuhinya.”
Dalam tradisi Arab, estafet kepemimpinan pasca Nabi Saw. wafat mestinya
diwariskan kepada Ali, selaku keluarga terdekat Nabi. Mereka (kaum Syi’ah)
berpandangan:
Inna al-imâmah laysat min al-mashâlih al-‘âmmah allatî tufawwadl ilâ nazhr
al-ummah, wa yata’ayyan al-qâ’im bi ta’yînihim, bal hiya rukn al-Dîn wa Qâ’idah
al-Islâm, wa lâ yajûz li nabiyyin ighfâluhâ, wa lâ tafwîdluhâ ilâ al-ummah, bal
wajib ‘alayh ta’yîn al-imâm lahum, wa yakûn ma’shûman min al-kabâ’ir wa al-
shaghâ’ir, wa inna ‘Alîy r.a. huwa alladzî ‘aynuhû shalawâtu Allâh wa salâmuhû
3

‘alayh, bi nushûsh yunqilûnaha wa yu’awwilûnahâ ‘alâ muqtadlâ mazhabihim lâ


ya’rifuhâ jahhân bidzdzah al-Sunnah wa lâ naqlah al-Syarî’ah, bal aktsaruhâ
mawdlû’ aw math’ûn fî tharîqihî, aw ba’îd ‘an walayâtihim al-fâsidah.12

Pernyataan teologis kaum Syi’ah (pendukung setia Ali) di atas


menggambarkan bahwa Ali adalah pewaris sah kepemimpinan pasca Nabi. Mereka
menginginkan bahwa seharusnya Nabi mewasiatkan kepemimpinannya kepada Ali.
Kepemimpinan Ali menjadi khalifah tidak perlu pemilu (fa ‘Alî laysa al-imâm bi al-
intikhâb), karena secara tradisi (bi tharîq al-Nashsh min Rasûl Allâh) Ali-lah paling
berhak memangku jabatan khalifah pasca Nabi. Hingga sistem pelimpahan
wewenang (washiyyah) ini mengemuka dan sekaligus menjadi pegangan pergantian
kepemimpinan di kalangan Syi’ah13
Syi’ah sebagai mazhab politik pertama dalam Islam mengemuka pada masa
akhir pemerintahan Usman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali.
Seperti diungkap di muka, jika pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar, Ali
dan pengikut-pengikutnya diam dan tidak banyak melontarkan kritik, maka pada
pemerintahan Usman dia banyak mengkritik dan melakukan manufer politik. Sejak
itulah mazhab politik Syi’ah mulai nampak.
Mazhab Syi’ah tumbuh dan berkembang di Irak karena beberapa sebab.
Pertama, Ali menjadikan Irak sebagai kediamannya menjadi khalifah. Di sana dia
bergaul dengan banyak orang yang memandangnya memiliki banyak kelebihan yang
membuat mereka menghargainya. Kedua, Irak merupakan tempat pertemuan
peradaban-peradaban kuno. Di sana terdapat berbagai pengetahuan Persia dan
Kaldan, bahkan filsafat Yunani dan Hindu pun masuk ke Irak. Berbagai peradaban
dan pemikiran itu bercampur di Irak, sehingga ia menjadi tempat tumbuhnya
berbagai golongan dalam Islam, khususnya yang berhubungan dengan filsafat. Itulah
sebabnya Syi’ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosofis yang telah beradaptasi
dengan alam pikiran Irak. Ketiga, Irak merupakan tempat tumbuhnya berbagai
kajian ilmiah serta penduduknya memiliki kecerdasan dan kemampuan penguasaan
ilmu pengetahuan.14
Meski memiliki tingkat fanatisme yang tinggi, tidak semua orang-orang
Syi’ah bersikap sama dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya. Sebagian
bersikap ekstrim dan sebagian lain bersikap moderat. Sikap moderat hanya terbatas
mengutamakan Ali atas semua sahabat, tidak mengkafirkan seseorang, dan tidak
mengkultuskan Ali hingga dipandang mengatasi semua manusia. Ibn Abî al-Hadîd,
misalnya, demikian Abû Zahrah, mengungkapkan:
“Golongan kami adalah golongan yang selamat, bersih, dan beruntung dalam
pengkultusan ini karena kami menempuh jalan yang lurus. Mereka mengatakan
bahwa Ali adalah makhluk yang paling utama di akhirat, paling tinggi tempatnya
di surga, dan paling utama di dunia, karena memiliki berbagai kelebihan dan
keistimewaan. Setiap orang yang memusuhi atau membencinya, maka ia menjadi
musuh Allah dan kekal di dalam neraka bersma orang kafir dan munafik kecuali
sudah jelas taubatnya serta mati dalam kepemimpinan Ali dan mencintainya.
Adapun para sahabat dari kalangan Muhajirin yang memegang imamah
sebelumnya, jika Ali mengingkari keimanan mereka serta membenci dan
memurkai perbuatan mereka—lebih-lebih jika ia telah mengangkat pedang
terhadap mereka atau mengajak mereka berkelahi dengannya—mereka itu
adalah orang-orang yang binasa. Hal itu sebagaimana jika Rasulullah dan
keluarganya murka. Pandangan ini didasarkan atas sabda Rasulullah, “Perangmu
adalah perangku, dan damaiku adalah damaimu. Ya Allah tolonglah orang yang
4

menolongnya, dan musuhilah orang yang memusuhinya,” dan sabdanya kepada


Ali, “Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang Mukmin, dan tidak ada yang
menbencimu kecuali orang munafik.” Akan tetapi, pada kenyatannya Ali merestu
keimaman dan membai’at mereka, menikahkan mereka, dan memakan harta
rampasan perang mereka. Karena itu, kami tidak melampaui tindakan dan
sesuatu yang dikenal berasal darinya. Ketika Ali berlepas diri dari Mu’awiyah,
kami pun berlepas diri darinya; ketika Ali melaknat Mu’awiyah, kami pun
melaknatnya; dan ketika ia menghukumi penduduk Syam dan orang-orang yang
bersma mereka dari kalangan sahabat lainnya, seperti ‘Amr ibn al-‘Â sh dan
anaknya, ‘Abdullah, sebagai orang-orang sesat, kami pun menghukumi mereka
demikian. Kesimpulannya, kami hanya menempatkan Ali dan Nabi Muhammad
pada tingkatan kenabian. Di samping semua itu, kami pun memberikan
kepadanya semua keutamaan yang sama antara keduanya. Kami juga tidak
mencela para pemuka sahabat yang tidak kami ketahui dengan jelas dan benar
bahwa Ali mencela mereka.”15

Tidak aneh bila mazhab Syi’ah pecah menjadi delapan, yaitu Sabâ’iyyah,
Ghurâ biyyah, Kaisâ niyyah, Zaidiyyah, Imiyyah Itsnâ ‘Asy’â riyyah (Imam Dua Belas),
Ismâ’îliyyah, Hakîmiyyah dan Druz, dan Nashîriiyah.16 Masing-masing pengikut
Syi’ah ini terdiri atas kelompok yang ekstrim (al-ghulât), moderat, dan liberal.
Sedangkan Mazhab Khawarij (Orang-orang yang keluar dari Ali) adalah
bermula dari terjadinya pemberontakan terhadap Ali yang dikibarkan Mu’awiyah.
Tahkîm, dengan mengangkat al-Qur’an sebagai sarana perdamaian antara Ali dan
Mu’awiyah, ditolak mereka dengan alasan bahwa ia hanyalah tipudaya politik
Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan khalifah. Mereka menolak tahkîm, karena
hukum Allah itu sudah jelas. Sedangkan tahkîm, mengandung unsur-unsur keraguan
(syakk) yang diduga bahwa keputusan-keputusan politik yang bakal dihasilkan pun
akan menjadi tidak jelas. Mazhab ini ditating pertama kali oleh tentara Ali yang
kebanyakan dari kabilah Tamîm.17
Dari persoalan politik inilah kemudian mengemuka persoalan-persoalan
teologis menyangkut status pembunuh Usman. Sebagai pembunuh, dia berdosa
besar telah membunuh Usman. Status dosa besar yang disandangkan kepada
seorang pembunuh ini kemudian meruncing ke persoalan kalâm (teologi), antara
mukmin dan kafir, masuk surga atau neraka, dan seterusnya. Bahkan berkembang
doktrin yang nampak kurang penting adalah, apakah mereka boleh menikahkan
wanita-wanita mukmin dengan laki-laki yang dianggap kafir, dan atau sebaliknya.
Diskusi-diskusi masalah teologis ini terus berjalan dalam rangka pengejawantahkan
doktrin-doktrin mereka. Dan yang paling menyita perhatian adalah diskusi mereka
berkenaan dengan definisi kâfir dan musyrik.
Doktrin Khawarij yang menyatakan bahwa seorang pendosa besar itu pasti
masuk neraka adalah doktrin teologis-politis yang dimaksudkan untuk menjaga
keutuhan kelompok (golongan). Sebab, jika ada seorang di antara mereka yang
masuk neraka maka secara teoritis akan membahayakan keutuhan kelompok
(golongan) secara keseluruhan). Karena itu, ahli surga yang dilekatkan kepada
Khawarij adalah strategi teologis-politik untuk mengokohkan kelompok (golongan)-
nya. Tak ayal bila strategi politik Khawarij adalah mengecam para pengikut yang
berlatarbelakang seperti itu (kepemimpinan kharismatis Ali), di mana ia menuduh
Ali ikut terlibat dalam usaha pembunuhan Usman.
Dus, jika dalam konteks politik Syi’ah dikenal dengan tradisi teokrasi dan
Khawarij dikenal dengan konsep demokrasi, maka Murji’ah memiliki logika
5

tersendiri. Sebagaimana diuraikan oleh Ibn’Asâ kir dalam menjelaskan logika mereka
adalah, “Sesungguhnya mereka (Syi’ah dan Khawarij) adalah orang-orang yang ragu-
ragu di mana mereka telah jatuh pada lembah peperangan. Semula mereka bersatu
dan tidak ada perselisihan. (Mereka kaum Murji’ah) berkata: “Kami tinggalkan
kalian, padahal masalah kalian itu hanya satu adanya. Di antara kalian tidak boleh
ada perselisihan, tetapi kami menyaksikan itu (perselisihan). Sebagian ada yang
menyatakan bahwa terbunuhnya Usman adalah dianiaya (mazhlûm), padahal dia
(Usman) telah berbuat adil terhadap sahabat-sahabatnya. Sedangkan sebagian yang
lain mengatakan bahwa sebenarnya Ali lebih berhak menggantikannya. Kami tahu
bahwa para sahabat Ali dapat dipercaya dan kami membenarkan akan hal itu.
Akhirnya, kami tidak bisa mengambil kebaikan dari kedua golongan itu, tidak pula
melaknatnya, dan tidak pula membuat kesaksian pada mereka. Kami kembalikan
semua urusan mereka itu kepada Allah, sampai Allah sendiri yang akan menghukum
mereka kelak.”18
Jadi golongan Murji’ah ini muncul di tengah-tengah memuncaknya
perdebatan mengenai pelaku dosa besar; yang diperselisihkan oleh golongan Syi’ah
dan Khawarij. Pola sikap “tidak mengkaji perbedaan pendapat” pada mereka oleh
Murji’ah dan menyerahkan prsoalan pendosa besar kepada Allah di hari kiamat
kelak inilah dikenal dengan golongan yang menempuh pola sikap menangguhkan
persoalan (arja’a, sebagai asal kata dari Murji’ah). Pola sikap ini kiranya yang terbaik
bagi mereka, karena dengannya mungkin saja orang itu (pendosa besar) telah
diampuni. Di sini berarti dosa tidak memengaruhi apalagi membahayakan iman.
Tokoh-tokoh penting dalam barisan Murji’ah adalah Sa’ad Ibn Abî Waqash, Abû
Bakrah (perawi hadis), ‘Abdullâ h ibn ‘Umar, dan ‘Imrâ n ibn al-Husain.
Berbeda dengan ketiga aliran atau mazhab kalam di atas, yang lahir karena
situasi politik yang mendesak, adalah Mu’tazilah. Mu’tazilah lahir karena diskusi
murni teologis yang memanas antara seorang murid dan guru, yaitu Wâ shil ibn ‘Athâ’
(w. 131/749) dan Hasan al-Bashrî (w. 110/728).19 Menurut tradisi Sunni yang
umumnya diterima, Washil memisahkan diri (i’tazala) dari kelompok Hasan al-
Bashri, sekalipun banyak orientalis yang mengingkari hal ini dan mengemukakan
dugaan-dugaan yang lain. Goldziher, misalnya, berpendapat bahwa nama tersebut
(akar kata bahasa Arabnya berarti “absen dari,” “menjadi netralis,” “berada di sisi”)
menunjuk kepada sifat mereka yang saleh dan tak suka ikut campur dalam
pertentangan-pertentangan pendapat.20 “Sikap netralis” atau “berada di sisi” bagi
Mu’tazilah ini sedikitnya bisa dibaca pada doktrin teologisnya yang dikenal dengan
“posisi tengah” (al-mazilah bayn al-manziltayn).
Doktrin teologi Mu’tazilah dikenal dengan Ushûl al-Khamsah atau pancasila
Mu’tazilah, yaitu pengesaan Tuhan (tawhîd), keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman
(al-wa’d wa al-wa’îd), posisi tengah (al-mazilah bayn al-manziltayn), dan menyruh
berbuat baik dan melarang kemungkaran (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-
munkar). Kecuali itu, Mu’tazilah populer dengan doktrin kebebasan berkehendak
dan berbuat (freedom) bagi manusia serta bertanggungjawab atas semua usaha yang
dilakukan.
Ciri-ciri kalam Mu’tazilah adalah rasional dengan: Pertama, kedudukan akal
tinggi atau bahkan lebih tinggi dari arti harfiah teks al-Qur’an. Artinya, kaum
Mu’tazilah tidak mau tunduk kepada arti tekstual wahyu yang tidak sesuai dengan
pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiahnya dan mengalihkan
kepada arti majazinya. Mereka dikenal banyak menggunakan takwil dalam
memahami wahyu.
6

Kedua, akal menunjukkan kekuatan manusia. Maka akal yang kuat


menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Yaitu manusia yang
mempunyai dan menentukan kebebasannya sendiri dalam berkehendak dan
bertindak. Karena itu, aliran atau mazhab ini dikenal dengan/mirip Qadariyah, atau
dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang mengimplikasikan kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam pemikiran maupun dalam perbuatan.
Ketiga, menekankan konsep keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan ini adalah titik
sentral pemikiran teologi rasional Mu’tazilah. Konsep keadilan Tuhan ini
mengimplikasikan adanya hukum alam pada ciptaan Tuhan. Yang dalam al-Qur’an
dikenal dengan istilah Sunnatullâh. Bahwa alam ini berjalan menurut peraturan
tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia.
Jelasnya, teologi rasional Mu’tazilah ini dengan: keyakinan akan kemuliaan
akal, kebebasan manusia, dan hukum alam yang telah membawa kepada
keberlanjutan (sustainability) filsafat dan ilmu (sains) sepanjang sejarah pemikiran
Islam. Sebab, teologi rasional Mu’tazilah inilah yang paling banyak mengundang
diskusi kalam bagi teolog dan ulama.
Selain Mu’tazilah adalah Asy’ariyah. Paham Asy’ariyah ditating kali pertama
oleh Abû al-Hasan al-Asy’arî (w. 330/942). Mirip lahirnya Mu’tazilah, paham
Asy’ariyah muncul ketika—dengan dialektika sendiri—Abû al-Hasan al-Asy’arî tidak
sepakat dengan gurunya yang Mu’tazilî, al-Juba’î, khususnya mengenai konsep
keadilan Tuhan.21 Banyak perbedaan yang terjadi antara murid dan guru ini. Soal
keesaan Tuhan, misalnya, jika al-Juba’i (guru Mu’tazilah) menafikan sifat-sifat Tuhan
karena akan menimbulkan pengertian antropomorfisme; maka sang murid (al-
Asy’arî, pelopor paham Asy’ariyah) justru sebaliknya bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat yang ril dan abadi, tapi ia terjaga dari antropomorfisme. 22
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Mu’tazilah dan Asy’ariyah,
eduanya lahir karena dan oleh perdebatan-perdebatan teologis yang sangat filosofis
di majelis diskusi yang terkristalisasi dalam struktur kalâm (teologi). Kedua paham
ini lahir bukan karena peristiwa atau desakan politik yang menghimpit, tetapi murni
karena persoalan-persoalan teologis yang diketengahkan dalam forum diskusi.

B. Sebab-sebab Aliran Kalâm Tidak Bertahan Hidup dan Menghilang


Cukup banyak aliran kalâm pernah mengemuka alam Islam. Di antaranya adalah
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Khasywiyah,
dan Maturidiyah. Semua aliran kalam ini pernah mewarnai sejarah pemikiran Islam
di masa lalu. Tetapi kemudian surut dan, yang paling bertahan adalah aliran besar,
yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan aliran-aliran kalam di atas pudar.
Pertama, teologi (kalam) yang dibahas jauh dari dunia praktis, dengan problematika
kemanusiaan yang terus berkembang. Dengan kata lain, teologi yang dipegangi telah
dan sudah terasa steril dan mandul. Artinya, konsepsi teologisnya tidak lagi
membuahkan elan vital (gairah hidup) dan tidak melahirkan inner force (kekuatan
batin), moral maupun spiritual, yang membuat manusia bergairah dalam aksi untuk
membebaskan diri dan masyarakat sekitar dari segala bentuk kemusyrikan.
Kedua, aliran kalam itu tidak menyelenggarakan sekolah khusus yang mampu
mentransmisikan ajaran kalam yang dipeganginya. Terputusnya pengikut adalah
satu penyebab utama pudarnya suatu aliran atau mazhab. Masyarakat sesudahnya
kemudian menjadi “buta” mengenai suatu aliran atau mazhab yang pernah muncul;
apa visi dan misi aliran itu? Bagaimana bentuk aliran itu seharusnya dikembangkan?
Kepada siapa saja sejatinya aliran atau mazhab itu didakwahkan? Siapa yang paling
7

otoritatif mengembangkan aliran atau mazhab itu? Semua menjadi tidak jelas dan
akhirnya menghilang.
Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah dukungan politik penguasa. Suatu
aliran atau mazhab akan berkembang dan bertahan secara kokoh manakala
didukung oleh otoirtas politik (penguasa). Mu’tazilah, misalnya, cukup berjaya
ketika pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Kasus Indonesia, misalnya,
ketika Gus Dur menjadi presiden maka organisasi sosial-keagamaan NU yang nota-
bene beraliran Sunni banyak digemari.
Kecuali itu, mandulnya suatu pemikiran atau aliran biasanya juga disebabkan
oleh gemuruh pemikiran yang datang belakangan mampu membenam sampai ke
akar-akarnya. Situasi politik dan ekonomi serta budaya kiranya menjadi faktor
penentu berkembang dan tidaknya sutau aliran atau paham keagamaan pada
masyarakat.

C. Beberapa Kelemahan Aliran Kalâm (Mu’tazilah dan Asy’ariyah)


Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan aliran kalam, khususnya Mu’tazilah,
kiranya perlu diurai kembali kisah perdebatan Abû al-Hasan al-Asy’ari (penggagas
aliran Asy;airyah) dan al-Juba’î (guru Mu’tazilah). Menurut catatan sejarah
pemikiran kalam dalam Islam, dikatakan bahwa suatu ketika, al-Asy’ari bertanya
kepada guru besarnya, al-Juba’î, yang adalah teolog Mu’tazilah terkemuka pada
zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang sama-sama masuk
surga karena imannya. Tapi, sesuai dengan keadilan tuhan dalam persepsi
Mu’tazilah, orang yang mati dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi
dibanding kedudukan si anak. “Mengapa harus begitu?” tanya al-Asy’ari. “Karena
yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si anak belum,” jawab al-Juba’i.
“Kenapa harus terjadi si anak tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat
kebaikan seperti temannya yang dewasa” kejar al-Asy’ari. “Tuhan tahu, jika si anak
dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia durhaka. Sementara Tuhan harus
berbuat yang terbaik untuk manusia,” kilah al-Juba’i. “Kalau begitu, bagaimana jika
orang-orang yang dimasukkan ke neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan
saja ketika masih muda (kecil), tingga tidak sempat tumbuh menjadi manusia
durhaka,” tanya al-Asy’ari lebih lanjut.
Yang perlu diapresiasi dari diskusi teologis di atas adalah bahwa keduanya (al-
Asy’ari dan al-Juba’i) sama-sama menggunakan logika untuk menguatkan
pendiriannya. Bedanya, jika al-Juba’i dengan logika akalnya bersikeras untuk
mendefinisikan Tuhan menurut batas-batas manusia, sedang al-Asy’ari, juga dengan
logika akalnya, ingin membebaskan-Nya (Tuhan) tetap berada di atas batas-batas
manusia. Artinya, bicara keadilan Tuhan—khususnya berkenaan dengan keadilan
masuk surga atau neraka bagi manusia—sejatinya berada pada wilayah luar nalar
manusia.
Melalui kerangka dialogis di atas sedikitnya bisa diidentifikasi beberapa
kelemahan teologi Mu’tazilah. Pertama, sebagaimana al-Asy’ari, Mu’tazilah terlalu
mendewakan akal dalam memerlakukan Tuhan dan alam. Padahal akal adalah
bagian kecil dari seluruh komponen kosmik (manusia) menuju Tuhan. Oleh karena
itu, al-Asy’ari mengidentifikasi Mu’tazilah sebagai golongan sesat (al-zâ’ighîn ‘an al-
haqq wa al-bid’ah) yang lebih dikendalikan oleh “nafsu” logika.23
Otoritas ‘aql yang diunggulkan atas naql, oleh Mu’tazilah, kiranya cukup
membahayakan doktrin. Lebih dari itu adalah ketika Mu’tazilah menetapkan bahwa
al-Qur’an (naql) itu makhluk, maka ketika itu pula Mu’tazilah sudah meyakini bahwa
sebagai sesama makhluk, al-Qur’an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat
8

mendikte manusia. Al-Asy’ari menuduh Mu’tazilah—dengan paham teologisnya


yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk—telah mengikuti keyakinan orang-
orang musyrik yang telah dilukiskan dalam Qs. al-Muddatstsir/74: 25, “Ini (al-
Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.”24
Kedua, klaimnya sebagai telah menemukan kebenaran tunggal melalui akalnya
ayang harus diterima oleh semua pihak. Padahal, sejauh manusia berijtihad dan
berfilsafat maka sejauh itu pula kebenaran yang diperolehnya adalah relatif dan
nisbi alias terbatas. Artinya, kebenarannya pun bisa bermakna ganda: antara benar
dan salah.25 Klaim kebenaran yang harus dipatuhi ini bisa dibaca pada usaha
Mu’tazilah yang dalam sejarah keemasannya banyak melakukan intrik terhadap
orang lain melalui birokrasi dan pemerintahan (masa Dinasti Abbasiyah) untuk
menerima doktrin teologinya dan menimpakan hukuman kepada siapa saja yang
menolaknya. Tragedi teolgis ini dikenal dengan mihnah, atau inquition, yang
dilakukan dengan tangan-tangan kekuasaan birokrasi dan pemerintahan yang
karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhi.
Ketiga, paham Mu’tazilah pada dasarnya lahir dari keprihatinan pada realitas
teoritis bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang digelutinya pun
hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi umat pada umunya. Seperti paham
mengenai keadilan Tuhan yang hampir tak memiliki kaitan dengan realitas
kehidupan yang terus berkembang.26
Jadi, eksistensi paham Mu’tazilah lebih bersifat dialektika retorik daripada
dialektika empiris. Teologi berwatak retorik ini cenderung mengabaikan persoalan-
persoalan empirik yang langsung mengena pada kemaslahatan manusia di dunia.
Dunia yang menjadi kebutuhan manusia sekarang. Oleh karena itu, kecenderungan
kesesuaian antara realitas pemahaman dialektik yang retorik dengan perkembangan
manusia yang empirik hampir dipastikan kurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Sebaliknya, paham atau aliran kalam al-Asy’ari dikenal dengan paham teologi
tradisional (ortodoks).27 Tetapi, Nasr mengidentifikasi paham Asy’ariyah awal
sebagai pengambil jalan tengan di antara dua jalan ekstrim, yakni para rasionalis
Mu’tazilah yag menjadikan wahyu tunduk kepada akal, dan para “eksternalis” dari
beragam kepercayaan yang menolak peran akal secara menyeluruh dan cukup puas
dengan makna harfiah ayat-ayat al-Qur’an dan ajaran-ajaran Hadis. 28 Al-Juwaini,
salah satu teologi besar Asy’ariyah, menyatakan bahwa sebenarnya al-Asy’ari tidak
benar-benar seorang teolog (mutakallim), tetapi seorang pendamai dari dua kutub
ektrim yang umum berlaku dalam masyarakat Islam pada saat itu. 29
Meski dikatakan sebagai pengambil jalan tengah, akan tetapi “benang merah”
sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu ketika ia setuju
Mu’tazilah (Qadariyah) dan/atau Salafiyah (Jabariyah), dan suatu ketika
menentangnya serta mengkompromikan antara keduanya. Tidak jelasnya paham
Asy’ariyah ini sedikitnya bisa dilihat pada konsep kasb-nya.
Dari itu, bisa diurai beberapa kelemahan paham Asy’ariyah.30 Pertama,sikap
skeptis yang berlebihan terhadap kemampuan akal menyebabkan mereka terpuruk
kepada sikap fatalistik. Adalah keyakinan paham Asy’ariyah bahwa akal berada di
bawah naql, dalam pengertiannya yang luas dan membingungkan. Implikasi yang
ditimbulkannya adalah teks-teks nash (wahyu) akhirnya menjadi statis bila “dieja”
menurut makna aslinya. Teologi yang ditatingnya—khususnya dalam memahami
teks-teks al-Qur’an—menjadi mandul dalam menyikapi dinamika kehidupan
manusia yang terus berkembang.
Kedua, konsistensi pemikiran Asy’ariyah kurang nampak. Hal ini bisa dibaca
pada karya al-Asy’ari, al-Ibânah, yang mengecam habis teologi Mu’tazilah. Karena
9

kitab itu ditulis al-Asy’ari langsung setelah ia menyatakan keluar dari Mu’tazilah.
Lain halnya dengan al-Luma’, karya al-Asy’ari yang lain, di mana pada karya ini
argumentasi al-Asy’ari yang rasional cukup menonjol. Terutama dlam memahami
nash-nash agama dan terlihat interpretasi metaforisnya (ta’wîl). Kecenderungannya
pada metode kaum Mu’tazilah (ta’wîl) inilah yang menyebabkan kaum Hambali
menolak paham teologi Asy’ariyah.
Inkonsistensi paham Asy’ariyah bisa direnungi pula pada konsepsi kasb, sebagai
perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh
Tuhan. Penjelasannya cukup pelik dan sulit ditangkap. Manusia berbuat, tapi
manusia pada hakikatnya tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. 31
Lalu, pertanyaannnya adalah siapakah yang bertanggungjawab atas perbuata yang
ditimbulkan manusia itu?
Ketiga, manusia menjadi lemah di hadapan penguasa (ûlî al-amr). Karena
penguasa, bagi Asy’ariyah, adalah perpanjangan Tuhan yang harus ditaati dan
dipatuhi. Artinya, penguasa secara absolut adalah telah ditetapkan Allah pada masa
azali.32 Sehingga berkembanglah paham fatalisme dalam masyarakat mengenai rizki,
jodoh, dan bahkan maut.
Implikasinya adalah gerak politik penguasa—yang memiliki pemahaman teologi
Asy’ariyah semacam itu—cenderung monolitik dan doktriner. Monolisme politik
inilah kemudian mengantarkan kepada pemahaman bahwa suara penguasa dalam
segala kegiatan sosial dan politik adalah suara Tuhan, di mana kekusaan yang
dipangku olehnya pun akhirnya menjadi sakral.33 Sungguh ini membahayakan bila
penguasa telah merasa bahwa kekuasaan yang dipangkunya telah mendapatkan
“restu” dari Langit.

D. Relevansi Studi Ilmu Kalam


Teologi atau ilmu kalam yang dipandang relevan dewasa ini, meminjam istilah
Moeslim Abdurrahman,34 adalah Teologi Transformatif. Yakni teologi yang mampu
mendedahkan konsep-konsep kritisisme agama sebagai pengusung perubahan dan
kemajuan manusia. Kritisisme agama mengindikasikan suatu hasrat untuk
meemrankan agama tidak saja sebagai legitimasi tetapi sekaligus pengontrol
kebijakan sosial manusia secara menyeluruh.
Sekarang ini telah berkembang apa yang disebut Teologi Populis atau Teologi
Kerakyatan, Teologi Lingkungan, Teologi Kebudayaan,35 teologi Pendidikan, teologi
Kerukunan, dan Teologi Kecantikan. Kiranya semua itu berawal dari konsep kalâm,
sebagai pemikiran filosofis dan rasional pertama dalam Islam.
Silogisme, sebagai metode kalâm yang dikenal dengan ta’wîl, kiranya masih
relevan untuk memahami Kitab Suci agar bisa berbicara kepada manusia sesuai
situasi dan kondisi. Tinggal bagaimana para penggiat kalâ m mampu merekontruksi
bangunan kalam yang relevan dan signifikan bagi perubahan dan kamajuan manusia
yang menyertainya.
Karena itu, harus ada perubahan paradigma metodologis dalam
mengejawantahkan konsep-konsep kalam dalam kehidupan. Pertama, jika pada
teologi lama lebih bersifat dialektika retorik yang redup, maka pada teologi baru
harus diarahkan pada dialektika empirik yang mencerahkan. Kedua, jika pada teologi
lama lebih berwatak formal dengan orinetasi kepada bentuk dan cenderung
tertutup, maka pada teologi baru harus berwatak substansial yang berorientasi pada
substansi dan bersifat terbuka. Ketiga, jika pada teologi lama lebih berwatak idealis-
10

vertikal, maka pada teologi baru harus diketengahkan teologi yang berwatak
empirik-horizontal yang populis dan demokratis.
Melalui kerangka metodologi demikian kiranya studi ilmu kalam akan
menemukan arti relevansi dan signifikansinya bagi realitas kehidupan manusia yang
terus berkembang. Yaitu teologi yang tidak terpisah dari gemuruh pergumulan
hidup manusia secara menyeleuruh: sosial, politik, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan, dan peradaban.
1
Lihat Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 252-253.
2
Ibid., h. 254.
3
W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, terj. oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam
(Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 43.
4
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), h. 4.
5
Ibid., h. 4-5.
6
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 252.
7
Ibid., h. 256.
8
Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein Nasr [ed.], Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 509.
9
Ibid., h. 509.
10
Lihat Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996).
11
W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, terj. oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam
(Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 51.
12
Lihat Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 267.
13
Ibid., h. 267.
14
Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 37.
15
Ibid., h. 35-36. Mengenai bagaimana golongan Syi’ah mengelaborasi konsepsi teologisnnya baik secara politi
maupun sosiologis, lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988).
16
Ibid., h. 39-61.
17
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 256.
18
Ibid., h. 279.
19
Tentang sejarah dan keberadaan teologi Mu’tazilah secara lengkap, lihat: Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-
Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 283-306; Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1972), h. 38-60; Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein
Nasr [ed.], Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,
2003), h. 510-513; Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 149-187; dan Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad
(Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 119-125.
20
Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 121.
21
Ibid., h. 126.
22
Ibid., h. 127.
23
Lihat al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah (Kairo: Idâ rah al-Thabâ’ah al-Munîrah, t.th.), h. 6.
24
Ibid., h. 7.
25
Mengenai pencari kebenaran ini adalah menarik dibaca ulasan Komaruddin Hidayat tentang diskusi panas antara
ahli tasawuf dan ahli filsafat dalam mencari/menghampiri Tuhan. Masing-masing bersikukuh sebagai yang paling
benar jalannya dalam menemukan Tuhan. Singkatnya, apa yang dilakukan sufi dan filosof dalam menemukan Tuhan
hanya beda “alat” dan “jalan” tetapi tujuannya sama. Masing-masing bisa dibenarkan sesuai kualifikasi kebenaran
yang diperolehnya. Lihat Komaruddin Hidayat, “Bisakah Akal Menemukan Tuhan,” dalam É tienna Gilson, Tuhan di
Mata Para Filosof, terj. oleh Silvester Goridus Sukur (Bandung: Mizan, 2004), h. pengantar.
26
Lihat Masdar F. Ma’udi, “Telaah Kritis Atas Teologi Mu’tazilah,” dalam Budhy Munawar-Rahman [ed.],
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 123-130.
27
Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 125.
28
Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein Nasr [ed.], Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 514-515.
29
Ibid., h. 515.
30
Tentang beberapa kelemahan paham Asy’ariyah ini secara lengkap bisa dilihat pada: Zainun Kamal, “Kekuatan dan
Kelemahan Paham Asy’ari sebagai Doktrin Akidah,” dalam Budhy Munawar-Rahman [ed.], Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 131-146; dan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992), h. 269-285.
31
al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, khusus bab “al-Kalâ m fî Taqdîr A’mâ l al-‘Ibâ d wa al-Istithâ’ah wa al-Ta’dîl
wa al-Tajwîz,” h. 49.
32
33
Mengenai bahaya politik atas dan demi Tuhan ini, lihat: Ahmad Barizi, “Ketika Kyai ber-“Politik”,” dalam Harmoni,
Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume III, Nomor 12, Oktober-Desember 2004, Badan Litbang dan Diklat
DEPAG RI, h. 32-42.
34
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).
35
Mengenai teologi kebudayaan ini, lihat: Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959).

Anda mungkin juga menyukai