Anda di halaman 1dari 81

WP/8/2015

WORKING PAPER

KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER


UNTUK MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS
VOLATILE FOODS

Yunita Resmi Sari


Noviarsano Manullang
Nurchair Farliani
Melia Oktarina
Fauzan Rahman
Akhmad Jaeroni
Chaikal Nuryakin
Hamdan Bintara

2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis


dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis
dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
KAJIAN STRATEGI PENGUATAN KLASTER UNTUK
MENDUKUNG PASOKAN KOMODITAS VOLATILE FOODS
Yunita Resmi Sari, Noviarsano Manullang, Nurchair Farliani, Melia
Oktarina, Fauzan Rahman, Akhmad Jaeroni, Chaikal Nuryakin,
Hamdan Bintara

Abstrak
Penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile foods yang
pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Pasokan
komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi oleh gangguan produksi,
distribusi, atau kebijakan pemerintah. Gangguan pada produksi
menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi jumlah permintaan.
Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank Indonesia
untuk menjaga sisi penawaran untuk menjaga pergerakan harga kelompok
bahan makanan. Kehadiran klaster diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster menggunakan
pendekatan rantai nilai (value chain). Kajian dilakukan untuk mengetahui
dan meningkatkan peran klaster dalam mendukung pasokan dan
mengendalikan harga komoditas volatile foods. Kajian dilakukan di klaster
dua komoditas di enam daerah, yaitu tiga daerah untuk komoditi cabai
(Kabupaten Jember-Jawa Timur, Kabupaten Minahasa-Sulawesi Utara, dan
Kabupaten Tanah Datar-Sumatera Barat) dan tiga daerah untuk komoditi
bawang merah (Kabupaten Majalengka-Jawa Barat, Kota Palangkaraya-
Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara). Kajian ini
menggunakan beberapa alat analisis, yaitu wawancara mendalam dengan
stakeholders klaster, analytical hierarchy process (AHP), dan analisis
SWOT. Secara nasional terjadi surplus produksi cabai terhadap konsumsi.
Namun, sulit memanfaatkan kondisi surplus di tingkat nasional untuk
stabilitas harga di daerah pusat konsumsi karena cabai bersifat perishable,
sedangkan preferensi konsumsi terhadap cabai dalam bentuk segar. Gejolak
harga cabai lebih ditentukan oleh jauhnya lokasi produsen dan konsumen dan
faktor musiman permintaan. Pembentukan harga rata-rata nasional cabai
relatif didorong oleh fundamental current production dan consumption
yang sifatnya mingguan bahkan harian. Untuk komoditas bawang merah,
secara nasional mengalami surplus, tetapi masih terjadi lonjakan harga pada
waktu tertentu. Hal itu disebabkan sentra produksi bawang merah relatif tidak
merata dan hanya berpusat di Jawa dan NTB. Selain itu, permintaan bawang
merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan
dengan cabai.

Key word : volatile foods, harga pangan

JEL Classification : Q00, Q11

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bank Indonesia memiliki tugas untuk memenuhi target atau sasaran inflasi,
sebagaimana tertuang pada Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2004. Dalam melaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah.

Berdasarkan data perbandingan target dan aktual inflasi tahun 2010 s.d. 2015
(Bank Indonesia, 2015), secara umum terdapat deviasi antara target inflasi yang
telah ditetapkan dan inflasi yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan data inflasi yang
ditargetkan beserta inflasi aktual dari 2010 s.d. 2015.

Tabel 1. Perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi


Inflasi Aktual
Tahun Target Inflasi
(%, yoy)
2010 5+1% 6,96
2011 5+1% 3,79
2012 4.5+1% 4,30
2013 4.5+1% 8,38
2014* 4.5+1% 8,36
2015* 4+1% 3,35
Sumber: Bank Indonesia, 2015
Keterangan: *) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012
tanggal 30 April 2012

Adanya kesenjangan antara target dan inflasi aktual memicu Bank Indonesia
untuk terus menyempurnakan instrumen pengendalian inflasi. Formulasi kebijakan
moneter yang tepat dibutuhkan untuk mengendalikan inflasi ke level yang
diinginkan.

Secara historis, penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile


foods yang pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Tekanan
pergerakan harga pada kelompok volatile foods lebih dipicu oleh supply shocks,
sedangkan permintaan komoditas cenderung stabil karena merupakan kebutuhan
pokok (Prastowo, Nugroho dkk., 2008).

2
Sisi penawaran pada komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi, baik
oleh gangguan produksi, distribusi, maupun kebijakan pemerintah. Gangguan pada
produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi permintaan.
Produksi komoditas sangat tergantung pada cuaca. Komoditas bahan pangan juga
mempunyai sifat perishable (mudah rusak). Efisiensi kegiatan distribusi dipengaruhi
oleh panjang mata rantai distribusi dan margin keuntungan yang ditetapkan oleh
setiap mata rantai distribusi serta kondisi sektor transportasi. Gangguan terhadap
kegiatan distribusi dapat memicu kelangkaan komoditas. Sementara itu, kebijakan
pemerintah dalam hal penetapan harga (administered prices) untuk komoditas,
seperti BBM, tarif listrik, dan tarif angkutan dapat menggerakkan harga komoditas,
khususnya komoditas perishable serta dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi
masyarakat.

Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank


Indonesia dalam menjaga sisi penawaran. Pendekatan klaster merupakan suatu
kegiatan pengelompokan industri inti yang saling terkait, baik industri pendukung,
infrastruktur, jasa penunjang, insfrastruktur informasi dan teknologi, sumber daya
alam, maupun lembaga terkait (PRES, 2013). Kehadiran klaster diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster dengan
pendekatan value chain (rantai nilai). Hasil penguatan peran klaster diharapkan
mampu mendukung peningkatan pasokan komoditas di daerah. Peningkatan
pasokan diharapkan menjaga kestabilan harga komoditas. Dalam jangka panjang,
diharapkan sumbangan inflasi dari komoditas volatile foods dapat lebih terkendali.

Program klaster diawali oleh Bank Indonesia sejak tahun 2007. Hingga akhir
2015 Bank Indonesia telah mengembangkan lebih dari 100 klaster di hampir semua
Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia. Komoditas yang didukung meliputi
komoditas di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan industri
pengolahan. Pengembangan klaster sejak tahun 2014 difokuskan pada klaster
komoditas yang mendukung ketahanan pangan yang berkontribusi dalam inflasi
atau produk unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian. Berdasarkan
data komoditas kelompok volatile foods, lima komoditas utama penyumbang
terbesar inflasi dalam lima tahun terakhir adalah beras, bawang merah, cabai
merah, daging sapi, dan bawang putih (DKEM BI, 2014).

3
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Dalam rangka meningkatkan peran klaster untuk mendukung pasokan dan


pengendalian harga komoditas volatile foods, dilakukan kajian mengenai strategi
guna menguatkan peran klaster dalam mendukung ketersediaan pasokan
komoditas dengan share tertinggi terhadap inflasi.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan kajian ini adalah


(1) menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung pasokan komoditas
volatile foods sebagai upaya pengendalian harga; dan
(2) merekomendasi strategi penguatan klaster dalam rangka mendukung pasokan
komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflasi

Terjadinya peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian


secara terus menerus merupakan definisi inflasi berdasarkan Blanchard (2004).
Dengan mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian dalam Gordon (1997), salah
satu pendekatan determinan inflasi di Indonesia dapat dijelaskan melalui konsep
inflasi penawaran (cost-push inflation) atau lazim disebut supply-shock inflation,
yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya
pengadaan barang dan jasa. Adanya guncangan pada penawaran (cost push shock)
akan bertransmisi melalui rantai produksi dan akan mempengaruhi harga jual
barang (Bloch, 2004).
BPS memublikasikan pengelompokan inflasi yang disebut disagregasi inflasi,
yang terdiri atas inflasi inti, inflasi administered price, dan inflasi volatile food. Inflasi
inti (core inflation) adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor fundamental
seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran
agregat) yang akan berdampak pada perubahan harga-harga secara umum dan lebih
bersifat permanen dan persistent. Inflasi administered (administered price) adalah
inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur
pemerintah. Adapun inflasi volatile foods yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi
oleh kejutan (shocks ) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan
alam, faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik, atau perkembangan
harga komoditas pangan internasional (BPS).

2.2 Permasalahan Komoditas Cabai dan Bawang Merah

Cabai dan bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting
dan bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Cabai memiliki sifat mudah rusak
(perishable) dan musiman (seasonal) yang bergantung pada iklim yang membuat
cabai tidak dapat ditanam dan dipanen sepanjang tahun. Sifat musiman inilah yang
menyebabkan komoditas ini berlimpah pada musim panen sehingga harga jualnya
merosot, sedangkan harga cabai melonjak ketika pasokannya terbatas.

5
Bawang merah memiliki permasalahan pada sumber daya, teknologi
pemilihan lahan serta alih fungsi lahan. Beberapa lahan di sentra produksi di Jawa,
khususnya Cirebon, telah mengalami degradasi hara. Kurang optimalnya sarana
produksi yang mencakup varietas bibit, pupuk, serta penyiraman turut menambah
kurang optimalnya produksi bawang merah.

Permasalahan di off-farm yang sering terjadi adalah adanya hambatan


transportasi dan distribusi, seperti kerusakan jalan dan gangguan penyeberangan
antarpulau. Produk di sentra produksi tidak dapat segera dikirim ke daerah
pemasaran sehingga terjadi penumpukan hasil yang mengakibatkan turunnya
harga di tingkat produsen serta meningkatnya kerugian akibat sebagian komoditas
mengalami kerusakan. Selain itu, para petani merugi karena harga yang diterima
petani dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan besar.

Berdasarkan karakteristiknya, bawang merah dan cabai tergolong dalam


komoditas volatile foods yang sering menjadi kontributor utama penyebab inflasi
volatile foods.

2.3 Klaster

Klaster adalah beberapa perusahaan secara bersamaan bersaing dan


berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Porter, 1990 dalam Boja,
2011). Keberadaan klaster akan membawa dampak dan hasil positif, seperti
mengurangi biaya, waktu, dan transportasi. Juga terdapat konsentrasi tenaga kerja
yang telah terspesialisasi dan kemudahan pertukaran informasi (Marshall 1890 dan
Krugman 1991 dalam Boja 2011).

Porter (1998) dalam Kuah (2002) menyebutkan bahwa klaster secara tidak
langsung mampu mempengaruhi kompetisi dan menciptakan keunggulan
kompetitif, melalui peningkatan produktivitas perusahaan yang berbasis klaster,
inovasi yang lebih terarah dan peningkatan kecepatan inovasi dalam mendukung
pertumbuhan produktivitas, serta dorongan terbentuknya bisnis baru yang
nantinya akan mengembangkan dan memperkuat klaster serta memberi umpan
balik yang positif. Selain itu, Kuah (2002) juga menyimpulkan bahwa klaster akan
membawa eksternalitas positif dari sisi konsumen. Dengan letak perusahaan yang
berdekatan satu sama lain, pelanggan potensial dapat mengurangi biaya pencarian
dalam rangka membandingkan harga dan kualitas. Dalam hal ini, reputasi dari

6
klaster, baik dari segi kualitas maupun inovasi yang akan membuat konsumen
menjadi seorang pelanggan.

Tabel 2. Cost and Benefit Analysis of Locating in Cluster


SISI PERMINTAAN SISI PENAWARAN
MANFAAT 1. Kedekatan dengan konsumen 1. Efek spillover pengetahuan
2. Mengurangi biaya pencarian 2. Tenaga kerja yang
dari konsumen terspesialisasi
3. Eksternalitas informasi 3. Keuntungan infrastruktur
4. Reputasi 4. Eksternalitas informasi
BIAYA Kompetisi di pasar output Kompetisi di pasar input (lahan
dan tenaga kerja)
Sumber: Swann et al. (1998) dalam Kuah (2002)

Solvell (2008) dan Sovell et al. (2003) dalam Boja (2011) mencoba
mendefinisikan model klaster yang berbeda. Klaster di sini dibangun di sekitar para
pelaku yang keputusan dan tindakannya mempengaruhi perkembangan klaster.
Para pelaku klaster yang dimaksud adalah pemerintah (baik pusat maupun lokal),
sistem keuangan, sistem pendidikan dan penelitian, usaha kecil dan menengah
(baik publik maupun privat), lembaga nonpemerintah, serta saluran media.

Education and
Media
Research

Organization
Business for Promotion
Environment and
Collaboration

Government
and Public
Structure
Cluster Financial
System

Sumber: Solvell (2008) dalam Boja (2011)


Gambar 1. Model Klaster Faktor
Klaster juga merupakan bentuk jaringan yang terbentuk berdasarkan lokasi
geografis. Kedekatan antarperusahaan dan antarlembaga memastikan kesamaan

7
tertentu sehingga mampu meningkatkan frekuensi dan dampak positif dari
komunikasi dan interaksi. Di Indonesia klaster secara alamiah terbentuk dari
aktivitas tradisional dari komunitas lokal yang secara spesifik memproduksi
komoditas tertentu. Berdasarkan keuntungan komparatif dari produk yang dibuat,
pelaku usaha dapat memanfaatkan kelebihan barang mentah dan tenaga kerja lokal
yang tersedia untuk lebih berkembang, sebagai contoh beberapa pengusaha batik
yang bergabung dengan klaster-klaster di beberapa daerah di pulau Jawa
(Tambunan, 2006). Selain itu, pengelompokan produsen furnitur rotan di desa
Tegalwangi, Jawa Barat mempu menciptakan satelit-satelit kegiatan industri skala
kecil di desa tetangga (Smyth, 1992 dalam Tambunan, 2006). Produsen furnitur
kayu di Jepara, Jawa Tengah yang membentuk klaster furnitur telah tumbuh dari
tahun 1980 dan mampu mentransformasi kota tersebut menjadi pusat komersial
yang berkembang (Schiller dan Martin-Schiller, 1997 dalam Tambunan, 2006).

PRES (2013) menyebutkan bahwa permasalahan klaster, antara lain, adalah


keterbatasan modal, sumber daya manusia, pemanfaatan kredit yang tidak sesuai,
dan keterbatasan infrastruktur. Keberhasilan pengembangan ekonomi berdasarkan
klaster perlu didukung pihak pengambil kebijakan yang terkait. Pemerintah
bukanlah satu-satunya pemain kunci dalam pengembangan klaster, tetapi
pemerintah memiliki peran penting. Peran yang dimaksud dalam kesuksesan
pengembangan klaster, antara lain, adalah pengambilan kebijakan yang
mendukung kebijakan ekonomi (pendidikan, pasar tenaga kerja, dan peraturan
persaingan), menjadi fasilitator, serta kebijakan pengaturan subsidi (Ketels dan
Memedovic, 2008).

8
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup

Penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut.

1. Literature review tentang inflasi, terutama yang diakibatkan oleh volatile foods.
Faktor yang mempengaruhi harga volatile foods, antara lain ialah pola distribusi
dan struktur pasar dari komoditas volatile foods; kebijakan dan strategi
pemerintah terkait, terutama komoditas volatile foods; serta perkembangan impor
komoditas volatile foods.
2. Klaster yang akan dikaji adalah klaster ketahanan pangan untuk komoditas
volatile foods, yaitu komoditas cabai dan bawang merah.
3. Kajian akan difokuskan pada sampel klaster yang mewakili wilayah komoditi
cabai merah atau bawang merah. Wilayah yang dipilih juga mewakili daerah yang
merupakan sentra produksi ataupun bukan merupakan sentra produksi
komoditas cabai dan bawang merah.
4. Analisis strategi penguatan klaster mencakup antara lain:
(a) analisis karakter inflasi di daerah sampel, terutama komoditi cabai dan
bawang merah, antara lain pola dan penyebabnya yang dikaitkan dengan
pasokan komoditi tersebut di KPw BI sampel;
(b) analisis kondisi klaster di daerah sampel, antara lain, meliputi (i) aspek
produksi (jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang
dipakai) dan aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk,
persaingan, dan peluang pasar); (ii) pengaruh atau dampak klaster terhadap
harga komoditas; (iii) kebijakan dan program terkait di daerah KPw BI sampel;
dan (iv) aspek lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan
pemerintah, serta kondisi infrastruktur dan sarana transportasi; dan
(c) identifikasi kendala dan kondisi yang tidak mendukung yang dihadapi di tiap-
tiap KPw BI sampel, identifikasi kondisi yang mendukung peningkatan
pasokan komoditas di dalam klaster (FGD), identifikasi strategi dan upaya
penguatan yang dilakukan (SWOT), serta peran klaster dalam strategi
tersebut. Setelah itu, dilakukan pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur (AHP).

9
Gambar 2. Diagram Alur Proses Strategi Penguatan Klaster

3.2 Metodologi Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, dan


pelaksanaan focus group discussion (FGD) dengan stakeholders, antara lain KPw
BI pelaksana program klaster, tenaga ahli klaster, pelaku klaster a.l. petani,
petugas pendamping/PPL, tokoh klaster terkait, dan akademisi. FGD bertujuan
untuk memperoleh masukan ataupun informasi mengenai aspek produksi
(jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang dipakai) dan
aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk, persaingan dan
peluang pasar), pengaruh atau dampak klaster terhadap harga komoditas, aspek
lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan pemerintah, serta
informasi-informasi lain yang mendukung tercapainya tujuan penelitian.
b. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, data dan informasi dari data internal
Bank Indonesia, stakeholders pelaksana program klaster, kementerian/ dinas
terkait, pihak swasta, lembaga, dll.

Sementara, metode analisis antara lain terdiri atas


a. SWOT (strength-weakness–opportunity-threat) untuk mengidentifikasi berbagai
faktor secara sistematis guna merumuskan strategi penguatan klaster. Analisis
ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-unsur internal di
dalam kondisi klaster, yang meliputi kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-
unsur eksternal di luar kondisi klaster yaitu meliputi peluang dan ancaman.
b. Analisis strategi penguatan yang perlu dilakukan untuk tiap-tiap kondisi klaster
(sentra atau nonsentra). Hal itu dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi para
ahli dengan menggunakan metode analytic hierarchy process (AHP) atau
menggunakan metode lain yang sesuai.

10
3.3 Metode Sampling

Metode pengambilan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive


sampling) dengan mempertimbangkan kondisi setiap daerah yang berbeda
karakteristik inflasi dan klasternya. Wilayah klaster yang dipilih merupakan sentra
dan nonsentra yang mampu menjaga inflasi dengan cukup stabil. Wilayah sampel
meliputi klaster di enam daerah, yaitu sebagai berikut.

1. Kabupaten Jember, Jawa Timur, yaitu klaster cabai merah yang merupakan
daerah sentra produksi.
2. Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yaitu pengembangan klaster bawang merah
di Cirebon, Jawa Barat (daerah nonsentra).
3. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yaitu klaster cabai rawit yang merupakan
daerah sentra produksi.
4. Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yaitu klaster bawang merah yang baru
dikembangkan (daerah non sentra).
5. Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yaitu klaster bawang merah yang
merupakan daerah sentra produksi.
6. Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yaitu klaster cabai yang merupakan
daerah sentra produksi.

3.4 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Analytic hierarchy process (AHP) adalah metode pengambilan keputusan


dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke
dalam kelompok-kelompok dan mengaturnya ke dalam suatu hierarki. Metode AHP
dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan program urusan di pemerintahan.

Dalam mengisi matriks yang perlu dilakukan adalah membandingkan


pengaruh atau tingkat kepentingan elemen-elemen pada setiap level pertanyaan
dengan menggunakan nilai skala seperti yang dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variabel lain,
misalnya adalah sebagai berikut.

a. Penilaian terhadap elemen-elemen permasalahan setiap level yang sedang diteliti


prioritasnya dalam menganalisis kondisi dan peran klaster dalam mendukung
pasokan komoditas volatile foods sebagai upaya pengendalian harga dinyatakan
secara numerik dengan skala angka 1 sampai dengan 9.

11
b. Angka-angka tersebut menunjukkan suatu perbandingan dari dua elemen
pernyataan dengan skala kuantitatif 1 sampai dengan 9. Untuk menilai
perbandingan tingkat intensitas kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang
lain digunakan kriteria sebagai berikut.
Intensitas Keterangan/Definisi
Penjelasan
Kepentingan Verbal

Sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh yang


1
(equal importance) sama besar terhadap tujuan.

Pengalaman dan penilaian sedikit


Sedikit lebih penting
3 menyokong satu elemen dibandingkan
(moderate importance)
elemen lainnya.
Lebih penting Pengalaman dan penilaian sangat kuat
5 (essential / strong menyokong satu elemen dibandingkan
importance) elemen lainnya.

Jelas lebih penting Satu elemen yang kuat disokong dan


7
(very strong importance) dominan terlihat dalam praktik.

Bukti yang mendukung elemen yang


Mutlak sangat penting satu terhadap elemen lain memiliki
9
(extreme importance) tingkat penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan.
Nilai-nilai di antara dua
Nilai ini diberikan bila ada dua
2, 4, 6, 8 nilai pertimbangan yang
kompromi di antara dua pilihan.
berdekatan

c. Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen, berlaku aksioma reciprocal.


Artinya adalah jika elemen i (kolom 1) diberi nilai 5 kali lebih penting dibanding
dengan elemen j, elemen j harus sama dengan 1/5 kali lebih penting dibanding
elemen i.
d. Jika elemen pada kolom 1 (sebelah kiri) lebih penting daripada elemen kolom 2
(sebelah kanan), nilai perbandingan itu diisikan pada kolom 1 dan jika sebaliknya
diisikan pada kolom 2.

Di dalam AHP dikenal sebuah istilah, yaitu inkonsistensi. Inkonsistensi


adalah nilai ketidakkonsistenan yang disebabkan oleh kesalahan perhitungan,
kurangnya informasi, kurangnya konsentrasi pada saat pengambilan data, dan
kemungkinan pada keadaan dunia nyata yang selalu berubah. AHP mengizinkan
terjadinya inkonsistensi dengan batas nilai maksimum sebesar 10%.

12
3.5 SWOT

Secara umum SWOT adalah salah satu alat untuk menganalisis lingkungan
internal atau eksternal untuk merumuskan strategi apa yang akan digunakan oleh
suatu organisasi. Namun, untuk tujuan analisis, komponen SWOT tersebut dapat
diartikan sebagai berikut.

a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari internal klaster atau
dapat dikontrol oleh klaster.
1) Strength (kekuatan) adalah sumber (resource), skill, dan faktor-faktor lain
yang secara relatif lebih unggul yang dimiliki oleh daerah survei. Contoh:
akses permodalan atau manajemen yang baik.
2) Weakness (kelemahan) adalah keterbatasan atau kekurangan dalam
sumber, skill, dan faktor-faktor lain yang secara serius menghambat
kinerja/produktivitas klaster. Contoh: penelitian pengembangan, budaya
wirausaha.

b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar klaster yang tidak
dapat dikontrol secara langsung oleh klaster.
1) Opportunity (kesempatan) adalah situasi dominan yang menguntungkan
yang terdapat pada lingkungan klaster. Contoh: peraturan perundang-
undangaan, dan dukungan Pemda dalam pengembangan klaster.
2) Threat (hambatan) adalah situasi dominan pada klaster yang tidak
menguntungkan untuk mempengaruhi pasokan atau stabilitas harga.
Contoh: infrastruktur yang tidak memadai dan kompetisi dengan dengan
komoditas yang lain.

Analisis SWOT ini selanjutnya akan digunakan sebagai alat bantu untuk
merumuskan strategi yang tepat terhadap penguatan klaster dalam meningkatkan
pasokan yang berdampak pada stabilisasi harga di kabupaten tersebut. Dalam
penelitian ini kuesioner SWOT berisi dua tabel utama, yaitu penilaian tentang
kondisi saat ini dan urgensi pembangunan/penanganan ke depan berkaitan dengan
permasalahan subbidang/faktor dengan lebih spesifik. Untuk itu, setiap subbidang

13
dibagi dalam dua katagori, yaitu internal (untuk mendapatkan strength dan
weakness) serta eksternal (untuk mendapatkan opportunity dan threat).

1. Penilaian skor, yaitu penilaian pada potensi maupun capaian hasil pada saat ini
serta capaian yang diharapkan pada lima tahun ke depan. Penilaian responden 1
sampai dengan 8 dengan penjelasan:

angka 1 = mutlak sangat kurang


angka 2 = amat sangat kurang
angka 3 = sangat kurang
angka 4 = kurang
angka 5 = baik
angka 6 = sangat baik
angka 7 = amat sangat baik
angka 8 = mutlak sangat baik
2. Penilaian urgensi, yaitu penilaian terhadap tingkat urgensi faktor tersebut untuk
ditangani. Penilaian ini berhubungan dengan skala prioritas di dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan yang tercermin melalui faktor-
faktor tersebut.
angka 1 = tidak urgen
angka 2 = agak urgen
angka 3 = urgen
angka 4 = sangat urgen

Hasil dari kuesioner tersebut adalah angka/kuantitatif. Setiap pertanyaan


yang dijawab oleh responden dalam bentuk skala akan dihitung sehingga diperoleh
klaster masing-masing. Tiap skala akan diformulasikan ke dalam sebuah strategi
penguatan klaster. Setelah itu, kita akan melihat kuadran hasil pengolahan dengan
menghitung jumlah setiap skor yang telah dikalikan dengan tingkat urgensinya.
Kuadran inilah yang berfungsi sebagai peta dari strategi penguatan klaster.
Selanjutnya dibuat matriks SWOT berdasarkan kekuatan dan kelemahan dengan
kesempatan dan hambatan. Berdasarkan kuadran dan matriks SWOT tersebut kita
dapat menentukan rumusan strategi penguatan klaster.

14
3.6 Dekomposisi Time Series

Untuk melakukan estimasi terhadap kebutuhan pasokan dalam


mempertahankan kestabilan harga, digunakan metode dekomposisi time series.
Metode ini sangat cocok digunakan untuk variabel atau data dengan pola
pergerakan musim yang kuat seperti pola produksi pertanian atau perkebunan yang
memiliki musim panen.

Prinsip dasar metode dekomposisi deret waktu adalah mendekomposisi


(memecah) data deret waktu menjadi beberapa pola dan mengidentifikasi tiap-tiap
komponen dari deret waktu tersebut secara terpisah. Pemisahan ini dilakukan
untuk membantu meningkatkan ketepatan peramalan dan membantu pemahaman
atas perilaku data deret waktu secara lebih baik.

Metode dekomposisi dilandasi oleh asumsi bahwa data yang ada merupakan
gabungan dari beberapa komponen,

Data = pola + tidak berpola (irregularities)

= f (tren, siklus, musiman) + kesalahan

Dalam estimasi komponen tidak berpola atau komponen acak akan diwakili
oleh residual, yaitu perbedaan dari kombinasi estimasi komponen tren, siklus, dan
musiman dengan data sebenarnya. Asumsi di atas mengandung pengertian bahwa
terdapat empat komponen yang mempengaruhi suatu deret waktu, yaitu tiga
komponen yang dapat diidentifikasi karena memiliki pola tertentu, yaitu tren, siklus,
dan musiman, serta komponen acak yang tidak dapat diprediksi karena tidak
memiliki pola yang sistematis dan mempunyai gerakan yang tidak beraturan (Awat,
1990).

Komponen tren adalah kecenderungan gerak naik atau turun pada data yang
terjadi dalam jangka panjang. Variasi musim adalah gerak naik dan turun yang
terjadi secara periodik (berulang dalam selang waktu yang sama). Komponen siklus
adalah perubahan gelombang pasang surut yang berulang kembali dalam waktu
yang cukup lama, misalnya 10 tahun, kuartal ke-20, dan lain-lain. Komponen acak
(random) adalah gerakan yang tidak teratur, terjadi secara tiba-tiba, dan sulit untuk
diramalkan. Gerakan tersebut dapat timbul sebagai akibat adanya peperangan,
bencana alam, atau krisis moneter.

Dengan asumsi multiplikatif tersebut, komponen dekomposisi dapat


direpresentasikan dengan formula

15
𝒚𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕 𝒙 𝑰𝒕

Keterangan:

𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t


𝑺𝒕 : komponen siklus pada periode ke-t
𝑴𝒕 : komponen musiman pada periode ke-t
𝑻𝒕 : komponen tren pada periode ke-t
𝑰𝒕 : komponen acak pada periode ke-t

Estimasi berdasarkan dekomposisi akan menyisakan ketiga komponen


pertama dengan komponen acak diwakili oleh residual atau selisih antara estimasi
dengan data aktual:

𝒚𝒕 = 𝒚̂𝒕 + 𝜺𝒕

𝒚̂𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕

Keterangan:

𝒚𝒕 : data aktual pada periode ke-t


𝒚̂𝒕 : data estimasi periode ke-t
𝜺𝒕 : komponen eror pada periode ke-t

16
IV. HASIL PENELITIAN

Bab ini akan memberikan gambaran umum produksi, konsumsi, dan tata
niaga komoditas cabai dan bawang merah pada tingkat nasional dan daerah wilayah
survei. Perlu diperhatikan bahwa komoditas terutama cabai memiliki varietas yang
berbeda-beda. Cabai, misalnya, dapat dikelompokkan menjadi cabai merah besar,
cabai merah keriting, cabai hijau, dan cabai rawit. Analisis cabai tanpa
memperhatikan jenisnya dapat memberikan simpulan yang kurang tepat. Oleh
sebab itu, dalam penelitian diusahakan sebisa mungkin mengelompokkan
komoditas cabai berdasarkan varietas yang dikembangkan di wilayah survei. Selain
itu, akan dipaparkan pula keragaan dan analisis pada tiap-tiap klaster responden.

4.1 Produksi, Konsumsi, dan Tata Niaga

Untuk mengetahui peran klaster Bank Indonesia (BI) dalam mendukung


pasokan komoditas sebagai upaya menambah pasokan dan mengendalikan harga
di daerah klaster, terlebih dahulu dibutuhkan gambaran umum tentang permintaan
(demand) dan produksi (supply) pada tingkat nasional dan provinsi tempat
kabupaten atau kota klaster BI berada.

Data agregat nasional dibutuhkan dalam analisis kestabilan harga karena


perdagangan antarprovinsi di Indonesia semakin besar. Kestabilan harga komoditas
di suatu wilayah tergantung, antara lain, dari keberhasilan produksi di wilayah
sumber komoditas. Jika secara nasional kebutuhan komoditas lebih besar daripada
produksi nasional, kecenderungan harga komoditas tersebut akan naik, demikian
juga sebaliknya. Kestabilan harga juga sangat tergantung dari stabilitas produksi
nasional setiap bulan. Dengan demikian, gambaran pola produksi komoditas
sepanjang tahun di wilayah klaster juga perlu dikaji untuk mengetahui penyebab
gejolak harga.

Data konsumsi dalam analisis ini diperoleh dengan mengestimasi data


konsumsi rumah tangga hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS
tahun 2014, sedangkan data produksi diperoleh dari data Kementerian Pertanian,
Dinas Pertanian, dan BPS. Terdapat perbedaan data klasifikasi produksi dan
konsumsi BPS. Untuk data produksi cabai dibagi dalam dua kelompok, yaitu cabai
besar dan cabai rawit, sedangkan untuk data konsumsi terbagi menjadi tiga

17
kelompok, yaitu cabai merah, cabai hijau, dan cabai rawit. Dengan ketersediaan
data seperti itu pembahasan tentang kondisi surplus atau defisit nasional dan
provinsi, terutama Sumatera Barat dan Jawa Timur digunakan data total varietas
cabai bukan hanya cabai merah, sedangkan untuk provinsi Sulawesi Utara dapat
dikhususkan pada komoditas cabai rawit.

Karena cabai dan bawang dikonsumsi secara harian, data dengan frekuensi
bulanan sangat penting untuk mengestimasi kebutuhan aktual. Data produksi
cabai dan bawang merah telah tersedia dalam bulanan, tetapi data konsumsi yang
merupakan estimasi dari konsumsi SUSENAS hanya tersedia dalam tahunan. Oleh
karena itu, data konsumsi hanya dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata
kebutuhan per bulan atau per tahun, tanpa memperhitungkan faktor musiman,
seperti peningkatan konsumsi pada hari raya atau hari besar.. Demikian juga
dengan data kebutuhan untuk industri yang belum tersedia, padahal jumlahnya
cukup signifikan dalam mempengaruhi harga. Dengan keterbatasan itu, penelitian
berusaha melengkapi setiap analisis dengan memasukkan faktor musiman dan
estimasi kebutuhan industri yang diambil dari berbagai literatur.

4.1.1 Cabai

Grafik 1 menunjukkan bahwa produksi cabai secara nasional lebih besar jika
dibandingkan dengan konsumsi1 atau terjadi suplus produksi yang per tahunnya
mencapai 40%–60% dari konsumsi.2 Kondisi surplus ini tidak berarti bahwa terjadi
penurunan harga sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia. Jika terjadi
oversupply, harga akan turun di tingkat petani, tetapi dampaknya terhadap
konsumen akhir dipengaruhi oleh banyak hal.

1 Data konsumsi telah dibobotkan dengan estimasi kebutuhan industri yang menurut
berbagai sumber sekitar 25% dari total kebutuhan. Suplus yang lebih besar terjadi untuk
cabai rawit yang bisa mencapai 60%–80% per tahun
2Studi pendahuluan Renstra Kementan 2015–2019 menyatakan surplus sebesar 50%.

18
1,100,000 1,074,602

1,050,000
1,012,879
991,258.65 983,846.83
1,000,000
954,360
Ton
950,000
898,189.29
900,000

850,000

800,000
2012 2013 2014

Produksi Konsumsi

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Grafik 1. Produksi dan Konsumsi Cabai Nasional Per Tahun 2012–2014

Gejolak harga cabai masih terus terjadi yang didorong oleh beberapa hal
berikut.

1. Pola produksi nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat dan siklus
yang panjang (hampir satu tahun). Produksi menurun pada musim hujan, sekitar
bulan November–Februari (Grafik 2). Karakteristik itu juga terdapat pada
permintaan cabai merah, pada bulan-bulan tertentu, seperti hari raya, konsumsi
dapat meningkat 10%–20% jika dibandingkan dengan konsumsi normal. Adanya
perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi mendorong
ketidakstabilan harga, misalnya saat hari raya permintaan meningkat, tetapi
produksi menurun karena musim hujan. Dengan demikian, harga cabai
ditentukan oleh fundamental current production dan consumption yang bersifat
mingguan, bahkan harian.
2. Jarak produsen (sentra produksi) ke konsumen terutama ke kota-kota besar
sebagai sentra defisit (Gambar 3) terlalu jauh. Gangguan transportasi terjadi
ketika produksi menurun, terutama pada musim hujan, akan mendorong
kenaikan harga. Selain itu, cabai bersifat perishable sehingga penyimpanan
persediaan (stok) lebih sulit dilakukan untuk merespons kenaikan permintaan,
terutama permintaan cabai segar.
3. Permintaan industri yang cukup tinggi juga akan mengurangi kemampuan
produksi untuk menahan gejolak harga dari sisi konsumsi.

19
Cabai Merah
120,000 80,000
100,000 70,000
60,000
80,000 50,000
Ton

Rp
60,000 40,000
40,000 30,000
20,000
20,000 10,000
- 12 -

12

13

13

14

14
12

12

13

13

14

14
Jul

Jul

Jul
Apr

Okt

Apr

Okt

Apr

Okt
Jan

Jan

Jan
Produksi Konsumsi Harga

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Grafik 2. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi3 Cabai Merah Nasional
Per Bulan Tahun 2012–2014

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Gambar 3. Peta Suplus dan Defisit Cabai Nasional Tahun 2014

3Rata-rata
konsumsi per bulan diperoleh dari jumlah konsumsi per tahun dibagi 12. Hal itu
menjadikan grafik rata-rata konsumsi mendatar dalam satu tahun. Kebutuhan akan data
konsumsi per bulan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting untuk mampu
memprediksi lebih tepat kondisi surplus/defisit dalam satu bulan.

20
Kondisi surplus cabai juga terjadi pada provinsi wilayah klaster yang disurvei
(Gambar 3). Namun, jika diperinci berdasarkan jenis cabai, Sulawesi Utara
mengalami defisit cabai rawit (Grafik 3). Dari sisi konsumsi, konsumsi cabai per
kapita di Sumatera Barat jauh lebih tinggi (9kg/tahun/kapita) jika dibandingkan
dengan Jawa Timur (3,5kg/tahun/kapita). Akibatnya, peningkatan kebutuhan
konsumsi cabai di Sumatera Barat jauh lebih tinggi daripada Jawa Timur ketika
terjadi dampak musiman hari raya. Selain itu, produksi cabai dari kedua sentra
tersebut terserap juga oleh industri pengolahan makanan, baik industri besar (Jawa
Timur) maupun industri rumah tangga (Sumatera Barat).

Sumber: BPS dan Kementan, *cabai rawit


Grafik 3. Produksi dan Konsumsi Cabai Sumatera Barat, Jawa Timur, dan
Sulawesi Utara* Tahun 2012-2014 (Ton)

21
35,000

30,000

25,000

20,000
Ton

15,000

10,000

5,000

-
Mar-12

Jul-12

Nov-12

Mar-13

Jul-13

Nov-13

Mar-14

Jul-14

Nov-14
May-12

May-13

May-14
Sep-12

Sep-13

Sep-14
Jan-12

Jan-13

Jan-14
CR_Sumbar CR_Jatim CB_Sumbar CB_Jatim

Sumber: BPS dan Kementan


Grafik 4. Produksi Cabai Rawit (CR) dan Cabai Besar (CB) per Bulan
Sumatera Barat dan Jawa Timur Tahun 2012-2014

Grafik 4 menggambarkan perbedaan produksi cabai di Sumatera Barat dan


Jawa Timur. Jawa Timur memproduksi cabai besar hampir dua kali lipat Sumatera
Barat dan sekitar 32 kali lipat untuk cabai rawit. Sumatera Barat memiliki pola
produksi relatif stabil sepanjang tahun, sedangkan Jawa Timur memiliki pola
musiman yang kuat. Selain itu, terdapat perbedaan biaya produksi, biaya produksi
Sumatera Barat mencapai dua hingga tiga kali lipat biaya produksi Jawa Timur.

Jumlah produksi cabai rawit Jawa Timur mencapai puncaknya pada April–
Juli dan mencapai titik terendah pada Desember–Februari, sedangkan produksi
terendah cabai besar Jawa Timur adalah pada bulan Juli–Januari dan meningkat
pada bulan Februari–Juni. Dengan pola seperti itu, Jawa Timur membutuhkan
program penanaman bulan Oktober–November untuk cabai rawit dan program
penanaman musim kemarau untuk cabai besar. Kedua program itu membutuhkan
program khusus/lanjutan berupa penanganan tanaman cabai merah dan rawit
dewasa pada bulan Desember dan Januari. Di lain pihak, Sumatera Barat lebih
fokus pada usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.4

Terdapat perbedaan tata niaga cabai merah di Sumatera Barat dan Jawa
Timur. Dari penelusuran berbagai sumber diketahui bahwa 90% produksi cabai
merah Sumatera Barat dijual ke Riau, sedangkan pasokan untuk kebutuhan

4Produktivitas cabai sering menurun pada musim hujan karena banyaknya cabai yang
membusuk dan rentan terhadap serangan penyakit/virus.

22
Sumatera Barat sendiri diperoleh dari Provinsi Bengkulu, Jawa, Lampung, dan
Sumatera Utara. Selain adanya permintaan industri rumah tangga, faktor tata niaga
ini merupakan salah satu sebab terjadinya gejolak harga cabai di Sumatera Barat
yang merupakan sentra produksi cabai merah. Di lain pihak, sentra cabai merah di
Jawa Timur lebih memiliki permasalahan rendahnya harga di tingkat petani jika
musim panen raya. Hal itu menegaskan pentingnya pemasaran cabai merah hasil
produksi sentra Jawa Timur.5

Dari ketiga wilayah survei hanya Sulawesi Utara yang bukan merupakan
sentra produksi karena budi daya cabai belum dilakukan secara masif dan
sistematis. Di daerah ini konsumsi cabai rawit merah jauh lebih tinggi dibandingkan
konsumsi cabai merah (18:1) sehingga budi daya difokuskan pada cabai rawit
merah. Konsumsi cabai rawit merah di Sulawesi Utara meningkat tajam pada bulan
pengucapan syukur atau paskah (Juli–Agustus) dan hari raya Natal. Dengan kondisi
defisit per tahun yang relatif stabil sebesar 3%–7% atau 300–600 ton dari konsumsi
pada tahun 2012–2014, Sulawesi Utara masih bergantung pada wilayah lain
(Gorontalo6 dan Jawa Timur) untuk pemenuhan kebutuhan cabai, terutama ketika
konsumsi melonjak tajam.

Produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara stabil pada kisaran 9.000–9.500
ton pada tahun 2010–2013, tapi hanya mencapai 8.461 ton pada tahun 2013.
Penurunan itu terjadi akibat menurunnya luas tanam terutama di Kabupaten
Minahasa yang merupakan sentra produksi cabai rawit. Pada tahun 2014
pemerintah kabupaten Minahasa bersama BI menjalankan program Kabupaten Rica
atau Kabupaten Cabai yang berdampak pada meningkatnya luas tanam. Program
tersebut telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara
sebesar 24,9 ton menjadi 8.486 ton pada tahun 2014. Kenaikan produksi tahun
2014 tersebut belum mampu mengantisipasi kenaikan kebutuhan konsumsi yang
mencapai 8.779 ton (10.974 ton dengan kebutuhan industri) atau naik 8,6% dari
tahun sebelumnya. Hal itu menyebabkan defisit sebesar 293 ton (2.488 ton dengan
kebutuhan industri) atau sebesar 22,7% dari kebutuhan konsumsi. Defisit tersebut

5 Sumatera Barat dan Jawa Timur sebagai sentra dan sumber cabai bagi daerah lain juga
memiliki permasalahan harga yang meningkat, terutama pada hari raya. Semakin banyak
terjadi arus informasi dan perdagangan antarwilayah akan mempengaruhi harga komoditas
di daerah sentra.
6 Beberapa sumber mengatakan bahwa cabai merah Gorontalo berasal dari Bolaang

Mongondow Selatan (Bolsel) yang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Utara.
Kedekatan geografis dengan Gorontalo menyebabkan tata niaga cabai kabupaten Bolsel lebih
terjalin dengan Gorontalo dibandingkan dengan kabupaten/kota di Sulawesi Utara.

23
akan menjadi sangat besar jika terjadi kenaikan konsumsi pada bulan-bulan
tertentu. Gejolak harga semakin sulit dikontrol dengan kenyataan bahwa produksi
cabai rawit merah di provinsi ini menurun pada bulan Oktober–Desember saat
kebutuhan meningkat (Grafik 5).

1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
Ton

800
600
400
200
-
Mar-12

Jul-12

Nov-12

Mar-13

Jul-13

Nov-13

Mar-14

Jul-14

Nov-14
May-12

May-13

May-14
Sep-12

Sep-13

Sep-14
Jan-12

Jan-13

Jan-14
Produksi Konsumsi

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Grafik 5. Produksi Cabai Rawit per Bulan Sulawesi Utara
Tahun 2012–2014 (ton)

Meskipun secara nasional surplus cabai rawit lebih besar dari surplus cabai
yang bisa mencapai 60%–80%, pola penurunan produksi pada bulan Desember
merupakan pola umum nasional produksi cabai rawit (Grafik 6). Penurunan
produksi nasional itulah yang menjadi salah satu penyebab kenaikan harga yang
sangat tinggi di Sulawesi Utara hingga mencapai Rp150.000,00/kg pada Desember
2014. Dengan demikian, program penanaman bulan September–November dan
program khusus berupa penanganan tanaman cabai dewasa pada bulan Desember
dan Januari sangat krusial untuk dilakukan.

24
90,000
80,000
70,000

Ton
60,000
50,000
40,000
30,000

Nov-12

Nov-13

Nov-14
Mar-12
May-12
Jul-12

Mar-13
May-13
Jul-13

Mar-14
May-14
Jul-14
Sep-12

Sep-13

Sep-14
Jan-12

Jan-13

Jan-14
Produksi Konsumsi

Sumber: Kementan (diolah)


Grafik 6. Produksi dan Rata-Rata Konsumsi Cabai Rawit Nasional
Per Bulan Tahun 2012–2014

4.1.2 Bawang Merah

Grafik 7 menunjukkan bahwa produksi bawang merah secara nasional setiap


tahun selalu mengalami surplus hingga mencapai 40% dari konsumsi pada tahun
20147. Keseimbangan itu tercermin juga dengan kestabilan harga bawang pada
tingkat nasional.

1,400,000
1,233,984
1,200,000
964,221 1,010,773
1,000,000
755,162
800,000 705,584
Ton

629,690
600,000

400,000

200,000

-
2012 2013 2014

Produksi Konsumsi

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Grafik 7. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Nasional
Tahun 2012–2014 (ton)

7Konsumsi belum memasukkan kebutuhan industri oleh sebab tidak ada sumber informasi
yang valid mengenai berapa kebutuhan bawang untuk untuk industri.

25
Harga bawang relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan harga cabai
karena beberapa faktor berikut.

1. Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat


(menurun pada Maret–April dan November–Desember dan meningkat pada
Januari dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7
bulan) 8 . Dengan demikian, penanaman bulan September–Oktober sangat
krusial, tetapi terhambat oleh terlambatnya musim hujan. Adapun penurunan
produksi bulan Maret lebih disebabkan alih lahan untuk padi pada bulan
Januari.
2. Permintaan bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi
jika dibandingkan dengan cabai merah.
3. Dengan pola siklus yang lebih singkat serta daya tahan yang lebih lama (4–6
bulan), penyimpanan persediaan (stok) bawang merah lebih mudah dilakukan
untuk merespons kenaikan permintaan.
4. Pembentukan harga bawang dengan demikian relatif tidak ditentukan oleh
current production, tetapi juga oleh tata niaga dan struktur pasar.

160,000 70,000
140,000 60,000
120,000
50,000
100,000
40,000
Ton

Rp

80,000
30,000
60,000
20,000
40,000
20,000 10,000

- -
12

13

14
12

12

12

13

13

13

14

14

14
12

13

14
12

13

14
Jul

Jul

Jul
Mar
Mei

Mar
Mei

Mar
Mei
Jan

Sep
Nov
Jan

Sep
Nov
Jan

Sep
Nov

Produksi Konsumsi Harga

Sumber: Kementan (diolah)


Grafik 8. Produksi, Rata-Rata Konsumsi Bawang Merah dan Harga
per Bulan Nasional Tahun 2012–2014

8Dalam satu tahun terdapat dua siklus sedangkan cabai rawit hanya memiliki satu siklus
panjang dalam satu tahun.

26
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 4. Peta Surplus dan Defisit Bawang Merah Nasional Tahun 2014

Meskipun harga relatif lebih stabil, produksi bawang merah nasional


bergantung pada sentra bawang di Jawa dan NTB (Gambar 4). Terpusatnya sentra
produksi di Jawa dan NTB menimbulkan risiko apabila terjadi serangan hama atau
perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produksi. Hal itu terjadi
pada tahun 2013 saat sentra produksi bawang di Jawa mengalami penurunan
akibat cuaca ekstrim. Harga bawang merah secara nasional melonjak hingga
mencapai Rp60.000,00 yang dampak jangka panjangnya adalah naiknya harga rata-
rata tahunan dari Rp15.000,00 pada tahun 2013 menjadi di atas Rp20.000,00 pada
tahun 2014.

Dari ketiga wilayah survei (Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan
Tengah), hanya Jawa Barat yang mengalami surplus karena Kabupaten Cirebon
merupakan salah satu sentra produksi bawang merah nasional. Adapun Sumatera
Utara dan Kalimantan Tengah mengalami defisit yang menyebabkan harga relatif
tinggi. Misalnya, tahun 2014 produksi bawang merah Sumatera Utara dan
Kalimantan Tengah berturut-turut hanya 21% dan 1% dari kebutuhan konsumsi.
Dengan defisit produksi terhadap konsumsi yang mencapai hampir 80% dan 100%,

27
inflasi bawang merah di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah teratasi oleh
meningkatnya produksi bawang merah nasional.

Sumber: Kementan (diolah) dan BPS


Grafik 9. Produksi dan Konsumsi Bawang Merah Sumatera Utara, Jawa
Barat dan Kalimantan Tengah Tahun 2012–2014 (ton)

Efisiensi produksi juga ditentukan dari pengalaman produksi. Sumatera


Utara sudah terbiasa bertanam bawang merah, tetapi tidak dengan Kalimantan
Tengah. Di Kalimantan Tengah, selain kurangnya kemampuan bertani dan
kelengkapan kelembagaan pertanian, produktivitas dan efisiensi produksi bawang
merah juga rendah sehingga harga BEP bawang merah di wilayah ini tinggi. Selain
itu, bawang merah yang ada di pasar saat ini telah dikuasai oleh bawang merah dari
Probolinggo-Jawa Timur dan Bima-NTB sehingga usaha meningkatkan produksi
bawang merah di provinsi membutuhkan usaha on-farm dan off-farm yang besar.

Selain itu, upaya meningkatkan produksi bawang merah Sumatera Utara


lebih mudah dan murah karena didukung kondisi tanah yang cocok dan petani yang
memiliki pengalaman dalam budi daya bawang merah (terutama di daerah tempat
klaster BI berada, Kabupaten Simalungun). Salah satu faktor yang harus

28
dipertimbangkan di wilayah itu adalah kompetisi penggunaan lahan produk
pertanian untuk bawang merah dan cabai merah.

4.2 Deskripsi Klaster di Wilayah Survei

4.2.1 Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat

Kelompok Tani Guguak Lagundiah berdiri sejak tahun 1998. Kekompakan


dan kerja sama yang solid menyebabkan kelompok ini masih berdiri hingga
sekarang. Anggota kelompok memiliki aturan yang harus disepakati dan dipatuhi
bersama. Salah satu nilai yang disepakati adalah bahwa jika salah satu anggota
tidak hadir dalam kegiatan kelompok (mempersiapkan lahan untuk budi daya),
anggota tersebut akan dikenai denda sebesar Rp100.000,00.

Tabel 3. Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar


Keterangan Klaster
Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar, Kelompok
Tani Guguak Lagundi di Jorong Tanjuang Nagari
Nama Klaster
Pandai Sikek Kecamatan X Koto KabupatenTanah
Datar, Sumatera Barat
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 18 Maret 1998
Tahun Mulai Klaster Desember 2014
Jorong Tanjuang, Nagari Pandai Sikek ,
Lokasi dan Alamat Klaster Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar,
Provinsi Sumatera Barat
Jumlah Anggota/Petani 11 (sebelas) orang
Nama GAPOKTAN/Asosiasi GAPOKTAN Pandai Sikek
Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera
Stakeholder yang Terlibat
Barat, Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Sumatera Barat
Asal Pemasok Nagari Pandai Sikek
Sepanjang tahun, masa tanam 6 bulan, masa
Periode Tanam
panen 20 minggu
Luas Lahan 2 hektare
100 kg–1.300 kg per minggu atau 5–20 ton per
Jumlah Produksi
tahun
Pemasaran (Lokal, Antar Dijual kepada pedagang lokal, oleh pedagang lokal
Kabupaten-Provinsi, dll) dijual ke luar Provinsi Sumatera Barat.

29
Tabel 3. (lanjutan)
Keterangan Klaster
Diawali oleh modal pribadi anggota kelompok,
selanjutnya modal usaha kelompok diambil dari
sisa kas yang diperuntukkan untuk modal usaha
Sumber Modal
pada musim tanam/tahun berikutnya, fasilitasi
kegiatan SLPHT dan demplot tanaman cabai
berbentuk bantuan sarana produksi.
Status/Tanggal Akhir
Program sedang berjalan, berakhir Desember 2016
Program
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
Cabai, Pelatihan Penguatan
Kelembagaan/Kelompok, Demonstrasi Plot
Kegiatan Pendampingan
(Demplot) Tanaman Cabai (0,5 – 1 ha), Kunjungan
Belajar Ke Laboratorium Hama Penyakit dan Klinik
PHT (BPTHP) di Bukittinggi.

Kecamatan Sepuluh Koto merupakan daerah yang subur dan cukup sumber
air. Hal itu menyebabkan klaster BI dapat melakukan penanaman sepanjang tahun
dengan masa tanam selama 6 bulan dan masa panen adalah 20 minggu atau 5
bulan. Kegiatan pada tahun pertama yang dilakukan adalah memberikan
pendampingan dan pengetahuan budi daya, seperti penggunaan teknologi dan
penggunaan yang tepat atas pestisida atau pupuk buatan. Saat ini sedang dibuat
demplot tambahan seluas 1 hektare dan sebelumnya sudah dilakukan SLPHT seluas
0,5 hektare.

Dengan produksi mencapai 20 ton per tahun, klaster ini hanya mampu
meningkatkan surplus sebesar 0,09%. Terdapat surplus sebesar 21.617 ton untuk
provinsi serta 8.769 ton untuk Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 2014
Kabupaten Tanah Datar telah berhasil meningkatkan produksi cabai sebesar 79 ton
atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 436 ton dari 8.333 ton menjadi
8.769 ton sehingga efektivitas Kabupaten Tanah Datar secara keseluruhan adalah
sebesar 0,09%.

Peran klaster BI dalam kestabilan harga belum signifikan mengingat masih


tingginya gejolak harga terutama saat bulan haji atau hari raya. Pasokan lokal
Sumatera Barat berasal dari luar daerah, yaitu Sumatera Utara, Lampung, dan
Jawa sehingga jika terjadi penurunan pasokan dari Jawa dan Lampung berdampak
terhadap kenaikan harga di Sumatera Barat.

Terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster


BI, yaitu sebagai berikut.

30
1. Belum terbentuknya kelembagaan seperti koperasi sehingga kelompok tani
hanya bertindak sebagai penerima harga/price taker dari pengepul.
2. Perubahan cara budi daya cabai dari nonorganik menjadi organik menjadi beban
anggota kelompok karena memerlukan usaha yang lebih besar. Saat ini masih
belum dapat diketahui hasil dari perubahan cara budi daya organik karena
belum diakukan pemanenan dari lahan demplot.
3. Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten masih kurang sehingga
pengembangan klaster cabai masih belum berjalan secara optimal.

Hasil AHP dan SWOT

Dalam penelitian ini analisis pasokan dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu
produksi, replikasi, dan sustainability, sedangkan stabilitas harga juga
dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu permintaan antara, permintaan akhir, dan
konektivitas. Semua proses memiliki konsistensi yang tinggi sehingga hasil AHP dari
proses ini layak untuk diambil simpulan (Grafik 10).

Produksi Replikasi

Skill 0.324 Entrepreneurship 0.275


Teknologi 0.323 Modal Sosial 0,250
Bibit 0.179 Organisasi Klaster 0.179
Luas Lahan 0.088 Dukungan Stakeholder 0.175
Masa Tanam 0.085 Akses Pembiayaan 0.122

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,08

Sustainability Permintaan Antara

Akses dan Perluasan… 0.351 Pedagang Besar/Pasar


Induk 0.432
Modal Sosial dan… 0.211
Penanganan Pasca… 0.205 Pengepul/Pedagang 0.365
Akses Keuangan 0.131
Tengkulak/Juragan/Tao
Keberlangsungan Input 0.102 ke 0.203

Inconsistency : 0,06 Inconsistency : 0,05

31
Permintaan Akhir Konektivitas

Akses Pasar 0.472 Akses Informasi 0.353


Kualitas & Ketersediaan
Struktur Pasar 0.207 Infr. 0.321
Relasi Pedagang dan
Keberadaan Industri 0.198 Petani 0.217
Rumah Tangga dan
Industri 0.124 Jalur Distribusi 0.109

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,06

Grafik 10. Hasil AHP Klaster Cabai Tanah Datar

Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan keterbukaan manajemen


klaster menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster
adalah pada akses terhadap jasa pendukung, input, dan evaluasi manajemen
klaster. Di lain pihak faktor geografis, kedekatan dengan pemasok serta dukungan
stakeholders menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster, sedangkan
demografi dan akses informasi masih menjadi ancaman.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tenaga kerja dan


perbaikan akses informasi terhadap harga serta kualitas sarana informasi menjadi
program yang selaras dalam meningkatkan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar dan
jasa pendukungnya dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap
pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun masyarakat.

Tabel 4. Hasil SWOT Klaster Cabai Tanah Datar


STRENGTH WEAKNESS
 Akses terhadap jasa pendukung
 Modal sosial
bisnis
 Produksi/operasi  Ketersediaan input
 Manajemen klaster—Keterbukaan  Manajemen klaster (evaluasi)
OPPORTUNITY THREAT
 Penjualan  Akses informasi
 Faktor geografis  Faktor demografis
 Sistem informasi manajemen klaster  Faktor ekonomi

32
4.2.2 Klaster Cabai Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur

Tabel 5. Klaster Cabai Jember


Keterangan Klaster
Nama Klaster Koperasi Holtikultura Lestari
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri Agustus 2011
Tahun Mulai Klaster 2013
Lokasi dan Alamat Klaster Kec. Wuluhan, Kabupaten Jember
Jumlah Anggota/Petani Anggota koperasi 20 orang
Nama GAPOKTAN/Asosiasi AACI (Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia)
Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Universitas
Stakeholder yang Terlibat
Muhammadiyah
Asal Pemasok Lokal Jember
Sepanjang tahun, paling banyak di bulan Mei–
Periode Tanam
Juni
Luas Lahan Kemitraan 125 orang
Jumlah Produksi 1.500 ton
Pemasaran (Lokal, Antar PT Heinz ABC, pernah dengan PT Indofood
Kabupaten-Provinsi, dll) (blacklist)
Sumber Modal Koperasi Holtikultura Lestari
Pelatihan Sekolah Lapangan, bantuan krat
Kegiatan Pendampingan
plastik, GTCK

Melalui pendampingan yang dilakukan BI Jember, terjadi peningkatan


produksi. Produksi yang sebelumnya hanya menghasilkan 0,8 kg per batang
menjadi 1,5–2 kg per batang. Dengan produksi mencapai 1.795 ton per tahun dan
kondisi surplus sebesar 34.022 ton, klaster BI mampu meningkatkan surplus di
Kabupaten Jember sebesar 1,67%.

Setiap tahun Koperasi Lestari memasok 1.500 ton cabai ke PT Heinz ABC
yang dipasok oleh 125 mitra koperasi. Setiap petani akan memiliki kontrak dengan
jumlah dan masa tanam (bulan) yang berbeda serta harga yang sudah disepakati
dengan PT Heinz ABC. Beberapa keuntungan yang diperoleh petani melalui
kemitraan dengan Koperasi Lestari ialah (1) petani mitra akan mendapatkan
pinjaman dalam bentuk bibit dan saprodi yang dibayar pada saat panen; (2) harga
yang ditawarkan besarnya di atas biaya produksi (Rp8.000,00 per kg). Apabila
terjadi penurunan hargai cabai, PT Heinz ABC tetap akan membeli dengan harga
yang disepakati. Namun, jika harga pasar lebih tinggi dari harga kontrak, PT Heinz
ABC akan memberikan kenaikan harga sebesar 50% dari selisih harga pasar dan
harga kontrak.

33
Pada tahun 2014 dilakukan operasi pasar cabai oleh Dinas Perdagangan
yaitu pada saat terjadi kenaikan harga cabai hingga Rp30.000,00. Koperasi Lestari
diminta untuk berperan serta dalam operasi pasar tersebut dengan memasok 2 truk
yang tiap-tiap truk berisi 5 ton (total 10 ton) dengan harga jual Rp10.000,00 per kg.
Dampak adanya cabai murah yang masuk pasar secara tidak langsung menurunkan
harga cabai di Pasar Tanjung Jember.

Pada bulan Agustus tahun 2015 dilakukan gerakan tanam cabai di musim
kemarau (GTCK) yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian dan didukung oleh BI.
Untuk gerakan ini KPw BI Jember memberikan bantuan lahan seluas 1 hektare,
tetapi karena ingin berdampak lebih besar, koperasi sebagai pengelola klaster BI
melakukan penambahan lahan sebanyak 14 hektare sehingga menjadi 15 hektare.
Kendala terbesar dalam pelaksanaan GTCK adalah ketersediaan sumber air. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dilakukan dengan menggunakan pompa untuk
mengairi lahan cabai. Biaya yang dihabiskan hingga panen pertama sebesar
Rp5.900,00 per batang, sangat besar jika dibandingkan biaya produksi satu musim
tanam pada umumnya (musim normal) sebesar Rp6.000,00 per batang.

Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam klaster Cabai Jember adalah


sebagai berikut.

1. Penurunan harga yang sangat signifikan terjadi pada saat pasokan cabai
melimpah.
2. Untuk melakukan penanaman cabai dibutuhkan modal yang cukup besar
sehingga membutuhkan sumber dana dari pihak luar. Sebagai ilustrasi
dibutuhkan biaya 100 juta rupiah untuk 1 hektare luas lahan tanam.

Hasil AHP dan SWOT

Berdasarkan hasil AHP pada klaster ini, faktor terpenting dalam proses
produksi adalah skill dan teknologi. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
organisasi klaster, modal sosial, dukungan stakeholders, entreprenuership, dan
akses pembiayaan. Kekuatan organisasi klaster di Jember menjadi faktor replikasi
yang utama karena jalinan dengan industri sudah cukup lama terjalin.

Di sisi lain, akses dan perluasan pasar serta modal sosial dan jaringan
menjadi faktor utama dalam keberlanjutan pertanian klaster. Untuk klaster ini,
permintaan akhir yang terpenting adalah keberadaan industri untuk jaminan pasar,

34
sedangkan untuk konektivitas, akses informasi merupakan faktor terpenting untuk
memperoleh informasi harga ataupun hubungan dengan seluruh mitra koperasi.

Produksi Replikasi

Skill 0.474 Organisasi Klaster 0.371


Teknologi 0.204 Modal Sosial 0.261
Masa Tanam 0.171 Dukungan Stakeholder 0.177
Bibit 0.083 Entrepreneurship 0.155
Luas Lahan 0.068 Akses Pembiayaan 0.089

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,20

Sustainability Permintaan Antara

Akses dan Perluasan… 0.434 Pedagang Besar/Pasar


Induk 0,390
Modal Sosial dan… 0.258
Penanganan Pasca… 0.152 Pengepul/Pedagang 0,390
Akses Keuangan 0.087 Tengkulak/Juragan/Ta
0,220
Keberlangsungan Input 0.069 oke

Inconsistency : 0,02 Inconsistency : 0,08

Permintaan Akhir Konektivitas

Keberadaan Industri 0.572 Akses Informasi 0.416


Kualitas & Ketersediaan
Akses Pasar 0.219 Infr. 0,260
Rumah Tangga dan Relasi Pedagang dan
Industri 0.142 Petani 0.213
Struktur Pasar 0.068 Jalur Distribusi 0.111

Inconsistency : 0,02
Inconsistency : 0,05

Grafik 11. Hasil AHP Klaster Cabai Jember

Hasil SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input dan manajemen klaster


menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan klaster terletak
pada sistem informasi manajemen klaster serta administrasi klaster. Faktor
demografis (tenaga kerja), sistem informasi, dan kedekatan dengan pemasok
menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, geografis
dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih menjadi ancaman bagi
petani klaster.

35
Tabel 6.Hasil SWOT Klaster Cabai Jember
STRENGTH WEAKNESS
 Ketersediaan input  Sistem informasi manajemen klaster
 Manajemen klaster  Manajemen klaster
 Pemasaran  Modal sosial
OPPORTUNITY THREAT
 Faktor demografis  Faktor geografis
 Sistem informasi manajemen klaster  Faktor kompetitif
 Kedekatan dengan pemasok  Akses pasar

4.2.3 Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara

Pengembangan klaster cabai rawit BI di Kabupaten Minahasa dimulai pada


tahun 2014 yang bertepatan dengan penetapan Kabupaten tersebut sebagai
Kabupaten Cabai. Terdapat 5 klaster cabai rawit yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu
Tombulu, Tombariri, Tondano Selatan, Tondano Utara, dan Tompaso Barat (Tabel
7).

Tabel 7. Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa


Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Cabai Kabupaten Minahasa
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2014
Tahun Mulai Klaster 2014
Lokasi dan Alamat Klaster Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara
Jumlah Anggota/Petani 85
Nama GAPOKTAN Dalam proses pembentukan
Pemda Kabupaten Minahasa, PT. Gunung Mas
Stakeholder yang Terlibat Agro Lestari, serta BPN Provinsi Sulawesi
Utara dan Kabupaten Minahasa
Asal Pemasok Input: lokal
Periode Tanam Agustus–Oktober dan Februari–Mei
5 hektare cabai rawit dan 5 hektare cabai
Luas Lahan
merah
Jumlah Produksi 5–10 ton per tahun (cabai rawit dan merah)
Pemasaran (Lokal, Antar
Lokal dan antar provinsi
Kabupaten-Provinsi, dll)
Swadaya dan bantuan BI (Program Sosial
Sumber Modal
Bank Indonesia)
Status/Tanggal Akhir Program On going, berakhir pada akhir tahun 2016
Pelatihan teknis budidaya bersama PT. GMAL,
Kegiatan Pendampingan edukasi keuangan, fasilitasi Sertifikasi Hak
Atas Tanah (SHAT) bersama BPN

36
Bantuan BI kepada klaster berupa penyediaan saprodi dan permodalan,
bahkan pada awalnya BI menyediakan pembiayaan keseluruhan proses produksi.
Untuk penyediaan saprodi dilakukan oleh Pemda melalui PT Gunung Mas Agro
Lestari. Pengembangan klaster diawali dengan membuat demplot dengan luas 1
hektare yang dikerjakan oleh satu kelompok tani yang terdiri atas rata-rata 10
petani. Rata-rata produksi setiap demplot adalah 1 ton per tahun. Produksi cabai
rawit untuk keseluruhan demplot cabai rawit (termasuk 10 hektare demplot dari
Pemda) adalah sebanyak 15 ton.

Dengan produksi sebesar 15 ton per tahun dan defisit sebesar 2.488 ton per
tahun, klaster BI hanya menutup defisit sebesar 0,60%. Karena Kabupaten
Minahasa telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 130 ton pada
tahun 2014 atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 319 ton dari 354 ton
menjadi 673 ton, program Kabupaten Cabai telah berhasil mengurangi defisit
produksi cabai rawit Kabupaten Minahasa sebesar 12,82%. Peran klaster BI dalam
kestabilan harga masih sangat minim karena masih tingginya gejolak harga
terutama pada bulan Desember tahun 2014. Kestabilan harga tidak hanya
dipengaruhi oleh peningkatan produksi, tetapi juga oleh penyelarasan antara pola
tanam dan faktor musiman konsumsi masyarakat.

Beberapa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan klaster BI adalah


sebagai berikut.

1. Peran klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai cenderung
disebabkan oleh adanya bantuan atau insentif BI dalam pembuatan demplot.
2. Jumlah anggota kelompok tani yang terlibat dalam demplot seluas 1 hektare
pada umumnya berjumlah 10 petani. Jumlah tersebut tidak efisien karena
mendorong terjadinya freerider sehingga pengembangan klaster menjadi tidak
optimal.
3. Upaya melakukan replikasi budi daya cabai masih kurang atau gagal terbentuk.
Hal itu disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam satu demplot (1
hektare) sehingga keuntungan atau hasil per petani sangat kecil. Hal tersebut
belum mendorong petani melakukan replikasi budi daya cabai.
4. Adanya indikasi kelompok tani yang tidak berada dalam satu kawasan
menyebabkan sulitnya koordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.

37
Hasil AHP dan SWOT

Hasil kajian AHP (Grafik 12) menunjukkan bahwa seluruh proses memiliki
konsistensi yang tinggi, kecuali permintaan akhir. Oleh karena itu, hasil AHP dari
proses ini tidak valid untuk diambil simpulan. Untuk proses produksi, faktor
terpenting adalah teknologi dan keahlian. Teknologi yang dibutuhkan adalah
handtractor dan pompa air/embung. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
modal sosial, organisasi klaster, dukungan stakeholders, dan akses pembiayaan. BI
sebaiknya mampu memanfaatkan modal sosial petani (mapalus), yaitu budaya
gotong royong masyarakat Minahasa untuk melakukan replikasi klaster. Di sisi lain,
akses dan perluasan pasar serta penanganan pascapanen menjadi faktor utama
dalam keberlanjutan klaster.

Produksi Replikasi

Teknologi 0.316 Modal Sosial 0.223


Skill 0.297 Organisasi Klaster 0.216
Luas Lahan 0.143 Dukungan Stakeholder 0.203
Masa Tanam 0.123 Akses Pembiayaan 0.202
Bibit 0.121 Entrepreneurship 0.156

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,02

Sustainability Permintaan Antara

Akses dan Perluasan… 0.296 Pengepul/Pedagang 0.525


Penanganan Pasca… 0.231
Pedagang Besar/Pasar
Modal Sosial dan… 0.193 Induk 0.338
Akses Keuangan 0.161 Tengkulak/Juragan/Ta
0.137
Keberlangsungan Input 0,120 oke

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,04

Permintaan Akhir Konektivitas

Rumah Tangga dan


Industri 0.365 Akses Informasi 0.305
Kualitas & Ketersediaan
Keberadaan Industri 0.273 Infr. 0.274
Relasi Pedagang dan
Akses Pasar 0.247 Petani 0.252
Struktur Pasar 0.115 Jalur Distribusi 0.168

Inconsistency : 0,38 Inconsistency : 0,03

Grafik 12. Hasil AHP Klaster Cabai Kabupaten Minahasa

38
Tabel 8. Hasil SWOT Klaster Cabai Minahasa
STRENGTH WEAKNESS
 Modal sosial  Produksi/operasi
 Ketersediaan input  Penelitian dan pengembangan
 Budaya kewirausahaan  Keuangan/akuntansi
OPPORTUNITY THREAT
 Kedekatan dengan pemasok  Infrastruktur
 Peran stakeholder  Akses pasar
 Akses informasi  Faktor kompetitif

Hasil SWOT menyimpulkan bahwa modal sosial dan ketersediaan input


menjadi kekuatan klaster paling dominan. Di sisi lain, kelemahan klaster terletak
pada produksi, penelitian dan pengembangan, serta administrasi keuangan klaster.
Kedekatan dengan pemasok serta dukungan stakeholders menjadi peluang paling
nyata bagi pengembangan klaster. Di lain pihak, infrastruktur dan ketiadaan akses
pasar masih menjadi ancaman bagi petani klaster.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyediaan teknologi dan


infrastruktur dari stakeholders, modal sosial, atau mapalus menjadi faktor yang
selaras dalam peningkatan pasokan. Lebih lanjut, akses pasar atau toko tani dapat
menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman terhadap pasokan dan stabilitas harga,
baik untuk petani maupun masyarakat umumnya.

4.2.4 Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Simalungun dipilih oleh Bank Indonesia sebagai daerah


pengembangan klaster bawang merah karena memiliki kondisi geografis yang cukup
baik. Struktur tanah lokasi ini sangat baik bagi tumbuhnya bawang merah karena
memiliki karakteristik berpasir dengan sumber air yang melimpah. Lokasi
pembinaan klaster bawang merah, yaitu Kecamatan Haranggaol Horisan, dahulunya
merupakan sentra penghasil bawang merah sejak tahun 1980. Pada masa itu
bawang merah dari daerah tersebut terkenal akan rasanya yang pedas sehingga
banyak permintaan dari konsumen di Sumatera Utara. Namun, pada awal tahun
1990-an, virus tanaman menyerang seluruh area pertanian bawang merah sehingga
petani lalu beralih pada budi daya tanaman lain seperti kopi.

Dengan motivasi mengembalikan pertanian bawang merah di Kecamatan


Haranggaol Horisan, pada tahun 2012 beberapa petani mencoba melakukan budi
daya bawang merah. Kemudian pada awal tahun 2013, KPw Bank Indonesia

39
Pematang Siantar bekerja sama dengan BPTP Sumatera Utara melakukan studi
mengenai pendampingan petani bawang merah dengan membentuk klaster. Setelah
pengujian laboratorium terhadap beberapa jenis bibit bawang merah, diketahui jenis
bawang merah maja merupakan yang paling cocok untuk struktur tanah dari
kawasan ini.

Tabel 9. Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun


Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2012
Tahun Mulai Klaster 2013
Kec. Haranggaol Horisan, Kabupaten
Lokasi dan Alamat Klaster
Simalungun, Sumatera Utara
Jumlah Anggota/Petani 50
Nama GAPOKTAN Kelompok Tani Andalan
Stakeholder yang Terlibat BPTP Sumatera Utara
Asal Pemasok Input: Kabupaten Aipopo
Periode Tanam Juli–September dan Maret–Mei
Luas Lahan 13,9 hektare
Jumlah Produksi 20 ton
Pemasaran (Lokal, Antar
Antarkabupaten dalam provinsi
Kabupaten-Provinsi, dll)
Sumber Modal Swadaya
On going, berakhir pada pertengahan tahun
Status/Tanggal Akhir Program
2016
Pelatihan teknis budidaya dan pengadaan
Kegiatan Pendampingan
benih, penyuluhan pupuk organik

Bank Indonesia memberikan bantuan dalam bentuk sarana produksi


pertanian dengan ketentuan maksimal 5 rante (satuan luas wilayah, 1 rante = 400
m2). BPTP secara berkala memberikan hasil diseminasi dan pelatihan kepada
petugas penyuluh lapang (PPL) untuk memberikan penyuluhan teknis kepada para
petani seperti alokasi pupuk yang tepat, masa tanam yang disesuaikan dengan
cuaca dan budi daya bibit bawang. Pada awalnya petani hanya mampu
memproduksi rata-rata 8 ton. Setelah adanya pendampingan dari Bank Indonesia
dan BPTP, petani mampu menghasilkan rata-rata 20–25 ton (panen terakhir pada
awal September 2015).

40
Meskipun mengalami peningkatan produksi, defisit bawang merah Sumatera
Utara sebesar 39.781 ton pada tahun 2014 menyebabkan produksi klaster hanya
menutupi defisit sebesar 0,06%. Selain itu, produksi bawang merah di Kabupaten
Simalungun sendiri juga mengalami defisit pada tahun tersebut.

Di sisi lain, keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol


Horisan mampu menarik minat petani di luar klaster binaan Bank Indonesia untuk
ikut budi daya bawang merah. Pada awalnya Bank Indonesia hanya membina dua
kelompok tani klaster bawang merah itu. Sekarang kelompok tani sudah bertambah
menjadi delapan kelompok dan saat ini sedang proses untuk bertambah kembali
sebanyak dua kelompok baru.

Keberadaan klaster bawang merah di Kecamatan Haranggaol Horisan ini


mampu meningkatkan produksi bawang merah dari segi kuantitas dan terjadi efek
ganda (semakin banyak petani budi daya bawang merah). Namun, luas lahan tanam
semakin sempit akibat persaingan penggunaan lahan dengan komoditas pertanian
lainnya sehingga produksi bawang merah kurang maksimal. Penurunan produksi
disebabkan pula oleh faktor cuaca yang kerap berasap (pembakaran hutan) yang
berdampak pada kurangnya sinar matahari dan berkabut (terletak di dataran
tinggi).

Hasil AHP dan SWOT

Hasil perhitungan dari kuesioner AHP dan SWOT yang dilakukan di daerah
survei klaster bawang merah menunjukkan bahwa, dari sisi produksi, teknologi dan
skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi di klaster
bawang merah Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi obat
tanaman yang secara berkala diberikan ke area pertanian. Kemampuan budi daya
tanaman juga merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan produksi.

Produksi Replikasi

Teknologi 0.339 Organisasi Klaster 0.327


Skill 0.243 Dukungan Stakeholder 0.305
Luas Lahan 0.141 Modal Sosial 0.149
Masa Tanam 0.14 Entrepreneurship 0,110
Bibit 0.137 Akses Pembiayaan 0.108

Inconsistency : 0,07 Inconsistency : 0,03

41
Sustainability Permintaan Antara

Akses dan Perluasan


Pasar 0.339 Pedagang Besar/Pasar
Induk 0.487
Modal Sosial dan
Networking 0.219
Akses Keuangan 0.183 Pengepul/Pedagang 0.318
Penanganan Pasca
Panen 0.16
Tengkulak/Juragan/Ta
oke 0.196
Keberlangsungan Input 0.099

Inconsistency : 0,06 Inconsistency : 0,003

Permintaan Akhir Konektivitas

Kualitas & Ketersediaan


Akses Pasar 0.329 Infr. 0.324
Rumah Tangga dan
Industri 0.293 Akses Informasi 0.275

Keberadaan Industri 0.215 Jalur Distribusi 0.241


Relasi Pedagang dan
Struktur Pasar 0.162 Petani 0.16

Inconsistency : 0,08 Inconsistency : 0,05

Grafik 13. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun

Dari segi pemasaran, untuk permintaan akhir, akses pasar menjadi penting
karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis (STA) yang menjadi
tempat berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah. Dari STA ini
pedagang-pedagang kecil akan mengambil komoditas untuk dijual di pasar-pasar
konsumsi. Peran pedagang pengepul yang mengumpulkan hasil tanaman dari petani
untuk dibawa ke STA merupakan hal yang sangat penting dalam kelancaran
distribusi.

Untuk sarana dan prasarana infrastruktur yang menjadi indikator penting


dalam konektivitas, kondisi jalan dari dan menuju klaster di kecamatan Haranggaol
Horisan memang belum cukup baik. Kondisi jalan yang sempit, terjal, dan berbukit
menyebabkan lokasi ini sulit untuk diakses.

Masalah keterjangkauan pasar merupakan isu yang penting bagi klaster


bawang merah Kabupaten Simalungun. Hal itu disebabkan lokasi pasar yang dapat
dijangkau cukup jauh dengan akses jalan yang kurang baik. Pangsa pasar juga
merupakan isu penting dalam sustainability karena adanya kebutuhan pangsa

42
pasar yang cukup besar di Sumatera Utara (dilihat dari konsumsinya). Hal tersebut
menjadi motivasi yang besar bagi petani untuk terus berproduksi.

Untuk indikator replikasi, organisasi klaster merupakan hal yang paling


utama yang mempengaruhi proses replikasi klaster. Organisasi klaster yang baik
dan didukung dengan modal sosial yang kuat di klaster bawang merah tersebut
mampu menarik perhatian petani lain untuk bergabung dalam kelompok-kelompok
tani baru. Selain itu, kemampuan klaster mengelola dana secara baik dari modal
yang ada mampu menjaga keberlangsungan budi daya untuk periode tanam
selanjutnya.

Dari analisis SWOT ditemukan bahwa yang menjadi kekuatan dari internal
klaster bawang merah Kabupaten Simalungun adalah modal sosial yang kuat, input,
dan kemampuan bertani dari anggota klaster. Semangat dan motivasi yang kuat dari
anggota klaster yang didukung dengan faktor historis dari Kecamatan Haranggaol
Horisan menjadi modal awal yang baik bagi berkembangnya klaster. Ketersediaan
input sangat baik dan berasal dari luar klaster, yaitu dari daerah Aipopo. Saat ini
klaster sedang mengembangkan benih bawang merah.

Kelemahan yang ada dalam klaster, antara lain, adalah (i) masih kurangnya
budaya kewirausahaan serta belum memiliki sistem informasi yang memadai; dan
(ii) belum adanya gudang yang layak untuk menyimpan dan mengeringkan bawang
merah sehingga bawang lebih cepat bertunas dan tidak dapat dijual untuk
konsumsi.

Tabel 10. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun


STRENGTH WEAKNESS
 Ketersediaan input  Budaya kewirausahaan
 Modal sosial  Sistem informasi
 Kompetensi dan keahlian  Sarana penyimpanan hasil produksi
OPPORTUNITY THREAT
 Faktor geografis  Akses pasar
 Faktor ekonomi  Akses informasi
 Faktor kompetitif  Peran stakeholder

Faktor geografis—terutama kondisi tanah yang baik dan ketersediaan sumber


air—menjadi faktor eksternal yang mendukung kemajuan klaster. Sumber air yang
memadai membuat klaster ini dapat melakukan penanaman sepanjang tahun (tidak
terpengaruh musim kemarau). Selain itu, bawang merah yang dihasilkan oleh

43
klaster ini lebih kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman lain di klaster yang
sama atau hasil bawang merah dari klaster lain.

4.2.5 Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat

Program Klaster BI belum bersifat masif dan masih bersifat pilot project.
Kegiatan yang dilakukan BI KPw Cirebon, antara lain, adalah pengembangan
kapasitas dan peningkatan pendapatan dan petani. Pengembangan klaster bawang
merah oleh BI mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Majalengka. Saat
ini, selain pengembangan kawasan pertanian bawang merah, pemerintah
Kabupaten Majalengka ingin masuk ke pasar terstruktur, mengembangkan produk
turunan bawang merah, serta mengatur pola tanam yang lebih baik.

Petani di Kabupaten Majalengka sudah terbiasa menyisihkan hasil panen


bawang untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Biasanya jumlah yang disimpan
berkisar 30% dari hasil panen sehingga ketika terjadi kenaikan harga, para petani
tidak mengalami kendala dalam pengadaan bibit. Beberapa petani bawang di
Kabupaten Majalengka mengkhususkan dirinya sebagai petani penangkar atau
penyedia bibit yang seluruh hasil produksinya akan disimpan untuk dijadikan bibit
dan dijual 3–4 bulan berikutnya.

Tabel 11. Profil Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka


Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
Penanggung Jawab
Bank Indonesia
Klaster
Tahun Berdiri 2014
2014 (secara produksi sudah dilaksanakan sejak 10
Tahun Mulai Klaster
tahun silam, klaster BI baru masuk tahun 2014)
Lokasi dan Alamat Kabupaten Majalengka (Kadipaten, Ligung, Dawuan,
Klaster Cibunut, Cijurey)
Ketua Asosiasi Mudassir
Stakeholder yang Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka,
Terlibat Dinas Perdagangan dan UMKM Kabupaten Majalengka
Sudah berproduksi sendiri. Terdapat pengusaha yang
menjadi distributor bawang merah dari Probolinggo.
Asal Pemasok
Bawang tersebut dilakukan pembersihan dan
penimbangan, lalu dikirim ke Sumatera Utara
Periode Tanam Sepanjang tahun

44
Tabel 11. (lanjutan)

Keterangan Klaster
Luas Lahan Total: 30 hektare (dari 3 orang yang mengelola)
Dataran rendah: 12–15 ton/ha
Produktivitas
Dataran tinggi: 8–10 ton/ha
Pemasaran (Lokal,
Antar Kabupaten- Lokal, antar kabupaten dan provinsi
Provinsi, dll)
Sumber Modal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Program masih berjalan hingga saat ini, akan diadakan
Program program Brigade
Kegiatan Pelatihan budi daya, pelatihan pengembangan produk
Pendampingan turunan

Produksi klaster BI di Kabupaten Majalengka tahun 2014 mencapai 795 ton.


Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 3% terhadap surplus bawang merah di
Jawa Barat sebesar 26.516 ton. Selain itu, Kabupaten Majalengka telah
meningkatkan surplus bawang merah sebesar 6.527 ton pada tahun 2014 sehingga
Kabupaten Majalengka telah menambah surplus produksi bawang merah sebesar
3%.

Lahan yang dikelola klaster bawang merah sebesar 30 hektare dan berasal
dari lahan 3 kelompok. Kegiatan klaster BI mampu meningkatkan produktivitas
atau sumber daya manusia sehingga menginspirasi Pemda Kabupaten Majalengka
melakukan kegiatan pengembangan klaster bawang merah. Untuk menunjang
kegiatan klaster bawang merah, petani klaster telah membentuk koperasi yang
dimanfaatkan untuk melakukan simpan pinjam dan memberikan fasilitas bibit jika
petani kesulitan mencari bibit. Namun, untuk kepentingan keamanan, saat ini
koperasi masih meminta jaminan untuk pinjaman.

Hasil AHP dan SWOT

Berdasarkan hasil analisis hierarki proses, tingkat kebutuhan klaster bawang


merah Kabupaten Majalengka terhadap proses replikasi, modal sosial, organisasi
klaster, dan dukungan stakeholder memiliki tingkatan yang hampir sama.
Pengelolaaan klaster bawang merah Kabupaten Majalengka sudah baik dengan
antusiasme petani yang cukup tinggi, tetapi masih perlu ditingkatkan agar klaster
memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi bagi anggotanya.

45
Untuk keberlangsungan usaha, perlu dikembangkan akses dan perluasan
pasar. Penanganan pascapanen lebih dibutuhkan oleh klaster bawang merah
Kabupaten Majalengka di dataran tinggi karena hanya kendaraan tertentu saja yang
dapat menjangkau klaster.

Dari sisi permintaan antara, pedagang besar sangat dibutuhkan. Majalengka


merupakan sentra bawang setelah Brebes yang berkaitan langsung dengan akses
pasar dalam segi permintaan akhir. Dua hal itu saling berkesinambungan. Akses
pasar harus lebih dimatangkan karena jika akses pasar (misalnya Pasar Kramat
Jati) telah diblok oleh pasokan dari Brebes, bawang merah Kabupaten Majalengka
akan sulit dipasarkan.

Akses informasi di Kabupaten Majalengka menjadi sangat penting, terlebih


sinyal di dataran tinggi tidak terlalu bagus sehingga menyebabkan koneksi telepon
seluler di daerah tersebut menjadi sulit. Selain harga, diperlukan informasi masa
tanam di daerah lain, khususnya di Brebes. Hal itu berguna untuk keseimbangan,
terutama pada saat tidak musim panen di Brebes karena Kabupaten Majalengka
dapat melakukan penanaman sepanjang tahun di dataran rendah atau di dataran
tinggi.

Produksi Replikasi

Skill 0.447 Modal Sosial 0.246


Teknologi 0.251 Organisasi Klaster 0.242
Bibit 0.102 Dukungan Stakeholder 0.221
Masa Tanam 0.101 Entrepreneurship 0.147
Luas Lahan 0.1 Akses Pembiayaan 0.147

Inconsistency : 0,15 Inconsistency : 0,06

Sustainability Permintaan Antara

Akses dan Perluasan… 0.412 Pedagang Besar/Pasar


Induk 0.625
Penanganan Pasca… 0.235
Modal Sosial dan… 0.139 Pengepul/Pedagang 0.231
Akses Keuangan 0.126 Tengkulak/Juragan/Ta
oke 0.144
Keberlangsungan Input 0.088

Inconsistency : 0,03 Inconsistency : 0,04

46
Permintaan Akhir Konektivitas

Akses Pasar 0.501 Akses Informasi 0.311


Relasi Pedagang dan
Struktur Pasar 0.341 Petani 0.298
Rumah Tangga dan
Industri 0.094 Jalur Distribusi 0.205
Kualitas & Ketersediaan
Keberadaan Industri 0.064 Infr. 0.186

Inconsistency : 0,09 Inconsistency : 0,05

Grafik 14. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka

Berdasarkan hasil SWOT, faktor produksi, ketersediaan input, dan faktor lain
merupakan kekuatan klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar,
manajemen klaster, dan sisi keuangan masih terbilang lemah sehingga kriteria itu
harus ditingkatkan kembali. Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses
informasi, pembelian, faktor kompetitif, dan sosial budaya. Keunggulan Kabupaten
Majalengka adalah memiliki faktor geografis yang terdiri atas dua dataran sehingga
penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan faktor ekonomi
dan kedekatan dengan pemasok.

Tabel 12. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka


STRENGTH WEAKNESS
 Produksi  Manajemen klaster
 Ketersediaan input  Akses pasar
 Penelitian dan pengembangan  Keuangan/akuntansi
OPPORTUNITY THREAT
 Faktor demografis  Akses informasi
 Faktor ekonomi  Pembelian
 Faktor geografis  Faktor kompetitif

4.2.6 Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah

Produksi bawang merah dari klaster di Kota Palangkaraya masih rendah


karena klaster relatif baru dan lahan yang digunakan masih terbatas (berbentuk
demplot). Produksi bawang merah yang ada saat ini masih terbatas untuk benih.
Hasil panen dari klaster bawang merah akan dijual kembali kepada dinas untuk
selanjutnya dikirim ke petani yang akan menanam bawang merah. Total produksi
bawang merah mencapai 30 ton per hektare per musim tanam dan produksinya

47
belum masuk ke pasar-pasar di Kota Palangkaraya dan Kalimantan Tengah. Selama
ini, Kalimantan Tengah mengalami defisit produksi bawang merah yang cukup
besar. Kebutuhan konsumsi akan bawang merah di Kalimantan Tengah dikirim dari
Bima (NTB), Brebes (Jawa Barat), dan Probolinggo (Jawa Timur).

Tabel 13. Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya


Keterangan Klaster
Nama Klaster Klaster Bawang Merah Palangkaraya
Penanggung Jawab Klaster Bank Indonesia
Tahun Berdiri 2013
Tahun Mulai Klaster 2013
Lokasi dan Alamat Klaster Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Jumlah Anggota/Petani 25
Nama GAPOKTAN/Asosiasi -
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Kalimantan Tengah, Balai Pengkajian Teknologi
Stakeholder yang Terlibat
Pertanian Kalimantan Tengah, Dinas Pertanian
Kota Palangkaraya
Asal Pemasok Benih: Brebes, Bima
Periode Tanam Sepanjang tahun
Luas Lahan 4–5 hektare
Jumlah Produksi 30 ton/musim tanam
Pemasaran (Lokal, Antar
Lokal
Kabupaten-Provinsi, dll)
Sumber Modal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Bantuan fisik diminimalkan, pembinaan teknis
Program dan nonmaterial masih berlangsung
Pelatihan budi daya, pelatihan pengolahan
Kegiatan Pendampingan pascapanen, pemurnian benih, pelatihan analisis
usaha tani

Jumlah produksi bawang merah dari klaster BI di Kota Palangkaraya kurang


lebih sebesar 30 ton. Hal itu berarti telah berkontribusi sebesar 0,42% untuk
menutup defisit produksi bawang merah di Kalimantan Tengah yang besarnya
mencapai 7.187 ton per tahun. Jumlah produksi bawang merah di Palangkaraya
meningkat signifikan pada tahun 2014 (123%) dari total produksi sebesar 11,06 ton
tahun sebelumnya. Walaupun telah meningkat signifikan, Kalimantan Tengah tetap
belum dapat mengimbangi kenaikan konsumsi bawang merah yang meningkat

48
11,1% pada tahun 2014. Dengan demikian, keberadaan klaster yang ada saat ini
belum mampu untuk menutup defisit produksi bawang merah.

Terdapat beberapa permasalahan/tantangan dalam upaya pengembangan


bawang merah di Kalimantan Tengah, antara lain, adalah sebagai berikut.

1. Masih terbatasnya jumlah petani yang mengembangkan bawang merah di


Kalimantan Tengah.
2. Masih terbatasnya jumlah petani di Kalimantan Tengah yang memahami teknis
budi daya bawang merah secara baik.
3. Lahan di Kalimantan Tengah merupakan lahan marginal, berpasir, dan gambut
sehingga diperlukan biaya input yang tinggi.
4. Terbatasnya aspek legalitas kepemilikan lahan oleh petani.
5. Kurangnya ketersediaan benih yang bermutu menjelang musim tanam.
6. Terbatasnya jumlah penyuluh, pengawas benih tanaman (PBT), dan petugas
pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT) yang memahami teknis budi
daya bawang merah.
7. Belum optimalnya fungsi kelembagaan di tingkat petani.
8. Belum adanya lembaga independen atau sukarelawan yang mau mendampingi
program pengembangan bawang merah.

AHP dan SWOT

Hasil analisis hierarki proses (Grafik 15) sejalan dengan hasil wawancara
mendalam kepada masing-masing pihak. Pada proses produksi, klaster di Kota
Palangkaraya sangat membutuhkan keahlian dan kemampuan dalam budi daya
bawang merah, mulai dari penanaman hingga panen. Waktu dua tahun sejak
diperkenalkannya bawang merah kepada petani dirasakan masih belum cukup
untuk menguasai budi daya bawang merah sehingga belum mampu menangani
permasalahan secara cepat jika terjadi serangan hama dan penyakit. Teknologi
pengolahan lahan seperti penggemburan tanah masih menggunakan cangkul
sehingga hasilnya tidak optimal. Di samping itu, tidak adanya saluran irigasi
memaksa petani menggunakan sumur bor dan pompa sehingga membutuhkan
biaya lebih mahal.

Pada permintaan antara, petani lebih memilih untuk dapat langsung menjual
hasil panennya ke pedagang/pengepul daripada ke pedagang besar atau tengkulak.
Hal itu disebabkan petani belum memiliki akses ke pedagang besar. Sementara itu,

49
jika dijual kepada tengkulak, harga bawang merah akan dipermainkan atau
ditentukan sepenuhnya oleh tengkulak.

Akses ke pasar sangat penting bagi petani dalam rangka pemenuhan


permintaan akhir karena bawang merah yang dihasilkan belum menembus pasar
yang ada di Kota Palangkaraya, tetapi disalurkan kembali kepada dinas sesuai
dengan jumlah pemberian dinas. Dari segi konektivitas, terlihat bahwa akses
informasi seperti informasi harga, informasi pola tanam, dan informasi lainnya
paling dibutuhkan oleh klaster di Kota Palangkaraya.

Produksi Replikasi

Skill 0.371 Dukungan Stakeholder 0.291


Teknologi 0.354 Modal Sosial 0,250
Bibit 0.124 Entrepreneurship 0.169
Masa Tanam 0.111 Akses Pembiayaan 0.152
Luas Lahan 0.039 Organisasi Klaster 0.138

Inconsistency : 0,12 Inconsistency : 0,34

Sustainability Permintaan Antara

Penanganan Pasca
Panen 0.435 Pengepul/Pedagang 0.506
Modal Sosial dan
Networking 0.192
Akses dan Perluasan Pedagang Besar/Pasar
Pasar 0.178 Induk 0.384

Akses Keuangan 0.101


Tengkulak/Juragan/Ta
oke 0,110
Keberlangsungan Input 0.095

Inconsistency : 0,05 Inconsistency : 0,004

Permintaan Akhir Konektivitas

Akses Pasar 0,350 Akses Informasi 0.365


Rumah Tangga dan Relasi Pedagang dan
Industri 0,280 Petani 0.278
Kualitas & Ketersediaan
Struktur Pasar 0,230 Infr. 0.214

Keberadaan Industri 0,140 Jalur Distribusi 0.142

Inconsistency : 0,10 Inconsistency : 0,09


Grafik 15. Hasil AHP Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya

50
Berdasarkan hasil analisis SWOT pada Tabel 14, terlihat masih banyak
kelemahan yang harus diperbaiki dalam kegiatan pengembangan klaster bawang
merah di Kota Palangkaraya, seperti manajemen klaster, modal sosial, dan
produksi/budi daya. Hal itu disebabkan usaha budi daya bawang merah merupakan
sesuatu yang baru dalam dunia pertanian Kalimantan Tengah sehingga harus
didukung dari segala arah untuk menunjang proses kegiatan produksi bawang
merah.

Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi adalah akses pasar karena
bawang merah produksi Kalimantan Tengah belum banyak dikenal. Tantangan
lainnya ialah kurangnya akses informasi dan adanya faktor sosio-demo-geografis
yang belum mendukung. Peran stakeholder yang baik dari berbagai pihak di
Kalimantan Tengah diharapkan akan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang
ada.

Tabel 14. Hasil SWOT Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya


STRENGTH WEAKNESS
 Ketersediaan input  Manajemen klaster
 Penelitian dan pengembangan  Modal sosial
 Kompetensi dan keahlian  Produksi/budidaya
OPPORTUNITY THREAT
 Peran stakeholder  Akses pasar
 Faktor ekonomi  Akses informasi
 Faktor kompetitif  Faktor demografi

4.3 Tata Niaga Cabai dan Bawang Merah

CABAI

Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar

Umumnya petani di Kabupaten Tanah Datar menjual kepada pengepul


karena sudah terjalin hubungan yang lama. Hasil panen langsung diambil oleh
pengepul di lokasi lahan mereka. Untuk petani klaster BI, pengepul akan menerima
seluruh hasil panennya meskipun stok di pengepul sudah banyak. Pengepul akan
menjual cabai dengan margin keuntungan Rp4.000,00–Rp5.000,00/kg. Pengepul
tidak melakukan penyimpanan/stok cabai dari petani, semua cabai yang tiba
langsung dibagi sesuai dengan pesanan dari Riau dan sisanya dijual di pasar lokal.

51
Lokasi pengepul adalah di Pasar Padang Luar dengan jumlah pengepul yang
sejenis sebanyak delapan orang. Jumlah barang yang dikirim berkisar 2–5 ton per
hari. Setiap hari sebanyak 40–50 orang petani menjual cabai kepada pengepul,
tetapi saat sepi hanya sekitar 25 orang petani per hari. Untuk komoditas cabai,
setiap 50 kg cabai yang diterima akan mengalami susut 1–2 kg yang disebabkan
faktor fisik (cabai patah/jelek). Harga cabai yang diterima dari petani umumnya
bagus hingga panen ke-8, setelah itu pengepul akan memberikan harga lebih rendah
karena kualitas setelah panen ke-8 lebih rendah.

Klaster Cabai Kabupaten Jember

Pemasaran cabai di Kabupaten Jember tidak mengalami kendala karena


produksi klaster akan diserap oleh PT Heinz ABC berdasarkan kontrak yang telah
disepakati. Setiap tahun Koperasi Mitra Lestari sebagai pengelola klaster memasok
cabai sebanyak 1.500 ton.

Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa

Perdagangan cabai rawit di pasar kota Manado yang merupakan sentra


konsumsi cabai rawit di Sulawesi Utara dikuasai oleh satu pedagang besar. Bahkan,
pengepul yang berhubungan langsung dengan petani juga dianggap merupakan kaki
tangan dari pedagang besar tersebut. Pedagang besar ini menguasai pasokan
antarwilayah yang masuk ke Manado, terutama dari Gorontalo. Dengan menguasai
pasar dari petani sampai konsumen akhir serta menguasai perdagangan
antardaerah, pedagang besar tersebut memiliki kekuatan monopoli dalam
perdagangan cabai di Manado yang berimplikasi pada kemampuan mengatur harga
dengan mengatur pasokan.

Karena cabai bersifat perishable, kekuatan pedagang besar bergantung pada


tingkat kompetisi pelaku pasar. Untuk itu, pemerintah dan BI perlu mendorong
perbaikan tata niaga cabai rawit di tingkat petani, misalnya dengan mendirikan toko
tani dan koperasi.

Jalur Pemasaran/Penjualan Cabai:

1. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Tanah Datar


Petani  Pengepul  Riau/Pengecer

52
2. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Kabupaten Jember
Petani Mitra  Koperasi  Industri (PT Heinz ABC)
3. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Petani  Pengumpul/Pedagang Besar  Pengecer  Konsumen

BAWANG MERAH

Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun

Kabupaten Simalungun dikenal luas dengan hasil pertanian, khususnya


produk hortikultura karena lokasinya yang berada di dataran tinggi. Salah satu
komoditas unggulan yang dihasilkan adalah bawang merah yang di antaranya
dihasilkan oleh para petani binaan KPw Bank Indonesia Pematangsiantar di
Kecamatan Haranggaol Horisan.

Bawang merah yang dihasilkan setiap panen akan dikumpulkan oleh


pengepul lokal untuk dibawa ke STA (sub-terminal agribisnis) Saribu Dolok yang
khusus buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Rabu. Pada hari pasar tersebut
banyak pedagang dan pengepul yang datang dari berbagai daerah yang menjual atau
membeli hasil pertanian, termasuk di antaranya bawang merah dari Kecamatan
Haranggaol Horisan. Sementara itu, di Pematangsiantar, STA serupa bernama STA
Parluasan, buka pada hari pasar (pekan), yaitu hari Senin dan Kamis. Pengepul
mendatangkan komoditas bawang merah dari daerah-daerah di Sumatera Utara
serta dari Jawa. Pedagang pengecer tidak hanya dari Pematangsiantar saja, tetapi
juga berasal dari Medan dan berbagai daerah di Sumatera Utara lainnya. Peran
penting pengepul yang mengumpulkan komoditas dari petani dan menjualnya di
STA akan lebih baik dan terorganisasi jika diwadahi dalam koperasi sehingga
mampu menaikkan nilai tukar petani di STA.

Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka

Klaster bawang merah Kabupaten Majalengka menjual hasil panennya


kepada pengepul yang juga merupakan bagian dari klaster untuk selanjutnya
dibawa kepada pedagang besar di kabupaten yang sama. Pedagang besar akan
mendistribusikan cabai sesuai dengan wilayah yang menjadi pasarnya, seperti pasar
induk, pasar modern, atau eksportir sebagai berikut.

53
1. PD Medal Rahayu
a. Pasar Induk Caringin dengan permintaan 10 ton/hari
b. Supermarket dengan permintaan 7 ton/minggu
2. MJ Sukasari Kaler

PT Alamanda Sejati (dijual ke Singapura) dengan permintaan 2 ton/minggu

Klaster Bawang Merah Palangkaraya

Bawang merah yang ada di Kota Palangkaraya berasal dari Bima, NTB, dan
Brebes. Bawang tersebut masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Selatan (Trisakti),
lalu dikirim ke Palangkaraya melalui jalur darat dan langsung masuk ke pasar besar
di Palangkaraya. Pasar besar di Palangkaraya memiliki tiga orang pengepul besar
yang mendistribusikan bawang merah ke pedagang kecil untuk dijajakan kepada
konsumen. Pengepul memiliki koneksi dengan pengirim bawang merah, sebagian
merupakan keluarganya sendiri.

Beberapa pedagang yang tidak memiliki hubungan dengan pengepul akan


mendatangkan sendiri bawang merah dengan menggunakan truk dan menjualnya
langsung di tempat dengan harga yang lebih murah. Bawang merah yang dijual
merupakan hasil campuran bawang dari berbagai varietas serta belum disortir. Di
pasar Kota Palangkaraya belum ada bawang merah yang merupakan produksi lokal
Kota Palangkaraya sendiri karena petani klaster masih menjual bawang merah ke
dinas pertanian sebagai bibit.

Jalur Pemasaran/Penjualan Bawang Merah:

1. Jalur Pemasaran di Kabupaten Simalungun


Petani  STA Simalungun  Pengecer  Konsumen
2. Jalur Pemasaran di Kabupaten Majalengka, alternatifnya adalah sebagai berikut.
a. Petani  Konsumen
b. Petani  Pengumpul Besar  Pengecer  Konsumen
c. Petani  Pengumpul Kecil  Pengumpul Besar  Pengecer  Konsumen
d. Petani  Pengepul  Pedagang Besar Kabupaten Pedagang Besar
provinsi/Antarpropinsi  Pasar Induk Konsumen
e. Petani  Pengepul  Supermarket di Bandung
3. Jalur Pemasaran di Palangkaraya

54
a. Petani Palangkaraya  Dinas Pertanian
b. Petani Bima, Brebes  Pengumpul Kecil  Pengumpul Besar  Pengepul
Palangkaraya  Pengecer  Konsumen

4.4 Estimasi Pasokan Klaster untuk Pengendalian Harga

Dekomposisi Pola Produksi

Data estimasi produksi komoditas cabai rawit, cabai besar, cabai total, dan
bawang merah berdasarkan metode dekomposisi dapat dilihat pada Grafik 16,
Grafik 17, dan Grafik 18. Kebutuhan klaster untuk menambah produksi ketika
produksi mengalami musim yang menurun atau di bawah trend.

Cabai Rawit
160,000
150,000
140,000
Ton

130,000
120,000
110,000
100,000
Nov-16
Jan-16

Feb-16

Dec-16
Mar-16

Jun-16

Jul-16

Aug-16

Oct-16
Apr-16

May-16

Sep-16

Grafik 16. Peran Klaster Cabai Rawit untuk Mempengaruhi Pasokan

Pada tahun 2016 klaster harus menambah produksi cabai rawit sebanyak
70.816 ton yang tersebar pada bulan Januari–April dan September–Desember.
Kebutuhan terbesar adalah pada bulan Desember, Januari, dan Februari yang
masing-masing membutuhkan sekitar 15.000 ton (estimasi produksi di bawah garis
trend).

Tabel 15. Kebutuhan Pasokan Cabai Rawit Tahun 2016

55
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Jan 14.789
Feb 14.907
Mar 9.958
Apr 2.473
Sep 1.788
Okt 5.844
Nov 6.005
Des 15.052
Total 70.816

Cabai Besar
210,000
200,000
190,000
Ton

180,000
170,000
160,000
150,000

Grafik 17. Peran Klaster Cabai Besar untuk Mempengaruhi Pasokan

Grafik 17 menunjukkan bahwa klaster harus menambah produksi cabai


besar sebanyak 96.816 ton pada tahun 2016 yang tersebar pada bulan Januari,
Agustus, dan Oktober–Desember. Kebutuhan terbesar cabai adalah pada bulan
November–Desember yang mencapai 25.000 ton lebih.

Tabel 16. Kebutuhan Pasokan Cabai Besar Tahun 2016


Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Jan 8.676
Agus 9.540
Sep 7.759
Okt 17.981
Nov 25.543
Des 26.726
Total 96.225

Tabel 16 menampilkan estimasi kebutuhan cabai secara agregat yang


merupakan penjumlahan antara estimasi kebutuhan cabai rawit dan cabai besar

56
tahun 2016. Secara total dibutuhkan pasokan cabai sebesar 167.041 ton, yaitu
70.816 ton untuk cabai rawit dan 96.225 ton untuk cabai besar. Estimasi
kebutuhan terbesar berada pada bulan Januari (23.465 ton), November (31.548 ton),
dan Desember (41.778 ton).

Tabel 17. Kebutuhan Pasokan Cabai Tahun 2016


Bulan Cabai Rawit Cabai Besar Cabai Total
Jan 8.676 14.789 23.465
Feb - 14.907 14.907
Mar - 9.958 9.958
Apr - 2.473 2.473
Agus 9.540 - 9.540
Sep 7.759 1.788 9.547
Okt 17.981 5.844 23.825
Nov 25.543 6.005 31.548
Des 26.726 15.052 41.778
Total 96.225 70.816 167.041

Bawang Merah
310,000
290,000
270,000
250,000
Ton

230,000
210,000
190,000
170,000
150,000
Jan-16
Feb-16
Mar-16

Jun-16

Dec-16
Jul-16
Aug-16

Oct-16
Nov-16
May-16
Apr-16

Sep-16

Grafik 18. Peran klaster Bawang Merah untuk mempengaruhi pasokan

Untuk komoditas bawang merah pada tahun 2016 klaster harus menambah
produksi bawang merah sebanyak 350.623 ton yang tersebar pada bulan Februari–
Mei dan September–Desember. Kebutuhan terbesar bawang merah adalah pada
bulan Februari–Maret dan November–Desember.

57
Tabel 18. Kebutuhan Pasokan Bawang Merah Tahun 2016
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Feb 40.047
Mar 51.240
Apr 24.597
Mei 22.603
Sep 4.029
Okt 110
Nov 61.622
Des 36.704
Total 350.842

4.5 Efektivitas Wilayah Klaster

Hasil survei menunjukkan bahwa klaster telah memberikan kontribusi


terhadap pasokan cabai dan bawang merah di tingkat Provinsi dan Kabupaten.
Namun, karena produksi klaster masih minim, efektivitas klaster untuk mendukung
pasokan komoditi cabai dan bawang merah dinilai masih rendah. Hal itu
ditunjukkan pada Tabel 18, yaitu bahwa nilai efektivitas klaster masih berada di
bawah 3%.

Tabel 19. Efektivitas Klaster


Peningkatan
Produksi Konsumsi Surplus/ Produksi Surplus Efektivitas
Wilayah Provinsi Provinsi Defisit Klaster Kabupaten/ Klaster
Komoditas Kota Klaster
Survei

A B C = A-B D E (D/C) x 100

Klaster Cabai Cabai


66.797 45.180 21.617 20 436 0,09
Tanah Datar Keriting
Klaster Cabai Cabai
238.820 131.634 107.186 1.795 34.022 1,67
Jember Merah
Klaster Cabai Cabai
8.486 10.974 (2.488) 15 319 0,60
Minahasa Rawit
Klaster
Bawang
Bawang
Merah 130.082 103.566 26.516 795 6.527 3,00
Merah
Kabupaten
Majalengka
Klaster
Bawang Bawang
125 7.312 (7.187) 30 -39 0,42
Merah Kota Merah
Palangkaraya

Secara umum klaster binaan Bank Indonesia mampu mendorong


peningkatan kapasitas dan produksi dari klaster masing-masing. Besarnya

58
peningkatan produksi dapat mencapai 1,5 kali lipat dari produksi
normal. Berdasarkan tabel di atas, empat klaster memiliki nilai efektivitas positif
yang berarti memberikan kontribusi terhadap surplus dan mengurangi defisit, yaitu
(i) Klaster Cabai Tanah Datar, (ii) Klaster Cabai Jember, (iii) Klaster Cabai Minahasa,
dan (iv) Klaster Bawang Merah Majalengka. Sementara itu, dua klaster lainnya
masih bernilai negatif, yaitu klaster Bawang Merah Simalungun dan Klaster Bawang
Merah Palangkaraya. Penyebab nilai negatif tiap-tiap klaster tersebut adalah
berkurangnya produksi bawang merah di Kabupaten Simalungun dan peningkatan
konsumsi yang tinggi di Kota Palangkaraya.

59
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Komoditas cabai terdiri atas berbagai varietas yang masing-masing memiliki


karakteristik pola produksi dan konsumsi sendiri. Setiap tahun surplus cabai besar
mencapai 40%–50% dan cabai rawit 60%–80% di tingkat nasional. Namun, kondisi
surplus tidak lantas berdampak pada penurunan harga karena pembentukan harga
cabai rata-rata nasional relatif didorong oleh fundamental current production dan
consumption yang bersifat mingguan bahkan harian.

Permintaan cabai memiliki karakteristik musiman yang kuat, dalam arti pada
bulan-bulan tertentu seperti hari raya, konsumsi dapat meningkat 10%–20% jika
dibandingkan dengan konsumsi normal. Pola produksi nasional juga memiliki
karakteristik musiman yang kuat dan siklus yang panjang (hampir satu tahun),
tetapi produksi menurun pada musim hujan, yaitu sekitar bulan November–
Februari. Perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi semakin
mendorong ketidakstabilan harga. Gejolak harga juga dipengaruhi oleh distribusi
sentra produksi yang berbeda dengan distribusi pusat konsumsi, yaitu kota-kota
besar. Di sisi lain, sifat perishable cabai merah serta preferensi konsumsi terhadap
cabai segar menyebabkan sulit memanfaatkan kondisi surplus pada tingkat
nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi.

Produksi bawang merah nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat


(menurun pada Februari–Maret dan November–Desember; meningkat pada Januari
dan Mei/Juli), tetapi memiliki periode siklus yang lebih pendek (5 dan 7 bulan).
Sementara itu, dari sisi permintaan, bawang merah relatif tidak memiliki lonjakan
musiman yang tinggi jika dibandingkan dengan cabai merah. Secara nasional
bawang merah memiliki surplus rata-rata mencapai di atas 40% setiap tahun.

Peran current supply-demand kurang fundamental dalam pembentukan


harga bawang merah nasional karena bawang merah relatif lebih tahan lama (4–6
bulan) dan dapat disimpan sehingga pembentukan harga bawang dengan demikian
relatif tidak ditentukan oleh current production, tetapi dipengaruhi oleh tata niaga
dan struktur pasar. Produksi bawang nasional bergantung pada sentra bawang
nasional, yaitu Jawa dan NTB. Hal itu menjadikan sangat pentingnya peningkatan
dan keberlanjutan produksi bawang pada sentra produksi tersebut.

60
Dari hasil AHP dapat disimpulkan beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan klaster dalam mempengaruhi pasokan, yaitu (1) produksi yang
ditunjang oleh skill yang baik dan penguasaan teknologi dalam pengolahan atau
budi daya; (2) replikasi yang dilakukan melalui organisasi klaster yang baik
(misalnya koperasi) serta modal sosial yang kuat di dalam klaster atau kelompok
(nilai-nilai gotong royong, rasa kebersamaan, dan kepemilikan bersama); (3)
sustainability dengan memfasilitasi akses dan perluasan pasar untuk menyerap
hasil produksi, modal sosial, serta networking yang dimiliki klaster; (4) permintaan
antara dengan menjalin kerja sama dengan pengepul lokal; (5) permintaan akhir
dapat dilakukan melalui kerja sama dengan industri berdasarkan kontrak untuk
menjamin harga dan kepastian pasar; dan (6) konektivitas melalui penyediaan
informasi terkait harga, akses permodalan, serta kualitas dan ketersediaan
infrastruktur (jalan, listrik, dan saluran irigasi).

Tabel 20. Rangkuman AHP


Permintaan Permintaan
Produksi Replikasi Sustainability Konektivitas
Antara Akhir
 Skill  Organisasi  Akses dan  Pedagang  Akses Pasar  Akses
 Teknologi Klaster Perluasan Besar/  Keberadaan Informasi
 Modal Pasar Pasar Industri  Kualitas dan
Sosial  Modal Sosial Induk Ketersediaan
dan  Pengepul/ Infrastruktur
Networking Pedagang

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa secara umum kekuatan klaster


bersumber dari modal sosial yang kuat, manajemen klaster yang terbuka terhadap
informasi dan hal yang baru, serta ketersediaan input yang mencukupi. Sementara
itu, kelemahan klaster terletak pada aspek kelembagaan yang belum terbentuk
sehingga mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya, klaster berjalan
berdasarkan kebiasaan yang sudah ada tanpa adanya manajemen yang memadai.
Hal itu erat kaitannya dengan klaster yang belum mempunyai jiwa wirausaha dan
memiliki visi sama dengan pengelola klaster.

Kondisi geografis yang mendukung menjadi peluang sehingga budi daya


komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun. Di sisi lain, sulitnya akses pasar
menjadi ancaman keberlangsungan klaster karena hasil panen lazimnya dijual
kepada pengepul sehingga harga ditentukan oleh pengepul.

61
5.2 Rekomendasi

Peningkatan Pasokan dan Stabilitas Harga Cabai dan Bawang Merah

Untuk meningkatkan pasokan cabai merah, perlu dilakukan intensifikasi dan


ekstensifikasi melalui program pengembangan pertanian kawasan. Untuk itu,
updating terhadap data kelompok tani dan gabungan kelompok tani perlu dilakukan
yang dikelompokkan berdasarkan kawasan. Selain itu, untuk meningkatkan
kualitas, diperlukan pengembangan bibit tahan hama virus, terutama pada musim
hujan serta sarana penyimpanan cabai merah nasional.

Dalam rangka mendorong kestabilan harga, perlu antara lain dilakukan


beberapa hal berikut.

1. Menyelaraskan pola tanam sepanjang tahun untuk menjamin ketersediaan


pasokan, khususnya pada musim kemarau.
2. Memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga.
3. Diversifikasi konsumsi kepada cabai bumbu kering dan cabai olahan.
4. Mendorong terjalinnya kerja sama antar provinsi sentra produksi dengan
provinsi sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan
permintaan untuk kestabilan harga.
5. Menyediakan data kebutuhan komoditas rumah tangga nasional per bulan,
terutama bulan-bulan hari raya yang sangat krusial untuk dilakukan prakiraan
berapa peningkatan permintaan pada saat tersebut.

Sama halnya dengan cabai, untuk meningkatkan pasokan bawang merah


diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi melalui program pengembangan
pertanian kawasan. Pengembangan bibit yang tahan hama dan bebas penyakit juga
penting. Selain itu, untuk mengantisipasi ketidakpastian perubahan iklim di
sentra-sentra produksi bawang merah, dapat dilakukan penyediaan sarana dan
prasarana sumber air pada lahan tadah hujan di bulan September–Oktober atau
pengembangan teknologi rumah kaca untuk lahan tadah hujan pada penanaman
pada bulan Januari untuk kebutuhan Maret. Kontinuitas stok juga dapat dijaga
dengan menciptakan dan menyediakan teknologi penyimpanan bawang hingga
mencapai enam bulan menyimpan panen raya (bulan Juli–Agustus) sehingga dapat
memenuhi kebutuhan pada bulan November–Maret.

62
Adapun rekomendasi untuk mendorong kestabilan harga bawang merah
antara lain adalah:

1. memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga;
2. mendorong terjalinnya kerjasama antar provinsi sentra produksi dengan provinsi
sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan permintaan untuk
kestabilan harga; dan
3. memasok dari daerah lain secara terkendali dan sesuai kebutuhan.

Rekomendasi Penguatan Klaster Secara Umum

Dalam melakukan penguatan peran klaster secara umum, upaya yang dapat
dilakukan antara lain adalah:

1. mengembangan dan meningkatan skill budi daya serta memanfaatkan teknologi


melalui pendampingan dan demplot;
2. meningkatan status dan menguatkan kelembagaan klaster sehingga klaster
memiliki daya tawar yang lebih tinggi;
3. menguatkan modal sosial klaster sehingga klaster memiliki kesamaan nilai, visi,
dan tujuan sehingga dapat dipahami dan diimplementasikan seluruh anggota;
4. memerlukan adanya akses pasar serta jejaring (networking) sehingga klaster
dapat menciptakan atau menghubungkannya dengan pasar baru agar produksi
dapat terserap oleh pasar, bahkan ke depannya diharapkan bermitra dengan
industri;
5. meningkatkan infrasruktur utama seperti akses jalan, irigasi, dan ketersediaan
informasi yang difasilitasi oleh stakeholders terkait antara lain Bank Indonesia,
Dinas Pertanian, Dinas PU, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan; dan
6. memberikan bantuan saprodi pada saat terjadi kondisi iklim ekstrim yang
memerlukan penanganan khusus sehingga dapat menjamin keberlanjutan
usaha petani.

63
DAFTAR REFERENSI

Boja, Catlin. 2011. Clusters Models, Faktors, and Characteristics. International


Journal of Economic Practices and Theories, Vol 1, No.1.
FMC working paper dalam buku Conference Theme Paper – Changing Paradigms of
Cluster Development.
Kuah, Adrian TH. 2002. Cluster Theory and the Small Business. Journal of Research
in Marketing and Entrepreneurship: Volume Four, Issue 3. UK.
Ketels, Christian HM dan Olga Memedovic. 2008. From Clusters to Cluster-Based
Economic Development. International Journal Technological Learning,
Innovation and Development, Vol 1, No.3.
Tambunan, Tulus. 2006. Development of Small and Medium Scale Industry Clusters
in Indonesia. Kadin Indonesia-Jetro.
PRES. 2013. Pemetaan dan Pendalaman Klaster Komoditas Unggulan Daerah dan
Komoditas Penyumbang Inflasi.
Saptana, Nur Khoiriyah Agustin dan Ahmad Makky Ar-Rozi. Kinerja Produksi dan
Harga Komoditas Cabai Merah.

64
Lampiran 1

Klaster Komoditas Karakteristik Produksi Kebutuhan Vs. Produksi Pasokan: Prod - EX + IM Harga Konsumen
Kabupaten Cabai Sentra Surplus Surplus Surplus Rp 10.000,-
Jember Merah
Besar Industri besar Ekpor ke Jakarta dan Turun jika panen raya
lainnya

Kabupaten Cabai Sentra Seimbang Defisit Seimbang Rp 25.000,-


Tanah Datar Merah
Sudah biasa budi daya Produksi cabai Padang Membeli/memasok cabai Naik jika terdapat
Vs. konsumsi cabai Jawa dari Bengkulu dan permasalahan produksi
Jawa Lampung
90% dijual ke Riau
Kabupaten Cabai Non-Sentra Seimbang Seimbang Surplus Harga naik
Minahasa rawit
merah Sudah biasa budidaya namun Defisit besar saat Natal Membeli/memasok dari Harga normal
banyak tidak berupa pertanian bulan Desember Gorontalo dan Surabaya Rp25.000,00.
sistematis dan masif Bulan Desember:
Rp100.000,00 s.d.
Rp150.000,00
Tidak stabil sepanjang tahun
terutama bulan kemarau
Kabupaten Bawang Sentra Besar Suplus Harga stabil/turun
Majalengka merah
Sudah biasa budi daya Dijual ke Bandung Rp11.000,00 s.d.
Rp16.000,00
Kota Bawang
Palangkaraya merah Non-Sentra Sangat kecil Defisit besar Seimbang Harga stabil

Pertanian bawang tidak ada Mmbeli/memasok dari Rp20.000,00 s.d.


sebelumnya Brebes dan Bima Rp30.000,00
Kabupaten Bawang
Simalungun Merah Non-Sentra Kecil Defisit Seimbang Harga stabil
Sepuluh tahun berhenti budi Membeli/memasok dari Rp23.000,00 s.d.
daya bawang Brebes Rp28.000,00
Turun ketika panen besar
ditambah dengan
pasokan dari Jawa yang
melimpah.

65
Lampiran 2. Deskripsi Wilayah

1. Kabupaten Tanah Datar

Kecamatan Sepuluh Koto merupakan sentra pertanian cabai merah dengan luas
lahan 1.027 hektare dan produksi 6.054 ton (2013), setara dengan 55% produksi cabai
merah di Kabupaten Tanah Datar. Telah terjadi peningkatan produksi sebesar 4% atau
397 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi Kabupaten Tanah Datar terhadap
total produksi Sumatera Barat adalah sebesar 17%. Petani di wilayah itu telah turun-
temurun bertani cabai sehingga secara skill bertani sudah dianggap mumpuni.

Tabel 21. Produksi dan Konsumsi9 Kabupaten Tanah Datar dan


Provinsi Sumatera Barat 2012–2014 (ton)
Produksi Konsumsi
Tahun Sumatera Tanah Sumatera Tanah
Barat Datar Barat Datar
2012 65.104 7.842 44.286 2.758
2013 68.101 11.001 43.669 2.668
2014 66.797 11.398 45.181 2.629

2. Kabupaten Jember

Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra cabai di Jawa Timur yang
menyumbang 13% dari total produksi seluruh Jawa Timur. Jawa Timur sendiri
berkontribusi terhadap produksi cabai nasional sebesar 18%. Pada tahun 2013 terjadi
penurunan produksi cabai di Jawa Timur sebesar 4% dan penurunan hingga 50% di
Jember yang diakibatkan faktor cuaca ekstrim yang berdampak terhadap gagal panen.
Pada tahun 2014 kondisi produksi kembali meningkat yang berdampak pada surplus
hingga 37.000 ton.

Klaster cabai di Jember dikelola oleh Koperasi Hortikultura Lestari yang berdiri
pada tahun 2011. Sebelum terbentuk menjadi koperasi, Koperasi Lestari masih
berbentuk kelompok usaha yang menjadi subpemasok ke PT Heinz ABC hingga tahun

9 Konsumsi di sini adalah konsumsi rumah tangga atau belum memasukkan kebutuhan
industri dan benih. Kebutuhan konsumsi di luar rumah tangga diestimasi sebesar 20 persen
dari kebutuhan rumah tangga sehingga estimasi kebutuhan total adalah 1,25 x konsumsi
rumah tangga.

66
2011. Untuk bisa memasok secara langsung ke PT Heinz ABC, kelompok tersebut
harus berbentuk lembaga resmi.

Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Jember dan


Provinsi Jawa Timur 2012–2014 (ton)
Produksi Konsumsi
Tahun Jawa Jawa
Jember Jember
Timur Timur
2012 343.710 25.821 137.649 7.649
2013 329.177 10.553 119.033 6.757
2014 349.842 45.744 131.635 7.946

3. Kabupaten Minahasa

Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit bagi Provinsi Sulawesi
Utara dengan kontribusi mencapai 25% dari total produksi. Kabupaten Minahasa
mengalami surplus produksi cabai hampir mencapai 673 ton sehingga menjadikan
kabupaten tersebut strategis dalam pemenuhan kebutuhan cabai rawit di Sulawesi
Utara. Produksi cabai Kabupaten Minahasa pada tahun 2014 meningkat sebesar 130
ton atau sekitar 9,5% dari tahun sebelumnya. Hal itu mengindikasikan adanya
keberhasilan dengan ditetapkannya Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
meskipun hasil produksi tersebut belum optimal. Pemilihan Kabupaten Minahasa
sebagai lokasi klaster Bank Indonesia sudah sangat tepat jika bertujuan untuk
meningkatkan produksi. Penanaman cabai rawit sudah biasa dilakukan masyarakat
Kabupaten Minahasa pada level rumah tangga, tetapi usaha bertani cabai hanya
dilakukan oleh sebagian masyarakat.

Tabel 23. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Minahasa dan


Provinsi Sulawesi Utara 2012–2014 (Ton)
Produksi Konsumsi
Tahun Sulawesi Sulawesi
Minahasa Minahasa Manado
Utara Utara
2012 1.455 9.656 1.479,43 1.912,49 9.031,56
2013 1.710 8.461 1.355,66 1.320,74 8.063,10
2014 2.156 8.486 1.482,91 1.400,50 8.779,12
Sumber: Susenas, BPS, dan Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa

67
4. Kabupaten Simalungun

Sejak tahun 2011 konsumsi bawang merah di Sumatera Utara cenderung


meningkat meskipun sempat turun pada tahun 2013. Produksi bawang merah
Sumatera Utara sempat menembus 14.156 ton per tahun pada tahun 2012, tetapi tidak
dapat memenuhi kebutuhan penduduk Sumatera Utara. Terdapat beberapa sentra
penghasil bawang merah di Sumatera Utara, seperti daerah Batubara, Aipopo,
Kabupaten Simalungun, dan Toba-Samosir. Kabupaten Simalungun merupakan salah
satu penghasil bawang merah terbesar di Sumatera Utara walaupun sejak tahun 2011
mengalami penurunan produksi. Penurunan paling tinggi terjadi pada tahun 2013,
yaitu terjadi penurunan produksi bawang merah sebesar hampir 40%.

Tabel 24. Konsumsi dan Produksi Bawang Merah Sumatera Utara


Konsumsi Produksi
Tahun Pematang Sumatera Sumatera
Simalungun Simalungun
Siantar Utara Utara
2011 2.802 795 41.273 5.915 12.449
2012 2.818 684 42.088 5.750 14.156
2013 2.762 669 38.056 1.868 8.305
2014 2.952 648 41.383 1.602 7.810

5. Kabupaten Majalengka

Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri dari dua wilayah, yakni
wilayah dataran rendah dan tinggi. Kondisi itu memungkinkan Kabupaten Majalengka
dapat melakukan budi daya bawang merah sepanjang tahun. Penanaman bawang
merah di dataran tinggi memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan
penanaman di dataran rendah, mulai dari biaya input, perawatan, hingga pascapanen.
Sementara itu, dari sisi produktivitas, hasil panen yang telah dicapai dataran rendah
sebesar 12–15 ton/hektare dan dataran tinggi sebesar 8–10 ton/hektare.

Sebagian besar produksi bawang merah Kabupaten Majalengka dibawa ke luar


daerah untuk memasok pasar di Jawa Barat, Jakarta, dan daerah lainnya.
Berdasarkan Tabel 24 produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun
2013 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2012, kemudian
meningkat lagi pada tahun 2015. Harga bawang merah pada tahun 2013 bersifat
fluktuatif tinggi dan berimbas pada penurunan konsumsi bawang merah.

Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Kabupaten Majalengka dan

68
Provinsi Jawa Barat 2012–2014
Produksi (Ton) Konsumsi
Tahun
Jawa Barat Majalengka Jawa Barat
2012 115.896 1.805 102.743
2013 115.585 1.467 76.875
2014 130.082 1.547 90.057
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian

6. Kota Palangkaraya

Kalimantan Tengah berpenduduk 2.384.700 jiwa dengan luas wilayah mencapai


153.564 km2 yang sebagian di antaranya (30%) masuk dalam kategori lahan marginal
berpasir dan bergambut. Lahan gambut pada awalnya tidak dimungkinkan untuk
ditanami bawang merah. Akan tetapi, semenjak tahun 2012 Bank Indonesia KPw
Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Kalimantan Tengah melakukan uji coba penanaman bawang merah dan berhasil
dengan baik. Pada tahun 2013 hal tersebut ditindaklanjuti dengan upaya
pengembangannya ketika musim kemarau. Hasil panen menunjukkan produktivitas
sebesar 27,3 ton/hektare berat basah pada lahan pasir kuarsa dan sebesar 12,8
ton/hektare pada lahan gambut.

Pengembangan usaha tani bawang merah dilakukan dengan mengacu pada


roadmap yang yang telah dibuat atas kesepakatan bersama Bank Indonesia, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), serta dinas terkait mulai tahun 2016–2020.
Pengembangan tersebut lebih diarahkan pada upaya memproduksi bawang merah
untuk kebutuhan konsumsi yang dapat langsung diserap oleh pasar lokal atau
nasional. Ke depan diharapkan bahwa pengembangan bawang merah di Kalimantan
Tengah bisa memberi kontribusi pada penekanan laju inflasi serta pemenuhan
kebutuhan benih di wilayah sekitar.

Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Kota Palangkaraya dan


Provinsi Kalimantan Tengah 2012–2014 (ton)
Produksi Konsumsi
Tahun
Kalimantan Tengah Palangkaraya Kalimantan Tengah
2012 1,00 637,27 6.455,40
2013 56,00 476,66 5.632,84
2014 125,00 529,40 6.357,66
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
Lampiran 3. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan Wilayah Klaster

69
Simpulan

Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar

Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten


Tanah Datar.

1. Dengan pendampingan BI terjadi perubahan dalam klaster, yaitu mengolah tanah


menjadi lebih baik karena tidak terlalu banyak menggunakan pupuk kimia dan
karena perbaikan teknik budi daya.
2. Peningkatan produksi dengan adanya pendampingan BI belum dapat terlihat
karena belum ada hasil panen dari lahan sekolah lapangan (SL). Produktivitas baru
dapat terlihat setelah 1 masa tanam dan panen. Jika produktivitas cabai meningkat
signifikan diharapkan petani sekitar akan turut mengubah cara budi daya.
3. Dari hasil wawancara, Pemda cenderung memberikan bantuan kepada kelompok
yang sudah bekerja sama dengan Dinas Pertanian. Kelompok tani tersebut
mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian karena memperoleh prestasi, yaitu
petani terbaik nomor 1 se-Kabupaten Tanah Datar dan nomor 3 terbaik se-
Sumatera Barat.
4. Bantuan sulit diberikan oleh Dinas Pertanian berupa alat yang permanen seperti
tandon air karena lahan kelompok merupakan lahan sewa.
5. Teknik bertani secara organik yang dikenalkan pada SL dirasakan cukup berat bagi
anggota kelompok karena waktu pengolahan lahan yang lebih lama.
6. Bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang sudah ada secara turun-temurun.
Pernah dicoba menggunakan bibit baru, tetapi tidak bisa dipanen karena sampai
dengan umur hampir panen, tanaman tersebut tidak berbunga yang tentunya tidak
menghasilkan cabai.
7. Berdasarkan hasil AHP, skill dan teknologi merupakan faktor yang paling penting
jika akan meningkatkan produktivitas di klaster cabai Kabupaten Tanah Datar, di
samping kuatnya modal sosial yang menjadi faktor utama dalam melakukan
replikasi klaster. Selain itu, untuk konektivitas, faktor yang paling penting adalah
akses informasi.
8. Hasil SWOT menyimpulkan bahwa untuk klaster cabai Kabupaten Tanah Datar,
modal sosial dan ketersediaan input menjadi kekuatan klaster paling dominan,
sedangkan kelemahan klaster terletak pada akses terhadap jasa pendukung. Di sisi
lain, klaster ini memiliki peluang dari faktor geografis, sedangkan faktor demografi
dan akses informasi masih menjadi ancaman bagi petani klaster.

70
Klaster Cabai Kabupaten Jember

Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster cabai Kabupaten


Jember.

1. Cara bertani di Kabupaten Jember sudah terstruktur dengan baik. Hal itu terlihat
dengan pemilik lahan/modal bertindak sebagai manajer dan menyerahkan semua
urusan teknis pekerjaan kepada tenaga kerja yang dibayar harian. Kepemimpinan
dan manajerial yang baik dan andal dibutuhkan untuk mengelola sistem seperti ini.
2. Pendampingan BI telah berdampak pada peningkatan produktivitas, yaitu dari 0,8
kg per batang menjadi 1,5–2 kg per batang. Dampak itu juga dirasakan para petani
nonklaster yang lahannya berdampingan dengan lahan petani klaster.
3. Pada tahun 2013 terjadi kemarau basah, yaitu hujan sepanjang tahun yang
berdampak pada anjloknya produksi cabai di Kabupaten Jember hingga 50%.
4. Klaster dapat mempengaruhi harga melalui operasi pasar dengan menjual cabai di
bawah harga pasaran yaitu sebesar Rp10.000,00 dari harga normal Rp28.000,00
s.d. Rp30.000,00.
5. Besarnya modal awal dalam bertani cabai memerlukan modal yang cukup besar.
Hal itu tentu diperlukan akses keuangan dengan bunga yang rendah.
6. Jika melihat produksi klaster Kabupaten Jember 13% dari total produksi Jawa
Timur, perubahan pasokan yang drastis cukup mempengaruhi produksi cabai di
Jawa Timur, bahkan hingga ke daerah lain.
7. Setiap tahunnya Koperasi Lestari melakukan kontrak kerja sama dengan PT Heinz
ABC sebanyak 1.500 ton yang dibagi dalam 12 bulan. Setiap bulan Koperasi Lestari
harus dapat memenuhi pasokan sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati.
8. Harga kontrak antara Koperasi Lestari dan PT Heinz ABC selalu di atas harga
produksi.
9. Adanya anggota kelompok yang tidak berkomitmen menyebabkan koperasi pada
tahun 2015 tidak dapat lagi memasok cabai kepada PT Indofood. Anggota koperasi
yang bermitra memilih menjual hasil panennya di pasar yang memiliki harga lebih
tinggi.
10. Wadah koperasi diperlukan untuk mendapatkan akses kerja sama dengan
perusahaan. Organisasi koperasi yang terbentuk tidak murni karena yang bermitra
dengan koperasi tidak diwajibkan menjadi anggota.

71
11. Dari analisis menggunakan AHP, kekuatan organisasi klaster di Kabupaten Jember
menjadi faktor replikasi yang utama karena kerja sama dengan industri yang sudah
cukup lama terjalin. Berbeda dengan klaster lainnya, permintaan akhir yang
terpenting dalam klaster ini adalah keberadaan industri karena seluruh hasil
produksi dijual ke industri.
12. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input menjadi kekuatan klaster
paling dominan, sedangkan kelemahan klaster adalah pada produksi. Di lain pihak
faktor demografis (tenaga kerja) menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan
klaster. Faktor geografis dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih
menjadi ancaman bagi petani klaster.

Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa

Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster BI di Kabupaten


Minahasa.

1. Jenis petani di Kabupaten Minahasa terdiri atas petani merpati (PSPB), petani
pedati, dan petani sejati.
2. Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit di Sulawesi Utara dan
telah ditetapkan menjadi Kabupaten Rica pada tahun 2014 yang telah berhasil
meningkatkan produksi cabai rawit meskipun belum optimal.
3. Kemampuan klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai lebih
disebabkan oleh adanya insentif swadaya BI dalam pembuatan demplot.
4. Insentif replikasi berupa keuntungan budi daya cabai masih kurang atau gagal
terbentuk. Hal itu antara lain disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam
satu demplot (satu hektare) sehingga hasil/petani boleh dibilang sangat kecil.
5. Jumlah 10 petani per hektare per demplot sangat tidak efisien dan mendorong
terjadinya free rider. Hal itu disebabkan target kepada kelompok tani yang
umumnya beranggotakan 10 petani.
6. Adanya indikasi kelompok tani tidak berada dalam satu kawasan menyebabkan
sulitnya berkoordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
7. Terdapat indikasi petani PSPB dan/atau petani merpati dalam klaster BI dan
program pertanian lainnya.
8. Dari penelusuran hasil AHP, selain skill, teknologi adalah hal yang paling penting
dalam pengembangan produktivitas klaster ini, terutama hand tractor dan pompa

72
air/embung. Dalam proses replikasi, modal sosial menjadi hal terpenting dari
klaster ini.
9. Setelah dilakukan analisis SWOT ditemukan bahwa modal sosial dan ketersediaan
input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan utama
klaster adalah pada produksi. Di lain pihak, kedekatan dengan pemasok menjadi
peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Sementara di sisi lain,
infrastruktur dan ketiadaan akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani
klaster.

Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun

Berikut beberapa simpulan mengenai kondisi dan klaster bawang merah


Kabupaten Simalungun.

1. Modal sosial dan kelembagaan di klaster Bank Indonesia Kabupaten Simalungun


sangat baik untuk modal awal pembentukan klaster.
2. Kemampuan petani sangat baik dalam budi daya karena sudah memiliki
pengetahuan budi daya bawang.
3. Kondisi geografis mendukung klaster untuk berkembang (kondisi air dan konstruksi
tanah).
4. Harga jual bawang merah yang dihasilkan berfluktuasi tergantung bagaimana
kondisi pasokan di pasar Sumatera Utara yang dipengaruhi pasokan dari Jawa dan
Bima.
5. Bawang merah yang dihasilkan di Kabupaten Simalungun sangat kompetitif karena
memiliki cita rasa yang berbeda dengan bawang merah yang dihasilkan di Jawa.
6. Peran stakeholders dan koordinasi antar-stakeholders masih sangat kurang di
Kabupaten Simalungun dalam rangka meningkatkan produksi bawang merah.
7. Teknologi dan skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi
di klaster bawang merah Kabupaten Simalungun berdasarkan analisis AHP.
Teknologi yang dibutuhkan terutama adalah obat untuk mencegah virus tanaman.
Untuk menunjang sustainability, dari segi pemasaran, akses pasar menjadi penting
karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis yang menjadi tempat
berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah.
8. Hasil analisis SWOT terhadap klaster ini menunjukkan bahwa modal sosial menjadi
kekuatan. Kelemahannya terletak pada masalah penanganan pascapanen dan
sistem informasi klaster.

73
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka

1. Klaster Kabupaten Majalengka merupakan replikasi dari Klaster BI di Brebes yang


produktivitasnya mulai agak menurun dan tanah yang mulai jenuh. Kabupaten
Majalengka dicanangkan akan menjadi sentra bawang selain Brebes.
2. Klaster sudah berjalan semenjak tahun 2014 dan bekerja sama dengan dinas
terkait.
3. Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri atas dua wilayah, yaitu
wilayah dataran rendah dengan produktivitas sebesar 12–15 ton/hektare dan
wilayah dataran tinggi (atas) dengan produktivitas sebesar 8–10 ton/hektare.
4. Kabupaten Majalengka selain memproduksi bawang merah sekaligus menjadi
penangkar bawang merah.
5. Benih-benih bawang merah Kabupaten Majalengka sudah bersertifikasi.
6. Faktor cuaca yang membuat bawang merah perlu banyak pengendalian pada saat
proses produksi.
7. Sudah ada program Brigade Olah Tanah untuk membantu petani, semua fasilitas
bantuan sosial akan dialihkan menjadi fasilitas barang, contohnya penyediaan
cultivator. Selain itu, terdapat juga Brigade Operasi Pengendalian Tanaman dan
Brigade Pengairan. Program ini dilakukan oleh Dinas Pertanian.
8. Kenaikan produksi disebabkan oleh upaya petani sendiri sehingga perlu dorongan
dari Pemda yang lebih besar.
9. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa skill merupakan faktor yang penting bagi
klaster ini karena kondisi geografis Kabupaten Majalengka membutuhkan
keterampilan khusus dari petani. Selain itu, akses dan perluasan pasar menjadi
hal yang harus dipikirkan bagi Kabupaten Majalengka dalam rangka
keberlangsungan petani bawang.
10. Berdasarkan hasil SWOT, produksi dan ketersediaan input merupakan kekuatan
klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar masih terbilang lemah.
Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses informasi.

74
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya

1. Budi daya bawang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dan BPTP sejak tahun
2012. Sebelum tahun 2012 produksi bawang merah di Kalimantan Tengah belum
ada.
2. Selama ini bawang merah yang ada di Kalimantan Tengah berasal dari Bima (NTB),
Brebes (Jawa Tengah), dan Probolinggo (Jawa Timur).
3. Di Kota Palangkaraya belum terbentuk klaster seperti yang ada di Kabupaten
Majalengka, yang ada masih berbentuk demplot-demplot.
4. Harga cenderung stabil pada kisaran Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00.
5. Produksi yang berjalan di Kota Palangkaraya masih berjalan dengan adanya
bantuan dari dinas, benih diberikan, dan hasilnya dijual kepada dinas.
6. Bawang merah untuk konsumsi belum masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota
Palangkaraya.
7. Sudah ada roadmap pengembangan bawang merah 2016–2020 yang merupakan
hasil kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dan dinas-dinas terkait.
8. Produksi bawang merah di Kota Palangkaraya belum mencukupi untuk konsumsi
(defisit). Hal itu disebabkan peningkatan produksi tidak dapat mengimbangi
peningkatan konsumsi bawang merah.
9. Skill dan teknologi merupakah hal yang penting terkait dengan produktivitas. Skill
petani di Palangkaraya masih tertinggal jauh daripada petani di Jawa dan
penggunaan teknologi pun masih sangat sederhana. Dalam hal replikasi, dukungan
stakeholders masih sangat diperlukan, terutama dalam proses kegiatan produksi
dalam demplot.
10. Banyak hal yang masih harus diperbaiki, seperti manajemen klaster karena bawang
merah memang menjadi sesuatu yang baru dalam dunia pertanian di Kalimantan
Tengah. Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi petani bawang merah di
Palangkaraya adalah akses pasar.

Rekomendasi

Klaster Cabai Kabupaten Tanah Datar

Kabupaten Tanah Datar sebagai salah satu sentra cabai merah di Sumatera
Barat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan dan
harga. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk klaster tersebut, yaitu

75
(1) meningkatkan kualitas produksi dengan menggunakan pestisida yang tepat (jenis
dan dosis);
(2) meningkatkan kelembagaan klaster menjadi lembaga formal, seperti koperasi, agar
dapat mempermudah akses dengan stakeholders terkait;
(3) menggunakan teknik penanganan pascapanen dan diversifikasi produk olahan;.
(4) mengurangi ketergantungan kepada pihak pengepul dengan membuka akses
pasar ke pihak/daerah lain;
(5) memperluas akses informasi pasar, misalnya, dengan mendirikan stasiun
agribisnis;
(6) mengatur masa tanam dengan daerah lain agar tercipta stabilitas harga dan
pasokan;
(7) membentuk wadah untuk melakukan koordinasi antarpetani dalam satu provinsi;
(8) meningkatkan peran dan fungsi dari PPL;
(9) membuka akses keuangan dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang
mudah, seperti KKPE yang sangat membantu petani dengan suku bunga rendah;
(10) meningkatkan kemampuan pengelolaan administrasi keuangan kelompok; dan
(11) mengembalikan kesuburan tanah yang mulai jenuh dengan menggunakan
teknologi yang tepat (organik).

Klaster Cabai Kabupaten Jember

Kabupaten Jember sebagai salah satu sentra cabai merah di Jatim memiliki
peranan strategis dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga cabai di Jawa Timur,
bahkan hingga Jakarta dan Kalimantan. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk
klaster tersebut, yaitu

(1) memerlukan perbaikan aspek administrasi keuangan klaster ke arah yang lebih
modern dengan menggunakan aplikasi/software akuntansi;
(2) memerlukan pendampingan secara berkelanjutan, antara lain, untuk mengatasi
permasalahan dan penerapan teknologi;
(3) memerlukan akses kredit/pembiayaan yang sesuai dengan pola/siklus budi daya
cabai, misalnya angsurannya dapat dibayar setelah panen;
(4) meningkatkan koordinasi antar-stakeholders guna terciptanya sinkronisasi dalam
pemberian bantuan;
(5) memerlukan akses informasi harga; dan

76
(6) memerlukan teknologi modern untuk menghasilkan cabai yang lebih
menguntungkan dibandingkan hasil produksi komoditas lain.

Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa

Kabupaten Minahasa dapat dikatakan belum optimal dalam produksi cabai rawit
dan dalam mendorong kestabilan harga terutama pada bulan Desember. Rekomendasi
untuk optimalisasi klaster BI dan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
adalah sebagai berikut.

1. Perbaikan targeting petani klaster dan penerima bantuan pemerintah kepada petani
sejati atau minimal petani pedati.
2. Pre-program harus dimulai dengan membarui (updating) dan memverifikasi data:
membandingkan data BP4K dan sumber data lainnya, misal data swasta.
3. Jika updating data kelompok tani tidak dimungkinkan, program pertanian tidak
ditujukan kepada kelompok tani, tetapi kepada petani kawasan dengan jumlah 3
petani/hektare yang mencakup 10 hektare atau 30 petani.
4. Jika ingin mendorong pasokan dan kestabilan harga, yang lebih potensial dilakukan
BI adalah membantu ketersediaan pompa dan embung di kabupaten sentra
produksi kepada petani sejati.
5. Subsidi modal dan teknologi tetap dibutuhkan dan dengan konsep kawasan,
efisiensi dana klaster bisa ditingkatkan, misalnya untuk penyediaan satu hand
tractor untuk 10 hektare lahan atau 3 kelompok tani kawasan.
6. Kontrak secara profesional, terutama dengan pihak swasta untuk penyediaan
saprodi.
7. Bank Indonesia harus mendorong penyediaan data, terutama kebutuhan konsumsi
per bulan khususnya data kebutuhan konsumsi pada bulan Juli–Agustus dan
Desember. Dengan data ini dapat direncanakan program atau rencana antisipasi
sebelum terjadi gejolak harga.
8. Perlu dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan sentra cabai rawit, terutama
Brebes dan sentra lainnya di Jawa Timur selain dengan Gorontalo.
9. Kesan sosial dalam program klaster harus diminimalkan oleh pimpinan Bank
Indonesia di daerah dan pusat sehingga tujuan klaster lebih tegas dan terstruktur,
yaitu untuk meningkatkan pasokan dan kestabilan harga.

77
10. Kesejahteraan petani yang lebih besar harus diupayakan dengan jalan mendorong
akses petani ke pasar tradisional dan pasar lainnya, salah satunya dengan
membentuk toko tani.
11. Bank Indonesia sebaiknya mampu memanfaatkan mapalus sebagai modal sosial
petani Minahasa sebab mapalus merupakan bentuk budaya gotong royong
masyarakat Minahasa. Hal itu merupakan pemanfaatan jalur adat tradisional dalam
usaha mereplikasi klaster Bank Indonesia.
12. Akses pasar atau toko tani dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman
terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun untuk
masyarakat pada umumnya di Kabupaten Minahasa.

Klaster Bawang Merah Kabupaten Simalungun

1. Dukungan yang kuat dari segi infrastruktur, yaitu berupa jalan sangat dibutuhkan
karena berpengaruh pada konektivitas klaster dengan pasar (koordinasi pemerintah
daerah).
2. Klaster membutuhkan penanganan pascapanen yang baik agar dapat menyimpan
bawang merah yang dihasilkan sehingga tidak mudah busuk.
3. Informasi harga yang berkembang di pasar sangat dibutuhkan sehingga tidak
merugikan petani.
4. Modal sosial yang baik (kelembagaan yang kuat) sebaiknya diwadahi dengan
koperasi agar menguntungkan, baik dari segi pemasaran hasil maupun penyediaan
input.
5. Komunikasi intensif antar-stakeholder yang terlibat dalam pengembangan bawang
merah di Kabupaten Simalungun serta koordinasi agar program-program
pengembangannya lebih terarah dan tepat sasaran sangat dibutuhkan.
6. Klaster membutuhkan teknologi obat tanaman yang secara berkala diberikan ke
area pertanian, selain juga pengembangkan wawasan yang bersifat ilmiah seperti
alokasi pupuk.
7. Meskipun ketersediaan input di klaster ini di-supply dengan baik dari daerah lain,
untuk kemandirian ke depannya dibutuhkan pengembangan bibit. Selain itu,
diperlukan juga pengembangan sistem informasi untuk menunjang modal sosial
yang sudah baik.

78
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka

1. Pola tanam bawang merah harus direncanakan lebih baik.


2. Tingkat promosi bawang merah Kabupaten Majalengka perlu ditingkatkan agar
masyarakat mengenal bahwa komoditas bawang merah merupakan produk
unggulan Kabupaten Majalengka.
3. Klaster harus disosialisaikan terlebih dahulu kepada petani, bagaimana fungsi dan
peran klaster. Sosialisasi itu diperlukan agar petani tidak hanya ikut perkumpulan
jika ada kegiatan klaster karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya
klaster, bantuan akan datang.
4. Perlu dibuat akte kepemilikan lahan bagi para petani.
5. Perlu ada kerja sama antar daerah dalam bentuk berita acara dalam rangka
pemenuhan komoditas. Jika terjadi kelangkaan bawang merah di daerah lain,
Kabupaten Majalengka dapat membantu memberikan pasokan.
6. Perlu dilakukan penelitian mengenai jenis bawang apa saja yang cocok ditanam di
tiap-tiap wilayah di Kabupaten Majalengka.
7. Pedagang besar dan strategi pemasaran yang baik sangat dibutuhkan agar produksi
yang melimpah dapat dimanfaatkan dengan baik dan menguntungkan serta tidak
kalah bersaing dengan sentra bawang di Brebes.

Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses produksi bawang merah di
lahan berpasir dan gambut.
2. Pengenalan lebih luas kepada petani apakah itu klaster, bagaimana kegiatannya,
dan apa saja yang dilakukan.
3. Pemberian pemahaman untuk mengubah pola pikir para petani agar tidak bertani
pada saat ada bantuan saja. Penumbuhan kesadaran dan pembangunan modal
sosial yang tinggi agar mampu membuat bawang merah menjadi komoditas yang
utama serta meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan petani.
4. Perlu adanya bantuan dalam pengolahan lahan, seperti cultivator dan spryer karena
semua kegiatan pengolahan lahan masih dilakukan secara manual.
5. Pemaksimalan tugas dan fungsi PPL dalam memberikan penyuluhan.
6. Petani lebih menginginkan kegiatan pelatihan yang langsung di lapangan, tidak
hanya sekadar pelatihan dalam bentuk seminar atau lokakarya (workshop).
7. Roadmap yang telah dibuat harus dilaksanakan dengan baik.

79
8. Jika bawang merah sudah tumbuh pesat di Kalimantan Tengah, langkah
selanjutnya adalah perluasan ke pasar-pasar. Selama ini bawang merah yang
tersedia di pasar merupakan kiriman dari daerah lain dan strukturnya sudah
terbentuk sejak lama. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana bawang merah
yang diproduksi lokal dapat masuk ke pasar-pasar tanpa terjadi perselisihan antara
pemain besar pemasok bawang merah dari luar daerah.
9. Pendampingan yang intensif dari klaster ini sangat dibutuhkan karena masih
berupa klaster awal, terutama pendampingan dalam pengembangan teknologi.
10. Perluasan akses pasar karena selama ini klaster lebih banyak memenuhi
permintaan dari dinas saja.

80

Anda mungkin juga menyukai