ARAH PENGEMBANGAN
KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI
laporan kajian
ARAH PENGEMBANGAN
KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI
iv
TIM PENELITI
Bank Indonesia
1. Yunita Resmi Sari
2. Ika Tejaningrum
3. Mira Rahmawaty
4. Dara Ayu Lestari
v
kata pengantar
kATA pENGANTAR
P
uji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-
Nya sehingga penyusunan laporan akhir kajian “Arah Pengembangan Klaster dalam rangka
Mendukung Pengendalian Inflasi” yang merupakan salah satu amanah yang diberikan kepada
kami dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam rangka pengembangan UMKM, sejak 2006 Bank Indonesia mulai mengembangkan
klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor. Program ini
bertujuan meningkatkan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster, sehingga pada waktunya
dapat berdampak pada peningkatan perekonomian daerah. Sejalan dengan perkembangan arah
kebijakan Bank Indonesia, pengembangan klaster kini lebih diarahkan pada upaya meningkatkan
supply komoditas penunjang ketahanan pangan, khususnya komoditas volatile food. Hal ini tak lain
sebagai salah satu upaya Bank Indonesia dalam mendukung pengendalian inflasi.
Kajian ini disusun untuk memberikan arah pengembangan klaster ke depan sebagai Program
Pengendalian Inflasi Bank Indonesia. Klaster terbukti berdampak positif terhadap peningkatan
pendapatan petani dengan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi berkat pendampingan
serta introduksi teknik dan inovasi budidaya yang lebih baik. Klaster juga mampu mengembangkan
kelembagaan petani, meningkatkan akses pasar serta pembiayaan. Selanjutnya, untuk mendukung
pengendalian inflasi, peran klaster perlu diperkuat melalui sinergi positif dengan berbagai program
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Model bisnis klaster yang dikembangkan Bank
Indonesia dapat menjadi role model yang implementatif dan dapat direplikasi di berbagai wilayah
sehingga dapat mendorong peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Arah klaster pengendalian
inflasi ini selanjutnya adalah terintegrasi dan menjadi instrumen Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID).
Terima kasih dan apresiasi yang setinggi - tingginya kami sampaikan kepada berbagai pihak
terutama Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kediri, serta pihak — pihak lain yang telah memberikan partisipasi dan
kontribusi dalam penyusunan kajian ini.
vi
kata pengantar
Akhir kata, kami berharap kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi seluruh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia dalam mengembangkan klaster komoditas ketahanan pangan, serta
mampu menginspirasi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan Iainnya dalam
mengembangkan dan mensinergikan berbagai program strategis untuk meningkatkan roda
perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Erwin Rijanto
Deputi Gubernur Bank Indonesia
vii
rINGKASAN EKSEKUTIF
RINGKASAN EKSEKUTIF
S
esuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.
6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter melalui
pengendalian inflasi. Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile
foods, di mana tekanan harga dipicu oleh berbagai kendala, antara lain dari sisi produksi, lemahnya
kelembagaan petani, inefisiensi struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan
infrastruktur, serta kebijakan pemerintah.
Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah melaksanakan program klaster UMKM produsen
komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
maupun Dinas terkait lainnya. Program ini bertujuan mendukung pengembangan ekonomi daerah
melalui peningkatan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster. Berbagai intervensi dilakukan
Bank Indonesia, meliputi proses usahatani dari hulu sampai hilir antara lain dari aspek budidaya,
aspek pengolahan pascapanen, hingga pemasaran produk.
Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun 2014
pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan pangan,
komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods. Melalui program
ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap antara supply dan
demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi. Selain itu, program klaster
juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena melibatkan
banyak petani dan UMKM.
Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank Indonesia,
khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu: beras, cabai merah,
dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian ini, yaitu: (1) memperoleh arah
pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank Indonesia meliputi analisis
dampak dan perancangan skema arah pengembangan klaster yang dapat direplikasi secara nasional;
(2) menetapkan roadmap pengembangan klaster (3-5 tahun) serta mengidentifikasi program kerja/
intervensi yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan stakeholders terkait; dan (3) memperoleh
usulan integrasi klaster secara nasional melalui peningkatan produksi, peningkatan jalur distribusi,
dan penguatan sistem logistik dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Untuk menjawab
tujuan tersebut, dilakukan survei ke klaster tiga komoditas, yaitu padi (Kabupaten Soppeng, Sulawesi
Selatan), cabai merah (Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta) dan bawang merah (Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur).
Program klaster Bank Indonesia memiliki dampak positif bagi peserta klaster terutama petani. Dari
klaster BI di tiga lokasi tersebut, dampak paling signifikan adalah meningkatnya rata-rata pendapatan
petani yang disebabkan peningkatan jumlah dan kualitas produksi, serta penetapan harga yang lebih
baik. Klaster juga terbukti mampu meningkatkan peran kelembagaan dari sisi kelompok tani. Selain
viii
rINGKASAN EKSEKUTIF
itu, klaster juga mampu membantu petani meningkatkan akses terhadap pasar dan pembiayaan.
Dari sisi usahatani, klaster mampu mengembangkan usahatani yang tergambar dari peningkatan
produktivitas, akses terhadap pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan
inovasi budidaya yang lebih baik.
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum petani memiliki kemampuan budidaya
yang cukup baik karena pengalaman bertani cukup lama. Namun demikian, jiwa kewirausahaan
masih relatif rendah sehingga motivasi untuk berkembang masih kecil. Dari sisi peluang, permintaan
terhadap padi, cabai, dan bawang merah sangat tinggi baik lokal maupun di daerah lain. Adapun
ancaman yang dihadapi adalah rantai pemasaran masih panjang sehingga margin yang diperoleh
petani relatif rendah.
Roadmap klaster disusun dalam jangka waktu 3 – 5 tahun sesuai dengan situasi dan kondisi
klaster melalui pendekatan siklus pengembangan klaster. Terdapat 6 (enam) tahapan pada roadmap
klaster, yaitu: (1) seleksi/pemilihan klaster, (2) pengenalan, (3) pertumbuhan dan ekspansi, (4) matang/
bertahan, (5) replikasi dan (6) phasing out. Adapun strategi pengembangan klaster diarahkan pada
peningkatan produktivitas (higher productivity), peningkatan akses pasar (market oriented), serta
peningkatan kualitas dan nilai tambah (higher value added) dengan melibatkan seluruh aktor utama
yang terhubung dalam rantai nilai (perusahaan input, petani, kelompok tani, pengumpul, pengolah,
pedagang, pasar). Untuk itu, beberapa rekomendasi strategi utama berdasarkan Analitycal Hierarchy
Process (AHP) meliputi peningkatan akses pasar, peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik,
peningkatan dukungan finansial, capacity building anggota utama klaster, dan optimalisasi database
klaster.
Agar dapat lebih berperan dalam mendukung pengendalian inflasi, program klaster memerlukan
integrasi secara nasional serta bersinergi dengan program Pemerintah/Pemerintah Daerah. Klaster
diharapkan dapat menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, sehingga dapat
memberikan snowing ball effect yang berdampak luas bagi peningkatan kegiatan perekonomian di
suatu wilayah. Integrasi klaster dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada, yaitu Tim Pemantauan
dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), baik level provinsi maupun kabupaten/kota.
ix
Daftar Isi
Daftar Isi
TIM PENELITI v
kATA pENGANTAR vi
daftar isi x
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 3
1.4. Ruang Lingkup 4
x
Daftar Isi
xi
Daftar tabel
DAFTAR GAMBAR
xii
Daftar tabel
DAFTAR TABEL
xiii
Daftar tabel
xiv
Daftar gambar
Tabel 6. 9. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 108
Tabel 7. 1. Strategi yang Diperlukan pada setiap Tahapan Siklus Hidup Klaster 113
Tabel 7. 2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods di Indonesia 120
Tabel 8. 1. Strategi Integrasi Klaster 127
Tabel 8. 2. Hasil Pengolahan Alternatif Strategi Arah Pengembangan Klaster Nasional 131
Tabel 8. 3. Hasil Pengolahan Substrategi Optimalisasi Database Klaster 131
Tabel 8. 4. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Akses Pasar 132
Tabel 8. 5. Hasil Pengolahan Substrategi Capacity Building Anggota Klaster 132
Tabel 8. 6. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Finansial 133
Tabel 8. 7. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Infrastruktur dan Logistik 133
xv
xvi
Bab I - Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
Data BPS menunjukkan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2015 mencapai 3.35%
(yoy), berada dalam kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia sebesar 4±1% (yoy). Bila ditelaah lebih
lanjut, inflasi volatile food mencapai 4.84% (yoy), sedangkan inflasi inti dan inflasi administered
price masing-masing sebesar 3.95% (yoy) dan 0.39% (yoy). Data tersebut menunjukkan bahwa
inflasi di Indonesia juga dipengaruhi oleh sisi penawaran, antara lain bersumber dari fluktuasi
harga volatile food, yang terutama berasal dari komoditas pangan.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia sebagai bank sentral
adalah menjaga stabilitas moneter melalui pengendalian inflasi. Untuk itu, Bank Indonesia
melakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui faktor utama penyumbang inflasi di daerah.
Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile foods, di mana tekanan
harga terutama dipicu oleh kendala produksi, lemahnya kelembagaan petani, inefisiensi
struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan infrastruktur, maupun kebijakan
pemerintah. Selain meningkatkan ketidakpastian baik bagi produsen maupun konsumen,
fluktuasi harga volatile foods menjadi salah satu penyebab rendahnya minat untuk berinvestasi
di sektor pertanian. Fluktuasi harga juga dapat menurunkan minat petani untuk berproduksi
sehingga dapat berdampak pada meningkatnya impor bahan pangan. Semakin tinggi impor,
maka peluang terjadinya defisit neraca pembayaran juga meningkat, yang pada akhirnya akan
berdampak pada inflasi yang disebabkan oleh nilai tukar.
Berdasarkan data bobot dan frekuensi per komoditas dalam perhitungan inflasi nasional
dan regional terdapat 5 (lima) komoditas utama penyumbang inflasi sebagaimana Tabel 1.1.
Sulampua, Bali,
Komoditas Sumatera Jawa Kalimantan Nasional
Nusra
Beras √ √ √ √ 4.02
Cabai Merah √ √ √ √ 0.35
Bawang Merah √ √ √ √ 0.48
Daging Sapi - - √ - 0.65
Daging
√ √ √ √ 1.11
Ayam Ras
Tabel 1 menunjukkan pemetaan daerah regional mejadi 4 (empat) zona yaitu: 1) Sumatera,
2) Jawa, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara dan komoditas
volatile foods yang memiliki pengaruh terbesar terhadap inflasi di masing-masing regional
yang beririsan dengan nasional. Berdasarkan pemetaan dimaksud, prioritas pengembangan
program Klaster Bank Indonesia diarahkan pada komoditas beras, cabai merah, bawang
merah, daging sapi, dan daging ayam ras.
Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun
2014 pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan
pangan, komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods.
Melalui program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap
antara supply dan demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi.
Selain itu, program klaster juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) karena melibatkan banyak petani dan UMKM.
Hingga triwulan II 2016, Bank Indonesia memiliki 158 klaster binaan komoditas pertanian
di berbagai daerah di Indonesia. Program klaster mampu menyerap 25.392 tenaga kerja
(termasuk petani/peternak anggota) serta memanfaatkan lahan seluas 12.459 hektar. Intervensi
yang dilakukan Bank Indonesia meliputi: (1) aspek budidaya melalui introduksi teknologi
budidaya, pola tanam, maupun pengembangan demonstration plot (demplot); (2) aspek
kelembagaan dengan memperkuat manajemen kelompok, pelatihan manajemen keuangan;
dan (3) aspek pemasaran dengan mengikutsertakan klaster pada pameran produk unggulan.
Kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas apabila terdapat
kejutan (shocks) yang sangat besar, misalnya pada saat terjadi kenaikan harga BBM (administered
prices) yang bersumber dari kebijakan pemerintah maupun akibat fluktuasi harga komoditas
volatile foods. Dalam upaya pengendalian inflasi yang bersumber dari komoditas volatile
foods, Bank Indonesia mengembangkan klaster komoditas pendukung ketahanan pangan dan
klaster komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods.
Pendekatan klaster industri dalam pembangunan ekonomi daerah dapat menjadi alat
yang efektif bagi kebijakan pembangunan ekonomi daerah dan kebijakan teknologi terpadu.
Bagi pelaku ekonomi khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pendekatan
klaster industri dapat mendukung terjalinnya kemitraan yang saling menguntungkan dan
2
Bab I - Pendahuluan
pengembangan jaringan bisnis yang luas. Sementara itu, bagi pembuat kebijakan, pendekatan
ini memungkinkan skala pengaruh dari kebijakan dan program serta cakupan dampak yang
signifikan. Secara umum, klaster binaan Bank Indonesia memiliki keunggulan dan potensi,
namun juga masih terdapat beberapa kelemahan.
Terdapat berbagai macam tantangan dalam pencapaian sasaran inflasi dan sebagian besar
merupakan persoalan struktural. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian inflasi yang
intensif melalui penyelesaian permasalahan struktural yang terintegrasi secara nasional. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu skema pengembangan yang tidak saja fokus pada
rantai nilai dalam klaster, tetapi juga memasukkan klaster sebagai bagian dari rantai pasok
komoditas nasional.
Oleh karena itu, skema pengembangan klaster Bank Indonesia perlu diintegrasikan
dengan program pengembangan UMKM dan komoditas pangan yang dimiliki oleh instansi
lainnya, baik dari pemerintah (kementerian teknis, dinas, dan lain-lain) maupun swasta. Misalnya,
salah satu program Kementerian Perdagangan yang didukung oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu Pusat Distribusi Regional (PDR). PDR adalah jaringan
logistik penyangga dalam sistem logistik nasional, yang antara lain bertujuan untuk mengatasi
kelangkaan stok, disparitas dan fluktuasi harga komoditas bahan pokok. Selain itu, terdapat
pula sistem resi gudang yang penerapannya berada di bawah wewenang dan pengawasan
Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti), yang dapat dijadikan
solusi alternatif pengembangan aspek keuangan klaster.
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank
Indonesia, khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu:
beras, cabai merah, dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian sebagai
sebagai berikut:
1. Memperoleh arah pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank
Indonesia.
a. Impact evaluation (before – and after comparisons) dan indikator kestabilan inflasi
yang dapat dikaitkan dengan klaster.
b. Perancangan skema arah pengembangan klaster (business model) yang dapat
direplikasi secara nasional dalam rangka pencapaian tujuan Bank Indonesia.
2. Menetapkan roadmap pengembangan klaster, misalnya dalam jangka waktu 3-5 tahun
(per siklus) serta mengidentifikasi program kerja/intervensi yang dapat dilakukan oleh
Bank Indonesia dan stakeholders terkait.
3
Bab I - Pendahuluan
2. Komoditas pangan yang diteliti meliputi: beras, cabai merah dan bawang merah dengan
lokasi yang berbeda yaitu: komoditas beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan,
komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, Jawa Tengah dan komoditas bawang
merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
3. Definisi Klaster adalah sekelompok UMKM yang beroperasi pada sektor/subsektor yang
sama atau merupakan konsentrasi perusahaan yang saling berhubungan dari hulu ke hilir.
4. Volatile foods adalah komponen inflasi IHK yang mencakup beberapa komoditas pangan
yang harganya sangat berfluktuasi.
5. Roadmap adalah rencana kerja rinci yang mendeskripsikan hal-hal yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan pengembangan klaster sebagai bagian dari rantai pasok nasional
dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Substansi penulisan terdiri dari:
1. Keadaan saat ini (sebagai baseline);
2. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai per periode/fase;
3. Uraian tahap pelaksanaan untuk mencapai tujuan/sasaran pada masing-masing
periode/fase;
4. Indikator pencapaian sasaran.
7. Stakeholder terkait dapat merupakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia pembina klaster,
kementerian teknis, pemerintah daerah, akademisi, lembaga keuangan, atau swasta, yang
terkait dengan pengembangan klaster yang sudah ada, program-program pengembangan
UMKM dan komoditas pangan nasional, dan rencana arah pengembangan klaster sebagai
best practice nasional.
4
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Inflasi
Sesuai UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009,
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, baik terhadap
harga barang dan jasa (inflasi) maupun mata uang asing (kurs). Terdapat beberapa pilihan
strategi kebijakan moneter yang masing-masing memiliki karakteristik sesuai dengan indikator
nominal yang digunakan sebagai dasar atau acuan atau sasaran antara untuk mencapai
tujuan akhir. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia pernah menggunakan kerangka
kebijakan base money targeting, di mana instrumen yang dipakai adalah pertumbuhan jumlah
uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara. Dalam perkembangannya, sejak Juli 2005
hingga saat ini, Bank Indonesia menerapkan kerangka inflation targeting dengan menjadikan
tingkat inflasi sebagai strategi pelaksanaan kebijakan moneter.
1. Inflasi akibat tekanan sisi suplai (cost push inflation) dapat disebabkan oleh
depresiasi (melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi di luar negeri
terutama di negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditas
yang diatur pemerintah (administered price), serta adanya gangguan di sisi
penawaran (negative supply shocks), misalnya akibat bencana alam yang terjadi
di suatu daerah atau terganggunya distribusi barang.
2. Inflasi akibat tekanan sisi permintaan (demand pull inflation) adalah tingginya
permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan kapasitas ketersediaannya
(penawaran). Secara makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih
besar daripada kapasitas perekonomian yang akhirnya menimbulkan output gap.
Gap inilah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga barang, sesuai dengan
hukum ekonomi jika permintaan melebihi penawaran, maka harga akan bergerak
naik.
3. Faktor ekspektasi inflasi yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku
ekonomi cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Untuk negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pelaku ekonomi biasanya masih bersifat
adaptif. Misalnya, akan terjadi penyesuaian sesaat pada bulan-bulan di mana
permintaan barang cenderung meningkat seperti menjelang hari-hari besar
5
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
keagamaan atau libur sekolah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau pelaku
ekonomi seperti di atas dapat juga terjadi saat pengumuman kenaikan gaji atau Upah
Minimum Regional (UMR). Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan perilaku
forward looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif.
Selain itu, tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestic pressures (tekanan
dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar negeri).
1. Tekanan dari dalam negeri merupakan segala sesuatu yang terjadi di dalam negeri
yang mempengaruhi harga barang. Hal ini dapat diakibatkan adanya gangguan dari
sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang berpengaruh pada pembentukan
harga barang di pasar atau kebijakan yang diambil oleh instansi di luar bank sentral.
Sebagai contoh, kebijakan pengetatan anggaran belanja pemerintah dengan
menghapus subsidi pemerintah, kenaikan pajak, atau kenaikan harga barang yang
ditetapkan pemerintah yang berimbas pada kenaikan harga barang-barang lain.
2. Tekanan dari luar negeri dapat berupa inflasi di negara lain yang akan berpengaruh
terhadap ekspor, impor atau neraca pembayaran antar negara, kenaikan harga
barang impor yang berdampak pada kenaikan harga produk berbahan baku impor,
serta kenaikan nilai tukar mata uang asing yang otomatis akan berpengaruh pada
kinerja neraca pembayaran.
1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu
komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama
dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama
atas suatu komoditas.
6
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
5. Kelompok Kesehatan;
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga;
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent
component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
a. Interaksi permintaan-penawaran
b. Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang
c. Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen
Inflasi inti pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan komponen
bahan makanan dengan harga bergejolak (volatile foods) dan barang-barang dengan harga
ditentukan pemerintah (administered goods).
2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi
oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan
seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan
domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah,
seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, dan sebagainya.
c. Inflasi IHK merupakan inflasi yang dihitung dengan keseluruhan indeks harga konsumen,
baik inti maupun non-inti. Inflasi IHK dikenal juga sebagai headline inflation yang sama
artinya dengan inflasi inti ditambah unsur harga barang/komoditas bergejolak (volatile) dan
administered price. Inflasi IHK dapat lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan
inflasi inti, tergantung dari inflasi volatile food dan inflasi administered price.
7
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Konsumsi
Permintaan Output Gap
Ekspor
Impor
Inersia Ekspektasi
INFLASI IHK
Kebijakan Administered
Pemerintah Price
Impor
Makanan
Supply Inflasi Non
Shocks Inti
Produksi Penawaran
Makanan
Volatile Food
Price
Populasi Permintaan
Mengingat karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks, maka pengendalian
inflasi memerlukan kerja sama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia
dengan Pemerintah. Melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan, inflasi yang rendah dan
stabil diharapkan dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung pencapaian tugas Bank
Indonesia.
8
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. 2. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam Pengendalian Inflasi
Menyadari pentingnya koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil,
mendorong Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian
Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi dilanjutkan dengan membentuk
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas
dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja
Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat
efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kementerian Koordinator
Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, dalam upaya pengendalian inflasi Bank Indonesia mengembangkan Pusat Informasi
Harga Pangan Strategis (PIHPS). Program ini fokus pada diseminasi informasi harga bahan pangan
strategis, yaitu komoditas pangan yang dikonsumsi masyarakat secara luas atau memiliki bobot
kontribusi inflasi yang tinggi. Tujuan utama pengembangan PIHPS adalah untuk meningkatkan akses
informasi harga pangan yang terpadu kepada pelaku ekonomi untuk menjaga ekspektasi masyarakat
untuk mendukung upaya pencapaian sasaran inflasi dan peningkatan efisiensi perekonomian.
Selanjutnya, untuk mendukung ketahanan pangan, mengembangkan komoditas berorientasi ekspor,
dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods, Bank Indonesia juga melaksanakan program
pengendalian inflasi berbasis klaster komoditas.
9
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Klaster
Umumnya definisi klaster menekankan pada kedekatan geografis beberapa perusahaan
untuk mencapai keunggulan bersaing. Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai pemusatan
geografi yang bergabung dan memiliki kesamaan perusahaan dan institusi dalam bidang
tertentu (geographic concentrations of interconnected companies and institutions in a particular
field). Lokasi geografis suatu klaster dapat meliputi satu kota, kabupaten, negara, atau berupa
jaringan yang melibatkan beberapa negara.
Bergman dan Feser (2000) menyatakan bahwa klaster menunjukkan hubungan sangat
erat yang mengikat perusahaan-perusahaan tertentu dan industri secara bersama-sama
dalam beberapa aspek umum seperti lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok,
faktor produksi dan lain-lain. Pengelompokkan tersebut saling berhubungan secara intensif
dan membentuk kemitraan dengan industri pendukung dan industri terkait (Simbolon, 2009).
Klaster merepresentasikan seluruh nilai tambah mulai dari pemasok ke produk akhir termasuk
jasa pendukung dan infrastruktur. Konsep-konsep klaster berdasarkan pada tiga konsep
utama, yaitu:
10
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
b. Active
Menggunakan tenaga kerja yang lebih terampil, teknologi yang lebih baik,
menjual ke pasar domestik dan ekspor, aktif di pemasaran, jaringan internal dan
ekstenal tinggi.
c. Dynamic
Jaringan perdagangan luar negeri ekstensif, terdapat keberagaman di dalam
klaster terkait ukuran, teknologi dan pasar, terdapat perusahaan pemimpin yang
memiliki peran yang besar.
d. Advanced
Tingkat spesialisasi dan kerja sama antar perusahaan tinggi, jaringan bisnis
dengan penyedia input, penyedia jasa, perantara dan bank berjalan dengan
baik. Kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta universitas berjalan
baik dan berorientasi ekspor.
Salah satu contoh klaster yang berhasil adalah yang dilakukan oleh PT. Kelola
Mina Laut (PT. KML) yang bermitra dengan nelayan di berbagai wilayah Indonesia. PT.
KML adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan eksportir
hasil-hasil perikanan laut maupun air tawar dengan volume ekspor 1.000 kontainer
per tahun. Dalam menjalankan usahanya, PT. KML menerapkan sistem klaster
agroindustri hasil laut yang terdiri atas nelayan penangkap ikan, sarana pengolahan
lokal (miniplant), sarana pengolahan akhir (pusat di Gresik) dan sarana pemasaran.
Kunci keberhasilan PT. KML dalam mengembangkan klaster agroindustri hasil laut
adalah dengan memangkas/memperpendek rantai nilai tradisional yang lebih
banyak dikuasai oleh pedagang antara, sehingga nelayan dapat menerima margin
keuntungan yang lebih besar (Sunaryanto et.al, 2014).
12
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
demikian, beberapa klaster dengan keunggulan produksi dan lahan yang luas mulai
meningkatkan fasilitasi terhadap akses pasar dan pembiayaan. Dengan memfasilitasi
akses pasar, produksi klaster diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembentukan
harga, sejalan dengan upaya pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia,
khususnya komoditas volatile food.
Hasil kajian Bank Indonesia (2014) menunjukkan adanya 4 entitas atau lembaga
di Indonesia yang berperan menginisiasi sekaligus memfasilitasi program klaster
baik dalam bentuk program komprehensif maupun one shoot program dengan dan
alasan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
1. Bank Indonesia, dalam bentuk program bantuan teknis dan penyaluran dana
Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) sebagai implementasi dari Corporate
Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia.
2. Pemerintah, dalam bentuk program bantuan teknis maupun bantuan program
dalam kapasitas sebagai pengambil kebijakan nasional untuk pencapaian MDGs
di tahun 2015 melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat.
3. Lembaga donor, dalam mengemban misi global pengentasan kemiskinan
melalui kegiatan ekonomi berkeadilan.
4. Swasta, dalam kerangka untuk memperkuat kegiatan mata rantai industrinya.
1. Subsektor Tanamanan Pangan: modal sosial yang kuat, kepemimpinan dan visi
bersama serta akses pasar.
2. Subsektor peternakan: modal sosial yang kuat, basis inovasi (Research &
Development/R & D) yang kuat dan akses pasar.
3. Subsektor hortikultura: akses pasar, terdapat networking dan kemitraan, serta
modal sosial yang kuat.
4. Subsektor Perkebunan: networking dan kemitraan, basis inovasi (R & D) dan
kompetensi/keahlian SDM yang kuat.
5. Subsektor perikanan: infrastruktur yang memadai, basis inovasi yang kuat (R & D
tinggi) dan akses pasar.
6. Subsektor Industri: spesialisasi, kedekatan dengan pemasok, serta networking
dan kemitraan.
Selanjutnya, hasil kajian Bank Indonesia (2015) pada klaster 2 (dua) komoditas
volatile foods, (cabai merah dan bawang merah) menunjukkan bahwa klaster
dapat diperkuat melalui pengembangan dan peningkatan keterampilan budidaya
13
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Pada penelitian ini, rekomendasi strategi klaster volatile foods dibagi menjadi dua
aspek, yaitu strategi meningkatkan pasokan dan mendorong kestabilan harga cabai
merah dan bawang merah. Peningkatan pasokan cabai merah dapat dilakukan melalui
strategi intensifikasi dan ekstensifikasi komoditas, pengembangan bibit tahan hama
dan virus, pengembangan sarana penyimpanan cabai merah nasional, dan updating
data kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Sementara
strategi peningkatan pasokan bawang merah adalah intensifikasi dan ekstensifikasi,
antisipasi ketidakpastian perubahan iklim, teknologi penyimpanan bawang merah,
dan pengembangan teknologi rumah kaca khususnya untuk lahan tadah hujan.
Untuk mendorong kestabilan harga cabai merah maupun bawang merah, perlu
dilakukan penyelarasan maupun pengaturan pola tanam sepanjang tahun, efisiensi
tata niaga dan jalur distribusi, dan kerja sama antar wilayah (provinsi sentra produksi
dan provinsi konsumsi) untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan.
Berdasarkan hasil penelitian Ingstrup & Damgaard (2011), terdapat tiga kelompok
klaster, yaitu klaster potensial (potential cluster), klaster yang perlu dikembangkan
(latent cluster), dan klaster yang sedang berkembang (working cluster). Potential
cluster dapat digambarkan sebagai klaster di mana keterkaitan antar anggota
klaster relatif longgar dengan mayoritas pelaku usaha adalah perusahaan kecil
dan menengah. Otoritas publik merupakan motor penggerak yang sangat penting
karena masyarakat banyak memberikan dana bagi klaster untuk berkembang.
Namun, umumnya masyarakat dan lembaga pengetahuan cenderung pasif. Potential
cluster menekankan pada membangun kepercayaan, menjalin ikatan melalui aktivitas
seperti networking events, mencari dana, branding, seminar, kegiatan sosial, dan
pencocokan harapan anggota klaster yang difasilitasi oleh fasilitator klaster.
14
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Latent cluster muncul untuk mengurangi kelemahan potential cluster. Aktifitasnya banyak
dilakukan dengan mencari peluang bisnis, meningkatkan kepercayaan yang telah dibangun
pada tahap awal pembentukan klaster. Upaya ini didukung oleh kegiatan yang dijalankan oleh
masing-masing sekretariat klaster seperti seminar, acara networking, proyek kerja sama skala
kecil, lokakarya ide bisnis, dan berbagi pengetahuan. Anggota klaster terutama perusahaan
kecil dan menengah, lembaga pengetahuan, dan otoritas publik. Pada klaster ini kegiatan
klaster lebih terintegrasi dibandingkan potential cluster. Contohnya, Agro Valley Denmark
merupakan klaster yang sudah berkembang dengan baik antar triple helix, yaitu kerja sama
antara universitas, industri, dan pemerintah. Pada klaster ini banyak dilakukan berbagai inovasi,
kerja sama lintas klaster, sehinggga klaster lebih kuat. Peran lembaga pengetahuan sangat
dominan dalam perkembangan klaster khususnya penelitian dan pengembangan. Sebagai
contoh, klaster Medicon Valley fokus pada bioteknologi, teknologi medis, dan farmasi. Ruang
lingkup fasilitator pada ketiga kondisi klaster disajikan pada Tabel 2.2.
Facilitator focus Create social actor bonds Create profesional actor Create business actor
Framework conditions bonds bonds
Locate new actors Cooperation Business creating
Trust building Locate actor needs activities
Trust expansion Locate actor opportunities
Trust exploitation
2.3.4. Perkembangan dan Siklus Hidup Klaster di Korea Selatan dan Belanda
Shin dan Hassink (2011) mengkaji asal-usul dan perkembangan klaster industri galangan
kapal di Korea Selatan. Penulis menganalisis siklus hidup klaster industri, tahap-tahap
perkembangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi siklus hidup dari klaster. Sebelumnya
Van Klink dan De Langen (2001) melakukan studi klaster yang sama di Belanda.
Konsep siklus hidup klaster diperkenalkan oleh Menzel dan Fornahl (2010), Press (2006),
Lorenzen (2005) dan Van Klink dan De Langen (2001). Ada tiga pertanyaan penting dalam
siklus tersebut, yaitu: penyebab timbulnya klaster, penyebab menurunnya klaster, dan
penyebab bergesernya klaster ke tahap ekonomi baru. Berdasarkan penelitian di klaster
15
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
penggalangan kapal di Belanda, Van Klink dan De Langen (2001) membedakan tahapan
klaster yaitu: pengembangan (development), ekspansi (expansion), matang (maturation),
dan tahap transisi. Sedangkan menurut Menzel and Fornahl (2010), siklus hidup klaster
mencakup tahap awal (emergence), pertumbuhan (growth), pemeliharaan (sustainment), dan
penurunan (decline).
Van Klink dan De Langen (2001) membedakan enam karakteristik dari siklus hidup
klaster yang berbeda. Karakteristik tersebut terdiri dari sifat rantai nilai, hubungan strategis,
dinamika klaster, bidang kerja sama, dan, faktor-faktor keberhasilan, dan peran pemerintah
(Tabel 2.3).
Tahap 2 Tahap 3
internal
Ekspansi Matang
(Expantion) (Maturation)
Karakter hubungan klaster
Tahap 1 Tahap 4
Pengembangan Transisi
(Development) (Transition)
Menzel & Fornahl (2010) menekankan adanya perubahan karakter pengetahuan melalui
siklus hidup klaster. Heterogenitas pengetahuan dalam klaster mengalami perubahan pada
setiap tahapannya. Meningkatnya heterogenitas pengetahuan dapat menyebabkan tahap
pertumbuhan baru (Gambar 2.5)
Klaster penggalangan kapal Korea memiliki karakter berbeda di setiap tahap siklus
hidup klaster. Rantai nilai dan dinamika dari klaster tersebut termasuk berada pada tahapan
pematangan. Klaster tersebut merupakan sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari
perusahaan besar, pemasok UMKM, serta aktor politik yang berbeda di tingkat nasional dan
regional. Perusahaan yang tergabung dalam klaster biasanya lebih kompetitif dibandingkan
dengan perusahaan non-klaster pada tahap pertengahan siklus hidup. Perusahaan
penggalangan kapal melakukan reorientasi dan diversifikasi untuk sasaran target pasar yang
lebih luas (high-end market segments).
17
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
18
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu petani melakukan berbagai upaya untuk
memproduksi buah-buahan yang memiliki ukuran yang besar (misalnya semangka atau
pepaya). Namun, seiring dengan perubahan demografi di mana jumlah anggota keluarga yang
semakin sedikit (misalnya satu keluarga hanya memiliki dua sampai tiga anak), maka ukuran
semangka atau pepaya yang terlalu besar tidak begitu diminati oleh konsumen. Preferensi
konsumen tersebut dipertimbangkan dalam analisis value chain sehingga petani kemudian
akan memproduksi semangka atau pepaya yang berukuran sedang. Contoh lainnya adalah
meningkatnya kesadaran konsumen berpendapatan tinggi terhadap kesehatan, sehingga
menginginkan produk yang tidak mengandung pestisida dan pupuk kimia. Informasi tersebut
kemudian diteruskan dan direspon oleh petani di sepanjang value chain dengan munculnya
komoditas pertanian organik.
Di samping consumer driven, perbedaan utama value chain dengan supply chain terletak
pada pendekatan value chain yang lebih memfokuskan pada bagaimana meningkatkan nilai
di sepanjang value chain tersebut (World Bank, 2008). Kesamaan utama dua pendekatan
tersebut adalah bagaimana membuat rantai nilai lebih efisien dengan menurunkan biaya-
biaya di sepanjang rantai nilai yang fokus pada supply chain. Dengan demikian, analisis value
chain juga meliputi analisis supply chain. Analisis value chain sangat berguna terutama untuk:
(1) mengetahui trend yang terjadi pada konsumen dan pengaruhnya terhadap value chain; (2)
mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan leader dalam value chain; dan (3) mengetahui
hubungan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam value chain. Pendekatan supply chain dan
value chain dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.
19
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Dalam melakukan analisis value chain, pemetaan value chain (mapping the chain) merupakan
suatu hal yang penting untuk dilakukan. Tujuan utama dari pemetaan value chain adalah untuk
mengidentifikasi aliran produk dan aktor-aktor yang terlibat dalam value chain (Stringer, 2009).
Seperti diketahui, pendistribusian barang dari tingkat produsen ke konsumen akhir melalui beberapa
middlemen, yaitu diantaranya adalah pedagang dan industri pengolahan.Pedagang itu sendiri bisa
dibagi berdasarkan skala usaha yaitu pedagang kecil dan pedagang besar atau bisa juga berdasarkan
lokasi/scope pemasarannya, yaitu pedagang tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, eksportir,
dan atau kombinasi keduanya (lokasi dan skala usaha). Tujuan lain dari pemetaan value chain adalah
untuk mengidentifikasi aktor-aktor mana yang memberikan nilai tambah terbesar dalam value chain
tersebut.
Pada prinsipnya pemetaan value chain dapat dibagi menjadi lima, yaitu (1) pemetaan aktor-
aktor yang terlibat dalam value chain, (2) pemetaan volume penjualan di masing-masing aktor di
sepanjang value chain, (3) pemetaan nilai produk pada setiap tingkatan value chain, (4) pemetaan
proporsi biaya yang dikeluarkan oleh setiap aktor di sepanjang value chain, dan (5) pemetaan aliran
informasi dan transfer teknologi. Masing-masing pemetaan tersebut dibahas pada bagian berikut.
a. Mapping Actors
Mapping actors adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang
terlibat dalam suatu value chain. Aktor-aktor yang terlibat dalam suatu value chain biasanya
bermula dari produsen, melalui middlemen, hingga konsumen akhir. Namun demikian, aktor
dapat diperluas cakupannya tidak hanya bermula dari level produsen, tetapi bermula dari
perusahaan-perusahaan yang menyediakan input kepada produsen. Gambar 2.9 menyajikan
contoh mapping actors yang berasal dari value chain komoditas tomat di Jawa Barat, Indonesia
(Natawidjaya, 2007).
20
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.9 menunjukkan bahwa value chain komoditas tomat sangat bervariasi, tergantung aktor-
aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut. Bagian paling bawah menunjukan bahwa
aktor-aktor yang terlibat pada value chain komoditas tomat model ini lebih banyak dibandingkan
dengan aktor-aktor yang terlibat pada value chain di bagian atasnya. Sebagai contoh, pada value
chain komoditas tomat yang paling bawah, aktor-aktor yang terlibat meliputi: petani (farmer),
pedagang lokal (local collector), pedagang besar (traditional wholesale), pedagang besar pasar
induk (traditional wholesale market), dan pedagang pengecer di pasar tradisional (traditional
retail market). Adapun value chain yang berada pada bagian paling atas menunjukkan value
chain yang lebih pendek di mana aktor-aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut
relatif lebih sedikit, yaitu petani (farmer), pedagang yang memasok ke supermarket (specialized
super wholesaler) dan supermarket.
b. Mapping Volume
Mapping volume dilakukan untuk memetakan volume penjualan di masing-masing aktor di
sepanjang value chain. Mapping volume sangat berguna untuk mengidentifikasi aliran komoditas
dan pangsa penjualan di sepanjang value chain. Contoh mapping volume disajikan pada Gambar
2.10.
21
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
c. Mapping Value
Mapping value dilakukan untuk mengidentifikasi besaran biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing aktor yang terlibat dalam suatu value chain. Di samping mengetahui besaran biaya,
mapping value juga digunakan untuk melihat harga yang diterima oleh masing-masing aktor
di sepanjang value chain. Gambar 2.11 menyajikan output dari kegiatan mapping value suatu
komoditas.
22
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. 12. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Relative Cost of Processing
23
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Definisi strategi dan manajemen strategi diperluas oleh Mintzberg et al. (1998) dikenal sebagai
5P yaitu:
1. Strategy as plan. Strategi merupakan suatu rencana atau sesuatu yang berupa arahan, petunjuk
untuk kegiatan di masa depan yang diambil pada masa kini. Strategi merupakan suatu rencana
ke depan (looking ahead) atau sesuatu yang diharapkan di masa depan.
2. Strategy as pattern. Strategi merupakan suatu pola atau sesuatu yang konsisten di setiap waktu.
Strategi sebagai suatu pola melihat perilaku di masa lalu yang sudah terjadi (looking behind).
Kedua definisi tersebut apabila digabungkan menjadi: suatu organisasi mengembangkan
rencana masa depan dengan melihat pola-pola perilaku di masa lalu. Dalam hal ini disebut
sebagai strategi yang diharapkan (intended strategy) dan strategi yang terjadi (realized strategy).
3. Strategy as position. Strategi merupakan posisi yaitu menempatkan produk khusus pada pasar
yang khusus juga.
4. Strategy as perspective: Strategi merupakan perspektif, yaitu hal-hal yang bersifat fundamental
dalam organisasi untuk mengerjakan sesuatu.
5. Strategy as ploy: strategi merupakan suatu cara, yaitu manuver khusus yang diharapkan dapat
mengalahkan lawan atau para pesaing.
Strategi dirumuskan berdasarkan pendekatan hierarkis yang berhubungan dengan konsep misi,
tujuan, dan taktik perusahaan. Dalam hal ini, strategi didefinisikan sebagai cara di mana organisasi
mencapai visi, misi dan tujuan melalui manajemen strategi. Manajemen strategi terdiri atas tiga
tahapan utama yaitu formulasi atau perencanaan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi
untuk mencapai visi yang ditetapkan (David, 2011) sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.14.
Strategi yang baik adalah strategi yang mampu menetralisir ancaman dan menggali peluang dengan
menekankan pada kekuatan dan menghindari kelemahan. Rumusan strategi difokuskan untuk
mempertemukan kekuatan dan kelemahan internal perusahaan dengan peluang dan ancaman.
Analisis
lingkungan
internal
Analisis
lingkungan
eksternal
24
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Formulasi strategi harus dapat mengambil manfaat dari peluang yang ada dan mengurangi
ancaman. Berdasarkan hal tersebut maka identifikasi, monitoring dan evaluasi peluang dan
ancaman merupakan hal yang sangat penting. Proses ini seringkali disebut analisis industri
atau environmental scanning (David, 2011).
Kondisi eksternal berupa peluang dan ancaman merupakan kondisi, ekonomi, sosial,
budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi dan tren persaingan
yang dapat memberikan manfaat maupun membahayaakan bagi organisasi di masa depan.
Peluang dan ancaman tidak dapat dikendalikan oleh organisasi (David, 2011).
Kekuatan dan kelemahan yang bersifat internal merupakan hal-hal yang dapat dikontrol
oleh organisasi. Faktor-faktor tersebut mencakup pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/
operasi, penelitian dan pengembangan, dan manajemen sistem informasi. Strategi perlu
dirumuskan dengan meningkatkan kekuatan dan mengeliminasi kelemahan.
Tahapan perumusan strategi menurut David (2011) terdiri dari tahap input, pencocokan,
dan keputusan. Berikut ini penjabaran ketiga tahap tersebut.
1. Tahap Input
Pada tahap ini dibuat matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Evaluasi Faktor Eksternal
(EFE). Matriks EFI mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Sedangkan
peluang dan ancaman perusahaan digambarkan dalam Matriks EFE.
2. Tahap Pencocokan
Tahap pencocokan dalam rumusan strategi terdiri dari Matriks SWOT, the SPACE Matrix,
the BCG Matrix, the IE Matrix, dan the Grand Strategy Matrix. Pencocokan faktor internal
dan eksternal merupakan kunci untuk merumuskan strategi.
3. Tahap Keputusan
Tahap ini menggunakan berbagai metode untuk mengevaluasi dan memilih strategi
berdasarkan nilai total terbesar.
Perumusan strategi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan
yang relatif mudah dan banyak digunakan adalah analisis SWOT. SWOT merupakan akronim
dari Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats. Pada mulanya, analisis SWOT
diaplikasikan di Harvard Business School dan beberapa sekolah bisnis lainnya di Amerika,
dan kemudian dipopulerkan oleh Kenneth Andrews. Analisis SWOT banyak digunakan untuk
pengembangan strategi bisnis dan riset pemasaran. Pada strategi pengembangan bisnis,
SWOT diperoleh dari pendapat stakeholders sehingga merefleksikan pendapat kolektif suatu
kelompok. Focus groups merupakan metode yang banyak dipakai untuk mengumpulkan
pendapat dari stakeholders terkait (Leigh, 2010).
25
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Analisis SWOT merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi internal
dan eksternal, serta merumuskan kegiatan di masa depan berdasarkan faktor-faktor tersebut (Leigh,
2010). Identifikasi lingkungan adalah proses monitoring, evaluasi, dan pengumpulan informasi dari
lingkungan eksternal dan internal yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor strategi. Lingkungan
eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang berasal dari luar organisasi. Lingkungan internal
terdiri dari kekuatan dan kelemahan yang berada dalam lingkup organisasi dan mencakup struktur,
budaya, serta sumber daya (Wheelen dan Hunger, 1998). Identifikasi dari SWOT adalah sebagai
berikut:
• Strengths/Kekuatan Internal
Kekuatan merupakan internal enhancer yang menunjukkan kompetensi internal atau sumber
daya yang bernilai (Leigh, 2010). Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan
lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar yang dilayani. Kekuatan merupakan suatu
kompetensi berbeda (distinctive competence) yang memberi perusahaan suatu keunggulan
komparatif dalam pasar. Kekuatan berkaitan dengan sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan,
pasar, dan hubungan pembeli - pemasok.
• Weaknesses/Kelemahan Internal
Kelemahan merupakan penghambat sumber daya internal (internal inhibitors), yaitu keterbatasan
atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kemampuan yang secara serius
menghalangi kinerja efektif suatu industri.
Setelah mengidentifikasi kondisi internal dan eksternal melalui SWOT, selanjutnya dilakukan
tahap pencocokan yang relatif sulit dan kritis dalam merumuskan strategi. Tujuan tahapan pencocokan
adalah untuk membangkitkan alternatif strategi yang layak, bukan untuk memiliki strategi terbaik.
Tidak semua strategi dibuat dalam matriks SWOT.
Salah satu alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks
SWOT. Matriks ini membantu mengembangkan 4 (empat) tipe strategi yaitu: SO (strengths-
opportunities), WO (weaknesses-opportunities), ST (strengths-threats), dan WT (weaknesses-threats).
Matriks ini menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks SWOT menghasilkan 4 (empat)
kemungkinan alternatif strategi seperti terlihat dalam Tabel 2.4.
26
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA
Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi dan memilih strategi terbaik. Ruang lingkup terbaik
untuk evaluasi adalah dengan menguji hal-hal berikut:
27
28
Bab III - METODE PENELITIAN
BAB III
METODE PENELITIAN
Data sekunder diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (nasional dan daerah),
Kementerian dan Dinas terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan dinas-dinas yang berada
di wilayah penelitian. Selain itu, sumber data sekunder diperoleh melalui buku-buku dan
berbagai jurnal khususnya yang terkait dengan rantai nilai, sustainable cluster, volatile foods
supply chain, rumusan strategi dan pengambilan keputusan berdasarkan multi kriteria (multi-
criteria decision making).
Metode pengumpulan data primer, khususnya yang terkait dengan perumusan roadmap
pengembangan klaster dan usulan strategi klaster nasional dilakukan melalui in-depth interview,
kuesioner, FGD, dan survei lapangan. Wawancara dilakukan secara langsung (face to face) dan
mendalam dengan responden ahli. In-depth interview menggunakan kuesioner kepada 35
responden petani, 3 orang pedagang dan 2 orang pengolah pada komoditas beras, cabai
merah dan bawang merah di masing-masing lokasi. Dalam FGD di lokasi penelitian, selain
melibatkan petani, pedagang, dan pengolah juga melibatkan instansi-instansi terkait seperti:
Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perhubungan, Dinas
Perindustrian, Bappeda/Pemda, akademisi lembaga keuangan formal maupun non-formal,
dan tokoh masyarakat. FGD dilakukan juga pada level nasional untuk mendapatkan masukan
dari stakeholders terhadap roadmap, usulan integrasi klaster secara nasional, dan prioritas
strategi. Peserta FGD nasional berasal dari Bappenas, Kemenko Perekonomian, Kementerian
Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.
Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui literature review terhadap kajian
yang sudah dilakukan. Kajian tersebut dapat berupa hasil penelitian, best practices, maupun
kebijakan yang terkait dengan pengembangan klaster sebagai pengendali inflasi. Keterkaitan
antara tujuan penelitian dengan data, sumber data, teknik pengumpulan dan teknik analisis
data dapat dilihat pada Tabel 3.1.
29
Bab III - METODE PENELITIAN
Teknik
Tujuan Data Sumber Data Pengumpulan Teknik Analisis
Data
Memperoleh arah Data primer Responden, Survei lapang Statistik
pengembangan dan dan sekunder informan kunci dan desk study parametrik
penguatan klaster dan laporan dan non-
komoditas Volatile Foods. kegiatan parametrik
a. Impact evaluation
(before – and after
comparisons)
b. Pengembangan klaster
Menetapkan roadmap Data primer Informan kunci FGD dan nasi Kualitatif
pengembangan klaster dan sekunder dan laporan dan nasional
kegiatan nasional dan
Desk study
Memperoleh usulan Data primer Informan kunci FGD SWOT dan AHP
integrasi klaster secara dan sekunder
Nasional, dan prioritas
strategi
Dalam penelitian telah ditetapkan tiga komoditas volatile food yaitu beras, cabai dan
bawang merah. Untuk masing-masing komoditas dipilih satu lokasi klaster yaitu klaster beras
di Soppeng, Sulawesi Selatan, klaster cabai merah di Kulon Progo, Yogyakarta dan klaster
bawang merah, Nganjuk Jawa Timur. Dari masing-masing klaster dikumpulkan data primer
yang bersumber dari 50 responden.
Untuk dapat yang bersifat rasio, akan digunakan uji-t berpasangan. Uji-t adalah
jenis pengujian statistika untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari nilai yang
diperkirakan dengan nilai hasil perhitungan statistika. Umumnya digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata antara dua populasi dengan
mengambil sampel pada kedua populasi tersebut. Data yang digunakan minimal
interval atau rasio. Pada penelitian ini, uji-t digunakan untuk melihat dampak
infrastruktur pertanian. Jawaban petani diuji apakah berbeda nyata dengan tiga yang
dianggap jawaban netral. Adapun rumusnya adalah:
Keterangan:
Sd = standar deviasi selisih antar dua sampel
d = selisih antar dua sampel (garis di atas
menunjukkan rata-rata)
30
Bab III - METODE PENELITIAN
Untuk data yang bersifat ordinal, uji beda yang dilakukan adalah dengan menggunakan
uji tanda (sign test). Uji ini diaplikasikan untuk masalah hubungan kausal 2 variabel nonmetrik.
Variabel independent (X) terdiri dari 2 kategori (misalkan, A dan B), dengan kasus 2 sampel
berpasangan, dan variabel dependent (Y) minimal mencapai pengukuran ordinal. Sehingga
data sampel dapat dinyatakan dalam n pasang, yakni (YA , YB)1, (YA , YB)2, …, (YA , YB)n dan
misalkan N adalah banyak pasangan yang skor YA ≠ YB.
Ingin diketahui, apakah lokasi pusat data Y pada kedua populasi, berdasarkan dua sampel
berpasangan tersebut berbeda. Untuk itu, hipotesa statistiknya dinyatakan sebagai:
Ho : Median Y di kedua populasi (populasi A dan B) tidak berbeda
H1 : Median Y di populasi A lebih besar dibanding di populasi B
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji S, yakni banyak pasangan yang skor
YA>YB. Ho cenderung benar, ketika nilai S mendekati .
Untuk sampel berukuran besar, statistik S menyebar normal, dengan nilai tengah dan
simpangan baku . Sehingga, statistik S dapat dinormalbakukan menjadi:
Tanda ± 0,5 pada statistik Zhit di atas, dimaksudkan sebagai koreksi kontinuitas, karena
adanya transformasi statistik S (diskrit) menjadi Zhit (kontinu), dengan ketentuan, bila S<hg
maka S+fg namun bila S>hg maka S-hg .
Statistik Zhit menyebar normal baku (Z). Pada output SPSS tersaji nilai
Pemetaan value chain dapat dibagi menjadi 5, yaitu: (1) pemetaan aktor-aktor yang
terlibat; (2) pemetaan volume penjualan masing-masing aktor di sepanjang value chain; (3)
pemetaan nilai produk di setiap tingkatan value chain; (4) pemetaan proporsi biaya yang
dikeluarkan setiap aktor di sepanjang value chain; dan (5) pemetaan aliran informasi dan
transfer teknologi.
a. Tahap Input
Pada tahap ini, peneliti membuat IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor
Evaluation). Matriks IFE mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap
klaster, sedangkan Matriks EFE menggambarkan peluang dan ancaman setiap klaster.
b. Tahap Pencocokan
Tahap pencocokan dilakukan dengan membuat matriks SWOT untuk mengembangkan 4
jenis strategi, yaitu strategi yang mencocokkan (1) kekuatan dan peluang (SO strategies),
(2) kelemahan dan peluang (WO strategies), (3) kekuatan dan ancaman (ST strategies)
dan (4) kelemahan dan ancaman (WT strategies).
c. Tahap Keputusan
Tahap ini menggunakan AHP untuk mengevaluasi dan memilih strategi berdasarkan
nilai bobot terbesar. Menurut Saaty (1994), AHP merupakan suatu tahapan proses
pembuatan keputusan yang mencakup tahapan-tahapan berikut:
1) Menstrukturkan permasalahan sebagai suatu hierarki atau suatu sistem dengan
lingkaran yang yang saling berhubungan (dependence loop).
2) Menjelaskan pernyataan yang merefleksikan gagasan-gagasan, perasaan atau
intuisi.
3) Merepresentasikan pernyataan (judgement) degan nilai-nilai yang memiliki arti.
4) Menggunakan nilai-nilai tersebut untuk menghitung prioritas elemen dalam hierarki.
5) Menginterpretasikan hasilnya untuk menentukan seluruh keputusan.
6) Menganalisis sensitivitas untuk mengubah pernyataan.
32
Bab III - METODE PENELITIAN
1. Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation)
Matriks IFE bertujuan mengidentifikasi faktor lingkungan internal dan mengukur sejauh mana
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sedangkan matriks EFE mengidentifikasi faktor lingkungan
eksternal dan mengukur sejauh mana peluang dan ancaman yang dihadapi. Tahap-tahap yang
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai
berikut (David, 2011):
a. Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal
Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) yang dimiliki. Kemudian dilakukan identifikasi seluruh faktor eksternal (peluang
dan ancaman). Daftar harus spesifik dengan menggunakan persentase, rasio atau angka
perbandingan. Hasil kedua identifikasi faktor-faktor diatas menjadi faktor penentu eksternal
dan internal yang selanjutnya akan diberi bobot.
Penentuan bobot akan dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor strategis
internal dan eksternal kepada stakeholders dengan menggunakan metode ”paired
comparison” (Kinnear dan Taylor, 1997). Metode ini digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap bobot setiap faktor penentu internal. Setiap variabel digunakan skala 1, 2, dan 3
untuk menentukan bobot. Skala yang digunakan untuk menentukan bobot adalah :
1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal
3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal
Bentuk penilaian pembobotan terdiri dari penilaian bobot faktor strategis internal dan
penilaian bobot faktor strategis eksternal. Penilaian bobot faktor strategis internal dapat
dilihat pada Tabel 3.2.
Total n
∑ Xi
i =1
33
Bab III - METODE PENELITIAN
Penilaian bobot faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 3.3. Cara membaca
perbandingan dimulai dari variabel baris (indikator vertikal) dibandingkan dengan variabel
kolom (indikator horizontal) dan harus konsisten.
n
Total
∑ Xi
i =1
Menurut Kinnear dalam Wibowo (2003), bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan
nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan
rumus:
Di mana:
αi = Bobot Variabel ke-i n = Jumlah Data
Xi = Nilai Variabel x ke-i i = 1, 2, 3, ..., n
c. Penentuan Rating
Penentuan rating oleh stakeholder dilakukan terhadap variabel-variabel. Dalam mengukur
masing-masing variabel terhadap kondisi digunakan skala 1, 2, 3, dan 4 untuk masing-
masing faktor strategis. Matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Menurut David
(2011) skala nilai rating untuk matriks IFE (kekuatan dan kelemahan) adalah:
Sedangkan untuk matriks EFE (peluang dan ancaman), skala nilai rating yang digunakan
adalah :
34
Bab III - METODE PENELITIAN
Kelemahan
1 .......................
2 .......................
Total
35
Bab III - METODE PENELITIAN
Sedangkan Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut ini:
Ancaman
1 .......................
2 .......................
Total
Faktor-faktor strategis eksternal dan internal merupakan pembentuk matriks SWOT (David,
2011). Analisa SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan
kekuatan dan peluang, meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matriks SWOT terdiri dari
sembilan sel, yaitu empat sel faktor (S, W, O, dan T), empat sel alternatif strategi dan satu sel
kosong (Tabel 3.6).
36
Bab III - METODE PENELITIAN
Faktor Strategis
Eksternal
Strenghts (S) Weakness (W)
Faktor Strategis
Internal
Kelemahan
Oppurtunities (O) Strategi menggunakan
Strategi WO
Strategi memanfaatkan peluang
kekuatan untuk
untuk mengatasi kelemahan
meningkatkan peluang
Strategi ST Strategi WT
Threats (T) Strategi menggunakan Strategi meminimalkan
kekuatan untuk kelemahan dan menghindari
menghindari ancaman. ancaman.
37
Bab III - METODE PENELITIAN
Saaty (1994) menyatakan skala kuantitatif 1 sampai 9 untuk menilai perbandingan tingkat
kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya, seperti pada Tabel 3.7.
Intensitas
Keterangan Penjelasan
Kepentingan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong
penting daripada elemen satu elemen dibandingkan elemen lainnya
yang lainnya
7 Satu elemen jelas mutlak lebih Satu elemen yang kuat disokong dan dominan
penting daripada elemen terlihat dalam praktek.
lainnya.
9 Satu elemen mutlak penting Bukti yang mendukung elemen yang satu
daripada elemen lainnya. terhadap elemen lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di
nilai pertimbangan yang antara dua pilihan.
berdekatan.
38
Bab III - METODE PENELITIAN
Matriks An x n merupakan matriks resiprokal dan diasumsikan terdapat n elemen yaitu w1, w2,
…, wn yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai (judgement) perbandingan secara berpasangan
antara (wi, wj) dapat dipresentasikan seperti matriks tersebut.
Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matriks A dengan unsur-unsurnya adalah aij
dengan i,j = 1,2…,n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan membandingkan satu elemen
operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat hirarki yang sama. Misalnya unsur a11 adalah
perbandingan kepentingan elemen operasi a1 dengan elemen operasi A1. Maka nilai unsur a11 sama
dengan 1. Dengan cara yang sama maka diperoleh semua unsur diagonal matriks perbandingan
sama dengan 1. Nilai unsur a12 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1 terhadap
elemen operasi A2. Besarnya nilai a21 adalah 1/a12 yang menyatakan tingkat intensitas kepentingan
elemen operasi A2 terhadap elemen operasi A1.
Bila vektor pembobotan elemen-lemen operasi A1, A2,…, An tersebut dinyatakan sebagai vektor
W dengan W = ( W1, W2,…, Wn) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan
A2 dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A1 terhadap A2, yaitu W1/W2
yang sama dengan a12. Sehingga matriks perbandingan dapat pula dinyatakan sebagai berikut:
Nilai-nilai wi/wj dengan i,j =1,2,…, n diperoleh dari responden yaitu orang- orang yang
berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom
W= (W1, W2, …, Wn) maka diperoleh hubungan
AW = nW ……………...........................................................…………………(1)
Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W maka dapat diselesaikan melalui persamaan
berikut:
[A-nI] W= 0 ………………..........................................................……………..(2)
Persamaan (2) dapat menghasilkan solusi yang tidak nol jika dan hanya jika n merupakan eigenvalue
dari A dan W adalah eigenvector. Setelah eigenvalue matriks perbandingan A tersebut diperoleh,
misalnya λ1, λ2, …, λn dan berdasarkan matriks A yang mempunyai keunikan yaitu aii= 1 dengan
i= 1,2,…,n maka: ∑ λ1 =n . Disini semua eigenvalue bernilai nol kecuali nilai eigenvalue maksimum.
Kemudian jika penilaian yang dilakukan konsisten akan diperoleh nilai eigenvalue maksimum dari
A yang bernilai n. Untuk mendapatkan W maka dapat dilakukan dengan mensubstitusikan harga
eigenvalue maksimum pada persamaan:
AW = λmaks W
39
Bab III - METODE PENELITIAN
λmaks I = 0 …………………….................................................…………..…...…..(4)
Berdasarkan persamaan 4) dapat diperoleh harga λmaks Dengan memasukkan harga λmaks
ke persamaan 3) dan ditambah dengan persamaan ∑ Wi2 = 1 maka akan diperoleh bobot masing-
masing elemen operasi (Wi dengan I =1,2,…,n) yang merupakan eigenvector yang bersesuaian
dengan eigenvalue maksimum.
Perhitungan Konsistensi
Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus
mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:
• Hubungan kardinal : aij.ajk = aik
• Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj> Ak maka Ai>Ak
Pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut sehingga matriks
tidak konsisten karena ketidakkonsistenan preferensi seseorang. Dalam teori matriks diketahui
bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pada eigenvalue.
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan sebagai Indeks Konsistensi.
Pengukuran konsistensi dinyatakan melalui suatu indeks yang disebut ‘consistency index’ (CI) ,
adapun rumus CI adalah :
…………………............................................................………....(5)
Indeks konsistensi (CI) matriks random memiliki skala penilaian 9 (1 sampai 9) beserta kebalikannya
sebagai Indeks Random (RI). Dengan menggunakan besaran CI dan RI maka dapat digunakan suatu
patokan untuk menentukan tingkat konsistensi suatu matriks, yang disebut ‘consistency ratio’ (Saaty,
1991).
………………………………...................................................……....(6)
Keterangan:
CR : rasio konsistensi
CI : indeks konsistensi
RI : Random Consistency Index
Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai Rasio Konsistensi (CR) ≤ 0,1
(Saaty, 1994).
40
Bab IV - GAMBARAN UMUM
BAB IV
GAMBARAN UMUM
41
Bab IV - GAMBARAN UMUM
4.1.2. Gambaran Umum Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo, DIY
Kabupaten Kulon Progo merupakan sentra produksi utama cabai di Provinsi Yogyakarta.
Total luas wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah 586.28 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan
88 desa. Lokasi Kabupaten Kulon sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
(Jawa Tengah), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul, sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) dan sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia. Pengembangan klaster cabai di Kabupaten Kulon Progo
ditunjang oleh kondisi iklim dan kesuburan tanah. Hamparan wilayah Kulon Progo berdasarkan
ketinggian tanahnya 17,58% berada pada ketinggian <7m di atas permukaan laut (dpal),
15,20% berada pada ketinggian 8 - 25 m dpal, 22,84% berada pada ketinggian 26-100 m dpal,
33% berada pada ketinggian 101 - 500 m dpal, dan 11,37% berada pada ketinggian >500 m
dpal. Rata-rata curah hujan per bulan sebesar 156 mm dengan keadaan rata-rata curah hujan
dan hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari - April dan bulan November - Desember.
Produksi (ton)
11581.6 10920.8 12507.0
Kulon Progo 4.41
(70.4) (63.7) (70.4)
1670.2 1765.1 1224.0
Bantul -12.49
(10.1) (10.3) (6.9)
345.3 253.8 212.0
Gunung Kidul -21.48
(2.1) (1.5) (1.2)
2859.9 4193.8 3816.0
Sleman 18.82
(17.4) (24.5) (21.2)
DIY 16457.0 17133.5 17759.0 3.88
Luas panen (ha)
1435.0 1469.0 1532.0
Kulon Progo 3.33
(53.5) (52.1) (54.9)
305.0 404.0 289.0
Bantul 2.00
(11.4) (14.3) (10.4)
254.0 150.0 132.0
Gunung Kidul -26.47
(9.5) (5.3) (4.7)
689.0 795.0 838.0
Sleman 10.40
(25.7) (28.2) (4.7)
DIY 2683.0 2818.0 2791.0 2.04
Produktivitas (ton/ha)
Kulon Progo 8.07 7.43 8.16 0.96
Bantul 5.48 4.37 4.24 -11.64
Gunung Kidul 1.36 1.69 1.61 9.69
Sleman 4.15 5.28 4.55 6.71
DIY 6.13 6.08 6.36 1.89
42
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa lebih dari 60% produksi cabai di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) sepanjang tahun 2012 - 2014 disumbang oleh Kabupaten Kulon
Progo diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Rata-rata pertumbuhan produksi cabai
di Kabupaten Kulon Progo pada periode tersebut sebesar 4,41% per tahun. Terdapat tiga
kecamatan yang menjadi sentra utama cabai di Kabupaten Kulon Progo yaitu Kecamatan
Temon, Wates dan Panjatan.
Demikian juga halnya dengan luas panen, Kabupaten Kulon Progo menyumbang lebih
dari 50% terhadap total luas panen cabai di Provinsi DIY dengan pertumbuhan rata-rata sebesar
3,33% per tahun. Dari sisi produktivitas, Kabupaten Kulon Prugo juga menempati posisi teratas
dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di DIY. Sebagai contoh, pada tahun 2014,
produktivitas cabai di Kabupetan Kulon Progo mencapai 8,16 ton/ha, sementara produktivitas
cabai di kabupatan-kabupaten lainnya di DIY kurang dari 5 ton/ha. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa pengembangan klaster cabai di Kabupaten Kulon Progo dipandang
sudah tepat mengingat besarnya sumbangan komoditas cabai terhadap produksi, luas panen
dan produktivitas di Provinsi DIY. Kondisi iklim di Kabupaten Kulon Progo juga berperan
penting dalam mendukung perkembangan produksi cabai.
4.1.3. Gambaran Umum Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Bawang merah merupakan salah satu komoditas penting dan menjadi sumber penghasilan
utama petani di berbagai negara dunia. Selain Indonesia, produsen penghasil bawang merah
lainnya adalah India dan Tiongkok (FAO, 2010). Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu
sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia selain Kabupaten Brebes dan Probolinggo.
2
Total luas wilayah Kabupaten Nganjuk adalah 1.224,33 km yang terdiri dari 20 kecamatan dan
284 desa/kelurahan. Klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk berkembang baik didukung
kondisi iklim dan kesuburan tanah. Ketinggian tempat berada pada 50 - 59 m dari permukaan
laut dengan rata-rata curah hujan sebesar 1.445,2 mm/tahun dan temperatur 30 – 32 oC.
Selain itu keberadaan sungai Widas sepanjang 69.332 km yang mampu mengairi wilayah
pertanian seluas 430.150 km², sangat menunjang kelangsungan dan keberhasilan usahatani.
Sebelah utara Kabupaten Nganjuk berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan Ponorogo, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Kediri dan Trenggalek, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kediri
dan Jombang (BPS Kabupaten Nganjuk, 2015).
43
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Daerah potensial penghasil bawang merah di Kabupaten Nganjuk yaitu Kecamatan Sukomoro,
Gondang, Rejoso, Bagor dan Wilangan dengan potensi areal tanam sebesar 11.000 ha (Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Nganjuk, 2015). Kelima daerah tersebut berada di wilayah bagian
utara dan merupakan wilayah yang saling berdekatan. Kelima kecamatan tersebut memiliki jenis
tanah yang hampir sama, yaitu grumosol (dominan), latosol, andosol, litosol dan sebagian alluvial
dengan pH tanah antara 5,5 – 6,5. Tabel 4.2 menyajikan potensi areal dan potensi produktivitas di
kelima kecamatan sentra bawang merah Kabupaten Nganjuk.
Tabel 4. 2. Potensi Areal dan Produktivitas Bawang Merah di Sentra Produksi Nganjuk
Varietas bawang merah yang banyak ditanam adalah jenis Bauji/Bauci dan Tajuk (Tanaman
Jawan dari Nganjuk). Varietas Tajuk saat ini sedang dikembangkan sebagai varietas unggulan
bawang merah yang berasal dari Nganjuk. Varietas Tajuk memiliki kelebihan dibandingkan
dengan varietas lainnya, antara lain dapat ditanam pada musim penghujan dan kemarau,
memiliki tingkat rendemen yang cukup tinggi, dan lebih tahan disimpan. Sedangkan varietas
44
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Bauji lebih cocok ditanam pada musim penghujan. Pengembangan varietas tersebut
merupakan hasil kerja sama antara para petani dengan Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perguruan tinggi, dan perusahaan benih swasta.
Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
No. Kategori Umur
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Orang) (Orang) (Orang)
1 20 - 40 tahun 11 31.43 10 28.57 11 31.43
2 41 - 60 tahun 20 57.14 24 68.57 23 65.71
3 >61 tahun 4 11.43 1 2.86 1 2.86
Jumlah 35 100.00 35 100.00 35 100.00
Rata-Rata Umur 46.11 45.23 45.83
45
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
Tingkat
No.
Pendidikan Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Orang) (Orang) (Orang)
1 SD 14 40.00 4 11.43 14 40.00
2 SLTP 9 25.71 5 14.29 4 11.43
3 SLTA 11 31.43 26 74.29 16 45.71
4 Perguruan Tinggi 1 2.86 0 - 1 2.86
Jumlah 35 100.00 35 100.00 35.00
Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa pada petani komoditas beras sebagian besar
berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan rendahnya latar belakang pendidikan
petani komoditas beras, di mana usaha yang dijalankan umumnya merupakan usaha yang
bersifat turun temurun. Sedangkan petani cabai merah dan bawang merah sebagian besar
berpendidikan Sekolah Tingkat Lanjutan Atas (SLTA). Hal ini menunjukkan bahwa pada
komoditas cabai merah dan bawang merah petani berpendidikan cukup tinggi.
46
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
No. Jenis Pekerjaan
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1 Petani 34 97.14 35 100.00 25 71.43
2 Wiraswasta 0 - 0 - 1 2.86
3 Buruh Tani 0 - 0 - 9 25.71
4 Lainnya 1 2.86 0 - 0 -
Jumlah 35 100.00 35 35 100.00
47
Bab IV - GAMBARAN UMUM
Komoditas
Sumber Keterlibatan Berassas Cabai Merah Bawang Merah
No. dalam Klaster BI
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1 Diajak petani lainnya 8 22.86 35 100.00 3 8.57
2 Melalui koperasi 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Diikutsertakan oleh
3 1 2.86 0 0.00 0 0.00
Dinas Pertanian
4 Melalui kelompok tani 22 62.86 0 0.00 32 91.43
Melalui petugas
5 4 11.43 0 0.00 0 0.00
penyuluh pertanian
6 Lainnya
Total 35 100.00 35 100.00 35 100.00
48
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
BAB V
DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA
TERHADAP USAHATANI BERAS,
CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Pelaksanaan pilot project dilakukan bekerja sama dengan berbagai stakeholders atas dasar
Nota Kesepahaman No. 14/3/MoU/Mks tanggal 21 September 2012 tentang Pengembangan
Pilot Project Program Ketahanan Pangan Beras di Kabupaten Soppeng. Para pihak tersebut
meliputi: Pemerintah Kabupaten Soppeng, Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan, Sekretariat Badan Koordinasi
Penyuluhan Provinsi Sulawesi Selatan, Perum Bulog Divisi Regional Sulselbar dan PT. Bank
Sulselbar.
49
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Melalui pilot project tersebut, diharapkan klaster mampu meningkatkan peran Gapoktan
untuk menampung hasil panen petani sehingga merubah saluran pemasaran dan petani
tidak lagi bergantung pada pedagang. Gabah petani digiling di Rice Milling Unit (RMU) milik
Gapoktan, dan beras yang dihasilkan disalurkan melalui Bulog dan pedagang besar. Perubahan
saluran pemasaran ini dapat meningkatkan pendapatan petani karena harga yang diterima
petani lebih tinggi (Gambar 5.2).
50
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Dalam perkembangannya, kegiatan pilot project tersebut lebih fokus dalam usaha budidaya padi
sedangkan pada usaha peternakan dan perikanan belum terealisasi. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
kegiatan klaster BI dapat dibagi menjadi lima aspek, yang masing-masing memiliki penanggungjawab
yang berbeda. Pada aspek budidaya dan pengolahan, instansi teknis bertanggungjawab pada setiap
kegiatan. Sedangkan BI lebih fokus pada aspek pembiayaan bersama perbankan.
Gambar 5. 3. Bantuan Lantai Jemur dan Rice Milling Unit (RMU) dari Bank Indonesia
51
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Dampak program klaster yang telah dilaksanakan dapat dilihat dari berbagai aspek
antara lain usahatani, akses terhadap input produksi, akses terhadap pasar input dan output,
pembiayaan, sumber informasi, pendapatan dan kelembagaan.
Gambar 5.4 menunjukkan empat saluran pemasaran gabah dan beras dari petani hingga
konsumen dalam klaster, yaitu :
Mayoritas petani klaster menjual berasnya kepada pedagang pengumpul (92%) akibat
keterbatasan RMU dan lantai jemur milik Gapoktan yang merupakan bantuan dari BI. Petani
menjual dalam bentuk gabah kering panen (GKP) kepada RMU, kemudian digiling dan
sebagian besar dijual kepada kios di Soppeng dan luar Soppeng. Sedangkan sekitar 30%
dibeli oleh konsumen yang datang langsung ke RMU.
Sementara Gabah Kering Panen (GKP) dari pedagang pengumpul, sebagian besar
(64%) dijual ke penggilingan yang umumnya yang berasal dari luar Soppeng yaitu Sidrap
(Kecamatan Mariorirawa berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidrap) sedangkan sisanya
diserap oleh Bulog Kabupaten Sidrap. Margin yang diambil oleh pedagang antara Rp100 -
Rp300 per kilogram.
RMU meningkatkan harga yang diterima petani. Petani yang semula menjual dalam bentuk
GKP, sekarang dapat menjual dalam bentuk beras. Berdasarkan laporan Kantor Perwakilan
BI Provinsi Sulawesi Selatan, harga jual GKP berkisar antara Rp3.000 – Rp3.500 per kg,
sedangkan harga jual beras Rp7.000 - Rp7.500 per kg. Dengan menjual ke RMU, harga
GKP meningkat dibandingkan harga jual ke pedagang, sehingga Gapoktan dapat membeli
dengan harga yang lebih baik. Kendala yang dihadapi adalah masih terbatasnya kapasitas
lantai jemur Gapoktan sehingga yang dapat menjual ke Gapoktan adalah petani yang panen
terlebih dahulu.
Keterangan:
*** signifikan pada taraf 1%
** signifikan pada taraf 5%
* signifikan pada taraf 10%
53
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Perubahan sebelum
dan sesudah mengikuti
Jenis perubahan (%)
klaster (%)
No Keterangan Meningkat
Tidak Berbeda Lain-
Mening- dan berbeda
Berubah berubah Turun jenis nya
kat jenis
Penggunaan benih
2 yang disimpan/ 2.94 97.07 100.00
benih sendiri
Penggunaan
3 5.88 94.12 50.00 50.00
benih non-hybrid
Penggunaan
4 11.76 88.23 75.00 25.00
benih hybrid
Penggunaan
5 73.53 26.47 12.00 72.00 16.00
pupuk kimia
Penggunaan
6 32.35 67.65 63.64 36.36
pupuk organik
Penggunaan
7 58.82 41.18 25.00 55.00 20.00
pestisida
Penggunaan
8 29.41 70.59 100.00
herbisida
Penggunaan
9 29.41 70.59 10.00 90.00
fungisida
Penggunaan
10 5.88 94.12 100.00
tenaga kerja sewa
Penggunaan
11 0.00 100.00
tenaga kerja lokal
Penggunaan
12 tenaga kerja 0.00 100.00
perempuan
Kualitas produk
13 yang dihasilkan 88.23 11.77 90.00 3.33 6.67
petani
Program klaster juga mengubah sumber pembelian input, terutama benih dan pupuk.
Penyediaan input dilakukan bekerja sama dengan berbagai pihak, misalnya Dinas Pertanian
yang memberikan bantuan benih padi sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan
kualitas beras yang dihasilkan.
54
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
8 Waktu pembayaran 1-7 hari setelah panen 1-7 hari setelah panen
9 Mengetahui tujuan akhir penjualan Mengetahui Mengetahui
beras
10 Tujuan akhir penjualan beras Pasar kabupaten Pasar kabupatan
55
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
56
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Dari 8 (delapan) aspek yang dianalisis, dapat disimpulkan bahwa program klaster di Kabupaten
Soppeng memiliki dampak signifikan terhadap 2 aspek. Pertama, aspek budidaya. Program klaster
mampu meningkatkan jumlah produksi maupun harga yang diterima sehingga mampu meningkatkan
pendapatan petani. Kedua, aspek kelembagaan. Program peningkatan kapasitas kelembagaan
klaster dapat mengaktifkan kembali kelompok-kelompok tani yang berada di bawah Gapoktan
Marengkalinga di Desa Patampanua, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Selain itu, dampak klaster juga dilihat melalui persepsi dengan menggunakan uji tanda
terhadap data ordinal dan berpasangan (Tabel 5.8). Dari 9 (sembilan) aspek yang dilihat, seluruhnya
menunjukkan perbedaan antara sebelum dan sesudah berlangsungnya program klaster pada tingkat
signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa menurut persepsi petani, program klaster bermanfaat
bagi petani.
Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa dampak terbesar dari kegiatan klaster BI adalah
pada aspek usahatani. Pengadaan bibit unggul dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
terpadu (SLPTT) padi yang diselenggarakan klaster berdampak positif terhadap aspek
budidaya dan usahatani padi yang dilakukan oleh petani anggota klaster. Hal ini terlihat dari
nilai z-hitung pada aspek informasi budidaya dan usahatani yang masing-masing sebesar
5.39 dan 5.29. Dampak klaster selanjutnya dirasakan pada aspek kelembagaan yang
memiliki nilai z-hitung sebesar 5.20. Pelatihan manajemen organisasi yang diberikan klaster
mampu meningkatkan peran dan jumlah kelompok tani padi di Soppeng. Seperti telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, jumlah kelompok tani sebelum dan sesudah adanya
57
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
klaster BI juga meningkat dari semula 6 kelompok menjadi 11 kelompok. Adapun dampak
klaster terhadap aspek-aspek lainnya terutama aspek finansial, informasi harga, dan logistik
masih belum terlalu besar dirasakan manfaatnya oleh petani. Hal ini terlihat dari nilai z-hitung
yang berada pada kisaran angka dua. Oleh sebab itu, ke depan ketiga aspek tersebut perlu
menjadi perhatian utama dalam pengembangan klaster di Kabupaten Soppeng.
Nilai signifikan juga diperoleh pada tingkat kepentingan dan kondisi untuk kelompok
tani. Artinya, petani memiliki persepsi bahwa kelompok usahatani yang dinilai memiliki
kondisi baik merupakan faktor penting. Infrastruktur lainnya yang kondisinya sudah relatif
baik adalah listrik, meskipun listrik tidak terlalu penting apabila dikaitkan dengan aspek
usahatani.
58
Tabel 5. 9. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kabupaten Soppeng
b
)
tas c)
t-test
t-test
penting dan fasilitas sangat baik (%)
sangat pent- tersedia (%)
Signifi- cance
Kondisi Fasili-
Significance b)
Kepentingana)
ing (%)
1 Sarana pengairan/irigasi 5.00 100.00 100.00 1.89 -6.84 *** 8.57
2 Jalan usaha tani 4.83 23.89 *** 97.14 100.00 3.31 2.56 ** 37.14
3 Kelompok tani 4.66 18.18 *** 97.14 100.00 4.20 15.02 *** 97.14
4 Jalan aspal 4.37 9.22 *** 77.14 100.00 3.57 6.73 *** 57.14
5 Pasar kecamatan 4.32 8.07 *** 82.86 97.14 3.57 6.73 *** 57.14
6 Listrik 4.20 7.36 *** 62.86 100.00 3.60 7.14 *** 60.00
7 Fasilitas pergudangan 2.20 -2.14 ** 48.57 51.43 2.05 -2.71 ** 45.71
8 Pasar desa 1.63 -4.12 ** 31.43 40.00 1.57 -4.53 *** 28.57
9 Jaringan telepon 1.26 -6.96 *** 0.00 42.86 1.28 -6.73 *** 0.00
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
59
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Selain memberikan bantuan kepada petani cabai (melalui Aspartan), BI juga memfasilitasi kerja
sama antara Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Karya Manunggal dengan lembaga-lembaga lainnya,
seperti: (1) perbankan, (2) Dinas Pertanian dan Kehutanan, (3) Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP)
DIY, (4) Dinas Koperasi dan UKM, dan (5) Pemda Kulon Progo. Melalui kerja sama tersebut diharapkan
klaster cabai merah dapat terus berkembang walaupun telah memasuki tahap phasing out.
Hal yang menarik dari klaster cabai di Kulon Progo adalah aspek pemasaran. Jika sebelumnya
akses ke pasar dirasakan sangat sulit, melalui program klaster maka hampir seluruh cabai yang
dihasilkan petani dijual melalui pasar lelang yang dikelola oleh kelompok tani anggota Aspartan
Karya Manunggal. Mekanisme pasar lelang disajikan pada Gambar 5.5.
Pengembangan klaster cabai merah di Kulon Progo tidak hanya melibatkan BI, tetapi juga
mendapat dukungan dari lembaga terkait lainnya. Sebagai contoh, Dinas Pertanian Provinsi DIY
memberikan bantuan kendaraan roda tiga dan fasilitas penyimpanan kepada Aspartan Karya
Manunggal. Dinas Pertanian Kabupaten juga memberikan bantuan dalam pengembangan pasar
lelang.
Gambar 5. 5. Pemasaran Cabai Merah dengan Mekanisme Pasar Lelang Di Kulon Progo
1 2 3 4 5 6
2
Petani 1
Petani Produksi
Pembeli
Pedagang Pengepul
Penyerahan Barang
61
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Pasar lokal
10% K
O
Pedagang di N
Pedagang Kramat Jati &
87%
100 di Pasar Peda- 90% Sumatera Kios S
Petani
Lelang gang pasar
10% U
besar
Pasar Kroya
(Jawa Tengah) M
3%
E
Pabrik saus
Berdasarkan Gambar 5.6 terdapat tiga saluran pemasaran cabai yang dominan pada
klaster BI di Kulon Progo, yaitu:
1. Saluran 1: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pasar Lokal Kios Pasar → Konsumen
2. Saluran 2: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pedagang Besar → Pedagang di
Kramat Jati dan Sumatera → Kios Pasar → Konsumen
3. Saluran 3: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pabrik Saus → Kios Pasar → Konsumen
Berdasarkan ketiga saluran pemasaran tersebut terlihat bahwa semua responden petani
yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka menjual cabai ke pedagang melalui pasar
lelang dalam bentuk cabai segar. Untuk ketiga saluran pemasaran, harga sangat ditentukan
oleh pasar acuan yaitu Pasar Kramat Jati dan pasar cabai di Sumatera.
62
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Pada saluran pemasaran 3, sebagian cabai yang berasal dari pasar lelang (sekitar 3%)
dijual ke pabrik saus. Pedagang mengambil margin sekitar 5% - 10% untuk setiap kilogram
cabai yang dijual.
Sementara pada saluran pemasaran 1, cabai dijual ke pasar lokal di Provinsi DIY, terutama
Pasar Biwangan. Pedagang mengambil margin 10% mengingat volume yang perdagangkan
relatif kecil, yaitu sekitar 10%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar
cabai produksi Kulon Progo dijual ke pasar di luar Provinsi DIY. Berdasarkan analisis saluran
pemasaran tersebut, pembentukan klaster cabai belum bisa mempengaruhi inflasi di tingkat
regional (DIY).
Saat ini, klaster cabai merah di Kulon Progo telah memasuki tahap phasing out.
Dengan demikian, perlu dilakukan analisis dampak yang ditimbulkan oleh klaster tersebut
terhadap usahatani, akses terhadap pasar output dan input, pembiayaan, sumber informasi,
pendapatan dan kelembagaan. Analisis juga dilakukan terkait kendala dan harapan petani
terhadap pengembangan klaster cabai. Dengan demikian, akan dapat diidentifikasi upaya-
upaya yang perlu dilakukan dalam pengembangan klaster cabai merah dari mulai pra-
pendampingan sampai dengan tahap phasing out.
63
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Jika diamati lebih lanjut, kenaikan produksi yang dialami petani terutama bersumber dari
kenaikan produktivitas. Seluruh responden (100%) sepakat bahwa setelah mengikuti program
klaster, produktivitas cabai yang dihasilkan mengalami peningkatan. Kenaikan produktivitas tersebut
ditunjang dengan semakin membaiknya kemampuan petani dalam menggunakan input-input produksi
yang dibutuhkan dalam produksi cabai. Hal ini terlihat pada Tabel 5.12 yang menggambarkan siklus
produksi. Setelah mengikuti program klaster, penggunaan benih cabai hybrid semakin meningkat.
Benih merupakan salah satu input yang penting dalam usahatani. Jika menggunakan benih unggul,
maka output yang dihasilkan juga semakin meningkat. Sama halnya dengan penggunaan pupuk,
obat-obatan dan tenaga kerja yang mengalami peningkatan setelah menjadi anggota klaster. Lebih
dari 90% responden menyatakan bahwa kualitas produk yang dihasilkan semakin membaik setelah
mengikuti program klaster.
Tabel 5. 12. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input dan Aspek Usahatani Lainnya
Perubahan
sebelum dan
Jenis Perubahan (%)
seudah mengikuti
klaster BI (%)
No Keterangan
Meningkat Turun
Tidak Berbeda dan dan
Berubah Meningkat Turun
berubah jenis berbeda berbeda
jenis jenis
1 Produktivitas (kg) 85.71 14.29 100.00
Penggunaan
benih yang
2 28.57 71.43 40.00 10.00 50.00
disimpan/ benih
sendiri
Penggunaan
3 benih non- 28.57 71.43 10.00 40.00 10.00 40.00
hybrid
Penggunaan
4 88.57 11.43 83.87 3.23 12.90
benih hybrid
Penggunaan
5 80.00 20.00 42.86 53.57 3.57
pupuk kimia
Penggunaan
6 85.71 14.29 96.67 3.33
pupuk organik
Penggunaan
7 60.00 40.00 52.38 33.33 14.29
pestisida
Penggunaan
8 62.86 37.14 72.73 27.27
herbisida
Penggunaan
9 62.86 37.14 68.18 27.27 4.55
fungisida
Penggunaan
10 tenaga kerja 54.29 45.71 84.21 15.79
sewa
Penggunaan
11 tenaga kerja 40.00 60.00 85.71 14.29
lokal
Penggunaan
12 tenaga kerja 65.71 34.29 91.30 8.70
perempuan
Kualitas produk
13 yang dihasilkan 91.43 8.57 96.88 3.13
petani
64
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Menurut hasil analisis, sebagian besar cabai yang dihasilkan oleh petani di Kulon Progo
dijual ke pasar cabai di Jakarta (Kramat Jati). Dengan demikian, keberadaan klaster yang
bertujuan meredam inflasi di tingkat regional masih belum dapat dicapai mengingat cabai
yang dihasilkan petani masih dijual keluar wilayah DIY.
10 Tujuan akhir penjualan cabai Pasar Ibu kota Pasar Ibu Kota
65
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
66
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
67
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
aktif pada kelompok tani yang ada di lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan klaster cabai yang dilakukan dengan memanfaatkan Aspartan sebagai
‘kendaraan’ utama merupakan keputusan yang tepat, karena Aspartan merupakan asosiasi
dari kelompok tani. Kelembagaan lainnya seperti koperasi tidak begitu berperan penting
dalam pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo.
Lebih lanjut, program klaster di Kulon Progo juga berdampak positif terhadap aspek
kelembagaan, pasar input dan logistik (terutama input usaha tani). Aspek kelembagaan
yang dirasakan manfaatnya oleh petani adalah penguatan peran kelompok tani terutama
di pasar lelang. Melalui bimbingan yang diberikan klaster, kelompok tani yang merupakan
pengurus pasar lelang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pasar lelang secara
lebih baik. Dampak positif yang terjadi di pasar input terjadi terutama karena meningkatnya
peran kelompok tani dalam hal penyediaan input berikut logistik input usahatani. Setelah
ada klaster, kelompok tani menyediakan input produksi seperti benih cabai dan pupuk
kepada para anggotanya. Dampak positif klaster selanjutnya terkait dengan peningkatan
akses petani terhadap lembaga keuangan (misalnya kredit KUR BRI). Seperti diketahui, untuk
mendapatkan kredit petani perlu mengajukan proposal kepada pihak bank. Melalui pelatihan
68
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
yang diberikan klaster, kemampuan petani dalam menyusun proposal semakin meningkat.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa program klaster berdampak positif terhadap
pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo.
Tabel 5. 19. Persepsi Petani Cabai di Kulon Progo Terhadap Program Klaster
No Dampak Z P-value
1 Usahatani 5.39 0.00
2 Informasi Harga 5.39 0.00
3 Akses terhadap Pasar Output 5.29 0.00
4 Kelembagaan 5.29 0.00
5 Transportasi 5.20 0.00
6 Informasi Budidaya 5.10 0.00
7 Akses terhadap Pasar Input 5.00 0.00
8 Logistik 4.90 0.00
9 Finansial 4.29 0.00
Secara umum, seluruh fasilitas pada Tabel 5.22 dirasa penting oleh responden. Fasilitas
yang dipandang paling penting adalah jalan usahatani (akses jalan yang menuju kebun cabai
petani) dengan tingkat kepentingan sebesar 4.80. Namun demikian, kondisi jalan usahatani
ternyata masih buruk, terlihat dari skor yang hanya sebesar 2.74. Nilai yang signifikan pada
tingkat kepentingan dan kondisi fasilitas tersebut menunjukkan bahwa jalan usahatani
merupakan infrastruktur yang menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan semua pihak
terkait untuk diperbaiki dalam rangka pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo. Selain
itu, aspek kelompok tani mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi dan kondisi yang baik.
Nilai siginifikan pada tingkat kepentingan dan kondisi kelompok tani menunjukkan persepsi
petani bahwa kelompok usahatani merupakan faktor penting dan didukung oleh kondisi
yang baik.
69
70
Tabel 5. 20. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kulon Progo dalam rangka
Menunjang Komoditas Cabai
Responden
Respon
yang me-
den yang
Responden nyatakan
No Variabel me-
yang me- kondisi
nyatakan
nyatakan fasilitas
t-test
t- test
fasilitas
penting tersebut
tersebut
Significance)b
Significance)b
Kepentingan)a
dan sangat baik atau
Kondisi Fasilitas)c
tersedia
penting (%) sangat baik
(%)
(%)
1 Jalan usahatani 4.80 26.23 *** 100.00 97.14 2.74 -1.46 * 28.57
2 Listrik 4.80 26.23 *** 100.00 100.00 3.80 4.76 *** 80.00
3 Terminal agribisnis 4.66 20.36 *** 100.00 94.29 3.69 5.65 *** 71.43
Kelompok tani 4.63 19.65 *** 100.00 100.00 3.94 11.5
4 8 *** 91.43
5 Jalan aspal 4.60 19.04 *** 100.00 94.29 2.88 -0.50 42.86
Fasilitas pendingin 4.60 17.11 *** 97.14 0.00
6 (cold chain) 0.00
Jaringan telepon 4.54 13.03 *** 94.29 100.00 3.89 12.9
7 8 *** 85.71
Fasilitas pergudangan 4.46 17.06 *** 100.00 91.43 3.61
8 3.73 ** 71.43
Sarana pengairan/irigasi 4.34 7.53 *** 85.71 77.14 3.34 1.28
9 71.43
10 Pasar desa 4.00 8.62 *** 88.57 54.29 2.50 -1.63 * 22.86
11 Pasar kecamatan 3.97 8.67 *** 88.57 88.57 3.00 0.00 31.43
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Mengingat komoditas bawang merah merupakan salah satu komoditas volatile foods
yang dapat berdampak terhadap inflasi, maka pada tanggal 5 Juni 2015, Tim Pengendalian
Inflasi Daerah Kota Kediri dan Asosiasi Penangkaran Benih Bawang Merah Kabupaten Nganjuk
menandatangani Perjanjian Kerja Sama tentang Penyediaan Informasi dan Kebutuhan
Komoditas Bawang Merah yang tertuang dalam SK Nomor 5/TPID-Kd/Pk/2015. Perjanjian
tersebut berlaku selama 2 (dua) tahun. Maksud dan tujuan disusunnya Perjanjian Kerja Sama
tersebut adalah:
Adapun ruang lingkup Perjanjian Kerja Sama (PKS) meliputi beberapa kegiatan sebagai
berikut:
1. Penyediaan komoditas Bawang Merah pada saat bulan puasa Ramadhan, Hari Raya Idul
Fitri, Hari Raya Natal dan Tahun Baru, serta momen tertentu yang menyebabkan harga
komoditas Bawang Merah di Kota Kediri mengalami kenaikan di luar kewajaran;
2. Penyediaan komoditas Bawang Merah sesuai dengan kebutuhan dan permintaan, yang
dibeli berdasarkan harga dasar Asosiasi Penangkaran Benih Bawang Merah Kabupaten
Nganjuk;
3. Kegiatan lainnya yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
71
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Tabel 5. 21. Program Kerja dan Kegiatan Pendampingan Klaster Bawang Merah Kabupaten
Nganjuk Tahun 2014-2016
72
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
73
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Program klaster fokus memberdayakan petani bawang merah di Kecamatan Rejoso, Kabupaten
Nganjuk, dengan memberikan pendampingan dari aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas
produksi. Jumlah petani binaan klaster mencapai 265 (2015) orang dengan jumlah tenaga
kerja mencapai 400 orang dan luas lahan 156 hektar. Biaya produksi yang dikeluarkan sejumlah
Rp6.750.000 per ton (KPBI Kediri, 2015).
Berdasarkan hasil survei, lebih dari 70% responden menyatakan bahwa program klaster dapat
membantu menstabilkan harga di musim kemarau, musim hujan, puasa dan lebaran, serta natal dan
tahun baru. Tabel 5.22 menyajikan harga, produksi dan margin yang diterima petani pada keempat
musim tersebut.
74
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Tabel 5. 22. Harga, Produksi dan Margin yang Diterima Petani di Berbagai Musim
Pelaku usaha yang terlibat dalam klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk tersaji pada
Gambar 5.7.
75
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Petani
5% 15%
Lapak pasar
Pembibitan Pengecer Konsumen
Bawang kabupaten
10% merah yang
dijual
0,5% 100%
Pengolah Konsumen
Pola rantai pemasaran yang banyak dilakukan petani bawang merah Kabupaten Nganjuk
adalah Saluran 1. Berdasarkan hasil wawancara, petani menjual bawang merah (99,5%)
ke pedagang pengumpul tingkat desa/kecamatan. Bawang merah yang tidak dijual akan
dijadikan bibit (10%) oleh petani melalui kelompok tani. Pedagang pengumpul tersebut
mendistribusikan ke pedagang besar di pasar induk, misalnya Pasar Induk Kramat Jati
(Jakarta) dan Cibitung (Bekasi). Bawang merah dari pasar induk kemudian dijual ke lapak-
lapak pasar induk dan didistribusikan ke pengecer di pasar-pasar tradisional.
76
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Selain dari BI, bantuan yang diberikan kepada petani/kelompok tani berasal dari Dinas
Pertanian Kabupaten Nganjuk. Bantuan yang diberikan berupa bimbingan teknis budidaya
dan bantuan peralatan misalnya mesin diesel untuk pompa. Selain itu, kelompok tani bekerja
sama dengan Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) untuk menciptakan bibit bawang merah yang
lebih tahan lama yaitu Bauji. Untuk pedagang/pengumpul maupun pengolah bawang merah
belum ada bantuan yang diberikan oleh instansi lain.
Setelah ada program klaster, luas tanam bawang merah meningkat sebesar 3% dan
produktivitasnya meningkat sebesar 5% dari sebelumnya rata-rata 4.101,43 kg menjadi
4.316,18 kg. Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengisian kuesioner yang diberikan kepada
responden petani. Namun, program klaster juga berdampak terhadap peningkatan
total biaya variabel usahatani bawang merah, dari sebelumnya Rp7.914.285,71 menjadi
Rp22.475.000,00.
Harga rata-rata yang diterima petani per kilogram bawang merah setelah menjadi
anggota klaster meningkat rata-rata sebesar 12% dari sebelumnya Rp5.372,73/kg menjadi
Rp6.026,67/kg. Selain itu, rata-rata penerimaan petani klaster menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan yaitu 20%, dari semula Rp21.326.250,00 menjadi Rp25.587.314,81.
77
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Tabel 5.23 menyajikan secara ringkas dampak program klaster terhadap usahatani bawang
merah di Kabupaten Nganjuk.
Komponen biaya terbesar adalah benih, selebihnya untuk obat-obatan dan sewa lahan
sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.9. Harga bibit bawang merah relatif mahal karena
jumlahnya terbatas. Padahal, kualitas bibit sangat menentukan hasil panen.
78
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
pelaksanaan program klaster. Tabel 5.24 menyajikan penggunaan input produksi sebelum
dan sesudah mengikuti program klaster.
Tabel 5. 24. Perubahan Pada Input Produksi Sebelum dan Sesudah Mengikuti Program Klaster
Program klaster juga berdampak terhadap jenis transportasi yang digunakan petani,
yaitu sepeda, motor dan mobil. Persentase petani yang menggunakan sepeda menurun
dari 48,49% menjadi 25,80%, pengguna motor untuk mengangkut panen meningkat
dari 17,18% menjadi 31,52%, dan pengguna mobil pick up meningkat dari 34,33%
79
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
menjadi 42,68%. Sementara waktu penjualan bawang merah sebelum maupun sesudah
program klaster tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebagian besar petani
(70%) menjual langsung setelah panen (Gambar 5.10).
Sekitar 82% petani umumnya mengetahui tujuan akhir penjualan komoditas bawang
merah baik sebelum maupun setelah program klaster. Tujuan akhir penjualan bawang
merah adalah pasar desa, pasar kabupaten, pasar provinsi dan pasar ibu kota. Gambar
5.11 menggambarkan persentase tujuan penjualan bawang merah.
80
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Gambar 5. 11. Tujuan Penjualan Bawang Merah dari Petani Kabupaten Nganjuk
Kegiatan pascapanen yang dapat meningkatkan nilai tambah bawang merah adalah
pengeringan, sortasi, pengangkutan, dan penyimpan di gudang. Pengeringan bertujuan untuk
mengurangi kadar air sehingga umbi bawang merah tidak cepat membusuk dan masa simpan
lebih lama. Bawang merah dikeringkan menggunakan para-para dengan cara menggantungkan
daun bawang merah yang terikat. Sebenarnya, mengeringkan bawang merah juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sinar matahari secara langsung, namun metode ini akan membuat daun
bawang merah menjadi cepat layu. Tindakan sortasi bertujuan untuk memisahkan kotoran yang
masih menempel pada umbi bawang merah, serta memisahkan bawang merah yang berkualitas
dengan yang cacat.
Namun demikian, sebagian besar responden (88%) menyatakan bahwa mereka tidak
memperoleh insentif jika melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan nilai tambah. Selebihnya,
12% responden menyatakan bahwa insentif diberikan jika dilakukan aktivitas peningkatan nilai
tambah berupa harga jual yang lebih tinggi. Selama proses jual beli hasil panen, 66.66% petani
melakukan tawar menawar dengan pembeli, 15,14% menerima harga yang ditawarkan pembeli
dan 21,20% sesekali melakukan tawar menawar. Persentase untuk ketiga kondisi penawaran
berdasarkan hasil survei dapat dilihat pada Gambar 5.12.
81
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
b. Pasar Input
Salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani bawang merah adalah ketersediaan
bibit bermutu. Bibit bermutu menjadi modal awal dalam rangka meningkatkan produksi.
Produsen bibit bawang merah pada sentra produksi biasanya petani yang memiliki
skala usaha relatif luas atau petani individual yang menyisihkan sebagian hasil panen
untuk digunakan sebagai bibit musim tanam berikutnya. Hampir seluruh petani (90%)
memperoleh benih dari asosiasi perbenihan yang melakukan proses pembenihan
sendiri. Saat ini ada jenis yang sedang dikembangkan yaitu varietas Tajuk. Varietas itu
merupakan hasil persilangan dari beberapa varietas bawang merah lokal. Uji coba
pengembangan varietas tersebut dilakukan pada lahan seluas 1.000 meter persegi dan
mampu menghasilkan bawang merah 1.200 kg. Jumlah ini lebih banyak dari produksi
bawang merah jenis lainnya yang hanya sekitar 900 kg per 1.000 meter persegi.
Pupuk diperoleh petani dari kios yang berada di desa (55,68%), kios yang berada
di Kecamatan (20,59%), dan kelompok tani (20,59%). Ada juga petani yang membuat
pupuk sendiri berupa pupuk organik tapi jumlahnya sangat sedikit (2,94%). Sejumlah
85,71% petani baik sebelum maupun sesudah klaster menyatakan membeli input
kepada pedagang yang sama. Seluruh responden menyatakan bahwa program klaster
berdampak positif terhadap akses petani ke pasar input.
82
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Pengajuan biaya yang dilengkapi dengan proposal setelah adanya klaster meningkat
sebesar 45%. Rata-rata proposal yang dibuat untuk mengajukan pembiayaan sebesar 1
buah proposal untuk setiap kelompok tani. Dalam hal ini kelompok tani hampir semuanya
mengajukan ke Bank Rakyat Indonesia sebagai sumber pembiayaan untuk usahatani
bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Rata-rata jumlah kredit yang diajukan Rp20 juta, dan
setelah program klaster meningkat rata-rata sebesar 4%. Pembiayaan tersebut digunakan
oleh sebagian besar responden (60%) untuk pembelian benih, pupuk, obat-obatan, dan
membayar tenaga kerja. Sumber pembiayaan dan jumlah proposal yang diajukan untuk
pembiayaan sebelum dan sesudah adanya klaster disajikan pada Tabel 5.25.
Tabel 5. 26. Sumber Informasi Utama dalam Aspek Budidaya dan Harga
83
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Beberapa petani telah menjalin kerja sama kemitraan dalam rangka pemasaran produk,
antara lain:
1. Kerja sama dengan PT. Indofood dan PT. Wing’s Food, dalam penyediaan bahan baku
bawang goreng, namun baru pada skala kecil.
2. Kemitraan dengan penangkar benih (dalam rangka menjamin ketersediaan benih).
3. Kerja sama penyediaan calon benih dengan petani/penyedia benih dari luar daerah.
4. Kerja sama pelaksanaan penelitian (perbanyakan, pemurnian dan atau pengembangan
benih varietas baru) dengan Balitsa, BPTP, Perguruan Tinggi, Perusahaan Benih Swasta
(Eastwest, dll).
84
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Pada survei ini dilakukan analisis mengenai persepsi petani terhadap program klaster (Tabel
5.28). Aspek-aspek yang dilihat adalah kegiatan usahatani, akses terhadap pasar input, akses
terhadap pasar output, pembiayaan, informasi budidaya, informasi harga, kelembagaan, dukungan
transportasi, dan logistik. Dari kesembilan aspek yang dilihat, seluruh aspek menunjukkan terdapat
perbedaan antara sebelum dan sesudah adanya kegiatan klaster pada tingkat kepercayaan 5%.
Namun demikian, dibandingkan dengan klaster beras dan klaster cabai, dampak positif yang
ditimbulkan oleh klaster BI terhadap klaster bawang merah belum terlalu besar. Hal ini terlihat dari
nilai z-hitung pada semua aspek yang yang masih di bawah lima. Kondisi ini diperkirakan akibat
perbedaan periode waktu antara klaster bawang merah dengan klaster cabai dan beras. Klaster cabai
dan bawang merah telah memasuki masa phasing out sehingga dampak positif dari dampak klaster
BI lebih besar dibandingkan dengan klaster bawang merah yang belum memasuki masa phasing out.
Jika diamati lebih lanjut, dampak klaster BI lebih dirasakan oleh petani pada aspek usahatani
dengan nilai z-hitung sebesar 4,36. Kondisi ini sama dengan yang terjadi pada klaster beras dan
cabai, di mana dampak positif terbesar dari klaster dirasakan petani pada aspek usahatani. Fasilitasi
demplot, magang, dan pelatihan yang dilakukan oleh klaster dirasakan manfaatnya oleh petani
terutama dalam aspek usahatani yang berdampak terhadap peningkatan produksi bawang merah.
Adapun aspek-aspek lainnya masih memiliki nilai z-hitung dibawah 4. Hal ini menunjukkan bahwa
dampak positif yang ditimbulkan oleh klaster BI terhadap 8 aspek lainnya masih belum terlalu dirasakan
oleh petani. Dengan demikian, pengembangan klaster bawang merah selanjutnya diharapkan tidak
hanya fokus pada aspek usahatani saja, tetapi juga pada aspek-aspek lainnya, terutama pasar (input
maupun output), informasi harga dan kelembagaan.
No Dampak Z P-value
1 Usahatani 4.36 0.00
2 Akses terhadap Pasar Input 3.54 0.00
3 Akses terhadap Pasar Output 3.75 0.00
4 Finansial 2.07 0.02
5 Informasi Budidaya 3.88 0.00
6 Informasi Harga 3.47 0.00
7 Kelembagaan 3.25 0.00
8 Transportasi 2.84 0.00
9 Logistik 1.77 0.04
Menurut persepsi responden, program klaster dapat meningkatkan produksi bawang merah
dalam wilayah cakupan desa 85%, sedangkan untuk cakupan kecamatan dan kabupaten masih relatif
rendah yaitu sekitar 25%.
85
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Gambar 5.13. Persepsi Responden terkait Peran Klaster terhadap Produksi Bawang Merah
di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten
Selain itu program klaster BI berpengaruh terhadap kestabilan harga bawang merah terutama di
desa lokasi klaster (60%). Gambar 5.14 menggambarkan persepsi responden tentang peran klaster
BI terhadap kestabilan harga di wilayah desa, kecamatan, dan kabupaten.
Gambar 5. 14. Persepsi responden tentang Peran Klaster terhadap Kestabilan Harga di
Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten
86
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
87
88
Tabel 5. 29. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Infrastruktur Di Kabupaten Nganjuk Dalam Rangka Menunjang Komoditas Bawang Merah
Responden
Responden yang me-
No Variabel Responden
yang me- nyatakan
yang me-
nyatakan kondisi
t-test
t-test
nyatakan
penting dan fasilitas baik
fasilitas
sangat pent- atau sangat
Significance)b
Significance)b
Kepentingan)a
tersedia (%)
Kondisi Fasilitas)c
ing (%) baik (%)
1 Listrik 4.69 21.17 *** 100.00 100.00 4.14 13.69 *** 94.29
Jalan usahatani
2 4.57 11.95 *** 97.14 100.00 3.06 0.30 42.86
3 Sarana pengairan/irigasi 4.45 10.87 *** 97.14 94.29 3.37 2.50 ** 60.00
4 Jaringan telepon 4.40 10.69 *** 97.14 100.00 3.97 11.88 *** 91.43
5 Kelompok tani 4.29 14.67 *** 97.14 100.00 3.77 7.07 *** 71.43
6 Fasilitas pergudangan 4.23 13.29 *** 94.29 42.86 3.06 0.40 25.71
7 Jalan aspal 4.14 6.94 *** 88.57 100.00 3.60 6.42 *** 62.86
8 Pasar kecamatan 4.06 9.79 *** 97.14 88.57 3.71 7.38 *** 77.14
9 Koperasi 4.06 18.50 *** 97.14 82.86 3.74 7.19 *** 71.43
10 Pasar desa 3.97 9.30 *** 94.29 51.43 2.74 -1.78 ** 20.00
11 Terminal agribisnis 3.71 4.73 *** 71.43 22.86 2.66 -1.97 ** 34.29
Fasilitas pendingin (cold 3.03 0.14 *** 40.00 14.29 2.68 -2.45 ** 17.14
12 chain)
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Sebagian besar gabah yang dibeli selanjutnya dijual ke penggilingan yang berlokasi
di Kabupatan Soppeng atau kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Sidrap (berbatasan
langsung dengan Kecamatan Marioriawa) atau Kabupatan Pinrang. Hal ini disebabkan
terbatasnya kapasitas mesin penggilingan di Kabupaten Soppeng, terutama pada masa
panen raya.
Penggilingan padi yang menjadi responden adalah anggota klaster. Bahkan, salah
satunya adalah penggilingan padi yang merupakan bantuan dari BI. Menurut mereka,
program klaster mampu meningkatkan produksi petani. Namun di sisi lain, meningkatnya
jumlah penggilingan padi menyebabkan semakin ketatnya persaingan untuk membeli
gabah langsung ke petani, termasuk persaingan dengan pembeli yang berasal dari luar
kabupaten.
Bantuan fasilitas lantai jemur dan penggilingan padi yang diberikan BI menyebabkan
petani dapat menjual gabah dengan harga yang lebih baik. Namun, keterbatasan lantai
jemur membuat kapasitas penggilingan padi tersebut masih terbatas, terutama pada
musim panen raya.
1. Kebutuhan cabai di Provinsi DIY lebih kecil dibandingkan dengan jumlah cabai
yang diproduksi di wilayah DIY. Bahkan, produksi cabai klaster masih lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan cabai di DIY. Sebagai contoh, stok cabai dari
Aspartan pada musim panen raya sekitar 70 - 80 ton per hari, sedangkan pasar di
Provinsi DIY hanya membutuhkan cabai sekitar 1,5 ton per hari. Akibatnya penjualan
cabai keluar Provinsi DIY tetap menjadi pilihan utama.
2. Harga cabai pasar DIY tidak begitu menarik karena lebih rendah dibandingkan
dengan harga cabai di pasar Jakarta dan Sumatera. Bahkan, setelah dipotong
dengan biaya transportasi dan lain-lain, harga di kedua pasar tersebut tetap lebih
tinggi. Dari sisi konsumen, jika harga naik, konsumen di DIY cenderung mengurangi
89
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
pembelian cabai. Berbeda dengan pasar di Sumatera dan Jakarta, kenaikan harga cabai tidak
mengurangi jumlah pembelian oleh konsumen.
Pasar acuan utama bagi para pedagang adalah di Sumatera. Jika petani di Sumatera
belum panen, harga cabai di Sumatera dipastikan meningkat. Sebaliknya pada saat panen,
maka harga cabai akan turun. Hal ini disebabkan banyak cabai cabai dari Kulon Progo yang
dijual ke Sumatera, terutama pada saat harga di Sumatera lebih tinggi dibandingkan harga di
Pasar Kamat Jati.
Klaster Bank Indonesia dinilai masih fokus ke petani. Berdasarkan hasil Focus Group
Discussion (FGD) dengan pedagang, mereka juga membutuhkan pembinaan sehingga
diharapkan dapat dilibatkan dalam kegiatan klaster di masa mendatang. Beberapa saran
pedagang terkait pemasaran klaster cabai di Kulon Progo adalah:
1. Mempercepat pembukaan pasar lelang sehingga pengiriman ke Jakarta atau kota lainnya
tidak dilakukan terlalu malam.
Pedagang umumnya memperoleh bawang merah dari berbagai kelompok tani, baik yang
berasal dari desa yang sama maupun desa lainnya hingga luar kecamatan. Jumlah pemasok
rata-rata 3 kelompok tani, umumnya merupakan anggota klaster. Pedagang menentukan
volume pembelian bawang merah dengan harga sesuai hasil tawar menawar dengan petani.
Umumnya pedagang membeli bawang merah dengan mendatangi dan membayar langsung
kepada petani, atau maksimum 3 (tiga) hari setelah bawang merah diterima. Transportasi yang
digunakan adalah mobil pick up dengan biaya rata-rata Rp50.000,00 setiap pembelian ke
petani. Biaya tersebut ditanggung oleh pedagang. Umumnya, pedagang memiliki gudang
sendiri yang berdekatan dengan rumahnya.
Rata-rata volume, harga jual, dan margin komoditas bawang merah yang dijual pedagang
setiap musim (musim kering, hujan, puasa/lebaran, dan natal/tahun baru) umumnya berbeda-
beda (lihat Tabel 5.30). Hal ini dipengaruhi keterbatasan pasokan, terutama pada musim-
musim tertentu yang dapat berpengaruh terhadap harga jual bawang merah.
90
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Tabel 5. 30. Rata-rata Volume, Harga, dan Margin Penjualan Bawang Merah
Pedagang menjual bawang merah ke pedagang yang lebih besar di pasar Kabupaten
maupun pasar induk Jakarta dan pasar ekspor. Saat ini, pedagang yang menjual ke pengolah
persentasenya masih sangat sedikit. Harga jual bawang merah ditentukan berdasarkan harga
yang berlaku di pasar. Selama ini, penjualan dilakukan berdasarkan sistem kontrak (sudah ada
perjanjian sebelumnya). Pembayaran umumnya dilakukan 1 - 7 hari setelah barang dikirim.
Pedagang mengirimkan bawang merah secara langsung dengan menggunakan pihak ketiga.
Biaya transportasi baik mobil pick up atau truk ditanggung oleh pedagang sendiri.
Untuk membeli bawang merah dari petani, umumnya pedagang menyiapkan modal
rata-rata sebesar Rp100 juta. Modal tersebut selama ini berasal dari perbankan. Pedagang
umumnya tidak mengalami kesulitan mengajukan kredit kepada perbankan. Namun demikian,
selama ini bentuk pelatihan yang diberikan terkait pengelolaan keuangan dan kemampuan
manajerial pada pedagang masih belum dilakukan.
Bahan baku bawang merah diperoleh dari 3 (tiga) orang petani lokal yang berbeda-beda.
Pengolah tidak membedakan membeli dari petani anggota klaster atau bukan, karena lebih
mementingkan ketersediaan bahan baku bawang merah. Jumlah bawang merah yang diolah
sekitar 5 kg per bulan dengan harga pembelian sebesar Rp20.000,00 per kg. Harga biasanya
91
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
ditentukan oleh petani. Pengolah membeli bawang merah dengan langsung mendatangi petani
dengan menggunakan sepeda motor dan membayar setelah barang diterima. Rata-rata biaya
transportasi setiap kali ke petani sebesar Rp3.000,00 dan ditanggung oleh pengolah. Rata-rata
volume, harga jual, dan margin bawang goreng umumnya bervariasi sesuai musim kering, hujan,
lebaran, dan natal/tahun baru sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.31.
Tabel 5. 31. Rata-rata Volume, Harga Jual, dan Margin Penjualan Bawang Goreng
Harga jual bawang merah olahan ditentukan sendiri oleh pengolah. Umumnya konsumen
mengambil dan membayar langsung ke pengolah dengan menggunakan sepeda motor. Biaya
transportasi rata-rata sebesar Rp10.000,00 dan ditanggung oleh konsumen.
Menurut persepsi responden pengolah yang menjadi anggota klaster, program klaster
memberikan dampak positif terutama terhadap kontinuitas pasokan dan kualitas bawang merah,
akses pembiayaan terhadap lembaga keuangan formal, dan penyerapan tenaga kerja lokal. Selain
itu, terdapat tiga hal yang dirasakan manfaatnya, yaitu: peningkatan pengetahuan dan keterampilan
dalam mengolah bawang merah, kemampuan manajerial, dan penyerapan tenaga kerja perempuan
sehingga dapat menambah penghasilan keluarga. Tenaga kerja perempuan umumnya mendominasi
dalam pengolahan bawang merah menjadi kerupuk maupun bawang goreng.
Selain itu, komunikasi antar anggota klaster dapat terjalin cukup intensif melalui forum-forum
pertemuan yang diselenggarakan BI. Dengan demikian, antar anggota klaster dapat saling mengenal
dan bertukar informasi mengenai bawang merah, misalnya harga. Selain itu, dalam pertemuan juga
disampaikan cara membuat produk yang higienis dan sehat sehingga bahan-bahan yang digunakan
relatif aman dan tidak menggunakan bahan pengawet.
Permasalahan yang sering dihadapi pedagang bawang olahan adalah masih terbatasnya
akses pasar dan fluktuasi harga bawang merah. Saat ini, jangkauan pemasaran masih terbatas pada
konsumen di kabupaten Nganjuk. Harapan ke depan, pengolah mampu meningkatkan kapasitas
pengolahan dan melakukan diversifikasi produk olahan bawang merah (misalnya tepung bawang
merah), serta memperluas jangkauan pasar.
92
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
BAB VI
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER
KOMODITAS VOLATILE FOODS DALAM RANGKA
PENGENDALIAN INFLASI
1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan dianggap mampu mempengaruhi pengembangan klaster
komoditas beras di Kabupaten Soppeng, dan harus dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk mencapai tujuan pengembangan klaster, yang terdiri dari:
1. Kemampuan petani melakukan proses budidaya;
2. Ketersediaan input;
3. Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku;
4. Ketersediaan pedagang lokal;
5. Keterbukaan manajemen terhadap informasi baru.
2. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan dianggap sebagai kelemahan yang akan menjadi kendala dalam
upaya pengembangan klaster, antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan manajerial masih rendah;
2. Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas;
3. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
4. Jiwa kewirausahaan masih rendah;
5. Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu;
6. Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas;
7. Rantai distribusi sangat panjang;
8. Adopsi teknologi baru masih rendah.
93
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
94
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
1. Faktor Peluang
Faktor peluang dianggap sebagai suatu potensi yang dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan klaster untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yang terdiri dari:
1. Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat mendukung;
2. Lahan tersedia cukup banyak;
3. Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi;
4. Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai;
5. Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster;
6. Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun informal.
2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster.
Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan diusahakan upaya penanggulangannya secara
baik agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor-faktor ini terdiri dari:
1. Keterbatasan akses pasar;
2. Gangguan hama/organisme pengganggu tanaman;
3. Persaingan dengan importir lain;
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Irigasi belum memadai.
95
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
1. Peningkatan value-added
Peningkatan value-added dilakukan untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki
oleh petani. Value added yang dimaksud adalah upaya meningkatkan nilai tambah pada
setiap aspek budidaya maupun proses pascapanen beras. Kemampuan petani melakukan
proses budidaya dengan lebih efisien dapat diperoleh dengan cara menerapkan teknologi
budidaya maupun pascapanen secara tepat. Dengan demikian, petani tidak lagi menjual
hasil panen dalam bentuk gabah tetapi sudah dalam bentuk beras.
96
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Berikut ini dijabarkan Matriks SWOT Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng.
97
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan dianggap sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi
pengembangan klaster. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan harus dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan pengembangan klaster, terdiri dari:
1. Kualitas cabai sudah baik;
2. Kemampuan petani melakukan proses budidaya;
3. Akses pasar input mudah;
4. Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku;
5. Ketersediaan pedagang lokal;
6. Peran kelompok tani membantu petani.
2. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan dianggap sebagai kelemahan yang akan menghambat
pengembangan klaster. Faktor-Faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Informasi budidaya masih rendah;
2. Kemampuan manajerial masih rendah;
3. Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas;
4. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
5. Jiwa kewirausahaan masih rendah;
6. Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu;
7. Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas;
8. Rantai distribusi sangat panjang;
9. Ketersediaan dan kualitas bibit masih rendah.
98
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Tabel 6. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah di
Kabupaten Kulon Progo
99
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster.
Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan diusahakan penanggulangannya secara baik agar
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor ini terdiri dari:
1. Keterbatasan akses pasar;
2. Gangguan hama dan penyakit/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT);
3. Persaingan dengan pedagang lain secara global (misal: pemasok dari Tiongkok);
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Cuaca ekstrem.
Tabel 6. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah di
Kabupaten Kulon Progo
100
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
101
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Tabel 6. 6. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo
Kekuatan Kelemahan
Internal 1. Kualitas cabai sudah 1. Informasi budidaya masih
baik rendah
2. Kemampuan petani 2. Kemampuan manajerial
melakukan proses masih rendah
budidaya 3. Akses permodalan
3. Akses pasar input terhadap lembaga
mudah keuangan terbatas
4. Adanya industri yang 4. Belum memiliki visi yang
mampu mengolah sama tentang klaster
bahan baku 5. Jiwa kewirausahaan masih
5. Ketersediaan rendah
pedagang lokal 6. Sosialisasi program klaster
6. Peran kelompok tani terbatas dan tidak kontinu
membantu petani 7. Belum tersedianya gudang
penyimpanan komoditas
8. Rantai distribusi sangat
panjang
Eksternal 9. Ketersediaan dan kualitas
bibit masih rendah
Peluang Strategi SO Strategi WO
1. Klaster berada di wilayah Peningkatan kualitas bibit Peningkatan Capacity
dengan kondisi geografis lokal cabai merah building petani, khususnya
sangat mendukung dalam budidaya dan
2. Lahan tersedia cukup banyak manajerial
3. Permintaan domestik terhadap
komoditas tinggi
4. Tersedia tenaga kerja lokal
yang memadai
5. Kebijakan pemerintah
mendukung pengembangan
klaster
6. Ketersediaan dana dari
lembaga keuangan formal
maupun informal
Ancaman Strategi ST Strategi WT
1. Keterbatasan akses pasar Penerapan sistem lelang Peningkatan sistem informasi
2. Gangguan hama dan penyakit/ dalam pemasaran cabai cabai
OPT merah
3. Persaingan dengan pedagang
lain secara global (misal:
pemasok dari Tiongkok)
4. Fluktuasi kurs mata uang
5. Cuaca ekstrem
102
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
2. Faktor Kelemahan
Faktor- faktor yang dianggap sebagai kelemahan akan menjadi kendala dalam
upaya pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Faktor-faktor
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan petani dalam menciptakan modal usaha masih rendah;
2. Bibit mahal;
3. Kemampuan manajerial masih rendah;
4. Akses permodalan khususnya untuk petani terhadap lembaga keuangan
terbatas
5. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
6. Jiwa kewirausahaan relatif rendah;
7. Daya tanggap anggota klaster khususnya petani terhadap informasi dan
sosialisasi program klaster masih kurang;
8. Belum optimalnya penggunaan gudang penyimpanan;
9. Rantai distribusi sangat panjang;
10. Sistem informasi klaster belum optimum;
11. Sebagian besar petani masih tergantung pada zat kimia;
12. Kurang terbukanya terhadap informasi baru.
103
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
yang berpengaruh terhadap keberhasilan strategi yang akan dilaksanakan dalam pengembangan
klaster. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor-faktor internal maupun eksternal melalui
wawancara tahap pertama, dilakukan analisis matriks IFE. Untuk elemen kekuatan diperoleh nilai
indeks akumulatif skor sebesar 3,73, sedangkan nilai akhir bobot skor untuk elemen kelemahan
sebesar 1,63, dengan total nilai bobot skor untuk faktor strategis internal sebesar 5,36. Hal ini
menunjukkan bahwa responden memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor kekuatan
dan respon yang kecil terhadap faktor kelemahan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk di atas rata-rata dalam kekuatan
internal secara keseluruhan. Dengan nilai bobot skor elemen kekuatan lebih besar dari elemen
kelemahan, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten
Nganjuk memiliki kekuatan yang mampu mengatasi kelemahan yang ada. Hasil akhir dari analisis IFE
dapat dilihat pada Tabel 6.7.
Tabel 6. 7. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Bawang Merah
di Kabupaten Nganjuk
104
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster
bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan
diusahakan penanggulangannya secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Faktor ini terdiri dari:
1. Gangguan hama dan OPT;
2. Keterbatasan informasi harga, produksi (waktu tanam dan luas tanam), waktu panen
dan persediaan;
3. Persaingan dengan pedagang lainnya secara global misal pemasok dari Tiongkok;
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Ketidakpastian lama distribusi produk;
6. Belum terbentuknya pasar lelang komoditas bawang merah;
7. Keterbatasan lahan.
105
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
106
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Tabel 6.9 menjabarkan matriks SWOT Pengembangan Klaster komoditas Bawang Merah di
Kabupaten Nganjuk.
107
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Kekuatan Kelemahan
Internal 1. Memiliki modal 1. Kemampuan petani dalam
sosial klaster menciptakan modal usaha masih
2. Kemampuan rendah
petani melakukan 2. Bibit mahal
proses budidaya 3. Kemampuan manajerial masih
3. Ketersediaan rendah
input 4. Akses permodalan khususnya untuk
4. Adanya industri petani terhadap lembaga keuangan
yang mampu terbatas
mengolah bahan 5. Belum memiliki visi yang sama
Eksternal baku tentang klaster
5. Ketersediaan 6. Jiwa kewirausahaan relatif rendah
pedagang 7. Daya tanggap anggota klaster
khususnya petani terhadap informasi
dan sosialisasi program klaster
masih kurang
8. Belum optimalnya penggunaan
gudang penyimpanan
9. Rantai distribusi sangat panjang
10. Sistem informasi klaster belum
optimum
11. Sebagian besar petani masih
tergantung pada zat kimia
12. Kurang terbukanya terhadap
informasi baru
108
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI
Lanjutan Tabel 6. 9.
109
110
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
BAB VII
ROADMAP PENGEMBANGAN
KLASTER VOLATILE FOODS
Roadmap merupakan perencanaan strategis di masa depan pada bidang tertentu yang
diperoleh dari pengetahuan bersama (collective knowledge). Elemen yang paling penting
dalam membuat roadmap adalah visi, misi, dan tujuan. Roadmap dibuat dengan harapan akan
terjadi perubahan yang ingin dicapai pada bidang tersebut. Roadmap sebaiknya merefleksikan
visi dari sekelompok ahli yang visioner sehingga dapat meraih konsensus dan pemahaman
bersama.
Tujuan jangka panjang dari roadmap adalah meningkatkan peran klaster yang memiliki
jaringan usaha yang kuat (terhubung dalam rantai nilai) sehingga tercapai stabilitas harga dan
keamanan pangan dengan iklim usaha yang kondusif dan terintegrasi melalui sistem informasi
yang robust dan kolaborasi yang saling menguntungkan. Adapun tujuan pembuatan roadmap
klaster untuk jangka waktu tertentu (3 - 5 tahun) adalah untuk membentuk klaster volatile foods
yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, kualitas, dan nilai tambah. Ruang lingkup
roadmap mencakup tahapan perencanaan strategis dan program kerja setiap tahunnya
dalam jangka waktu maksimum 5 (lima) tahun per siklus, serta identifikasi pihak-pihak yang
terkait. Program kerja yang disusun bertujuan membangun jaringan bisnis, kerja sama antara
pemerintah dan swasta, dan dialog antar para pelaku usaha dan pembuat kebijakan.
Berbagai studi menunjukkan bahwa secara umum klaster memiliki kesamaan siklus
hidup yang terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), kedewasaan
(maturity), dan penurunan atau reinvention (Menzel & Fornahl, 2010; Van Klink & De Langen,
2001). Dalam hal ini, fokus siklus hidup klaster tidak hanya menekankan sifat dinamis dari
klaster, tetapi menekankan pada path dependency yang mendasari pengembangan klaster.
111
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Pada awalnya, klaster seringkali lahir melalui pembentukan beberapa perusahaan di suatu lokasi,
dan kemudian tumbuh melalui spin-offs dan replikasi dari beberapa perusahaan dengan menarik
perusahaan lain, lembaga terkait lainnya, dan lembaga pembiayaan. Pada tahap pertumbuhan, faktor
infrastruktur, pengetahuan, jaringan, modal sosial, undang-undang, dan permintaan mengalami
peningkatan sehingga klaster memiliki keterkaitan dengan pihak lainnya. Selanjutnya adalah tahap
matang, di mana klaster merupakan bagian dari lingkungan lokal (local milieu) yang didukung
oleh institusi, infrastruktur, dan budaya setempat. Selain itu, pada tahap matang biasanya terjadi
konsolidasi, fokus pada efisiensi dan skala ekonomi yang menggerakkan klaster. Tahap penurunan
terjadi apabila lingkungan eksternal mengalami perubahan yang memaksa klaster berinovasi,
melakukan pembaruan, atau bahkan ditutup. Pada tahap ini terjadi pergeseran pasar dan teknologi.
Klaster dapat menjadi lingkungan yang dapat mendukung petani dan pelaku UMKM untuk
mengembangkan usahanya. Para pelaku usaha berskala kecil dapat membangun kekuatan untuk
mencapai daya saing melalui klaster. Selain pelaku bisnis, klaster sebaiknya memiliki asosiasi bisnis,
layanan pengembangan usaha, lembaga keuangan (termasuk perbankan), pemerintah (pembuat
kebijakan publik baik di tingkat lokal, regional, dan nasional), serta lembaga pendidikan (sekolah
vokasi, universitas), dan business development service (BDS) providers.
UNIDO (2013) telah membuat pendekatan dalam mengembangkan klaster berdasarkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1) Fokus pada klaster yang sudah ada
Prinsip pertama adalah bekerja dengan klaster yang sudah terbentuk, daripada membentuk
klaster baru. Potensi dari klaster yang sudah ada perlu digali lebih mendalam. Berdasarkan hasil
penelitian, klaster bentukan baru cenderung bersifat top-down dan insentif terhadap pihak
swasta relatif terbatas.
Brenner & Schlump (2011) menyusun strategi yang diperlukan pada setiap tahap siklus klaster.
Strategi pada setiap tahapan dapat dilihat pada Tabel 7.1.
112
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Tabel 7. 1. Strategi yang Diperlukan pada setiap Tahapan Siklus Hidup Klaster
Tahapan Penting
pada Siklus Hidup Strategi yang Diperlukan
Klaster
Memulai promosi (science park, inkubasi)
Dukungan kerja sama (rapat dan sebagainya)
Awal (initial) Pengembangan budaya inovatif
Pembangunan laboratorium
Dukungan penelitian dan pengembangan
Pendidikan dan pelatihan, konferensi, proses pembelajaran
Ekspansi Awal (initial Membangun jaringan (informal, institusional) dan aktivitas bersama
expantion) Dana awal, akses permodalan lebih baik, modal usaha
Pemasaran dan pelayanan
Aktivitas penyaringan, akses terhadap teknologi baru
Ekspansi
Koordinasi dan kerja sama industri
Ekpansi menuju
Spin-off support dalam keuangan, kolaborasi, dan pelayanan
tahap matang
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), tenaga kerja spesialisasi
Pelayanan
Matang (maturity) Pembaharuan jaringan dan kerja sama
Pembangunan proyek yang lebih besar
Pengembangan lembaga penelitian
Berdasarkan studi literatur serta hasil pengamatan terhadap klaster Bank Indonesia yang
menjadi objek kajian, disusunlah roadmap pengembangan klaster volatile foods dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun per siklus. Setiap siklus memiliki 6 (enam) tahapan yaitu: 1) seleksi/pemilihan
Klaster, 2) pengenalan, 3) pertumbuhan dan ekspansi, 4) matang/bertahan, 5) replikasi, dan
6) phasing out. Setelah kelima tahapan selesai dilaksanakan, klaster akan bersiap-siap untuk
phasing out. Setelah phasing out, klaster diharapkan dapat tumbuh dan berkembang tanpa
didampingi oleh pihak lain (Bank Indonesia). Tahapan tersebut bersifat umum dan dapat
113
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Hal terpenting dalam penyusunan roadmap adalah penyamaan persepsi di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, perlu didorong kerja sama yang lebih kuat di antara
anggota utama klaster dan institusi pendukungnya yang berasal dari pemerintah, universitas
dan lembaga penelitian, lembaga keuangan, perusahaan swasta, dan asosiasi. Pemerintah
pusat dan daerah perlu melakukan promosi untuk mendukung klaster berbasis pertanian
di wilayah tertentu secara efisien dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, klaster tersebut
dapat membentuk identitas wilayah tertentu. Misalnya Kabupaten Nganjuk dikenal sebagai
wilayah penghasil bawang merah serta bibit unggul bawang merah. Atau saat ini, Kota Malang
dikenal sebagai daerah penghasil apel yang didukung oleh UMKM pengolah apel serta
ekowisata berbasis komoditas apel. Roadmap pengembangan klaster volatile foods disajikan
pada Gambar 7.1.
6.
1.
Phasing Out
Seleksi/
Pemilihan
Klaster
5. 2.
Replikasi Pengenalan
4. 3.
Mature/ Pertumbuhan
Bertahan dan Ekspansi
114
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
7.2.2. Pengenalan
Tahap kedua bertujuan untuk memperkenalkan klaster yang terpilih dan menjalin
kolaborasi dengan pihak-pihak yang terkait. Tahap ini juga sudah mulai mencakup fasilitasi
teknis berupa pelatihan budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), fasilitasi demplot,
dan penyediaan alat atau mesin yang diperlukan. Strategi kolaborasi dibagi menjadi 3 (tiga)
jenis yaitu kolaborasi yang bersifat strategis, taktis dan operasional (Handayani et al., 2012).
Kolaborasi strategis dilakukan di level nasional, sedangkan kolaborasi yang bersifat taktis
dilakukan pada level regional, di antara anggota rantai pasok utama dan institusi daerah.
Kolaborasi operasional dilakukan pada level kelompok tani, pedagang, dan pengolah serta
penyuluh yang bertanggung jawab secara langsung dalam operasionalisasi klaster. Tahap ini
membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun atau empat kuartal.
115
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Output dari fase ini adalah adanya Memorandum of Understanding (MoU) di antara pelaku
anggota rantai pasok dan dinas-dinas atau lembaga yang terkait pada klaster tertentu. MoU
tersebut merupakan panduan untuk mengembangkan klaster oleh beberapa institusi yang
terkait. Selain itu merupakan kerangka kerja klaster.
5. Fasilitasi demplot
Fasilitasi demonstration plot (demplot) dilakukan bekerja sama dengan Dinas Pertanian terkait.
Tujuannya memberikan percontohan untuk mengintroduksikan teknik budidaya maupun inovasi-
inovasi lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Pengembangan klaster pada tahap ini merupakan langkah awal untuk menyusun rencana
strategis terkait program dan kelembagaan klaster. Selain itu, tidak kalah penting adalah upaya
membangun kepercayaan antar anggota klaster dan meyakinkan anggota klaster agar berkolaborasi
secara terus menerus.
116
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
3. Pembangunan infrastruktur
Pada tahap ini juga mulai dibangun infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan klaster
tersebut, misalnya perbaikan jalan khususnya ke lahan pertanian (farmer roads) dan
irigasi yang memadai.
117
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
7.2.4. Matang/Bertahan
Pada tahap ini, kondisi klaster diharapkan telah mapan dan mandiri yang berlangsung
selama lima kuartal atau 15 bulan.
1. Memperkuat aliansi/kerja sama dengan stakeholders
Untuk mempertahankan kinerja klaster, diperlukan aliansi/kerja sama dengan
stakeholders terkait. Misalnya, klaster membangun kerja sama dengan perusahaan
pengolahan maupun dengan pasar modern. Dengan terjaminnya pasar, maka klaster
akan mampu bertahan dan mandiri secara berkelanjutan.
Melalui tata kelola klaster (cluster governance), kelembagaan dikelola secara efektif
dan efisien. Bell et al. (2009) membagi tata kelola menjadi dua kelompok, yaitu tata
kelola relasional (relational governance) dan hierarki (hierarchical governance). Tata
kelola relasional dibangun berdasarkan norma-norma relasional yang implisit seperti
pemahaman bersama, kepercayaan, pengetahuan yang sama untuk mengikat aktor-
aktor dalam klaster. Sedangkan tata kelola hierarkis berdasarkan pada kewenangan
dan kebijakan untuk menggerakkan klaster. Umumnya tata kelola hierarkis berbasis
pada top-down policies. Hal penting dalam tata kelola klaster adalah koordinasi dan
regulasi karena berperan sebagai pengendali dan pengatur, koordinasi, dan sumber
pengetahuan untuk mengembangkan klaster.
7.2.5. Replikasi
Apabila dilihat dari sisi produksi, total produksi klaster Bank Indonesia belum signifikan
apabila dibandingkan dengan total produksi nasional. Namun, mengingat berbagai dampak
positif yang dirasakan pelaku usaha tani melalui klaster, diharapkan klaster Bank Indonesia
dapat menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, sehingga
dapat memberikan snowing ball effect yang berdampak luas bagi peningkatan kegiatan
perekonomian di suatu wilayah. Di samping itu, beberapa praktik terbaik dari program
klaster Bank Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan komoditas tersebut
oleh Pemda atau kelompok petani.
118
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Pada tahap replikasi, aspek penting yang perlu dikembangkan adalah meningkatkan
nilai tambah dari komoditas sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Upaya
replikasi mulai dilakukan dengan melibatkan kelompok tani/gapoktan lain. Tahapan ini
dilakukan dalam jangka waktu tiga kuartal atau 9 bulan.
2. Replikasi klaster
Replikasi klaster mulai dapat dilakukan pada fase ini, misalnya melalui knowledge
sharing dengan kelompok tani atau gabungan kelompok tani (gapoktan) lain. Replikasi
dapat diinisiasi oleh kelompok tani/gapoktan atau melalui dorongan dari pihak Pemda.
Klaster yang berhasil menunjukkan kemampuan mengombinasikan kapabilitas, insentif,
dan peluang. Pada tahap ini, dampak yang dirasakan oleh klaster yang berhasil bisa
ditularkan lebih cepat seperti bola salju (snowing ball effect). Interaksi antar klaster yang
berhasil di satu provinsi dapat memberikan dampak ke klaster lainnya di luar provinsi.
Selanjutnya apabila klaster di luar provinsi tersebut berhasil, maka akan menjadi role
model untuk pengembangan klaster di wilayah lainnya. Hal tersebut akan memberikan
dampak yang sangat besar dan usaha pengembangan klaster lebih efisien dan efektif.
Saat ini, role model dan strategi pengembangan klaster melalui word of mouth dianggap
lebih efektif dan efisien.
Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster.
Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik komoditas klaster, lokasi/
daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.
119
120
Tabel 7. 2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods di Indonesia
Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Pemetaan potensi BI, Dinas Pertanian
komoditas dan
kawasan klaster
Pemahaman BI, Dinas Pertanian
proses bisnis
klaster
Diagnosis klaster, BI, Dinas Pertanian,
I. Seleksi antara lain analisis perguruan tinggi, lembaga
Klaster rantai nilai penelitian
Proses BI, Dinas Pertanian
pembentukan
klaster,
diutamakan yang
sudah ada
Penentuan target BI, Dinas Perdagangan
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
pasar
Penandatanganan BI, Bulog, Bappeda,
MoU klaster baik Dinas Pertanian, Dinas
di tingkat pusat Perindustrian, Dinas
maupun wilayah Perdagangan, Dinas
klaster Pekerjaan Umum, perguruan
tinggi lokal, lembaga
penelitian, perbankan,
Asosiasi, pelaku usaha
II. Pengenalan
Sosialisasi klaster: BI, Pemda, lembaga
seminar dan penelitian (perguruan tinggi
workshop dan non perguruan tinggi),
perbankan dan asosiasi
Pelatihan teknis Dinas Pertanian, Asosiasi
budidaya: Good
Agricultural
Practices
Lanjutan Tabel 7. 2
Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Sosialisasi dan BI, Dinas Pertanian,
implementasi perguruan tinggi, lembaga
peralatan/mesin penelitian, asosiasi
II. Pengenalan baru
Fasilitasi demplot Dinas Pertanian, Asosiasi
Pemilihan target BI, Dinas Pertanian, Asosiasi
pasar
Pelatihan Perguruan tinggi, lembaga
manajerial dan penelitian, Pemda, BI, Dinas
kewirausahaan Koperasi dan UKM
Subsidi peralatan/ BI, Dinas Pertanian, Dinas
mesin baru Koperasi dan UKM
Pembangunan Bappeda dan Dinas
III. infrastruktur Pekerjaan Umum
Pertumbuhan Penanganan hama Dinas Pertanian, Asosiasi,
dan Ekspansi dan penyakit serta Universitas,Lembaga
perbaikan mutu penelitian
bibit
Peningkatan akses Bi, Dinas Perdagangan
pasar
Peningkatan akses BI dan lembaga keuangan:
pembiayaan bank dan non bank
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
121
122
Lanjutan Tabel 7. 2
Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Memperkuat BI, Bappeda, DInas Pertanian,
aliansi kerja sama Dinas Perindustrian, Dinas
stakeholders Perdagangan, Bulog, Dinas
Koperasi dan UKM, Lembaga
keuangan
Optimalisasi Dinas Perdagangan,
IV. Matang/
manajemen Bappebti
Bertahan
logistik: gudang
komoditas
Memperkuat Dinas Pertanian, Dinas
kelembagaan Koperasi dan UKM
gapoktan dan tata
kelola klaster
Peningkatan BI, Dinas Perindustrian, Dinas
nilai tambah pertanian, perguruan tinggi,
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS
Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster. Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik
komoditas klaster, lokasi/daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
BAB VIII
STRATEGI PENGEMBANGAN
DAN INTEGRASI KLASTER
Program klaster komoditas pangan atau komoditas bergejolak (volatile foods) yang merupakan
bagian dari program pengendalian inflasi Bank Indonesia terbukti memiliki dampak positif bagi
peningkatan kinerja usahatani dan pendapatan petani. Berdasarkan hasil pengamatan dan survei
terhadap 3 klaster di lokasi kajian, beberapa dampak positif klaster adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kinerja usaha tani yang tergambar dari peningkatan produktivitas, akses terhadap
pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan inovasi budidaya yang
lebih baik (organik).
2. Meningkatkan pendapatan rata-rata pelaku usaha tani yang disebabkan meningkatnya jumlah
dan kualitas produksi.
3. Berkembangnya aspek kelembagaan pelaku usaha tani (bertambahnya jumlah anggota koperasi/
kelompok tani dan meningkatnya peran dan kontribusi koperasi/kelompok tani).
4. Meningkatkan akses terhadap informasi dan pasar output serta peningkatan daya tawar petani
dengan bertambahnya pilihan pasar output bagi petani.
5. Meningkatkan akses pembiayaan bagi pelaku usaha tani.
Meskipun berdampak positif terhadap petani dan anggota klaster lainnya, untuk memberikan
dampak lebih luas khususnya terhadap upaya stabilisasi harga, pengembangan klaster memerlukan
strategi lebih komprehensif dan terintegrasi. Umumnya, pengembangan klaster yang dilakukan di
masing-masing wilayah Kantor Perwakilan Bank Indonesia masih terfokus pada upaya penguatan
kelompok/kelembagaan dan peningkatan produksi. Namun demikian, beberapa klaster dengan
keunggulan produksi dan lahan yang luas mulai meningkatkan fasilitasi terhadap akses pasar dan
pembiayaan. Dengan memfasilitasi akses pasar, produksi klaster diharapkan akan mampu memenuhi
kebutuhan (supply side) dan berkontribusi terhadap pembentukan harga, sejalan dengan upaya
pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia, khususnya komoditas volatile food.
Selain produksi (supply side), klaster juga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
(demand side), khususnya pada waktu-waktu tertentu. Untuk itu, integrasi mutlak diperlukan.
Pertama, dengan memetakan klaster komoditas volatile foods yang dikembangkan baik oleh Bank
Indonesia maupun pemerintah daerah di seluruh Indonesia, sehingga dapat diketahui jadwal dan
produksi yang dihasilkan. Selain sisi supply, pemetaan juga dilakukan dari sisi demand yang meliputi
konsumen lokal dan konsumen di luar wilayah.
Selain sisi demand dan supply, pengembangan klaster juga memerlukan dukungan dan komitmen
dari pemerintah daerah dan institusi pendukung lainnya, antara lain dalam bentuk dukungan
infrastruktur, teknis budidaya, berbagai inovasi teknologi dan sebagainya yang mampu mendorong
pengembangan klaster. Penguatan koordinasi dapat dilakukan melalui integrasi dan sinergi antara
program klaster yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan program-program pemerintah daerah/
instansi terkait lainnya. Dengan demikian, program klaster dapat memberikan dampak positif yang
lebih signifikan terhadap peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.
123
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Selain TPID, komponen yang terdapat dalam usulan integrasi klaster adalah para pelaku
usaha atau aktor-aktor utama yang terlibat dalam sisi supply klaster komoditas yang akan
dikembangkan dan pasar input. Aktor-aktor utama yang terlibat dalam klaster meliputi petani,
kelompok tani/gapoktan, pengumpul/pedagang dan pengolah. Sementara pasar input juga
merupakan bagian penting dalam peningkatan produksi pertanian sehingga dipandang perlu
untuk diintegrasikan ke dalam klaster.
Usulan integrasi klaster sebagai bagian dari program TPID akan berada pada level kota/
kabupaten dan provinsi. Gambar 8.1 menyajikan konsep integrasi klaster dalam kaitannya
dengan pengendalian inflasi di tingkat regional (kota/kabupaten), sedangkan Gambar
8.2 menyajikan konsep integrasi klaster di level provinsi. TPID provinsi akan memetakan
kabupaten/kota mana yang terjadi surplus atau defisit produksi suatu komoditas sehingga
dapat diantisipasi dengan memindahkan komoditas yang dibutuhkan dari daerah surplus ke
daerah defisit. Perpindahan komoditas antar daerah ini perlu didukung oleh sistem distribusi
yang baik antar daerah di dalam provinsi tersebut.
124
KOORDINATOR
TPID: Perwakilan BI dan Pemda(Sekda, Bappeda, SKPD Pertanian, Perhubungan, Perdagangan, dan Perindustrian)
Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster. Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik
komoditas klaster, lokasi/daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.
125
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Gambar 8. 2. Integrasi Klaster dalam Kaitannya Dengan Pengendalian Inflasi di Tingkat Provinsi
126
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
I. Optimalisasi peran TPID
a. Melakukan analisis prakiraan tingkat konsumsi dan
produksi komoditas tertentu dalam periode satu tahun.
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi waktu-waktu
ketika terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang
berdampak pada kenaikan harga, misalnya pada saat √
hari raya. Biasanya, pola ini akan berulang-ulang setiap
tahunnya.
b. Setelah mengidentifikasi pola produksi dan konsumsi
dalam periode satu tahun, dilakukan identifikasi rantai
pasok komoditas untuk mengetahui pelaku usaha, pola √
aliran produk, aliran informasi dan lembaga pemasaran
yang terlibat dalam rantai pasok.
127
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Lanjutan Tabel 8. 1.
Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
c. Melakukan perencanaan produksi dan konsumsi selama
satu tahun ke depan sehingga dapat diperkirakan waktu-
√
waktu terjadinya lonjakan permintaan (hari raya) atau
penurunan produksi (belum panen)
d. Sesuai perencanaan/jadwal produksi yang telah disusun,
disusun jadwal penanaman komoditas melalui integrasi
klaster. Dengan demikian, dapat diketahui berapa klaster √
yang dapat dilibatkan dan apabila kurang dapat dipasok
dari pihak lain.
e. Pemilihan ‘kendaraan yang tepat’. Pendekatan dalam
pembentukan bisa dilakukan melalui kelompok tani,
√
gapoktan atau koperasi yang telah berdiri di wilayah
tersebut.
II. Penguatan aspek pasar
a. Melakukan audiensi dan memfasilitasi pedagang untuk
√ √
terlibat dan menjadi anggota klaster
b.
Meningkatkan akses pedagang terhadap kredit/
pembiayaan untuk pembelian produk dari petani. Sebagai
√
kompensasi, pedagang diminta untuk menjual sebagian
produknya di pasar lokal
c. Meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan melalui
pengolahan atau menjalin kemitraan dengan perusahaan √
pengolah.
d. Meningkatkan akses petani terhadap pasar input dengan
membangun kerja sama dengan perusahaan-perusahaan √ √
input (pupuk, pestisida dll).
e. Meningkatkan kerja sama antara petani (melalui kelompok
tani/gapoktan) dengan pemulia (breeder) dan perusahaan √ √
benih untuk mendapatkan benih berkualitas.
f. Memotong jalur distribusi untuk meningkatkan pendapatan
petani, misalnya dengan memanfaatkan pasar lelang atau √
menerapkan penjualan secara online (e-commerce).
128
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Lanjutan Tabel 8. 1.
Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
IV. Pengadaan fasilitas penyimpanan/pergudangan
a. Pada saat panen, klaster akan menjual produknya kepada
pedagang yang telah terlibat dalam klaster. Untuk produk
yang relatif tahan lama (misalnya beras), TPID dapat
memfasilitasi petani atau pedagang untuk menyimpan √
produknya pada saat panen raya dan menjualnya pada saat
terjadi lonjakan permintaan. Pengelolaan gudang dapat
dilakukan oleh klaster atau lembaga lain (BULOG).
b. Pada saat panen petani dapat diuntungkan karena harga
pembelian akan lebih tinggi dibandingkan harga pasar.
Sebaliknya pada musim paceklik, produk/hasil panen yang
disimpan dapat dijual ke pasar untuk meredam lonjakan
√
harga. Pola ini mirip seperti fungsi BULOG di masa lalu yang
dilengkapi dengan perencanaan produksi dan konsumsi
terlebih dahulu sehingga pada saat kenaikan harga sudah
dapat diantisipasi terlebih dahulu
Model hierarki strategi integrasi klaster komoditas volatile food nasional terbagi menjadi
tiga level. Level pertama merupakan tujuan (goal) atau fokus dari hierarki yaitu strategi integrasi
klaster komoditas volatile food secara nasional dan berkelanjutan yang mendukung upaya
129
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Gambar 8. 3. Hierarki Strategi Integrasi Klaster Nasional dalam Mendukung Pengendalian Inflasi.
Tingkat 1 :
Strategi Integrasi National Volatile Foods Cluster
Tujuan
untuk mencapai keberlanjutan di Indonesia
Tingkat 2 :
Alternatif Optimalisasi Capacity building Peningkatan Peningkatan dukungan
Peningkatan
Strategi database anggota utama dukungan infrastruktur dan
akses pasar
klaster klaster logistik
Penyusunan Peningkatan
keterlibatan Pelatihan Fasilitas Fasilitas
database
pedagang aspek kredit mikro penyimpanan/
Tingkat 3 : produksi dan
dalam klaster manajerial dan kecil pergudangan
Alternatif konsumsi
Sub Strategi
Peningkatan jumlah Pengembangan
Optimalisasi
lembaga sistem
anggota nilai tambah peran local
keuangan informasi
klaster produk champion klaster
Peningkatan Penguatan
promosi dan kerjasama
branding dengan
komoditas institusi lain
130
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Analisis yang digunakan untuk mengolah kriteria alternatif strategi bertujuan untuk mengetahui
prioritas relatif setiap elemen terhadap level di atasnya. Berdasarkan hierarki, level pertama
merupakan tujuan utama dari kajian ini yaitu strategi arah pengembangan klaster komoditas volatile
food dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Tujuan ini dapat tercapai apabila didukung
oleh implementasi dari berbagai alternatif strategi.
Level dua dari model hirarki strategi integrasi klaster menunjukkan adanya lima alternatif strategi
pendukung. Hasil pengolahan kriteria alternatif strategi dalam menetapkan strategi integrasi national
volatile foods cluster untuk mencapai keberlanjutan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8.2.
Berdasarkan Tabel 8.2, peningkatan akses pasar merupakan alternatif strategi yang menjadi
prioritas utama dengan bobot sebesar 0.397. Hal ini menunjukkan bahwa strategi peningkatan
akses pasar adalah strategi utama yang harus dilaksanakan dalam integrasi klaster komoditas volatile
foods secara nasional yang berkelanjutan dalam rangka mendukung upaya pengendalian inflasi.
Prioritas berikutnya adalah peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik dengan bobot 0,257 dan
dukungan finansial dengan bobot 0,130.
Selanjutnya, pada level ketiga (sub strategi dari alternatif strategi level kedua untuk menentukan
strategi pengembangan klaster secara nasional) dilakukan pengolahan terhadap alternatif-alternatif
strategi yang disusun berdasarkan kelima alternatif strategi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
pada Gambar 8.3.
Untuk strategi optimalisasi database klaster, sub strategi penyusunan jadwal produksi komoditas
menjadi prioritas utama dengan bobot 0,494. Prioritas selanjutnya adalah penyusunan database
produksi dan konsumsi dengan bobot 0,359, sebagaimana tercantum pada Tabel 8.3.
131
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Untuk strategi peningkatan akses pasar, substrategi peningkatan keterlibatan pedagang dalam
klaster menjadi prioritas utama dengan bobot 0,303. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, di
mana para peran pedagang dalam klaster sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan usaha
petani klaster. Hasil pengolahan substrategi peningkatan akses pasar dapat dilihat pada Tabel 8.4.
Untuk strategi capacity building anggota klaster, substrategi optimalisasi peran local champion
merupakan prioritas utama dengan bobot 0,384. Pengembangan klaster sangat membutuhkan suatu
organisasi atau asosiasi yang berperan sebagai kendaraan utama bagi petani dalam meningkatkan
usahanya. Local champion berperan untuk menularkan dan menyebarkan pengetahuan yang dimiliki
kepada petani lainnya. Hasil pengolahan kriteria substrategi capacity building anggota klaster dapat
dilihat pada Tabel 8.5.
Pada strategi peningkatan dukungan finansial, sub strategi fasilitas kredit mikro dan kecil
merupakan prioritas utama dengan bobot 0.694. Mengingat modal merupakan salah satu kendala
bagi petani dalam mengembangkan usahanya, upaya meningkatkan akses petani terhadap
pembiayaan menjadi penting, khususnya fasilitas kredit mikro dan kecil. Hasil pengolahan kriteria
substrategi peningkatan dukungan finansial dapat dilihat pada Tabel 8.6.
132
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER
Untuk strategi peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik, substrategi fasilitas penyimpanan/
pergudangan menjadi prioritas utama. Gudang memegang peranan penting, tidak hanya untuk
menampung hasil panen/menyimpan komoditas, tetapi juga sebagai pusat distribusi bagi klaster di
wilayah tertentu. Dalam upaya pengendalian inflasi, keberadaan gudang menjadi penting. Fluktuasi
permintaan pada musim-musim tertentu, seperti lebaran, natal, dan tahun baru dapat diatasi dengan
memiliki persediaan yang memadai di gudang. Hal ini diharapkan dapat meredam lonjakan harga
sehingga mendukung upaya pengendalian inflasi. Hasil pengolahan substrategi peningkatan
dukungan infrastruktur dan logistik dapat dilihat pada Tabel 8.7.
Berdasarkan analisis AHP, dapat disimpulkan beberapa rekomendasi strategi utama untuk integrasi
klaster nasional dalam mendukung pengendalian inflasi, yaitu: peningkatan akses pasar (0,397), peningkatan
dukungan infrastruktur dan logistik (0,257), peningkatan dukungan finansial (0,130), capacity building
anggota utama klaster (0,128), dan optimalisasi database klaster (0,088). Hal tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Bank Indonesia (2014) yang menyebutkan bahwa salah satu indikator penting yang
menunjang keberhasilan klaster adalah adanya akses pasar.
133
134
Bab IX - KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
BAB IX
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1. Kesimpulan
1. Program klaster yang dilaksanakan Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah dan Dinas terkait memiliki dampak yang positif bagi peserta klaster terutama
petani. Dampak yang paling signifikan adalah meningkatnya rata-rata pendapatan petani
yang disebabkan oleh peningkatan produksi dan penetapan harga yang lebih baik
pada tiga klaster komoditas yang diteliti. Selain aspek pendapatan, program klaster juga
meningkatkan peran kelembagaan terutama kelompok tani.
2. Secara umum, alternatif strategi pengembangan klaster Bank Indonesia untuk komoditas
beras, cabai merah dan bawang merah meliputi peningkatan nilai tambah (value-added),
peningkatan capacity building petani khususnya aspek manajerial, dan integrasi sistem
informasi rantai pasok. Pemanfaatan resi gudang dan optimalisasi peran Bulog juga
diperlukan dalam pengembangan klaster beras di Kabupaten Soppeng. Sementara itu,
peningkatan kualitas bibit lokal dan penerapan sistem lelang dalam pemasaran penting
untuk mengembangkan komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo dan bawang
merah di Kabupaten Nganjuk.
3. Roadmap klaster disusun dalam jangka waktu 3 – 5 tahun disesuaikan dengan situasi dan
kondisi klaster yang dikembangkan melalui pendekatan siklus pengembangan klaster.
Terdapat enam tahapan pada siklus pengembangan klaster yaitu seleksi/pemilihan
klaster, pengenalan, pertumbuhan dan ekspansi, matang/bertahan, replikasi dan phasing
out. Roadmap tersebut menggambarkan program kerja yang dilakukan pada setiap
tahap, lembaga/institusi yang terkait dalam setiap tahapan, serta perkiraan waktu yang
diperlukan untuk melaksanakan program tersebut.
4. Agar dapat berperan dalam mendukung pengendalian inflasi, program klaster memerlukan
integrasi secara nasional dan bersinergi dengan program pemerintah/pemerintah daerah.
Integrasi klaster dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada, yaitu Tim Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang akan dilakukan di level provinsi dan kabupaten/
kota. Melalui TPID, diharapkan akan terjalin koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) baik di level provinsi atau kabupaten/kota untuk bersama-sama mengendalikan
inflasi daerah.
135
Bab IX - KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
2. Jangka waktu pada roadmap klaster sebaiknya dilakukan selama tiga sampai lima tahun
karena klaster diharapkan sudah berkembang dan siap menghadapi masa phasing out.
Selain itu, aspek pasar juga perlu dipertimbangkan. Ini berarti pada saat memutuskan
mengembangkan klaster, pelaku atau stakeholders yang terlibat dalam klaster tersebut
sudah mengetahui tujuan pasar dari komoditas yang dikembangkan oleh klaster.
Agar dapat berdampak terhadap pengendalian inflasi, kerja sama dan komitmen yang
kuat antar stakeholder yang terlibat dalam pengembangan klaster menjadi poin yang
sangat penting dalam integrasi klaster. Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah serta
stakeholders terkait lainnya, bersama dengan TPID diharapkan dapat mengintegrasikan
klaster sebagai salah satu upaya untuk memelihara kestabilan harga di masing-masing
wilayah. Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai institusi, antara lain sistem
logistik (pergudangan dan distribusi) serta infrastruktur penunjang. Selain itu, peran
lembaga penelitian maupun perguruan tinggi juga sangat penting untuk mendorong
introduksi teknologi dan inovasi baru dalam teknik budidaya yang mampu meningkatkan
efisiensi produksi.
136
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Pertanian Tanaman Pangan 2014. BPS Sulawesi Selatan.
Bank Indonesia. 2014. Kajian Identifikasi Indikator Sukses Klaster. Departemen Pengembangan UMKM
Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian/Documents/
Buku Kajian Identifikasi Indikator Sukses Klaster.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016.
2015. Kajian Strategi Penguatan Klaster Untuk Mendukung Pasokan Komoditas Volatile Foods: Draft
Final. Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/
publikasi/wp/Documents/WP BI No.8-2015 Kajian Strategi Penguatan Klaster untuk Mendukung
Pasokan Komoditas Volatile Foods.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016
2015. Pola Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Klaster Cabai Merah Organik. Departemen
Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-
pembiayaan/holtikultura/Documents/Pola Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Klaster Cabai
Merah Organik.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016
Barney, JB. 1997. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. Addison-Wesley Publishing
Company Inc., USA.
Bell, S. J. P. Tracey and J. B. Heide. 2009. The Organization of Regional Clusters Academy of
Management Review, 34: 4, 623-642.
Bergman and E,J, Feser. 2000, Industrial and Regional Clusters. The Web Book of Regional Science.
Regional Research Institute, West Virginia University. http://www,rri,wvu,edu,
Bergman, E. 2008. Cluster Life-cycles: An Emerging Synthesis. In C, Karlsson, Handbook of Research
on Cluster Theory (pp, 114-132), Northampton, MA: Edward Elgar.
Brenner, T. dan Schlump, C. 2011. Policy Measures and Their Effects in the Different Phases of the
Cluster Life Cycle. Regional Studies, 45(10), 1363-1386.
Burger, K, Kameo, D dan Sandee, H, 2001. Clustering of Small Agro-Processing Firms in Indonesia.
International Food and Agribusiness Management Review Vol 2(3/4), 289-299.
David, F. 2011. Strategic Management: Concepts and Cases (13th ed). New Jersey: Prentice Hall.
Feser, E .J. 2000. Introduction to Regional Industry Cluster Analysis, http://www, crp.unc.
Galvez-Nogales. 2010. Agro-based Clusters in Developing Countries: Staying Competitve in A
Globalized Economy. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Harrison, B. 1992. Industrial Districts: Old Wine in New Bottles? Regional Studies, Vol 26(5), 469-483.
Handayani, N.U., Cakravastia, A., Diawati, L., Bahagia, S.N. 2012. A Conceptual Assessment Model to
Identify Phase of Industrial Cluster Life Cycle in Indonesia. Journal of Industrial Engineering and
Management, 5(1), pp 198-228. http://dx.doi.org/10.3926/jiem.447.
Ingstrup, M, & Damgaard, T. 2011. Cluster facilitation in a cluster life cycle perspective, The IMP
Conference (pp, 1-20). Strathclyde: University of Strathclyde, UK.
Kazmier, L J dan Pohl, NF. 1984. Basic Statistics for Business and Economics, Mc Graw Hill International.
Ketels, C. Lindqvist, G. dan Sölvell O. 2012. Strengthening Clusters and Competitiveness in Europe:
The Role of Cluster Organisations. Germany: European Cluster Observatory and Center for
Strategy and Competitiveness, Stockholm School of Economics.
137
DAFTAR PUSTAKA
Kinnear T.C dan Taylor. JC, 1997. Riset Pemasaran. Terjemahan. Penerbit Erlangga.
Krugman, P. 1991. Geography and Trade. Gaston Eyskens Lecture Series. Leuven University Press.
Leuven.
Leigh, D. 2010. SWOT Analysis. In R, a. Watkins, Handbook of Improving Performance in the Workplace:
Selecting and Implementing Performance Interventions (Vol, 2, pp, 115-140), San Fransisco:
International Society for Performance Improvement.
Menzel, M. dan Fornahl, D. 2010. Cluster Life Cycles – Dimensions and Rationales of Cluster Evolution.
Industrial and Corporate Vol 19, 205 – 238.
Mintzberg, H. Ahlstrand, dan Lampel, J. 1998. Strategy Safary: A Guide Tour through The Wilds of
Strategic Management. The Free Press, New York,
Meijboom, B,R, and Rongen J,M,J, 1995,Clustering, Logistic and Spatial Economics,
Natawidjaja, R,. Reardon, T. Shetty, S. Noor, T,I. Perdana, T. Rasmikayati, E. Bachri, S. and Hernández, R.
2007. Horticultural producer and supermarket development in Indonesia. World Bank. Jakarta.
Porter, M E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York.
Rauch, J.E. 1993. Does History Matter Only When It Matters Little? The Case of City Industry Location.
Quarterly Journal of Economics. Vol. 108, 843- 867.
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Saaty, T. 1994. How to Make A Decision: The Analytic Hierarchy Process. Interfaces. Vol 24(6), 19–43.
Scott, A.J. 1986. Industrial Organization and Location: Division of Labor. The Firm and Spatial Process,
Economic Geography. Vol 62(3), 215-231.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. 4th edition, John Willey
and Sons. Inc, USA.
Shin, D, dan Hassink, R, 2011, Cluster Life Cycles: The Case of the Shipbuilding Industry in The South
Korea, Regional Studies, 45(10), 1387-1402.
Sharma, S. dan Anupam. 2014. Agro-based Clusters: A Tool for Competitiveness of Indian Agriculture
in the Era of Globalisation. Global Journal of Finance and Management. Vol. 6, No. 8, pp 713-718.
Simbolon, M. 2000, Kebijakan Baru Industri Nasional dan Strategi Peningkatan Daya Saing. Prosiding
Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis, Bidang Khusus Tekno Ekonomi, program
Studi Teknik dan Manajemen Industri Program Pasca Sarjana. ITB.
Storper, M. 1992. The Limits to Globalization: Technology Districts and International Trade, Economic
Geography Vol 68(1), pp 60-91.
Stringer, R. 2009. A Field Guide to Value Chain Studies for BPTP and BBP2TP Staff: How to develop
and use value chain studies for market focused research.
Sunaryanto, L.T, Sasongko, G dan Yumastuti, S. 2014. Pengembangan Klaster Industri Makanan-
Minumam Berbasis Rantai Nilai. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 15(1), pp 84-99.
Tambunan, T. 2005. Promoting Small and Medium Enterprises with a Clustering Approach. Journal of
Small Business Management Vol 43(2), pp 138-154.
Taufik, T A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. BPPT Press. Jakarta.
Umar, H. 2002. Strategic Management in Action: Konsep. Teori dan Teknik Menganalisis Manajemen
Strategis berdasarkan Konsep M,E,Porter. F,R, David, dan Wheelen Hunger, PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
UNIDO. 2013. The UNIDO Approach to Cluster Development: Key Principles and Project Experiences
for Inclusive Growth. Vienna: UNIDO.
Van Klink, A. dan De Langen, P. 2001. Cycles in industrial clusters: the case of the shipbuilding industry
138
DAFTAR PUSTAKA
139
DAFTAR PUSTAKA
140
Departemen Pengembangan UMKM
Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta Pusat 10350
Telp. (021) 500 131