Sejarah kalâm dalam Islam mulai digelar sejak wafatnya Nabi Saw. Ketika
Nabi wafat, perselisihan meruncing sangat keras (isytadda fîhâ al-khilâf) di kalangan
para sahabat soal kepemimpinan yang pantas menggantikan beliau. Golongan
Anshâ r bersikeras bahwa yang pantas menggantikan posisi kepemimpinan pasca-
Nabi adalah dari Anshâ r, karena mereka telah berjasa menolong sekaligus berimana
kepada seruan Nabi (nasharahû al-anshâr wa ‘âmanû bihî), meninggikan agamanya
(a’azzû dînahû), mencegah dan melindungi setiap bahaya yang bakal menimpanya
(mana’ûhu wa shahabhû mimman arâda bihim sû’an). Sedang kaum Muhâ jirîn
berdalih bahwa merekalah yang paling pantas, karena cukup lama bersama Nabi,
golongan pertama yang beriman kepadanya (awwal man ‘âmana bihî), dan
senantiasa dalam kebersamaan dengan Nabi di saat suka-duka. Sementara Ali r.a.,
tdiak hadir di saat kontestasi pemilihan kepemimpinan yang digelar di Saqîfah Banî
Sâ’adah itu, yang kemudian menyepakati melantik Abû Bakar r.a. menjadi khalifah.
Ketidakhadiran Ali inilah kemudian muncul perbedaan-perbedaan sekaligus
interpretasi politis yang beragam.1
Jika pada masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, Ali diam dan tidak
banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik (sakanat wa khamadat). Tetapi
kala Usman berkuasa, Ali dan kawan-kawannya mulai melontarkan banyak kritik
atas kepemimpinan Usman yang rasis. Rasisme Usman makin menonjol manakala
Marwâ n ibn al-Hakam al-Amawî diangkat menjadi sekretaris dan bendahara, yang
dalam gerak politiknya banyak melakukan praktik-praktik politik kotor seperti
mengubur Islam yang telah dibangun Abu Bakar dan Umar.2 Bahkan, selama
pemerinatahan Usman (644-656) ketegangan yang tidak pernah dirasakan di dalam
kegencaran ekspansi di bawah Umar meningkat dan mulai terbuka. 3
Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat menjadi khalîfah yang
keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula
menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Makkah yang mendapat
sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari Aisyah, Thalhah, dan Zubair ini dipatahkan Ali
dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 yang dikenal dengan perang
Jamâl.4
Tantangan paling dahsyat datang dari Mu’âwiyah, Gubernur Damaskus dan
keluarga yang dekat bagi Usman. Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, ia tak
mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum
pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal
pembunuhan itu.5 Sampai akhirnya terjadi perang Shiffîn, yakni perang antara Ali
dan Mu’awiyah. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai yang menguntungkan
Mu’awiyah, yang dikenal dengan Tahkîm Kitâb Allâh. Qurrâ’ yang ada di pihak Ali
mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah
perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangakat dua
orang; ‘Amr ibn al-‘Â sh dari pihak Mu’awiyah dan Abû Mû sâ al-Asy’arî dari pihak Ali.
Arbitrase ini ditentang banyak kalangan. Hingga mereka pecah ke dalam tiga
golongan, yaitu Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah.6 Sebab, dalam kenyataan sejarah,
perdamaian itu hanyalah strategi dan rekayasa politik (khid’ah harbiyyah)
Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan dari Ali.7
1
Makalah dipresentasikan pada Kuliah Kedua “Teologi Islam” pada Program Studi SIAI PPs. UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, pada Sabtu, 21September 2013.
2
A. Aliran dan Mazhab Kalâm Yang Muncul Karena Persoalan Politis dan Non-
Politis
Sedikitnya ada dua kategori yang menandai munculnya aliran dan mazhab
kalâm yang berbeda-beda dalam konteks pengalaman historis masing-masing.
Pertama, aliran dan mazhab kalam yang muncul karena persoalan-persoalan pilitik.
Kedua, aliran dan mazhab kalam yang muncul bukan karena persoalan-persoalan
politik. Kedua aliran dan mazhab ini berkembang sesuai situasi dan kondisi
intelektual yang mengitarinya.
Aliran dan mazhab kalam yang awalnya lahir karena persoalan-persoalan
politik—beberapa di antaranya—adalah Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Secara tegas
Imâ m Muhammad Abû Zahrah, guru besar dan mantan rektor Universitas al-Azhar,
Mesir, dalam bukunya Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah mengidentifkasi ketiga
aliran kalam ini ke dalam ranah politik.10 Syi’ah, misalnya, yang secara etimologis
berarti “partai,” tegasnya partai Ali atau golongan Ali.11 Partai atau golongan ini telah
mengikat diri sejak Ali masih hidup, yaitu bahwa mereka akan menjadi “sahabat
orang-orang yang memerlakukan Ali sebagai sahabat, dan musuh bagi orang-orang
yang dimusuhinya.”
Dalam tradisi Arab, estafet kepemimpinan pasca Nabi Saw. wafat mestinya
diwariskan kepada Ali, selaku keluarga terdekat Nabi. Mereka (kaum Syi’ah)
berpandangan:
Inna al-imâmah laysat min al-mashâlih al-‘âmmah allatî tufawwadl ilâ nazhr
al-ummah, wa yata’ayyan al-qâ’im bi ta’yînihim, bal hiya rukn al-Dîn wa Qâ’idah
al-Islâm, wa lâ yajûz li nabiyyin ighfâluhâ, wa lâ tafwîdluhâ ilâ al-ummah, bal
wajib ‘alayh ta’yîn al-imâm lahum, wa yakûn ma’shûman min al-kabâ’ir wa al-
shaghâ’ir, wa inna ‘Alîy r.a. huwa alladzî ‘aynuhû shalawâtu Allâh wa salâmuhû
3
Tidak aneh bila mazhab Syi’ah pecah menjadi delapan, yaitu Sabâ’iyyah,
Ghurâ biyyah, Kaisâ niyyah, Zaidiyyah, Imiyyah Itsnâ ‘Asy’â riyyah (Imam Dua Belas),
Ismâ’îliyyah, Hakîmiyyah dan Druz, dan Nashîriiyah.16 Masing-masing pengikut
Syi’ah ini terdiri atas kelompok yang ekstrim (al-ghulât), moderat, dan liberal.
Sedangkan Mazhab Khawarij (Orang-orang yang keluar dari Ali) adalah
bermula dari terjadinya pemberontakan terhadap Ali yang dikibarkan Mu’awiyah.
Tahkîm, dengan mengangkat al-Qur’an sebagai sarana perdamaian antara Ali dan
Mu’awiyah, ditolak mereka dengan alasan bahwa ia hanyalah tipudaya politik
Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan khalifah. Mereka menolak tahkîm, karena
hukum Allah itu sudah jelas. Sedangkan tahkîm, mengandung unsur-unsur keraguan
(syakk) yang diduga bahwa keputusan-keputusan politik yang bakal dihasilkan pun
akan menjadi tidak jelas. Mazhab ini ditating pertama kali oleh tentara Ali yang
kebanyakan dari kabilah Tamîm.17
Dari persoalan politik inilah kemudian mengemuka persoalan-persoalan
teologis menyangkut status pembunuh Usman. Sebagai pembunuh, dia berdosa
besar telah membunuh Usman. Status dosa besar yang disandangkan kepada
seorang pembunuh ini kemudian meruncing ke persoalan kalâm (teologi), antara
mukmin dan kafir, masuk surga atau neraka, dan seterusnya. Bahkan berkembang
doktrin yang nampak kurang penting adalah, apakah mereka boleh menikahkan
wanita-wanita mukmin dengan laki-laki yang dianggap kafir, dan atau sebaliknya.
Diskusi-diskusi masalah teologis ini terus berjalan dalam rangka pengejawantahkan
doktrin-doktrin mereka. Dan yang paling menyita perhatian adalah diskusi mereka
berkenaan dengan definisi kâfir dan musyrik.
Doktrin Khawarij yang menyatakan bahwa seorang pendosa besar itu pasti
masuk neraka adalah doktrin teologis-politis yang dimaksudkan untuk menjaga
keutuhan kelompok (golongan). Sebab, jika ada seorang di antara mereka yang
masuk neraka maka secara teoritis akan membahayakan keutuhan kelompok
(golongan) secara keseluruhan). Karena itu, ahli surga yang dilekatkan kepada
Khawarij adalah strategi teologis-politik untuk mengokohkan kelompok (golongan)-
nya. Tak ayal bila strategi politik Khawarij adalah mengecam para pengikut yang
berlatarbelakang seperti itu (kepemimpinan kharismatis Ali), di mana ia menuduh
Ali ikut terlibat dalam usaha pembunuhan Usman.
Dus, jika dalam konteks politik Syi’ah dikenal dengan tradisi teokrasi dan
Khawarij dikenal dengan konsep demokrasi, maka Murji’ah memiliki logika
5
tersendiri. Sebagaimana diuraikan oleh Ibn’Asâ kir dalam menjelaskan logika mereka
adalah, “Sesungguhnya mereka (Syi’ah dan Khawarij) adalah orang-orang yang ragu-
ragu di mana mereka telah jatuh pada lembah peperangan. Semula mereka bersatu
dan tidak ada perselisihan. (Mereka kaum Murji’ah) berkata: “Kami tinggalkan
kalian, padahal masalah kalian itu hanya satu adanya. Di antara kalian tidak boleh
ada perselisihan, tetapi kami menyaksikan itu (perselisihan). Sebagian ada yang
menyatakan bahwa terbunuhnya Usman adalah dianiaya (mazhlûm), padahal dia
(Usman) telah berbuat adil terhadap sahabat-sahabatnya. Sedangkan sebagian yang
lain mengatakan bahwa sebenarnya Ali lebih berhak menggantikannya. Kami tahu
bahwa para sahabat Ali dapat dipercaya dan kami membenarkan akan hal itu.
Akhirnya, kami tidak bisa mengambil kebaikan dari kedua golongan itu, tidak pula
melaknatnya, dan tidak pula membuat kesaksian pada mereka. Kami kembalikan
semua urusan mereka itu kepada Allah, sampai Allah sendiri yang akan menghukum
mereka kelak.”18
Jadi golongan Murji’ah ini muncul di tengah-tengah memuncaknya
perdebatan mengenai pelaku dosa besar; yang diperselisihkan oleh golongan Syi’ah
dan Khawarij. Pola sikap “tidak mengkaji perbedaan pendapat” pada mereka oleh
Murji’ah dan menyerahkan prsoalan pendosa besar kepada Allah di hari kiamat
kelak inilah dikenal dengan golongan yang menempuh pola sikap menangguhkan
persoalan (arja’a, sebagai asal kata dari Murji’ah). Pola sikap ini kiranya yang terbaik
bagi mereka, karena dengannya mungkin saja orang itu (pendosa besar) telah
diampuni. Di sini berarti dosa tidak memengaruhi apalagi membahayakan iman.
Tokoh-tokoh penting dalam barisan Murji’ah adalah Sa’ad Ibn Abî Waqash, Abû
Bakrah (perawi hadis), ‘Abdullâ h ibn ‘Umar, dan ‘Imrâ n ibn al-Husain.
Berbeda dengan ketiga aliran atau mazhab kalam di atas, yang lahir karena
situasi politik yang mendesak, adalah Mu’tazilah. Mu’tazilah lahir karena diskusi
murni teologis yang memanas antara seorang murid dan guru, yaitu Wâ shil ibn ‘Athâ’
(w. 131/749) dan Hasan al-Bashrî (w. 110/728).19 Menurut tradisi Sunni yang
umumnya diterima, Washil memisahkan diri (i’tazala) dari kelompok Hasan al-
Bashri, sekalipun banyak orientalis yang mengingkari hal ini dan mengemukakan
dugaan-dugaan yang lain. Goldziher, misalnya, berpendapat bahwa nama tersebut
(akar kata bahasa Arabnya berarti “absen dari,” “menjadi netralis,” “berada di sisi”)
menunjuk kepada sifat mereka yang saleh dan tak suka ikut campur dalam
pertentangan-pertentangan pendapat.20 “Sikap netralis” atau “berada di sisi” bagi
Mu’tazilah ini sedikitnya bisa dibaca pada doktrin teologisnya yang dikenal dengan
“posisi tengah” (al-mazilah bayn al-manziltayn).
Doktrin teologi Mu’tazilah dikenal dengan Ushûl al-Khamsah atau pancasila
Mu’tazilah, yaitu pengesaan Tuhan (tawhîd), keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman
(al-wa’d wa al-wa’îd), posisi tengah (al-mazilah bayn al-manziltayn), dan menyruh
berbuat baik dan melarang kemungkaran (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-
munkar). Kecuali itu, Mu’tazilah populer dengan doktrin kebebasan berkehendak
dan berbuat (freedom) bagi manusia serta bertanggungjawab atas semua usaha yang
dilakukan.
Ciri-ciri kalam Mu’tazilah adalah rasional dengan: Pertama, kedudukan akal
tinggi atau bahkan lebih tinggi dari arti harfiah teks al-Qur’an. Artinya, kaum
Mu’tazilah tidak mau tunduk kepada arti tekstual wahyu yang tidak sesuai dengan
pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiahnya dan mengalihkan
kepada arti majazinya. Mereka dikenal banyak menggunakan takwil dalam
memahami wahyu.
6
otoritatif mengembangkan aliran atau mazhab itu? Semua menjadi tidak jelas dan
akhirnya menghilang.
Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah dukungan politik penguasa. Suatu
aliran atau mazhab akan berkembang dan bertahan secara kokoh manakala
didukung oleh otoirtas politik (penguasa). Mu’tazilah, misalnya, cukup berjaya
ketika pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Kasus Indonesia, misalnya,
ketika Gus Dur menjadi presiden maka organisasi sosial-keagamaan NU yang nota-
bene beraliran Sunni banyak digemari.
Kecuali itu, mandulnya suatu pemikiran atau aliran biasanya juga disebabkan
oleh gemuruh pemikiran yang datang belakangan mampu membenam sampai ke
akar-akarnya. Situasi politik dan ekonomi serta budaya kiranya menjadi faktor
penentu berkembang dan tidaknya sutau aliran atau paham keagamaan pada
masyarakat.
kitab itu ditulis al-Asy’ari langsung setelah ia menyatakan keluar dari Mu’tazilah.
Lain halnya dengan al-Luma’, karya al-Asy’ari yang lain, di mana pada karya ini
argumentasi al-Asy’ari yang rasional cukup menonjol. Terutama dlam memahami
nash-nash agama dan terlihat interpretasi metaforisnya (ta’wîl). Kecenderungannya
pada metode kaum Mu’tazilah (ta’wîl) inilah yang menyebabkan kaum Hambali
menolak paham teologi Asy’ariyah.
Inkonsistensi paham Asy’ariyah bisa direnungi pula pada konsepsi kasb, sebagai
perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh
Tuhan. Penjelasannya cukup pelik dan sulit ditangkap. Manusia berbuat, tapi
manusia pada hakikatnya tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. 31
Lalu, pertanyaannnya adalah siapakah yang bertanggungjawab atas perbuata yang
ditimbulkan manusia itu?
Ketiga, manusia menjadi lemah di hadapan penguasa (ûlî al-amr). Karena
penguasa, bagi Asy’ariyah, adalah perpanjangan Tuhan yang harus ditaati dan
dipatuhi. Artinya, penguasa secara absolut adalah telah ditetapkan Allah pada masa
azali.32 Sehingga berkembanglah paham fatalisme dalam masyarakat mengenai rizki,
jodoh, dan bahkan maut.
Implikasinya adalah gerak politik penguasa—yang memiliki pemahaman teologi
Asy’ariyah semacam itu—cenderung monolitik dan doktriner. Monolisme politik
inilah kemudian mengantarkan kepada pemahaman bahwa suara penguasa dalam
segala kegiatan sosial dan politik adalah suara Tuhan, di mana kekusaan yang
dipangku olehnya pun akhirnya menjadi sakral.33 Sungguh ini membahayakan bila
penguasa telah merasa bahwa kekuasaan yang dipangkunya telah mendapatkan
“restu” dari Langit.
vertikal, maka pada teologi baru harus diketengahkan teologi yang berwatak
empirik-horizontal yang populis dan demokratis.
Melalui kerangka metodologi demikian kiranya studi ilmu kalam akan
menemukan arti relevansi dan signifikansinya bagi realitas kehidupan manusia yang
terus berkembang. Yaitu teologi yang tidak terpisah dari gemuruh pergumulan
hidup manusia secara menyeleuruh: sosial, politik, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan, dan peradaban.
1
Lihat Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 252-253.
2
Ibid., h. 254.
3
W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, terj. oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam
(Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 43.
4
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), h. 4.
5
Ibid., h. 4-5.
6
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 252.
7
Ibid., h. 256.
8
Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein Nasr [ed.], Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 509.
9
Ibid., h. 509.
10
Lihat Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996).
11
W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, terj. oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam
(Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 51.
12
Lihat Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 267.
13
Ibid., h. 267.
14
Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 37.
15
Ibid., h. 35-36. Mengenai bagaimana golongan Syi’ah mengelaborasi konsepsi teologisnnya baik secara politi
maupun sosiologis, lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1988).
16
Ibid., h. 39-61.
17
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 256.
18
Ibid., h. 279.
19
Tentang sejarah dan keberadaan teologi Mu’tazilah secara lengkap, lihat: Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Mesir: Dâ r al-
Kutub, 1975), cet. ke-11, h. 283-306; Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1972), h. 38-60; Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein
Nasr [ed.], Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,
2003), h. 510-513; Imâ m Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Oleh Abd Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib (Jakarta: Logos, 1996), h. 149-187; dan Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad
(Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 119-125.
20
Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 121.
21
Ibid., h. 126.
22
Ibid., h. 127.
23
Lihat al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah (Kairo: Idâ rah al-Thabâ’ah al-Munîrah, t.th.), h. 6.
24
Ibid., h. 7.
25
Mengenai pencari kebenaran ini adalah menarik dibaca ulasan Komaruddin Hidayat tentang diskusi panas antara
ahli tasawuf dan ahli filsafat dalam mencari/menghampiri Tuhan. Masing-masing bersikukuh sebagai yang paling
benar jalannya dalam menemukan Tuhan. Singkatnya, apa yang dilakukan sufi dan filosof dalam menemukan Tuhan
hanya beda “alat” dan “jalan” tetapi tujuannya sama. Masing-masing bisa dibenarkan sesuai kualifikasi kebenaran
yang diperolehnya. Lihat Komaruddin Hidayat, “Bisakah Akal Menemukan Tuhan,” dalam É tienna Gilson, Tuhan di
Mata Para Filosof, terj. oleh Silvester Goridus Sukur (Bandung: Mizan, 2004), h. pengantar.
26
Lihat Masdar F. Ma’udi, “Telaah Kritis Atas Teologi Mu’tazilah,” dalam Budhy Munawar-Rahman [ed.],
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 123-130.
27
Fazlur Rahman, Islam, terj. Oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003), cet. Ke-5, h. 125.
28
Seyyed Hossein Nasr, “Teologi, Filsafat, dan Spiritualitas,” dalam Seyyed Hossein Nasr [ed.], Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam: Manifestasi, terj. oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 514-515.
29
Ibid., h. 515.
30
Tentang beberapa kelemahan paham Asy’ariyah ini secara lengkap bisa dilihat pada: Zainun Kamal, “Kekuatan dan
Kelemahan Paham Asy’ari sebagai Doktrin Akidah,” dalam Budhy Munawar-Rahman [ed.], Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 131-146; dan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992), h. 269-285.
31
al-Asy’ari, al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, khusus bab “al-Kalâ m fî Taqdîr A’mâ l al-‘Ibâ d wa al-Istithâ’ah wa al-Ta’dîl
wa al-Tajwîz,” h. 49.
32
33
Mengenai bahaya politik atas dan demi Tuhan ini, lihat: Ahmad Barizi, “Ketika Kyai ber-“Politik”,” dalam Harmoni,
Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume III, Nomor 12, Oktober-Desember 2004, Badan Litbang dan Diklat
DEPAG RI, h. 32-42.
34
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).
35
Mengenai teologi kebudayaan ini, lihat: Paul Tillich, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959).