PENATALAKSANAAN ANEMIA
Disusun oleh:
Prima Harlan Putra 1102015176
Rafid 1102016175
Pembimbing:
1
2. Definisi
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurnagnya konsentrasi
hemoglobin didalam tubuh.1 Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan
dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia
ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat
berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas
pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.2,3
3. Epidemiologi
Anemia adalah masalah yang dihadapi secara global. World Health
Organization (WHO) mencatat, secara global pada tahun 2011, terdapat lebih dari
273 juta anak usia 6-59 bulan menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya
merupakan anemia berat, lebih dari 496 juta wanita tidak hamil usia 15-49 tahun
menderita anemia dengan 19.4 juta diantaranya merupakan anemia berat, dan 32.4
juta wanita hamil usia 15-49 tahun menderita anemia dengan 800 ribu diantaranya
merupakan anemia berat. Kurang lebih 50% dari angka ini berkaitan dengan
defisiensi besi (anak: 42%, wanita tidak hamil 49%, dan wanita hamil
50%).Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, di Indonesia terdapat 21,7%
anak ≥1 tahun, 28.1% balita 12-59 bulan, dan 37.1% ibu hamil mengalami anemia
serta prevalensi anemia 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun
sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun (Kemenkes RI,
2014). .Kematian pada anemia sering kali terjadi karena komplikasi dan anemia
berat. Anemia dalam kehamilan meningkatkan resiko kematian ibu dan neonatus.
Pada tahun 2013, secara global, tercatat sekitar 3 juta kematian kematian ibu dan
bayi karena anemia. Prevalensi kematian karena anemia berat pada anak dan
wanita adalah 0.9%-1.5%.
4. Etiologi
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1). Gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh
2
(perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya
(hemolisis).
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologis
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini
anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila
MCV < 80 fl dan MCH <27 pg; 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV
80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia apda gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mieloddisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
3
5. Patofisiologi
Anemia timbul karena turunnya kadar hemoglobin sehingga terjadi
anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap kurangnya daya angkut
oksigen. Respon fisiologis terhadap anemia bervariasi sesuai dengan
penyebabnya. Pada anemia karena kehilangan darah akut, penurunan kapasitas
pembawa oksigen akan terjadi seiring dengan penurunan volume intravaskular,
menyebabkan hipoksia dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan hipotensi,
yang dideteksi oleh reseptor pada karotid, lengkung aorta, jantung, dan paru-paru.
Reseptor ini mengirimkan impuls sepanjang serat aferen dari vagus dan saraf
glossopharyngeal ke medula oblongata, korteks serebral, dan kelenjar hipofisis.
Di medula, aktivitas saraf simpatis meningkat, sementara aktivitas
parasimpatis berkurang. Peningkatan aktivitas saraf simpatis menyebabkan
pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan keluarnya epinefrin dan
norepinefrin dari medula adrenal. Aktivitas simpatik ke nukleotalamus akan
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dari kelenjar hipofisis. ADH
meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus. Adanya penurunan perfusi
ginjal akan meneyebabkan sel-sel juxtaglomerular melepaskan renin ke dalam
sirkulasi ginjal dan menyebabkan peningkatan angiotensin I, yang dikonversi oleh
angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek pressor kuat pada otot polos arteriolar.
Angiotensin II juga menstimulasi zona glomerulosa dari korteks adrenal untuk
menghasilkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dari
tubulus proksimal ginjal, sehingga meningkatkan volume intravaskular. Efek
utama dari sistem saraf simpatis adalah mempertahankan perfusi pada jaringan
dengan meningkatkan systemic vascular resistance (SVR). Tekanan vena yang
diperbesar meningkatkan preload dan volume diastolik akhir, yang meningkatkan
stroke volume. Oleh karena itu, stroke volume, denyut jantung, dan SVR
semuanya dimaksimalkan oleh sistem saraf simpatik. Pengiriman oksigen
meningkat seiring dengan peningkatan aliran darah. medscape
4
6. Manifestasi Klinis
a. Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom
anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul
pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb<7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
sesak napas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
dibawah di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul
setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb<7g/dl).
b. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-
masing jenis anemi. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychias).
- Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
- Anemia hemolitik: ikterus, dan tanda-tanda infeksi.
c. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia
tersebut.
7. Pendekatan Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Maka tahap - tahap dalam
diagnosis anemia adalah:
5
● Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan
6
3. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah.
4. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksan sumsum tulang mutlak
diperlukan untuk diagnosis anemia plastik, anemia megaloblastik, serta pada
kelainan hematologic yang dapat mensupresi system eritroid, seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
5. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:
Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum, reseptor
transferrin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elekroforesishemoglobin
dan lain-lain.
Anemia aplastik : biopsy sumsum tulang
8. Pendekatan Terapi
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anemia ialah :
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang
telah ditegakkan terlebih dahulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3. Pengobatan anemia dapat berupa:
Terapi untuk keadaan darurat seperti perdarahan akut pada anemia
aplastik
Terapi suportif
Terapi yang khas untuk masing – masing anemia
Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia
7
4. Apabila diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan maka diberikan terapi
percobaan (terapi ex juvantius) dengan pemantauan dan evaluasi yang
ketat
5. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda –
tanda gangguan hemodinamik.
PENATALAKSAAN ANEMIA
Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk
memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi
paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum. Proses absorpsi besi dibagi
menjadi 3 fase.
Fase Luminal
Besi pada makanan diolah di lambung lalu siap diserap di duodenum. Besi
dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu:
8
Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat penyerapannya tinggi,
tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai
bioavailabilitas tinggi
Besi non-heme: berasal dari tumbuh-tumbuhan, tingkat penyerapannya
rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga
bioavailabilitasnya rendah.
Yang menjadi bahan pemicu absorpsi besi adalah meat factors dan
vitamin C, sedangkan yang ternasuk bahan penghambat adalah tanat, fitat
dan serat. Di dalam lambung karena pengaruh asam lambung, besi
dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi
dari besi bentuk feri yang siap diserap.
Fase Mukosal
Proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan proses aktif.
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenummdan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat
kompleks dan terkendali (carefully regulated).
Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel
yang memerlukan, dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi yang
diserap olen enterosit (epitel usus) kemudian melewati bagian basal epitel
usus, memasuki kapiler usus, lalu diikat oleh apotransferin menjadi
transferin dalam darah.
Siklus Besi
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran tertutup yang diatur oleh
besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologis bersifat tetap. Besi
yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah
9
yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan
bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22
mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit
yang beredar secara efektif di sirkulasi membutuhkan 17 mg besi, sedangkan besi sebesar
7 mg akan dikembalikan di makrofag karena terjadinya eritropoiesis non efektif
(hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar juga akan
dikembalikan ke makrofag setelah mengalami proses penuaan, yaitu sebesar 17 mg.
10
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Prevalensi anemia di Indonesia
pada laki – laki dewasa berkisar 16 – 50%, pada wanita tidak hamil sekitar 25 –
48% dan pada wanita hamil sekitar 46 – 92%.
Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan
besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun keadaan ini disebut iron
depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi terus berlanjut dan
11
penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit tapi belum terjadi anemia secara klinis, keadaan ini disebut
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat.
Apabila kadar besi terus menurun maka eritropoiesis akan semakin
terganggu dan menyebabkan turunnya kadar hemoglobin, timbul anemia
hipokromik mikrositer yang disebut juga sebagai iron deficiency anaemia.
Manifestasi Klinis
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyakit dasar.
Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun
dibawah 7 - 8 g/dL. Gejala ini berupa badan lemah,lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, dan telinga berdenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
12
Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem
dan lain - lain
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly
adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi
papil lidah dan disfagia.
Diagnosis
Anemia defisiensi besi ditegakkan apabila terdapat penurunan kadar Hb
dan penurunan kadar Fe serum. Profil hematologik pada anemia defisiensi besi
adalah sebagai berikut8 :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun
2. Apusan darah tepi. Dapat ditemukan gambaran anemia mikrositik
hipokrom, anisitosis, poikilositosis, sel cincin dan sel pensil
3. Besi (Fe) menurun hingga <50 µg/dL.
4. Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat >350 µg/dL. TIBC
menggambarkan jumlah total besi yang dapat dibawa oleh protein
transferin.
5. Saturasi transferin <15%. Saturasi transferin menggambarkan presentase
dari transferin yang sedang berikatan dengan besi.
6. Penurunan kadar feritin serum <20 mg/L.
Diagnosis Banding
13
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya seperti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia dan anemia
sideroblastik. Cara membedakan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada
tabel
Tata Laksana
1. Terapi Kausal
Mengatasi penyebab perdarahan yang terjadi misalnya infeksi cacing
tambang, hemoroid dan menorhagia.
14
2. Pemberian Preparat Besi (Fe)
Ferrous sulfat per oral 3x200 mg selama 3 – 6 bulan, ada yang
menganjurkan hingga 12 bulan. Preparat diberikan saat perut kosong.
- Pada pasien yang tidak tahan dengan keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah dan konstipasi pemberian ferrous sulfat dapat
diberikan saat makan atau dengan dosis 3x100 mg.
- Dapat diberikan vitamin C 3x100 mg untuk meningkatkan
penyerapan zat besi.
3. Terapi Besi Parenteral
Iron Dextran Complex (50mg/mL), diberikan secara subkutan atau
intravena pelan.
Rute parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar Hb dan mengisi
besi hingga 50 – 100 mg.
Namun rute ini bukan pilihan utama dan hanya dilakukan apabila ada
indikasi
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
Kepatuhan terhadap pemberian besi oral rendah
Gangguan pencernaan yang dapat kambuh dengan pemberian besi
oral misalnya kolitis ulsersatif
Penyerapan preparat besi oral terganggu
Terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
Kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misalnya operasi.
Komplikasi
Anemia defisiensi besi jarang menimbulkan komplikasi berat. Perdarahan
dapat menyebabkan kematian, berkaitan dengan anemia pasca perdarahan. Pada
15
anak – anak anemia defisiensi besi berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif,
tumbuh kembang dan imunitas tubuh.
Prognosis
Tanda respon pengobatan yang baik diantaranya adalah retikulosit naik
pada minggu pertama pengobatan, mencapai puncak pada hari ke – 10 dan
kembali normal pada hari ke – 14. Kenaikan Hb 0,15 g/dL per hari atau 2 g/dL
setelah 3 – 4 minggu dan Hb kembali normal setelah 4 – 10 minggu.
Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka
diperlukan tindakan pencegahan. Pendidikan kesehatan mengenai kesehatan
lingkungan untuk mencegah infeksi cacing tambang dan penyuluhan gizi untuk
mendorong konsumsi makanan yang membantu penyerapan besi dapat dilakukan.
Pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan seperti anak –
anak dan ibu hamil untuk mencegah anemia defisiensi besi.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Definisi
Anemia megaloblastik (makrositik) merupakan kelainan sel darah merah
dimana dijumpai anemia dengan volume sel darah merah lebih besar dari normal
dan ditandai oleh banyak sel imatur besar dan sel darah merah disfungsional
(megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan sintesis DNA atau RNA
dalam produksi sel darah merah. Terganggunya sintesis DNA atau RNA
menyebabkan diferensiasi sel terhambat dan menyebabkan morfologi sel mejadi
makrositosis.
16
ukuran lebih besar dan susunan kromatin yang lebih longgar ini disebut sel
megaloblast. Sel megaloblast memiliki fungsi yang tidak normal sehingga terjadi
eritropoiesis inefektif dan masa hidup eritrosit yang lebih pendek, yang akan
berujung terhadap kejadian anemia.
Epidemiologi
Anemia makrositosis dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi lebih
menonjol pada usia yang lebih tua karena penyebab makrositosis lebih lazim pada
orang tua.
Manifestasi Klinis
Secara hematologik anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat
memberikan gambaran yang sama, tetapi defisiensi vitamin B12 disertai dengan
adanya kelainan neurologik. Gambaran umum anemia megaloblastik adalah
1. Anemia timbul perlahan dan progresif
2. Kadang – kadang disertai dengan ikterus ringan
3. Glositis dengan lidah berwarna merah, seperti daging (buffy tongue)
Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neuropati berupa
1. Neuritis perifer: mati rasa, rasa terbakar pada jari
2. Kerusakan columna posterior: gangguan posisi, vibrasi dan tes romberg
positif
3. Kerusakan kolumna lateralis: spastisitas dengan deep reflex hiperaktif dan
gangguan serrebrasi.
Diagnosis
Diagnosis anemia makrositer ditegakkan dengan adanya anemia dengan
MCV > 100 Fl, sel – sel darah merah yang besar (makrositik) dan hiperpigmentasi
netrofil pada apusan darah tepi. Terkadang juga dijumpai leukopenia dan
trombositopenia ringan. Untuk membedakan defisiensi vitamin B12 atau asam
folat dilakukan pemeriksaan khusus.
17
Untuk defisiensi vitamin B12 dapat dilakukan uji schilling namun
sekarang uji schilling sudah jarang dilakukan dan dimodifikasi dengan mengukur
kadar vitamin B12 serum/plasma secara serial sebelum dan setelah pemberian
vitamin B12 per-oral. Rentang nilai normal kadar serum B12 adalah antara 200
dan 900 pg/ml dan pada wanita hamil 300 pg/ml.
Sementara untuk nilai normal kadar asam folat serum adalah 6 – 20 ng/mL
apabila kadar asam folat serum dibawah 4 ng/mL dipertimbangkan sebagai
diagnosis defisiensi asam folat. Pemeriksaan kadar asam folat dalam intrasel sel
darah merah juga bisa dilakukan dengan cara radioassay kompetitif mengikat
protein, apabila didapatkan kadar folat < 140 ng/Ml hasil tersebut menunjukan
defisiensi folat.
Tata Laksana
Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat adalah terapi
pengganti dengan vitamin B12 dan asam folat. Untuk defisiensi vitamin B12
dapat diberikan injeksi hydroxycobalamin intramuskuler 200 mg/hari atau 1000
mg diberikan setiap minggu selama tujuh minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg
tiap bulan atau 1000 mg tiap tiga bulan.
Untuk defisiensi asam folat berikan asam folat 1 mg/hari atau 5 mg/hari
apabila defisiensi asam folat disebabkan oleh malabsorpsi.
Komplikasi
Komplikasi defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan atrofi optik,
ophthalmoplegia, lesi upper motor neuron sampai kegagalan otak kronis.
Defisiensi asam folat dapat menyebabkan aborsi spontan, malformasi kongenital
dan keterlambatan bicara pada anak yang dilahirkan.
Prognosis
Prognosis baik jika etiologi megaloblastosis telah ditentukan dan
pengobatan yang tepat telah diberikan. Respon baik terhadap terapi apabila
retikulosit mulai naik pada hari ke 2 – 3, mencapai puncak pada hari ke 7 – 8.
Kadar Hb harus naik 2 – 3 g/dl tiap dua minggu.
18
ANEMIA HEMOLITIK
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis.
Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya.
Anemia hemolitik dibagi menjadi dua golongan besar yaitu anemia hemolitik
imun dan anemia hemolitik non imun.2,8
Epidemiologi
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA akut
sangat jarang terjadi, insidensinya 1 – 3 kasus per 100.000 individu per tahun.
Lebih sering terjadi pada perempuan dan umumnya terjadi pada usia pertengahan
(middle aged).8
Klasifikasi
1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
a. Tipe hangat: diperantari oleh IgG, berikatan dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
- Idiopatik
- Sekunder: leukemia, limfositosis kronis, SLE
b. Tipe dingin: diperantarai oleh IgM, berikatan dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh.
- Idiopatik
- Sekunder: infeksi mycoplasma, keganasan limforetikuler
19
c. Paroxysmal cold hemoglobinouria
- Idiopatik
- Sekunder: sifilis
d. AIHA Atipik
- AIHA tes antiglobulin negatif
- AIHA kombinasi tipe hangat dan digin
2. AIHA diinduksi obat: golongan penisilin, kinin, kuinidin, sulfonamid,
tiazid, metildopa
3. AIHA diinduksi aloantibodi
a. Reaksi hemolitik transfusi
b. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
Manifestasi Klinis
1. AIHA Tipe Hangat
Gejala umum anemia, ikterik, demam, urin berwarna gelap, splenomegali,
hepatomegali dan limadenopati
2. AIHA Tipe Dingin
Anemia ringan (Hb 9 – 12 g/dL), akrosianosis (aglutinasi intravaskular
ditandai dengan munculnya warna biru keunguan pada ekstremitas, hidung
dan telinga saat terpapar suhu dingin) dan splenomegali.
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinouria
Hemolisis paroksimal disertai menggigil panas, mialgia, sakit kepala dan
urtikaria.
4. AIHA diinduksi Obat
Sangat bervariasi berupa gejala dan tanda hemolisis ringan sampai berat.
Pemeriksaan Penunjang
1. AIHA Tipe Hangat
Pada apusan darah ditemukan sferositosis, Hb < 7 g/dL, Retikulosit
200.000 – 600.000/ µL dan uji coomb direk positif.
2. AIHA Tipe Dingin
20
Anemia ringan (Hb 9 – 12 g/dL), retikulositosis ringan, sferositosis,
polikromatosis, tes coomb positif, antibodi (anti – I, anti – M, anti – Pr,
anti – M, anti – P) positif.
Tata Laksana
1. AIHA Tipe Hangat
Kortikosteroid (prednison) 1 – 1,5 mg/kgBB/hari per oral, imunosupresan
(azitropin 50 – 200 mg/ hari, siklosfamid 50 – 150 mg/hari), danazol 600 –
800 mg/hari, lakukan transfusi apabila mengancam jiwa.
2. AIHA Tipe Dingin
Hindari faktor pencetus yaitu udara dingin, berikan Klorambusil 2 – 4
mg/hari.
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinouria
Hindari faktor pencetus yaitu udara dingin.
4. AIHA diinduksi Obat
Menghentikan obat yang menjadi penyebab dapat diberikan kortikosteroid
dan transfusi darah untuk kondisi berat.
Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik namun terkendali. Prognosis pada
pasien umumnya baik dengan survival yang panjang. Prognosis juga bergantung
kepada penyakit yang mendasari.
21
2. Anemia Hemolitik Non – Imun
Definisi
Anemia hemolitik non – imun disebabkan oleh kerusakan eritrosit yang
lebih cepat daripada kemampuan eritropoiesis sumsum tulang dan terjadi tanpa
melibatkan imunoglobulin.8
Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kulit atau
mukosa yang ikterik serta tanda splenomegali.
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan morfologi eritrosit didapatkan adanya hemolisis dan
penyebabnya seperti sferosis herediter, sel target pada thalasemia dan schistosit
pada mikroangipati. Pemeriksaan darah tepi didapatkan penurunan kadar
hemoglobin dan retikulosis. Hemoglobinuria dan peningkatan bilirubin indirek.8
22
Tata Laksana
Penatalaksanaan disesuaikan dengan penyebabnya, misalnya pada TTP
dapat diberikan fresh frozen plasma, pada sferosis herediter dapat diberikan asam
folat sebagai profilaksis.11
Prognosis
Prognosis bergantung kepada penyakit yang mendasari. Secara umum,
angka mortalitas pada kasus hemolitik tergolong rendah.
Manifestasi Klinis
23
Diagnosis
Tata Laksana
Terapi utama adalah mengobati penyakit dasarnya, pada kasus yang
disertai dengan gangguan hemodinamik dapat diberikan transfusi, kadar Hb
sebaiknya dipertahankan 10 – 11 g/dL. Pemberian preaparat besi tidak disarankan
pada pasien dengan anemia penyakit kronis.
24
DAFTAR PUSTAKA
25