Anda di halaman 1dari 158

LAPORAN KAJIAN

ARAH PENGEMBANGAN
KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI
laporan kajian
ARAH PENGEMBANGAN
KLASTER NASIONAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG PENGENDALIAN INFLASI
iv
TIM PENELITI

Bank Indonesia
1. Yunita Resmi Sari
2. Ika Tejaningrum
3. Mira Rahmawaty
4. Dara Ayu Lestari

Institut Pertanian Bogor


1. Dr. Amzul Rifin, SP, MA
2. Dr. Sahara, SP, MSi
3. Dr. rer.pol. Heti Mulyati, S.TP, MT
4. Hastuti, SP, MP, MSi

v
kata pengantar

kATA pENGANTAR

P
uji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-
Nya sehingga penyusunan laporan akhir kajian “Arah Pengembangan Klaster dalam rangka
Mendukung Pengendalian Inflasi” yang merupakan salah satu amanah yang diberikan kepada
kami dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam rangka pengembangan UMKM, sejak 2006 Bank Indonesia mulai mengembangkan
klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor. Program ini
bertujuan meningkatkan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster, sehingga pada waktunya
dapat berdampak pada peningkatan perekonomian daerah. Sejalan dengan perkembangan arah
kebijakan Bank Indonesia, pengembangan klaster kini lebih diarahkan pada upaya meningkatkan
supply komoditas penunjang ketahanan pangan, khususnya komoditas volatile food. Hal ini tak lain
sebagai salah satu upaya Bank Indonesia dalam mendukung pengendalian inflasi.

Kajian ini disusun untuk memberikan arah pengembangan klaster ke depan sebagai Program
Pengendalian Inflasi Bank Indonesia. Klaster terbukti berdampak positif terhadap peningkatan
pendapatan petani dengan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi berkat pendampingan
serta introduksi teknik dan inovasi budidaya yang lebih baik. Klaster juga mampu mengembangkan
kelembagaan petani, meningkatkan akses pasar serta pembiayaan. Selanjutnya, untuk mendukung
pengendalian inflasi, peran klaster perlu diperkuat melalui sinergi positif dengan berbagai program
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Model bisnis klaster yang dikembangkan Bank
Indonesia dapat menjadi role model yang implementatif dan dapat direplikasi di berbagai wilayah
sehingga dapat mendorong peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Arah klaster pengendalian
inflasi ini selanjutnya adalah terintegrasi dan menjadi instrumen Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID).

Terima kasih dan apresiasi yang setinggi - tingginya kami sampaikan kepada berbagai pihak
terutama Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DI Yogyakarta dan Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kediri, serta pihak — pihak lain yang telah memberikan partisipasi dan
kontribusi dalam penyusunan kajian ini.

vi
kata pengantar

Akhir kata, kami berharap kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi seluruh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia dalam mengembangkan klaster komoditas ketahanan pangan, serta
mampu menginspirasi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan Iainnya dalam
mengembangkan dan mensinergikan berbagai program strategis untuk meningkatkan roda
perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jakarta, Juli 2017

Erwin Rijanto
Deputi Gubernur Bank Indonesia

vii
rINGKASAN EKSEKUTIF

RINGKASAN EKSEKUTIF

S
esuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.
6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter melalui
pengendalian inflasi. Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile
foods, di mana tekanan harga dipicu oleh berbagai kendala, antara lain dari sisi produksi, lemahnya
kelembagaan petani, inefisiensi struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan
infrastruktur, serta kebijakan pemerintah.

Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah melaksanakan program klaster UMKM produsen
komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
maupun Dinas terkait lainnya. Program ini bertujuan mendukung pengembangan ekonomi daerah
melalui peningkatan kinerja UMKM yang tergabung dalam klaster. Berbagai intervensi dilakukan
Bank Indonesia, meliputi proses usahatani dari hulu sampai hilir antara lain dari aspek budidaya,
aspek pengolahan pascapanen, hingga pemasaran produk.

Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun 2014
pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan pangan,
komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods. Melalui program
ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap antara supply dan
demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi. Selain itu, program klaster
juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) karena melibatkan
banyak petani dan UMKM.

Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank Indonesia,
khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu: beras, cabai merah,
dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian ini, yaitu: (1) memperoleh arah
pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank Indonesia meliputi analisis
dampak dan perancangan skema arah pengembangan klaster yang dapat direplikasi secara nasional;
(2) menetapkan roadmap pengembangan klaster (3-5 tahun) serta mengidentifikasi program kerja/
intervensi yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan stakeholders terkait; dan (3) memperoleh
usulan integrasi klaster secara nasional melalui peningkatan produksi, peningkatan jalur distribusi,
dan penguatan sistem logistik dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Untuk menjawab
tujuan tersebut, dilakukan survei ke klaster tiga komoditas, yaitu padi (Kabupaten Soppeng, Sulawesi
Selatan), cabai merah (Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta) dan bawang merah (Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur).

Program klaster Bank Indonesia memiliki dampak positif bagi peserta klaster terutama petani. Dari
klaster BI di tiga lokasi tersebut, dampak paling signifikan adalah meningkatnya rata-rata pendapatan
petani yang disebabkan peningkatan jumlah dan kualitas produksi, serta penetapan harga yang lebih
baik. Klaster juga terbukti mampu meningkatkan peran kelembagaan dari sisi kelompok tani. Selain

viii
rINGKASAN EKSEKUTIF

itu, klaster juga mampu membantu petani meningkatkan akses terhadap pasar dan pembiayaan.
Dari sisi usahatani, klaster mampu mengembangkan usahatani yang tergambar dari peningkatan
produktivitas, akses terhadap pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan
inovasi budidaya yang lebih baik.

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum petani memiliki kemampuan budidaya
yang cukup baik karena pengalaman bertani cukup lama. Namun demikian, jiwa kewirausahaan
masih relatif rendah sehingga motivasi untuk berkembang masih kecil. Dari sisi peluang, permintaan
terhadap padi, cabai, dan bawang merah sangat tinggi baik lokal maupun di daerah lain. Adapun
ancaman yang dihadapi adalah rantai pemasaran masih panjang sehingga margin yang diperoleh
petani relatif rendah.

Roadmap klaster disusun dalam jangka waktu 3 – 5 tahun sesuai dengan situasi dan kondisi
klaster melalui pendekatan siklus pengembangan klaster. Terdapat 6 (enam) tahapan pada roadmap
klaster, yaitu: (1) seleksi/pemilihan klaster, (2) pengenalan, (3) pertumbuhan dan ekspansi, (4) matang/
bertahan, (5) replikasi dan (6) phasing out. Adapun strategi pengembangan klaster diarahkan pada
peningkatan produktivitas (higher productivity), peningkatan akses pasar (market oriented), serta
peningkatan kualitas dan nilai tambah (higher value added) dengan melibatkan seluruh aktor utama
yang terhubung dalam rantai nilai (perusahaan input, petani, kelompok tani, pengumpul, pengolah,
pedagang, pasar). Untuk itu, beberapa rekomendasi strategi utama berdasarkan Analitycal Hierarchy
Process  (AHP) meliputi peningkatan akses pasar, peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik,
peningkatan dukungan finansial, capacity building anggota utama klaster, dan optimalisasi database
klaster.

Agar dapat lebih berperan dalam mendukung pengendalian inflasi, program klaster memerlukan
integrasi secara nasional serta bersinergi dengan program Pemerintah/Pemerintah Daerah. Klaster
diharapkan dapat menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, sehingga dapat
memberikan snowing ball effect yang berdampak luas bagi peningkatan kegiatan perekonomian di
suatu wilayah. Integrasi klaster dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada, yaitu Tim Pemantauan
dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), baik level provinsi maupun kabupaten/kota.

ix
Daftar Isi

Daftar Isi

TIM PENELITI v

kATA pENGANTAR vi

RINGKASAN EKSEKUTIF viii

daftar isi x

Daftar gambar xii

Daftar tabel xiii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 3
1.4. Ruang Lingkup 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


2.1. Inflasi 5
2.2. Klaster 10
2.3. Lesson Learned Klaster 12
2.4. Konsep Rantai Nilai (Value Chain) 19
2.5. Manajemen Strategi 23
2.6. Rumusan Strategi dengan Analisis SWOT 25

BAB III METODE PENELITIAN 29


3.1. Jenis, Sumber Data dan Lokasi Penelitian 29
3.2. Metode Analisis 30

BAB IV GAMBARAN UMUM 41


4.1. Gambaran Umum Lokasi Pilot Project 41
4.2 Gambaran/Karakteristik Umum Responden 45

BAB V DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS,


CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH 49
5.1. Klaster Beras di Kabupatan Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan 49
5.2. Klaster Komoditas Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta 60
5.3. Klaster Bawang Merah di Kabupatan Nganjuk, Provinsi Jawa Timur 71
5.4. Dampak Klaster pada Pedagang 89

x
Daftar Isi

BAB VI ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS


VOLATILE FOODS DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI 93
6.1. Komoditas Beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan 93
6.2. Komoditas Cabai di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta 98
6.3. Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur 103

BAB VII ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS 111


7.1. Landasan Penyusunan Roadmap Klaster 111
7.2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods 113

BAB VIII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER 123


8.1. Integrasi Klaster 124
8.2. Strategi Pengembangan Klaster 126
8.3. Tahapan Pemilihan Strategi Integrasi Klaster 129

BAB IX KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 135


9.1. Kesimpulan 135
9.2. Implikasi kebijakan 135

DAFTAR PUSTAKA 137

xi
Daftar tabel

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Determinan Inflasi 8


Gambar 2. 2. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam Pengendalian Inflasi 9
Gambar 2. 3. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID 10
Gambar 2. 4. Pertumbuhan dan Karakter Hubungan pada Siklus Hidup Klaster 16
Gambar 2. 5. Interaksi antara Ukuran Perusahaan dan Heterogenitas Pengetahuan
dalam Siklus Hidup Klaster 17
Gambar 2. 6. Konsep Value Networks untuk Agro-based Cluster 18
Gambar 2. 7. Pendekatan Supply Chain 19
Gambar 2. 8. Pendekatan Value Chain 20
Gambar 2. 9. Mapping Actor pada Komoditas Tomat di Jawa Barat, Indonesia 21
Gambar 2. 10. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Volume 22
Gambar 2. 11. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Value 22
Gambar 2. 12. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Relative Cost of Processing 23
Gambar 2. 13. Output Mapping Knowledge Komoditas Kacang Kedelai 23
Gambar 2. 14. Model Manajemen Strategi 24
Gambar 4. 1. Produksi Gabah Kering Panen di Kabupaten Soppeng, 2010-2014 41
Gambar 4. 2. Produksi Bawang Merah tahun 2010-2014 di Kabupaten Nganjuk 44
Gambar 5. 1. Rantai Nilai Pilot Project Ketahanan Beras di Kabupaten Soppeng 50
Gambar 5. 2. Saluran Pemasaran Sebelum dan Sesudah Program Klaster 50
Gambar 5. 3. Bantuan Lantai Jemur dan Rice Milling Unit (RMU) dari Bank Indonesia 51
Gambar 5. 4. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Klaster BI Soppeng 52
Gambar 5. 5. Pemasaran Cabai Merah dengan Mekanisme Pasar Lelang Di Kulon Progo 61
Gambar 5. 6. Saluran Pemasaran cabai di Klaster BI Kulon Progo 62
Gambar 5. 7. Aktor yang Terlibat dalam Klaster Bawang Merah Nganjuk 75
Gambar 5. 8. Rantai Pemasaran Bawang Merah Kabupaten Nganjuk 76
Gambar 5. 9. Komponen Biaya Variabel Terbesar Usahatani Bawang Merah
di Kabupaten Nganjuk 78
Gambar 5. 10. Waktu Penjualan Bawang Merah 80
Gambar 5. 11. Tujuan Penjualan Bawang Merah dari Petani Kabupaten Nganjuk 81
Gambar 5. 12. Proses Penentuan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani 82
Gambar 5.13. Persepsi Responden terkait Peran Klaster terhadap Produksi
Bawang Merah di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten 86
Gambar 5. 14. Persepsi responden tentang Peran Klaster terhadap
Kestabilan Harga di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten 87
Gambar 7. 1. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods 114

xii
Daftar tabel

Gambar 8.1. Integrasi Klaster Bank Indonesia 125


Gambar 8.2 Integrasi Klaster dalam Kaitannya dengan Pengendalian Inflasi
di Tingkat Provinsi 126
Gambar 8.3 Hierarki Strategi Integrasi Klaster Nasional dalam Mendukung
Pengendalian Inflasi 130

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi 1


Tabel 2. 1. Penyebab dan Lokasi Pembentukan Klaster Terbentuk 11
Tabel 2. 2. Ruang Lingkup Fasilitator pada Berbagai Kondisi Klaster 15
Tabel 2. 3. Siklus Hidup Klaster 16
Tabel 2. 4. Matriks SWOT 27
Tabel 3. 1. Hubungan antara Tujuan Penelitian dan Data 30
Tabel 3. 2. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal 33
Tabel 3. 3. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal 34
Tabel 3. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) 35
Tabel 3. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) 36
Tabel 3. 6. Matriks SWOT 37
Tabel 3. 7. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan 38
Tabel 4. 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Cabai di Provinsi DIY 42
Tabel 4. 2. Potensi Areal dan Produktivitas Bawang Merah di Sentra Produksi Nganjuk 44
Tabel 4. 3. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Petani 45
Tabel 4. 4. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 46
Tabel 4. 5. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama 47
Tabel 4. 6. Rata-Rata Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Responden 47
Tabel 4. 7. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Keterlibatan Petani dalam Klaster BI 48
Tabel 5. 1. Kegiatan Klaster BI di Soppeng 51
Tabel 5. 2. Dampak Klaster terhadap Usahatani 53
Tabel 5. 3. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input Produksi 54
Tabel 5. 4. Dampak Klaster terhadap Pasar Output dan Input 55
Tabel 5. 5. Dampak Klaster terhadap Sumber Pembiayaan dan Sumber Informasi 56
Tabel 5. 6. Dampak Klaster terhadap Pendapatan 56
Tabel 5. 7. Dampak Klaster terhadap Kelembagaan 57
Tabel 5. 8. Hasil Uji Beda Persepsi Petani terhadap Program Klaster 57
Tabel 5. 9. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kabupaten Soppeng 59

xiii
Daftar tabel

Tabel 5. 10. Intervensi Bank Indonesia Dalam Pengembangan Klaster


Cabai Merah di Kulon Progo 60
Tabel 5. 11. Dampak Klaster terhadap Usahatani Cabai 63
Tabel 5. 12. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input dan Aspek Usahatani Lainnya 64
Tabel 5. 13. Dampak Klaster terhadap Pasar Output 65
Tabel 5. 14. Dampak Program Klaster terhadap Pasar Input 66
Tabel 5. 15. Dampak Program Klaster terhadap Aspek Pembiayaan 66
Tabel 5. 16. Dampak Klaster BI terhadap Sumber Informasi 67
Tabel 5. 17. Dampak Klaster terhadap Pendapatan 67
Tabel 5. 18. Dampak Klaster BI Terhadap Kelembagaan 68
Tabel 5. 19. Persepsi Petani Cabai di Kulon Progo Terhadap Program Klaster 69
Tabel 5. 20. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kulon Progo dalam rangka
Menunjang Komoditas Cabai 70
Tabel 5. 21. Program Kerja dan Kegiatan Pendampingan Klaster Bawang Merah
Kabupaten Nganjuk Tahun 2014-2016 72
Tabel 5. 22. Harga, Produksi dan Margin yang Diterima Petani di Berbagai Musim 75
Tabel 5. 23. Dampak Program Klaster terhadap Usahatani Bawang Merah
di Kabupaten Nganjuk 78
Tabel 5. 24. Perubahan Pada Input Produksi Sebelum dan Sesudah
Mengikuti Program Klaster 79
Tabel 5. 25. Sumber Pembiayaan dan Jumlah Proposal untuk Pembiayaan 83
Tabel 5. 26. Sumber Informasi Utama dalam Aspek Budidaya dan Harga 83
Tabel 5. 27. Gambaran Kelembagaan di Klaster Bawang Merah Nganjuk 84
Tabel 5. 28. Dampak Klaster BI terhadap Petani Bawang Merah 85
Tabel 5. 29. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Infrastruktur Di Kabupaten Nganjuk
dalam Rangka Menunjang Komoditas Bawang Merah 88
Tabel 5. 30. Rata-rata Volume, Harga, dan Margin Penjualan Bawang Merah 91
Tabel 5. 31. Rata-rata Volume, Harga Jual, dan Margin Penjualan Bawang Goreng 92
Tabel 6. 1. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Beras
di Kabupaten Soppeng 94
Tabel 6. 2. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Beras
di Kabupaten Soppeng 96
Tabel 6. 3. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng 97
Tabel 6. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah
di Kabupaten Kulon Progo 99
Tabel 6. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah
di Kabupaten Kulon Progo 100
Tabel 6. 6. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten
Kulon Progo 102
Tabel 6. 7. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster
Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 104
Tabel 6. 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan
Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 106

xiv
Daftar gambar

Tabel 6. 9. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk 108
Tabel 7. 1. Strategi yang Diperlukan pada setiap Tahapan Siklus Hidup Klaster 113
Tabel 7. 2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods di Indonesia 120
Tabel 8. 1. Strategi Integrasi Klaster 127
Tabel 8. 2. Hasil Pengolahan Alternatif Strategi Arah Pengembangan Klaster Nasional 131
Tabel 8. 3. Hasil Pengolahan Substrategi Optimalisasi Database Klaster 131
Tabel 8. 4. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Akses Pasar 132
Tabel 8. 5. Hasil Pengolahan Substrategi Capacity Building Anggota Klaster 132
Tabel 8. 6. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Finansial 133
Tabel 8. 7. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Infrastruktur dan Logistik 133

xv
xvi
Bab I - Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terjaganya kestabilan inflasi merupakan salah satu faktor pendukung bagi pertumbuhan
ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang tercermin dari daya beli masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan
tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Data BPS menunjukkan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2015 mencapai 3.35%
(yoy), berada dalam kisaran sasaran inflasi Bank Indonesia sebesar 4±1% (yoy). Bila ditelaah lebih
lanjut, inflasi volatile food mencapai 4.84% (yoy), sedangkan inflasi inti dan inflasi administered
price masing-masing sebesar 3.95% (yoy) dan 0.39% (yoy). Data tersebut menunjukkan bahwa
inflasi di Indonesia juga dipengaruhi oleh sisi penawaran, antara lain bersumber dari fluktuasi
harga volatile food, yang terutama berasal dari komoditas pangan.

Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 6 tahun 2009, salah satu tugas utama Bank Indonesia sebagai bank sentral
adalah menjaga stabilitas moneter melalui pengendalian inflasi. Untuk itu, Bank Indonesia
melakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui faktor utama penyumbang inflasi di daerah.
Salah satu faktor penyebab inflasi bersumber dari fluktuasi harga volatile foods, di mana tekanan
harga terutama dipicu oleh kendala produksi, lemahnya kelembagaan petani, inefisiensi
struktur pasar, ketidaklancaran distribusi, kurangnya dukungan infrastruktur, maupun kebijakan
pemerintah. Selain meningkatkan ketidakpastian baik bagi produsen maupun konsumen,
fluktuasi harga volatile foods menjadi salah satu penyebab rendahnya minat untuk berinvestasi
di sektor pertanian. Fluktuasi harga juga dapat menurunkan minat petani untuk berproduksi
sehingga dapat berdampak pada meningkatnya impor bahan pangan. Semakin tinggi impor,
maka peluang terjadinya defisit neraca pembayaran juga meningkat, yang pada akhirnya akan
berdampak pada inflasi yang disebabkan oleh nilai tukar.

Berdasarkan data bobot dan frekuensi per komoditas dalam perhitungan inflasi nasional
dan regional terdapat 5 (lima) komoditas utama penyumbang inflasi sebagaimana Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi

Sulampua, Bali,
Komoditas Sumatera Jawa Kalimantan Nasional
Nusra
Beras √ √ √ √ 4.02
Cabai Merah √ √ √ √ 0.35
Bawang Merah √ √ √ √ 0.48
Daging Sapi - - √ - 0.65
Daging
√ √ √ √ 1.11
Ayam Ras

Sumber: Bank Indonesia (Juni 2015)


1
Bab I - Pendahuluan

Tabel 1 menunjukkan pemetaan daerah regional mejadi 4 (empat) zona yaitu: 1) Sumatera,
2) Jawa, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara dan komoditas
volatile foods yang memiliki pengaruh terbesar terhadap inflasi di masing-masing regional
yang beririsan dengan nasional. Berdasarkan pemetaan dimaksud, prioritas pengembangan
program Klaster Bank Indonesia diarahkan pada komoditas beras, cabai merah, bawang
merah, daging sapi, dan daging ayam ras.

Sejak tahun 2006, Bank Indonesia telah melaksanakan program pengembangan


klaster UMKM produsen komoditas unggulan daerah maupun komoditas ekspor. Program ini
bertujuan mendukung pengembangan ekonomi daerah melalui peningkatan kinerja UMKM
yang tergabung dalam klaster. Berbagai intervensi dilakukan Bank Indonesia, meliputi proses
usahatani dari hulu sampai hilir antara lain dari aspek budidaya, aspek pengolahan pascapanen,
hingga pemasaran produk.

Seiring dengan perkembangan situasi dan arah kebijakan Bank Indonesia, sejak tahun
2014 pengembangan klaster lebih difokuskan pada komoditas yang mendukung ketahanan
pangan, komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods.
Melalui program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM untuk memperkecil gap
antara supply dan demand sehingga meminimalisir tekanan harga yang mendorong inflasi.
Selain itu, program klaster juga bertujuan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) karena melibatkan banyak petani dan UMKM.

Hingga triwulan II 2016, Bank Indonesia memiliki 158 klaster binaan komoditas pertanian
di berbagai daerah di Indonesia. Program klaster mampu menyerap 25.392 tenaga kerja
(termasuk petani/peternak anggota) serta memanfaatkan lahan seluas 12.459 hektar. Intervensi
yang dilakukan Bank Indonesia meliputi: (1) aspek budidaya melalui introduksi teknologi
budidaya, pola tanam, maupun pengembangan demonstration plot (demplot); (2) aspek
kelembagaan dengan memperkuat manajemen kelompok, pelatihan manajemen keuangan;
dan (3) aspek pemasaran dengan mengikutsertakan klaster pada pameran produk unggulan.

1.2. Perumusan Masalah


Dalam rangka mencapai tujuan memelihara kestabilan harga barang dan jasa, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
untuk menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kebijakan moneter
Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan
agregat (aggregate demand) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak
ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan
dan sementara yang akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas apabila terdapat
kejutan (shocks) yang sangat besar, misalnya pada saat terjadi kenaikan harga BBM (administered
prices) yang bersumber dari kebijakan pemerintah maupun akibat fluktuasi harga komoditas
volatile foods. Dalam upaya pengendalian inflasi yang bersumber dari komoditas volatile
foods, Bank Indonesia mengembangkan klaster komoditas pendukung ketahanan pangan dan
klaster komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods.

Pendekatan klaster industri dalam pembangunan ekonomi daerah dapat menjadi alat
yang efektif bagi kebijakan pembangunan ekonomi daerah dan kebijakan teknologi terpadu.
Bagi pelaku ekonomi khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pendekatan
klaster industri dapat mendukung terjalinnya kemitraan yang saling menguntungkan dan

2
Bab I - Pendahuluan

pengembangan jaringan bisnis yang luas. Sementara itu, bagi pembuat kebijakan, pendekatan
ini memungkinkan skala pengaruh dari kebijakan dan program serta cakupan dampak yang
signifikan. Secara umum, klaster binaan Bank Indonesia memiliki keunggulan dan potensi,
namun juga masih terdapat beberapa kelemahan.

Terdapat berbagai macam tantangan dalam pencapaian sasaran inflasi dan sebagian besar
merupakan persoalan struktural. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian inflasi yang
intensif melalui penyelesaian permasalahan struktural yang terintegrasi secara nasional. Untuk
mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu skema pengembangan yang tidak saja fokus pada
rantai nilai dalam klaster, tetapi juga memasukkan klaster sebagai bagian dari rantai pasok
komoditas nasional.

Oleh karena itu, skema pengembangan klaster Bank Indonesia perlu diintegrasikan
dengan program pengembangan UMKM dan komoditas pangan yang dimiliki oleh instansi
lainnya, baik dari pemerintah (kementerian teknis, dinas, dan lain-lain) maupun swasta. Misalnya,
salah satu program Kementerian Perdagangan yang didukung oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) yaitu Pusat Distribusi Regional (PDR). PDR adalah jaringan
logistik penyangga dalam sistem logistik nasional, yang antara lain bertujuan untuk mengatasi
kelangkaan stok, disparitas dan fluktuasi harga komoditas bahan pokok. Selain itu, terdapat
pula sistem resi gudang yang penerapannya berada di bawah wewenang dan pengawasan
Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti), yang dapat dijadikan
solusi alternatif pengembangan aspek keuangan klaster.

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat klaster binaan Bank
Indonesia, khususnya terkait dengan tiga komoditas penyumbang inflasi di Indonesia yaitu:
beras, cabai merah, dan bawang merah. Terdapat tiga besaran tujuan penulisan kajian sebagai
sebagai berikut:
1. Memperoleh arah pengembangan dan penguatan klaster komoditas volatile food Bank
Indonesia.
a. Impact evaluation (before – and after comparisons) dan indikator kestabilan inflasi
yang dapat dikaitkan dengan klaster.
b. Perancangan skema arah pengembangan klaster (business model) yang dapat
direplikasi secara nasional dalam rangka pencapaian tujuan Bank Indonesia.

2. Menetapkan roadmap pengembangan klaster, misalnya dalam jangka waktu 3-5 tahun
(per siklus) serta mengidentifikasi program kerja/intervensi yang dapat dilakukan oleh
Bank Indonesia dan stakeholders terkait.

3. Memperoleh usulan integrasi klaster secara nasional melalui peningkatan produksi,


peningkatan jalur distribusi, dan penguatan sistem logistik dalam rangka mendukung
pengendalian inflasi.

3
Bab I - Pendahuluan

1.4. Ruang Lingkup


1. Pelaksanaan kajian, meliputi identifikasi dan analisis terhadap hasil pengembangan UMKM
pada klaster komoditas pangan dan volatile foods binaan Bank Indonesia.

2. Komoditas pangan yang diteliti meliputi: beras, cabai merah dan bawang merah dengan
lokasi yang berbeda yaitu: komoditas beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan,
komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, Jawa Tengah dan komoditas bawang
merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

3. Definisi Klaster adalah sekelompok UMKM yang beroperasi pada sektor/subsektor yang
sama atau merupakan konsentrasi perusahaan yang saling berhubungan dari hulu ke hilir.

4. Volatile foods adalah komponen inflasi IHK yang mencakup beberapa komoditas pangan
yang harganya sangat berfluktuasi.

5. Roadmap adalah rencana kerja rinci yang mendeskripsikan hal-hal yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan pengembangan klaster sebagai bagian dari rantai pasok nasional
dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Substansi penulisan terdiri dari:
1. Keadaan saat ini (sebagai baseline);
2. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai per periode/fase;
3. Uraian tahap pelaksanaan untuk mencapai tujuan/sasaran pada masing-masing
periode/fase;
4. Indikator pencapaian sasaran.

6. Program pengembangan UMKM dan komoditas pangan yang dapat diintegrasikan


dengan program pengembangan klaster adalah yang telah diterapkan di Indonesia dan
merupakan program Bank Indonesia, pemerintah, atau swasta nasional.

7. Stakeholder terkait dapat merupakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia pembina klaster,
kementerian teknis, pemerintah daerah, akademisi, lembaga keuangan, atau swasta, yang
terkait dengan pengembangan klaster yang sudah ada, program-program pengembangan
UMKM dan komoditas pangan nasional, dan rencana arah pengembangan klaster sebagai
best practice nasional.

8. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan responden


berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan.

4
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inflasi
Sesuai UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009,
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah, baik terhadap
harga barang dan jasa (inflasi) maupun mata uang asing (kurs). Terdapat beberapa pilihan
strategi kebijakan moneter yang masing-masing memiliki karakteristik sesuai dengan indikator
nominal yang digunakan sebagai dasar atau acuan atau sasaran antara untuk mencapai
tujuan akhir. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia pernah menggunakan kerangka
kebijakan base money targeting, di mana instrumen yang dipakai adalah pertumbuhan jumlah
uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara. Dalam perkembangannya, sejak Juli 2005
hingga saat ini, Bank Indonesia menerapkan kerangka inflation targeting dengan menjadikan
tingkat inflasi sebagai strategi pelaksanaan kebijakan moneter.

2.1.1. Faktor Pembentuk Inflasi


Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan
harga) pada barang lainnya. Sementara, faktor-faktor pembentuk inflasi secara garis
besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tekanan dari sisi suplai (cost push), sisi
permintaan (demand pull), dan sisi ekspektasi inflasi.

1. Inflasi akibat tekanan sisi suplai (cost push inflation) dapat disebabkan oleh
depresiasi (melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi di luar negeri
terutama di negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditas
yang diatur pemerintah (administered price), serta adanya gangguan di sisi
penawaran (negative supply shocks), misalnya akibat bencana alam yang terjadi
di suatu daerah atau terganggunya distribusi barang.

2. Inflasi akibat tekanan sisi permintaan (demand pull inflation) adalah tingginya
permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan kapasitas ketersediaannya
(penawaran). Secara makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih
besar daripada kapasitas perekonomian yang akhirnya menimbulkan output gap.
Gap inilah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga barang, sesuai dengan
hukum ekonomi jika permintaan melebihi penawaran, maka harga akan bergerak
naik.

3. Faktor ekspektasi inflasi yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku
ekonomi cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Untuk negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pelaku ekonomi biasanya masih bersifat
adaptif. Misalnya, akan terjadi penyesuaian sesaat pada bulan-bulan di mana
permintaan barang cenderung meningkat seperti menjelang hari-hari besar

5
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

keagamaan atau libur sekolah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau pelaku
ekonomi seperti di atas dapat juga terjadi saat pengumuman kenaikan gaji atau Upah
Minimum Regional (UMR). Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan perilaku
forward looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif.

Selain itu, tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestic pressures (tekanan
dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar negeri).

1. Tekanan dari dalam negeri merupakan segala sesuatu yang terjadi di dalam negeri
yang mempengaruhi harga barang. Hal ini dapat diakibatkan adanya gangguan dari
sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang berpengaruh pada pembentukan
harga barang di pasar atau kebijakan yang diambil oleh instansi di luar bank sentral.
Sebagai contoh, kebijakan pengetatan anggaran belanja pemerintah dengan
menghapus subsidi pemerintah, kenaikan pajak, atau kenaikan harga barang yang
ditetapkan pemerintah yang berimbas pada kenaikan harga barang-barang lain.

2. Tekanan dari luar negeri dapat berupa inflasi di negara lain yang akan berpengaruh
terhadap ekspor, impor atau neraca pembayaran antar negara, kenaikan harga
barang impor yang berdampak pada kenaikan harga produk berbahan baku impor,
serta kenaikan nilai tukar mata uang asing yang otomatis akan berpengaruh pada
kinerja neraca pembayaran.

2.1.2. Indikator dan Jenis Inflasi


Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga
Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga
dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa
dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007
yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selanjutnya, BPS akan memonitor
perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di
pasar tradisional dan modern di setiap kota. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international
best practice antara lain:

1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu
komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama
dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama
atas suatu komoditas.

2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga


barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri).
Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB
atas dasar harga konstan.

Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok


pengeluaran berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP),
yaitu:

1. Kelompok Bahan Makanan;


2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau;
3. Kelompok Perumahan;
4. Kelompok Sandang;

6
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

5. Kelompok Kesehatan;
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga;
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP, BPS juga memublikasikan inflasi berdasarkan


pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat
fundamental. Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokkan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent
component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
a. Interaksi permintaan-penawaran
b. Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang
c. Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen
Inflasi inti pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan komponen
bahan makanan dengan harga bergejolak (volatile foods) dan barang-barang dengan harga
ditentukan pemerintah (administered goods).

2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi
oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari:
a. Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan
seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan
domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
b. Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices)
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah,
seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, dan sebagainya.
c. Inflasi IHK merupakan inflasi yang dihitung dengan keseluruhan indeks harga konsumen,
baik inti maupun non-inti. Inflasi IHK dikenal juga sebagai headline inflation yang sama
artinya dengan inflasi inti ditambah unsur harga barang/komoditas bergejolak (volatile) dan
administered price. Inflasi IHK dapat lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan
inflasi inti, tergantung dari inflasi volatile food dan inflasi administered price.

7
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1. Determinan Inflasi

Konsumsi
Permintaan Output Gap
Ekspor

Investasi Inflasi Dunia


Eksternal Inflasi Inti
Produksi Penawaran
Nilai Tukar

Impor
Inersia Ekspektasi
INFLASI IHK

Kebijakan Administered
Pemerintah Price
Impor
Makanan
Supply Inflasi Non
Shocks Inti
Produksi Penawaran
Makanan
Volatile Food
Price
Populasi Permintaan

Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id

2.1.3. Pentingnya Kestabilan Inflasi


Inflasi yang rendah dan stabil dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Berikut ini digambarkan beberapa kondisi inflasi.
1. Inflasi yang tinggi menurunkan pendapatan riil masyarakat sehingga menurunkan
standar hidup masyarakat dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang
miskin, bertambah miskin.
2. Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku
ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi
yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
3. Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi di negara
tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga
dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

2.1.4. Koordinasi Pengendalian Inflasi


Sumber tekanan inflasi di Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat
dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih
cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) yang
disebabkan oleh gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu,
shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas
strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

Mengingat karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks, maka pengendalian
inflasi memerlukan kerja sama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia
dengan Pemerintah. Melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan, inflasi yang rendah dan
stabil diharapkan dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung pencapaian tugas Bank
Indonesia.
8
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 2. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam Pengendalian Inflasi

Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id/id.

Menyadari pentingnya koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil,
mendorong Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian
Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi dilanjutkan dengan membentuk
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas
dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja
Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat
efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kementerian Koordinator
Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri.

Selain itu, dalam upaya pengendalian inflasi Bank Indonesia mengembangkan Pusat Informasi
Harga Pangan Strategis (PIHPS). Program ini fokus pada diseminasi informasi harga bahan pangan
strategis, yaitu komoditas pangan yang dikonsumsi masyarakat secara luas atau memiliki bobot
kontribusi inflasi yang tinggi. Tujuan utama pengembangan PIHPS adalah untuk meningkatkan akses
informasi harga pangan yang terpadu kepada pelaku ekonomi untuk menjaga ekspektasi masyarakat
untuk mendukung upaya pencapaian sasaran inflasi dan peningkatan efisiensi perekonomian.
Selanjutnya, untuk mendukung ketahanan pangan, mengembangkan komoditas berorientasi ekspor,
dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods, Bank Indonesia juga melaksanakan program
pengendalian inflasi berbasis klaster komoditas.

9
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 3. Keterkaitan Antara TPI, Pokjanas TPID dan TPID

Sumber: Bank Indonesia (2016) dalam www.bi.go.id/id

2.2. Klaster
Umumnya definisi klaster menekankan pada kedekatan geografis beberapa perusahaan
untuk mencapai keunggulan bersaing. Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai pemusatan
geografi yang bergabung dan memiliki kesamaan perusahaan dan institusi dalam bidang
tertentu (geographic concentrations of interconnected companies and institutions in a particular
field). Lokasi geografis suatu klaster dapat meliputi satu kota, kabupaten, negara, atau berupa
jaringan yang melibatkan beberapa negara.

Bergman dan Feser (2000) menyatakan bahwa klaster menunjukkan hubungan sangat
erat yang mengikat perusahaan-perusahaan tertentu dan industri secara bersama-sama
dalam beberapa aspek umum seperti lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok,
faktor produksi dan lain-lain. Pengelompokkan tersebut saling berhubungan secara intensif
dan membentuk kemitraan dengan industri pendukung dan industri terkait (Simbolon, 2009).
Klaster merepresentasikan seluruh nilai tambah mulai dari pemasok ke produk akhir termasuk
jasa pendukung dan infrastruktur. Konsep-konsep klaster berdasarkan pada tiga konsep
utama, yaitu:

1. Konsep Ekonomi Geografi (Economic Geography Concept)


Konsep ini didasari karakteristik teritorial dan fungsi lingkungan perusahaan-perusahaan
yang fokus pada identifikasi karakteristik atau faktor lokasi yang mempengaruhi pemilihan
lokasi industri. Akibatnya bila dilihat dari sudut pandang makro, perilaku masing-masing
perusahaan tidak termodelkan secara eksplisit tetapi dilihat dari perilaku perusahaan
keseluruhan (Krugman, 1991; Rauch, 1993).

2. Konsep Organisasi (Organizational Concept)


Konsep ini mempertimbangkan perilaku masing-masing perusahaan berdasarkan faktor
internal dan lingkungan perusahaan (Scott, 1986; Harrison, 1992). Menurut Scott, yang
mendasari timbul dan tumbuhnya suatu klaster adalah pendekatan biaya transaksi (cost
transaction approach). Sedangkan konsep Harrison lebih banyak didasari oleh teori
ekonomi sosial (Social Economic Theory).

10
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

3. Konsep Strategi (Strategy Concept)


Pemilihan lokasi suatu perusahaan tidak terlepas dari strategi perusahaan tersebut. Kondisi
internal, teritorial dan lingkungan perusahaan masuk ke dalam perhitungan di berbagai tingkatan
yang ada. Konsep ini didukung oleh Porter (1990) dan Storper (1992). Porter menyatakan bahwa
perusahaan dapat meningkatkan daya saingnya melalui pembentukan klaster dengan asumsi
daya saing bergantung pada kemampuan berinovasi dan upgrading. Storper menyatakan
bahwa perusahaan mampu bersaing jika melakukan sistem produksi secara dinamis, yaitu selalu
menyesuaikan teknik produksi tanpa meningkatkan biaya produksi. Perbedaan masing-masing
teori tersebut terkait dengan penyebab dan lokasi pembentukan klaster disajikan dalam Tabel
2.1.

Tabel 2. 1. Penyebab dan Lokasi Pembentukan Klaster Terbentuk

Konsep Teori Penyebab Lokasi


Krugman • Klaster timbul karena • Klaster dapat timbul di mana
(1991) keadaan tidak terduga atau saja
self-fulfilling prophecies. • Klaster yang ada akan
• Klaster tumbuh karena tumbuh dan bertahan.
interaksi pengembalian
meningkat, biaya
transportasi dan permintaan.
Ekonomi Rauch • Klaster timbul karena • Klaster dapat timbul di mana
Geografi (1993) keadaan tidak terduga. saja
Pengembang industri • Beberapa perusahaan tetap
ingin memperbaiki pada klaster yang lama dan
ketidakefisienan yang lain mencari lokasi baru
• Relokasi perusahaan- untuk membuat klaster baru
perusahaan tergantung lagi.
pada trade off antara biaya
investasi dan biaya produksi
Klaster mendorong integrasi Klaster berada di daerah yang
Scott vertikal, dan sebaliknya terdiri dari klaster-klaster kecil
(1986) integrasi vertikal mendorong dan perusahaan-perusahaan
klaster. yang memiliki spesialisasi kerja.

Organisasi Harrison Klaster perusahaan kecil Klaster berada pada daerah


(1992) memfasilitasi kontak antar yang memiliki tingkat sosial
personal dan memaksimalkan tinggi, Bentuk klaster kecil
kepercayaan. dan merupakan perusahaan-
perusahaan yang memiliki
spesialisasi kerja.
Porter Klaster memiliki tingkat Klaster timbul di daerah yang
(1990) persaingan yang tinggi akan memiliki tingkat persaingan
mendorong perusahaan untuk tinggi dan terus menerus akan
berinovasi. Hanya dengan tumbuh karena masuknya para
inovasi akan mendorong pesaing baru.
keunggulan bersaing
Strategi perusahaan tersebut.
Storper Klaster akan menimbulkan Klaster akan terbentuk di
(1992) efisiensi manajemen karena daerah yang memiliki tingkat
adanya trade off antara efisiensi inovasi tinggi. Perusahaan-
teknologi dan meminimalisasi perusahaan di dalam klaster
biaya. ini biasanya kecil, spesialisasi
dan fleksibel.

Sumber: Meijboom dan Rongen (1995)


11
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Lesson Learned Klaster


2.3.1. Klaster UMKM di Indonesia
Menurut Burger, Kameo dan Sandee (2001), 63% tenaga kerja di UMKM di
Indonesia terdapat pada klaster. Keuntungan bagi UMKM yang berada di dalam
klaster antara lain kerja sama yang efektif antar UMKM di dalam klaster dan koordinasi
yang lebih baik antara pembeli dan klaster, serta kerja sama dalam memilih pasar luar
terutama pasar ekspor. Tambunan (2005) membagi klaster menjadi 4 (empat) tipe,
yaitu:
a. Artisinal
Umumnya terdiri dari usaha mikro yang memiliki produktivitas dan upah yang
rendah, stagnan, menggunakan alat yang masih tradisional, tidak memiliki
informasi pasar, peran perantara dalam pemasaran sangat dominan, kerja sama
antar usaha sangat rendah serta tidak ada jaringan eksternal dengan institusi
pendukung.

b. Active
Menggunakan tenaga kerja yang lebih terampil, teknologi yang lebih baik,
menjual ke pasar domestik dan ekspor, aktif di pemasaran, jaringan internal dan
ekstenal tinggi.

c. Dynamic
Jaringan perdagangan luar negeri ekstensif, terdapat keberagaman di dalam
klaster terkait ukuran, teknologi dan pasar, terdapat perusahaan pemimpin yang
memiliki peran yang besar.

d. Advanced
Tingkat spesialisasi dan kerja sama antar perusahaan tinggi, jaringan bisnis
dengan penyedia input, penyedia jasa, perantara dan bank berjalan dengan
baik. Kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta universitas berjalan
baik dan berorientasi ekspor.

Salah satu contoh klaster yang berhasil adalah yang dilakukan oleh PT. Kelola
Mina Laut (PT. KML) yang bermitra dengan nelayan di berbagai wilayah Indonesia. PT.
KML adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan eksportir
hasil-hasil perikanan laut maupun air tawar dengan volume ekspor 1.000 kontainer
per tahun. Dalam menjalankan usahanya, PT. KML menerapkan sistem klaster
agroindustri hasil laut yang terdiri atas nelayan penangkap ikan, sarana pengolahan
lokal (miniplant), sarana pengolahan akhir (pusat di Gresik) dan sarana pemasaran.
Kunci keberhasilan PT. KML dalam mengembangkan klaster agroindustri hasil laut
adalah dengan memangkas/memperpendek rantai nilai tradisional yang lebih
banyak dikuasai oleh pedagang antara, sehingga nelayan dapat menerima margin
keuntungan yang lebih besar (Sunaryanto et.al, 2014).

2.3.2. Klaster Binaan Bank Indonesia


Secara umum, klaster binaan Bank Indonesia di berbagai daerah masih fokus
pada upaya penguatan kelompok/kelembagaan dan peningkatan produksi. Namun

12
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

demikian, beberapa klaster dengan keunggulan produksi dan lahan yang luas mulai
meningkatkan fasilitasi terhadap akses pasar dan pembiayaan. Dengan memfasilitasi
akses pasar, produksi klaster diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembentukan
harga, sejalan dengan upaya pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia,
khususnya komoditas volatile food.

Hasil kajian Bank Indonesia (2014) menunjukkan adanya 4 entitas atau lembaga
di Indonesia yang berperan menginisiasi sekaligus memfasilitasi program klaster
baik dalam bentuk program komprehensif maupun one shoot program dengan dan
alasan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :

1. Bank Indonesia, dalam bentuk program bantuan teknis dan penyaluran dana
Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) sebagai implementasi dari Corporate
Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia.
2. Pemerintah, dalam bentuk program bantuan teknis maupun bantuan program
dalam kapasitas sebagai pengambil kebijakan nasional untuk pencapaian MDGs
di tahun 2015 melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat.
3. Lembaga donor, dalam mengemban misi global pengentasan kemiskinan
melalui kegiatan ekonomi berkeadilan.
4. Swasta, dalam kerangka untuk memperkuat kegiatan mata rantai industrinya.

Indikator kesuksesan klaster terdiri dari 16 indikator yaitu akses pasar,


networking dan kerja sama, akses informasi (pasar dan teknologi), modal sosial yang
kuat, kedekatan dengan pemasok, basis inovasi yang kuat, infrastruktur memadai,
spesialisasi, kompetensi, kepemimpinan dan visi bersama, akses terhadap sumber
keuangan, akses pada jasa pendukung bisnis, persaingan, budaya wirausaha yang
kuat, akses ke jasa spesialis, dan keberadaan perusahaan besar. Pilar dari klaster
yang berkelanjutan terdiri dari 4 (empat) hal yaitu prasarana bisnis, SDM klaster,
kelembagaan klaster, dan peran pemerintah. Di sisi lain, faktor kunci keberhasilan
klaster berbeda untuk masing-masing subsektor ekonomi. Berikut dijelaskan 3 faktor
keberhasilan yang paling penting (berdasarkan tingkat kesetujuan manajemen dan
stakeholders) untuk masing-masing sektor ekonomi:

1. Subsektor Tanamanan Pangan: modal sosial yang kuat, kepemimpinan dan visi
bersama serta akses pasar.
2. Subsektor peternakan: modal sosial yang kuat, basis inovasi (Research &
Development/R & D) yang kuat dan akses pasar.
3. Subsektor hortikultura: akses pasar, terdapat networking dan kemitraan, serta
modal sosial yang kuat.
4. Subsektor Perkebunan: networking dan kemitraan, basis inovasi (R & D) dan
kompetensi/keahlian SDM yang kuat.
5. Subsektor perikanan: infrastruktur yang memadai, basis inovasi yang kuat (R & D
tinggi) dan akses pasar.
6. Subsektor Industri: spesialisasi, kedekatan dengan pemasok, serta networking
dan kemitraan.

Selanjutnya, hasil kajian Bank Indonesia (2015) pada klaster 2 (dua) komoditas
volatile foods, (cabai merah dan bawang merah) menunjukkan bahwa klaster
dapat diperkuat melalui pengembangan dan peningkatan keterampilan budidaya

13
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

serta pemanfaatan teknologi. Hal tersebut dilakukan melalui pendampingan dan


demonstration plot (demplot), bantuan sarana produksi padi (saprodi) ketika iklim
ekstrem, peningkatan status dan penguatan kelembagaan klaster. Faktor penting
lainnya dalam pengembangan klaster yaitu pengutan modal sosial klaster, akses
pasar dan networking, serta perbaikan infrastruktur.

Pada penelitian ini, rekomendasi strategi klaster volatile foods dibagi menjadi dua
aspek, yaitu strategi meningkatkan pasokan dan mendorong kestabilan harga cabai
merah dan bawang merah. Peningkatan pasokan cabai merah dapat dilakukan melalui
strategi intensifikasi dan ekstensifikasi komoditas, pengembangan bibit tahan hama
dan virus, pengembangan sarana penyimpanan cabai merah nasional, dan updating
data kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Sementara
strategi peningkatan pasokan bawang merah adalah intensifikasi dan ekstensifikasi,
antisipasi ketidakpastian perubahan iklim, teknologi penyimpanan bawang merah,
dan pengembangan teknologi rumah kaca khususnya untuk lahan tadah hujan.
Untuk mendorong kestabilan harga cabai merah maupun bawang merah, perlu
dilakukan penyelarasan maupun pengaturan pola tanam sepanjang tahun, efisiensi
tata niaga dan jalur distribusi, dan kerja sama antar wilayah (provinsi sentra produksi
dan provinsi konsumsi) untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan.

2.3.3. Kategori Klaster dan Peran Fasilitator dalam Klaster di Denmark


Klaster memengaruhi cara perusahaan dalam bekerja sama, mengatur, dan
bersaing. Klaster umumnya berkembang sesuai dengan siklus pengembangan,
yang mencakup tahapan evolusi di mana para aktor dari sektor swasta dan publik
terlibat sebagai fasilitator untuk mengkoordinasikan dan mempromosikan klaster.
Ingstrup dan Damgaard (2011) mengkaji hubungan antara pengembangan klaster
dan fasilitator klaster. Mereka membuat kerangka kerja untuk menggambarkan
perubahan yang terjadi melalui peran fasilitator klaster, termasuk fokus fasilitasi,
kompetensi, dan tugas fasilitator dalam siklus pengembangan klaster. Penelitian ini
dilakukan pada sembilan klaster yang berbeda di Denmark, antara lain: Agro Food
Park, Designers’ Cooperation, Lean Energy Cluster, Agro Valley Denmark.

Menurut Ingstrup dan Damgaard (2011), sebagian klaster berkembang karena


memiliki fasilitator yang mendukung dan mengintervensi klaster. Fasilitator klaster
dapat berupa individu, perusahaan dan konsultan swasta, pemerintah, asosiasi
lokal, maupun lembaga pengetahuan. Peran fasilitator klaster adalah membangun
kepercayaan dan platform berbagai kerja sama dalam klaster. Fasilitator klaster
harus memilki visi, memahami bisnis yang dikembangkan, memiliki kemampuan
manajerial, kredibel, mampu berkomunikasi, fokus pada hasil, netral, memiliki
kemampuan wirausaha, inovatif, berfikir terbuka. Karakter lainnya yang harus dimiliki
fasilitator adalah memililiki jiwa wirausaha dan kepemimpinan dalam menempatkan
dan mengevaluasi peluang sesuai dengan visi (Mesquita, 2007). Selain itu, fasilitator
harus mampu membangun pemahaman bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan hasil penelitian Ingstrup & Damgaard (2011), terdapat tiga kelompok
klaster, yaitu klaster potensial (potential cluster), klaster yang perlu dikembangkan
(latent cluster), dan klaster yang sedang berkembang (working cluster). Potential
cluster dapat digambarkan sebagai klaster di mana keterkaitan antar anggota
klaster relatif longgar dengan mayoritas pelaku usaha adalah perusahaan kecil
dan menengah. Otoritas publik merupakan motor penggerak yang sangat penting
karena masyarakat banyak memberikan dana bagi klaster untuk berkembang.
Namun, umumnya masyarakat dan lembaga pengetahuan cenderung pasif. Potential
cluster menekankan pada membangun kepercayaan, menjalin ikatan melalui aktivitas
seperti networking events, mencari dana, branding, seminar, kegiatan sosial, dan
pencocokan harapan anggota klaster yang difasilitasi oleh fasilitator klaster.
14
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Latent cluster muncul untuk mengurangi kelemahan potential cluster. Aktifitasnya banyak
dilakukan dengan mencari peluang bisnis, meningkatkan kepercayaan yang telah dibangun
pada tahap awal pembentukan klaster. Upaya ini didukung oleh kegiatan yang dijalankan oleh
masing-masing sekretariat klaster seperti seminar, acara networking, proyek kerja sama skala
kecil, lokakarya ide bisnis, dan berbagi pengetahuan. Anggota klaster terutama perusahaan
kecil dan menengah, lembaga pengetahuan, dan otoritas publik. Pada klaster ini kegiatan
klaster lebih terintegrasi dibandingkan potential cluster. Contohnya, Agro Valley Denmark
merupakan klaster yang sudah berkembang dengan baik antar triple helix, yaitu kerja sama
antara universitas, industri, dan pemerintah. Pada klaster ini banyak dilakukan berbagai inovasi,
kerja sama lintas klaster, sehinggga klaster lebih kuat. Peran lembaga pengetahuan sangat
dominan dalam perkembangan klaster khususnya penelitian dan pengembangan. Sebagai
contoh, klaster Medicon Valley fokus pada bioteknologi, teknologi medis, dan farmasi. Ruang
lingkup fasilitator pada ketiga kondisi klaster disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2. 2. Ruang Lingkup Fasilitator pada Berbagai Kondisi Klaster

Potensial cluster Latent cluster Working cluster

Facilitator role Framework-setter Entrepeneur Business seeker


Networker Relationship builder Integrator

Facilitator focus Create social actor bonds Create profesional actor Create business actor
Framework conditions bonds bonds
Locate new actors Cooperation Business creating
Trust building Locate actor needs activities
Trust expansion Locate actor opportunities
Trust exploitation

Facilitator Communicator Analyser Busniness understanding


competencies Credible Communicator Communicator
Networker Credible Innovative
Originator Entrepreneurial Industry knowledge
Political flair Networker Managerial skills
Seller Problem solver Networker
Organiser
Problem solver

Facilitator tasks Branding Branding Branding


Funding Business idea workshop Cross-cluster cooperation
Lobbying Funding Funding
Matching of expectations Knowledge sharing Innovation and business
Networking events Networking events project
Seminars Seminars Knowledge sharing
Social events Small-scale cooperations Market analyse
project Networking events
Project portfolio
management
Seminars
Sumber: Ingstrup dan Damgaard (2011)

2.3.4. Perkembangan dan Siklus Hidup Klaster di Korea Selatan dan Belanda
Shin dan Hassink (2011) mengkaji asal-usul dan perkembangan klaster industri galangan
kapal di Korea Selatan. Penulis menganalisis siklus hidup klaster industri, tahap-tahap
perkembangan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi siklus hidup dari klaster. Sebelumnya
Van Klink dan De Langen (2001) melakukan studi klaster yang sama di Belanda.

Konsep siklus hidup klaster diperkenalkan oleh Menzel dan Fornahl (2010), Press (2006),
Lorenzen (2005) dan Van Klink dan De Langen (2001). Ada tiga pertanyaan penting dalam
siklus tersebut, yaitu: penyebab timbulnya klaster, penyebab menurunnya klaster, dan
penyebab bergesernya klaster ke tahap ekonomi baru. Berdasarkan penelitian di klaster
15
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

penggalangan kapal di Belanda, Van Klink dan De Langen (2001) membedakan tahapan
klaster yaitu: pengembangan (development), ekspansi (expansion), matang (maturation),
dan tahap transisi. Sedangkan menurut Menzel and Fornahl (2010), siklus hidup klaster
mencakup tahap awal (emergence), pertumbuhan (growth), pemeliharaan (sustainment), dan
penurunan (decline).

Van Klink dan De Langen (2001) membedakan enam karakteristik dari siklus hidup
klaster yang berbeda. Karakteristik tersebut terdiri dari sifat rantai nilai, hubungan strategis,
dinamika klaster, bidang kerja sama, dan, faktor-faktor keberhasilan, dan peran pemerintah
(Tabel 2.3).

Tabel 2. 3. Siklus Hidup Klaster


Development Expansion Maturation Transition
Character of the Construction of a Specialization among Strable roles of firms Reorientation of the
value chain value chain with firms in the chain in the value chain roles of firms in the
different firms chain
Strategic relations Development of Strengthening of Pressure on strategic Reconfiguration of
strategic relations strategic relations relations strategic relations
Cluster dynamics Some entrans, no Some entrans, no Few entrans, few exits Few entrans, many exits
exits exits
Cooperative domain R&D; standardization; R&D; education; R&D; education; R&D; education; new
cooperative marketing; sharing marketing; cooperative routines
routines infrastructure
Determinant for Presence of local Presence of local Presence of local Presence of (new) local
succes resources, resources, know- resources, know- resources and know-
know-how and how and risk how and a balance how and organizing
demanding home capital between local and capacity
market global orientation
Role of government Providing information Stimulating Professionalizing Stimulating neue
on local know-how outsourcing and suppliers and Kombinationen
market expansion stimulating neue
Kombinationen

Dalam setiap tahapan tersebut dapat dicirikan pertumbuhan klaster dibandingkan


dengan rata-rata pertumbuhan industri dan hubungan klaster seperti disajikan pada Gambar
2.4 (Van Klink & De Langen, 2001).

Gambar 2. 4. Pertumbuhan dan Karakter Hubungan pada Siklus Hidup Klaster


Stabil dan berorientasi

Tahap 2 Tahap 3
internal

Ekspansi Matang
(Expantion) (Maturation)
Karakter hubungan klaster

Hubungan belum stabil

Tahap 1 Tahap 4
Pengembangan Transisi
(Development) (Transition)

Diatas rata-rata Dibawah rata-rata

Pertumbuhan klaster dibandingkan dengan


rata-rata pertumbuhan industri

16 Sumber: Van Klink & De Langen (2001)


Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Menzel & Fornahl (2010) menekankan adanya perubahan karakter pengetahuan melalui
siklus hidup klaster. Heterogenitas pengetahuan dalam klaster mengalami perubahan pada
setiap tahapannya. Meningkatnya heterogenitas pengetahuan dapat menyebabkan tahap
pertumbuhan baru (Gambar 2.5)

Gambar 2. 5. Interaksi antara Ukuran Perusahaan dan Heterogenitas Pengetahuan dalam


Siklus Hidup Klaster

Sumber: Menzel dan Fornahl (2010)

Klaster penggalangan kapal Korea memiliki karakter berbeda di setiap tahap siklus
hidup klaster. Rantai nilai dan dinamika dari klaster tersebut termasuk berada pada tahapan
pematangan. Klaster tersebut merupakan sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari
perusahaan besar, pemasok UMKM, serta aktor politik yang berbeda di tingkat nasional dan
regional. Perusahaan yang tergabung dalam klaster biasanya lebih kompetitif dibandingkan
dengan perusahaan non-klaster pada tahap pertengahan siklus hidup. Perusahaan
penggalangan kapal melakukan reorientasi dan diversifikasi untuk sasaran target pasar yang
lebih luas (high-end market segments).

2.3.5. Lesson Learned dari Agro-Based Clusters


Meskipun kajian klaster sangat banyak, namun tidak banyak yang membahas klaster
sektor pertanian (agro-based clusters). Padahal, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian adalah melalui klaster. Kerja sama
vertikal dan horizontal antar aktor dalam rantai nilai pertanian dan institusi pendukung
terkait lainnya seringkali menghasilkan inovasi, menciptakan lingkungan kondusif untuk
kerja sama antar aktor, memberikan citra wilayah, dan menjembatani kebutuhan petani.
Galvez-Nogales (2010) menyatakan bahwa klaster berbasis pertanian di negara-negara
berkembang umumnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu didominasi petani skala kecil,
dikelola secara informal, keterkaitan antar aktor masih lemah, serta menghadapi berbagai
permasalahan untuk meningkatkan skala usaha. Hal tersebut menyebabkan promosi klaster
di negara berkembang lebih sulit dibandingkan dengan negara maju, sehingga memerlukan
dukungan yang lebih banyak.

17
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Galvez-Nogales (2010) menganalisis agro-based cluster di negara-negara berkembang yaitu


Amerika Latin, Asia dan Afrika. Klaster yang dipelajari antara lain klaster minuman anggur dan buah-
buahan (Amerika Latin), klaster salmon dan bunga potong (Chili), dan klaster kopi (Nikaragua).
Sementara klaster yang dikaji di Asia mencakup buah-buahan dan sayuran (Thailand), klaster singkong
dan bunga lili (Vietnam), klaster anggur (India), serta klaster domba dan kambing (Tiongkok). Di
Afrika contohnya adalah klaster perikanan (Uganda), kopi (Kenya), dan klaster minuman anggur
(Afrika Selatan).

Berdasarkan pengalaman di berbagai negara tersebut, klaster berbasis pertanian diharapkan


mampu menciptakan value networks yang merupakan agregasi dari:
• Hubungan vertikal antara pemasok input, petani, prosesor, eksportir, ritel, konsumen, dan
branded buyer.
• Hubungan horizontal antara produsen dengan lembaga atau bisnis yang mendukung proses
rantai pasok pertanian.
• Hubungan yang saling mendukung antara produsen dan lembaga fasilitator seperti pemerintah
lokal, business service providers, lembaga penelitian, universitas, dan lembaga swadaya
masyarakat.

Gambar 2. 6. Konsep Value Networks untuk Agro-based Cluster

Sumber: Galvez-Nogales, 2010

18
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Konsep Rantai Nilai (Value Chain)


Analisis value chain merupakan serangkaian aktivitas yang diperlukan dalam memproduksi
dan mendistribusikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen, di mana permintaan
konsumen merupakan pendorong utama seluruh kegiatan dalam rangkaian rantai nilai
barang/jasa tersebut (World Bank, 2008). Berbeda dengan pendekatan supply chain yang
lebih berorientasi kepada sisi produsen, pendekatan value chain lebih berorientasi kepada
konsumen (consumer driven). Atribut-atribut yang diinginkan oleh konsumen terhadap suatu
barang/jasa mengalami perubahan yang dinamis seiring dengan peningkatan pendapatan,
demografi dan gaya hidup. Perubahan preferensi tersebut harus direspon oleh produsen/
petani.

Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu petani melakukan berbagai upaya untuk
memproduksi buah-buahan yang memiliki ukuran yang besar (misalnya semangka atau
pepaya). Namun, seiring dengan perubahan demografi di mana jumlah anggota keluarga yang
semakin sedikit (misalnya satu keluarga hanya memiliki dua sampai tiga anak), maka ukuran
semangka atau pepaya yang terlalu besar tidak begitu diminati oleh konsumen. Preferensi
konsumen tersebut dipertimbangkan dalam analisis value chain sehingga petani kemudian
akan memproduksi semangka atau pepaya yang berukuran sedang. Contoh lainnya adalah
meningkatnya kesadaran konsumen berpendapatan tinggi terhadap kesehatan, sehingga
menginginkan produk yang tidak mengandung pestisida dan pupuk kimia. Informasi tersebut
kemudian diteruskan dan direspon oleh petani di sepanjang value chain dengan munculnya
komoditas pertanian organik.

Di samping consumer driven, perbedaan utama value chain dengan supply chain terletak
pada pendekatan value chain yang lebih memfokuskan pada bagaimana meningkatkan nilai
di sepanjang value chain tersebut (World Bank, 2008). Kesamaan utama dua pendekatan
tersebut adalah bagaimana membuat rantai nilai lebih efisien dengan menurunkan biaya-
biaya di sepanjang rantai nilai yang fokus pada supply chain. Dengan demikian, analisis value
chain juga meliputi analisis supply chain. Analisis value chain sangat berguna terutama untuk:
(1) mengetahui trend yang terjadi pada konsumen dan pengaruhnya terhadap value chain; (2)
mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan leader dalam value chain; dan (3) mengetahui
hubungan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam value chain. Pendekatan supply chain dan
value chain dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.

Gambar 2. 7. Pendekatan Supply Chain

Sumber: Stringer (2009)

19
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 8. Pendekatan Value Chain

Sumber: Stringer (2009)

Dalam melakukan analisis value chain, pemetaan value chain (mapping the chain) merupakan
suatu hal yang penting untuk dilakukan. Tujuan utama dari pemetaan value chain adalah untuk
mengidentifikasi aliran produk dan aktor-aktor yang terlibat dalam value chain (Stringer, 2009).
Seperti diketahui, pendistribusian barang dari tingkat produsen ke konsumen akhir melalui beberapa
middlemen, yaitu diantaranya adalah pedagang dan industri pengolahan.Pedagang itu sendiri bisa
dibagi berdasarkan skala usaha yaitu pedagang kecil dan pedagang besar atau bisa juga berdasarkan
lokasi/scope pemasarannya, yaitu pedagang tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, eksportir,
dan atau kombinasi keduanya (lokasi dan skala usaha). Tujuan lain dari pemetaan value chain adalah
untuk mengidentifikasi aktor-aktor mana yang memberikan nilai tambah terbesar dalam value chain
tersebut.

Pada prinsipnya pemetaan value chain dapat dibagi menjadi lima, yaitu (1) pemetaan aktor-
aktor yang terlibat dalam value chain, (2) pemetaan volume penjualan di masing-masing aktor di
sepanjang value chain, (3) pemetaan nilai produk pada setiap tingkatan value chain, (4) pemetaan
proporsi biaya yang dikeluarkan oleh setiap aktor di sepanjang value chain, dan (5) pemetaan aliran
informasi dan transfer teknologi. Masing-masing pemetaan tersebut dibahas pada bagian berikut.

a. Mapping Actors
Mapping actors adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang
terlibat dalam suatu value chain. Aktor-aktor yang terlibat dalam suatu value chain biasanya
bermula dari produsen, melalui middlemen, hingga konsumen akhir. Namun demikian, aktor
dapat diperluas cakupannya tidak hanya bermula dari level produsen, tetapi bermula dari
perusahaan-perusahaan yang menyediakan input kepada produsen. Gambar 2.9 menyajikan
contoh mapping actors yang berasal dari value chain komoditas tomat di Jawa Barat, Indonesia
(Natawidjaya, 2007).

20
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 9. Mapping Actor pada Komoditas Tomat di Jawa Barat, Indonesia

Sumber: Natawidjaya, 2007

Gambar 2.9 menunjukkan bahwa value chain komoditas tomat sangat bervariasi, tergantung aktor-
aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut. Bagian paling bawah menunjukan bahwa
aktor-aktor yang terlibat pada value chain komoditas tomat model ini lebih banyak dibandingkan
dengan aktor-aktor yang terlibat pada value chain di bagian atasnya. Sebagai contoh, pada value
chain komoditas tomat yang paling bawah, aktor-aktor yang terlibat meliputi: petani (farmer),
pedagang lokal (local collector), pedagang besar (traditional wholesale), pedagang besar pasar
induk (traditional wholesale market), dan pedagang pengecer di pasar tradisional (traditional
retail market). Adapun value chain yang berada pada bagian paling atas menunjukkan value
chain yang lebih pendek di mana aktor-aktor yang terlibat di sepanjang value chain tersebut
relatif lebih sedikit, yaitu petani (farmer), pedagang yang memasok ke supermarket (specialized
super wholesaler) dan supermarket.

b. Mapping Volume
Mapping volume dilakukan untuk memetakan volume penjualan di masing-masing aktor di
sepanjang value chain. Mapping volume sangat berguna untuk mengidentifikasi aliran komoditas
dan pangsa penjualan di sepanjang value chain. Contoh mapping volume disajikan pada Gambar
2.10.

21
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 10. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Volume

Sumber: Stringer (2009)

c. Mapping Value
Mapping value dilakukan untuk mengidentifikasi besaran biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing aktor yang terlibat dalam suatu value chain. Di samping mengetahui besaran biaya,
mapping value juga digunakan untuk melihat harga yang diterima oleh masing-masing aktor
di sepanjang value chain. Gambar 2.11 menyajikan output dari kegiatan mapping value suatu
komoditas.

Gambar 2. 11. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Value

Sumber: Stringer (2009)

d. Mapping Relative Costs of Processing


Mapping relative cost of processing digunakan untuk melihat biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam rangka peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh setiap aktor yang terlibat dalam
value chain. Misalnya pada Gambar 2.12, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani terbagi
menjadi lima, yaitu persiapan lahan (land preparation), pemupukan (fertilizing), penyemprotan
(spraying), pemeliharaan tanaman (plant maintenance), dan pemanenan (harvesting). Masing-
masing kegiatan yang dilakukan petani kemudian dihitung persentase biayanya terhadap
keseluruhan biaya yang dikeluarkan di tingkat petani.

22
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. 12. Contoh Output dari Kegiatan Mapping Relative Cost of Processing

Sumber: Stringer (2009)

e. Mapping Information and knowledge transfer


Mapping information and knowledge transfer sangat berguna untuk mengetahui informasi
dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing aktor terkait dengan komoditas
yang terdapat pada value chain tersebut. Gambar 2.13 menyajikan output dari kegiatan
mapping knowledge komoditas kacang kedelai di Laos.

Gambar 2. 13. Output Mapping Knowledge Komoditas Kacang Kedelai

2.5. Manajemen Strategi


Strategi berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti “seni berperang”. Sebuah strategi
mempunyai dasar-dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi, pada dasarnya
strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan (Umar, 2008). Menurut Barney (1997), strategi
adalah suatu pola alokasi sumber daya yang memungkinkan perusahaan untuk memelihara
atau meningkatkan kinerjanya.

23
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Definisi strategi dan manajemen strategi diperluas oleh Mintzberg et al. (1998) dikenal sebagai
5P yaitu:

1. Strategy as plan. Strategi merupakan suatu rencana atau sesuatu yang berupa arahan, petunjuk
untuk kegiatan di masa depan yang diambil pada masa kini. Strategi merupakan suatu rencana
ke depan (looking ahead) atau sesuatu yang diharapkan di masa depan.

2. Strategy as pattern. Strategi merupakan suatu pola atau sesuatu yang konsisten di setiap waktu.
Strategi sebagai suatu pola melihat perilaku di masa lalu yang sudah terjadi (looking behind).
Kedua definisi tersebut apabila digabungkan menjadi: suatu organisasi mengembangkan
rencana masa depan dengan melihat pola-pola perilaku di masa lalu. Dalam hal ini disebut
sebagai strategi yang diharapkan (intended strategy) dan strategi yang terjadi (realized strategy).

3. Strategy as position. Strategi merupakan posisi yaitu menempatkan produk khusus pada pasar
yang khusus juga.

4. Strategy as perspective: Strategi merupakan perspektif, yaitu hal-hal yang bersifat fundamental
dalam organisasi untuk mengerjakan sesuatu.

5. Strategy as ploy: strategi merupakan suatu cara, yaitu manuver khusus yang diharapkan dapat
mengalahkan lawan atau para pesaing.

Strategi dirumuskan berdasarkan pendekatan hierarkis yang berhubungan dengan konsep misi,
tujuan, dan taktik perusahaan. Dalam hal ini, strategi didefinisikan sebagai cara di mana organisasi
mencapai visi, misi dan tujuan melalui manajemen strategi. Manajemen strategi terdiri atas tiga
tahapan utama yaitu formulasi atau perencanaan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi
untuk mencapai visi yang ditetapkan (David, 2011) sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.14.
Strategi yang baik adalah strategi yang mampu menetralisir ancaman dan menggali peluang dengan
menekankan pada kekuatan dan menghindari kelemahan. Rumusan strategi difokuskan untuk
mempertemukan kekuatan dan kelemahan internal perusahaan dengan peluang dan ancaman.

Gambar 2. 14. Model Manajemen Strategi

Analisis
lingkungan
internal

Membuat Mengukur dan


Membuat visi Merumuskan mengevaluasi Implementasi
tujuan jangka mengevaluasi
dan misi dan memilih strategi strategi
panjang kinerja

Analisis
lingkungan
eksternal

Rumusan strategi Implementasi Evaluasi


strategi strategi

Sumber: David, (2011)

24
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Rumusan Strategi dengan Analisis SWOT


Rumusan strategi diawali dengan penentuan visi dan misi. Pernyataan visi menjawab
pertanyaan yang diinginkan. Pengembangan visi merupakan tahap pertama dalam
perencanaan strategi yang diikuti dengan pengembangan pernyataan misi. Visi dikembangkan
dalam satu pernyataan kalimat tunggal. Misi merupakan pernyataan tujuan jangka panjang
yang membedakan satu bisnis dengan perusahaan sejenis lainnya.

Formulasi strategi harus dapat mengambil manfaat dari peluang yang ada dan mengurangi
ancaman. Berdasarkan hal tersebut maka identifikasi, monitoring dan evaluasi peluang dan
ancaman merupakan hal yang sangat penting. Proses ini seringkali disebut analisis industri
atau environmental scanning (David, 2011).

Kondisi eksternal berupa peluang dan ancaman merupakan kondisi, ekonomi, sosial,
budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi dan tren persaingan
yang dapat memberikan manfaat maupun membahayaakan bagi organisasi di masa depan.
Peluang dan ancaman tidak dapat dikendalikan oleh organisasi (David, 2011).

Kekuatan dan kelemahan yang bersifat internal merupakan hal-hal yang dapat dikontrol
oleh organisasi. Faktor-faktor tersebut mencakup pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/
operasi, penelitian dan pengembangan, dan manajemen sistem informasi. Strategi perlu
dirumuskan dengan meningkatkan kekuatan dan mengeliminasi kelemahan.

Tahapan perumusan strategi menurut David (2011) terdiri dari tahap input, pencocokan,
dan keputusan. Berikut ini penjabaran ketiga tahap tersebut.

1. Tahap Input
Pada tahap ini dibuat matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Evaluasi Faktor Eksternal
(EFE). Matriks EFI mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Sedangkan
peluang dan ancaman perusahaan digambarkan dalam Matriks EFE.

2. Tahap Pencocokan
Tahap pencocokan dalam rumusan strategi terdiri dari Matriks SWOT, the SPACE Matrix,
the BCG Matrix, the IE Matrix, dan the Grand Strategy Matrix. Pencocokan faktor internal
dan eksternal merupakan kunci untuk merumuskan strategi.

3. Tahap Keputusan
Tahap ini menggunakan berbagai metode untuk mengevaluasi dan memilih strategi
berdasarkan nilai total terbesar.

Perumusan strategi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan
yang relatif mudah dan banyak digunakan adalah analisis SWOT. SWOT merupakan akronim
dari Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats. Pada mulanya, analisis SWOT
diaplikasikan di Harvard Business School dan beberapa sekolah bisnis lainnya di Amerika,
dan kemudian dipopulerkan oleh Kenneth Andrews. Analisis SWOT banyak digunakan untuk
pengembangan strategi bisnis dan riset pemasaran. Pada strategi pengembangan bisnis,
SWOT diperoleh dari pendapat stakeholders sehingga merefleksikan pendapat kolektif suatu
kelompok. Focus groups merupakan metode yang banyak dipakai untuk mengumpulkan
pendapat dari stakeholders terkait (Leigh, 2010).

25
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Analisis SWOT merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi internal
dan eksternal, serta merumuskan kegiatan di masa depan berdasarkan faktor-faktor tersebut (Leigh,
2010). Identifikasi lingkungan adalah proses monitoring, evaluasi, dan pengumpulan informasi dari
lingkungan eksternal dan internal yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor strategi. Lingkungan
eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang berasal dari luar organisasi. Lingkungan internal
terdiri dari kekuatan dan kelemahan yang berada dalam lingkup organisasi dan mencakup struktur,
budaya, serta sumber daya (Wheelen dan Hunger, 1998). Identifikasi dari SWOT adalah sebagai
berikut:

• Strengths/Kekuatan Internal
Kekuatan merupakan internal enhancer yang menunjukkan kompetensi internal atau sumber
daya yang bernilai (Leigh, 2010). Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan atau keunggulan
lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar yang dilayani. Kekuatan merupakan suatu
kompetensi berbeda (distinctive competence) yang memberi perusahaan suatu keunggulan
komparatif dalam pasar. Kekuatan berkaitan dengan sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan,
pasar, dan hubungan pembeli - pemasok.

• Weaknesses/Kelemahan Internal
Kelemahan merupakan penghambat sumber daya internal (internal inhibitors), yaitu keterbatasan
atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kemampuan yang secara serius
menghalangi kinerja efektif suatu industri.

• Opportunities/Peluang Lingkungan Eksternal


Peluang merupakan kondisi eksternal yang dapat meningkatkan kinerja (external enhancer).
Peluang adalah situasi utama yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan/industri.
Identifikasi dari segmen pasar, perubahan-perubahan dalam keadaan bersaing, perubahan
teknologi, dan hubungan pembeli-pemasok menunjukkan suatu peluang.

• Threats/Ancaman Lingkungan Eksternal


Ancaman merupakan hambatan eksternal yang dapat menurunkan kinerja (external inhibitors).
Ancaman berupa situasi yang tidak menguntungkan dalam lingkungan suatu perusahaan
dapat berupa rintangan-rintangan utama bagi posisi yang diinginkan. Masuknya pesaing baru,
pertumbuhan pasar yang lambat, daya tawar pembeli–pemasok yang meningkat, perubahan
teknologi, kebijakan baru dapat merupakan ancaman bagi keberhasilan suatu industri.

Setelah mengidentifikasi kondisi internal dan eksternal melalui SWOT, selanjutnya dilakukan
tahap pencocokan yang relatif sulit dan kritis dalam merumuskan strategi. Tujuan tahapan pencocokan
adalah untuk membangkitkan alternatif strategi yang layak, bukan untuk memiliki strategi terbaik.
Tidak semua strategi dibuat dalam matriks SWOT.

Salah satu alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matriks
SWOT. Matriks ini membantu mengembangkan 4 (empat) tipe strategi yaitu: SO (strengths-
opportunities), WO (weaknesses-opportunities), ST (strengths-threats), dan WT (weaknesses-threats).
Matriks ini menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks SWOT menghasilkan 4 (empat)
kemungkinan alternatif strategi seperti terlihat dalam Tabel 2.4.

26
Bab II - TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 2. 4. Matriks SWOT

Strength (S) Weaknesses (W)


Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO
Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang

Threats (T) Strategi ST Strategi WT


Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan untuk
mengatasi ancaman menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti (2002)

Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi dan memilih strategi terbaik. Ruang lingkup terbaik
untuk evaluasi adalah dengan menguji hal-hal berikut:

1. Konsistensi (consistency): strategi harus konsisten antara tujuan dan kebijakan.


2. Kesamaan (consonance): strategi harus merepresentasikan suatu respon yang adaptif terhadap
lingkungan eksternal dan perubahan kritis yang terjadi.
3. Memberikan manfaat (advantage): strategi harus menciptakan dan atau memelihara keunggulan
bersaing dalam aktivitas yang dipilih.
4. Layak (feasibility): strategi harus melihat sumber daya yang tersedia dan permasalahan lainnya
yang belum tergali.

27
28
Bab III - METODE PENELITIAN

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis, Sumber Data dan Lokasi Penelitian


Sumber data diperoleh melalui data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari
survei individu dan Focus Group Discussion (FGD). FGD dilakukan dengan kelompok individu
yang memiliki keahlian untuk mendapatkan kesan, interpretasi, dan opini terkait topik yang
dikemukakan. FGD juga dilakukan dengan kalangan internal Bank Indonesia dan pihak
eksternal yang terdiri dari pejabat dari kementerian terkait serta akademisi.

Data sekunder diperoleh dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (nasional dan daerah),
Kementerian dan Dinas terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan dinas-dinas yang berada
di wilayah penelitian. Selain itu, sumber data sekunder diperoleh melalui buku-buku dan
berbagai jurnal khususnya yang terkait dengan rantai nilai, sustainable cluster, volatile foods
supply chain, rumusan strategi dan pengambilan keputusan berdasarkan multi kriteria (multi-
criteria decision making).

Metode pengumpulan data primer, khususnya yang terkait dengan perumusan roadmap
pengembangan klaster dan usulan strategi klaster nasional dilakukan melalui in-depth interview,
kuesioner, FGD, dan survei lapangan. Wawancara dilakukan secara langsung (face to face) dan
mendalam dengan responden ahli. In-depth interview menggunakan kuesioner kepada 35
responden petani, 3 orang pedagang dan 2 orang pengolah pada komoditas beras, cabai
merah dan bawang merah di masing-masing lokasi. Dalam FGD di lokasi penelitian, selain
melibatkan petani, pedagang, dan pengolah juga melibatkan instansi-instansi terkait seperti:
Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perhubungan, Dinas
Perindustrian, Bappeda/Pemda, akademisi lembaga keuangan formal maupun non-formal,
dan tokoh masyarakat. FGD dilakukan juga pada level nasional untuk mendapatkan masukan
dari stakeholders terhadap roadmap, usulan integrasi klaster secara nasional, dan prioritas
strategi. Peserta FGD nasional berasal dari Bappenas, Kemenko Perekonomian, Kementerian
Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.

Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui literature review terhadap kajian
yang sudah dilakukan. Kajian tersebut dapat berupa hasil penelitian, best practices, maupun
kebijakan yang terkait dengan pengembangan klaster sebagai pengendali inflasi. Keterkaitan
antara tujuan penelitian dengan data, sumber data, teknik pengumpulan dan teknik analisis
data dapat dilihat pada Tabel 3.1.

29
Bab III - METODE PENELITIAN

Tabel 3. 1. Hubungan antara Tujuan Penelitian dan Data

Teknik
Tujuan Data Sumber Data Pengumpulan Teknik Analisis
Data
Memperoleh arah Data primer Responden, Survei lapang Statistik
pengembangan dan dan sekunder informan kunci dan desk study parametrik
penguatan klaster dan laporan dan non-
komoditas Volatile Foods. kegiatan parametrik
a. Impact evaluation
(before – and after
comparisons)
b. Pengembangan klaster
Menetapkan roadmap Data primer Informan kunci FGD dan nasi Kualitatif
pengembangan klaster dan sekunder dan laporan dan nasional
kegiatan nasional dan
Desk study
Memperoleh usulan Data primer Informan kunci FGD SWOT dan AHP
integrasi klaster secara dan sekunder
Nasional, dan prioritas
strategi

Dalam penelitian telah ditetapkan tiga komoditas volatile food yaitu beras, cabai dan
bawang merah. Untuk masing-masing komoditas dipilih satu lokasi klaster yaitu klaster beras
di Soppeng, Sulawesi Selatan, klaster cabai merah di Kulon Progo, Yogyakarta dan klaster
bawang merah, Nganjuk Jawa Timur. Dari masing-masing klaster dikumpulkan data primer
yang bersumber dari 50 responden.

3.2. Metode Analisis


3.2.1. Statistik Parametrik dan Non Parametrik
Statistik non-parametrik dapat digunakan ketika salah satu asumsi pada statistik
parametrik tidak dapat terpenuhi (Kazmier dan Pohl, 1984). Asumsi parametrik
tersebut antara lain data yang terdistribusi secara normal dan data yang digunakan
minimal adalah data interval. Pada penelitian ini digunakan dua jenis statistik tersebut
tergantung dari data yang digunakan. Statistik parametrik dan non parametrik yang
digunakan bertujuan untuk melakukan uji beda sebelum dan sesudah responden
mendapatkan bantuan klaster BI.

Untuk dapat yang bersifat rasio, akan digunakan uji-t berpasangan. Uji-t adalah
jenis pengujian statistika untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari nilai yang
diperkirakan dengan nilai hasil perhitungan statistika. Umumnya digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata antara dua populasi dengan
mengambil sampel pada kedua populasi tersebut. Data yang digunakan minimal
interval atau rasio. Pada penelitian ini, uji-t digunakan untuk melihat dampak
infrastruktur pertanian. Jawaban petani diuji apakah berbeda nyata dengan tiga yang
dianggap jawaban netral. Adapun rumusnya adalah:

Keterangan:
Sd = standar deviasi selisih antar dua sampel
d = selisih antar dua sampel (garis di atas
menunjukkan rata-rata)

30
Bab III - METODE PENELITIAN

Untuk data yang bersifat ordinal, uji beda yang dilakukan adalah dengan menggunakan
uji tanda (sign test). Uji ini diaplikasikan untuk masalah hubungan kausal 2 variabel nonmetrik.
Variabel independent (X) terdiri dari 2 kategori (misalkan, A dan B), dengan kasus 2 sampel
berpasangan, dan variabel dependent (Y) minimal mencapai pengukuran ordinal. Sehingga
data sampel dapat dinyatakan dalam n pasang, yakni (YA , YB)1, (YA , YB)2, …, (YA , YB)n dan
misalkan N adalah banyak pasangan yang skor YA ≠ YB.

Ingin diketahui, apakah lokasi pusat data Y pada kedua populasi, berdasarkan dua sampel
berpasangan tersebut berbeda. Untuk itu, hipotesa statistiknya dinyatakan sebagai:
Ho : Median Y di kedua populasi (populasi A dan B) tidak berbeda
H1 : Median Y di populasi A lebih besar dibanding di populasi B
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistik uji S, yakni banyak pasangan yang skor
YA>YB. Ho cenderung benar, ketika nilai S mendekati .

Untuk sampel berukuran besar, statistik S menyebar normal, dengan nilai tengah dan
simpangan baku . Sehingga, statistik S dapat dinormalbakukan menjadi:

Tanda ± 0,5 pada statistik Zhit di atas, dimaksudkan sebagai koreksi kontinuitas, karena
adanya transformasi statistik S (diskrit) menjadi Zhit (kontinu), dengan ketentuan, bila S<hg
maka S+fg namun bila S>hg maka S-hg .

Statistik Zhit menyebar normal baku (Z). Pada output SPSS tersaji nilai

, yakni besar peluang (|Zhit|>Z). Apabila


Exact . Sig .( 2−tailed )
2 <α , atau |Zhit|>Zα maka
disimpulkan tolak Ho, bila sebaliknya terima Ho pada taraf nyata α.

3.2.2. Analisis Rantai Nilai (Value Chain)


Dalam melakukan analisis pemetaan value chain (mapping the chain), dilakukan
identifikasi aliran produk dan aktor-aktor yang terlibat dalam value chain tersebut (Stringer,
2009). Seperti diketahui, pendistribusian barang dari produsen ke konsumen akhir melalui
beberapa middlemen, di antaranya adalah pedagang dan industri pengolahan. Pedagang
dapat dibagi berdasarkan skala usaha (pedagang kecil dan pedagang besar) atau lokasi/
scope pemasaran (pedagang tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, eksportir), dan
atau kombinasi keduanya (lokasi dan skala usaha). Pemetaan value chain diharapkan akan
dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang memberikan nilai tambah terbesar dalam value
chain tersebut.

Pemetaan value chain dapat dibagi menjadi 5, yaitu: (1) pemetaan aktor-aktor yang
terlibat; (2) pemetaan volume penjualan masing-masing aktor di sepanjang value chain; (3)
pemetaan nilai produk di setiap tingkatan value chain; (4) pemetaan proporsi biaya yang
dikeluarkan setiap aktor di sepanjang value chain; dan (5) pemetaan aliran informasi dan
transfer teknologi.

a. Pemetaan Aktor yang Terlibat (Mapping the Actors)


Mapping actor dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang terlibat dalam
suatu value chain (biasanya bermula dari produsen, middlemen hingga konsumen akhir).
31
Bab III - METODE PENELITIAN

Cakupan aktor dapat diperluas dengan bermula dari perusahaan-perusahaan penyedia


input kepada produsen dan seluruh pihak yang terlibat dalam klaster BI.

b. Mapping the Volume


Mapping volume dilakukan untuk memetakan volume penjualan di masing- masing aktor
sehingga dapat mengidentifikasi aliran komoditas dan pangsa penjualan di sepanjang
value chain.

c. Mapping the Marketing Margin


Mapping the Marketing Margin dilakukan untuk mengidentifikasi margin yang diperoleh
oleh setiap aktor dalam klaster BI.

d. Mapping the Information and knowledge transfer


Mapping information and knowledge transfer sangat berguna untuk mengetahui
informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing aktor terkait dengan
komoditas yang terdapat pada value chain tersebut.

3.2.3. Analisis SWOT dan Analytical Hierachy Process (AHP)


Usulan rekomendasi strategi klaster nasional dianalisis dengan menggunakan Analytical
Hierachy Process (AHP) dibantu software Expert Choice 2000. Rumusan roadmap strategis dan
strategi klaster nasional volatile foods dilakukan dengan mengadopsi tahapan perumusan
strategi menurut David (2011) yang terdiri dari tahap input, pencocokan, dan keputusan.

a. Tahap Input
Pada tahap ini, peneliti membuat IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor
Evaluation). Matriks IFE mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap
klaster, sedangkan Matriks EFE menggambarkan peluang dan ancaman setiap klaster.

b. Tahap Pencocokan
Tahap pencocokan dilakukan dengan membuat matriks SWOT untuk mengembangkan 4
jenis strategi, yaitu strategi yang mencocokkan (1) kekuatan dan peluang (SO strategies),
(2) kelemahan dan peluang (WO strategies), (3) kekuatan dan ancaman (ST strategies)
dan (4) kelemahan dan ancaman (WT strategies).

c. Tahap Keputusan
Tahap ini menggunakan AHP untuk mengevaluasi dan memilih strategi berdasarkan
nilai bobot terbesar. Menurut Saaty (1994), AHP merupakan suatu tahapan proses
pembuatan keputusan yang mencakup tahapan-tahapan berikut:
1) Menstrukturkan permasalahan sebagai suatu hierarki atau suatu sistem dengan
lingkaran yang yang saling berhubungan (dependence loop).
2) Menjelaskan pernyataan yang merefleksikan gagasan-gagasan, perasaan atau
intuisi.
3) Merepresentasikan pernyataan (judgement) degan nilai-nilai yang memiliki arti.
4) Menggunakan nilai-nilai tersebut untuk menghitung prioritas elemen dalam hierarki.
5) Menginterpretasikan hasilnya untuk menentukan seluruh keputusan.
6) Menganalisis sensitivitas untuk mengubah pernyataan.

32
Bab III - METODE PENELITIAN

Berikut ini dijabarkan ketiga tahapan tersebut.

1. Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation)
Matriks IFE bertujuan mengidentifikasi faktor lingkungan internal dan mengukur sejauh mana
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sedangkan matriks EFE mengidentifikasi faktor lingkungan
eksternal dan mengukur sejauh mana peluang dan ancaman yang dihadapi. Tahap-tahap yang
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai
berikut (David, 2011):
a. Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal
Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) yang dimiliki. Kemudian dilakukan identifikasi seluruh faktor eksternal (peluang
dan ancaman). Daftar harus spesifik dengan menggunakan persentase, rasio atau angka
perbandingan. Hasil kedua identifikasi faktor-faktor diatas menjadi faktor penentu eksternal
dan internal yang selanjutnya akan diberi bobot.

b. Penentuan Bobot Variabel


Pemberian bobot setiap faktor dengan skala mulai dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0
(paling penting). Pemberian bobot ini berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut dalam
menentukan strategi pengembangan klaster BI.

Penentuan bobot akan dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor strategis
internal dan eksternal kepada stakeholders dengan menggunakan metode ”paired
comparison” (Kinnear dan Taylor, 1997). Metode ini digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap bobot setiap faktor penentu internal. Setiap variabel digunakan skala 1, 2, dan 3
untuk menentukan bobot. Skala yang digunakan untuk menentukan bobot adalah :
1 = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal
3 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal

Bentuk penilaian pembobotan terdiri dari penilaian bobot faktor strategis internal dan
penilaian bobot faktor strategis eksternal. Penilaian bobot faktor strategis internal dapat
dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3. 2. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal

Faktor Strategis Internal A B C D …. Total


A           Xi
B          
C          
D          
….          

Total           n

∑ Xi
i =1

Sumber : David (2011)

33
Bab III - METODE PENELITIAN

Penilaian bobot faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 3.3. Cara membaca
perbandingan dimulai dari variabel baris (indikator vertikal) dibandingkan dengan variabel
kolom (indikator horizontal) dan harus konsisten.

Tabel 3. 3. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal

Faktor Strategis Eksternal A B C D …. Total


A           Xi
B          
C          
D          
….          

n
Total          
∑ Xi
i =1

Sumber : David (2011)

Menurut Kinnear dalam Wibowo (2003), bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan
nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan
rumus:

Di mana:
αi = Bobot Variabel ke-i n = Jumlah Data
Xi = Nilai Variabel x ke-i i = 1, 2, 3, ..., n

c. Penentuan Rating
Penentuan rating oleh stakeholder dilakukan terhadap variabel-variabel. Dalam mengukur
masing-masing variabel terhadap kondisi digunakan skala 1, 2, 3, dan 4 untuk masing-
masing faktor strategis. Matriks IFE dan EFE dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Menurut David
(2011) skala nilai rating untuk matriks IFE (kekuatan dan kelemahan) adalah:

1 = Kelemahan utama/mayor 3 = Kekuatan kecil/minor


2 = Kelemahan kecil/minor 4 = Kekuatan besar/mayor

Sedangkan untuk matriks EFE (peluang dan ancaman), skala nilai rating yang digunakan
adalah :

34
Bab III - METODE PENELITIAN

1 = Tidak berpengaruh 3 = Kuat Pengaruhnya


2 = Kurang kuat pengaruhnya 4 = Sangat kuat pengaruhnya

Penentuan rating yang dilakukan oleh masing-masing responden, selanjutnya akan


disatukan dalam matriks gabungan IFE dan EFE. Untuk memperoleh nilai rating pada matriks
gabungan dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata dan setiap hasil yang memiliki
nilai desimal akan dibulatkan. Adapun ketentuan pembulatan dalam matriks gabungan ini
adalah, jika pecahan desimal berada pada kisaran di bawah 0,5 (<0,5) dibulatkan ke bawah,
jika diperoleh hasil desimal dengan nilai sama atau di atas 0,5 (>0,5) dibulatkan ke atas.
Pembulatan ini tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan secara signifikan (David, 2011).

Selanjutnya dilakukan penjumlahan dari pembobotan yang dikalikan dengan rating


pada tiap faktor untuk memperoleh skor pembobotan. Jumlah skor pembobotan berkisar
antara 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan IFE dibawah 2,5 maka
kondisi internal lemah. Untuk jumlah skor bobot faktor eksternal berkisar 1,0 - 4,0 dengan
rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan EFE 1,0 menunjukkan tidak dapat memanfaatkan
peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Jumlah skor 4,0 menunjukkan respon yang
sangat baik terhadap peluang maupun ancaman yang dihadapinya. Matriks IFE dapat dilihat
pada Tabel 3.4.

Tabel 3. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor


Kekuatan
1 .......................
2 .......................

Kelemahan
1 .......................
2 .......................

Total

Sumber : David (2011)

35
Bab III - METODE PENELITIAN

Sedangkan Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 3.5 berikut ini:

Tabel 3. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE)

Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor


Peluang
1 .......................
2 .......................

Ancaman
1 .......................
2 .......................

Total

Sumber : Sumber : David (2011)

2. Analisis Matriks SWOT


Analisis SWOT merupakan cara sistematis untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan strategi
terbaik di antara berbagai alternatif strategi yang ada. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa
suatu strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan
kelemahan dan ancaman (Rangkuti, 2005).

Faktor-faktor strategis eksternal dan internal merupakan pembentuk matriks SWOT (David,
2011). Analisa SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan
kekuatan dan peluang, meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matriks SWOT terdiri dari
sembilan sel, yaitu empat sel faktor (S, W, O, dan T), empat sel alternatif strategi dan satu sel
kosong (Tabel 3.6).

Terdapat delapan tahap dalam membentuk matriks SWOT, yaitu :


1) Menentukan faktor-faktor peluang eksternal.
2) Menentukan faktor-faktor ancaman eksternal.
3) Menentukan faktor-faktor kekuatan internal.
4) Menentukan faktor-faktor kelemahan internal.
5) Menyesuaikan kekuatan dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi SO.
6) Menyesuaikan kelemahan dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi WO.
7) Menyesuaikan kekuatan dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi ST.
8) Menyesuaikan kelemahan dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi WT.

36
Bab III - METODE PENELITIAN

Tabel 3. 6. Matriks SWOT

Faktor Strategis
Eksternal
Strenghts (S) Weakness (W)
Faktor Strategis
Internal

Kelemahan
Oppurtunities (O) Strategi menggunakan
Strategi WO
Strategi memanfaatkan peluang
kekuatan untuk
untuk mengatasi kelemahan
meningkatkan peluang

Strategi ST Strategi WT
Threats (T) Strategi menggunakan Strategi meminimalkan
kekuatan untuk kelemahan dan menghindari
menghindari ancaman. ancaman.

Sumber : David (2011)

3. Pendekatan Analytical Hierachy Process (AHP)


Pendekatan AHP hampir identik dengan model perilaku politis, yaitu model keputusan
(individual) dengan menggunakan pendekatan kolektif dari proses pengambilan keputusannya.
AHP dikembangkan oleh Saaty (1994) yang dapat memecahkan masalah kompleks dengan
aspek atau kriteria yang diambil cukup banyak. Selain itu kompleksitas disebabkan oleh struktur
masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambil keputusan serta ketidakpastian
data statistik yang akurat bahkan tidak ada sama sekali.

Menurut Saaty (1994), langkah-langkah dalam metode AHP meliputi:


1) Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan.
2) Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan sub-sub
tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling
bawah.
3) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif
atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat
di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan
dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4) Melakukan perbandingan berpasangan sehingga memperoleh judgement seluruhnya
sebanyak n x [(n-1)]/2 buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.
5) Menghitung eigenvalue dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka
pengambilan data diulangi.
6) Menghitung langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki.
7) Menghitung eigenvector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai eigenvector
merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini bertujuan mensintesis judgement dalam
penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hierarki terendah hingga pencapaian
tujuan.
8) Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih besar dari 10% maka penilaian data
judgement harus diperbaiki.

37
Bab III - METODE PENELITIAN

Saaty (1994) menyatakan skala kuantitatif 1 sampai 9 untuk menilai perbandingan tingkat
kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya, seperti pada Tabel 3.7.

Tabel 3. 7. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan

Intensitas
Keterangan Penjelasan
Kepentingan

1 Kedua elemen sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama


pentingnya besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong
penting daripada elemen satu elemen dibandingkan elemen lainnya
yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat kuat


penting daripada elemen menyokong satu elemen dibandingkan
lainnya. elemen lainnya.

7 Satu elemen jelas mutlak lebih Satu elemen yang kuat disokong dan dominan
penting daripada elemen terlihat dalam praktek.
lainnya.

9 Satu elemen mutlak penting Bukti yang mendukung elemen yang satu
daripada elemen lainnya. terhadap elemen lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di
nilai pertimbangan yang antara dua pilihan.
berdekatan.

Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat


satu angka dibanding dengan
aktivitas j maka j mempunyai
nilai kebalikannya dibanding
dengan i.

Sumber: Saaty [1994]

Perhitungan Bobot Elemen


Pada dasarnya formulasi matematis pada model AHP dilakukan dengan menggunakan suatu
matriks. Misalkan dalam suatu sistem operasi terdapat n elemen operasi yaitu elemen-elemen operasi
A1, A2, …., An, maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-elemen operasi tersebut
akan membentuk matriks perbandingan. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hierarkis
paling tinggi di mana suatu kriteria digunakan sebagi dasar pembuatan perbandingan. Selanjutnya
perhatikan elemen yang akan dibandingkan.

38
Bab III - METODE PENELITIAN

Matriks An x n merupakan matriks resiprokal dan diasumsikan terdapat n elemen yaitu w1, w2,
…, wn yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai (judgement) perbandingan secara berpasangan
antara (wi, wj) dapat dipresentasikan seperti matriks tersebut.

wi/wj = a(i,j) ; i,j = 1,2…,n

Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matriks A dengan unsur-unsurnya adalah aij
dengan i,j = 1,2…,n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan membandingkan satu elemen
operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat hirarki yang sama. Misalnya unsur a11 adalah
perbandingan kepentingan elemen operasi a1 dengan elemen operasi A1. Maka nilai unsur a11 sama
dengan 1. Dengan cara yang sama maka diperoleh semua unsur diagonal matriks perbandingan
sama dengan 1. Nilai unsur a12 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1 terhadap
elemen operasi A2. Besarnya nilai a21 adalah 1/a12 yang menyatakan tingkat intensitas kepentingan
elemen operasi A2 terhadap elemen operasi A1.

Bila vektor pembobotan elemen-lemen operasi A1, A2,…, An tersebut dinyatakan sebagai vektor
W dengan W = ( W1, W2,…, Wn) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan
A2 dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A1 terhadap A2, yaitu W1/W2
yang sama dengan a12. Sehingga matriks perbandingan dapat pula dinyatakan sebagai berikut:

Nilai-nilai wi/wj dengan i,j =1,2,…, n diperoleh dari responden yaitu orang- orang yang
berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom
W= (W1, W2, …, Wn) maka diperoleh hubungan

AW = nW ……………...........................................................…………………(1)

Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W maka dapat diselesaikan melalui persamaan
berikut:

[A-nI] W= 0 ………………..........................................................……………..(2)

di mana I adalah matriks identitas.

Persamaan (2) dapat menghasilkan solusi yang tidak nol jika dan hanya jika n merupakan eigenvalue
dari A dan W adalah eigenvector. Setelah eigenvalue matriks perbandingan A tersebut diperoleh,
misalnya λ1, λ2, …, λn dan berdasarkan matriks A yang mempunyai keunikan yaitu aii= 1 dengan
i= 1,2,…,n maka: ∑ λ1 =n . Disini semua eigenvalue bernilai nol kecuali nilai eigenvalue maksimum.
Kemudian jika penilaian yang dilakukan konsisten akan diperoleh nilai eigenvalue maksimum dari
A yang bernilai n. Untuk mendapatkan W maka dapat dilakukan dengan mensubstitusikan harga
eigenvalue maksimum pada persamaan:

AW = λmaks W

39
Bab III - METODE PENELITIAN

Sehingga persamaan 2 menjadi:

[A- λmaksI] W = 0…………..............................................…………………..……(3)

Untuk memperolehharga nol maka yang perlu diset adalah

λmaks I = 0 …………………….................................................…………..…...…..(4)

Berdasarkan persamaan 4) dapat diperoleh harga λmaks Dengan memasukkan harga λmaks
ke persamaan 3) dan ditambah dengan persamaan ∑ Wi2 = 1 maka akan diperoleh bobot masing-
masing elemen operasi (Wi dengan I =1,2,…,n) yang merupakan eigenvector yang bersesuaian
dengan eigenvalue maksimum.

Perhitungan Konsistensi
Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus
mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:
• Hubungan kardinal : aij.ajk = aik
• Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj> Ak maka Ai>Ak

Pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut sehingga matriks
tidak konsisten karena ketidakkonsistenan preferensi seseorang. Dalam teori matriks diketahui
bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pada eigenvalue.
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan sebagai Indeks Konsistensi.

Pengukuran konsistensi dinyatakan melalui suatu indeks yang disebut ‘consistency index’ (CI) ,
adapun rumus CI adalah :

…………………............................................................………....(5)

Di mana : λmaks = eigenvalue maksimum


n = ukuran matriks

Indeks konsistensi (CI) matriks random memiliki skala penilaian 9 (1 sampai 9) beserta kebalikannya
sebagai Indeks Random (RI). Dengan menggunakan besaran CI dan RI maka dapat digunakan suatu
patokan untuk menentukan tingkat konsistensi suatu matriks, yang disebut ‘consistency ratio’ (Saaty,
1991).

………………………………...................................................……....(6)

Keterangan:
CR : rasio konsistensi
CI : indeks konsistensi
RI : Random Consistency Index

Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai Rasio Konsistensi (CR) ≤ 0,1
(Saaty, 1994).

40
Bab IV - GAMBARAN UMUM

BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Lokasi Pilot Project


4.1.1. Gambaran Umum Klaster Padi di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan
Kabupaten Soppeng adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang
merupakan sentra produksi padi. Pada tahun 2014, Kabupaten Soppeng menghasilkan
padi sebesar 297 ribu ton dengan luas panen mencapai 50,8 ribu hektar, meningkat
sebesar 8% dibandingkan tahun 2013 (BPS Sulawesi Selatan, 2015).

Gambar 4. 1. Produksi Gabah Kering Panen di Kabupaten Soppeng, 2010-2014

Sumber: BPS (2015)

Salah satu kecamatan di Kabupaten Soppeng yang merupakan sentra produksi


padi adalah Kecamatan Marioriawa. Pada tahun 2014, produksi beras di kecamatan ini
mencapai 32 ribu ton. Walaupun bukan yang terbesar di Kabupaten Soppeng, namun
kecamatan ini memiliki produktivitas terbesar yaitu 6,16 ton per hektar (BPS Soppeng,
2015).

41
Bab IV - GAMBARAN UMUM

4.1.2. Gambaran Umum Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo, DIY
Kabupaten Kulon Progo merupakan sentra produksi utama cabai di Provinsi Yogyakarta.
Total luas wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah 586.28 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan
88 desa. Lokasi Kabupaten Kulon sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
(Jawa Tengah), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Bantul, sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) dan sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia. Pengembangan klaster cabai di Kabupaten Kulon Progo
ditunjang oleh kondisi iklim dan kesuburan tanah. Hamparan wilayah Kulon Progo berdasarkan
ketinggian tanahnya 17,58% berada pada ketinggian <7m di atas permukaan laut (dpal),
15,20% berada pada ketinggian 8 - 25 m dpal, 22,84% berada pada ketinggian 26-100 m dpal,
33% berada pada ketinggian 101 - 500 m dpal, dan 11,37% berada pada ketinggian >500 m
dpal. Rata-rata curah hujan per bulan sebesar 156 mm dengan keadaan rata-rata curah hujan
dan hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari - April dan bulan November - Desember.

Tabel 4. 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Cabai di Provinsi DIY

Uraian Tahun Rata-Rata


2012 2013 2014 pertumbuhan (%)

Produksi (ton)
11581.6 10920.8 12507.0
Kulon Progo 4.41
(70.4) (63.7) (70.4)
1670.2 1765.1 1224.0
Bantul -12.49
(10.1) (10.3) (6.9)
345.3 253.8 212.0
Gunung Kidul -21.48
(2.1) (1.5) (1.2)
2859.9 4193.8 3816.0
Sleman 18.82
(17.4) (24.5) (21.2)
DIY 16457.0 17133.5 17759.0 3.88
Luas panen (ha)
1435.0 1469.0 1532.0
Kulon Progo 3.33
(53.5) (52.1) (54.9)
305.0 404.0 289.0
Bantul 2.00
(11.4) (14.3) (10.4)
254.0 150.0 132.0
Gunung Kidul -26.47
(9.5) (5.3) (4.7)
689.0 795.0 838.0
Sleman 10.40
(25.7) (28.2) (4.7)
DIY 2683.0 2818.0 2791.0 2.04
Produktivitas (ton/ha)
Kulon Progo 8.07 7.43 8.16 0.96
Bantul 5.48 4.37 4.24 -11.64
Gunung Kidul 1.36 1.69 1.61 9.69
Sleman 4.15 5.28 4.55 6.71
DIY 6.13 6.08 6.36 1.89

Sumber: BPS DIY, 2015

42
Bab IV - GAMBARAN UMUM

Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa lebih dari 60% produksi cabai di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) sepanjang tahun 2012 - 2014 disumbang oleh Kabupaten Kulon
Progo diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Rata-rata pertumbuhan produksi cabai
di Kabupaten Kulon Progo pada periode tersebut sebesar 4,41% per tahun. Terdapat tiga
kecamatan yang menjadi sentra utama cabai di Kabupaten Kulon Progo yaitu Kecamatan
Temon, Wates dan Panjatan.

Demikian juga halnya dengan luas panen, Kabupaten Kulon Progo menyumbang lebih
dari 50% terhadap total luas panen cabai di Provinsi DIY dengan pertumbuhan rata-rata sebesar
3,33% per tahun. Dari sisi produktivitas, Kabupaten Kulon Prugo juga menempati posisi teratas
dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di DIY. Sebagai contoh, pada tahun 2014,
produktivitas cabai di Kabupetan Kulon Progo mencapai 8,16 ton/ha, sementara produktivitas
cabai di kabupatan-kabupaten lainnya di DIY kurang dari 5 ton/ha. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa pengembangan klaster cabai di Kabupaten Kulon Progo dipandang
sudah tepat mengingat besarnya sumbangan komoditas cabai terhadap produksi, luas panen
dan produktivitas di Provinsi DIY. Kondisi iklim di Kabupaten Kulon Progo juga berperan
penting dalam mendukung perkembangan produksi cabai.

4.1.3. Gambaran Umum Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Bawang merah merupakan salah satu komoditas penting dan menjadi sumber penghasilan
utama petani di berbagai negara dunia. Selain Indonesia, produsen penghasil bawang merah
lainnya adalah India dan Tiongkok (FAO, 2010). Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu
sentra produksi bawang merah terbesar di Indonesia selain Kabupaten Brebes dan Probolinggo.
2
Total luas wilayah Kabupaten Nganjuk adalah 1.224,33 km yang terdiri dari 20 kecamatan dan
284 desa/kelurahan. Klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk berkembang baik didukung
kondisi iklim dan kesuburan tanah. Ketinggian tempat berada pada 50 - 59 m dari permukaan
laut dengan rata-rata curah hujan sebesar 1.445,2 mm/tahun dan temperatur 30 – 32 oC.
Selain itu keberadaan sungai Widas sepanjang 69.332 km yang mampu mengairi wilayah
pertanian seluas 430.150 km², sangat menunjang kelangsungan dan keberhasilan usahatani.
Sebelah utara Kabupaten Nganjuk berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan Ponorogo, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Kediri dan Trenggalek, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kediri
dan Jombang (BPS Kabupaten Nganjuk, 2015).

Produksi bawang merah Kabupaten Nganjuk mengalami peningkatan rata-rata 7% pada


periode tahun 2010 - 2014. Produksi bawang merah pada tahun 2014 mencapai 140.229 ton,
di mana Kabupaten Nganjuk memasok sekitar 15% dari produki nasional bawang merah pada
periode tersebut. Produktivitas bawang merah yang tinggi didukung oleh luas areal yang
cukup tinggi dan teknik budidaya yang dilakukan. Di beberapa daerah, telah berkembang
fenomena menanam bawang merah sepanjang musim. Produksi bawang merah dihasilkan
dari tiga musim tanam, yakni Januari - Maret untuk produksi benih, Mei - Juli untuk panen
raya, dan Agustus - Oktober panen musim kemarau. Musim tanam pada musim penghujan
yaitu pada bulan November sampai dengan Desember, sedangkan musim tanam pada musim
kemarau adalah bulan Mei sampai dengan September.

43
Bab IV - GAMBARAN UMUM

Gambar 4. 2. Produksi Bawang Merah tahun 2010-2014 di Kabupaten Nganjuk

Daerah potensial penghasil bawang merah di Kabupaten Nganjuk yaitu Kecamatan Sukomoro,
Gondang, Rejoso, Bagor dan Wilangan dengan potensi areal tanam sebesar 11.000 ha (Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Nganjuk, 2015). Kelima daerah tersebut berada di wilayah bagian
utara dan merupakan wilayah yang saling berdekatan. Kelima kecamatan tersebut memiliki jenis
tanah yang hampir sama, yaitu grumosol (dominan), latosol, andosol, litosol dan sebagian alluvial
dengan pH tanah antara 5,5 – 6,5. Tabel 4.2 menyajikan potensi areal dan potensi produktivitas di
kelima kecamatan sentra bawang merah Kabupaten Nganjuk.

Tabel 4. 2. Potensi Areal dan Produktivitas Bawang Merah di Sentra Produksi Nganjuk

Kecamatan Potensi Areal (ha) Potensi Produktivitas (Kuintal /ha )

Sukomoro 1.800 80 - 200


Gondang 3.100 80 - 200
Rejoso 3.600 80 - 240
Bagor 2.410 80 - 240
Wilangan 975 80 - 220

Sumber: Dispenda Kabupaten Nganjuk (2015)

Varietas bawang merah yang banyak ditanam adalah jenis Bauji/Bauci dan Tajuk (Tanaman
Jawan dari Nganjuk). Varietas Tajuk saat ini sedang dikembangkan sebagai varietas unggulan
bawang merah yang berasal dari Nganjuk. Varietas Tajuk memiliki kelebihan dibandingkan
dengan varietas lainnya, antara lain dapat ditanam pada musim penghujan dan kemarau,
memiliki tingkat rendemen yang cukup tinggi, dan lebih tahan disimpan. Sedangkan varietas

44
Bab IV - GAMBARAN UMUM

Bauji lebih cocok ditanam pada musim penghujan. Pengembangan varietas tersebut
merupakan hasil kerja sama antara para petani dengan Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perguruan tinggi, dan perusahaan benih swasta.

4.2 Gambaran/Karakteristik Umum Responden


Karakteristik responden petani beras, cabai merah dan bawang merah di masing-masing
lokasi penelitian yaitu: Komoditas beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, komoditas
cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan komoditas bawang merah di
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

4.2.1. Jenis Kelamin


Responden dalam penelitian ini adalah petani komoditas beras di Kabupaten
Soppeng, Sulawesi Selatan, cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, dan bawang
merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Responden yang diwawancarai adalah
kepala keluarga sehingga jenis kelamin responden secara keseluruhan adalah laki-
laki.

4.2.2. Umur Responden


Penduduk Indonesia tergolong tenaga kerja dalam rentang usia 15 - 64 tahun.
Faktor usia merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kinerja petani
dalam bertani. Pada umumnya petani berusia lebih muda dapat bekerja lebih optimal
dan memiliki produktivitas yang tinggi. Sebaran umur petani komoditas beras, cabai
merah dan bawang merah dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4. 3. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Petani

Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
No. Kategori Umur
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Orang) (Orang) (Orang)
1 20 - 40 tahun 11 31.43 10 28.57 11 31.43
2 41 - 60 tahun 20 57.14 24 68.57 23 65.71
3 >61 tahun 4 11.43 1 2.86 1 2.86
Jumlah 35 100.00 35 100.00 35 100.00
Rata-Rata Umur 46.11 45.23 45.83

Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa secara keseluruhan petani responden


berusia rata-rata di atas 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa responden merupakan
petani yang sudah berpengalaman dalam budidaya masing-masing tanamannya.
Pengalaman berusahatani padi menjadi tolok ukur kemampuan petani dalam
melaksanakan usaha petaniannya (Puspito, 2004).

45
Bab IV - GAMBARAN UMUM

4.2.3. Pendidikan formal


Pendidikan memiliki peranan penting terhadap produktivitas, karena melalui pendidikan
petani mengenal pengetahuan, keterampilan dan cara-cara baru dalam melakukan
kegiatannya. Tingkat pendidikan dapat dijadikan indikator untuk mengukur produktivitas dan
kreativitas kerja seorang petani (Mashud, 2007). Hal ini merupakan salah satu karakteristik
yang berpengaruh terhadap proses pembentukan pola pikir dan sikap, terutama dalam
menyerap atau mengadopsi teknologi baru. Semakin tinggi tingkat pendidikan, diharapkan
lebih cepat mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Sebaran responden berdasarkan tingkat
pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4. 4. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
Tingkat
No.
Pendidikan Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Orang) (Orang) (Orang)
1 SD 14 40.00 4 11.43 14 40.00
2 SLTP 9 25.71 5 14.29 4 11.43
3 SLTA 11 31.43 26 74.29 16 45.71
4 Perguruan Tinggi 1 2.86 0 - 1 2.86
Jumlah 35 100.00 35 100.00 35.00

Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa pada petani komoditas beras sebagian besar
berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan rendahnya latar belakang pendidikan
petani komoditas beras, di mana usaha yang dijalankan umumnya merupakan usaha yang
bersifat turun temurun. Sedangkan petani cabai merah dan bawang merah sebagian besar
berpendidikan Sekolah Tingkat Lanjutan Atas (SLTA). Hal ini menunjukkan bahwa pada
komoditas cabai merah dan bawang merah petani berpendidikan cukup tinggi.

4.2.4. Pekerjaan Utama


Pada umumnya, semakin lama bertani semakin banyak pengalaman yang dapat diterapkan
sekaligus sebagai pembelajaran musim tanam berikutnya. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pada
ketiga komoditas tersebut sebagian besar petani memiliki pekerjaan utama sebagai petani.
Sebaran responden berdasarkan pekerjaan utama dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5
menunjukkan bahwa bertani adalah pekerjaan utama pada komoditas cabai merah (100%
responden) dan padi (97,14% responden). Adapun untuk komoditas bawang merah, hanya
71,43% dari responden yang merupakan pekerjaan utama, selebihnya sebagai buruh tani
(25,71%) dan wiraswasta (2,86%).

46
Bab IV - GAMBARAN UMUM

Tabel 4. 5. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama

Komoditas
Beras Cabai Merah Bawang Merah
No. Jenis Pekerjaan
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1 Petani 34 97.14 35 100.00 25 71.43
2 Wiraswasta 0 - 0 - 1 2.86
3 Buruh Tani 0 - 0 - 9 25.71
4 Lainnya 1 2.86 0 - 0 -
Jumlah 35 100.00 35 35 100.00

4.2.5. Tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga


Sumber pendapatan rumah tangga petani berasal dari usahatani dan luar usahatani.
Pendapatan rumah tangga petani adalah selisih antara penerimaan hasil usahatani setelah
dikurangi total biaya usahatani. Pengeluaran rumah tangga petani terdiri dari pengeluaran
untuk konsumsi dan investasi. Pengeluaran untuk konsumsi terdiri dari konsumsi pangan dan
konsumsi non pangan, sedangkan investasi terdiri dari investasi pendidikan dan investasi
kesehatan. Data mengenai rata-rata pendapatan dan pengeluaran responden penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4. 6. Rata-Rata Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Responden

Rata-Rata Pendapatan Petani Rata-Rata Pengeluaran Petani


No. Petani Komoditas
(Rp/bulan) (Rp/Bulan)

1 Beras 1,318,571.43 1,011,428.57


2 Cabai Merah 2,370,000.00 1,782,857.14
3 Bawang Merah 1,541,666.67 1,301,612.90

4.2.6. Keterlibatan Petani dalam Klaster


Terdapat berbagai sumber penyebab keterlibatan petani dalam klaster BI. Sebagian besar
petani beras di Kabupaten Soppeng dan petani cabai merah di Kabupaten Kulon Progo terlibat
karena tergabung dalam kelompok tani. Sedangkan petani bawang merah di Kabupaten
Ngawi terlibat dalam klaster BI karena ajakan dari petani lain yang sudah tergabung terlebih
dahulu dalam klaster BI. Tabel 4.7 menunjukkan sebaran responden petani ketiga komoditas
berdasarkan sumber keterlibatan dalam klaster BI.

47
Bab IV - GAMBARAN UMUM

Tabel 4. 7. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Keterlibatan Petani dalam Klaster BI

Komoditas
Sumber Keterlibatan Berassas Cabai Merah Bawang Merah
No. dalam Klaster BI
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1 Diajak petani lainnya 8 22.86 35 100.00 3 8.57
2 Melalui koperasi 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Diikutsertakan oleh
3 1 2.86 0 0.00 0 0.00
Dinas Pertanian
4 Melalui kelompok tani 22 62.86 0 0.00 32 91.43

Melalui petugas
5 4 11.43 0 0.00 0 0.00
penyuluh pertanian

6 Lainnya
Total 35 100.00 35 100.00 35 100.00

48
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

BAB V
DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA
TERHADAP USAHATANI BERAS,
CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.1. Klaster Beras di Kabupatan Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan


Kabupaten Soppeng adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang
merupakan sentra produksi padi. Salah satu kecamatan sentra produksi padi di Kabupaten
Soppeng adalah Kecamatan Marioriawa. Walaupun bukan produsen terbesar, namun kecamatan
ini memiliki produktivitas terbesar yaitu 6,16 ton per hektar (BPS Soppeng, 2015). Dalam
rangka memperkuat ketahanan pangan, Bank Indonesia berinisiatif mengembangkan program
penguatan pangan beras di Sulawesi Selatan yang berlokasi di Desa Patampanua, Kecamatan
Mariorirawa, Kabupaten Soppeng. Program tersebut dilaksanakan dalam bentuk pilot project
yang memiliki tujuan:
1. Pendalaman peran pemerintah daerah surplus dalam meningkatkan atau mempertahankan
ketahanan pangan daerah dan peran pemerintah daerah defisit dalam mengatasi defisit
pangan.
2. Penguatan koordinasi Bank Indonesia dengan pemerintah daerah, antara lain melakukan
fasilitasi pertemuan dengan stakeholders terkait dalam rangka menjaga ketahanan pangan
di pusat dan daerah atau fasilitasi resi gudang.
3. Mereplikasi beberapa contoh model ketahanan pangan di daerah.

Pelaksanaan pilot project dilakukan bekerja sama dengan berbagai stakeholders atas dasar
Nota Kesepahaman No. 14/3/MoU/Mks tanggal 21 September 2012 tentang Pengembangan
Pilot Project Program Ketahanan Pangan Beras di Kabupaten Soppeng. Para pihak tersebut
meliputi: Pemerintah Kabupaten Soppeng, Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan, Sekretariat Badan Koordinasi
Penyuluhan Provinsi Sulawesi Selatan, Perum Bulog Divisi Regional Sulselbar dan PT. Bank
Sulselbar.

Pilot project dilakukan di Desa Patampanua, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng.


Kegiatan dilaksanakan dengan pendekatan integrated farming method, yaitu budidaya padi
(pertanian) diintegrasikan dengan peternakan (sapi) dan perikanan (ikan air tawar) sehingga
tercapai pola pertanian tanpa limbah (zero waste). Limbah dari usahatani padi dapat digunakan
sebagai pakan ternak sapi dan sebaliknya kotoran sapi dapat dijadikan pupuk kandang bagi
tanaman padi. Adapun Gapoktan yang menjadi objek program adalah Gapoktan Marengkalinga
yang memiliki 627 petani anggota dengan luas areal sawah 730 ha. Gambaran kegiatan klaster
dapat dilihat pada Gambar 5.1.

49
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Gambar 5. 1. Rantai Nilai Pilot Project Ketahanan Beras di Kabupaten Soppeng

Melalui pilot project tersebut, diharapkan klaster mampu meningkatkan peran Gapoktan
untuk menampung hasil panen petani sehingga merubah saluran pemasaran dan petani
tidak lagi bergantung pada pedagang. Gabah petani digiling di Rice Milling Unit (RMU) milik
Gapoktan, dan beras yang dihasilkan disalurkan melalui Bulog dan pedagang besar. Perubahan
saluran pemasaran ini dapat meningkatkan pendapatan petani karena harga yang diterima
petani lebih tinggi (Gambar 5.2).

Gambar 5. 2. Saluran Pemasaran Sebelum dan Sesudah Program Klaster

50
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Dalam perkembangannya, kegiatan pilot project tersebut lebih fokus dalam usaha budidaya padi
sedangkan pada usaha peternakan dan perikanan belum terealisasi. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
kegiatan klaster BI dapat dibagi menjadi lima aspek, yang masing-masing memiliki penanggungjawab
yang berbeda. Pada aspek budidaya dan pengolahan, instansi teknis bertanggungjawab pada setiap
kegiatan. Sedangkan BI lebih fokus pada aspek pembiayaan bersama perbankan.

Tabel 5. 1. Kegiatan Klaster BI di Soppeng

No Tahap Kegiatan Kegiatan Penanggung Jawab


Kegiatan Studi Banding ke
1 Pra Pendampingan Bank Indonesia
Yogyakarta
Pemkab Soppeng dan Dinas
Pengadaan Bibit Unggul
Pertanian Sulawesi Selatan
2 Aspek Budidaya
Sekolah Lapangan Pengelolaan Pemkab Soppeng dan Dinas
Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi Pertanian Sulawesi Selatan
Badan Ketahanan Pangan
Pelatihan Pengolahan Hasil Daerah (BKPD) Sulawesi
Tanaman Padi Selatan, Bakorluh Sulawesi
Selatan dan Pemkab Soppeng
3 Aspek Pengolahan
Pembangunan Gudang dan Bank Indonesia, BKPD Sulawesi
Rice Milling Unit Selatan dan Pemkab Soppeng
Pelatihan Penggunaan Rice Dinas Pertanian Sulawesi
Milling Unit Selatan
Pelatihan Manajemen
4 Aspek Manajemen BKPD Sulawesi Selatan
Organisasi
Magang Lembaga Keuangan
Mikro Agribisnis (LKMA) di Bank Indonesia
Bukittinggi
5 Aspek Pembiayaan Asistensi Lembaga Keuangan
Bank Indonesia
Mikro Agribisnis (LKMA)
Pengenalan produk-produk
PT. BNI
perbankan

Gambar 5. 3. Bantuan Lantai Jemur dan Rice Milling Unit (RMU) dari Bank Indonesia

51
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Dampak program klaster yang telah dilaksanakan dapat dilihat dari berbagai aspek
antara lain usahatani, akses terhadap input produksi, akses terhadap pasar input dan output,
pembiayaan, sumber informasi, pendapatan dan kelembagaan.

5.1.1. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Klaster BI Kabupaten Soppeng


Pemasaran gabah dan beras di klaster BI Kabupaten Soppeng dapat digambarkan
melalui empat saluran. Berikut ini dijabarkan lebih detail mengenai saluran pemasaran gabah
dan beras di klaster BI Kabupaten Soppeng.

Gambar 5. 4. Saluran Pemasaran Gabah dan Beras di Klaster BI Soppeng

Gambar 5.4 menunjukkan empat saluran pemasaran gabah dan beras dari petani hingga
konsumen dalam klaster, yaitu :

Saluran 1: Petani → Gapoktan → Kios Pasar → Konsumen


Saluran 2: Petani → Gapoktan → Konsumen
Saluran 3: Petani → Pedagang Pengumpul → Bulog → Kios Pasar → Konsumen
Saluran 4: Petani → Pedagang Pengumpul → Penggilingan Luar Soppeng → Kios Pasar →
Konsumen

Mayoritas petani klaster menjual berasnya kepada pedagang pengumpul (92%) akibat
keterbatasan RMU dan lantai jemur milik Gapoktan yang merupakan bantuan dari BI. Petani
menjual dalam bentuk gabah kering panen (GKP) kepada RMU, kemudian digiling dan
sebagian besar dijual kepada kios di Soppeng dan luar Soppeng. Sedangkan sekitar 30%
dibeli oleh konsumen yang datang langsung ke RMU.

Sementara Gabah Kering Panen (GKP) dari pedagang pengumpul, sebagian besar
(64%) dijual ke penggilingan yang umumnya yang berasal dari luar Soppeng yaitu Sidrap
(Kecamatan Mariorirawa berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidrap) sedangkan sisanya
diserap oleh Bulog Kabupaten Sidrap. Margin yang diambil oleh pedagang antara Rp100 -
Rp300 per kilogram.

5.1.2. Dampak Klaster pada Usahatani


Melalui program klaster BI, petani anggota (survei dilakukan terhadap 35 orang petani)
mengalami peningkatan secara signifikan di seluruh aspek, terutama dari sisi produktivitas
dan harga yang diterima petani sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan (Tabel
5.2). Pelatihan usahatani yang dilakukan bekerja sama dengan Dinas Pertanian serta penyuluh
setempat meningkatkan produktivitas, sedangkan pengolahan dengan memanfaatkan
52
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

RMU meningkatkan harga yang diterima petani. Petani yang semula menjual dalam bentuk
GKP, sekarang dapat menjual dalam bentuk beras. Berdasarkan laporan Kantor Perwakilan
BI Provinsi Sulawesi Selatan, harga jual GKP berkisar antara Rp3.000 – Rp3.500 per kg,
sedangkan harga jual beras Rp7.000 - Rp7.500 per kg. Dengan menjual ke RMU, harga
GKP meningkat dibandingkan harga jual ke pedagang, sehingga Gapoktan dapat membeli
dengan harga yang lebih baik. Kendala yang dihadapi adalah masih terbatasnya kapasitas
lantai jemur Gapoktan sehingga yang dapat menjual ke Gapoktan adalah petani yang panen
terlebih dahulu.

Tabel 5. 2. Dampak Klaster terhadap Usahatani

No Keterangan Sebelum Sesudah t-hitung

1 Beras sebagai komoditas utama (%) 97 100

2 Rata-rata luas lahan yang dimiliki (m2) 5,314.71 5,532.36 1.59*


Status kepemilikan (%)
• Sewa 0.00 0.00
• Milik 52.94 54.29
3
• Gadai 5.88 5.71
• Pinjaman 0.00 0.00
• Lainnya 41.18 40.00

Rata-rata luas lahan yang ditanami


4 5,241.18 5,488.24 1.78**
padi (m2)

5 Rata-rata produksi gabah (kg) 4,135.29 5,489.71 4.45***


6 Biaya rata-rata produksi padi (Rp) 2,186.765 3,386.029 4.76***
7 Komponen biaya terbesar Pengolahan Pengolahan
8 Harga rata-rata gabah (Rp/kg) 2,935.29 3,941.18 17.33***

9 Penerimaan rata-rata usahatani (Rp) 11,254,911.76 21,590,588.24 6.02***

Keterangan:
*** signifikan pada taraf 1%
** signifikan pada taraf 5%
* signifikan pada taraf 10%

5.1.3. Dampak Klaster pada Penggunaan Input Produksi


Melalui pengembangan klaster, terjadi peningkatan produktivitas dan kualitas produk
yang dihasilkan. Adapun penggunaan input-input kimiawi seperti pupuk, pestisida dan
herbisida mengalami penurunan (Tabel 5.3). Perubahan tersebut tidak mengubah tenaga
kerja yang digunakan, baik sewa, perempuan maupun tenaga kerja lokal. Tenaga kerja sewa
dalam hal ini didefinisikan sebagai tenaga kerja di luar keluarga yang dibayar oleh petani,
sedangkan tenaga kerja perempuan didefinisikan sebagai tenaga kerja wanita, baik tenaga
kerja dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sementara tenaga kerja lokal adalah tenaga
kerja yang berasal dari dalam desa tersebut.

53
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Tabel 5. 3. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input Produksi

Perubahan sebelum
dan sesudah mengikuti
Jenis perubahan (%)
klaster (%)

No Keterangan Meningkat
Tidak Berbeda Lain-
Mening- dan berbeda
Berubah berubah Turun jenis nya
kat jenis

1 Produktivitas (kg) 88.23 11.77 96.67 3.33

Penggunaan benih
2 yang disimpan/ 2.94 97.07 100.00
benih sendiri

Penggunaan
3 5.88 94.12 50.00 50.00
benih non-hybrid
Penggunaan
4 11.76 88.23 75.00 25.00
benih hybrid
Penggunaan
5 73.53 26.47 12.00 72.00 16.00
pupuk kimia
Penggunaan
6 32.35 67.65 63.64 36.36
pupuk organik
Penggunaan
7 58.82 41.18 25.00 55.00 20.00
pestisida
Penggunaan
8 29.41 70.59 100.00
herbisida
Penggunaan
9 29.41 70.59 10.00 90.00
fungisida
Penggunaan
10 5.88 94.12 100.00
tenaga kerja sewa
Penggunaan
11 0.00 100.00
tenaga kerja lokal
Penggunaan
12 tenaga kerja 0.00 100.00
perempuan
Kualitas produk
13 yang dihasilkan 88.23 11.77 90.00 3.33 6.67
petani

5.1.4. Dampak Klaster terhadap Pasar Output dan Input


Program klaster memberikan dampak terhadap pasar output dan input antara lain
dari jumlah pedagang, tujuan penjualan dan sumber pembelian input (Tabel 5.4). Jumlah
pedagang bertambah sebagai akibat dari meningkatnya produksi petani anggota Gapoktan
peserta klaster. Selain itu, RMU yang dikelola Gapoktan dapat menjadi alternatif bagi petani
untuk menjual hasil panennya. Namun demikian, keterbatasan kapasitas lantai jemur dan
RMU menyebabkan jumlah pedagang tidak berkurang.

Program klaster juga mengubah sumber pembelian input, terutama benih dan pupuk.
Penyediaan input dilakukan bekerja sama dengan berbagai pihak, misalnya Dinas Pertanian
yang memberikan bantuan benih padi sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan
kualitas beras yang dihasilkan.

54
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Tabel 5. 4. Dampak Klaster terhadap Pasar Output dan Input

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Rata-rata jumlah pedagang 3.17 8.20
2 Petani menjual ke pedagang yang
sama (%)
• Ya 58.82 37.14
• Tidak 41.17 62.86
3 Pembeli utama gabah (%)
• Pedagang pengumpul desa 52.94 42.86
• Pedagang pengumpul kecamatan 41.18 25.71
• Pedagang pengumpul kabupaten 5.88 5.71
• Lainnya 0.00 25.71
4 Alasan menjual Harga lebih tinggi Harga lebih tinggi
5 Lokasi penjualan Pinggir jalan Pinggir jalan
6 Alat transportasi Sepeda Sepeda motor
7 Waktu penjualan Langsung setelah panen Langsung setelah panen

8 Waktu pembayaran 1-7 hari setelah panen 1-7 hari setelah panen
9 Mengetahui tujuan akhir penjualan Mengetahui Mengetahui
beras
10 Tujuan akhir penjualan beras Pasar kabupaten Pasar kabupatan

11 Kegiatan pascapanen yang dilakukan Tidak ada Tidak ada

12 Posisi tawar menawar petani Sesekali melakukan Sesekali melakukan tawar


tawar menawar menawar
13 Sistem penjualan gabah Setelah panen Setelah panen
14 Dampak klaster BI terhadap akses ke
pasar output (%)
• Ya 32.35 51.43
• Tidak 67.65 48.57
15 Sumber pembelian benih (%)
• Kios desa
• Kios kecamatan 94.12 60.00
• Bantuan pemerintah 2.94 2.86
2.94 37.14
16 Sumber pembelian pupuk (%)
• Kios desa
• Bantuan pemerintah 41.18 2.86
58.82 97.14
17 Sumber pembelian obat- obatan Kios desa Kios desa
18 Membeli input pada pedagang yang Ya Ya
sama
19 Dampak klaster BI terhadap akses ke
pasar input (%)
• Ya 35.29 37.14
• Tidak 64.71 62.86

55
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.1.5. Dampak Klaster terhadap Sumber Pembiayaan dan Sumber Informasi


Dari sisi sumber informasi, tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah adanya program
klaster (Tabel 5.4). Salah satu kegiatan klaster adalah fasilitasi pembiayaan dengan melibatkan
Bank Sulselbar. Namun, hal ini belum berjalan dengan baik sehingga tidak terdapat
perubahan sumber modal petani. Belum berjalannya dengan baik kegiatan pembiayaan
dapat disebabkan oleh kebutuhan modal yang tidak terlalu besar pada usahatani padi
sehingga tidak perlu pembiayaan dan dapat juga disebabkan oleh informasi tentang
mekanisme pembiayaan belum tersebar kepada petani yang membutuhkan.

Tabel 5. 5. Dampak Klaster terhadap Sumber Pembiayaan dan Sumber Informasi

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Sumber pembiayaan usahatani padi (%)
• Modal Sendiri 79.41 80.00
• Pinjaman 21.59 20.00
2 Membuat proposal untuk pembiayaan dari lembaga Tidak Tidak
formal
3 Sumber informasi utama aspek budidaya
• Penyuluh 58.82 54.29
• Petani Lainnya 32.35 8.57
• Kelompok tani 8.82 37.14
4 Sumber informasi utama aspek harga
• Pedagang 85.29 74.29
• Petani lainnya 11.76 5.71
• TV 2.94 0.00
• Kelompok tani 0.00 20.00

5.1.6. Dampak Klaster terhadap Pendapatan


Program klaster berdampak pada peningkatan pendapatan rata-rata sekitar 31% bagi
sebagian besar petani. Hal ini disebabkan peningkatan produktivitas dan harga yang
diterima petani. Namun, peningkatan pendapatan tidak dialami oleh petani penggarap yang
menerima upah yang sama dari pemilik lahan.

Tabel 5. 6. Dampak Klaster terhadap Pendapatan

No. Keterangan Respon (%)


1 Dampak klaster BI terhadap pendapatan usahatani
• Naik 88.23
• Tidak berubah 11.77
2 Rata-rata kenaikan pendapatan setelah mengikuti klaster BI 31.00

5.1.7. Dampak Klaster terhadap Kelembagaan


Program klaster terbukti mampu mengembangkan kelembagaan petani, khususnya
pengembangan gapoktan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kelompok tani
yang aktif dalam kegiatan pertanian di wilayah klaster (Tabel 5.7).

56
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Dari 8 (delapan) aspek yang dianalisis, dapat disimpulkan bahwa program klaster di Kabupaten
Soppeng memiliki dampak signifikan terhadap 2 aspek. Pertama, aspek budidaya. Program klaster
mampu meningkatkan jumlah produksi maupun harga yang diterima sehingga mampu meningkatkan
pendapatan petani. Kedua, aspek kelembagaan. Program peningkatan kapasitas kelembagaan
klaster dapat mengaktifkan kembali kelompok-kelompok tani yang berada di bawah Gapoktan
Marengkalinga di Desa Patampanua, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi
Selatan.

Tabel 5. 7. Dampak Klaster terhadap Kelembagaan

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Apakah terdapat kelompok tani Ya Ya
2 Berapa jumlah kelompok tani 6 11
3 Keaktifan dalam kelompok tani Aktif Aktif
4 Apakah terdapat koperasi Ya Tidak
5 Jumlah koperasi 1 0
6 Keaktifan dalam koperasi Tidak terlibat Tidak terlibat

Selain itu, dampak klaster juga dilihat melalui persepsi dengan menggunakan uji tanda
terhadap data ordinal dan berpasangan (Tabel 5.8). Dari 9 (sembilan) aspek yang dilihat, seluruhnya
menunjukkan perbedaan antara sebelum dan sesudah berlangsungnya program klaster pada tingkat
signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa menurut persepsi petani, program klaster bermanfaat
bagi petani.

Tabel 5. 8. Hasil Uji Beda Persepsi Petani terhadap Program Klaster

No Dampak Nilai Z P-value


1 Usahatani 5.29 0.00
2 Akses terhadap Pasar Input 3.01 0.00
3 Akses terhadap Pasar Output 3.18 0.00
4 Finansial 2.27 0.01
5 Informasi Budidaya 5.39 0.00
6 Informasi Harga 2.04 0.02
7 Kelembagaan 5.20 0.00
8 Transportasi 4.59 0.00
9 Logistik 2.67 0.00

Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa dampak terbesar dari kegiatan klaster BI adalah
pada aspek usahatani. Pengadaan bibit unggul dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
terpadu (SLPTT) padi yang diselenggarakan klaster berdampak positif terhadap aspek
budidaya dan usahatani padi yang dilakukan oleh petani anggota klaster. Hal ini terlihat dari
nilai z-hitung pada aspek informasi budidaya dan usahatani yang masing-masing sebesar
5.39 dan 5.29. Dampak klaster selanjutnya dirasakan pada aspek kelembagaan yang
memiliki nilai z-hitung sebesar 5.20. Pelatihan manajemen organisasi yang diberikan klaster
mampu meningkatkan peran dan jumlah kelompok tani padi di Soppeng. Seperti telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, jumlah kelompok tani sebelum dan sesudah adanya

57
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

klaster BI juga meningkat dari semula 6 kelompok menjadi 11 kelompok. Adapun dampak
klaster terhadap aspek-aspek lainnya terutama aspek finansial, informasi harga, dan logistik
masih belum terlalu besar dirasakan manfaatnya oleh petani. Hal ini terlihat dari nilai z-hitung
yang berada pada kisaran angka dua. Oleh sebab itu, ke depan ketiga aspek tersebut perlu
menjadi perhatian utama dalam pengembangan klaster di Kabupaten Soppeng.

5.1.8. Pengembangan Infrastruktur dalam Menunjang Klaster


Infrastruktur merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan
pertanian. Oleh sebab itu, kajian ini juga menggali persepsi petani mengenai tingkat
kepentingan dan kondisi 9 jenis infrastruktur (Tabel 5.9). Dari hasil tersebut terlihat bahwa
sarana pengairan/irigasi merupakan yang terpenting bagi para petani (skor 5), sedangkan
kondisinya merupakan salah satu yang terburuk (skor 1.89). Hal ini menunjukkan bahwa
sarana pengairan merupakan faktor penting dan membutuhkan perbaikan.

Nilai signifikan juga diperoleh pada tingkat kepentingan dan kondisi untuk kelompok
tani. Artinya, petani memiliki persepsi bahwa kelompok usahatani yang dinilai memiliki
kondisi baik merupakan faktor penting. Infrastruktur lainnya yang kondisinya sudah relatif
baik adalah listrik, meskipun listrik tidak terlalu penting apabila dikaitkan dengan aspek
usahatani.

58
Tabel 5. 9. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kabupaten Soppeng

No Variabel Tingkat Kepentingan Kondisi Fasilitas


Responden Responden Responden yang
yang me- yang me- menyatakan kondisi
nyatakan nyatakan fasilitas baik atau

b
)

tas c)

t-test
t-test
penting dan fasilitas sangat baik (%)
sangat pent- tersedia (%)

Signifi- cance

Kondisi Fasili-

Significance b)

Kepentingana)
ing (%)
1 Sarana pengairan/irigasi 5.00 100.00 100.00 1.89 -6.84 *** 8.57
2 Jalan usaha tani 4.83 23.89 *** 97.14 100.00 3.31 2.56 ** 37.14
3 Kelompok tani 4.66 18.18 *** 97.14 100.00 4.20 15.02 *** 97.14
4 Jalan aspal 4.37 9.22 *** 77.14 100.00 3.57 6.73 *** 57.14
5 Pasar kecamatan 4.32 8.07 *** 82.86 97.14 3.57 6.73 *** 57.14
6 Listrik 4.20 7.36 *** 62.86 100.00 3.60 7.14 *** 60.00
7 Fasilitas pergudangan 2.20 -2.14 ** 48.57 51.43 2.05 -2.71 ** 45.71
8 Pasar desa 1.63 -4.12 ** 31.43 40.00 1.57 -4.53 *** 28.57
9 Jaringan telepon 1.26 -6.96 *** 0.00 42.86 1.28 -6.73 *** 0.00
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

59
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.2. Klaster Komoditas Cabai Merah


di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Pengembangan klaster di Kulon Progo dilaksanakan dengan memanfaatkan keberadaan
Aspartan Karya Manunggal (Asosiasi Pasar Tani Karya Manunggal) sebagai kendaraan utama.
Aspartan Karya Manunggal merupakan gabungan dari beberapa asosiasi petani (25 kelompok
tani). Oleh sebab itu, sebelum mengembangkan klaster komoditas cabai merah, BI melakukan
pendekatan terlebih dahulu kepada ketua Aspartan Karya Manunggal dan local champion
kelompok tani yang tergabung dalam Aspartan. Pendekatan tersebut dirasakan lebih efektif
mengingat local champion diharapkan dapat menularkan dan menyebarkan pengetahuan yang
dimiliki kepada petani lainnya. Secara rinci pendekatan dan bantuan yang dilakukan BI dalam
pengembangan klaster cabai merah di Kulon Progo disajikan pada Tabel 5.10. Berdasarkan
tabel tersebut terlihat bahwa intervensi yang dilakukan oleh BI tidak hanya meliputi aspek
produksi (usahatani) saja, tetapi juga meliputi aspek pemasaran, kelembagaan, infrastruktur
usahatani, dan keuangan.

Tabel 5. 10. Intervensi Bank Indonesia Dalam Pengembangan


Klaster Cabai Merah di Kulon Progo

No Tahapan kegiatan Jenis kegiatan


1 Pra pendampingan 1. Audiensi Bupati
2. FGD bersama stakeholder
3. Perjanjian kerja sama dengan PEMDA
4. Need Assessment kelompok tani
2 Pengembangan sektor produksi Bimbingan teknis:
1. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu
(SL-PHT)
2. Manajemen pupuk organik
3. Pengolahan cabai Studi Studi banding:
1. Studi banding ke Muntilan tentang budidaya
cabai dan penanganan hama dan penyakit
2. Studi banding ke Tasikmalaya tentang jaringan
pemasaran
3. Studi banding ke Surabaya tentang olahan
cabai
3 Penguatan kelembagaan 1. Bimbingan teknis dan coaching penguatan
kelembagaan koperasi dan kelompok
2. Bimbingan teknis peningkatan motivasi bagi
pelaku usahatani
3. Coaching wirausahatani
4 Penguatan produk 1. Demplot 1.500 m tanam di luar musim (off
session)
2. Demplot 7.500 m2 penanganan pengendalian
hama
3. Penanaman cabai merah organik di lahan seluas
4 ha
5 Penguatan jaringan dan pemasaran Mengikutsertakan petani pada pameran sebanyak
6 kali, temu usaha asosiasi pedagang cabai DIY dan
pelaku usaha olahan, publikasi, sosialisasi sistem
informasi petani dan nelayan
6 Sarana dan prasarana fisik 1. Fasilitasi 4 unit pasar lelang
2. Alat-alat pertanian
3. Alat transportasi dua unit
7 Akses keuangan 1. Forum linkage perbankan dan UMKM
2. Akses instrumen keuangan lainnya
Sumber: BI Yogyakarta, 2015
60
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Selain memberikan bantuan kepada petani cabai (melalui Aspartan), BI juga memfasilitasi kerja
sama antara Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Karya Manunggal dengan lembaga-lembaga lainnya,
seperti: (1) perbankan, (2) Dinas Pertanian dan Kehutanan, (3) Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP)
DIY, (4) Dinas Koperasi dan UKM, dan (5) Pemda Kulon Progo. Melalui kerja sama tersebut diharapkan
klaster cabai merah dapat terus berkembang walaupun telah memasuki tahap phasing out.

Hal yang menarik dari klaster cabai di Kulon Progo adalah aspek pemasaran. Jika sebelumnya
akses ke pasar dirasakan sangat sulit, melalui program klaster maka hampir seluruh cabai yang
dihasilkan petani dijual melalui pasar lelang yang dikelola oleh kelompok tani anggota Aspartan
Karya Manunggal. Mekanisme pasar lelang disajikan pada Gambar 5.5.

Pengembangan klaster cabai merah di Kulon Progo tidak hanya melibatkan BI, tetapi juga
mendapat dukungan dari lembaga terkait lainnya. Sebagai contoh, Dinas Pertanian Provinsi DIY
memberikan bantuan kendaraan roda tiga dan fasilitas penyimpanan kepada Aspartan Karya
Manunggal. Dinas Pertanian Kabupaten juga memberikan bantuan dalam pengembangan pasar
lelang.

Gambar 5. 5. Pemasaran Cabai Merah dengan Mekanisme Pasar Lelang Di Kulon Progo

Sebelum Pasar Lelang

1 2 3 4 5 6

Pedagang Pedagang Pedagang


Petani Tengkulak Pengepul Besar Pengecer
Konsumen

Sesudah Pasar Lelang


Penyerahan Uang

2
Petani 1
Petani Produksi

Petugas Proses Lelang Transaksi


Tertutup

Pembeli
Pedagang Pengepul

Penyerahan Barang

61
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.2.1. Saluran Pemasaran Cabai Merah Klaster BI Kulon Progo


Secara umum saluran pemasaran cabai merah di Kulon Progo dapat digambarkan
seperti Gambar 5.6.

Gambar 5. 6. Saluran Pemasaran cabai di Klaster BI Kulon Progo

Pasar lokal
10% K

O
Pedagang di N
Pedagang Kramat Jati &
87%
100 di Pasar Peda- 90% Sumatera Kios S
Petani
Lelang gang pasar
10% U
besar
Pasar Kroya
(Jawa Tengah) M
3%
E

Pabrik saus

Berdasarkan Gambar 5.6 terdapat tiga saluran pemasaran cabai yang dominan pada
klaster BI di Kulon Progo, yaitu:

1. Saluran 1: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pasar Lokal  Kios Pasar → Konsumen
2. Saluran 2: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pedagang Besar → Pedagang di
Kramat Jati dan Sumatera → Kios Pasar → Konsumen
3. Saluran 3: Petani → Pedagang di Pasar Lelang → Pabrik Saus → Kios Pasar → Konsumen

Berdasarkan ketiga saluran pemasaran tersebut terlihat bahwa semua responden petani
yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka menjual cabai ke pedagang melalui pasar
lelang dalam bentuk cabai segar. Untuk ketiga saluran pemasaran, harga sangat ditentukan
oleh pasar acuan yaitu Pasar Kramat Jati dan pasar cabai di Sumatera.

Di antara ketiga saluran pemasaran tersebut, saluran pemasaran 2 merupakan yang


paling dominan yaitu sekitar 87% cabai dijual melalui pedagang besar. Saluran pemasaran
tersebut bermula dari petani ke pedagang di pasar lelang, pedagang besar, pedagang di
Kramat Jati, Sumatera dan Pasar Kroya, Jawa Tengah. Penjualan ke pasar Kramat Jati dan
pasar Sumatera lebih mendominasi dibandingkan dengan penjualan ke pasar Kroya. Dilihat
dari sisi margin, secara umum pedagang mengambil margin sebesar 5% untuk penjualan
ke pasar di Kramat Jati dan Sumatera, serta margin sebesar 10% untuk penjualan cabai ke
Pasar Kroya (Provinsi Jawa Tengah). Perbedaan margin tersebut terutama disebabkan oleh
perbedaan volume cabai yang dijual. Margin yang lebih kecil untuk pasar tujuan Kramat Jati
dan Sumatera dikompensasi dengan volume penjualan yang besar.

62
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Pada saluran pemasaran 3, sebagian cabai yang berasal dari pasar lelang (sekitar 3%)
dijual ke pabrik saus. Pedagang mengambil margin sekitar 5% - 10% untuk setiap kilogram
cabai yang dijual.

Sementara pada saluran pemasaran 1, cabai dijual ke pasar lokal di Provinsi DIY, terutama
Pasar Biwangan. Pedagang mengambil margin 10% mengingat volume yang perdagangkan
relatif kecil, yaitu sekitar 10%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar
cabai produksi Kulon Progo dijual ke pasar di luar Provinsi DIY. Berdasarkan analisis saluran
pemasaran tersebut, pembentukan klaster cabai belum bisa mempengaruhi inflasi di tingkat
regional (DIY).

Saat ini, klaster cabai merah di Kulon Progo telah memasuki tahap phasing out.
Dengan demikian, perlu dilakukan analisis dampak yang ditimbulkan oleh klaster tersebut
terhadap usahatani, akses terhadap pasar output dan input, pembiayaan, sumber informasi,
pendapatan dan kelembagaan. Analisis juga dilakukan terkait kendala dan harapan petani
terhadap pengembangan klaster cabai. Dengan demikian, akan dapat diidentifikasi upaya-
upaya yang perlu dilakukan dalam pengembangan klaster cabai merah dari mulai pra-
pendampingan sampai dengan tahap phasing out.

5.2.2. Dampak Klaster BI terhadap Usahatani Cabai Merah


Secara umum, tanaman cabai merupakan komoditas utama yang diusahakan oleh
responden petani baik sebelum maupun setelah mengikuti program klaster (Tabel 5.11).
Setelah mengikuti program klaster, rata-rata luas lahan tanam cabai yang dimiliki semakin
meningkat, sehingga berdampak pada kenaikan biaya produksi cabai. Menurut petani,
komponen biaya terbesar dalam usahatani cabai adalah biaya pupuk. Namun, kenaikan biaya
tersebut dapat dikompensasi dengan kenaikan produksi cabai yang dihasilkan. Dengan
demikian, setelah mengikuti program klaster pendapatan yang diterima oleh petani cabai
mengalami peningkatan.

Tabel 5. 11. Dampak Klaster terhadap Usahatani Cabai

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Cabai sebagai komoditas utama (%) 94.29 97.14
2 Rata-rata luas lahan yang dimiliki (m2) 4,228.57 5,877.14

3 Status kepemilikan (%)


• Sewa 5.71 8.57
• Milik 77.14 68.57
• Gadai - -
• Pinjaman - -
• Lainnya 17.14 22.86
4 Rata-rata luas lahan yang ditanami cabai (m2) 2,697.14 4,660.00

5 Rata-rata produksi cabai (kg) 2,320.00 4,182.14


6 Biaya rata-rata produksi cabai (Rp) 8,645,714.29 19,842,857.14
7 Komponen biaya terbesar Pupuk Pupuk
8 Harga rata-rata cabai (Rp/kg) 11,034.29 23,900.00
9 Penerimaan rata-rata petani (Rp) 5,763,714.29 53,510,000.00

63
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Jika diamati lebih lanjut, kenaikan produksi yang dialami petani terutama bersumber dari
kenaikan produktivitas. Seluruh responden (100%) sepakat bahwa setelah mengikuti program
klaster, produktivitas cabai yang dihasilkan mengalami peningkatan. Kenaikan produktivitas tersebut
ditunjang dengan semakin membaiknya kemampuan petani dalam menggunakan input-input produksi
yang dibutuhkan dalam produksi cabai. Hal ini terlihat pada Tabel 5.12 yang menggambarkan siklus
produksi. Setelah mengikuti program klaster, penggunaan benih cabai hybrid semakin meningkat.
Benih merupakan salah satu input yang penting dalam usahatani. Jika menggunakan benih unggul,
maka output yang dihasilkan juga semakin meningkat. Sama halnya dengan penggunaan pupuk,
obat-obatan dan tenaga kerja yang mengalami peningkatan setelah menjadi anggota klaster. Lebih
dari 90% responden menyatakan bahwa kualitas produk yang dihasilkan semakin membaik setelah
mengikuti program klaster.

Tabel 5. 12. Dampak Klaster terhadap Penggunaan Input dan Aspek Usahatani Lainnya

Perubahan
sebelum dan
Jenis Perubahan (%)
seudah mengikuti
klaster BI (%)
No Keterangan
Meningkat Turun
Tidak Berbeda dan dan
Berubah Meningkat Turun
berubah jenis berbeda berbeda
jenis jenis
1 Produktivitas (kg) 85.71 14.29 100.00
Penggunaan
benih yang
2 28.57 71.43 40.00 10.00 50.00
disimpan/ benih
sendiri
Penggunaan
3 benih non- 28.57 71.43 10.00 40.00 10.00 40.00
hybrid
Penggunaan
4 88.57 11.43 83.87 3.23 12.90
benih hybrid
Penggunaan
5 80.00 20.00 42.86 53.57 3.57
pupuk kimia
Penggunaan
6 85.71 14.29 96.67 3.33
pupuk organik
Penggunaan
7 60.00 40.00 52.38 33.33 14.29
pestisida
Penggunaan
8 62.86 37.14 72.73 27.27
herbisida
Penggunaan
9 62.86 37.14 68.18 27.27 4.55
fungisida
Penggunaan
10 tenaga kerja 54.29 45.71 84.21 15.79
sewa
Penggunaan
11 tenaga kerja 40.00 60.00 85.71 14.29
lokal
Penggunaan
12 tenaga kerja 65.71 34.29 91.30 8.70
perempuan
Kualitas produk
13 yang dihasilkan 91.43 8.57 96.88 3.13
petani

64
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.2.3. Dampak Klaster terhadap Pasar Output


Keberadaan klaster juga berdampak positif terhadap akses petani ke pasar output.
Seperti terlihat pada Tabel 5.13, rata-rata jumlah pedagang yang bersedia membeli cabai
produksi petani klaster semakin meningkat. Pedagang-pedagang tersebut membeli cabai di
pasar lelang milik kelompok tani. Rata-rata terdapat 7 orang pedagang yang menawar cabai
petani, termasuk pedagang di pasar lelang. Keberadaan pasar lelang tersebut berdampak
pada meningkatnya daya tawar petani, karena petani dapat menegosiasikan harga dengan
pedagang. Sebelumnya, petani selalu menerima harga yang ditawarkan oleh pembeli.

Menurut hasil analisis, sebagian besar cabai yang dihasilkan oleh petani di Kulon Progo
dijual ke pasar cabai di Jakarta (Kramat Jati). Dengan demikian, keberadaan klaster yang
bertujuan meredam inflasi di tingkat regional masih belum dapat dicapai mengingat cabai
yang dihasilkan petani masih dijual keluar wilayah DIY.

Tabel 5. 13. Dampak Klaster terhadap Pasar Output

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Rata-rata jumlah pedagang 3.17 7.23
2 Petani menjual ke pedagang yang sama (%)
· Ya 31.43 37.14
· Tidak 68.57 62.86
3 Pembeli utama cabai (%)
• Pedagang pengumpul desa 85.71
• Pedagang pengumpul kecamatan 2.86 42.86
• Pedagang pengumpul kabupaten 2.86 45.71
• Lainnya 8.57 11.43
4 Alasan menjual Harga lebih tinggi Harga lebih tinggi
5 Lokasi penjualan Di kebun Pasar lelang (melalui
kelompok)
6 Alat transportasi Motor

7 Waktu penjualan Pasar kabupaten Langsung setelah


panen
8 Waktu pembayaran Pada saat 1-7 hari setelah
penjualan penjualan
9 Mengetahui tujuan akhir penjualan cabai Mengetahui Mengetahui

10 Tujuan akhir penjualan cabai Pasar Ibu kota Pasar Ibu Kota

11 Kegiatan pascapanen yang dilakukan Sortasi Sortasi

12 Insentif sortasi Harga lebih tinggi Harga lebih tinggi


13 Posisi tawar menawar petani Menerima harga Sesekali melakukan
yang ditawarkan tawar menawar

65
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.2.4. Dampak Klaster terhadap Pasar Input


Dari sisi pasar input, terdapat perbedaan tempat pembelian input sebelum dan setelah
responden mengikuti program klaster. Sebelumnya, responden membeli benih, pupuk dan
obat-obatan di kios desa. Melalui program klaster, peran kelompok tani dalam penyediaan
input kepada anggota semakin meningkat, sehingga petani dapat membeli input terutama
benih dan pupuk melalui kelompok tani.

Tabel 5. 14. Dampak Program Klaster terhadap Pasar Input

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Sumber pembelian benih (%)
Kios desa 65.71 8.57
Kios kecamatan 8.57 91.43
Kelompok 25.71
2 Sumber pembelian pupuk (%)
Kios desa 85.71 48.57
Kios kecamatan 2.86
Bantuan pemerintah 11.43 5.71
Kelompok tani 45.71
3 Sumber pembelian obat-obatan (%)
Kios Desa 97.14 85.71
Kios kecamatan 2.86 2.86
Kelompok 11.43
4 Membeli input pada pedagang yang sama
Ya 31.43 40.00
Tidak 68.57 60.00

5.2.5. Dampak Klaster terhadap Aspek Pembiayaan


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, intervensi yang dilakukan BI tidak hanya difokuskan
pada aspek usahatani, tetapi juga berusaha menjembatani petani dengan lembaga
pembiayaan, khususnya dalam meningkatkan kemampuan petani menyusun proposal.
Setelah menjadi anggota klaster, terdapat peningkatan, baik dari segi jumlah proposal
maupun jumlah pinjaman yang diajukan. Sumber pembiayaan tersebut terutama berasal
dari kredit yang diberikan perbankan (BRI).

Tabel 5. 15. Dampak Program Klaster terhadap Aspek Pembiayaan

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Sumber pembiayaan usahatani (%)
Pribadi 65.71 20.00
Pinjaman 34.29 80.00
2 Membuat proposal untuk pembiayaan dari Ya Ya
lembaga formal
3 Rata-rata proposal yang diajukan 1.00 2.00
4 Lembaga pembiayaan pengajuan proposal BRI BRI, BPD
5 Rata-rata besaran kredit yang diajukan (Rp) 2,323,529.41 10,328,571.43

66
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.2.6. Dampak Klaster terhadap Sumber Informasi


Peran kelompok tani juga meningkat setelah mengikuti program klaster. Hal ini terlihat
dari meningkatnya jumlah responden yang mengakses informasi mengenai teknik budidaya
cabai dari kelompok tani. Demikian juga halnya dengan informasi harga cabai di pasar, di
mana hampir 50% mengakses informasi tersebut dari kelompok tani. Selain itu, fasilitasi
studi banding yang dilakukan BI juga mampu meningkatkan pengetahuan petani mengenai
teknik budidaya cabai.

Tabel 5. 16. Dampak Klaster BI terhadap Sumber Informasi

No Sumber Informasi Utama Sebelum Sesudah


1 Informasi mengenai cara berbudidaya cabai
Petani/Saudara/tetangga 74.29 40.00
Kelompok tani 25.71 48.57
Penyuluh 25.71 17.14
Studi banding 5.71
2 Informasi mengenai harga cabai
Pedagang 71.43 22.86
Petani/Saudara/tetangga 45.71 54.29
Kelompok tani 17.14 45.71

5.2.7. Dampak Klaster terhadap Pendapatan


Program klaster cabai juga berdampak positif terhadap pendapatan rumah tangga
petani. Mengingat cabai merupakan tanaman utama yang diusahakan oleh responden,
maka kenaikan produksi cabai secara otomatis juga akan meningkatkan pendapatan rumah
tangga petani. Sebanyak 88% responden menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga
mereka mengalami peningkatan setelah menjadi anggota klaster. Secara rata-rata, besaran
kenaikan pendapatan rumah tangga yang diperoleh responden setelah menjadi anggota
klaster adalah sebesar 41.97%.

Tabel 5. 17. Dampak Klaster terhadap Pendapatan

No Keterangan Respon (%)


1 Dampak klaster BI terhadap pendapatan usahatani
Naik 88.57
Tidak berubah 11.43
2 Rata-rata kenaikan pendapatan setelah mengikuti klaster BI 41.97

5.2.8. Dampak klaster terhadap Kelembagaan


Tidak terdapat perbedaan signifikan terkait kelembagaan sebelum dan setelah adanya
klaster BI. Sebelum mengikuti program klaster, responden menyatakan telah berperan

67
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

aktif pada kelompok tani yang ada di lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan klaster cabai yang dilakukan dengan memanfaatkan Aspartan sebagai
‘kendaraan’ utama merupakan keputusan yang tepat, karena Aspartan merupakan asosiasi
dari kelompok tani. Kelembagaan lainnya seperti koperasi tidak begitu berperan penting
dalam pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo.

Tabel 5. 18. Dampak Klaster BI Terhadap Kelembagaan

No Keterangan Sebelum Sesudah


1 Apakah terdapat kelompok tani
Ya 97.14 100
2 Jumlah kelompok tani 9 9
3 Keaktifan dalam kelompok tani 80 82.86
Ya
4 Apakah terdapat koperasi 45.71 48.57
Ya
5 Jumlah koperasi 1 1
6 Keaktifan dalam koperasi 31.43 31.43

5.2.9. Persepsi Petani tentang Dampak Kegiatan Klaster


Berdasarkan hasil uji z, pada Tabel 5.19 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata
dari persepsi petani cabai di Kulon Progo mengenai program klaster. Nilai z yang signifikan
dan bertanda positif menunjukkan bahwa program klaster BI memberikan dampak yang
lebih baik terhadap sembilan aspek yang dianalisis dibandingkan sebelumnya. Petani
cabai di Kulon Progo memiliki persepsi bahwa program klaster BI terutama memberikan
dampak positif terhadap usahatani cabai seiring dengan meningkatnya akses terhadap
informasi harga. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, klaster BI banyak
memberikan bantuan dari aspek usahatani, misalnya melalui bimbingan teknis, demplot
dan pelatihan-pelatihan kepada petani (melalui local champion). Melalui program-program
tersebut, petani merasa kemampuannya dalam budidaya cabai semakin meningkat. Selain
itu, meningkatnya akses terhadap informasi harga terjadi terutama karena berkembangnya
pasar lelang. Petani dapat mengetahui kondisi terkini dari harga cabai di pasar melalui
pengurus pasar lelang. Dengan demikian, peran pedagang tengkulak dalam penentuan
harga akan semakin berkurang. Akses terhadap pasar cabai juga semakin meningkat karena
petani dapat menjual cabainya melalui pasar lelang.

Lebih lanjut, program klaster di Kulon Progo juga berdampak positif terhadap aspek
kelembagaan, pasar input dan logistik (terutama input usaha tani). Aspek kelembagaan
yang dirasakan manfaatnya oleh petani adalah penguatan peran kelompok tani terutama
di pasar lelang. Melalui bimbingan yang diberikan klaster, kelompok tani yang merupakan
pengurus pasar lelang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pasar lelang secara
lebih baik. Dampak positif yang terjadi di pasar input terjadi terutama karena meningkatnya
peran kelompok tani dalam hal penyediaan input berikut logistik input usahatani. Setelah
ada klaster, kelompok tani menyediakan input produksi seperti benih cabai dan pupuk
kepada para anggotanya. Dampak positif klaster selanjutnya terkait dengan peningkatan
akses petani terhadap lembaga keuangan (misalnya kredit KUR BRI). Seperti diketahui, untuk
mendapatkan kredit petani perlu mengajukan proposal kepada pihak bank. Melalui pelatihan

68
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

yang diberikan klaster, kemampuan petani dalam menyusun proposal semakin meningkat.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa program klaster berdampak positif terhadap
pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo.

Tabel 5. 19. Persepsi Petani Cabai di Kulon Progo Terhadap Program Klaster

No Dampak Z P-value
1 Usahatani 5.39 0.00
2 Informasi Harga 5.39 0.00
3 Akses terhadap Pasar Output 5.29 0.00
4 Kelembagaan 5.29 0.00
5 Transportasi 5.20 0.00
6 Informasi Budidaya 5.10 0.00
7 Akses terhadap Pasar Input 5.00 0.00
8 Logistik 4.90 0.00
9 Finansial 4.29 0.00

5.2.10. Pengembangan Infrastruktur dalam Menunjang Klaster


Meskipun program klaster berdampak positif terhadap petani cabai di Kulon Progo,
namun untuk pengembangan komoditas cabai lebih lanjut diperlukan sejumlah infrastruktur
pendukung. Untuk itu, dalam penelitian ini juga dianalisis tingkat kepentingan infrastruktur
dan kondisi dari infrastruktur tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 5.22. Nilai t-test
yang signifikan menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat kepentingan/kondisi fasilitas
tersebut dengan nilai rata-rata populasi (netral, angka 3). Fasilitas-fasilitas yang bertanda
signifikan mengindikasikan bahwa responden memiliki persepsi yang berbeda nyata dengan
persepsi rata-rata populasi.

Secara umum, seluruh fasilitas pada Tabel 5.22 dirasa penting oleh responden. Fasilitas
yang dipandang paling penting adalah jalan usahatani (akses jalan yang menuju kebun cabai
petani) dengan tingkat kepentingan sebesar 4.80. Namun demikian, kondisi jalan usahatani
ternyata masih buruk, terlihat dari skor yang hanya sebesar 2.74. Nilai yang signifikan pada
tingkat kepentingan dan kondisi fasilitas tersebut menunjukkan bahwa jalan usahatani
merupakan infrastruktur yang menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan semua pihak
terkait untuk diperbaiki dalam rangka pengembangan komoditas cabai di Kulon Progo. Selain
itu, aspek kelompok tani mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi dan kondisi yang baik.
Nilai siginifikan pada tingkat kepentingan dan kondisi kelompok tani menunjukkan persepsi
petani bahwa kelompok usahatani merupakan faktor penting dan didukung oleh kondisi
yang baik.

69
70
Tabel 5. 20. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Fasilitas di Kulon Progo dalam rangka
Menunjang Komoditas Cabai

Tingkat kepentingan Kondisi Fasilitas

Responden
Respon
yang me-
den yang
Responden nyatakan
No Variabel me-
yang me- kondisi
nyatakan
nyatakan fasilitas

t-test
t- test
fasilitas
penting tersebut
tersebut

Significance)b
Significance)b

Kepentingan)a
dan sangat baik atau

Kondisi Fasilitas)c
tersedia
penting (%) sangat baik
(%)
(%)
1 Jalan usahatani 4.80 26.23 *** 100.00 97.14 2.74 -1.46 * 28.57
2 Listrik 4.80 26.23 *** 100.00 100.00 3.80 4.76 *** 80.00
3 Terminal agribisnis 4.66 20.36 *** 100.00 94.29 3.69 5.65 *** 71.43
Kelompok tani 4.63 19.65 *** 100.00 100.00 3.94 11.5
4 8 *** 91.43
5 Jalan aspal 4.60 19.04 *** 100.00 94.29 2.88 -0.50 42.86
Fasilitas pendingin 4.60 17.11 *** 97.14 0.00
6 (cold chain) 0.00
Jaringan telepon 4.54 13.03 *** 94.29 100.00 3.89 12.9
7 8 *** 85.71
Fasilitas pergudangan 4.46 17.06 *** 100.00 91.43 3.61
8 3.73 ** 71.43
Sarana pengairan/irigasi 4.34 7.53 *** 85.71 77.14 3.34 1.28
9 71.43
10 Pasar desa 4.00 8.62 *** 88.57 54.29 2.50 -1.63 * 22.86
11 Pasar kecamatan 3.97 8.67 *** 88.57 88.57 3.00 0.00 31.43
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

12 Koperasi 3.97 7.32 *** 85.71 51.43 2.72 -0.86 25.71


Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.3. Klaster Bawang Merah di Kabupatan Nganjuk,


Provinsi Jawa Timur
Klaster bawang merah BI dibentuk bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten
Nganjuk pada tanggal 19 Februari 2014 atas dasar Kesepakatan Bersama antara Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kediri dengan Pemerintah Kabupaten Nganjuk Nomor 16/21/DPAU/
Kd dan Nomor 415/411.011/2014 tentang Kerja sama Pengembangan Ekonomi Daerah. Desa
Mojorembun, Kecamatan Rejoso merupakan salah satu sentra bawang merah binaan BI. Tujuan
pengembangan klaster bawang merah terkait dengan pelaksanaan tugas Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Kediri yaitu:
1. Sinergi kegiatan dalam rangka stabilisasi produksi dan harga bawang merah untuk
mendukung ketersediaan secara berkelanjutan dan menekan gejolak harga dengan
melibatkan/mengoptimalkan peran para pihak terkait terutama petani bawang merah
dalam bentuk kegiatan fasilitasi/pemanfaatan/pengelolaan gudang secara optimal.
2. Bersama pihak terkait meningkatkan pengetahuan dan keterampilan budidaya bawang
merah yang memenuhi asas keamanan pangan dan pencegahan pencemaran lingkungan
melalui penerapan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices).
3. Penguatan kelembagaan kelompok tani dan/atau Gabungan Kelompok Tani termasuk
upaya peningkatan pengetahuan pengelolaan ekonomi rumah tangga petani melalui
program keuangan inklusif (financial inclusion) antara lain program Tabunganku (sosialisasi,
promosi, dan implementasi program).
4. Meningkatkan akses petani/pedagang dan para pihak yang berperan dalam rantai nilai
bawang merah terhadap sumber daya keuangan/lembaga perbankan bekerja sama
dengan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).

Mengingat komoditas bawang merah merupakan salah satu komoditas volatile foods
yang dapat berdampak terhadap inflasi, maka pada tanggal 5 Juni 2015, Tim Pengendalian
Inflasi Daerah Kota Kediri dan Asosiasi Penangkaran Benih Bawang Merah Kabupaten Nganjuk
menandatangani Perjanjian Kerja Sama tentang Penyediaan Informasi dan Kebutuhan
Komoditas Bawang Merah yang tertuang dalam SK Nomor 5/TPID-Kd/Pk/2015. Perjanjian
tersebut berlaku selama 2 (dua) tahun. Maksud dan tujuan disusunnya Perjanjian Kerja Sama
tersebut adalah:

1. Memastikan ketersediaan komoditas Bawang Merah dari Asosiasi Penangkaran Benih


Bawang Merah Kabupaten Nganjuk untuk Kota Kediri;
2. Menjalin kemitraan strategis dengan Pelaku Usaha bahan pangan dalam rangka menjaga
ketersediaan dan memenuhi kebutuhan bahan pangan di Kota Kediri.

Adapun ruang lingkup Perjanjian Kerja Sama (PKS) meliputi beberapa kegiatan sebagai
berikut:

1. Penyediaan komoditas Bawang Merah pada saat bulan puasa Ramadhan, Hari Raya Idul
Fitri, Hari Raya Natal dan Tahun Baru, serta momen tertentu yang menyebabkan harga
komoditas Bawang Merah di Kota Kediri mengalami kenaikan di luar kewajaran;
2. Penyediaan komoditas Bawang Merah sesuai dengan kebutuhan dan permintaan, yang
dibeli berdasarkan harga dasar Asosiasi Penangkaran Benih Bawang Merah Kabupaten
Nganjuk;
3. Kegiatan lainnya yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak.

71
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Program kerja pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk yang


dilakukan selama tahun 2014 sampai dengan 2016 berupa pendampingan, antara lain dari
aspek budidaya, penguatan kelembagaan, pengolahan, maupun pembangunan gudang.
Program kerja dan rincian kegiatan pada periode tersebut disajikan pada Tabel 5.21.

Tabel 5. 21. Program Kerja dan Kegiatan Pendampingan Klaster Bawang Merah Kabupaten
Nganjuk Tahun 2014-2016

Tahapan Program Kerja Rincian kegiatan


Tahun 2014
Melakukan a. Menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan kuesioner
identifikasi survei.
komoditas, b. Melakukan pertemuan dengan dinas pertanian Kab.
lokasi, dan Nganjuk dan dinas terkait dalam rangka program
kebutuhan ketahanan pangan termasuk pengembangan klaster
Inisiasi bantuan teknis komoditas bawang merah dengan pendekatan rantai
nilai berbasis pasar (market based value chain).
c. Melakukan kerja sama dengan universitas
Muhammadiyah Malang untuk melakukan penelitian
tentang: (1) pemetaan rantai nilai; (2) identifikasi
kebutuhan bantuan teknis; (3) profil dan kelayakan
usaha bawang merah
Pembentukan MoU dan SPK a. Penandatanganan MoU antara Bank Indonesia Kediri
Klaster Kerja sama dengan Bupati Nganjuk.
Pengembangan b. Penandatanganan SPK antara Bank Indonesia dengan
Klaster Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk.
Penguatan Pemberian a. Melakukan pendampingan penguatan kelembagaan
aspek budidaya Bantuan Teknis dengan memfasilitasi pembentukan asosiasi produsen
bawang merah Kab. Nganjuk
b. Fasilitasi demplot bawang merah organik sesuai
keadaan agroklimat sekaligus untuk pendalaman
dan pemantapan produksi bawang merah bibit
serta memenuhi deskripsi varietas unggul baru jenis
“Tajuk” yang akan dilepas berdasarkan usulan asosiasi
penangkar benih bawang merah kabupaten Nganjuk.
c. Fasilitasi pelatihan kepada kelompok tentang
pendalaman petunjuk teknis pelepasan varietas benih
bawang merah bekerja sama dengan Dinas Pertanian
Kab. Nganjuk, UPT Pengawasan Sertifikasi Benih
Tanaman Pangan dan Hortikultura (PSBTPH), serta
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur
Tahun 2015
Bantuan Teknis a. Pelaksanaan panen bawang merah hasil demplot
Pendampingan untuk pengembangan varietas bawang merah
Pengembangan unggulan kab. Nganjuk (Tajuk).
Varietas Bawang b. Kunjungan lapangan sekaligus untuk melakukan
Merah Unggulan monitoring dan koordinasi program kerja klaster.
Peningkatan Bantuan teknis Fasilitasi pelatihan pengolahan bawang goreng kepada
nilai tambah pemberdayaan ibu-ibu petani bawang merah.
komoditas wanita tani

72
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Lanjutan Tabel 5. 21.

Tahapan Program Kerja Rincian kegiatan


Penguatan Bantuan teknis a. Memfasilitasi pelaksanaan magang budidaya tanaman
komoditas untuk perbaikan pangan organik berbasis pertanian terintegrasi
kualitas produksi dengan teknologi alfaafa ke Yogyakarta.
b. Memfasilitasi FGD Produksi Bawang Merah dalam
rangka merespon adanya serangan hama dan
penyakit.
c. Monitoring demplot bawang merah dengan teknologi
fermentasi alfaafa dan penerapan lampu cahaya (light
trap)
Pengembangan Bantuan teknis Survei rencana pembangunan gudang bawang merah
klaster untuk menjaga
stock dan harga
bawang merah di
klaster
Tahun 2016
Penguatan Memperkuat a. Melakukan pendampingan dalam penyusunan
kelembagaan kelembagaan Standard Operational Procedure (SOP) pemanfaatan
Gapoktan melalui gudang bawang untuk mendukung penyediaan bibit
pemanfaatan bawang merah dan perputaran keuangan petani.
fungsi Bantuan teknis yang akan dilakukan:
gudang untuk 1. Fasilitasi rapat dengan Gapoktan untuk
mendorong akses pembahasan awal penyusunan SOP operasional
pembiayaan gudang bawang.
2 . Fasilitasi penyusunan draft SOP operasional
gudang bawang.
3 . Pelatihan pembukuan untuk pengurus Gapoktan
dan pengelola gudang bawang.
4 . Fasilitasi pemberian informasi produk pembiayaan
perbankan dan non bank kepada petani.
b. Pemberian informasi tentang perencanaan keuangan
keluarga kepada para petani.
c. Fasilitasi pengurusan sertifikasi tanah.
1. Identifikasi kebutuhan pembiayaan dengan agunan
sertifikasi tanah: membuat draft survei, melakukan
survei, dan evaluasi hasil survei.
2. Menyusun rencana kegiatan berdasarkan hasil
survei.
3 . Pelaksanaan kegiatan pendampingan yang
diperlukan, antara lain: - fasilitasi pertemuan
dengan BPN dan bank pemberian informasi
kepada petani fasilitasi pengurusan oleh KKMB dan
BPN fasilitasi pembiayaan oleh bank.

73
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Lanjutan Tabel 5. 21.

Tahapan Program Kerja Rincian kegiatan


Peningkatan Mendorong a. Mendorong percepatan pengurusan sertifikasi benih
jangkauan Peningkatan “Tajuk” agar benih bawang merah Nganjuk dapat
pemasaran Akses Pasar dipasarkan secara lebih luas, melalui pertemuan
dengan Dinas Pertanian Kab. Nganjuk dan Asosiasi
Penangkar Benih Kab. Nganjuk.
b. Mengoptimalkan fungsi gudang bawang merah
untuk mendukung ketersediaan stok bawang merah
dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pasar
melalui pembuatan SOP, manajemen stok dan
pelatihan pembukuan dalam mendukung pemenuhan
kebutuhan pasar.
Peningkatan Mendorong a. Memperbaiki unsur hara tanah untuk meningkatkan
produktivitas Peningkatan kualitas produksi, melalui penggunaan kompos dan
Produksi Bawang pupuk kandang dengan mengimplementasikan
Merah teknologi fermentasi alfaafa. Bantuan teknis yang
diberikan berupa:
1. Pelatihan dan workshop teknik melakukan
fermentasi dengan menggunakan teknologi alfaafa.
2. Melakukan demplot budidaya bawang merah
dengan menggunakan kompos dan pupuk
kandang yang difermentasi dengan alfaafa.
3. Melakukan monitoring secara berkala, yaitu:
pelaksanaan fermentasi pemindahan pupuk ke
lahan perkembangan vegetatif perkembangan
generatif Hasil produksi (panen)
b. Mengimplementasikan penggunaan light trap
untuk mengurangi serangan serangga dan hama
pengganggu.
c. Fasilitasi pertemuan kelompok untuk membahas
berbagai persoalan terkait peningkatan produksi
bawang merah.

Sumber: KPwBI Kediri (2015)

Program klaster fokus memberdayakan petani bawang merah di Kecamatan Rejoso, Kabupaten
Nganjuk, dengan memberikan pendampingan dari aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas
produksi. Jumlah petani binaan klaster mencapai 265 (2015) orang dengan jumlah tenaga
kerja mencapai 400 orang dan luas lahan 156 hektar. Biaya produksi yang dikeluarkan sejumlah
Rp6.750.000 per ton (KPBI Kediri, 2015).

Berdasarkan hasil survei, lebih dari 70% responden menyatakan bahwa program klaster dapat
membantu menstabilkan harga di musim kemarau, musim hujan, puasa dan lebaran, serta natal dan
tahun baru. Tabel 5.22 menyajikan harga, produksi dan margin yang diterima petani pada keempat
musim tersebut.

74
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Tabel 5. 22. Harga, Produksi dan Margin yang Diterima Petani di Berbagai Musim

Keterangan Musim Kemarau Musim Hujan Puasa/ Natal/ Tahun


Lebaran Baru
Harga (Rp/kg) 6,590.91 11,068.75 11,821.43 12,574.07

Produksi (Rp/kg) 4,145.83 7,247.62 10,500.00 10,250.00


Margin yang terima 2,446.11 2,225.00 3,000.00 3,058.82
petani (Rp/kg)

Pelaku usaha yang terlibat dalam klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk tersaji pada
Gambar 5.7.

Gambar 5. 7. Aktor yang Terlibat dalam Klaster Bawang Merah Nganjuk

75
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.3.1. Rantai Pemasaran Bawang Merah


Rantai pemasaran bawang merah beserta persentase penjualannya disajikan pada
Gambar 5.8.

Gambar 5. 8. Rantai Pemasaran Bawang Merah Kabupaten Nganjuk

Bawang 50% Pedagang Lapak pasar


merah yang Pengecer Konsumen
90% pasar induk induk
dijadikan
bibit

Pedagang Lapak pasar


99,5% Kelompok 95% Pedagang 35%
pasar luar luar pulau Pengecer Konsumen
tani pengumpul
pulau jawa jawa

Petani

5% 15%
Lapak pasar
Pembibitan Pengecer Konsumen
Bawang kabupaten
10% merah yang
dijual

0,5% 100%
Pengolah Konsumen

Terdapat 4 saluran pemasaran bawang merah di Kabupaten Nganjuk, yaitu:

1. Saluran 1: Petani → Kelompok tani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar pasar


Induk → Lapak pasar induk → Pengecer → Konsumen
2. Saluran 2: Petani → Kelompok tani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar luar
pulau Jawa → Lapak pasar luar pulau → Pengecer → Konsumen
3. Saluran 3: Petani → Kelompok tani → Pedagang pengumpul → Lapak pasar Kabupaten
→ Pengecer → Konsumen
4. Saluran 4: Petani → Pengolah → Konsumen

Pola rantai pemasaran yang banyak dilakukan petani bawang merah Kabupaten Nganjuk
adalah Saluran 1. Berdasarkan hasil wawancara, petani menjual bawang merah (99,5%)
ke pedagang pengumpul tingkat desa/kecamatan. Bawang merah yang tidak dijual akan
dijadikan bibit (10%) oleh petani melalui kelompok tani. Pedagang pengumpul tersebut
mendistribusikan ke pedagang besar di pasar induk, misalnya Pasar Induk Kramat Jati
(Jakarta) dan Cibitung (Bekasi). Bawang merah dari pasar induk kemudian dijual ke lapak-
lapak pasar induk dan didistribusikan ke pengecer di pasar-pasar tradisional.

Saluran pemasaran 2 hampir mirip dengan saluran 1. Perbedaannya, pedagang


yang berada di tingkat desa/kecamatan akan mengirimkan bawang merah ke pedagang
besar yang berada di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Pedagang besar tersebut akan
mendistribusikan bawang merah ke beberapa lapak besar yang kemudian dijual kembali ke
para pengecer.

76
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Saluran 3 terjadi pada tingkat Kabupaten. Pedagang pengumpul akan mengirimkan


bawang merah ke lapak pasar tingkat kabupaten. Lapak pasar kabupaten akan menjual
ke para pengecer di pasar tradisional. Saluran 4 masih belum banyak dilakukan, yaitu
petani langsung menjual ke pengolah. Bawang merah umumnya diolah menjadi bawang
goreng untuk dijual langsung kepada konsumen akhir. Pengolah bawang merah umumnya
mendapatkan margin dari produk bawang goreng rata-rata sebesar Rp50.000 per kg.

Pedagang pengumpul umumnya mengambil margin rata-rata sebesar 4 - 5%. Namun


demikian, hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa mereka sering tidak
dapat menentukan margin akibat tingkat spekulasi yang tergolong tinggi di tingkat
pedagang pengumpul. Fluktuasi harga bergerak sangat cepat setiap hari dengan dua
kemungkinan, yaitu untung atau rugi dengan proporsi kemungkinan relatif sama (50%:50%).
Pola transaksi yang dilakukan oleh petani dan pedagang yang memerlukan waktu 2 - 5 hari
turut mempengaruhi spekulasi harga di tingkat pedagang pengumpul. Misalnya, pedagang
membeli bawang merah pada hari Senin dari petani. Namun, pedagang menjual bawang
merah tersebut baru pada hari Kamis atau Jumat. Pergerakan harga yang terjadi selama tiga
atau empat hari tersebut menyebabkan spekulasi di pedagang pengumpul.

Selain dari BI, bantuan yang diberikan kepada petani/kelompok tani berasal dari Dinas
Pertanian Kabupaten Nganjuk. Bantuan yang diberikan berupa bimbingan teknis budidaya
dan bantuan peralatan misalnya mesin diesel untuk pompa. Selain itu, kelompok tani bekerja
sama dengan Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) untuk menciptakan bibit bawang merah yang
lebih tahan lama yaitu Bauji. Untuk pedagang/pengumpul maupun pengolah bawang merah
belum ada bantuan yang diberikan oleh instansi lain.

5.3.2. Dampak Klaster Bawang Merah terhadap Petani


Dalam kajian akan dianalisis dampak dari program klaster yang telah terbentuk selama 2
(dua) tahun sebagai bahan evaluasi ke depan. Dampak tersebut akan dianalisis berdasarkan
perspektif petani, pedagang, dan pengolah bawang merah di Kabupaten Nganjuk, yaitu
dampak terhadap usahatani, akses terhadap pasar input dan output, pembiayaan, sumber
informasi, pendapatan dan kelembagaan. Selain itu, pada penelitian ini dikaji pula persepsi
terhadap program klaster serta faktor eksternal yang menunjang keberhasilan klaster
terutama aspek infrastruktur.

5.3.3. Dampak Klaster BI terhadap Usahatani


Hasil survei terhadap 35 responden petani menyatakan bahwa komoditas bawang merah
merupakan sumber pencaharian utama sebelum maupun sesudah klaster. Keengganan
berpindah ke komoditas lain bukan tanpa alasan. Para petani telah berpuluh-puluh tahun
melakukan usahatani bawang merah sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, karena
bawang merah merupakan salah satu komoditas yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan
dapat memberikan keuntungan.

Setelah ada program klaster, luas tanam bawang merah meningkat sebesar 3% dan
produktivitasnya meningkat sebesar 5% dari sebelumnya rata-rata 4.101,43 kg menjadi
4.316,18 kg. Nilai tersebut diperoleh dari hasil pengisian kuesioner yang diberikan kepada
responden petani. Namun, program klaster juga berdampak terhadap peningkatan
total biaya variabel usahatani bawang merah, dari sebelumnya Rp7.914.285,71 menjadi
Rp22.475.000,00.

Harga rata-rata yang diterima petani per kilogram bawang merah setelah menjadi
anggota klaster meningkat rata-rata sebesar 12% dari sebelumnya Rp5.372,73/kg menjadi
Rp6.026,67/kg. Selain itu, rata-rata penerimaan petani klaster menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan yaitu 20%, dari semula Rp21.326.250,00 menjadi Rp25.587.314,81.

77
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Tabel 5.23 menyajikan secara ringkas dampak program klaster terhadap usahatani bawang
merah di Kabupaten Nganjuk.

Tabel 5. 23. Dampak Program Klaster terhadap Usahatani Bawang Merah


di Kabupaten Nganjuk

Rata-rata Sebelum Rata-rata Sesudah


Keterangan
Klaster Klaster
Rata-rata luas lahan yang dimiliki (m2) 2,442.40 2,497.88
Lahan yang ditanami bawang merah 2,361.82 2,476.97
Status kepemilikan (%)
• Sewa 67.65 64.71
• Milik 26.47 29.41
• Pinjaman 5.88 5.88
Rata-rata produksi bawang merah (kg) 4,101.43 4,316.18
Total biaya rata-rata (Rp) 17,914,285.71 22,475,000.00
Harga rata-rata (Rp/kg) 5,372. 73 6,026,67/ kg
Penerimaan rata-rata (Rp) 21,326,250.00 25,587,314.81

Komponen biaya terbesar adalah benih, selebihnya untuk obat-obatan dan sewa lahan
sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.9. Harga bibit bawang merah relatif mahal karena
jumlahnya terbatas. Padahal, kualitas bibit sangat menentukan hasil panen.

Gambar 5. 9. Komponen Biaya Variabel Terbesar Usahatani Bawang Merah di Kabupaten


Nganjuk

5.3.4. Dampak Klaster pada Penggunaan Input Produksi


Program klaster memiliki dampak terhadap penggunaan input produksi dan aspek
usahatani lainnya. Secara umum, program klaster mampu meningkatkan berbagai aspek
usahatani antara lain, produktivitas, penggunaan pupuk organik, benih, dan kualitas produk
yang dihasilkan. Kegiatan pemupukan dengan pestisida cenderung menurun setelah

78
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

pelaksanaan program klaster. Tabel 5.24 menyajikan penggunaan input produksi sebelum
dan sesudah mengikuti program klaster.

Tabel 5. 24. Perubahan Pada Input Produksi Sebelum dan Sesudah Mengikuti Program Klaster

Perubahan sebelum dan


sesudah mengikuti program Perubahan yang terjadi
klaster (%)
No Keterangan Tidak
Berubah Meningkat Menurun
berubah
1 Produktivitas (kg) 86 14 72
Penggunaan benih yang
2 76 24 52
disimpan/benih sendiri
Penggunaan benih non-
3 45 55 10
hybrid
4 Penggunaan benih hybrid 37 63 26
5 Penggunaan pupuk kimia 89 11 78
Penggunaan pupuk
6 20 80 60
organik
7 Penggunaan pestisida 86 14 72
8 Penggunaan herbisida 65 35 30
9 Penggunaan fungisida 80 20 30
Penggunaan tenaga kerja
10 63 37 26
sewa
Penggunaan tenaga kerja
11 63 37 26
lokal
Penggunaan tenaga kerja
12 60 40 20
perempuan
Kualitas produk yang
13 90 10 80
dihasilkan petani

5.3.5. Dampak Klaster terhadap Akses Pasar Output dan Input


a. Pasar Output
Dari sisi pasar output, dampak program klaster terlihat dari peningkatan jumlah
pedagang. Sebelumnya jumlah pedagang rata-rata 4 orang, kemudian meningkat
menjadi 5 orang. Sebagian besar petani (74,19%) menjual hasil panen ke pedagang
pengumpul desa baik sebelum maupun setelah menjadi anggota klaster dengan alasan
harga lebih tinggi (80%), lokasi mudah dijangkau (10%), dan sudah menjadi langganan
(10%). Sebagian besar responden (>76%) menjual hasil panennya di kebun, 10%
responden menjual di rumah sendiri, sedangkan sisanya menjual ke pasar.

Program klaster juga berdampak terhadap jenis transportasi yang digunakan petani,
yaitu sepeda, motor dan mobil. Persentase petani yang menggunakan sepeda menurun
dari 48,49% menjadi 25,80%, pengguna motor untuk mengangkut panen meningkat
dari 17,18% menjadi 31,52%, dan pengguna mobil pick up meningkat dari 34,33%

79
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

menjadi 42,68%. Sementara waktu penjualan bawang merah sebelum maupun sesudah
program klaster tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebagian besar petani
(70%) menjual langsung setelah panen (Gambar 5.10).

Gambar 5. 10. Waktu Penjualan Bawang Merah

Waktu pembayaran sebelum maupun sesudah program klaster relatif tidak


mengalami perubahan. Sebagian besar petani (63,64%) menerima pembayaran
langsung pada saat penjualan, sebagian lainnya (24,24%) bervariasi antara sebelum
panen dan saat penjualan, selebihnya menerima pembayaran sebelum panen atau
menerima pembayaran 1 - 7 hari setelah bawang merah diberikan ke pedagang desa.

Sekitar 82% petani umumnya mengetahui tujuan akhir penjualan komoditas bawang
merah baik sebelum maupun setelah program klaster. Tujuan akhir penjualan bawang
merah adalah pasar desa, pasar kabupaten, pasar provinsi dan pasar ibu kota. Gambar
5.11 menggambarkan persentase tujuan penjualan bawang merah.

Kelancaran pemasaran bawang merah di Kabupaten Nganjuk ditunjang oleh


keberadaan Pasar Sukomoro sebagai Pasar Sentra. Pelaku pasar yang melakukan aktivitas
bisnis di pasar ini terdiri dari pelaku lokal dan regional. Jangkauan pasar meliputi hampir
seluruh daerah di Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya dan di Sulawesi. Di
samping itu di Kabupaten Nganjuk juga ada pelaku bisnis yang melakukan kegiatan
ekspor dan impor yang bekerja sama dengan pelaku bisnis dari Jawa Tengah dan Jawa
Barat (tergabung dalam Asosiasi Bawang Merah Nasional). Namun, pada hasil survei
tidak ditemukan.

80
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Gambar 5. 11. Tujuan Penjualan Bawang Merah dari Petani Kabupaten Nganjuk

Kegiatan pascapanen yang dapat meningkatkan nilai tambah bawang merah adalah
pengeringan, sortasi, pengangkutan, dan penyimpan di gudang. Pengeringan bertujuan untuk
mengurangi kadar air sehingga umbi bawang merah tidak cepat membusuk dan masa simpan
lebih lama. Bawang merah dikeringkan menggunakan para-para dengan cara menggantungkan
daun bawang merah yang terikat. Sebenarnya, mengeringkan bawang merah juga dapat dilakukan
dengan menggunakan sinar matahari secara langsung, namun metode ini akan membuat daun
bawang merah menjadi cepat layu. Tindakan sortasi bertujuan untuk memisahkan kotoran yang
masih menempel pada umbi bawang merah, serta memisahkan bawang merah yang berkualitas
dengan yang cacat.

Namun demikian, sebagian besar responden (88%) menyatakan bahwa mereka tidak
memperoleh insentif jika melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan nilai tambah. Selebihnya,
12% responden menyatakan bahwa insentif diberikan jika dilakukan aktivitas peningkatan nilai
tambah berupa harga jual yang lebih tinggi. Selama proses jual beli hasil panen, 66.66% petani
melakukan tawar menawar dengan pembeli, 15,14% menerima harga yang ditawarkan pembeli
dan 21,20% sesekali melakukan tawar menawar. Persentase untuk ketiga kondisi penawaran
berdasarkan hasil survei dapat dilihat pada Gambar 5.12.

81
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Gambar 5. 12. Proses Penentuan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani

b. Pasar Input
Salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani bawang merah adalah ketersediaan
bibit bermutu. Bibit bermutu menjadi modal awal dalam rangka meningkatkan produksi.
Produsen bibit bawang merah pada sentra produksi biasanya petani yang memiliki
skala usaha relatif luas atau petani individual yang menyisihkan sebagian hasil panen
untuk digunakan sebagai bibit musim tanam berikutnya. Hampir seluruh petani (90%)
memperoleh benih dari asosiasi perbenihan yang melakukan proses pembenihan
sendiri. Saat ini ada jenis yang sedang dikembangkan yaitu varietas Tajuk. Varietas itu
merupakan hasil persilangan dari beberapa varietas bawang merah lokal. Uji coba
pengembangan varietas tersebut dilakukan pada lahan seluas 1.000 meter persegi dan
mampu menghasilkan bawang merah 1.200 kg. Jumlah ini lebih banyak dari produksi
bawang merah jenis lainnya yang hanya sekitar 900 kg per 1.000 meter persegi.

Pupuk diperoleh petani dari kios yang berada di desa (55,68%), kios yang berada
di Kecamatan (20,59%), dan kelompok tani (20,59%). Ada juga petani yang membuat
pupuk sendiri berupa pupuk organik tapi jumlahnya sangat sedikit (2,94%). Sejumlah
85,71% petani baik sebelum maupun sesudah klaster menyatakan membeli input
kepada pedagang yang sama. Seluruh responden menyatakan bahwa program klaster
berdampak positif terhadap akses petani ke pasar input.

5.3.6. Dampak Klaster terhadap Aspek Pembiayaan


Sumber pembiayaan petani sebelum mengikuti klaster sebagian besar berasal dari modal
sendiri (61,77%). Sisanya diperoleh dari pinjaman (26,47%) dan gabungan modal sendiri
dan pinjaman (11,76%). Setelah mengikuti program klaster, persentase sumber pembiayaan
usahatani yang berasal dari modal sendiri menjadi 31,25%. Artinya, sumber pembiayaan
modal sendiri setelah mengikuti klaster menurun sebesar 49,41%. Pembiayaan yang berasal
dari pinjaman setelah adanya klaster meningkat menjadi 37,50% sehingga petani yang
berhasil mendapatkan pinjaman mengalami peningkatan 41,66% setelah mengikuti klaster.
Sumber modal yang berasal dari gabungan sendiri dan pinjaman meningkat sangat drastis
menjadi 31,25%. Artinya persentase tersebut meningkat 165% setelah adanya program
klaster.

82
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Pengajuan biaya yang dilengkapi dengan proposal setelah adanya klaster meningkat
sebesar 45%. Rata-rata proposal yang dibuat untuk mengajukan pembiayaan sebesar 1
buah proposal untuk setiap kelompok tani. Dalam hal ini kelompok tani hampir semuanya
mengajukan ke Bank Rakyat Indonesia sebagai sumber pembiayaan untuk usahatani
bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Rata-rata jumlah kredit yang diajukan Rp20 juta, dan
setelah program klaster meningkat rata-rata sebesar 4%. Pembiayaan tersebut digunakan
oleh sebagian besar responden (60%) untuk pembelian benih, pupuk, obat-obatan, dan
membayar tenaga kerja. Sumber pembiayaan dan jumlah proposal yang diajukan untuk
pembiayaan sebelum dan sesudah adanya klaster disajikan pada Tabel 5.25.

Tabel 5. 25. Sumber Pembiayaan dan Jumlah Proposal untuk Pembiayaan

No Keterangan Sebelum Klaster Sesudah Klaster


1 Sumber pembiayaan usahatani padi (%)
Modal Sendiri Pinjaman 61.77 31.25
Modal sendiri dan pinjaman 26.47 37.50
11.76 31.25
2 Membuat proposal untuk pembiayaan dari Ya = 43.33 % Ya =62.50 %
lembaga formal Tidak = 56.67 % Tidak= 37.50 %

5.3.7. Dampak Klaster terhadap Sumber Informasi


Informasi merupakan salah satu hal penting dalam mengembangkan klaster bawang
merah, misalnya aspek budidaya dan harga bawang merah. Berdasarkan hasil survei, sumber
informasi untuk budidaya umumnya diperoleh dari penyuluh (40%) baik sebelum maupun
sesudah adanya klaster. Namun demikian, peran klaster cukup siginifikan dalam memberikan
informasi terkait budidaya maupun harga (Tabel 5.26).

Tabel 5. 26. Sumber Informasi Utama dalam Aspek Budidaya dan Harga

No Sumber Informasi Utama Sebelum Sesudah


Klaster Klaster
1. Sumber informasi utama aspek budidaya
• Penyuluh 46.88 40.64
• Petani Lainnya 40.62 16.13
• Kelompok tani 12.50 16.13
• Petugas dari klaster BI 0 27.10
2. Sumber informasi utama aspek harga
• Penyuluh 15.63 20.00
• Petani 37.50 16.00
• pedagang 37.50 20.00
• pedagang saprotan 3.13 0
• kelompok tani 6.25 23
• Asosiasi 0 7
• Petugas klaster BI 0 16

83
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.3.8. Dampak Klaster terhadap Pendapatan


Pendapatan rumah tangga petani (99%) rata-rata meningkat 8.33% setelah menjadi
anggota klaster. Hanya sedikit sekali (1%) responden yang menyatakan tidak ada
peningkatan pendapatan karena harga bawang merah tergantung pada pasar. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa program klaster dapat meningkatkan perekonomian keluarga
secara signifikan.

5.3.9. Dampak Klaster terhadap Kelembagaan


Kelembagaan merupakan hal signifikan untuk keberlanjutan klaster bawang merah. Hal
ini dicerminkan dari kelompok tani atau koperasi yang memegang peranan penting untuk
mengikat hubungan anggota klaster bawang merah khususnya para petani. Tabel 5.27
menyajikan gambaran kelembagaan di klaster bawang merah Nganjuk.

Tabel 5. 27. Gambaran Kelembagaan di Klaster Bawang Merah Nganjuk

No Keterangan Sebelum Klaster Sesudah Klaster


1 Apakah terdapat kelompok tani Ya Ya
2 jumlah kelompok tani yang ada 3 5
di wilayah desa Bapak/Ibu
3 Keaktifan dalam kelompok tani Aktif Aktif
4 Apakah terdapat koperasi 60% ada; 40% tidak 60% ada, 40% tidak
5 Jumlah koperasi 2 2
6 Keaktifan dalam koperasi Aktif :47% Tidak ak- Aktif :47% Tidak aktif:53%
tif:53%

Beberapa petani telah menjalin kerja sama kemitraan dalam rangka pemasaran produk,
antara lain:
1. Kerja sama dengan PT. Indofood dan PT. Wing’s Food, dalam penyediaan bahan baku
bawang goreng, namun baru pada skala kecil.
2. Kemitraan dengan penangkar benih (dalam rangka menjamin ketersediaan benih).
3. Kerja sama penyediaan calon benih dengan petani/penyedia benih dari luar daerah.
4. Kerja sama pelaksanaan penelitian (perbanyakan, pemurnian dan atau pengembangan
benih varietas baru) dengan Balitsa, BPTP, Perguruan Tinggi, Perusahaan Benih Swasta
(Eastwest, dll).

5.3.10. Persepsi tentang Dampak Kegiatan Klaster


Persepsi diartikan sebagai proses untuk mengerti dan menyadari dunia di luar diri
sendiri, dapat berasal dari pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan
yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bukan
pembawaan dari lahir dan sebagian besar dipelajari setelah dewasa. Secara ringkas,
persepsi dapat diartikan sebagai suatu proses interpretasi terhadap suatu objek atas dasar
pengetahuan yang dimiliki. Beberapa hal yang memengaruhi persepsi di antaranya: 1) pelaku
persepsi, yang penafsirannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu: sikap,
motif/kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, prestasi belajar sebelumnya
dan pengharapan, 2) karakteristik target yang diamati, dan 3) situasi, yaitu unsur-unsur di
lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi persepsi (Robins, 1996).

84
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Pada survei ini dilakukan analisis mengenai persepsi petani terhadap program klaster (Tabel
5.28). Aspek-aspek yang dilihat adalah kegiatan usahatani, akses terhadap pasar input, akses
terhadap pasar output, pembiayaan, informasi budidaya, informasi harga, kelembagaan, dukungan
transportasi, dan logistik. Dari kesembilan aspek yang dilihat, seluruh aspek menunjukkan terdapat
perbedaan antara sebelum dan sesudah adanya kegiatan klaster pada tingkat kepercayaan 5%.
Namun demikian, dibandingkan dengan klaster beras dan klaster cabai, dampak positif yang
ditimbulkan oleh klaster BI terhadap klaster bawang merah belum terlalu besar. Hal ini terlihat dari
nilai z-hitung pada semua aspek yang yang masih di bawah lima. Kondisi ini diperkirakan akibat
perbedaan periode waktu antara klaster bawang merah dengan klaster cabai dan beras. Klaster cabai
dan bawang merah telah memasuki masa phasing out sehingga dampak positif dari dampak klaster
BI lebih besar dibandingkan dengan klaster bawang merah yang belum memasuki masa phasing out.

Jika diamati lebih lanjut, dampak klaster BI lebih dirasakan oleh petani pada aspek usahatani
dengan nilai z-hitung sebesar 4,36. Kondisi ini sama dengan yang terjadi pada klaster beras dan
cabai, di mana dampak positif terbesar dari klaster dirasakan petani pada aspek usahatani. Fasilitasi
demplot, magang, dan pelatihan yang dilakukan oleh klaster dirasakan manfaatnya oleh petani
terutama dalam aspek usahatani yang berdampak terhadap peningkatan produksi bawang merah.
Adapun aspek-aspek lainnya masih memiliki nilai z-hitung dibawah 4. Hal ini menunjukkan bahwa
dampak positif yang ditimbulkan oleh klaster BI terhadap 8 aspek lainnya masih belum terlalu dirasakan
oleh petani. Dengan demikian, pengembangan klaster bawang merah selanjutnya diharapkan tidak
hanya fokus pada aspek usahatani saja, tetapi juga pada aspek-aspek lainnya, terutama pasar (input
maupun output), informasi harga dan kelembagaan.

Tabel 5. 28. Dampak Klaster BI terhadap Petani Bawang Merah

No Dampak Z P-value
1 Usahatani 4.36 0.00
2 Akses terhadap Pasar Input 3.54 0.00
3 Akses terhadap Pasar Output 3.75 0.00
4 Finansial 2.07 0.02
5 Informasi Budidaya 3.88 0.00
6 Informasi Harga 3.47 0.00
7 Kelembagaan 3.25 0.00
8 Transportasi 2.84 0.00
9 Logistik 1.77 0.04

Menurut persepsi responden, program klaster dapat meningkatkan produksi bawang merah
dalam wilayah cakupan desa 85%, sedangkan untuk cakupan kecamatan dan kabupaten masih relatif
rendah yaitu sekitar 25%.

85
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Gambar 5.13. Persepsi Responden terkait Peran Klaster terhadap Produksi Bawang Merah
di Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten

Selain itu program klaster BI berpengaruh terhadap kestabilan harga bawang merah terutama di
desa lokasi klaster (60%). Gambar 5.14 menggambarkan persepsi responden tentang peran klaster
BI terhadap kestabilan harga di wilayah desa, kecamatan, dan kabupaten.

Gambar 5. 14. Persepsi responden tentang Peran Klaster terhadap Kestabilan Harga di
Wilayah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten

86
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.3.11. Ketersediaan Infrastruktur Penunjang


Secara umum, reponden menganggap keberadaan seluruh fasilitas yang terdapat pada Tabel
5.31 penting dalam mengembangkan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Listrik dan jalan
usahatani merupakan faktor yang sangat penting dengan nilai sebesar 4,69. Kondisi fasilitas listrik
menurut persepsi responden sudah baik, sedangkan kondisi jalan usahatani dianggap kurang baik.
Kelompok tani juga dianggap merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan klaster
dengan kondisi yang sudah baik. Faktor yang dianggap penting menurut persepsi responden namun
kondisinya masih perlu dikembangkan adalah pasar desa, terminal agribisnis, dan fasilitas pendingin.

87
88
Tabel 5. 29. Tingkat Kepentingan dan Kondisi Infrastruktur Di Kabupaten Nganjuk Dalam Rangka Menunjang Komoditas Bawang Merah

Tingkat kepentingan Kondisi Fasilitas

Responden
Responden yang me-
No Variabel Responden
yang me- nyatakan
yang me-
nyatakan kondisi

t-test
t-test
nyatakan
penting dan fasilitas baik
fasilitas
sangat pent- atau sangat

Significance)b
Significance)b

Kepentingan)a
tersedia (%)

Kondisi Fasilitas)c
ing (%) baik (%)

1 Listrik 4.69 21.17 *** 100.00 100.00 4.14 13.69 *** 94.29
Jalan usahatani
2 4.57 11.95 *** 97.14 100.00 3.06 0.30 42.86
3 Sarana pengairan/irigasi 4.45 10.87 *** 97.14 94.29 3.37 2.50 ** 60.00
4 Jaringan telepon 4.40 10.69 *** 97.14 100.00 3.97 11.88 *** 91.43
5 Kelompok tani 4.29 14.67 *** 97.14 100.00 3.77 7.07 *** 71.43
6 Fasilitas pergudangan 4.23 13.29 *** 94.29 42.86 3.06 0.40 25.71
7 Jalan aspal 4.14 6.94 *** 88.57 100.00 3.60 6.42 *** 62.86
8 Pasar kecamatan 4.06 9.79 *** 97.14 88.57 3.71 7.38 *** 77.14
9 Koperasi 4.06 18.50 *** 97.14 82.86 3.74 7.19 *** 71.43
10 Pasar desa 3.97 9.30 *** 94.29 51.43 2.74 -1.78 ** 20.00
11 Terminal agribisnis 3.71 4.73 *** 71.43 22.86 2.66 -1.97 ** 34.29
Fasilitas pendingin (cold 3.03 0.14 *** 40.00 14.29 2.68 -2.45 ** 17.14
12 chain)
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

5.4. Dampak Klaster pada Pedagang


5.4.1. Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan
Pedagang gabah yang menjadi responden bukan merupakan anggota klaster.
Namun demikian, program klaster berhasil meningkatkan produksi petani sehingga
meningkatkan volume pembelian oleh pedagang. Para pedagang tidak membedakan
gabah yang dibeli dari anggota klaster atau bukan anggota klaster, baik dari sisi harga
maupun tata cara pembelian.

Sebagian besar gabah yang dibeli selanjutnya dijual ke penggilingan yang berlokasi
di Kabupatan Soppeng atau kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Sidrap (berbatasan
langsung dengan Kecamatan Marioriawa) atau Kabupatan Pinrang. Hal ini disebabkan
terbatasnya kapasitas mesin penggilingan di Kabupaten Soppeng, terutama pada masa
panen raya.

Penggilingan padi yang menjadi responden adalah anggota klaster. Bahkan, salah
satunya adalah penggilingan padi yang merupakan bantuan dari BI. Menurut mereka,
program klaster mampu meningkatkan produksi petani. Namun di sisi lain, meningkatnya
jumlah penggilingan padi menyebabkan semakin ketatnya persaingan untuk membeli
gabah langsung ke petani, termasuk persaingan dengan pembeli yang berasal dari luar
kabupaten.

Bantuan fasilitas lantai jemur dan penggilingan padi yang diberikan BI menyebabkan
petani dapat menjual gabah dengan harga yang lebih baik. Namun, keterbatasan lantai
jemur membuat kapasitas penggilingan padi tersebut masih terbatas, terutama pada
musim panen raya.

5.4.2. Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta


Di Kulon Progo terdapat dua pedagang yang rutin membeli cabai dari pasar lelang
yang diselenggarakan kelompok tani. Menurut mereka, keberadaan klaster cabai BI
mampu meningkatkan kualitas cabai yang dihasilkan petani. Hal ini disebabkan Asosiasi
Pasar Tani Manunggal (Aspartan) mendorong petani untuk melakukan sortir. Bahkan,
pasar lelang juga telah melakukan sortir cabai berdasarkan mutu atau kualitas cabai.
Selain itu, para pedagang juga menyatakan bahwa kontinuitas supply cabai yang
dihasilkan petani relatif lebih terjaga setelah menjadi anggota klaster.

Pembelian cabai dilakukan pedagang dengan mengikuti mekanisme lelang untuk


selanjutnya dijual ke pasar tujuan. Selama ini, tujuan penjualan utama tidak untuk pasar
DIY, tetapi Pasar Kramat Jati Jakarta dan Sumatera. Terdapat dua alasan utama penjualan
ke pasar di luar Provinsi DIY, yaitu:

1. Kebutuhan cabai di Provinsi DIY lebih kecil dibandingkan dengan jumlah cabai
yang diproduksi di wilayah DIY. Bahkan, produksi cabai klaster masih lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan cabai di DIY. Sebagai contoh, stok cabai dari
Aspartan pada musim panen raya sekitar 70 - 80 ton per hari, sedangkan pasar di
Provinsi DIY hanya membutuhkan cabai sekitar 1,5 ton per hari. Akibatnya penjualan
cabai keluar Provinsi DIY tetap menjadi pilihan utama.

2. Harga cabai pasar DIY tidak begitu menarik karena lebih rendah dibandingkan
dengan harga cabai di pasar Jakarta dan Sumatera. Bahkan, setelah dipotong
dengan biaya transportasi dan lain-lain, harga di kedua pasar tersebut tetap lebih
tinggi. Dari sisi konsumen, jika harga naik, konsumen di DIY cenderung mengurangi

89
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

pembelian cabai. Berbeda dengan pasar di Sumatera dan Jakarta, kenaikan harga cabai tidak
mengurangi jumlah pembelian oleh konsumen.

Pasar acuan utama bagi para pedagang adalah di Sumatera. Jika petani di Sumatera
belum panen, harga cabai di Sumatera dipastikan meningkat. Sebaliknya pada saat panen,
maka harga cabai akan turun. Hal ini disebabkan banyak cabai cabai dari Kulon Progo yang
dijual ke Sumatera, terutama pada saat harga di Sumatera lebih tinggi dibandingkan harga di
Pasar Kamat Jati.

Klaster Bank Indonesia dinilai masih fokus ke petani. Berdasarkan hasil Focus Group
Discussion (FGD) dengan pedagang, mereka juga membutuhkan pembinaan sehingga
diharapkan dapat dilibatkan dalam kegiatan klaster di masa mendatang. Beberapa saran
pedagang terkait pemasaran klaster cabai di Kulon Progo adalah:

1. Mempercepat pembukaan pasar lelang sehingga pengiriman ke Jakarta atau kota lainnya
tidak dilakukan terlalu malam.

2. BI diharapkan dapat memfasilitasi akses pedagang terhadap pembiayaan dari lembaga


keuangan. Ketersediaan kredit berbunga rendah bagi pedagang sangat dibutuhkan,
sehingga pedagang dapat membayar secara tunai kepada petani.

5.4.3. Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur


Berdasarkan skala usaha, pedagang bawang merah di Kabupaten Nganjuk terdiri dari
pedagang pasar tradisional dan pedagang besar. Pedagang besar umumnya memasarkan
ke luar Nganjuk hingga luar provinsi. Selain itu, pedagang bawang merah umumnya juga
berperan sebagai pengumpul dan sebagai ketua kelompok tani. Terkait dengan program
klaster, terdapat pedagang yang juga menjadi anggota klaster.

Pedagang umumnya memperoleh bawang merah dari berbagai kelompok tani, baik yang
berasal dari desa yang sama maupun desa lainnya hingga luar kecamatan. Jumlah pemasok
rata-rata 3 kelompok tani, umumnya merupakan anggota klaster. Pedagang menentukan
volume pembelian bawang merah dengan harga sesuai hasil tawar menawar dengan petani.
Umumnya pedagang membeli bawang merah dengan mendatangi dan membayar langsung
kepada petani, atau maksimum 3 (tiga) hari setelah bawang merah diterima. Transportasi yang
digunakan adalah mobil pick up dengan biaya rata-rata Rp50.000,00 setiap pembelian ke
petani. Biaya tersebut ditanggung oleh pedagang. Umumnya, pedagang memiliki gudang
sendiri yang berdekatan dengan rumahnya.

Rata-rata volume, harga jual, dan margin komoditas bawang merah yang dijual pedagang
setiap musim (musim kering, hujan, puasa/lebaran, dan natal/tahun baru) umumnya berbeda-
beda (lihat Tabel 5.30). Hal ini dipengaruhi keterbatasan pasokan, terutama pada musim-
musim tertentu yang dapat berpengaruh terhadap harga jual bawang merah.

90
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

Tabel 5. 30. Rata-rata Volume, Harga, dan Margin Penjualan Bawang Merah

Musim Volume (ton) Harga jual (Ribu Ru- Margin (%)


piah)
Kering 20 15-20 20-30
Hujan 10 25-30 40
Lebaran 20 25-30 50
Natal/Tahun Baru 20 25-30 40

Pedagang menjual bawang merah ke pedagang yang lebih besar di pasar Kabupaten
maupun pasar induk Jakarta dan pasar ekspor. Saat ini, pedagang yang menjual ke pengolah
persentasenya masih sangat sedikit. Harga jual bawang merah ditentukan berdasarkan harga
yang berlaku di pasar. Selama ini, penjualan dilakukan berdasarkan sistem kontrak (sudah ada
perjanjian sebelumnya). Pembayaran umumnya dilakukan 1 - 7 hari setelah barang dikirim.
Pedagang mengirimkan bawang merah secara langsung dengan menggunakan pihak ketiga.
Biaya transportasi baik mobil pick up atau truk ditanggung oleh pedagang sendiri.

Untuk membeli bawang merah dari petani, umumnya pedagang menyiapkan modal
rata-rata sebesar Rp100 juta. Modal tersebut selama ini berasal dari perbankan. Pedagang
umumnya tidak mengalami kesulitan mengajukan kredit kepada perbankan. Namun demikian,
selama ini bentuk pelatihan yang diberikan terkait pengelolaan keuangan dan kemampuan
manajerial pada pedagang masih belum dilakukan.

Menurut responden, program klaster berdampak positif terhadap peningkatan kualitas


bawang merah sehingga mendorong pedagang untuk membeli dari petani anggota
klaster. Selain itu, program klaster dianggap baik dalam mengembangkan usaha. Adapun
permasalahan yang sering dihadapi adalah kontinuitas produksi dan harga yang cenderung
fluktuatif. Untuk itu, pedagang mengharapkan agar wilayah klaster diperluas serta dapat
mengembangkan inovasi teknologi budidaya.

5.5.4. Dampak Klaster terhadap Pengolah


Pengolah bawang merah merupakan salah satu anggota klaster yang berperan penting
untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Umumnya pengolah merupakan
anggota dan aktif dalam kegiatan klaster. Pelatihan yang diberikan melalui program klaster
adalah pengolahan bawang merah menjadi kerupuk dan bawang goreng. Dalam pelatihan
tersebut, BI menyediakan bantuan peralatan untuk mengolah bawang merah seperti alat
pengiris bawang merah, alat penggorengan, kompor dan tangki, pisau, dan baskom. Bawang
goreng merupakan produk olahan yang sangat dikenal oleh masyarakat. Pengolahan produk
ini tidak sulit dan dapat dilakukan dengan biaya murah untuk usaha skala kecil di rumah tangga.

Menurut responden, selama menjadi anggota klaster, terjadi peningkatan pendapatan


sekitar 3% selama setahun. Modal rata-rata yang disiapkan untuk mengolah bawang merah
menjadi bawang goreng dan kerupuk sebesar Rp800.000,00. Modal tersebut diperoleh dari
bantuan BI. Saat ini pedagang belum mengajukan kredit ke lembaga keuangan formal maupun
informal.

Bahan baku bawang merah diperoleh dari 3 (tiga) orang petani lokal yang berbeda-beda.
Pengolah tidak membedakan membeli dari petani anggota klaster atau bukan, karena lebih
mementingkan ketersediaan bahan baku bawang merah. Jumlah bawang merah yang diolah
sekitar 5 kg per bulan dengan harga pembelian sebesar Rp20.000,00 per kg. Harga biasanya

91
Bab V - DAMPAK KLASTER BANK INDONESIA TERHADAP USAHATANI BERAS, CABAI MERAH DAN BAWANG MERAH

ditentukan oleh petani. Pengolah membeli bawang merah dengan langsung mendatangi petani
dengan menggunakan sepeda motor dan membayar setelah barang diterima. Rata-rata biaya
transportasi setiap kali ke petani sebesar Rp3.000,00 dan ditanggung oleh pengolah. Rata-rata
volume, harga jual, dan margin bawang goreng umumnya bervariasi sesuai musim kering, hujan,
lebaran, dan natal/tahun baru sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.31.

Tabel 5. 31. Rata-rata Volume, Harga Jual, dan Margin Penjualan Bawang Goreng

Musim Harga jual (Ratus ribu Rp) Margin (%)


Kering 100 20-30
Hujan 200 40
Lebaran 170 40
Natal/Tahun Baru 120 40

Harga jual bawang merah olahan ditentukan sendiri oleh pengolah. Umumnya konsumen
mengambil dan membayar langsung ke pengolah dengan menggunakan sepeda motor. Biaya
transportasi rata-rata sebesar Rp10.000,00 dan ditanggung oleh konsumen.

Menurut persepsi responden pengolah yang menjadi anggota klaster, program klaster
memberikan dampak positif terutama terhadap kontinuitas pasokan dan kualitas bawang merah,
akses pembiayaan terhadap lembaga keuangan formal, dan penyerapan tenaga kerja lokal. Selain
itu, terdapat tiga hal yang dirasakan manfaatnya, yaitu: peningkatan pengetahuan dan keterampilan
dalam mengolah bawang merah, kemampuan manajerial, dan penyerapan tenaga kerja perempuan
sehingga dapat menambah penghasilan keluarga. Tenaga kerja perempuan umumnya mendominasi
dalam pengolahan bawang merah menjadi kerupuk maupun bawang goreng.

Selain itu, komunikasi antar anggota klaster dapat terjalin cukup intensif melalui forum-forum
pertemuan yang diselenggarakan BI. Dengan demikian, antar anggota klaster dapat saling mengenal
dan bertukar informasi mengenai bawang merah, misalnya harga. Selain itu, dalam pertemuan juga
disampaikan cara membuat produk yang higienis dan sehat sehingga bahan-bahan yang digunakan
relatif aman dan tidak menggunakan bahan pengawet.

Permasalahan yang sering dihadapi pedagang bawang olahan adalah masih terbatasnya
akses pasar dan fluktuasi harga bawang merah. Saat ini, jangkauan pemasaran masih terbatas pada
konsumen di kabupaten Nganjuk. Harapan ke depan, pengolah mampu meningkatkan kapasitas
pengolahan dan melakukan diversifikasi produk olahan bawang merah (misalnya tepung bawang
merah), serta memperluas jangkauan pasar.

92
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

BAB VI
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER
KOMODITAS VOLATILE FOODS DALAM RANGKA
PENGENDALIAN INFLASI

Untuk menggambarkan strategi pengembangan klaster yang mampu berperan dalam


pengendalian inflasi komoditas volatile foods, dalam kajian ini akan dianalisis faktor-faktor internal
dan eksternal berdasarkan survei yang telah dilakukan pada tiga klaster, yaitu: komoditas beras
di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo, DI
Yogyakarta dan komoditas bawang merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

6.1. Komoditas Beras di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan


6.1.1. Faktor Strategis Internal (Internal Factor Evaluation)
Berdasarkan hasil wawancara dan masukan dari responden, diperoleh faktor-faktor
strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan klaster
beras di Kabupaten Soppeng.

1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan dianggap mampu mempengaruhi pengembangan klaster
komoditas beras di Kabupaten Soppeng, dan harus dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk mencapai tujuan pengembangan klaster, yang terdiri dari:
1. Kemampuan petani melakukan proses budidaya;
2. Ketersediaan input;
3. Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku;
4. Ketersediaan pedagang lokal;
5. Keterbukaan manajemen terhadap informasi baru.

2. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan dianggap sebagai kelemahan yang akan menjadi kendala dalam
upaya pengembangan klaster, antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan manajerial masih rendah;
2. Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas;
3. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
4. Jiwa kewirausahaan masih rendah;
5. Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu;
6. Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas;
7. Rantai distribusi sangat panjang;
8. Adopsi teknologi baru masih rendah.

93
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Analisis Matriks IFE


Metode Analisis IFE bertujuan untuk menilai dan mengevaluasi sejauh mana faktor-
faktor strategis mempengaruhi keberhasilan strategi pengembangan klaster. Berdasarkan
pembobotan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal melalui wawancara tahap pertama,
dilakukan analisis matriks IFE. Untuk elemen kekuatan diperoleh nilai indeks akumulatif skor
sebesar 3,57, sedangkan nilai akhir bobot skor elemen kelemahan sebesar 1.27, dengan total
nilai bobot skor faktor strategis internal sebesar 4,84. Hal ini menunjukkan bahwa responden
memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor kekuatan dan respon yang kecil kepada
faktor kelemahan. Dengan demikian, secara keseluruhan pengembangan klaster komoditas
beras di Kabupaten Soppeng di atas rata-rata dalam kekuatan internal, karena nilai bobot skor
untuk elemen kekuatan lebih besar dari nilai bobot skor elemen kelemahan. Dapat disimpulkan
bahwa dalam pengembangan klaster beras di Kabupaten Soppeng, kekuatan yang dimiliki
mampu mengatasi kelemahan yang ada. Hasil akhir analisis IFE dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6. 1. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan


Klaster Beras di Kabupaten Soppeng

No. Kekuatan Rating Bobot Skor

1 Kemampuan petani melakukan proses budidaya 4 0.17 0.67


2 Ketersediaan input 3 0.23 0.69
3 Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku 3 0.21 0.62
4 Ketersediaan pedagang lokal 4 0.19 0.74
Keterbukaan terhadap informasi baru khususnya yang
5 4 0.21 0.84
terkait dengan budidaya
  Total Kekuatan   1.00 3.57

No. Kelemahan Rating Bobot Skor

1 Kemampuan manajerial petani masih rendah 2 0.12 0.25


2 Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas 1 0.08 0.08
3 Belum memiliki visi yang sama tentang klaster 1 0.13 0.13
4 Jiwa kewirausahaan masih rendah 1 0.12 0.12
5 Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu 1 0.15 0.15
6 Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas 1 0.10 0.10
7 Rantai distribusi sangat panjang 1 0.14 0.14
8 Adopsi teknologi baru masih rendah 2 0.15 0.30
  Total Kelemahan   1.00 1.27

  Total Nilai Internal Factor Evaluation     4.84

94
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

6.1.2. Faktor Strategis Eksternal (External Factor Evaluation)


Berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner, diperoleh faktor-faktor strategis
eksternal yang menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan klaster sebagai berikut:

1. Faktor Peluang
Faktor peluang dianggap sebagai suatu potensi yang dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan klaster untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yang terdiri dari:
1. Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat mendukung;
2. Lahan tersedia cukup banyak;
3. Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi;
4. Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai;
5. Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster;
6. Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun informal.

2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster.
Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan diusahakan upaya penanggulangannya secara
baik agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor-faktor ini terdiri dari:
1. Keterbatasan akses pasar;
2. Gangguan hama/organisme pengganggu tanaman;
3. Persaingan dengan importir lain;
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Irigasi belum memadai.

Analisis Matriks EFE


Dengan metode analisis matriks EFE, untuk elemen peluang diperoleh nilai indeks akumulatif
skor sebesar 3,66, sedangkan nilai akhir bobot skor elemen ancaman sebesar 1,25 dengan total
nilai bobot skor faktor strategis eksternal sebesar 4,91. Hal ini menunjukkan bahwa responden
memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor peluang dan respon yang lebih kecil
terhadap faktor ancaman. Nilai bobot skor elemen peluang yang lebih besar dari bobot skor
elemen ancaman menunjukkan bahwa pengembangan klaster mampu memanfaatkan peluang
dengan baik. Untuk lebih detilnya, hasil akhir dari analisis EFE dapat dilihat pada Tabel 6.2.

95
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Tabel 6. 2. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Beras di


Kabupaten Soppeng

No. Peluang Rating Bobot Skor

Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat


1 3 0.16 0.48
mendukung
2 Lahan tersedia cukup banyak 3 0.18 0.54
3 Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi 4 0.17 0.68
4 Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai 4 0.18 0.72
5 Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster 4 0.16 0.64
Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun
6 4 0.15 0.60
informal
  Total Peluang 1.00 3.66

No  Ancaman Rating Bobot Skor

1 Keterbatasan akses pasar 1 0.15 0.15


2 Gangguan hama/ organisme pengganggu tanaman 1 0.2 0.2
3 Persaingan dengan importir lain 1 0.2 0.2
4 Fluktuasi kurs mata uang 2 0.25 0.5
5 Irigasi belum memadai 1 0.2 0.2
  Total Ancaman 1.00 1.25

  Total Nilai External Factor Evaluation 4.91

6.1.3 Strategi Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng


Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT yang ditunjukkan oleh Tabel 6.3, diperoleh
beberapa alternatif strategi pengembangan klaster beras di Kabupaten Soppeng, yaitu Strategi
S-O, Stategi W-O, Strategi S-T dan Strategi W-T. Alternatif strategi yang diusulkan adalah:

1. Peningkatan value-added
Peningkatan value-added dilakukan untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki
oleh petani. Value added yang dimaksud adalah upaya meningkatkan nilai tambah pada
setiap aspek budidaya maupun proses pascapanen beras. Kemampuan petani melakukan
proses budidaya dengan lebih efisien dapat diperoleh dengan cara menerapkan teknologi
budidaya maupun pascapanen secara tepat. Dengan demikian, petani tidak lagi menjual
hasil panen dalam bentuk gabah tetapi sudah dalam bentuk beras.

2. Pemanfaatan resi gudang


Pemanfaatan resi gudang dapat dijadikan solusi alternatif dalam upaya mengatasi
kelangkaan stok, disparitas dan fluktuasi harga komoditas beras.

3. Optimalisasi peran Bulog


Optimalisasi peran Bulog atau lembaga sejenis lainnya diperlukan untuk mengembangkan
klaster beras di Kabupaten Soppeng. Lembaga tersebut diharapkan mampu melakukan
perencanaan produksi dan konsumsi sehingga dapat mengantisipasi kenaikan harga.

96
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

4. Peningkatan capacity building petani khususnya aspek manajerial


Peningkatan capacity building petani, khususnya kemampuan manajerial dan
kewirausahaan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani mengolah
usahataninya sehingga mampu menjadi usaha yang produktif dan menguntungkan. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan petani dalam berbagai kegiatan pelatihan
aspek produksi, pascapanen serta manajerial.

5. Integrasi sistem informasi rantai pasok beras


Integrasi sistem informasi rantai pasok beras dibutuhkan dalam upaya menciptakan
efisiensi pemasaran beras di Kabupaten Soppeng. Petani harus memiliki jaringan usaha
yang kuat (baik terhadap pasar input maupun pasar output) sehingga tercapai stabilitas
harga dan keamanan pangan dengan iklim usaha yang kondusif, terintegrasi dan saling
menguntungkan.

Berikut ini dijabarkan Matriks SWOT Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng.

Tabel 6. 3. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Beras di Kabupaten Soppeng

Kekuatan (S) Kelemahan (W)


Internal 1. Kemampuan 1. Kemampuan manajerial petani
petani melakukan masih rendah
proses budidaya 2. Akses permodalan terhadap
2. Ketersediaan input lembaga keuangan terbatas
3. Adanya industri 3. Belum memiliki visi yang sama
yang mampu tentang klaster
mengolah bahan 4. Jiwa kewirausahaan masih rendah
baku 5. Sosialisasi program klaster
4. Ketersediaan terbatas dan tidak kontinu
pedagang lokal 6. Belum tersedianya gudang
Eksternal 5. Keterbukaan penyimpanan komoditas
terhadap informasi 7. Rantai distribusi sangat panjang
baru khususnya 8. Adopsi teknologi baru masih
yang terkait rendah
dengan budidaya.
Peluang (O) Strategi SO Strategi WO
1. Klaster berada di wilayah
dengan kondisi geografis sangat Peningkatan Value- Peningkatan Capacity building
mendukung added petani khususnya aspek manajerial
2. Lahan tersedia cukup banyak
3. Permintaan domestik terhadap
komoditas tinggi
4. Tersedia tenaga kerja lokal yang
memadai
5. Kebijakan pemerintah mendukung
pengembangan klaster
6. Ketersediaan dana dari lembaga
keuangan formal maupun informal
Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT
1. Keterbatasan akses pasar
2. Gangguan hama/ organisme Resi gudang beras 1. Optimalisasi peran BULOG
pengganggu tanaman 2. Integrasi sistem informasi rantai
3. Persaingan dengan importir lain pasok beras
4. Fluktuasi kurs mata uang
5. Irigasi belum memadai

97
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

6.2. Komoditas Cabai di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta


6.2.1. Faktor Strategis Internal (Internal Factor Evaluation)
Berdasarkan hasil wawancara dan masukan dari responden, diperoleh faktor-faktor
strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan sebagai berikut:

1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan dianggap sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi
pengembangan klaster. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan harus dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan pengembangan klaster, terdiri dari:
1. Kualitas cabai sudah baik;
2. Kemampuan petani melakukan proses budidaya;
3. Akses pasar input mudah;
4. Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku;
5. Ketersediaan pedagang lokal;
6. Peran kelompok tani membantu petani.

2. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan dianggap sebagai kelemahan yang akan menghambat
pengembangan klaster. Faktor-Faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Informasi budidaya masih rendah;
2. Kemampuan manajerial masih rendah;
3. Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas;
4. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
5. Jiwa kewirausahaan masih rendah;
6. Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu;
7. Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas;
8. Rantai distribusi sangat panjang;
9. Ketersediaan dan kualitas bibit masih rendah.

Analisa Matriks IFE


Analisis IFE bertujuan untuk menilai dan mengevaluasi faktor-faktor strategis yang
mempengaruhi keberhasilan strategi pengembangan klaster cabai merah di Kabupaten
Kulon Progo. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor-faktor internal maupun
eksternal melalui wawancara tahap pertama, dilakukan analisis matriks IFE. Untuk
elemen kekuatan diperoleh nilai indeks akumulatif skor sebesar 4,00, sedangkan nilai
akhir bobot skor untuk elemen kelemahan sebesar 1,23, dengan total nilai bobot skor
untuk faktor strategis internal sebesar 5,23. Hal ini menunjukkan bahwa responden
memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor kekuatan dan respon yang
kecil kepada faktor kelemahan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster
komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo di atas rata-rata dalam kekuatan
internal secara keseluruhannya. Dengan nilai bobot skor elemen kekuatan lebih besar
dari elemen kelemahan, dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan klaster cabai
merah di Kabupaten Kulon Progo, kekuatan yang dimiliki mampu mengatasi kelemahan
yang ada. Hasil akhir dari analisis IFE dapat dilihat pada Tabel 6.4.

98
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Tabel 6. 4. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah di
Kabupaten Kulon Progo

No. Kekuatan Rating Bobot Skor

1 Kualitas cabai sudah baik 4 0.14 0.56


2 Kemampuan petani melakukan proses budidaya 4 0.12 0.48
3 Akses pasar input mudah 4 0.18 0.72
4 Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku 4 0.19 0.76
5 Ketersediaan pedagang lokal 4 0.16 0.64
6 Peran kelompok tani membantu petani 4 0.21 0.84
Total Kekuatan 1.00 4.00

 No Kelemahan Rating Bobot Skor

1 Informasi budidaya masih rendah 2 0.13 0.25


2 Kemampuan manajerial masih rendah 1 0.09 0.09
3 Akses permodalan terhadap lembaga keuangan terbatas 1 0.11 0.11
4 Belum memiliki visi yang sama tentang klaster 1.5 0.09 0.13
5 Jiwa kewirausahaan masih rendah 1 0.08 0.08
6 Sosialisasi program klaster terbatas dan tidak kontinu 1.5 0.12 0.19
7 Belum tersedianya gudang penyimpanan komoditas 1 0.14 0.14
8 Rantai distribusi sangat panjang 1 0.11 0.11
9 Ketersediaan dan kualitas bibit masih rendah 1 0.13 0.13
  Total Kelemahan   1.00 1.23

  Total Nilai Internal Factor Evaluation 5.23

6.2.2. Faktor Strategis Eksternal (External Factor Evaluation)


Berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner, didapatkan faktor-faktor strategis
eksternal yang menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan klaster cabai merah di
Kabupaten Kulon Progo:
1. Faktor Peluang
Faktor peluang adalah faktor-faktor yang dianggap sebagai potensi yang dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan klaster. Potensi tersebut harus dimanfaatkan untuk
mencapai tujuan yang diharapkan, terdiri dari:
1. Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat mendukung;
2. Lahan tersedia cukup banyak;
3. Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi;
4. Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai;
5. Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster;
6. Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun informal.

99
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster.
Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan diusahakan penanggulangannya secara baik agar
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Faktor ini terdiri dari:
1. Keterbatasan akses pasar;
2. Gangguan hama dan penyakit/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT);
3. Persaingan dengan pedagang lain secara global (misal: pemasok dari Tiongkok);
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Cuaca ekstrem.

Analisis Matriks EFE


Berdasarkan analisa matriks EFE, untuk elemen peluang diperoleh nilai indeks akumulatif
skor sebesar 4,00, sedangkan nilai akhir bobot skor untuk elemen ancaman sebesar 1,47,
dengan total nilai bobot skor untuk faktor strategis eksternal sebesar 5,47. Hal ini menunjukkan
bahwa responden memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor peluang dan respon
yang lebih kecil terhadap faktor ancaman. Dengan nilai bobot skor untuk elemen peluang lebih
besar dari elemen ancaman, dapat disimpulkan bahwa pengembangan klaster cabai merah di
Kabupaten Kulon Progo harus dapat memanfaatkan peluang dengan baik. Nilai bobot hasil akhir
dari analisis EFE dapat dilihat pada Tabel 6.5.

Tabel 6. 5. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan Klaster Cabai Merah di
Kabupaten Kulon Progo

No. Peluang Rating Bobot Skor

Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat


1 4 0.13 0.53
mendukung
2 Lahan tersedia cukup banyak 4 0.14 0.57
3 Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi 4 0.15 0.6
4 Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai 4 0.19 0.76
5 Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster 4 0.18 0.73
Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun
6 4 0.21 0.81
informal

Total Peluang 1.00 4.00

No. Ancaman Rating Bobot Skor

1 Keterbatasan akses pasar 1 0.12 0.12


2 Gangguan hama dan penyakit/OPT 1 0.14 0.14
Persaingan dengan pedagang lain secara global (misal:
3 2 0.23 0.47
pemasok dari Tiongkok)
4 Fluktuasi kurs mata uang 2 0.25 0.49
5 Cuaca ekstrem 1 0.26 0.25
Total Ancaman 1.00 1.47

Total Nilai External Factor Evaluation 5.47

100
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

6.2.3. Strategi Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo


Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT yang ditunjukkan oleh Tabel 46, diperoleh
beberapa alternatif strategi 7pengembangan klaster cabai merah di Kabupaten Kulon Progo,
yaitu Strategi S-O, Stategi W-O, Strategi S-T dan Strategi W-T. Alternatif strategi yang diusulkan
adalah:
1. Peningkatan kualitas bibit lokal cabai merah
Peningkatan kualitas bibit lokal cabai merah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
produksi cabai merah di Kabupaten Kulon Progo. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan jumlah penangkar bibit lokal cabai merah di Kulon Progo. Saat ini kualitas
cabai merah yang dihasilkan sudah baik, namun diperlukan upaya peningkatan kualitas
bibit yang bukan hanya meningkatkan kualiatas cabai merah yang baik tetapi juga memiliki
produksi yang tinggi.

2. Peningkatan capacity building petani, khususnya dalam budidaya dan manajerial


Seperti halnya pada pengembangan klaster beras di Kabupaten Soppeng, pada klaster
cabai merah juga dibutuhkan peningkatan capacity building petani. Hal ini dapat dilakukan
dengan melibatkan petani pada berbagai kegiatan pelatihan aspek produksi, pascapanen,
serta manajerial.

3. Penerapan sistem lelang dalam pemasaran cabai merah


Penerapan sistem lelang dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi rantai distribusi
yang panjang serta memotivasi petani untuk terus memproduksi cabai merah berkualitas
dengan kuantitas yang tinggi.

4. Peningkatan sistem informasi pemasaran cabai


Panjangnya rantai pemasaran cabai merah di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan
pentingnya petani memiliki jaringan pemasaran yang baik sehingga petani memiliki
informasi pasar yang kuat. Dengan mengetahui informasi pasar, maka petani dapat
meningkatkan posisi tawarnya.

101
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Tabel 6. 6. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Cabai Merah di Kabupaten Kulon Progo

Kekuatan Kelemahan
Internal 1. Kualitas cabai sudah 1. Informasi budidaya masih
baik rendah
2. Kemampuan petani 2. Kemampuan manajerial
melakukan proses masih rendah
budidaya 3. Akses permodalan
3. Akses pasar input terhadap lembaga
mudah keuangan terbatas
4. Adanya industri yang 4. Belum memiliki visi yang
mampu mengolah sama tentang klaster
bahan baku 5. Jiwa kewirausahaan masih
5. Ketersediaan rendah
pedagang lokal 6. Sosialisasi program klaster
6. Peran kelompok tani terbatas dan tidak kontinu
membantu petani 7. Belum tersedianya gudang
penyimpanan komoditas
8. Rantai distribusi sangat
panjang
Eksternal 9. Ketersediaan dan kualitas
bibit masih rendah
Peluang Strategi SO Strategi WO
1. Klaster berada di wilayah Peningkatan kualitas bibit Peningkatan Capacity
dengan kondisi geografis lokal cabai merah building petani, khususnya
sangat mendukung dalam budidaya dan
2. Lahan tersedia cukup banyak manajerial
3. Permintaan domestik terhadap
komoditas tinggi
4. Tersedia tenaga kerja lokal
yang memadai
5. Kebijakan pemerintah
mendukung pengembangan
klaster
6. Ketersediaan dana dari
lembaga keuangan formal
maupun informal
Ancaman Strategi ST Strategi WT
1. Keterbatasan akses pasar Penerapan sistem lelang Peningkatan sistem informasi
2. Gangguan hama dan penyakit/ dalam pemasaran cabai cabai
OPT merah
3. Persaingan dengan pedagang
lain secara global (misal:
pemasok dari Tiongkok)
4. Fluktuasi kurs mata uang
5. Cuaca ekstrem

102
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

6.3. Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur


6.3.1. Faktor Strategis Internal (Internal Factor Evaluation)
Faktor-faktor strategis internal terdiri dari faktor-faktor yang dapat dijadikan kekuatan
dalam pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Berdasarkan hasil
wawancara dan masukan dari responden, diperoleh faktor-faktor strategis internal yang
menjadi kekuatan dan kelemahan sebagai berikut:
1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan dianggap sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi
pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Faktor-faktor yang
menjadi kekuatan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan
pengembangan klaster. Faktor-faktor itu terdiri dari:
1. Memiliki modal sosial klaster;
2. Kemampuan petani melakukan proses budidaya;
3. Ketersediaan input;
4. Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku;
5. Ketersediaan pedagang.

2. Faktor Kelemahan
Faktor- faktor yang dianggap sebagai kelemahan akan menjadi kendala dalam
upaya pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Faktor-faktor
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan petani dalam menciptakan modal usaha masih rendah;
2. Bibit mahal;
3. Kemampuan manajerial masih rendah;
4. Akses permodalan khususnya untuk petani terhadap lembaga keuangan
terbatas
5. Belum memiliki visi yang sama tentang klaster;
6. Jiwa kewirausahaan relatif rendah;
7. Daya tanggap anggota klaster khususnya petani terhadap informasi dan
sosialisasi program klaster masih kurang;
8. Belum optimalnya penggunaan gudang penyimpanan;
9. Rantai distribusi sangat panjang;
10. Sistem informasi klaster belum optimum;
11. Sebagian besar petani masih tergantung pada zat kimia;
12. Kurang terbukanya terhadap informasi baru.

Analisis Matriks IFE


Analisis IFE bertujuan untuk menilai dan mengevaluasi faktor-faktor strategis

103
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

yang berpengaruh terhadap keberhasilan strategi yang akan dilaksanakan dalam pengembangan
klaster. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor-faktor internal maupun eksternal melalui
wawancara tahap pertama, dilakukan analisis matriks IFE. Untuk elemen kekuatan diperoleh nilai
indeks akumulatif skor sebesar 3,73, sedangkan nilai akhir bobot skor untuk elemen kelemahan
sebesar 1,63, dengan total nilai bobot skor untuk faktor strategis internal sebesar 5,36. Hal ini
menunjukkan bahwa responden memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor kekuatan
dan respon yang kecil terhadap faktor kelemahan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk di atas rata-rata dalam kekuatan
internal secara keseluruhan. Dengan nilai bobot skor elemen kekuatan lebih besar dari elemen
kelemahan, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten
Nganjuk memiliki kekuatan yang mampu mengatasi kelemahan yang ada. Hasil akhir dari analisis IFE
dapat dilihat pada Tabel 6.7.

Tabel 6. 7. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Pengembangan Klaster Bawang Merah
di Kabupaten Nganjuk

No. Kekuatan Rating Bobot Skor

1 Memiliki modal sosial klaster 4 0.16 0.64


2 Kemampuan petani melakukan proses budidaya 4 0.14 0.56
3 Ketersediaan input 4 0.21 0.84
4 Adanya industri yang mampu mengolah bahan baku 3 0.27 0.81
5 Ketersediaan pedagang 4 0.22 0.88
Total Kekuatan 1.00 3.73

NO Kelemahan Rating Bobot Skor

Kemampuan petani dalam menciptakan modal usaha


1 2 0.07 0.14
masih rendah
2 Bibit mahal 1 0.07 0.07
3 Kemampuan manajerial masih rendah 1 0.07 0.07
Akses permodalan khususnya untuk petani terhadap
4 2 0.09 0.18
lembaga keuangan terbatas
5 Belum memiliki visi yang sama tentang klaster 2 0.08 0.16
6 Jiwa kewirausahaan relatif rendah 1 0.09 0.09
Daya tanggap anggota klaster khususnya petani
7 terhadap informasi dan sosialisasi program klaster masih 2 0.08 0.16
kurang
8 Belum optimalnya penggunaan gudang penyimpanan 2 0.1 0.15
9 Rantai distribusi sangat panjang 2 0.08 0.16
10 Sistem informasi klaster belum optimum 1 0.09 0.09
11 Sebagian besar petani masih tergantung pada zat kimia 2 0.08 0.16
12 Kurang terbukanya terhadap informasi baru 2 0.10 0.20
Total Kelemahan 1.00 1.63

Total Nilai Internal Factor Evaluation 5.36

104
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

6.3.2. Faktor Strategis Eksternal (External Factor Evaluation)


Berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner, diperoleh faktor-faktor strategi
eksternal yang menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan klaster bawang merah
di Kabupaten Nganjuk, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Peluang
Faktor peluang dianggap sebagai suatu potensi yang dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Potensi tersebut harus
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, terdiri dari:
1. Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat mendukung;
2. Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi;
3. Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai;
4. Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster;
5. Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun informal;
6. Inovasi teknologi produk untuk budidaya dan produk akhir;
7. Kerja sama dengan balai penelitian sudah terjalin baik;
8. Kondisi infrastruktur jalan sudah memadai.

2. Faktor Ancaman
Faktor ini dianggap sebagai ancaman yang dapat menghambat pengembangan klaster
bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Faktor-faktor tersebut harus dihindari dan
diusahakan penanggulangannya secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Faktor ini terdiri dari:
1. Gangguan hama dan OPT;
2. Keterbatasan informasi harga, produksi (waktu tanam dan luas tanam), waktu panen
dan persediaan;
3. Persaingan dengan pedagang lainnya secara global misal pemasok dari Tiongkok;
4. Fluktuasi kurs mata uang;
5. Ketidakpastian lama distribusi produk;
6. Belum terbentuknya pasar lelang komoditas bawang merah;
7. Keterbatasan lahan.

Analisis Matriks EFE


Berdasarkan akhir analisa matriks EFE, elemen peluang memperoleh nilai indeks akumulatif
skor sebesar 3,78, sedangkan nilai akhir bobot skor untuk elemen ancaman sebesar 1,64,
dengan total nilai bobot skor untuk faktor strategis eksternal sebesar 5,42. Hal ini menunjukkan
bahwa responden memberikan respon yang cukup tinggi terhadap faktor peluang dan respon
yang lebih kecil terhadap faktor ancaman. Dengan nilai bobot skor elemen peluang lebih besar
dari bobot skor elemen ancaman, dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan klaster
bawang merah di Kabupaten Nganjuk harus dapat memanfaatkan peluang dengan baik. Hasil
akhir dari analisis EFE dapat dilihat pada Tabel 6.8.

105
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Tabel 6. 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Pengembangan


Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk

No. Peluang Rating Bobot Skor


Klaster berada di wilayah dengan kondisi geografis sangat
1 4 0.08 0.32
mendukung
2 Permintaan domestik terhadap komoditas tinggi 4 0.10 0.39
3 Tersedia tenaga kerja lokal yang memadai 3.5 0.14 0.48
4 Kebijakan pemerintah mendukung pengembangan klaster 4 0.12 0.47
Ketersediaan dana dari lembaga keuangan formal maupun
5 4 0.12 0.49
informal
6 Inovasi teknologi produk untuk budidaya dan produk akhir 4 0.13 0.54
7 Kerja sama dengan balai penelitian sudah terjalin baik 3.5 0.16 0.55
8 Kondisi infrastruktur jalan sudah memadai 3.5 0.15 0.54
Total Peluang 1.00 3.78
No. Ancaman Rating Bobot Skor
1 Gangguan hama dan OPT 2 0.17 0.34
Keterbatasan informasi harga, produksi (waktu tanam dan luas
2 1.5 0.10 0.15
tanam), waktu panen dan persediaan
Persaingan dengan pedagang lainnya secara global misal
3 2 0.09 0.18
pemasok dari Tiongkok
4 Fluktuasi kurs mata uang 1 0.13 0.13
5 Ketidakpastian lama distribusi produk 1.5 0.15 0.23
6 Belum terbentuknya pasar lelang komoditas bawang merah 2 0.09 0.18
7 Keterbatasan lahan 2 0.16 0.32
8 Gangguan hama dan OPT 1 0.11 0.11
Total Ancaman 1.00 1.64
Total Nilai (Eksternal Factor Evaluation) 5.42

6.3.3. Strategi Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Kabupaten Nganjuk


Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT yang ditunjukkan oleh Tabel 6.9, maka dapat
dirumuskan beberapa alternatif strategi pengembangan klaster bawang merah di Kabupaten
Nganjuk, yaitu Strategi S-O, Stategi W-O, Strategi S-T dan Strategi W-T. Alternatif strategi yang
dapat dilakukan untuk mengembangkan klaster bawang merah yaitu:
1. Peningkatan nilai tambah bawang merah
Peningkatan nilai tambah (value added) bawang merah diperlukan untuk meningkatkan
pendapatan petani/pelaku rantai nilai. Misalnya dengan mengembangkan industri
bawang goreng di Kabupaten Nganjuk.

2. Optimalisasi gudang bawang merah


Optimalisasi gudang bawang dibutuhkan untuk mendukung penyediaan bibit bawang
merah dan perputaran keuangan petani. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
pelatihan kepada petani mengenai peran dan fungsi dari gudang bawang merah.

106
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

3. Penerapan sistem lelang dalam pemasaran


Ketidakpastian waktu pendistribusian bawang merah menunjukkan perlunya penerapan sistem
lelang bawang merah di Kabupaten Nganjuk. Seperti klaster cabai merah, penerapan sistem
lelang dapat memotivasi petani untuk terus memproduksi bawang merah berkualitas dengan
kuantitas yang cukup. Sistem lelang dapat dilakukan dengan melibatkan petani dan pengurus
kelompok tani.

4. Peningkatan capacity building petani, khususnya dalam hal manajerial,


Rendahnya kemampuan manajerial petani dalam usahatani menunjukkan perlunya upaya
peningkatan capacity building petani. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan berbagai
pelatihan kepada petani.

5. Pengembangan klaster bibit bawang merah.


Ketersediaan bibit sebagai input utama dalam budidaya bawang merah menjadi dasar
perlunya pengembangan klaster bibit bawang merah. Selain itu, harga bibit bawang merah
yang relatif mahal karena keterbatasan jumlah menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk
mengembangkan klaster bawang merah. Pengembangan klaster bibit dapat dilakukan dengan
cara membantu akses pembiayaan bagi petani untuk mengembangkan usaha pembibitan,
mengingat usaha ini membutuhkan modal yang cukup besar. Selama ini, yang mampu menjadi
penyedia bibit bawang merah adalah petani-petani yang memiliki lahan yang luas dan modal
yang memadai.

Tabel 6.9 menjabarkan matriks SWOT Pengembangan Klaster komoditas Bawang Merah di
Kabupaten Nganjuk.

107
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Tabel 6. 9. Matriks SWOT Pengembangan Klaster Bawang Merah di Kabupaten Nganjuk

Kekuatan Kelemahan
Internal 1. Memiliki modal 1. Kemampuan petani dalam
sosial klaster menciptakan modal usaha masih
2. Kemampuan rendah
petani melakukan 2. Bibit mahal
proses budidaya 3. Kemampuan manajerial masih
3. Ketersediaan rendah
input 4. Akses permodalan khususnya untuk
4. Adanya industri petani terhadap lembaga keuangan
yang mampu terbatas
mengolah bahan 5. Belum memiliki visi yang sama
Eksternal baku tentang klaster
5. Ketersediaan 6. Jiwa kewirausahaan relatif rendah
pedagang 7. Daya tanggap anggota klaster
khususnya petani terhadap informasi
dan sosialisasi program klaster
masih kurang
8. Belum optimalnya penggunaan
gudang penyimpanan
9. Rantai distribusi sangat panjang
10. Sistem informasi klaster belum
optimum
11. Sebagian besar petani masih
tergantung pada zat kimia
12. Kurang terbukanya terhadap
informasi baru

Peluang Strategi SO Strategi WO


1. Klaster berada di wilayah
dengan kondisi geografis Peningkatan nilai Peningkatan Capacity building petani,
sangat mendukung tambah bawang khususnya dalam hal manajerial
2. Permintaan domestik merah
terhadap komoditas tinggi
3. Tersedia tenaga kerja lokal
yang memadai
4. Kebijakan pemerintah
mendukung
pengembangan klaster
5. Ketersediaan dana dari
lembaga keuangan formal
maupun informal
6. Inovasi teknologi produk
untuk budidaya dan produk
akhir
7. Kerja sama dengan balai
penelitian sudah terjalin
baik
8. Kondisi infrastruktur jalan
sudah memadai

108
Bab VI - ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER KOMODITAS VOLATILE FOODS
DALAM RANGKA PENGENDALIAN INFLASI

Lanjutan Tabel 6. 9.

Ancaman Strategi ST Strategi WT


1. Gangguan hama dan OPT
2. Keterbatasan informasi 1. Optimalisasi Pengembangan klaster bibit bawang
harga, produksi (waktu gudang bawang merah
tanam dan luas tanam), merah
waktu panen dan 2. Penerapan sistem
persediaan lelang dalam
3. Persaingan dengan pemasaran
pedagang lainnya secara
global misal pemasok dari
Tiongkok
4. Fluktuasi kurs mata uang
5. Ketidakpastian lama
distribusi produk
6. Belum terbentuknya pasar
lelang komoditas bawang
merah
7. Keterbatasan lahan

109
110
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

BAB VII
ROADMAP PENGEMBANGAN
KLASTER VOLATILE FOODS

7.1. Landasan Penyusunan Roadmap Klaster


Klaster seringkali tidak berkembang atau stagnan apabila tidak memiliki kesatuan visi
dan konsensus. Visi klaster kemudian diterjemahkan dalam sasaran-sasaran strategis berupa
roadmap pengembangan klaster, termasuk klaster komoditas volatile foods yang erat kaitannya
dengan pencapaian tujuan Bank Indonesia yaitu pengendalian inflasi.

Roadmap merupakan perencanaan strategis di masa depan pada bidang tertentu yang
diperoleh dari pengetahuan bersama (collective knowledge). Elemen yang paling penting
dalam membuat roadmap adalah visi, misi, dan tujuan. Roadmap dibuat dengan harapan akan
terjadi perubahan yang ingin dicapai pada bidang tersebut. Roadmap sebaiknya merefleksikan
visi dari sekelompok ahli yang visioner sehingga dapat meraih konsensus dan pemahaman
bersama.

Tujuan jangka panjang dari roadmap adalah meningkatkan peran klaster yang memiliki
jaringan usaha yang kuat (terhubung dalam rantai nilai) sehingga tercapai stabilitas harga dan
keamanan pangan dengan iklim usaha yang kondusif dan terintegrasi melalui sistem informasi
yang robust dan kolaborasi yang saling menguntungkan. Adapun tujuan pembuatan roadmap
klaster untuk jangka waktu tertentu (3 - 5 tahun) adalah untuk membentuk klaster volatile foods
yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, kualitas, dan nilai tambah. Ruang lingkup
roadmap mencakup tahapan perencanaan strategis dan program kerja setiap tahunnya
dalam jangka waktu maksimum 5 (lima) tahun per siklus, serta identifikasi pihak-pihak yang
terkait. Program kerja yang disusun bertujuan membangun jaringan bisnis, kerja sama antara
pemerintah dan swasta, dan dialog antar para pelaku usaha dan pembuat kebijakan.

Roadmap memiliki berbagai macam bentuk, namun umumnya menggunakan pendekatan


berupa diagram atau peta berbasis waktu (time-based chart). Roadmap klaster volatile foods
dibuat berdasarkan studi kepustakaan, pengalaman Bank Indonesia dalam membina klaster,
survei di lapangan pada tiga komoditas (beras, cabai merah, dan bawang merah), dan
Focus Group Discussion (FGD) baik dengan Bank Indonesia dan stakeholders terkait lainnya
(kementerian teknis, pemerintah daerah, dinas, dan sebagainya). Untuk itu, roadmap klaster
volatile foods didesain berdasarkan konsep siklus hidup klaster dengan mengadaptasi dari
UNIDO (2013), Van Klink dan De Langen (2001), serta Menzel dan Fornahl (2010).

Berbagai studi menunjukkan bahwa secara umum klaster memiliki kesamaan siklus
hidup yang terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), kedewasaan
(maturity), dan penurunan atau reinvention (Menzel & Fornahl, 2010; Van Klink & De Langen,
2001). Dalam hal ini, fokus siklus hidup klaster tidak hanya menekankan sifat dinamis dari
klaster, tetapi menekankan pada path dependency yang mendasari pengembangan klaster.

111
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

Pada awalnya, klaster seringkali lahir melalui pembentukan beberapa perusahaan di suatu lokasi,
dan kemudian tumbuh melalui spin-offs dan replikasi dari beberapa perusahaan dengan menarik
perusahaan lain, lembaga terkait lainnya, dan lembaga pembiayaan. Pada tahap pertumbuhan, faktor
infrastruktur, pengetahuan, jaringan, modal sosial, undang-undang, dan permintaan mengalami
peningkatan sehingga klaster memiliki keterkaitan dengan pihak lainnya. Selanjutnya adalah tahap
matang, di mana klaster merupakan bagian dari lingkungan lokal (local milieu) yang didukung
oleh institusi, infrastruktur, dan budaya setempat. Selain itu, pada tahap matang biasanya terjadi
konsolidasi, fokus pada efisiensi dan skala ekonomi yang menggerakkan klaster. Tahap penurunan
terjadi apabila lingkungan eksternal mengalami perubahan yang memaksa klaster berinovasi,
melakukan pembaruan, atau bahkan ditutup. Pada tahap ini terjadi pergeseran pasar dan teknologi.

Klaster dapat menjadi lingkungan yang dapat mendukung petani dan pelaku UMKM untuk
mengembangkan usahanya. Para pelaku usaha berskala kecil dapat membangun kekuatan untuk
mencapai daya saing melalui klaster. Selain pelaku bisnis, klaster sebaiknya memiliki asosiasi bisnis,
layanan pengembangan usaha, lembaga keuangan (termasuk perbankan), pemerintah (pembuat
kebijakan publik baik di tingkat lokal, regional, dan nasional), serta lembaga pendidikan (sekolah
vokasi, universitas), dan business development service (BDS) providers.

UNIDO (2013) telah membuat pendekatan dalam mengembangkan klaster berdasarkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1) Fokus pada klaster yang sudah ada
Prinsip pertama adalah bekerja dengan klaster yang sudah terbentuk, daripada membentuk
klaster baru. Potensi dari klaster yang sudah ada perlu digali lebih mendalam. Berdasarkan hasil
penelitian, klaster bentukan baru cenderung bersifat top-down dan insentif terhadap pihak
swasta relatif terbatas.

2) Promosi berbasis sektor swasta dan pro-poor growth


Sektor swasta memegang peranan penting dalam mempromosikan pertumbuhan klaster,
termasuk mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi harus melibatkan berbagai pihak
terkait, bersifat inklusif, berkelanjutan, dan keseimbangan gender. Peningkatan produktivitas
tenaga kerja, inovasi, dan partisipasi harus dilakukan dalam klaster dengan memberdayakan
kelompok marginal, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan kesehatan dan
pendidikan tenaga kerja.

3) Mendorong efisiensi kolektif melalui aksi bersama


Prinsip ini fokus pada inisiatif yang dapat mendorong pelaku usaha dan lembaga lainnya untuk
melakukan kegiatan bersama sehingga memberikan manfaat secara luas bagi masyarakat
di sekitar klaster. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu memelihara hubungan antar
stakeholders dalam klaster, membangun tujuan atau nilai bersama, membangun hubungan,
membangun kepercayaan, memperkuat mekanisme tata kelola, dan mendukung jaringan
kelembagaan klaster.

4) Memperkuat mekanisme tata kelola klaster


Prinsip ini dilakukan dengan merubah pola interaksi antar stakeholders dalam klaster dan
membangun lembaga/institusi yang dapat memimpin dan mengkoordinasikan berbagai
kegiatan bersama. Tata kelola yang baik dalam klaster berupa kegiatan yang terkoordinasi dan
perencanaan yang efektif, sehingga dapat memperbaiki kinerja klaster. Dengan demikian akan
terbangun modal sosial seperti kepercayaan dan shared values untuk mengembangkan klaster
lebih baik.

Brenner & Schlump (2011) menyusun strategi yang diperlukan pada setiap tahap siklus klaster.
Strategi pada setiap tahapan dapat dilihat pada Tabel 7.1.

112
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

Tabel 7. 1. Strategi yang Diperlukan pada setiap Tahapan Siklus Hidup Klaster

Tahapan Penting
pada Siklus Hidup Strategi yang Diperlukan
Klaster
Memulai promosi (science park, inkubasi)
Dukungan kerja sama (rapat dan sebagainya)
Awal (initial) Pengembangan budaya inovatif
Pembangunan laboratorium
Dukungan penelitian dan pengembangan
Pendidikan dan pelatihan, konferensi, proses pembelajaran

Ekspansi Awal (initial Membangun jaringan (informal, institusional) dan aktivitas bersama
expantion) Dana awal, akses permodalan lebih baik, modal usaha
Pemasaran dan pelayanan
Aktivitas penyaringan, akses terhadap teknologi baru
Ekspansi
Koordinasi dan kerja sama industri
Ekpansi menuju
Spin-off support dalam keuangan, kolaborasi, dan pelayanan
tahap matang
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), tenaga kerja spesialisasi
Pelayanan
Matang (maturity) Pembaharuan jaringan dan kerja sama
Pembangunan proyek yang lebih besar
Pengembangan lembaga penelitian

Sumber: Brenner & Schlump (2011)

7.2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods


Kebijakan pengembangan klaster pertanian (agro-based cluster) merupakan hal yang
krusial khususnya bagi petani dalam rangka meningkatkan produktivitas, berorientasi pasar,
dan bernilai tambah. Rumusan kebijakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi wilayah,
sosial ekonomi masyarakat lokal, dan karakteristik komoditas. Intervensi kebijakan pemerintah
akan berbeda sesuai dengan tahapan dari roadmap tersebut. Pada tahap awal, kebijakan
yang dibuat harus dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi klaster. Sementara fase
matang memerlukan kebijakan yang dapat mendorong inovasi sehingga klaster dapat mandiri,
berdaya saing, dan berkelanjutan.

Berdasarkan studi literatur serta hasil pengamatan terhadap klaster Bank Indonesia yang
menjadi objek kajian, disusunlah roadmap pengembangan klaster volatile foods dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun per siklus. Setiap siklus memiliki 6 (enam) tahapan yaitu: 1) seleksi/pemilihan
Klaster, 2) pengenalan, 3) pertumbuhan dan ekspansi, 4) matang/bertahan, 5) replikasi, dan
6) phasing out. Setelah kelima tahapan selesai dilaksanakan, klaster akan bersiap-siap untuk
phasing out. Setelah phasing out, klaster diharapkan dapat tumbuh dan berkembang tanpa
didampingi oleh pihak lain (Bank Indonesia). Tahapan tersebut bersifat umum dan dapat

113
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

diimplementasikan untuk komoditas pertanian lainnya. Klaster berbasis pertanian perlu


didorong oleh berbagai institusi publik maupun swasta karena terindikasi memiliki berbagai
kelemahan dari pelaku utama klaster, khususnya petani (Sharma dan Anupam, 2014).

Tahapan klaster berdasarkan pada aktor-aktor yang terlibat, kolaborasi, waktu,


kompetensi dan pengetahuan anggota klaster, serta kelembagaan (Porter, 1990; Andersson
et al. 2004; Fornahl, 2009). Aktor-aktor yang terlibat antara lain anggota utama rantai nilai
(petani, pedagang/pengumpul, dan pengolah) dan pemerintah (pusat maupun daerah).
Institusi yang terlibat dalam klaster volatile foods di level nasional antara lain: Bank Indonesia,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Koperasi dan UKM, dan Badan Urusan Logistik (Bulog). Sedangkan aktor-
aktor yang terlibat di tingkat regional antara lain Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Bulog, perusahaan swasta, dan lembaga keuangan
(bank maupun non bank). Komitmen untuk membangun klaster di tingkat pusat maupun
daerah perlu dilakukan melalui suatu nota kesepahaman bersama atau Memorandum of
Understanding (MoU) secara tertulis. MoU tersebut diharapkan dapat membangun kolaborasi
yang kuat sehingga pengembangan klaster dilaksanakan secara bersama-sama. Selanjutnya,
komitmen tersebut akan ditindaklanjuti secara operasional di level lokal.

Hal terpenting dalam penyusunan roadmap adalah penyamaan persepsi di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, perlu didorong kerja sama yang lebih kuat di antara
anggota utama klaster dan institusi pendukungnya yang berasal dari pemerintah, universitas
dan lembaga penelitian, lembaga keuangan, perusahaan swasta, dan asosiasi. Pemerintah
pusat dan daerah perlu melakukan promosi untuk mendukung klaster berbasis pertanian
di wilayah tertentu secara efisien dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, klaster tersebut
dapat membentuk identitas wilayah tertentu. Misalnya Kabupaten Nganjuk dikenal sebagai
wilayah penghasil bawang merah serta bibit unggul bawang merah. Atau saat ini, Kota Malang
dikenal sebagai daerah penghasil apel yang didukung oleh UMKM pengolah apel serta
ekowisata berbasis komoditas apel. Roadmap pengembangan klaster volatile foods disajikan
pada Gambar 7.1.

Gambar 7. 1. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods

6.
1.
Phasing Out
Seleksi/
Pemilihan
Klaster

5. 2.
Replikasi Pengenalan

4. 3.
Mature/ Pertumbuhan
Bertahan dan Ekspansi

114
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

Masing-masing tahapan dari roadmap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

7.2.1. Seleksi/ pemilihan Klaster


Tahap pertama yang dilakukan dalam roadmap klaster volatile foods adalah melakukan
seleksi/pemilihan klaster. Tahap ini memerlukan koordinasi antara Bank Indonesia, Pemerintah
Daerah dan institusi terkait (lembaga penelitian/perguruan tinggi). Output dari tahapan ini
adalah teridentifikasinya komoditas potensial di suatu wilayah yang dijadikan binaan klaster.
Tahap ini dilakukan dalam jangka waktu sembilan bulan atau tiga kuartal.
1. Pemetaan potensi komoditas dan kawasan klaster
Pada tahap ini, perlu dilakukan pemetaan potensi daerah yang meliputi komoditas
potensial/unggulan, lembaga/institusi terkait, serta klaster yang telah ada. Hal ini akan
menggambarkan kebutuhkan suatu daerah secara lebih rinci dan mengidentifikasi
keberadaan klaster komoditas tertentu di wilayah tersebut.

2. Pemahaman proses bisnis klaster


Tahapan ini memerlukan analisis mendalam untuk memilih klaster komoditas tertentu yang
memiliki permintaan tinggi dan dapat mempengaruhi inflasi nasional di suatu wilayah.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memahami proses bisnis klaster komoditas yang
dapat meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi laju inflasi.

3. Diagnosis klaster (analisa rantai nilai)


Salah satu pendekatan analisis yang dapat digunakan adalah analisis rantai nilai.
Termasuk di dalamnya mengidentifikasi pelaku usaha yang terlibat (petani/kelompok tani,
pedagang, pengolah) yang akan dibina dalam klaster. Selain itu diperlukan juga pemetaan
kelembagaan (institutional mapping) untuk mengidentifikasi institusi publik dan swasta
yang akan berperan dalam klaster.

4. Pembentukan klaster (diutamakan yang telah ada)


Dalam pemilihan klaster perlu dipertimbangkan bahwa komoditas tersebut sudah lama
diusahakan oleh masyarakat setempat sehingga telah terbentuk modal sosial di antara
elemen masyarakat tersebut.

5. Penentuan target pasar


Identifikasi rantai nilai komoditas terpilih dilakukan sekaligus untuk menentukan target
pasar di masa depan sehingga dapat menjamin pasar dari produk yang akan dihasilkan.

7.2.2. Pengenalan
Tahap kedua bertujuan untuk memperkenalkan klaster yang terpilih dan menjalin
kolaborasi dengan pihak-pihak yang terkait. Tahap ini juga sudah mulai mencakup fasilitasi
teknis berupa pelatihan budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), fasilitasi demplot,
dan penyediaan alat atau mesin yang diperlukan. Strategi kolaborasi dibagi menjadi 3 (tiga)
jenis yaitu kolaborasi yang bersifat strategis, taktis dan operasional (Handayani et al., 2012).
Kolaborasi strategis dilakukan di level nasional, sedangkan kolaborasi yang bersifat taktis
dilakukan pada level regional, di antara anggota rantai pasok utama dan institusi daerah.
Kolaborasi operasional dilakukan pada level kelompok tani, pedagang, dan pengolah serta
penyuluh yang bertanggung jawab secara langsung dalam operasionalisasi klaster. Tahap ini
membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun atau empat kuartal.

115
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

1. Penandatanganan MoU klaster di level pusat maupun daerah


Klaster tidak hanya melibatkan anggota utama rantai pasok, tetapi juga institusi pendukung
lainnya harus terlibat aktif. Anggota rantai pasok dan institusi tersebut pada wilayah tertentu
harus menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Kesepahaman bersama antara anggota
rantai pasok dan stakeholders terkait, khususnya yang bersifat horizontal perlu diciptakan pada
tahap pengenalan ini melalui mutual trust. Kolaborasi akan mendorong sinergi kerja sama di
antara aktor klaster baik yang memiliki keterkaitan horizontal maupun vertikal. Aktor-aktor yang
terlibat dalam hubungan horizontal yaitu anggota utama rantai pasok, pemerintah, asosiasi,
universitas, lembaga penelitian, lembaga keuangan, sedangkan aktor yang memiliki keterkaitan
vertikal adalah para pemasok bibit, peralatan dan mesin pertanian.

Output dari fase ini adalah adanya Memorandum of Understanding (MoU) di antara pelaku
anggota rantai pasok dan dinas-dinas atau lembaga yang terkait pada klaster tertentu. MoU
tersebut merupakan panduan untuk mengembangkan klaster oleh beberapa institusi yang
terkait. Selain itu merupakan kerangka kerja klaster.

2. Sosialisasi klaster (seminar/workshop)


Pada tahap pengenalan diperlukan pemahaman dan komitmen bersama di antara stakeholders
yang bersifat top down approach untuk memperkuat klaster. Sedangkan pada tingkat anggota
utama rantai pasok (petani, pedagang, dan pengolah) diperlukan juga komunikasi dan partisipasi
aktif untuk terlibat dalam kegiatan klaster, khususnya program sosialisasi. Selain itu, kegiatan
sosialisasi tentang klaster mulai dilakukan secara intensif untuk mendorong motivasi pada
keikutsertaan dan pemahaman kegiatan klaster.

3. Pelatihan teknis budidaya


Output dari tahap ini adalah pemahaman akan Good Agricultural Practices (GAP) sekaligus
mengintroduksikan teknologi/inovasi dalam budidaya.

4. Sosialisasi dan implementasi peralatan/mesin baru


Sejalan dengan kegiatan pelatihan teknis budidaya, pada tahap ini juga dapat dilakukan
sosialisasi peralatan/mesin baru yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

5. Fasilitasi demplot
Fasilitasi demonstration plot (demplot) dilakukan bekerja sama dengan Dinas Pertanian terkait.
Tujuannya memberikan percontohan untuk mengintroduksikan teknik budidaya maupun inovasi-
inovasi lainnya yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

6. Pemilihan target pasar


Sebagai kelanjutan analisis rantai nilai yang dilakukan pada tahap sebelumnya, pada tahap ini
klaster harus mulai menentukan target pasar dari komoditas yang diproduksi.

Pengembangan klaster pada tahap ini merupakan langkah awal untuk menyusun rencana
strategis terkait program dan kelembagaan klaster. Selain itu, tidak kalah penting adalah upaya
membangun kepercayaan antar anggota klaster dan meyakinkan anggota klaster agar berkolaborasi
secara terus menerus.

116
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

7.2.3. Pertumbuhan dan Ekspansi


Pada tahap pertumbuhan, petani diharapkan telah memahami aspek teknis budidaya
sehingga mampu meningkatkan produksi komoditas berkualitas tinggi. Pada tahap ini petani
dapat meningkatkan luas lahan sehingga produktivitas meningkat. Pengetahuan petani
dalam budidaya semakin meningkat dan lebih beragam. Local champion pada fase ini akan
muncul sebagai role model untuk petani/kelompok tani lainnya. Pertumbuhan klaster sangat
signifikan yang ditandai dengan peningkatan jumlah petani/kelompok tani yang terlibat
dalam klaster dan produktivitas panen meningkat. Tahapan pertumbuhan dan ekspansi
memerlukan waktu kurang lebih tujuh kuartal atau 21 bulan.
1. Pelatihan manajerial dan kewirausahaan
Pada tahap ini, capacity building untuk petani ditambah dengan meningkatkan
kemampuan manajerial dan kewirausahaan.

2. Subsidi peralatan/mesin baru


Mesin/peralatan dapat merupakan bantuan/subsidi dari lembaga tertentu (Program
Sosial Bank Indonesia atau Dinas terkait) atau swadaya dari desa/kelompok tani.

3. Pembangunan infrastruktur
Pada tahap ini juga mulai dibangun infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan klaster
tersebut, misalnya perbaikan jalan khususnya ke lahan pertanian (farmer roads) dan
irigasi yang memadai.

4. Penanganan hama dan penyakit serta perbaikan mutu bibit


Penggunaan bibit unggul serta pelatihan penanganan hama terpadu (misalnya melalui
kegiatan SLPTT) perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas klaster.

5. Peningkatan akses pasar


Akses pasar pada tahap ini mulai mengalami peningkatan. Akses pasar akan menstimulasi
pertumbuhan klaster lebih cepat. Akses pasar yang semulai bersifat lokal, kemudian
diperluas menjadi nasional. Jika swasembada komoditas terpenuhi, maka tidak tertutup
kemungkinan pasar meluas secara global. Peningkatan akses pasar, aset, dan kapabilitas
merupakan faktor utama penentu daya saing klaster (Porter 1990; Bergmann, 2008).

6. Peningkatan akses pembiayaan


Pengembangan klaster memerlukan teknologi dan pengetahuan yang lebih maju. Oleh
karena itu, anggota utama klaster khususnya para petani memerlukan modal yang
relatif besar. Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan
produktivitas anggota utama klaster, khususnya petani. Dengan demikian, akses
pembiayaan untuk petani sebaiknya ditingkatkan. Peran lembaga keuangan pada tahap
ini sudah mulai ada untuk memperkuat permodalan usaha petani.

117
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

7.2.4. Matang/Bertahan
Pada tahap ini, kondisi klaster diharapkan telah mapan dan mandiri yang berlangsung
selama lima kuartal atau 15 bulan.
1. Memperkuat aliansi/kerja sama dengan stakeholders
Untuk mempertahankan kinerja klaster, diperlukan aliansi/kerja sama dengan
stakeholders terkait. Misalnya, klaster membangun kerja sama dengan perusahaan
pengolahan maupun dengan pasar modern. Dengan terjaminnya pasar, maka klaster
akan mampu bertahan dan mandiri secara berkelanjutan.

2. Optimalisasi manajemen logistik: gudang komoditas


Ketersediaan infrastruktur logistik sangat diperlukan, antara lain ketersediaan gudang
untuk menampung komoditas. Selain untuk menyimpan komoditas, gudang juga
dapat berperan sebagai pusat distribusi klaster di wilayah tertentu. Gudang persediaan
komoditas sebaiknya berprinsip pada ekonomis. Artinya persediaan komoditas tidak
berlebihan dan tidak kekurangan. Fluktuasi permintaan pada musim-musim tertentu,
misal lebaran, natal, dan tahun baru dapat diatasi melalui persediaan yang memadai di
gudang. Lokasi gudang sebaiknya dibangun di pusat klaster. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam membangun gudang yaitu: 1) pangsa pasar dan kestabilan
komoditas, 2) sifat/ karakteristik komoditas, 3) lokasi dan ukuran gudang, 4) teknologi
yang digunakan, dan 5) biaya.

3. Memperkuat kelembagaan Gapoktan dan tata kelola klaster


Aspek kelembagaan sangat krusial dan perlu diperkuat untuk menunjang keberhasilan
agro-based cluster. Selain berusaha mencapai tujuan, kelembagaan yang kuat akan
mampu mempertahankan keberadaan agar berkelanjutan terutama setelah program
klaster BI berakhir. Kelembagaan klaster dibangun melalui suatu organisasi yang kuat,
di mana komitmen dan tata kelola yang baik (good corporate governance) merupakan
aspek yang sangat penting.

Melalui tata kelola klaster (cluster governance), kelembagaan dikelola secara efektif
dan efisien. Bell et al. (2009) membagi tata kelola menjadi dua kelompok, yaitu tata
kelola relasional (relational governance) dan hierarki (hierarchical governance). Tata
kelola relasional dibangun berdasarkan norma-norma relasional yang implisit seperti
pemahaman bersama, kepercayaan, pengetahuan yang sama untuk mengikat aktor-
aktor dalam klaster. Sedangkan tata kelola hierarkis berdasarkan pada kewenangan
dan kebijakan untuk menggerakkan klaster. Umumnya tata kelola hierarkis berbasis
pada top-down policies. Hal penting dalam tata kelola klaster adalah koordinasi dan
regulasi karena berperan sebagai pengendali dan pengatur, koordinasi, dan sumber
pengetahuan untuk mengembangkan klaster.

7.2.5. Replikasi
Apabila dilihat dari sisi produksi, total produksi klaster Bank Indonesia belum signifikan
apabila dibandingkan dengan total produksi nasional. Namun, mengingat berbagai dampak
positif yang dirasakan pelaku usaha tani melalui klaster, diharapkan klaster Bank Indonesia
dapat menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah, sehingga
dapat memberikan snowing ball effect yang berdampak luas bagi peningkatan kegiatan
perekonomian di suatu wilayah. Di samping itu, beberapa praktik terbaik dari program
klaster Bank Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan komoditas tersebut
oleh Pemda atau kelompok petani.

118
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

Pada tahap replikasi, aspek penting yang perlu dikembangkan adalah meningkatkan
nilai tambah dari komoditas sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Upaya
replikasi mulai dilakukan dengan melibatkan kelompok tani/gapoktan lain. Tahapan ini
dilakukan dalam jangka waktu tiga kuartal atau 9 bulan.

1. Peningkatan nilai tambah komoditas (pengolahan pascapanen dan penerapan alternatif


teknik budidaya organik).
Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengolahan komoditas pascapanen.
Misalnya, pengolahan bawang merah menjadi bawang merah goreng dan pengolahan
cabai menjadi sambal kemasan atau cabai kering. Selain itu dapat dilakukan juga dengan
penggunaan teknik budidaya baru, misalnya budidaya secara organik. Harga komoditas
organik lebih mahal dibandingkan dengan komoditas biasa.

2. Replikasi klaster
Replikasi klaster mulai dapat dilakukan pada fase ini, misalnya melalui knowledge
sharing dengan kelompok tani atau gabungan kelompok tani (gapoktan) lain. Replikasi
dapat diinisiasi oleh kelompok tani/gapoktan atau melalui dorongan dari pihak Pemda.
Klaster yang berhasil menunjukkan kemampuan mengombinasikan kapabilitas, insentif,
dan peluang. Pada tahap ini, dampak yang dirasakan oleh klaster yang berhasil bisa
ditularkan lebih cepat seperti bola salju (snowing ball effect). Interaksi antar klaster yang
berhasil di satu provinsi dapat memberikan dampak ke klaster lainnya di luar provinsi.
Selanjutnya apabila klaster di luar provinsi tersebut berhasil, maka akan menjadi role
model untuk pengembangan klaster di wilayah lainnya. Hal tersebut akan memberikan
dampak yang sangat besar dan usaha pengembangan klaster lebih efisien dan efektif.
Saat ini, role model dan strategi pengembangan klaster melalui word of mouth dianggap
lebih efektif dan efisien.

7.2.6. Phasing Out


Tahap terakhir dari roadmap klaster adalah phasing out, yaitu pada saat klaster dapat
dilepas dari binaan untuk kemudian berkembang secara mandiri. Namun demikian, komitmen
stakeholders dan anggota rantai pasok utama harus diperkuat lagi pada fase ini, misalnya
penguatan akses input, budidaya, pasar, dan pembiayaan, serta dukungan infrastruktur yang
memadai. Pada tahap ini, klaster mampu bersaing dan menciptakan nilai ekonomis yang
lebih besar. Tabel 7.2. menyajikan roadmap klaster volatile foods di Indonesia.

Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster.
Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik komoditas klaster, lokasi/
daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.

119
120
Tabel 7. 2. Roadmap Pengembangan Klaster Volatile Foods di Indonesia
Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Pemetaan potensi BI, Dinas Pertanian
komoditas dan
kawasan klaster  
Pemahaman BI, Dinas Pertanian
proses bisnis
klaster  
Diagnosis klaster, BI, Dinas Pertanian,
I. Seleksi antara lain analisis perguruan tinggi, lembaga
Klaster rantai nilai penelitian  
Proses BI, Dinas Pertanian
pembentukan
klaster,
diutamakan yang
sudah ada  
Penentuan target BI, Dinas Perdagangan
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

pasar
Penandatanganan BI, Bulog, Bappeda,
MoU klaster baik Dinas Pertanian, Dinas
di tingkat pusat Perindustrian, Dinas
maupun wilayah Perdagangan, Dinas
klaster Pekerjaan Umum, perguruan
tinggi lokal, lembaga
penelitian, perbankan,
Asosiasi, pelaku usaha  
II. Pengenalan
Sosialisasi klaster: BI, Pemda, lembaga
seminar dan penelitian (perguruan tinggi
workshop dan non perguruan tinggi),
perbankan dan asosiasi  
Pelatihan teknis Dinas Pertanian, Asosiasi
budidaya: Good
Agricultural
Practices  
Lanjutan Tabel 7. 2

Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Sosialisasi dan BI, Dinas Pertanian,
implementasi perguruan tinggi, lembaga
peralatan/mesin penelitian, asosiasi
II. Pengenalan baru  
Fasilitasi demplot Dinas Pertanian, Asosiasi
Pemilihan target BI, Dinas Pertanian, Asosiasi
pasar  
Pelatihan Perguruan tinggi, lembaga
manajerial dan penelitian, Pemda, BI, Dinas
kewirausahaan Koperasi dan UKM  
Subsidi peralatan/ BI, Dinas Pertanian, Dinas
mesin baru Koperasi dan UKM  
Pembangunan Bappeda dan Dinas
III. infrastruktur Pekerjaan Umum      
Pertumbuhan Penanganan hama Dinas Pertanian, Asosiasi,
dan Ekspansi dan penyakit serta Universitas,Lembaga
perbaikan mutu penelitian
bibit  
Peningkatan akses Bi, Dinas Perdagangan
pasar      
Peningkatan akses BI dan lembaga keuangan:
pembiayaan bank dan non bank    
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

121
122
Lanjutan Tabel 7. 2
Tahun
Instansi/Lembaga yang
Tahapan/Fase Program Kerja 1 2 3 4 5
Terlibat
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
Memperkuat BI, Bappeda, DInas Pertanian,
aliansi kerja sama Dinas Perindustrian, Dinas
stakeholders Perdagangan, Bulog, Dinas
Koperasi dan UKM, Lembaga
keuangan  
Optimalisasi Dinas Perdagangan,
IV. Matang/
manajemen Bappebti
Bertahan
logistik: gudang
komoditas        
Memperkuat Dinas Pertanian, Dinas
kelembagaan Koperasi dan UKM
gapoktan dan tata
kelola klaster      
Peningkatan BI, Dinas Perindustrian, Dinas
nilai tambah pertanian, perguruan tinggi,
Bab VII - ROADMAP PENGEMBANGAN KLASTER VOLATILE FOODS

komoditas, lembaga penelitian


misalnya
pengolahan
V. Replikasi
pascapanen atau
penerapan teknik
budidaya organik    
Replikasi model BI, Bappeda, Dinas Pertanian
klaster
Optimalisasi BI, Pemda, anggota utama
penguatan rantai pasok
komitmen
VI Phasing
stakeholders,
out
misalnya akses
bahan baku, pasar,
dan pembiayaan

Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster. Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik
komoditas klaster, lokasi/daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

BAB VIII
STRATEGI PENGEMBANGAN
DAN INTEGRASI KLASTER

Program klaster komoditas pangan atau komoditas bergejolak (volatile foods) yang merupakan
bagian dari program pengendalian inflasi Bank Indonesia terbukti memiliki dampak positif bagi
peningkatan kinerja usahatani dan pendapatan petani. Berdasarkan hasil pengamatan dan survei
terhadap 3 klaster di lokasi kajian, beberapa dampak positif klaster adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kinerja usaha tani yang tergambar dari peningkatan produktivitas, akses terhadap
pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan inovasi budidaya yang
lebih baik (organik).
2. Meningkatkan pendapatan rata-rata pelaku usaha tani yang disebabkan meningkatnya jumlah
dan kualitas produksi.
3. Berkembangnya aspek kelembagaan pelaku usaha tani (bertambahnya jumlah anggota koperasi/
kelompok tani dan meningkatnya peran dan kontribusi koperasi/kelompok tani).
4. Meningkatkan akses terhadap informasi dan pasar output serta peningkatan daya tawar petani
dengan bertambahnya pilihan pasar output bagi petani.
5. Meningkatkan akses pembiayaan bagi pelaku usaha tani.

Meskipun berdampak positif terhadap petani dan anggota klaster lainnya, untuk memberikan
dampak lebih luas khususnya terhadap upaya stabilisasi harga, pengembangan klaster memerlukan
strategi lebih komprehensif dan terintegrasi. Umumnya, pengembangan klaster yang dilakukan di
masing-masing wilayah Kantor Perwakilan Bank Indonesia masih terfokus pada upaya penguatan
kelompok/kelembagaan dan peningkatan produksi. Namun demikian, beberapa klaster dengan
keunggulan produksi dan lahan yang luas mulai meningkatkan fasilitasi terhadap akses pasar dan
pembiayaan. Dengan memfasilitasi akses pasar, produksi klaster diharapkan akan mampu memenuhi
kebutuhan (supply side) dan berkontribusi terhadap pembentukan harga, sejalan dengan upaya
pengendalian inflasi yang dilakukan Bank Indonesia, khususnya komoditas volatile food.

Selain produksi (supply side), klaster juga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
(demand side), khususnya pada waktu-waktu tertentu. Untuk itu, integrasi mutlak diperlukan.
Pertama, dengan memetakan klaster komoditas volatile foods yang dikembangkan baik oleh Bank
Indonesia maupun pemerintah daerah di seluruh Indonesia, sehingga dapat diketahui jadwal dan
produksi yang dihasilkan. Selain sisi supply, pemetaan juga dilakukan dari sisi demand yang meliputi
konsumen lokal dan konsumen di luar wilayah.

Selain sisi demand dan supply, pengembangan klaster juga memerlukan dukungan dan komitmen
dari pemerintah daerah dan institusi pendukung lainnya, antara lain dalam bentuk dukungan
infrastruktur, teknis budidaya, berbagai inovasi teknologi dan sebagainya yang mampu mendorong
pengembangan klaster. Penguatan koordinasi dapat dilakukan melalui integrasi dan sinergi antara
program klaster yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan program-program pemerintah daerah/
instansi terkait lainnya. Dengan demikian, program klaster dapat memberikan dampak positif yang
lebih signifikan terhadap peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.

123
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

8.1. Integrasi Klaster


Integrasi klaster sebaiknya dilakukan melalui suatu lembaga yang mampu
mengkoordinasikan berbagai instansi terkait. Salah satu contoh lembaga yang sudah ada
adalah Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang terbentuk sejak tahun
2008 dengan tujuan membantu pencapaian target inflasi tingkat daerah. Hal ini sejalan dengan
arah pengembangan klaster sebagai salah satu upaya untuk mendukung pengendalian inflasi
khususnya dari sisi supply. Untuk itu, keberadaan TPID dapat dimanfaatkan untuk melakukan
integrasi program klaster secara lebih luas. Salah satu instrumen dari pengendalian inflasi
adalah operasi pasar. Dengan adanya koordinasi di level TPID, maka klaster BI dapat terlibat
secara langsung operasi pasar tersebut selain pihak-pihak lainnya.

Selain TPID, komponen yang terdapat dalam usulan integrasi klaster adalah para pelaku
usaha atau aktor-aktor utama yang terlibat dalam sisi supply klaster komoditas yang akan
dikembangkan dan pasar input. Aktor-aktor utama yang terlibat dalam klaster meliputi petani,
kelompok tani/gapoktan, pengumpul/pedagang dan pengolah. Sementara pasar input juga
merupakan bagian penting dalam peningkatan produksi pertanian sehingga dipandang perlu
untuk diintegrasikan ke dalam klaster.

Usulan integrasi klaster sebagai bagian dari program TPID akan berada pada level kota/
kabupaten dan provinsi. Gambar 8.1 menyajikan konsep integrasi klaster dalam kaitannya
dengan pengendalian inflasi di tingkat regional (kota/kabupaten), sedangkan Gambar
8.2 menyajikan konsep integrasi klaster di level provinsi. TPID provinsi akan memetakan
kabupaten/kota mana yang terjadi surplus atau defisit produksi suatu komoditas sehingga
dapat diantisipasi dengan memindahkan komoditas yang dibutuhkan dari daerah surplus ke
daerah defisit. Perpindahan komoditas antar daerah ini perlu didukung oleh sistem distribusi
yang baik antar daerah di dalam provinsi tersebut.

124
KOORDINATOR

TPID: Perwakilan BI dan Pemda(Sekda, Bappeda, SKPD Pertanian, Perhubungan, Perdagangan, dan Perindustrian)

INPUT MAIN ACTORS Gudang Konsumen:


lokal
- Bibit
- Alsintan Retail
- Pupuk Kelompok
- Pestisida Pengumpul/
Petani tani/ Pengolah
pedagang Konsumen:
Gapoktan
luar wilayah
Gambar 8.1. Integrasi Klaster Bank Indonesia

Supporting infrastructure (System Logistik Nasional) dan Supporting Institutions

Jalan/ Universitas/Lembaga Lembaga


Transportasi Listrik Irigasi Komunikasi
pelabuhan Penelitian keuangan
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Roadmap di atas bersifat fleksibel, sesuai dengan kondisi dari masing-masing klaster. Jangka waktu roadmap dapat dipengaruhi antara lain karakteristik
komoditas klaster, lokasi/daerah klaster, dan kondisi awal klaster pada saat mulai dikembangkan.

125
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Gambar 8. 2. Integrasi Klaster dalam Kaitannya Dengan Pengendalian Inflasi di Tingkat Provinsi

8.2. Strategi Pengembangan Klaster


Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan, dari 3 komoditas klaster yang
menjadi objek penelitian, secara umum perumusan strategi meliputi beberapa aspek, yaitu:
1. Peningkatan kualitas bibit untuk meningkatkan kualitas produksi.
2. Pemberdayaan petani, khususnya dari aspek manajerial.
3. Peningkatan nilai tambah produk.
4. Peningkatan infrastruktur/sarana logistik pendukung, antara lain menyediakan gudang
untuk menampung hasil produksi, maupun optimalisasi peran institusi pendukung seperti
Bulog.
5. Penguatan sistem informasi dan peningkatan akses pemasaran, misalnya dengan
memanfaatkan pasar lelang serta menghubungkan dengan industri pengolahan maupun
pasar modern sehingga terjalin kemitraan strategis dengan pasar.

Dari beberapa alternatif strategi tersebut di atas, untuk mengembangkan klaster


dirumuskan beberapa strategi utama yang berprinsip pada 3 (tiga) aspek, yaitu (1) peningkatan
produktivitas (higher productivity), (2) peningkatan akses pasar (more market oriented), dan
(3) peningkatan kualitas dan nilai tambah (higher value added). Untuk mewujudkan ketiga
komponen tersebut, beberapa usulan strategi yang perlu dilakukan meliputi:

126
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

1. Optimalisasi peran TPID


TPID yang terdiri atas unsur perwakilan BI dan Pemerintah Daerah (Sekda, Bappeda, SKPD
Pertanian, Perhubungan, Perdagangan, dan Perindustrian) bertindak sebagai koordinator dan
fasilitator dalam pengembangan klaster di kota/kabupaten. Adapun TPID berperan dalam
menyusun analisis perkiraan produksi dan konsumsi komoditas selama 1 tahun sehingga
dapat diidentifikasi waktu-waktu di mana terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang
mendorong kenaikan harga.
2. Peningkatan akses pasar
Intervensi pada aspek pemasaran sebaiknya dilakukan dari sisi pasar output maupun input,
misalnya dengan membangun kemitraan dengan pedagang/industri pengolahan/pasar modern.
Dengan demikian, petani akan merasa yakin untuk menanam karena pasarnya sudah jelas. Di
samping akses ke pasar output, akses ke pasar input juga perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan
pendapatan petani, dapat dilakukan dengan memotong rantai distribusi, misalnya dengan
menerapkan sistem pasar lelang atau dengan melakukan penjualan secara online (e-commerce).
3. Keterlibatan local champion
Pada tahap persiapan klaster pendekatan dilakukan terutama kepada ‘local champion’ sebagai
role model. Keberhasilan role model akan mendorong petani-petani lainnya untuk menjadi
peserta klaster.
4. Pengadaan fasilitas penyimpanan/pergudangan
Fasilitas pergudangan sangat penting untuk mengantisipasi excess demand dan excess supply
yang terjadi di pasar. Fasilitas ini terutama ditujukan untuk produk-produk yang relatif tahan
lama, seperti beras dan bawang merah.
5. Peningkatan peran supporting institutions dan supporting infrastructure (logistic system)
Untuk meningkatkan akses pelaku klaster ke pasar input dan pasar output serta peningkatan
produksi dan nilai tambah (melalui pengolahan), dukungan institusi terkait dan dukungan
insfrastruktur yang memadai sangat diperlukan.

Penjelasan selengkapnya dari masing-masing strategi tersebut sebagaimana disajikan pada


Tabel 8.1.

Tabel 8. 1. Strategi Integrasi Klaster

Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
I. Optimalisasi peran TPID
a. Melakukan analisis prakiraan tingkat konsumsi dan
produksi komoditas tertentu dalam periode satu tahun.
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi waktu-waktu
ketika terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang
berdampak pada kenaikan harga, misalnya pada saat √
hari raya. Biasanya, pola ini akan berulang-ulang setiap
tahunnya.
b. Setelah mengidentifikasi pola produksi dan konsumsi
dalam periode satu tahun, dilakukan identifikasi rantai
pasok komoditas untuk mengetahui pelaku usaha, pola √
aliran produk, aliran informasi dan lembaga pemasaran
yang terlibat dalam rantai pasok.

127
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Lanjutan Tabel 8. 1.
Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
c. Melakukan perencanaan produksi dan konsumsi selama
satu tahun ke depan sehingga dapat diperkirakan waktu-

waktu terjadinya lonjakan permintaan (hari raya) atau
penurunan produksi (belum panen)
d. Sesuai perencanaan/jadwal produksi yang telah disusun,
disusun jadwal penanaman komoditas melalui integrasi
klaster. Dengan demikian, dapat diketahui berapa klaster √
yang dapat dilibatkan dan apabila kurang dapat dipasok
dari pihak lain.
e. Pemilihan ‘kendaraan yang tepat’. Pendekatan dalam
pembentukan bisa dilakukan melalui kelompok tani,

gapoktan atau koperasi yang telah berdiri di wilayah
tersebut.
II. Penguatan aspek pasar
a. Melakukan audiensi dan memfasilitasi pedagang untuk
√ √
terlibat dan menjadi anggota klaster
b.
Meningkatkan akses pedagang terhadap kredit/
pembiayaan untuk pembelian produk dari petani. Sebagai

kompensasi, pedagang diminta untuk menjual sebagian
produknya di pasar lokal
c. Meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan melalui
pengolahan atau menjalin kemitraan dengan perusahaan √
pengolah.
d. Meningkatkan akses petani terhadap pasar input dengan
membangun kerja sama dengan perusahaan-perusahaan √ √
input (pupuk, pestisida dll).
e. Meningkatkan kerja sama antara petani (melalui kelompok
tani/gapoktan) dengan pemulia (breeder) dan perusahaan √ √
benih untuk mendapatkan benih berkualitas.
f. Memotong jalur distribusi untuk meningkatkan pendapatan
petani, misalnya dengan memanfaatkan pasar lelang atau √
menerapkan penjualan secara online (e-commerce).

III. Keterlibatan Local Champions


a. Melibatkan local champion seperti ketua kelompok tani/

tokoh dalam klaster dalam rangka knowledge transfer.
b. Memfasilitasi local champion untuk mengikuti pelatihan
budidaya, pembuatan proposal untuk mendapatkan
fasilitas pembiayaan dan pembuatan demplot. Sebagai
√ √
kompesasi, local champion diminta untuk menularkan
pengetahuan yang telah diperoleh kepada petani anggota
klaster lainnya.

128
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Lanjutan Tabel 8. 1.
Tahapan
Strategi Persiapan Pelaksanaan
klaster klaster
IV. Pengadaan fasilitas penyimpanan/pergudangan
a. Pada saat panen, klaster akan menjual produknya kepada
pedagang yang telah terlibat dalam klaster. Untuk produk
yang relatif tahan lama (misalnya beras), TPID dapat
memfasilitasi petani atau pedagang untuk menyimpan √
produknya pada saat panen raya dan menjualnya pada saat
terjadi lonjakan permintaan. Pengelolaan gudang dapat
dilakukan oleh klaster atau lembaga lain (BULOG).
b. Pada saat panen petani dapat diuntungkan karena harga
pembelian akan lebih tinggi dibandingkan harga pasar.
Sebaliknya pada musim paceklik, produk/hasil panen yang
disimpan dapat dijual ke pasar untuk meredam lonjakan

harga. Pola ini mirip seperti fungsi BULOG di masa lalu yang
dilengkapi dengan perencanaan produksi dan konsumsi
terlebih dahulu sehingga pada saat kenaikan harga sudah
dapat diantisipasi terlebih dahulu

V. Peningkatan peran supporting institutions dan supporting infrastructure (logistic


system)
a. Meningkatkan akses pelaku usaha utama kepada supporting
institutions (lembaga keuangan, lembaga penelitian
dan universitas) untuk mendapatkan akses pembiayaan √ √
maupun inovasi teknologi budidaya terbaru yang mampu
meningkatkan produksi dan efisiensi biaya produksi.
b.
Memfasilitasi perbaikan infrastruktur dalam rangka
meningkatkan akses pelaku usaha/anggota klaster ke
pasar output dan input. Dukungan infrastuktur sebaiknya √ √
dilakukan melalui kerja sama dengan institusi/lembaga
yang menangani sistem logistik nasional (Sislognas).

8.3. Tahapan Pemilihan Strategi Integrasi Klaster


Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya telah dirumuskan berbagai alternatif
strategi arah pengembangan klaster dalam rangka mendukung upaya pengendalian inflasi,
termasuk konsep integrasi klaster secara nasional. Selanjutnya, untuk memilih prioritas dari
alternatif strategi tersebut untuk dilaksanakan, dilakukan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) dengan menggunakan software Expert Choice 2000. Strategi prioritas memiliki kriteria
tertentu yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehingga konsep integrasi klaster secara
nasional dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, penentuan kriteria
strategi dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner dengan para pihak
yang menguasai di bidangnya.

Model hierarki strategi integrasi klaster komoditas volatile food nasional terbagi menjadi
tiga level. Level pertama merupakan tujuan (goal) atau fokus dari hierarki yaitu strategi integrasi
klaster komoditas volatile food secara nasional dan berkelanjutan yang mendukung upaya

129
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

pengendalian inflasi di Indonesia. Level dua merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi


formulasi strategi yang terdiri dari beberapa alternatif strategi yaitu: (1) optimalisasi database
klaster melalui peningkatan peran TPID; (2) peningkatan akses pasar; (3) peningkatan capacity
building anggota utama klaster; (4) peningkatan dukungan finansial; dan (5) peningkatan
dukungan infrastruktur dan logistik.

Selanjutnya, level tiga merupakan substrategi yang dirumuskan berdasarkan kelima


strategi di atas. Alternatif strategi pada level tiga diharapkan mampu menentukan strategi
prioritas yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan strategi integrasi klaster
komoditas volatile food secara nasional dalam mendukung upaya pengendalian inflasi. Ketiga
level strategi tersebut digambarkan pada Gambar 8.3.

Gambar 8. 3. Hierarki Strategi Integrasi Klaster Nasional dalam Mendukung Pengendalian Inflasi.

Tingkat 1 :
Strategi Integrasi National Volatile Foods Cluster
Tujuan
untuk mencapai keberlanjutan di Indonesia

Tingkat 2 :
Alternatif Optimalisasi Capacity building Peningkatan Peningkatan dukungan
Peningkatan
Strategi database anggota utama dukungan infrastruktur dan
akses pasar
klaster klaster logistik

Penyusunan Peningkatan
keterlibatan Pelatihan Fasilitas Fasilitas
database
pedagang aspek kredit mikro penyimpanan/
Tingkat 3 : produksi dan
dalam klaster manajerial dan kecil pergudangan
Alternatif konsumsi
Sub Strategi
Peningkatan jumlah Pengembangan
Optimalisasi
lembaga sistem
anggota nilai tambah peran local
keuangan informasi
klaster produk champion klaster

Penyusunan Penguatan Pelatihan


jadwal akses input Perbaikan/
aspek teknis pemeliharaan
produksi (benih) budidaya
komoditas berkualitas jalan, irigasi,
terbaru dan listrik

Peningkatan Penguatan
promosi dan kerjasama
branding dengan
komoditas institusi lain

130
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Analisis yang digunakan untuk mengolah kriteria alternatif strategi bertujuan untuk mengetahui
prioritas relatif setiap elemen terhadap level di atasnya. Berdasarkan hierarki, level pertama
merupakan tujuan utama dari kajian ini yaitu strategi arah pengembangan klaster komoditas volatile
food dalam rangka mendukung pengendalian inflasi. Tujuan ini dapat tercapai apabila didukung
oleh implementasi dari berbagai alternatif strategi.

Level dua dari model hirarki strategi integrasi klaster menunjukkan adanya lima alternatif strategi
pendukung. Hasil pengolahan kriteria alternatif strategi dalam menetapkan strategi integrasi national
volatile foods cluster untuk mencapai keberlanjutan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8.2.

Tabel 8. 2. Hasil Pengolahan Alternatif Strategi Arah Pengembangan Klaster Nasional

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Optimalisasi database klaster 0.088 5
Peningkatan akses pasar 0.397 1
Capacity building anggota utama klaster 0.128 4
Peningkatan dukungan finansial 0.130 3
Peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik 0.257 2
Inkonsistensi 0.01

Sumber: Hasil olahan, 2016

Berdasarkan Tabel 8.2, peningkatan akses pasar merupakan alternatif strategi yang menjadi
prioritas utama dengan bobot sebesar 0.397. Hal ini menunjukkan bahwa strategi peningkatan
akses pasar adalah strategi utama yang harus dilaksanakan dalam integrasi klaster komoditas volatile
foods secara nasional yang berkelanjutan dalam rangka mendukung upaya pengendalian inflasi.
Prioritas berikutnya adalah peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik dengan bobot 0,257 dan
dukungan finansial dengan bobot 0,130.

Selanjutnya, pada level ketiga (sub strategi dari alternatif strategi level kedua untuk menentukan
strategi pengembangan klaster secara nasional) dilakukan pengolahan terhadap alternatif-alternatif
strategi yang disusun berdasarkan kelima alternatif strategi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
pada Gambar 8.3.

Untuk strategi optimalisasi database klaster, sub strategi penyusunan jadwal produksi komoditas
menjadi prioritas utama dengan bobot 0,494. Prioritas selanjutnya adalah penyusunan database
produksi dan konsumsi dengan bobot 0,359, sebagaimana tercantum pada Tabel 8.3.

Tabel 8. 3. Hasil Pengolahan Substrategi Optimalisasi Database Klaster

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Penyusunan database produksi dan konsumsi 0.359 2
Identifikasi anggota klaster 0.147 3
Penyusunan jadwal produksi komoditas 0.494 1
Inkonsistensi 0.05

Sumber : Hasil olahan, 2016

131
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Untuk strategi peningkatan akses pasar, substrategi peningkatan keterlibatan pedagang dalam
klaster menjadi prioritas utama dengan bobot 0,303. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, di
mana para peran pedagang dalam klaster sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan usaha
petani klaster. Hasil pengolahan substrategi peningkatan akses pasar dapat dilihat pada Tabel 8.4.

Tabel 8. 4. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Akses Pasar

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Penguatan akses input (benih)berkualitas 0.269 2
Peningkatan keterlibatan pedagang dalam klaster 0.303 1
Peningkatan nilai tambah produk 0.173 4
Peningkatan promosi dan branding komoditas 0.255 3
Inkonsistensi 0.01

Sumber : Hasil olahan, 2016

Untuk strategi capacity building anggota klaster, substrategi optimalisasi peran local champion
merupakan prioritas utama dengan bobot 0,384. Pengembangan klaster sangat membutuhkan suatu
organisasi atau asosiasi yang berperan sebagai kendaraan utama bagi petani dalam meningkatkan
usahanya. Local champion berperan untuk menularkan dan menyebarkan pengetahuan yang dimiliki
kepada petani lainnya. Hasil pengolahan kriteria substrategi capacity building anggota klaster dapat
dilihat pada Tabel 8.5.

Tabel 8. 5. Hasil Pengolahan Substrategi Capacity Building Anggota Klaster

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Pelatihan aspek manajerial 0.134 4
Optimalisasi peran local champion 0.384 1
Pelatihan aspek teknis budidaya terbaru 0.180 3
Penguatan kerja sama dengan institusi lain 0.302 2
Inkonsistensi 0.02

Sumber : Hasil olahan, 2016

Pada strategi peningkatan dukungan finansial, sub strategi fasilitas kredit mikro dan kecil
merupakan prioritas utama dengan bobot 0.694. Mengingat modal merupakan salah satu kendala
bagi petani dalam mengembangkan usahanya, upaya meningkatkan akses petani terhadap
pembiayaan menjadi penting, khususnya fasilitas kredit mikro dan kecil. Hasil pengolahan kriteria
substrategi peningkatan dukungan finansial dapat dilihat pada Tabel 8.6.

132
Bab VIII - STRATEGI PENGEMBANGAN DAN INTEGRASI KLASTER

Tabel 8. 6. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Finansial

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Fasilitas kredit mikro dan kecil 0.694 1
Peningkatan jumlah lembaga keuangan 0.306 2
Inkonsistensi 0.00

Sumber : Hasil olahan, 2016

Untuk strategi peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik, substrategi fasilitas penyimpanan/
pergudangan menjadi prioritas utama. Gudang memegang peranan penting, tidak hanya untuk
menampung hasil panen/menyimpan komoditas, tetapi juga sebagai pusat distribusi bagi klaster di
wilayah tertentu. Dalam upaya pengendalian inflasi, keberadaan gudang menjadi penting. Fluktuasi
permintaan pada musim-musim tertentu, seperti lebaran, natal, dan tahun baru dapat diatasi dengan
memiliki persediaan yang memadai di gudang. Hal ini diharapkan dapat meredam lonjakan harga
sehingga mendukung upaya pengendalian inflasi. Hasil pengolahan substrategi peningkatan
dukungan infrastruktur dan logistik dapat dilihat pada Tabel 8.7.

Tabel 8. 7. Hasil Pengolahan Substrategi Peningkatan Dukungan Infrastruktur dan Logistik

Kriteria Strategi Bobot Gabungan Prioritas


Fasilitas penyimpanan/ pergudangan 0.483 1
Pengembangan sistem informasi klaster 0.204 3
Perbaikan/pemeliharaan jalan, irigasi, dan listrik 0.313 2
Inkonsistensi 0.01

Sumber : Hasil olahan, 2016

Berdasarkan analisis AHP, dapat disimpulkan beberapa rekomendasi strategi utama untuk integrasi
klaster nasional dalam mendukung pengendalian inflasi, yaitu: peningkatan akses pasar (0,397), peningkatan
dukungan infrastruktur dan logistik (0,257), peningkatan dukungan finansial (0,130), capacity building
anggota utama klaster (0,128), dan optimalisasi database klaster (0,088). Hal tersebut sejalan dengan
hasil penelitian Bank Indonesia (2014) yang menyebutkan bahwa salah satu indikator penting yang
menunjang keberhasilan klaster adalah adanya akses pasar.

133
134
Bab IX - KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB IX
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

9.1. Kesimpulan
1. Program klaster yang dilaksanakan Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah dan Dinas terkait memiliki dampak yang positif bagi peserta klaster terutama
petani. Dampak yang paling signifikan adalah meningkatnya rata-rata pendapatan petani
yang disebabkan oleh peningkatan produksi dan penetapan harga yang lebih baik
pada tiga klaster komoditas yang diteliti. Selain aspek pendapatan, program klaster juga
meningkatkan peran kelembagaan terutama kelompok tani.

2. Secara umum, alternatif strategi pengembangan klaster Bank Indonesia untuk komoditas
beras, cabai merah dan bawang merah meliputi peningkatan nilai tambah (value-added),
peningkatan capacity building petani khususnya aspek manajerial, dan integrasi sistem
informasi rantai pasok. Pemanfaatan resi gudang dan optimalisasi peran Bulog juga
diperlukan dalam pengembangan klaster beras di Kabupaten Soppeng. Sementara itu,
peningkatan kualitas bibit lokal dan penerapan sistem lelang dalam pemasaran penting
untuk mengembangkan komoditas cabai merah di Kabupaten Kulon Progo dan bawang
merah di Kabupaten Nganjuk.

3. Roadmap klaster disusun dalam jangka waktu 3 – 5 tahun disesuaikan dengan situasi dan
kondisi klaster yang dikembangkan melalui pendekatan siklus pengembangan klaster.
Terdapat enam tahapan pada siklus pengembangan klaster yaitu seleksi/pemilihan
klaster, pengenalan, pertumbuhan dan ekspansi, matang/bertahan, replikasi dan phasing
out. Roadmap tersebut menggambarkan program kerja yang dilakukan pada setiap
tahap, lembaga/institusi yang terkait dalam setiap tahapan, serta perkiraan waktu yang
diperlukan untuk melaksanakan program tersebut.

4. Agar dapat berperan dalam mendukung pengendalian inflasi, program klaster memerlukan
integrasi secara nasional dan bersinergi dengan program pemerintah/pemerintah daerah.
Integrasi klaster dapat memanfaatkan lembaga yang telah ada, yaitu Tim Pemantauan dan
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang akan dilakukan di level provinsi dan kabupaten/
kota. Melalui TPID, diharapkan akan terjalin koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) baik di level provinsi atau kabupaten/kota untuk bersama-sama mengendalikan
inflasi daerah.

9.2. Implikasi kebijakan


1. Hasil kajian menunjukkan bahwa program klaster BI berdampak positif terhadap
peningkatan kinerja usaha tani, peningkatan pendapatan rata-rata pelaku usaha tani,
pengembangan aspek kelembagaan petani, perluasan akses pasar, serta peningkatan
akses terhadap pembiayaan. Dengan demikian, diharapkan klaster Bank Indonesia dapat
menjadi suatu role model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah untuk memberikan

135
Bab IX - KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

snowing ball effect sehingga berdampak positif terhadap kegiatan perekonomian di


daerah.
Melalui klaster yang senantiasa mengintroduksikan inovasi dan teknologi baru, diharapkan
akan terjadi peningkatan produksi sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumen.
Dengan melakukan replikasi di berbagai daerah, pengembangan klaster diharapkan
akan dapat berkontribusi terhadap pengendalian inflasi yang bersumber dari fluktuasi
harga komoditas volatile food. Namun demikian, pengembangan klaster harus tetap
memperhitungkan potensi wilayah yang yang bersangkutan. Sebagai contoh, di Jawa
Barat pengembangan klaster sebaiknya difokuskan untuk komoditas cabai dan beras
dibandingkan dengan komoditas daging sapi dan bawang merah. Sementara di Pronvisi
NTT, klaster sapi pedaging akan lebih sesuai untuk dikembangkan.
Apabila masing-masing wilayah mengembangkan klaster sesuai dengan potensi wilayah,
maka perdagangan antar wilayah akan terjadi secara lebih dinamis, di mana wilayah
yang mengalami surplus akan melakukan perdagangan ke wilayah yang defisit. Selain
itu, strategi pengembangan klaster sebaiknya diarahkan pada peningkatan produktivitas
(higher productivity), peningkatan akses pasar (market oriented), serta peningkatan
kualitas dan nilai tambah (higher value added) dengan melibatkan seluruh aktor utama
yang terhubung dalam rantai nilai (perusahaan input, petani, kelompok tani, pengumpul,
pengolah, pedagang, pasar).

2. Jangka waktu pada roadmap klaster sebaiknya dilakukan selama tiga sampai lima tahun
karena klaster diharapkan sudah berkembang dan siap menghadapi masa phasing out.
Selain itu, aspek pasar juga perlu dipertimbangkan. Ini berarti pada saat memutuskan
mengembangkan klaster, pelaku atau stakeholders yang terlibat dalam klaster tersebut
sudah mengetahui tujuan pasar dari komoditas yang dikembangkan oleh klaster.
Agar dapat berdampak terhadap pengendalian inflasi, kerja sama dan komitmen yang
kuat antar stakeholder yang terlibat dalam pengembangan klaster menjadi poin yang
sangat penting dalam integrasi klaster. Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah serta
stakeholders terkait lainnya, bersama dengan TPID diharapkan dapat mengintegrasikan
klaster sebagai salah satu upaya untuk memelihara kestabilan harga di masing-masing
wilayah. Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai institusi, antara lain sistem
logistik (pergudangan dan distribusi) serta infrastruktur penunjang. Selain itu, peran
lembaga penelitian maupun perguruan tinggi juga sangat penting untuk mendorong
introduksi teknologi dan inovasi baru dalam teknik budidaya yang mampu meningkatkan
efisiensi produksi.

3. Rekomendasi strategi integrasi klaster nasional dalam mendukung pengendalian inflasi


berdasarkan analisis AHP sesuai urutan prioritas yaitu: (1) peningkatan akses pasar, (2)
peningkatan dukungan infrastruktur dan logistik, (3) peningkatan dukungan finansial, (4)
capacity building anggota utama klaster, dan (5) optimalisasi database klaster.

136
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Pertanian Tanaman Pangan 2014. BPS Sulawesi Selatan.
Bank Indonesia. 2014. Kajian Identifikasi Indikator Sukses Klaster. Departemen Pengembangan UMKM
Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian/Documents/
Buku Kajian Identifikasi Indikator Sukses Klaster.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016.
2015. Kajian Strategi Penguatan Klaster Untuk Mendukung Pasokan Komoditas Volatile Foods: Draft
Final. Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/
publikasi/wp/Documents/WP BI No.8-2015 Kajian Strategi Penguatan Klaster untuk Mendukung
Pasokan Komoditas Volatile Foods.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016
2015. Pola Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Klaster Cabai Merah Organik. Departemen
Pengembangan UMKM Bank Indonesia, Jakarta. http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-
pembiayaan/holtikultura/Documents/Pola Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah Klaster Cabai
Merah Organik.pdf. Accessed at 30 Oktober 2016
Barney, JB. 1997. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. Addison-Wesley Publishing
Company Inc., USA.
Bell, S. J. P. Tracey and J. B. Heide. 2009. The Organization of Regional Clusters Academy of
Management Review, 34: 4, 623-642.
Bergman and E,J, Feser. 2000, Industrial and Regional Clusters. The Web Book of Regional Science.
Regional Research Institute, West Virginia University. http://www,rri,wvu,edu,
Bergman, E. 2008. Cluster Life-cycles: An Emerging Synthesis. In C, Karlsson, Handbook of Research
on Cluster Theory (pp, 114-132), Northampton, MA: Edward Elgar.
Brenner, T. dan Schlump, C. 2011. Policy Measures and Their Effects in the Different Phases of the
Cluster Life Cycle. Regional Studies, 45(10), 1363-1386.
Burger, K, Kameo, D dan Sandee, H, 2001. Clustering of Small Agro-Processing Firms in Indonesia.
International Food and Agribusiness Management Review Vol 2(3/4), 289-299.
David, F. 2011. Strategic Management: Concepts and Cases (13th ed). New Jersey: Prentice Hall.
Feser, E .J. 2000. Introduction to Regional Industry Cluster Analysis, http://www, crp.unc.
Galvez-Nogales. 2010. Agro-based Clusters in Developing Countries: Staying Competitve in A
Globalized Economy. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Harrison, B. 1992. Industrial Districts: Old Wine in New Bottles? Regional Studies, Vol 26(5), 469-483.
Handayani, N.U., Cakravastia, A., Diawati, L., Bahagia, S.N. 2012. A Conceptual Assessment Model to
Identify Phase of Industrial Cluster Life Cycle in Indonesia. Journal of Industrial Engineering and
Management, 5(1), pp 198-228. http://dx.doi.org/10.3926/jiem.447.
Ingstrup, M, & Damgaard, T. 2011. Cluster facilitation in a cluster life cycle perspective, The IMP
Conference (pp, 1-20). Strathclyde: University of Strathclyde, UK.
Kazmier, L J dan Pohl, NF. 1984. Basic Statistics for Business and Economics, Mc Graw Hill International.
Ketels, C. Lindqvist, G. dan Sölvell O. 2012. Strengthening Clusters and Competitiveness in Europe:
The Role of Cluster Organisations. Germany: European Cluster Observatory and Center for
Strategy and Competitiveness, Stockholm School of Economics.

137
DAFTAR PUSTAKA

Kinnear T.C dan Taylor. JC, 1997. Riset Pemasaran. Terjemahan. Penerbit Erlangga.
Krugman, P. 1991. Geography and Trade. Gaston Eyskens Lecture Series. Leuven University Press.
Leuven.
Leigh, D. 2010. SWOT Analysis. In R, a. Watkins, Handbook of Improving Performance in the Workplace:
Selecting and Implementing Performance Interventions (Vol, 2, pp, 115-140), San Fransisco:
International Society for Performance Improvement.
Menzel, M. dan Fornahl, D. 2010. Cluster Life Cycles – Dimensions and Rationales of Cluster Evolution.
Industrial and Corporate Vol 19, 205 – 238.
Mintzberg, H. Ahlstrand, dan Lampel, J. 1998. Strategy Safary: A Guide Tour through The Wilds of
Strategic Management. The Free Press, New York,
Meijboom, B,R, and Rongen J,M,J, 1995,Clustering, Logistic and Spatial Economics,
Natawidjaja, R,. Reardon, T. Shetty, S. Noor, T,I. Perdana, T. Rasmikayati, E. Bachri, S. and Hernández, R.
2007. Horticultural producer and supermarket development in Indonesia. World Bank. Jakarta.
Porter, M E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York.
Rauch, J.E. 1993. Does History Matter Only When It Matters Little? The Case of City Industry Location.
Quarterly Journal of Economics. Vol. 108, 843- 867.
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Saaty, T. 1994. How to Make A Decision: The Analytic Hierarchy Process. Interfaces. Vol 24(6), 19–43.
Scott, A.J. 1986. Industrial Organization and Location: Division of Labor. The Firm and Spatial Process,
Economic Geography. Vol 62(3), 215-231.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. 4th edition, John Willey
and Sons. Inc, USA.
Shin, D, dan Hassink, R, 2011, Cluster Life Cycles: The Case of the Shipbuilding Industry in The South
Korea, Regional Studies, 45(10), 1387-1402.
Sharma, S. dan Anupam. 2014. Agro-based Clusters: A Tool for Competitiveness of Indian Agriculture
in the Era of Globalisation. Global Journal of Finance and Management. Vol. 6, No. 8, pp 713-718.
Simbolon, M. 2000, Kebijakan Baru Industri Nasional dan Strategi Peningkatan Daya Saing. Prosiding
Seminar Kebijakan Industri dan Teknologi Pasca Krisis, Bidang Khusus Tekno Ekonomi, program
Studi Teknik dan Manajemen Industri Program Pasca Sarjana. ITB.
Storper, M. 1992. The Limits to Globalization: Technology Districts and International Trade, Economic
Geography Vol 68(1), pp 60-91.
Stringer, R. 2009. A Field Guide to Value Chain Studies for BPTP and BBP2TP Staff: How to develop
and use value chain studies for market focused research.
Sunaryanto, L.T, Sasongko, G dan Yumastuti, S. 2014. Pengembangan Klaster Industri Makanan-
Minumam Berbasis Rantai Nilai. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 15(1), pp 84-99.
Tambunan, T. 2005. Promoting Small and Medium Enterprises with a Clustering Approach. Journal of
Small Business Management Vol 43(2), pp 138-154.
Taufik, T A. 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. BPPT Press. Jakarta.
Umar, H. 2002. Strategic Management in Action: Konsep. Teori dan Teknik Menganalisis Manajemen
Strategis berdasarkan Konsep M,E,Porter. F,R, David, dan Wheelen Hunger, PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
UNIDO. 2013. The UNIDO Approach to Cluster Development: Key Principles and Project Experiences
for Inclusive Growth. Vienna: UNIDO.
Van Klink, A. dan De Langen, P. 2001. Cycles in industrial clusters: the case of the shipbuilding industry

138
DAFTAR PUSTAKA

in the Northern Netherlands. Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie. Netherlands.


92, 449 – 463.
Wheelen, T L. dan Hunger, J D. 1998. Strategic Management and Business Policy, 6th edition. Addison
Wesley Longman Inc. USA.
World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. The World Bank.
Washington.

139
DAFTAR PUSTAKA

140
Departemen Pengembangan UMKM
Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta Pusat 10350
Telp. (021) 500 131

www.bi.go.id Bank Indonesia @bank_indonesia bank_indonesia Bank Indonesia Channel


Bank Indonesia @bank_indonesia bank_indonesia

Anda mungkin juga menyukai