Anda di halaman 1dari 25

TUGAS FARMAKOLOGI

KELOMPOK 4 :
ASTARY P. PANDJUKANG 1608010032
TJIECI YUNIAR SALEAN 1608010034
MARIA CHRISANTI MAU META 1608010038
FARAH INAYA 1608010040
GOLDWIN A. M. MANDALA 1608010042
GREGORIUS AGUNG KUA 1608010028
SAVITRY R. M. DJUNAIDI 1608010030
MARIA B. DJAWA DJONG 1608010026
EUREKA KAUSE 1608010036

ANTIPSIKOTIK

A. PENGERTIAN
Obat anti psikotik merupakan obat yang ditujukan untuk sindrom psikosis.Dimana
sindrom psikosis merupakan gejala berupa hendaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental dan hendaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari. Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik.
Obat psikotropikadalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau
pengalamanWHO,1966). Obat antipsikotik dapat juga disebut sebagai Neuroleptics,
major
tranquillizers, ataractics, antipsychotics, antipsychotic drugs, neuroleptika.Antipsikotik
bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yangterjadi pada
Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotiksebelum
mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocokbagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakanterapi obat-obatan
pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Obat antipsikotik adalah obat-obatan
yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat
adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 2 Obat yang digunakan untuk
psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik, neuroleptik dan mayor
transquilizer. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi gejala akibat gangguan mental
yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional, gangguan afektif berat, dan
gangguan psikosis organik.
Neuroleptika konvensional umumnya dapat mengurangi gejala positif, seperti :
halusinasi, waham, tidak kooperatif, dan gangguan alam berpikir seperti loncat pikir/
flight of ideas maupun inkoherensi. Gejala positif skizofrenia tersebut bereaksi secara
lebih responsif terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatifnya, seperti : pendataran
afek, apatis, anhedonia dan blokade diri ternyata lebih sulit diatasi. Namun sekarang
sudah ditemukan derivat baru untuk mengatasi gejala negatif tersebut. Obat-obatan jenis
ini dikelompokkan dalam “Neuroleptika-aspesifik”. Pada dasarnya semua obat anti
psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan
utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan
jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu
yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang
tidak sama) dengan dosis ekuivalennyaSinonim dari obat anti psikotik adalah
neuroleptics, major tranquilizer, ataractics, antipsychotics drugs, neuroleptika.
Penggolongan dari obat anti psikotik adalah golongan tipikal dan atipikal. Haloperidol
adalah salah satu obat anti psikotik tipikal yang berada pada golongan obat
butyrophenone sedangkan risperidone merupakan obat anti psikotik atipikal golongan
benzisoxazole.

B. MEKANISME KERJA DOPAMIN DAN SEROTONIN


- Aktivitas penghambatan reseptor dopamine dalam otak
-
Obat neuroleptik dan sebagian besar obat neuroleptik baru menghambat reseptor
dopamine dalam otak dan perifer . lima jenis dopamin telah diketahui. Reseptor D1 dan
D5 mengaktifkan adenilil siklase, sering kali mengeksitasi neuron, sedangkan reseptor
D2,D3,D4 menghambat adenilil siklase atau memerantarai pembukaan kanal k+
membran sehingga menyebabkan hiperpolarisasi neuron. Obat neuroleptik terikat pada
reseptor-reseptor tersebut dalam berbagai tingkatan. Namun, manfaat obat-obat
neuroleptik tipikal sangat berkaitan erat dengan kemampuan relatifnya menghambat
reseptor D dalam sistem mesolimbik otak. Di pihak lain, obat atipikal klozaoine memiliki
afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor D4 dan afinitas terendah terhadap reseptor D2
yang dapat menjelaskan sebagian kemampuan minimalnya untuk menimbulkan efek
samping ekstrapiramidal. Kerja obat-obat neuroleptik tersebut diantagonisasi oleh agen-
agen yang meningkatkan konsentrasi dopamin sinaptik-sinaptik , levodopa dan
amphetamine-atau menyerupai dopamin pada lokasi pengikatan pascasinaps misalnya,
bromocriptinE.
Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang mempunyai mekanisme kerja dan
fungsi masing-masing. yaitu :
a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal ganglia.
b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke sistem limbik
c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke frontal cortex
d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitary

- Aktivitas penghambatan reseptor serotonin dalam otak:

Sebagian besar agen atipikal yang lebih baru tampaknya melakukan sebagian kerjanya
yang unik melalui penghambatan reseptor serotonin (5-HT), terutama reseptor 5-HT2a.
oleh sebab itu, clozamine berafinitas tinggi untuk D1, D4, 5-HT2, muskarinik dan
reseptor adrenergik-α, tetapi obat ini juga merupakan antagonis reseptor dopamin D2.
Risperidone menghambat reseptor 5-HT2a lebih kuat dibanding kerjanya terhadap
reseptor D2, seperti yang dilakukan olanzapine. Neuroleptik atipikal aripriprazole [a-rih-
PIP-ra-zole] merupakan agonis parsial pada reseptor D2 dan 5-HT1a juga merupakan
penghambat reseptor 5-HT2a. Quetiapine menghambat reseptor D2 lebih poten dari pada
reseptor 5-HT2a tetapi relatif lemah dalam penghambatan kedua reseptor, dan risikonya
yang rendah menimbulkan efek samping ekstrapiramidal mungkin juga terkait periode
waktu ikatannya dengan reseptor D2 yang relatif singkat.

C. JENIS-JENIS ANTIPSIKOTIK
Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan fenotiazin
misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya haloperidol.
Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi menjadi Dopamine
receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist (SDA). Obat-obat DA
juga sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut juga dengan
antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga obat berpotensi rendah (low
potency), sedangkan golongan non fenotiazine disebut obat-obat potensi tinggi (high
potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara
dengan Chlorpromazine 100 mg. Obat-obat SDA makin berkembang dan makin menjadi
pilihan karena efek klinis yang diperoleh setara dengan obat-obat konvensional disertai
dengan efek samping yang jauh lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon,
Clozapine, Olanzapin, Quetiapin, Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian
dibuat lebih sederhana dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I)
untuk obat-obat golongan antagonis Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II)
untuk obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA). 

• APG 1 (Anti Psikotik Generasi 1/Tipikal)


terdiri dari 3 golongan :
 golongan phenotiazine
 golongan butyrophenone
 golongan diphenylbutyl
• APG 2 (Anti Psikotik Generasi 2/Atipikal)
terdiri dari 3 golongan :
 golongan benzamide
 golongan dibenzodiazepin
 golongan benzisoxazole

D. MEKANISME OBAT
- APG 1
Antipsikotik generasi pertama (APG 1) mempunyai cara kerja dengan memblok
reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering
disebut juga dengan Antagonis Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik
konvensional atau antipsikotik tipikal. Kerja dari APG 1 menurunkan hiperaktifitas
dopamine di jalur mesolimbic sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi
ternyata APG 1 tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di
tempat lain seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.
Apabila APG 1 memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal, dapat memperberat
gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamine di jalur tersebut.
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkab timbulnya gangguan dalam
mobilitas seperti pada Parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan
gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade 2 reseptor D2 di
tuberoinfundibular oleh APG 1 menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga
dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkatan berat badan. APG 1 selain
menyebabkan terjadinya blockade reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga
menyebabkan terjadinya blockade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul
efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan
kognitif tumpul. APG 1 juga memblok reseptorhistamine (H1) sehingga timbul efek
samping mengantuk dan peningkata berat
badan. APG 1 juga memblok reseptor 1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan
efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi orthostatic, mengantuk, pusing,
dan tekanan darah menurun. Antipsikotik generasi kedua (APG II) sering disebut
sebagai Serotonin Dopamin Antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II
mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan dopamine pada
keempat jalur dopamine di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping
extrapyramidal system lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala
negative. Perbedaan antara APG I dengan APG II adalah APG I hanya memblok
reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin
(5HT2A) dan reseptor dopamine (D2). Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini
menurun, sehingga memungkinkan laktasi. 5,8 Antipsikotik selain menyebabkan
terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan
terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping
antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul.
Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan
meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1
adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa
hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.
- APG 2
APG II bekerja secara simultan pada keempat jalur dopamine yaitu :
1. Mesolimbik : APG II menyebabkan antagonis 5HT2A gagal untuk
mengalahkan antagonis D2 di jalur ini sehingga blockade reseptor D2 menang. Hal
ini yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki symptom positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dopamine.
2. Mesokortikal : APG II lebih banyak berpengaruh dalam memblok reseptor
5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamine dan dopamine yang
dilepasmenang daripada yang dihambat. Hal ini menyebabkanberkurangnya
gejala negatif. Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya
blokade terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas
dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara
serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok
reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin
yang dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini
menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan
dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I
karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A
dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya
lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga
menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.
3. Nigrostriatal : pelepasan dopamine melebihi dari blokade reseptorn dopamine
sehingga mengurangi extrapyramidal symptom.
4. Tuberoinfundibular : pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat
reseptor 5HT2A menyebabkan pelepasan dopamine meningkat sehingga
pelepasan prolactin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.

APG II tidak hanya bekerja pada antagonis reseptor 5HT2A dan D2, tetapi juga
beberapa subtipe antara lain reseptor 5HT1A, 5HT1D, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 5HT7
dan D1,D3, D4 juga antimuskarinik (M1), antihistamin (AH1), 1, dan 2. Hal ini
mengakibatkan APG II juga dapat memperbaiki mood dan menurunkan suicide, tidak
hanya pada skizofrenia tetapi juga pada bipolar I dan II.

E. PENGGUNAAN DOSIS
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu.
- Onset efek sekunder (efek samping): sekitar 2-6 jam.
- Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x perhari)

Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien. Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran - dinaikkan setiap 2-3 hari,-
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaran sindrom psikosis) - dievaluasi
setiap 2 minggu dan timbul bila perlu dinaikkan , dosis optimal- diturunkan setiap 2
minggu - dosis maintenance,- dipertahankan 6 bulan sampai 2tahun (diselingi drug
holiday 1-2 hari/minggu)- tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu- stop.

Neuroleptika dengan dosis terapeutik tinggi seperti chlorpromazine, thioridazine,


perazine) lebih baik digunakan untuk hiperaktivitas motorik, kegelisahan, kegaduhan,
agitas (agresif). Neuroleptika dengan dosis terapeutik rendah seperti flufenazin,
trifluoperazin, perfenazin, haloperidol, pimozid lebih manjur untuk skizofrenia seperti
autisme, gangguan proses pikir, gangguan afek dan emosi. Antipsikotik spektrum luas;
untuk psikotik akut termasuk levomepromazine, klorprotixen, tioridazin, klorpromazin.
Antipsikotik jangka panjang digunakan untuk psikotik kronik termasuk haloperidol,
Trifluoperazin, Flufenazin.

F. KONTRAINDIKASI
Agitasi akut yang menyertai putus alcohol atau obat-obat lain dapat memperburuk akibat
neuroleptic. Stabilitasi dengan sedative sederhana seperti benzodiazepine, merupakan
terapi terpilih. Semua antipsikosi dapat menurunkan ambang kejang ; chlorpromazine dan
clozapine dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan kejang . oleh sebab itu
neuroleptic juga dapat memperburuk epilepsy yang telah ada sebelumnya dan harus
digunakan secara hati-hati. Insidean agranulositosis yang tinggi karena penggunaan
clozapine dapat membatasi penggunaanya pada pasien yang resisten terhadap obat-obat
lain. semua antipsikosis atipikal juga diwaspadai karena meningkatkan angka kematian
ketika digunakan pada pasien lansia dengan gangguan demensia dan psikosis.

G. EFEK SAMPING
- EFEK SAMPING NON NEUROLOGIS
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan
antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT
dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya
memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan,
seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga
disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun
dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.
2. HipotensiOrtostatik(Postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling
sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan
thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki
toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik
adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah
pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa
hari pertama terapi. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena dapat
memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor
adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan
atau diganti dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hampir semua
antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala
yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar,
neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain,
saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi
terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan
menekan granulopoiesis. Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan
pertama terapi dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan
antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam,
hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan
terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera
dihentikan.
4. Efek antikolinergik perifer
Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine
adalah antikolinergik yang poten. Mulut kering merupakan efek yang mengganggu
beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan
sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur
pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan
perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi
kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut
diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang
antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi
urin.
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan
peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara,
galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada
wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat
antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat
diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido
dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene),
phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan
laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi
akibat aktivitas antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan
efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah,
khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular,
peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi,
biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Pasien harus
diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari
lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada
daerah yang terpapar dengan sinar matahari.
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam
dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang
berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan
malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine
dihentikan karena tidak bersifat reversible.. Chlorpromazine berhubungan dengan
pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan
yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien
mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang
menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak
mempengaruhi penglihatan pasien.
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang
terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan
pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala
mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali
fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan
dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan
sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine.
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan
reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah
delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus
termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage
lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi
dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.

- EFEK SAMPING NEUROLOGIS

Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut
dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping
neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping
tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi.

1. Parkinsonisme Akibat Neuroleptik 

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-
gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity),
rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk
dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik
jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial
mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam
DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif
yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila
orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang.
Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia
(kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang sering
didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia.
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari
40 tahun.
Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat
potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah. Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat
neuroleptik. Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik dapat meneruskan terapi. Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih
baik jangan diberikan karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.

2. Distonia Akut Akibat Neuroleptik

Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90%
pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme
otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter.
Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan
paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan
keseluruhan tubuh (opistotonus).
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling sering
terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan paling
sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi. Mekanisme kerja diperkirakan
merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar
antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. Profilaksis dengan
antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah berkembangnya distonia,
walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi dengan antikolinergik IM
atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium benzoate dan hipnosis
dilaporkan juga efektif.
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat terjadi
setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi
idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan
peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah
peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma,
dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suportif dan
berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h
atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga
efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan
oral dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30
mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan
SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3

4.EfekEpileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan sinkronisasi
EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan ambang
kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5

5.Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.
Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis
antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan
toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2

6.EfekAntikolinergikSentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap waktu,
orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma
dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat
penyebab dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25
mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian

H. PEMBAGIAN ANTIPSIKOTIK
- Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal memiliki keuntungan jarang menyebabkan terjadinya Sindrom
Neuroleptik Malignan (SNM) dan cepat menurunkan simptom positif. Namun
antipsikotik tipikal juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Mudah terjadi extrapyramidal syndrome dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk simptom negative dan kognitif
3. Meningkatkan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan kekambuhan
Pembagian antipsikotik tipikal
A. Berdasarkan Potensi
a) Potensi Tinggi Potensi tinggi bila dosisi APG 1 yang digunakan kurang atau
sama dengan 10 mg. APG 1 potensi tinggi diantaranya haloperidol,fluphenazine, dan
trifluoperazine, dan thiothixene. Potensi antidopaminergik tinggi, kemungkinan efek
samping tinggi sepertidistonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap
tekanan darah rendah.
b) Potensi Sedang Potensi sedang bila dosis APG 1 yang digunakan antara 10 –50 mg
APG 1 potensi sedang diantaranya adalah perphenazine,loxapine dan molindone.
Digunakan untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping APG 1 potensi
tingi dan potensi rendah.
c) Potensi Rendah Potensi rendah bila dosis APG 1 yang digunakan lebih dari 50mg.
APG 1 potensi rendah diantaranya adalah chlorpromazine, thioridazine dan
mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi,hipotensi orthostatic, lethargi dan
simptom antikolinergik meningkat. Simptom antikolinergik berupa mulut kering,
retensi urine, pandangan kabur, dan konstipasi.
B. Berdasarkan Rumus Kimia
a) Phenothiazine :  Rantai aliphatic : Chlorpromazine, levomepromazine  Rantai
piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine  Rantai piperidine :
thioridazine
b) Non Phenothiazine  Butyrophenone : haloperidol  Diphenylbutyl-piperidine :
pimozide  Benzamide : sulpiride  Dibenzodiazepine : clozapine 
Benzisoxazole : risperidone

no Golongan Obat Sediaan Dosis anjuran


1. Phenothiazine Chlorpromazine Tablet 25 dan 150 – 600
100mg mg/hari
Injeksi 25 mg/ml
Perphenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 – 24
mg/hari
Trifluoperazin Tablet 1 dan 5 mg 10 – 15 mg/hari

Fluphenazine Tablet 2,5 mg, 5 10 – 15


mg mg/hari
Thioridazin Tablet 50 dan 100 150 – 600
mg mg/hari

2. Butyrophenone Haloperidol Tablet 0,5 mg, 5 -15 mg/hari


1,5
mg, 5 mg
Injeksi 5 mg/ml

Droperidol Ampul 2,5 mg/ml 7,5 – 15


mg/hari

3. Diphenyl Pimozide Tablet 1 dan 4 mg 1 – 4 mg/hari


butyl
piperidine

- Antipsikottik atipikal
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan yaitu :
1. APG II menyebabkan extrapyramidal symptom jauh lebih kecil disbanding
APG I, umumnya pada dosis terapi jarang terjadi extrapyramidal symptom.
2. APG II dapat mengurangi symptom negative dari skizofrenia dan tidak
memperburuk gejala negative seperti yang terjadi pada pemberian APG I
3. APG II menurunkan symptom afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
Akibat interaksi dengan banyak reseptor lainnya maka APG II dapat menyebabkan
terjadinya beberapa efek samping misalnya peningkatan berat badan, sedasi, kejang
atau agranulositosis.
Pembagian antipsikotik atipikal
Antipsikotik Generasi Kedua (APG II) yang digunakan sebagai :
 First line : risperidon, olanzapine, quetiapine, ziprasidone, aripiprazole
 Second line : clozapine
Indikasi pengobatan dari obat antipsikotik atipikal antara lain :
 Sindrom psikosis
 Sindrom psikosis fungsional, misalnya : skizofrenia, psikosis paranoid 8
 Sindrom psikosis organik, misalnya : demensia, intoksikasi alkohol
 Indikasi spesifik, misalnya : efektif untuk menurunkan gejala negatif skizofrenia
dan terapi pasien skizofrenia yang tidak berespons dengan obat antipsikotik
konvensional.
- Klorpromazin dan derivat fenotiazin
Farmakodinamik
a. Sistem Saraf Pusat
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh terhadap
rangsang dari lingkkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap
efek sedasi.
Klorpromazin berefek antipsikosis terlepas dari efek sedasinya. CPZ
menimbulkan efek menenangkan pada hewan buas.
Berbeda dengan barbiturat, CPZ tidak dapat mencegah timbulnya konvulsi akibat
rangsang listrik maupun rangsang oeh obat. Semua derivat fenotiazin
mempengaruhi ganglia basal sehingga menimbulkan gejala parkinsonnisme ( efek
ektrapiramidal ). CPZ dapat menguranggiatau mencegah muntah yang disebabkan
oleh rangsangan pada chemo receptor triger zone.
Fenotiazin terutama yang potensinya rendah menurunkan ambang bangkitan
sehingga penggunaannya pada pasien epilepsi harus sangat berhati-hati.
b. Otot Rangka
CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam keadaan spastik.
Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral sebab sambungan saraf-otot dan
medula spinalis tidak dipengaruhi CPZ
c. Efek Endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi. CPZ juga menghambat sekresi ACTH.
Efek terhadap sistem endokrin ini terjadi berdasarkan efeknya terhadap
hipotalamus. Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan
hiperprolaktinemia lewat penghambatan efek sentral dopamin.
d. Kardiovaskular
CPZ dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan beberapa hal, yaitu : (1) refleks
presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah dihambat oleh CPZ,
(2) CPZ berefek α-bloker; dan (3) CPZ menimbulkan efek inotropik negatif pada
jantung.
Farmakokinetik
Umumnya semua fenotiazin diabsorbsi dengan baik apabila diberikan peroral maupun
parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di paru-paru,
hati, kelenjar suprarenal, dan limpa. Sebagian fenotiazin mengalami hidroksilasi dan
konjugasi, sebagian lain diubah menjadi sulfoksid yang kemudian dieksresi bersama
feses dan urin.
Efek Samping
Gejala idiosinkresi mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis, dan leukopenia.
Reaksi ini disertai eusinofilia dalam darah perifer.
Pada dosis berlebihan fenotiazin menyebabkan gejala ekstrapiramidal serupa dengan
yan terlihat pada parkinsonisme. Terdapat enam gejala sindrom neurologik yang khas
dari obat ini. Empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum yaitu : distonia akut,
akatsia, prkinsonisme, dan sindrom neuroleptik malignant yang terakhir sering. Dua
sindrom yang lain terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
berupa tremor dan diskinesia tardif.
Hipotensi ortostatik sering terlihat pada penderita dengan sistem fasomotor yang
labil. Efek antikolinergik berupa takikardia, mulut dan tenggorokan kering, sering
terjadi pada pemberian fenitiazin. Perlu digunakan berhati-hati pada penderita
glaukoma dan hipertrofi prostat.
Indikasi
Indikasi utama fenotiazin iyalah skizofrenia, gangguan psikosis yang sering
ditemukan. Gejala psikotik yang dipengaruhi secara baik oleh fenotiazin dan anti
psikosis lain iyalah ketegangan, hiperaktifitas, kombatifeness, hostality, halusinasi,
delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri yang buruk, negatifisme, dan
kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Pengaruhnya terhadap insight,
judgement, daya ingat dan orientasi kurang.
Semua anti psikosis kecuali mezoridasin,molindon, tioridazin, klozapin mempunyai
efek antiemetik.

- Haloperidol
Haloperidol adalah obat antipsikosis dengan nama dagang haloperidol ecanoas
(haloperidol 50 mg/ml). Haloperidol adalah obat yang dikategorikan kedalam agen
antipsikotik, antidiskinetik, dan antiemetik. Obat ini digunakan sebagai terapi
rumatan untuk psikotik akut dan kronik, seperti skizofrenia, gangguan manik, dan
psikosis yang diinduksi obat misalnya psikosis karena steroid. Haloperidol juga
berguna pada penanganan pasien agresif dan teragitasi. Selain itu, obat ini dapat
digunakan pada pasien sindrom mental organik dan retardasi mental. Pada anak
haloperidol sering digunakan untuk mengatasi gangguan perilaku yang berat.
Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai
dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih dapat
ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati
dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi
haloperidol lambat melaui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari
sesudah pemberian dosis tunggal.
Farmakodinamik
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon memperlihatkan
bahan sifat fenotiazin. Pada orang normal, efek haloperidol mirip fenotiazin
ppiperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase
mania penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin dan
butirofenon berbeda secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat efek
dopamin juga meningkatkan efek turn over ratenya.
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi utama haloperidol ialah psikosis. Selain itu haloperidol merupakan obat
pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de La Tourette , suatu kelainan neurologik
yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing) dan
explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Pemberian haloperidol harus tidak dianjurkan pada pasien dengan deprsi system saraf
pusat, koma, penyakit parkinson, penderita gangguan hepar, serta wanita hamil dan
menyusui.
Efek samping dan Intoksikasi
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi,
terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai
dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek
samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan selintas dapat terjadi,
tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis yang sering dilaporkan. Frekuensi
kejadian ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan
pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek
teratogenik. Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal/sindroma
parkinson; dimana gejalanya berupa :
- Wajah seperti topeng (kekakuan)
- Tremor
- Suara seperti pelo (susah didengar)
- Hipersalivasi
- Jalan seperti robot
Tindakan untuk mengurangi gejala ekstrapiramidal adalah dengan tablet
trihexyphenidyl (artane) 3-4 x 2 mg/hr, sulfas atropin 0,50-0,75, mg (IM).
Haloperidol
selain antipsikotik dapat digunakan sebagai antianxietas dengan dosis rendah dimana
100 CPZ setara dengan 1,5 - 2,5 mg haloperidol.
Interaksi obat
Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksin piridoksin,
antijamurazol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin, diklofenak,
doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol, nefazodon,
paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor, kuinidin, kuinin,ritonavir,
ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol
dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu, benzodiazepine tertentu,
kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin, dekstrometorfan,alkaloid ergot, fluoksetin,
inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain,paroksetin, risperidon, ritonavir,
sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik,venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6 atau
3A4.
Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium,trazodon
dan antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin
dapatmenyebabkan mengantuk, lelah dan bingung sedangkan dengan metoklopramid
dapatmeningkatkan resiko ekstrapiramidal. Haloperidol dapat menghambat
kemampuan bromokriptin menurunkan konsentrasi prolaktin. Benztropin dan
antikholinergik lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol dan
menimbulkan efek antikholinergik.
Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme
haloperidol. Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi.
Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin,
nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya. Efek
haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin, nevirapin,
fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya. Trisiklik dengan
haloperidol, mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik (kadar dalam plasma
meningkat) terjadi potensial efek antikolinergik (ileus paralitik, disuria, gangguan
absorbsi. Haloperidol dengan lithium, menyebabkan efek neurotoksis bertambah
(ataxia dan diskenesia, tetapi efek neurotoksis tidak tampak pada pemakaian
kombinasi dosis rendah.
- Risperidone
Risperidone adalah benzisoxazole pertama yang diperkenalkan di Amerika Serikat
untuk terapi Skizofrenia. Afinitasnya bermakna untuk reseptor D2, selain
itu,risperidone merupakan antagonis yang lipoten untuk reseptor serotonin tipe 2
(5HT2).
Farmakokinetik
Risperidone diabsorpsi cepat setelah pemberian oral. Absorpsi risperidone tidak
dipengaruhi oleh makanan dan mencapai kadar puncak kira-kira satu jam setelah
pemberian dan memiliki waktu paruh plasma kira-kira 24 jam. Hidroksilasi
merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9
hidroxyl-risperidone yang aktif. Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan
konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat
pada lanjut usia dan pada pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap
normal pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Farmakodinamik
Risperidone merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi
terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone berikatan
dengan reseptor α1-adrenergik. Risperione tidak memiliki afinitas terhadap reseptor
kolinergik. Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya
depresi aktivitas motorik dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik.
Antagonisme serotonin dan dopamin sentral yang seimbang dapat mengurangi
kecenderungan timbulnya efek samping ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas
terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari skizofrenia

Efek pada organ dan sistem spesifik


Risperidone tidak mempunyai efek merugikan dari segi neurologis dan efek
merugikan lainnya lebih sedikit dibandingkan obat lain dalam kelas ini.
Indikasi terapeutik
Indikasi terapeutik risperidone hampir sama dengan clozapine yaitu untuk terapi
skizofrenia yang resisten terhadap terapi dengan antipsikotik konvensional.
Efek samping
Efek samping seperti sedasi, otonomik dan ekstrapiramidal pada risperidone lebih
ringan dibanding dengan obat antipsikotik konvensional lainnya.
Interaksi Obat
 Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada
SSP dan alkohol.
 Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin
lainnya.
 Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.
 Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone.
 Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik
(risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi
risperidone.

I. INTERAKSI OBAT PSIKOTIK DENGAN OBAT LAINNYA


- Anti Psikotik + Anti Psikotik Lain Potensiasi efek samping obat dan tidak ada bukti
lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti psikotik. Misal :
Chlorpromazine + Reserpine = Potensi efek hipertensi.
- Anti Psikotik + Anti Depresan Trisiklik Efek samping antikolinergik meningkat hati –
hati pada pasien dengan BPH,glaucoma, ileus, dan penyakit jantung).
- Anti Psikotik + Anti Anxietas Efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat(acute adjunctive therapy).
- Anti Psikotik + ECT Dianjurkan tidak memberikan obat anti psikotik pada pagi hari
sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas
yang tinggi.
- Anti Psikotik + Anti Konvulsan Ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis anti konvulsan harus lebih besar (dose
related) yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti psikosis
haloperidol.
- Anti Psikotik + Antasida Efektivitas obat anti psikotik menurun disebabkan gangguan
absorpsi.
J. KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2)
dan reseptor serotonin (5HT2A). antipsikotik terbagi dua tipikal dan atipikal.
Antipsikotik tipikal bekerja menghambat reseptor dopamin sementara antipsikotik
atipikal bekerja menghambat reseptor dopamin dan serotonin. Dalam penggunaan obat
antipsikotik, golongan atipikal lebih baik daripada tipikal karena:
1. Antipsikotik atipikal dapat bekerja mengurangi gejala positif sekaligus
menekan gejala negatif, sementara tipikal hanya bekerja mengurangi
gejala positif.
2. Efek samping ekstrapiramidal pada atipikal lebih ringan daripada
tipikal.

DAFTAR PUSTAKA

 N, Amir. 2013. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia.


Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
 Farmakologi dan terapi edisi 4 Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia
 Sadock BJ and Sadock VA. 2007. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and WOLTERS Kluwer business.
 Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.

Anda mungkin juga menyukai