Anda di halaman 1dari 4

Pemenuhan kebutuhan eliminasi terbagi menjadi dua yaitu kebutuhan eliminasi urin dan

eliminasi fekal. Berdasarkan SDKI (2016) diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada
pasien dengan gangguan eliminasi khususnya pada subkategori eliminasi antara lain
inkoninensia urin, retensi urin, inkontinensia fekal, konstipasi dan sebagainya.

Salah satu masalah yang dapat terjadi pada pemenuhan kebutuhan eliminasi urin yaitu
inkontinensia urin. Inkontenensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Merupakan suatu gejala kelainan berkemih yang sangat mengganggu dan seluruh proses
berkemih ini merupakan aktifitas neurologi yang sangat kompleks dan cepat di atur oleh otak
(kulit otak dan di bawah kulit otak) bila terjadi gangguan kontrol dari otak akibat penyakit –
penyakit saraf tertentu maka akan mengakibatkan inkontinensia. Pengeluaran kemih di atur
oleh otot-otot yang di sebut sfingter (terletak di dasar kandung kencing dan dinding saluran
kencing). Didalam keadaan normal sfingter akan menghalangi pengeluaran urine dengan
menutup kandung kemih dan salurannya (Handayani 2012).

Inisiasi berasal dari kata inhiate, yang berarti memulai suatu kegiatan,sebuah pertanyaan
yang menjadi tanda masuk/permulaan sebagai permulaan suatu tindakan yang benar sesuai
dengan prinsip (Lestari & Malvino, 2017). Bladder training adalah salah satu upaya untuk
mengendalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan keadaan normal atau ke
fungsi optimal neurogenik. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif
diantara terapi nonfarmakologis (Lestari & Malvino, 2017).

Bladder Training memberikan dampak yang berbeda pada jenis kelamin laki-laki. Pada
struktur otot destrusor dan spingter tersusun oleh sebagian otot polos kandung kemih ,
sehingga bila berkontraksi akan mengakibatkan pengosongan kandung kemih. Spingter uretra
pada laki-laki terletak pada bagaian distal prostat, sehingga pada laki-laki lebih lama
merasakan rangsangan berkemih dibandingkan dengan perempuan (Black, 2014). Tujuan
Bladder training adalah untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih fungsional serta untuk
mengurangi frekuensi, urgensi, nokturi serta meningkatkan kualitas hidup (Lewis, 2013).

Ketika mempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama latihan
kandung kemih atau bladder training harus dimulai dahulu untuk mengembangkan kandung
kemih. Ketika kateter terpasang kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi pada
akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya(atonia) atau kekuatan dan kapasitas
kandung kemih menurun. Apabila atonia terjadi dan kateter dilepas otot destrusor mungkin
tidak dapat berkontraksi sehingga terjadi gangguan dalam proses berkemih, untuk itu perlu
dilakukan Bladder Training sebelum melepas kateter urine (Donna, 2012 dikutip oleh Lestari
& Malvino, 2017).

Berdasarkan hasil dari penelitian dapat ditarik kesimpulan, bahwa tehnik Inisiasi
Bladder Training Terhadap Residu Urine berpengaruh baik bagi kesehatan pasien stroke,
namun tehnik ini juga dapat dilakukan bagi pasien yang menderita penyakit lainnya.
Terutama yang memiliki ganguan pola perkemihan yang terpasang kateter (Lestari &
Malvino, 2017)

Selain masalah dalam memenuhi kebutuhan eliminasi urin, dapat pula terjadi gangguan
pada eliminasi fekal salah satunya yaitu konstipasi. Nyeri perut sekunder akibat konstipasi
adalah keluhan utama yang umum ditemui, sejumlah terapi akut dan kronis tersedia untuk
pengobatan konstipasi, termasuk manipulasi pola makan, suplemen makanan, obat oral, dan
pemberian larutan enema melalui rektal. Mengingat potensinya meredakan gejala dengan
cepat, enema sering digunakan dalam penanganannya untuk menatalaksana konstipasi (Julie
et al, 2019).

Meskipun enema banyak digunakan sebagai salah satu alat dalam penatalaksanaan
konstipasi, hanya ada sedikit literatur untuk memandu pemilihan solusi Hansen et al (2011)
melaporkan tidak ada perbedaan antara natrium fosfat dan susu dan molase enema. Hasil
penelitian lain yang secara langsung membandingkan pendekatan yang berbeda untuk
penggunaan enema untuk manajemen konstipasi (Julie et al, 2019).

Namun, mengingat bahwa larutan enema natrium fosfat adalah bahan utama dari larutan
tersebut mungkin memiliki risiko yang sama, ditambah risiko tambahan yang ditimbulkan
oleh risiko lainnya bahan. Enema natrium fosfat dan busa sabun telah dilaporkan dalam
literatur sebagai jauh kembali ke tahun 1950-an dan kemungkinan besar digunakan secara
luas baik di rumah tanpa resep dan di rumah sakit; dengan demikian sulit untuk menentukan
penyebut untuk pertimbangan efek samping prevalensi. Mengingat temuan utama kami
bahwa komposisi larutan enema tidak ada hubungannya dengan output tercapai, transisi ke
penggunaan larutan netral seperti normal salin menurun baik biaya maupun risiko efek
samping yang jarang tetapi serius mungkin merupakan area untuk studi lebih lanjut.
Meskipun penggunaan normal saline melalui rektal atau kolon telah dijelaskan dalam
beberapa kondisi yang dapat digunakan (Sood, 2018; Russell, Barnhart, Zobell, Scaife, &
Rollins, 2015; Ibrahim, Li Wei, Bautista, Sriram, Xiangzhen Fay, Rajadurai, 2017).
Selain enema, Tindakan lain yang dapat digunakan untuk mengatasi konstipasi yaitu
dengan menggunakan glycerin spuit melalui supositoria. Namun, dalam penelitian yang lebih
lanjut didapatkan hasil bahwa penggunaan glycerin spuit memberikan hasil yang hasil yang
tidak memuaskan dengan insiden nekrosis yang tinggi enterokolitis (NEC).

Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol buang air kecil (BAK)
dan buang air besar (BAB) secara benar dan teratur. Proses toilet training dimulai dengan
memperkenalkan anak dengan toilet, mengajarkan anak untuk BAK dan BAB di toilet,
mengajarkan anak menggunakan kata “pipis”, “pup” atau istilah lainnya pada saat anak ingin
BAK dan BAB serta mengajarkan anak cara cebok sendiri setelah BAK dan BAB. Salah satu
metode yang masih memberikan hasil efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu terhadap
materi edukasi termasuk tentang toilet training adalah metode ceramah (Supriati, 2016).

Permasalahan dalam kegagalan toilet training dapat menyebabkan enkopresis, yaitu


gangguan pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai (bukan di toilet) dan terjadi
berulang kali serta enuresis, gangguan mengompol (pengeluaran urin bukan pada tempatnya)
pada anak tanpa kelainan fisik, dan usia yang sudah tepat diajarkan toilet training (Gilbert,
2003).

Edukasi toilet training melalui metode ceramah dan leaflet dapat meningkatkan
pengetahuan keluarga, peran keluarga dalam pengawasan dan kemampuan anak toilet
training, dikarenakan dipengaruhi oleh pengetahuan yang didapatkan dari metode ceramah
tentang toilet training dan penginderaan terhadap gambar atau objek pada leaflet yang telah
dikenalkan selama proses intervensi. Oleh karena itu metode ceramah dan leaflet
mempermudah ibu untuk menerima pesan dan mengetahui akibat jika tidak memberikan
toilet training sejak dini pada anak. Sehingga, ibu berusaha untuk selalu mengingatkan,
mengajarkan serta membiasakan anak untuk BAK dan BAB di kamar mandi (Andresni,
Zahtamal, Septiani & Mitra, 2019).

Andresni H, Zahtamal , Septiani W , Mitra . (2019). Efektivitas Edukasi Toilet Training


terhadap Perilaku Ibu dan Kemampuan Toilet Training Anak Usia 18-36 Bulan .
KESKOM. 5(2) : 49-55
Hansen SE, Whitehill JL, Goto CS, Quintero CA, Darling BE, Davis J. Safety and efficacy of
milk and molasses enemas compared with sodium phosphate enemas for the treatment of
constipation in a pediatric emergency department. Pediatr Emerg Care.
2011;27(12):1118–1120. [PubMed:
22134228]
Hyman C The mineral oil-soapsuds enema: an old mixture with new uses. Sinai Hosp J
(Balt). 1954;3(2):36–40. [PubMed: 13216306]
Flentie EH, Cherkin A. Electrolyte effects of the sodium phosphate enema. Dis Colon
Rectum. 1958;1(4):295–299. [PubMed: 13561900]
Sood MR. Chronic functional constipation and fecal incontinence in infants and children:
Treatment. In: Li BU, ed. UpToDate Waltham, MA2018.
Russell KW, Barnhart DC, Zobell S, Scaife ER, Rollins MD. Effectiveness of an organized
bowel management program in the management of severe chronic constipation in
children. J Pediatr Surg. 2015;50(3):444–447. [PubMed: 25746705]
Ibrahim T, Li Wei C, Bautista D, Sriram B, Xiangzhen Fay L, Rajadurai VS. Saline Enemas
versus Glycerin Suppositories to Promote Enteral Feeding in Premature Infants: A Pilot
Randomized Controlled Trial. Neonatology. 2017;112(4):347–353. [PubMed:
28768263]
Julie A et al. (2019). A Comparison Of The Efficacy Of Enema Solutions In
Pediatric Emergency Department Patients. J Emerg Med. 57(4): 461–468.
doi:10.1016/j.jemermed.2019.07.009.
Lestari, A & Malvino, R. (2017). Efektifitas Inisiasi Bladder Training terhadap Inkontinensia
Urien Pada Pasien Stroke Non Hemoragik yang Terpasang Kateter Di Ruang Neurologi
Rsud Raden Mattaher Jambi Jurnal Akademika Baiturrahim. 6(2): 29-33
Black M Joyce & Jane Hokanson H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah, Manajemen
Klinis untuk Hasil yang diharapkan. Edisi 8. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai