Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

PENATALAKSANAAN ANEMIA

Disusun oleh:
Prima Harlan Putra 1102015176
Rafid 1102016175

Pembimbing:

Dr. Faizal Drissa Hasibuan, SpPD KHOM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 2 NOVEMBER – 28 NOVEMBER 2020
PENATALAKSANAAN ANEMIA
1. Latar Belakang
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah (dan
berakibat pada kapasitas angkut oksigen) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis secara spesifik berbeda pada setiap orang
bergantung pada faktor usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal di atas
permukaan laut, perilaku merokok dan tahapan usia kehamilan. Kekurangan zat
besi diperkirakan menjadi penyebab paling umum terjadinya anemia secara
global, tetapi kekurangan nutrisi lainnya (seperti folat, vitamin B12 dan vitamin
A), peradangan akut dan kronis, infeksi parasit, serta kelainan bawaan atau
genetik dapat mempengaruhi sintesis hemoglobin, produksi sel darah merah atau
kelangsungan hidup dari sel darah merah, dapat menyebabkan anemia.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity) tapi
merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh
karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label
anemia tapi juga harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang bisa menyebabkan
anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut
tersembunyi, sehingga apabila diungkap dapat menuntun klinisi ke arah penyakit
berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam
pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari
anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut. 

Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang


patogenesis dan patofisiologi anemia, ketepatan dalam memilih, menganalisis
serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Menurut standar kompetensi dokter
indonesia seorang dokter umum harus mampu mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas pada anemia defisiensi besi. Untuk
anemia hemolitik dan makrositik seorang dokter umum diharapkan dapat
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal dan menentukan rujukan yang
tepat.

1
2. Definisi
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurnagnya konsentrasi
hemoglobin didalam tubuh.1 Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan
dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia
ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat
berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas
pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.2,3

3. Epidemiologi
Anemia adalah masalah yang dihadapi secara global. World Health
Organization (WHO) mencatat, secara global pada tahun 2011, terdapat lebih dari
273 juta anak usia 6-59 bulan menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya
merupakan anemia berat, lebih dari 496 juta wanita tidak hamil usia 15-49 tahun
menderita anemia dengan 19.4 juta diantaranya merupakan anemia berat, dan 32.4
juta wanita hamil usia 15-49 tahun menderita anemia dengan 800 ribu diantaranya
merupakan anemia berat. Kurang lebih 50% dari angka ini berkaitan dengan
defisiensi besi (anak: 42%, wanita tidak hamil 49%, dan wanita hamil
50%).Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, di Indonesia terdapat 21,7%
anak ≥1 tahun, 28.1% balita 12-59 bulan, dan 37.1% ibu hamil mengalami anemia
serta prevalensi anemia 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun
sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun (Kemenkes RI,
2014). .Kematian pada anemia sering kali terjadi karena komplikasi dan anemia
berat. Anemia dalam kehamilan meningkatkan resiko kematian ibu dan neonatus.
Pada tahun 2013, secara global, tercatat sekitar 3 juta kematian kematian ibu dan
bayi karena anemia. Prevalensi kematian karena anemia berat pada anak dan
wanita adalah 0.9%-1.5%.

4. Etiologi
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1). Gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh

2
(perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(hemolisis).
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologis
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini
anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila
MCV < 80 fl dan MCH <27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV
80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia apda gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mieloddisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom mielodisplastik

3
5. Patofisiologi
Anemia timbul karena turunnya kadar hemoglobin sehingga terjadi
anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya daya angkut
oksigen. Respon fisiologis terhadap anemia bervariasi sesuai dengan
penyebabnya. Pada anemia karena kehilangan darah akut, penurunan kapasitas
pembawa oksigen akan terjadi seiring dengan penurunan volume intravaskular,
menyebabkan hipoksia dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan hipotensi,
yang dideteksi oleh reseptor pada karotid, lengkung aorta, jantung, dan paru-paru.
Reseptor ini mengirimkan impuls sepanjang serat aferen dari vagus dan saraf
glossopharyngeal ke medula oblongata, korteks serebral, dan kelenjar hipofisis.
Di medula, aktivitas saraf simpatis meningkat, sementara aktivitas
parasimpatis berkurang. Peningkatan aktivitas saraf simpatis menyebabkan
pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan keluarnya epinefrin dan
norepinefrin dari medula adrenal. Aktivitas simpatik ke nukleotalamus akan
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dari kelenjar hipofisis. ADH
meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus. Adanya penurunan perfusi
ginjal akan meneyebabkan sel-sel juxtaglomerular melepaskan renin ke dalam
sirkulasi ginjal dan menyebabkan peningkatan angiotensin I, yang dikonversi oleh
angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek pressor kuat pada otot polos arteriolar.
Angiotensin II juga menstimulasi zona glomerulosa dari korteks adrenal untuk
menghasilkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dari
tubulus proksimal ginjal, sehingga meningkatkan volume intravaskular. Efek
utama dari sistem saraf simpatis adalah mempertahankan perfusi pada jaringan
dengan meningkatkan systemic vascular resistance (SVR). Tekanan vena yang
diperbesar meningkatkan preload dan volume diastolik akhir, yang meningkatkan
stroke volume. Oleh karena itu, stroke volume, denyut jantung, dan SVR
semuanya dimaksimalkan oleh sistem saraf simpatik. Pengiriman oksigen
meningkat seiring dengan peningkatan aliran darah. medscape

4
6. Manifestasi Klinis
a. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom
anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul
pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
sesak napas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
dibawah di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul
setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb<7g/dl).
b. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-
masing jenis anemi. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychias).
- Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
- Anemia hemolitik: ikterus, dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia
tersebut.
7. Pendekatan Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Maka tahap - tahap dalam
diagnosis anemia adalah:

● Menentukan adanya anemia


● Menentukan jenis anemia
● Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

5
● Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan

Terdapat bermacam – macam cara pendekatan diagnosis anemia, diantaranya


adalah pendekatan tradisional, morfologi, fungsional dan probabilistik serta
pendekatan klinis. Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium yang dianalisis dan
disimpulkan menjadi suatu diagnosis.

Pendekatan morfologi berarti anemia diklasifikasikan berdasarkan apusan


darah tepi menjadi anemia hipokromik mikrositer, normokromik normositer dan
makrositer. Pendekatan fungsional berdasarkan pada fenomena apakah anemia
disebabkan oleh penurunan produksi di sumsum tulang (dilhat dari penurunan
retikulosit) atau akibat kehilangan darah ataupun hemolisis (dilihat dari kenaikan
retikulosit). Pendekatan probabilistik berdasarkan pola epidemiologi anemia di
suatu daerah. Pendekatan klinis dilihat dari kecepatan timbulnya anemia (awitan
anemia), berat ringannya derajat anemia serta gejala yang menonjol.

Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan hasil penilaian klinis dan


laboratorik merupakan cara yang ideal. Berikut algoritme pendekatan diagnostik
berdasarkan hasil laboratorium.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring
(screening test); 2). Pemeriksaan darah seri anemia; 3). Pemeriksaan sumsum
tulang; 4). Pemeriksan khusus.
2. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit dam hapusan darah tepi.

6
3. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah.
4. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksan sumsum tulang mutlak
diperlukan untuk diagnosis anemia plastik, anemia megaloblastik, serta pada
kelainan hematologic yang dapat mensupresi system eritroid, seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
5. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:
 Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor
transferrin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
 Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
 Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elekroforesishemoglobin
dan lain-lain.
 Anemia aplastik : biopsy sumsum tulang
8. Pendekatan Terapi
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anemia ialah :
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang
telah ditegakkan terlebih dahulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3. Pengobatan anemia dapat berupa:
 Terapi untuk keadaan darurat seperti perdarahan akut pada anemia
aplastik
 Terapi suportif
 Terapi yang khas untuk masing – masing anemia
 Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia

7
4. Apabila diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan maka diberikan terapi
percobaan (terapi ex juvantius) dengan pemantauan dan evaluasi yang
ketat
5. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda –
tanda gangguan hemodinamik.

PENATALAKSAAN ANEMIA

ANEMIA DEFISIENSI BESI


Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang.6

Peran Zat Besi


Besi merupakan trace element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi terdapat
dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa senyawa besi fungsional, besi
cadangan, dan besi transport. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam
bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu.
Besi bebas akan merusak jaringan, karena mempunyai sifat seperti radikal bebas.

Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk
memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi
paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum. Proses absorpsi besi dibagi
menjadi 3 fase.

 Fase Luminal
Besi pada makanan diolah di lambung lalu siap diserap di duodenum. Besi
dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu:

8
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat penyerapannya tinggi,
tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai
bioavailabilitas tinggi
Besi non-heme: berasal dari tumbuh-tumbuhan, tingkat penyerapannya
rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga
bioavailabilitasnya rendah.
Yang menjadi bahan pemicu absorpsi besi adalah meat factors dan
vitamin C, sedangkan yang ternasuk bahan penghambat adalah tanat, fitat
dan serat. Di dalam lambung karena pengaruh asam lambung, besi
dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi
dari besi bentuk feri yang siap diserap.

 Fase Mukosal
Proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan proses aktif.
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenummdan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat
kompleks dan terkendali (carefully regulated).
 Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel
yang memerlukan, dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi yang
diserap olen enterosit (epitel usus) kemudian melewati bagian basal epitel
usus, memasuki kapiler usus, lalu diikat oleh apotransferin menjadi
transferin dalam darah.

Siklus Besi

Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran tertutup yang diatur oleh
besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologis bersifat tetap. Besi
yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah

9
yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan
bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22
mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit
yang beredar secara efektif di sirkulasi membutuhkan 17 mg besi, sedangkan besi sebesar
7 mg akan dikembalikan di makrofag karena terjadinya eritropoiesis non efektif
(hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar juga akan
dikembalikan ke makrofag setelah mengalami proses penuaan, yaitu sebesar 17 mg.

Siklus Pertukaran Besi Dalam Tubuh

Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi

 Deplesi Besi (Iron Depleted State)


Cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoiesis belum
terganggu.
 Eritropoiesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erythropoiesis)
Cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritopoiesis terganggu, tetapi
belum timbul anemia secara laboratorik.
 Anemia Defisiensi Besi
Cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.

Prevalensi Anemia Defisiensi Besi

10
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Prevalensi anemia di Indonesia
pada laki – laki dewasa berkisar 16 – 50%, pada wanita tidak hamil sekitar 25 –
48% dan pada wanita hamil sekitar 46 – 92%.

Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi,
gangguan penyerapan serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
 Kehilangan besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
- Saluran cerna: akibat tukak peptik, pemakaian salisilat atau
OAINS, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid
dan infeksi cacing tambang.
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metorhagia
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran napas: hemoptoe
 Faktor nutrisi
Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi
(bioavailibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah
vitamin C dan rendah daging)
 Kebutuhan besi meningkat
Seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan
 Gangguan absorpsi besi
Gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik

Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan
besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun keadaan ini disebut iron
depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi terus berlanjut dan

11
penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit tapi belum terjadi anemia secara klinis, keadaan ini disebut
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat.
Apabila kadar besi terus menurun maka eritropoiesis akan semakin
terganggu dan menyebabkan turunnya kadar hemoglobin, timbul anemia
hipokromik mikrositer yang disebut juga sebagai iron deficiency anaemia.

Manifestasi Klinis
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun
dibawah 7 - 8 g/dL. Gejala ini berupa badan lemah,lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, dan telinga berdenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

Gejala Khas Defisiensi Besi


Gejala khas yang dijumpai pada anemia defisiensi besi tapi tidak dijumpai
pada anemia lain adalah :
 Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
 Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang
 Stomatitis angularis (cheilosis): radang pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan
 Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
 Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

12
 Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem
dan lain - lain
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly
adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi
papil lidah dan disfagia.

Gejala Penyakit Dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala penyakit yang
menyebabkan anemia defisiensi besi tersebut. Sebagai contoh anemia akibat
penyakit cacing tambang, dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit
telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan
kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar
atau gejala lain tergantung lokasi kanker tersebut.

Diagnosis
Anemia defisiensi besi ditegakkan apabila terdapat penurunan kadar Hb
dan penurunan kadar Fe serum. Profil hematologik pada anemia defisiensi besi
adalah sebagai berikut8 :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun
2. Apusan darah tepi. Dapat ditemukan gambaran anemia mikrositik
hipokrom, anisitosis, poikilositosis, sel cincin dan sel pensil
3. Besi (Fe) menurun hingga <50 µg/dL.
4. Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat >350 µg/dL. TIBC
menggambarkan jumlah total besi yang dapat dibawa oleh protein
transferin.
5. Saturasi transferin <15%. Saturasi transferin menggambarkan presentase
dari transferin yang sedang berikatan dengan besi.
6. Penurunan kadar feritin serum <20 mg/L.

Diagnosis Banding

13
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya seperti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia dan anemia
sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada
tabel

Tabel 4. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi

Parameter Anemia Anemia Peyakit Trait Thalassemia Anemia


Defisiensi Besi Kronis Sideroblastik
Derajat Ringan sampai Ringan Ringan Ringan sampai
Anemia Berat Berat
MCV Menurun Menurun/ N Menurun Menurun/ N
MCH Menurun Menurun/ N Menurun Menurun/ N
Besi Serum Menurun Menurun Meningkat/ N Meningkat/ N
Tibc Meningkat Menurun Menurun/ N Menurun/ N
Saturasi Menurun Menurun/ N Meningkat Meningkat
Transferin
Besi Sumsum Negatif Positif Positif Kuat Positif dengan
Tulang Ring Sideroblast
Feritin Serum Menurun Menurun/ N Menurun/ N Meningkat/ N
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
Eritrosit
Elektroforesis Normal Normal HbA2 Meningkat Normal
Hb

Tata Laksana
1. Terapi Kausal
Mengatasi penyebab perdarahan yang terjadi misalnya infeksi cacing
tambang, hemoroid dan menorhagia.

14
2. Pemberian Preparat Besi (Fe)
Ferrous sulfat per oral 3x200 mg selama 3 – 6 bulan, ada yang
menganjurkan hingga 12 bulan. Preparat diberikan saat perut kosong.
- Pada pasien yang tidak tahan dengan keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah dan konstipasi pemberian ferrous sulfat dapat
diberikan saat makan atau dengan dosis 3x100 mg.
- Dapat diberikan vitamin C 3x100 mg untuk meningkatkan
penyerapan zat besi.
3. Terapi Besi Parenteral
Iron Dextran Complex (50mg/mL), diberikan secara subkutan atau
intravena pelan.
Rute parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar Hb dan mengisi
besi hingga 50 – 100 mg.

Dosis kebutuhan besi (mg) = [(15 – Hb pasien) x BB X 2,4] + (500 – 1000mg)

Namun rute ini bukan pilihan utama dan hanya dilakukan apabila ada
indikasi
 Intoleransi terhadap pemberian besi oral
 Kepatuhan terhadap pemberian besi oral rendah
 Gangguan pencernaan yang dapat kambuh dengan pemberian besi
oral misalnya kolitis ulsersatif
 Penyerapan preparat besi oral terganggu
 Terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misalnya operasi.

Komplikasi
Anemia defisiensi besi jarang menimbulkan komplikasi berat. Perdarahan
dapat menyebabkan kematian, berkaitan dengan anemia pasca perdarahan. Pada

15
anak – anak anemia defisiensi besi berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif,
tumbuh kembang dan imunitas tubuh.

Prognosis
Tanda respon pengobatan yang baik diantaranya adalah retikulosit naik
pada minggu pertama pengobatan, mencapai puncak pada hari ke – 10 dan
kembali normal pada hari ke – 14. Kenaikan Hb 0,15 g/dL per hari atau 2 g/dL
setelah 3 – 4 minggu dan Hb kembali normal setelah 4 – 10 minggu.

Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan tindakan pencegahan. Pendidikan kesehatan mengenai kesehatan
lingkungan untuk mencegah infeksi cacing tambang dan penyuluhan gizi untuk
mendorong konsumsi makanan yang membantu penyerapan besi dapat dilakukan.
Pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan seperti anak –
anak dan ibu hamil untuk mencegah anemia defisiensi besi.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Definisi
Anemia megaloblastik (makrositik) merupakan kelainan sel darah merah
dimana dijumpai anemia dengan volume sel darah merah lebih besar dari normal
dan ditandai oleh banyak sel imatur besar dan sel darah merah disfungsional
(megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan sintesis DNA atau RNA
dalam produksi sel darah merah. Terganggunya sintesis DNA atau RNA
menyebabkan diferensiasi sel terhambat dan menyebabkan morfologi sel mejadi
makrositosis.

Etiologi dan Patogenesis


Anemia megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
(sianokobalamin) dan asam folat. Vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel. Apabila terdapat gangguan sintesis DNA pada inti
eritroblast maturasi inti akan melambat sehingga kromatin lebih longgar dan sel
menjadi lebih besar karena lambatnya pembelahan sel. Sel eritroblast dengan

16
ukuran lebih besar dan susunan kromatin yang lebih longgar ini disebut sel
megaloblast. Sel megaloblast memiliki fungsi yang tidak normal sehingga terjadi
eritropoiesis inefektif dan masa hidup eritrosit yang lebih pendek, yang akan
berujung terhadap kejadian anemia.

Epidemiologi
Anemia makrositosis dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi lebih
menonjol pada usia yang lebih tua karena penyebab makrositosis lebih lazim pada
orang tua.

Manifestasi Klinis
Secara hematologik anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat
memberikan gambaran yang sama, tetapi defisiensi vitamin B12 disertai dengan
adanya kelainan neurologik. Gambaran umum anemia megaloblastik adalah
1. Anemia timbul perlahan dan progresif
2. Kadang – kadang disertai dengan ikterus ringan
3. Glositis dengan lidah berwarna merah, seperti daging (buffy tongue)
Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neuropati berupa
1. Neuritis perifer: mati rasa, rasa terbakar pada jari
2. Kerusakan columna posterior: gangguan posisi, vibrasi dan tes romberg
positif
3. Kerusakan kolumna lateralis: spastisitas dengan deep reflex hiperaktif dan
gangguan serrebrasi.

Diagnosis
Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dengan adanya anemia dengan
MCV > 100 Fl, sel – sel darah merah yang besar (makrositik) dan hiperpigmentasi
netrofil pada apusan darah tepi. Terkadang juga dijumpai leukopenia dan
trombositopenia ringan. Untuk membedakan defisiensi vitamin B12 atau asam
folat dilakukan pemeriksaan khusus.

17
Untuk defisiensi vitamin B12 dapat dilakukan uji schilling namun
sekarang uji schilling sudah jarang dilakukan dan dimodifikasi dengan mengukur
kadar vitamin B12 serum/plasma secara serial sebelum dan setelah pemberian
vitamin B12 per-oral. Rentang nilai normal kadar serum B12 adalah antara 200
dan 900 pg/ml dan pada wanita hamil 300 pg/ml.
Sementara untuk nilai normal kadar asam folat serum adalah 6 – 20 ng/mL
apabila kadar asam folat serum dibawah 4 ng/mL dipertimbangkan sebagai
diagnosis defisiensi asam folat. Pemeriksaan kadar asam folat dalam intrasel sel
darah merah juga bisa dilakukan dengan cara radioassay kompetitif mengikat
protein, apabila didapatkan kadar folat < 140 ng/Ml hasil tersebut menunjukan
defisiensi folat.

Tata Laksana
Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat adalah terapi
pengganti dengan vitamin B12 dan asam folat. Untuk defisiensi vitamin B12
dapat diberikan injeksi hydroxycobalamin intramuskuler 200 mg/hari atau 1000
mg diberikan setiap minggu selama tujuh minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg
tiap bulan atau 1000 mg tiap tiga bulan.
Untuk defisiensi asam folat berikan asam folat 1 mg/hari atau 5 mg/hari
apabila defisiensi asam folat disebabkan oleh malabsorpsi.

Komplikasi
Komplikasi defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan atrofi optik,
ophthalmoplegia, lesi upper motor neuron sampai kegagalan otak kronis.
Defisiensi asam folat dapat menyebabkan aborsi spontan, malformasi kongenital
dan keterlambatan bicara pada anak yang dilahirkan.

Prognosis
Prognosis baik jika etiologi megaloblastosis telah ditentukan dan
pengobatan yang tepat telah diberikan. Respon baik terhadap terapi apabila
retikulosit mulai naik pada hari ke 2 – 3, mencapai puncak pada hari ke 7 – 8.
Kadar Hb harus naik 2 – 3 g/dl tiap dua minggu.

18
ANEMIA HEMOLITIK
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis.
Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya.
Anemia hemolitik dibagi menjadi dua golongan besar yaitu anemia hemolitik
imun dan anemia hemolitik non imun.2,8

1. Anemia Hemolitik Imun


Definisi
Anemia hemolitik imun disebabkan adanya kelainan pada antibodi
terhadap sel – sel eritrosit sehingga eritrosit mudah lisis dan umur eritrosit
memendek. Timbulnya anemia hemolitik imun membutuhkan adanya antibodi
dan proses destruksi eritrosit.10

Epidemiologi
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA akut
sangat jarang terjadi, insidensinya 1 – 3 kasus per 100.000 individu per tahun.
Lebih sering terjadi pada perempuan dan umumnya terjadi pada usia pertengahan
(middle aged).8

Klasifikasi
1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
a. Tipe hangat: diperantari oleh IgG, berikatan dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
- Idiopatik
- Sekunder: leukemia, limfositosis kronis, SLE
b. Tipe dingin: diperantarai oleh IgM, berikatan dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh.
- Idiopatik
- Sekunder: infeksi mycoplasma, keganasan limforetikuler

19
c. Paroxysmal cold hemoglobinouria
- Idiopatik
- Sekunder: sifilis
d. AIHA Atipik
- AIHA tes antiglobulin negatif
- AIHA kombinasi tipe hangat dan digin
2. AIHA diinduksi obat: golongan penisilin, kinin, kuinidin, sulfonamid,
tiazid, metildopa
3. AIHA diinduksi aloantibodi
a. Reaksi hemolitik transfusi
b. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

Manifestasi Klinis
1. AIHA Tipe Hangat
Gejala umum anemia, ikterik, demam, urin berwarna gelap, splenomegali,
hepatomegali dan limadenopati
2. AIHA Tipe Dingin
Anemia ringan (Hb 9 – 12 g/dL), akrosianosis (aglutinasi intravaskular
ditandai dengan munculnya warna biru keunguan pada ekstremitas, hidung
dan telinga saat terpapar suhu dingin) dan splenomegali.
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinouria
Hemolisis paroksimal disertai menggigil panas, mialgia, sakit kepala dan
urtikaria.
4. AIHA diinduksi Obat
Sangat bervariasi berupa gejala dan tanda hemolisis ringan sampai berat.

Pemeriksaan Penunjang
1. AIHA Tipe Hangat
Pada apusan darah ditemukan sferositosis, Hb < 7 g/dL, Retikulosit
200.000 – 600.000/ µL dan uji coomb direk positif.
2. AIHA Tipe Dingin

20
Anemia ringan (Hb 9 – 12 g/dL), retikulositosis ringan, sferositosis,
polikromatosis, tes coomb positif, antibodi (anti – I, anti – M, anti – Pr,
anti – M, anti – P) positif.

3. Paroxysmal Cold Hemoglobinouria


Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositosis, tes coomb positif, antibodi
donath-Landsteiner terisoladi dari sel darah merah, antibodi cold reacting
IgG positif.
4. AIHA diinduksi Obat
Anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes coomb positif, leukopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia dan hemoglobinuria.

Tata Laksana
1. AIHA Tipe Hangat
Kortikosteroid (prednison) 1 – 1,5 mg/kgBB/hari per oral, imunosupresan
(azitropin 50 – 200 mg/ hari, siklosfamid 50 – 150 mg/hari), danazol 600 –
800 mg/hari, lakukan transfusi apabila mengancam jiwa.
2. AIHA Tipe Dingin
Hindari faktor pencetus yaitu udara dingin, berikan Klorambusil 2 – 4
mg/hari.
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinouria
Hindari faktor pencetus yaitu udara dingin.
4. AIHA diinduksi Obat
Menghentikan obat yang menjadi penyebab dapat diberikan kortikosteroid
dan transfusi darah untuk kondisi berat.

Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik namun terkendali. Prognosis pada
pasien umumnya baik dengan survival yang panjang. Prognosis juga bergantung
kepada penyakit yang mendasari.

21
2. Anemia Hemolitik Non – Imun
Definisi
Anemia hemolitik non – imun disebabkan oleh kerusakan eritrosit yang
lebih cepat daripada kemampuan eritropoiesis sumsum tulang dan terjadi tanpa
melibatkan imunoglobulin.8

Etiologi dan Klasifikasi


Berdasarkan etiologi:
1. Anemia hemolisis herediter
a. Defek enzim: defek jalur embden myerhof, defisiensi piruvat kinase,
defisiensi glukosafosfatisomerase, defisiensi fosfogliseratkinase
b. Defek jalur heksosa monofosfat: defisiensi G6PD
c. Hemiglobinopati: talasemia, anemia bulan sabit dan hemoglobinopati
d. Defek membran: sferositosis herediter
2. Anemia hemolisis didapat
a. Anemia hemolisis imun: idiopatik, keganasan, obat – obatan, infeksi,
transfusi
b. Mikroangiopati: trombotik trombositopenia purpura (TTP), sindrom
uremik hemolitik, DIC
c. Infeksi: malaria, babesiosis, clostridium sp.

Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kulit atau
mukosa yang ikterik serta tanda splenomegali.

Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan morfologi eritrosit didapatkan adanya hemolisis dan
penyebabnya seperti sferosis herediter, sel target pada thalasemia dan schistosit
pada mikroangipati. Pemeriksaan darah tepi didapatkan penurunan kadar
hemoglobin dan retikulosis. Hemoglobinuria dan peningkatan bilirubin indirek.8

22
Tata Laksana
Penatalaksanaan disesuaikan dengan penyebabnya, misalnya pada TTP
dapat diberikan fresh frozen plasma, pada sferosis herediter dapat diberikan asam
folat sebagai profilaksis.11

Prognosis
Prognosis bergantung kepada penyakit yang mendasari. Secara umum,
angka mortalitas pada kasus hemolitik tergolong rendah.

ANEMIA PENYAKIT KRONIS


Definisi
Anemia yang dijumpai pada pasien dengan infeksi, inflamasi kronis
maupun keganasan. Anemia ini bersifat ringan atau sedang, disertai dengan rasa
lelah atau penurunan berat badan.8

Etiologi dan Faktor Risiko


1. Banyak dihubungkan dengan infeksi kronis, seperti tuberkulosis, abses
paru, endokarditis bakterialis, infeksi jamur kronis, HIV/AIDS anemia
terjadi sekitar 1 – 2 bulan setelah infeksi terjadi.
2. Inflamasi kronis, seperti artritis reumatoid, enteritis, kolitis ulseratif.
3. Keganasan (neoplasma), seperti limfoma dan sarkoma.

Manifestasi Klinis

Gejala anemia seringkali tersamar dengan gejala penyakit dasarnya karena


anemia yang terjadi umumnya ringan atau sedang (Hb sekitar 7 – 11 g/dL). Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan konjungtiva yang pucat.

23
Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan temuan profil hematologik berikut dengan


penyakit yang menyertai:

 Morfologi eritrosit umumnya normositik normokrom, banyak juga dengan


anemia mikrositik hipokrom
 Nilai retikulosit dalam batas normal atau meningkat
 Kadar besi serum menurun, TIBC rendah, kadar besi pada sumsum tulang
normal atau meningkat, kadar feritin normal atau meningkat serta kadar
transferin menurun.

Tata Laksana
Terapi utama adalah mengobati penyakit dasarnya, pada kasus yang
disertai dengan gangguan hemodinamik dapat diberikan transfusi, kadar Hb
sebaiknya dipertahankan 10 – 11 g/dL. Pemberian preaparat besi tidak disarankan
pada pasien dengan anemia penyakit kronis.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia : Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 6 . Jakarta : Interna Publishing. 2014. 2583 –
2577.
2. Effendy, Shufrie. Anemia Megaloblastik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Ed. 6. Jakarta : Interna Publishing. 2014. 2608 – 2602
3. Hariadi, Kartika, Pardjono, Elias. Anemia Hemolitik : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Ed. 6 . Jakarta : Interna Publishing. 2014. 2615 – 2609
4. Heeney M, Dover GJ. Sickle cell disease. In: Nathan DG, Orkin SH, Oski FA,
Ginsburg D. Look AT. Fisher DE. Lux SE, eds. Nathan and Oski’s Hematology
of infancy and childhood. Edisi ke7. Philadelphia: PA: Saunders Elsevier; 2009.
Hal 949-1014.

5. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes


RI; 2015Lilly, L. Patophysiology of heart disease 6th edition. Wolters
Kluwer. 2019.
6. Khusun H, Yip R, Schultink W,D illon DHS. World health organization
hemoglobin cut-off points for the detection of anemia are valid for an indonesian
population. J Nutr. 1999;129(1):1669-74

7. Medscape : Anemia : Practice Essentials. :


https://reference.medscape.com/.
8. Schwart E. Iron deficiency anemia. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson t extbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007. hal.1469- 71.

25

Anda mungkin juga menyukai