WORKING PAPER
2015
Abstrak
Penyumbang utama inflasi berasal dari komoditas volatile foods yang
pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Pasokan
komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi oleh gangguan produksi,
distribusi, atau kebijakan pemerintah. Gangguan pada produksi
menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi jumlah permintaan.
Program pengembangan klaster menjadi bentuk keikutsertaan Bank Indonesia
untuk menjaga sisi penawaran untuk menjaga pergerakan harga kelompok
bahan makanan. Kehadiran klaster diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dari komoditas dengan mengelola klaster menggunakan
pendekatan rantai nilai (value chain). Kajian dilakukan untuk mengetahui
dan meningkatkan peran klaster dalam mendukung pasokan dan
mengendalikan harga komoditas volatile foods. Kajian dilakukan di klaster
dua komoditas di enam daerah, yaitu tiga daerah untuk komoditi cabai
(Kabupaten Jember-Jawa Timur, Kabupaten Minahasa-Sulawesi Utara, dan
Kabupaten Tanah Datar-Sumatera Barat) dan tiga daerah untuk komoditi
bawang merah (Kabupaten Majalengka-Jawa Barat, Kota Palangkaraya-
Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara). Kajian ini
menggunakan beberapa alat analisis, yaitu wawancara mendalam dengan
stakeholders klaster, analytical hierarchy process (AHP), dan analisis
SWOT. Secara nasional terjadi surplus produksi cabai terhadap konsumsi.
Namun, sulit memanfaatkan kondisi surplus di tingkat nasional untuk
stabilitas harga di daerah pusat konsumsi karena cabai bersifat perishable,
sedangkan preferensi konsumsi terhadap cabai dalam bentuk segar. Gejolak
harga cabai lebih ditentukan oleh jauhnya lokasi produsen dan konsumen dan
faktor musiman permintaan. Pembentukan harga rata-rata nasional cabai
relatif didorong oleh fundamental current production dan consumption
yang sifatnya mingguan bahkan harian. Untuk komoditas bawang merah,
secara nasional mengalami surplus, tetapi masih terjadi lonjakan harga pada
waktu tertentu. Hal itu disebabkan sentra produksi bawang merah relatif tidak
merata dan hanya berpusat di Jawa dan NTB. Selain itu, permintaan bawang
merah relatif tidak memiliki lonjakan musiman yang tinggi jika dibandingkan
dengan cabai.
1
I. PENDAHULUAN
Bank Indonesia memiliki tugas untuk memenuhi target atau sasaran inflasi,
sebagaimana tertuang pada Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2004. Dalam melaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah.
Berdasarkan data perbandingan target dan aktual inflasi tahun 2010 s.d. 2015
(Bank Indonesia, 2015), secara umum terdapat deviasi antara target inflasi yang
telah ditetapkan dan inflasi yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan data inflasi yang
ditargetkan beserta inflasi aktual dari 2010 s.d. 2015.
Adanya kesenjangan antara target dan inflasi aktual memicu Bank Indonesia
untuk terus menyempurnakan instrumen pengendalian inflasi. Formulasi kebijakan
moneter yang tepat dibutuhkan untuk mengendalikan inflasi ke level yang
diinginkan.
2
Sisi penawaran pada komoditas bahan pangan tersebut dipengaruhi, baik
oleh gangguan produksi, distribusi, maupun kebijakan pemerintah. Gangguan pada
produksi menyebabkan pasokan komoditas yang tidak mencukupi permintaan.
Produksi komoditas sangat tergantung pada cuaca. Komoditas bahan pangan juga
mempunyai sifat perishable (mudah rusak). Efisiensi kegiatan distribusi dipengaruhi
oleh panjang mata rantai distribusi dan margin keuntungan yang ditetapkan oleh
setiap mata rantai distribusi serta kondisi sektor transportasi. Gangguan terhadap
kegiatan distribusi dapat memicu kelangkaan komoditas. Sementara itu, kebijakan
pemerintah dalam hal penetapan harga (administered prices) untuk komoditas,
seperti BBM, tarif listrik, dan tarif angkutan dapat menggerakkan harga komoditas,
khususnya komoditas perishable serta dapat mempengaruhi ekspektasi inflasi
masyarakat.
Program klaster diawali oleh Bank Indonesia sejak tahun 2007. Hingga akhir
2015 Bank Indonesia telah mengembangkan lebih dari 100 klaster di hampir semua
Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia. Komoditas yang didukung meliputi
komoditas di sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan industri
pengolahan. Pengembangan klaster sejak tahun 2014 difokuskan pada klaster
komoditas yang mendukung ketahanan pangan yang berkontribusi dalam inflasi
atau produk unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian. Berdasarkan
data komoditas kelompok volatile foods, lima komoditas utama penyumbang
terbesar inflasi dalam lima tahun terakhir adalah beras, bawang merah, cabai
merah, daging sapi, dan bawang putih (DKEM BI, 2014).
3
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflasi
Cabai dan bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting
dan bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Cabai memiliki sifat mudah rusak
(perishable) dan musiman (seasonal) yang bergantung pada iklim yang membuat
cabai tidak dapat ditanam dan dipanen sepanjang tahun. Sifat musiman inilah yang
menyebabkan komoditas ini berlimpah pada musim panen sehingga harga jualnya
merosot, sedangkan harga cabai melonjak ketika pasokannya terbatas.
5
Bawang merah memiliki permasalahan pada sumber daya, teknologi
pemilihan lahan serta alih fungsi lahan. Beberapa lahan di sentra produksi di Jawa,
khususnya Cirebon, telah mengalami degradasi hara. Kurang optimalnya sarana
produksi yang mencakup varietas bibit, pupuk, serta penyiraman turut menambah
kurang optimalnya produksi bawang merah.
2.3 Klaster
Porter (1998) dalam Kuah (2002) menyebutkan bahwa klaster secara tidak
langsung mampu mempengaruhi kompetisi dan menciptakan keunggulan
kompetitif, melalui peningkatan produktivitas perusahaan yang berbasis klaster,
inovasi yang lebih terarah dan peningkatan kecepatan inovasi dalam mendukung
pertumbuhan produktivitas, serta dorongan terbentuknya bisnis baru yang
nantinya akan mengembangkan dan memperkuat klaster serta memberi umpan
balik yang positif. Selain itu, Kuah (2002) juga menyimpulkan bahwa klaster akan
membawa eksternalitas positif dari sisi konsumen. Dengan letak perusahaan yang
berdekatan satu sama lain, pelanggan potensial dapat mengurangi biaya pencarian
dalam rangka membandingkan harga dan kualitas. Dalam hal ini, reputasi dari
6
klaster, baik dari segi kualitas maupun inovasi yang akan membuat konsumen
menjadi seorang pelanggan.
Solvell (2008) dan Sovell et al. (2003) dalam Boja (2011) mencoba
mendefinisikan model klaster yang berbeda. Klaster di sini dibangun di sekitar para
pelaku yang keputusan dan tindakannya mempengaruhi perkembangan klaster.
Para pelaku klaster yang dimaksud adalah pemerintah (baik pusat maupun lokal),
sistem keuangan, sistem pendidikan dan penelitian, usaha kecil dan menengah
(baik publik maupun privat), lembaga nonpemerintah, serta saluran media.
Education and
Media
Research
Organization
Business for Promotion
Environment and
Collaboration
Government
and Public
Structure
Cluster Financial
System
7
tertentu sehingga mampu meningkatkan frekuensi dan dampak positif dari
komunikasi dan interaksi. Di Indonesia klaster secara alamiah terbentuk dari
aktivitas tradisional dari komunitas lokal yang secara spesifik memproduksi
komoditas tertentu. Berdasarkan keuntungan komparatif dari produk yang dibuat,
pelaku usaha dapat memanfaatkan kelebihan barang mentah dan tenaga kerja lokal
yang tersedia untuk lebih berkembang, sebagai contoh beberapa pengusaha batik
yang bergabung dengan klaster-klaster di beberapa daerah di pulau Jawa
(Tambunan, 2006). Selain itu, pengelompokan produsen furnitur rotan di desa
Tegalwangi, Jawa Barat mempu menciptakan satelit-satelit kegiatan industri skala
kecil di desa tetangga (Smyth, 1992 dalam Tambunan, 2006). Produsen furnitur
kayu di Jepara, Jawa Tengah yang membentuk klaster furnitur telah tumbuh dari
tahun 1980 dan mampu mentransformasi kota tersebut menjadi pusat komersial
yang berkembang (Schiller dan Martin-Schiller, 1997 dalam Tambunan, 2006).
8
III. METODOLOGI PENELITIAN
1. Literature review tentang inflasi, terutama yang diakibatkan oleh volatile foods.
Faktor yang mempengaruhi harga volatile foods, antara lain ialah pola distribusi
dan struktur pasar dari komoditas volatile foods; kebijakan dan strategi
pemerintah terkait, terutama komoditas volatile foods; serta perkembangan impor
komoditas volatile foods.
2. Klaster yang akan dikaji adalah klaster ketahanan pangan untuk komoditas
volatile foods, yaitu komoditas cabai dan bawang merah.
3. Kajian akan difokuskan pada sampel klaster yang mewakili wilayah komoditi
cabai merah atau bawang merah. Wilayah yang dipilih juga mewakili daerah yang
merupakan sentra produksi ataupun bukan merupakan sentra produksi
komoditas cabai dan bawang merah.
4. Analisis strategi penguatan klaster mencakup antara lain:
(a) analisis karakter inflasi di daerah sampel, terutama komoditi cabai dan
bawang merah, antara lain pola dan penyebabnya yang dikaitkan dengan
pasokan komoditi tersebut di KPw BI sampel;
(b) analisis kondisi klaster di daerah sampel, antara lain, meliputi (i) aspek
produksi (jumlah produksi, ketersediaan bahan baku, dan teknologi yang
dipakai) dan aspek pasar (distribusi dalam/luar klaster, pemasaran produk,
persaingan, dan peluang pasar); (ii) pengaruh atau dampak klaster terhadap
harga komoditas; (iii) kebijakan dan program terkait di daerah KPw BI sampel;
dan (iv) aspek lingkungan eksternal meliputi sosial dan ekonomi, kebijakan
pemerintah, serta kondisi infrastruktur dan sarana transportasi; dan
(c) identifikasi kendala dan kondisi yang tidak mendukung yang dihadapi di tiap-
tiap KPw BI sampel, identifikasi kondisi yang mendukung peningkatan
pasokan komoditas di dalam klaster (FGD), identifikasi strategi dan upaya
penguatan yang dilakukan (SWOT), serta peran klaster dalam strategi
tersebut. Setelah itu, dilakukan pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur (AHP).
9
Gambar 2. Diagram Alur Proses Strategi Penguatan Klaster
10
3.3 Metode Sampling
1. Kabupaten Jember, Jawa Timur, yaitu klaster cabai merah yang merupakan
daerah sentra produksi.
2. Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yaitu pengembangan klaster bawang merah
di Cirebon, Jawa Barat (daerah nonsentra).
3. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yaitu klaster cabai rawit yang merupakan
daerah sentra produksi.
4. Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yaitu klaster bawang merah yang baru
dikembangkan (daerah non sentra).
5. Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yaitu klaster bawang merah yang
merupakan daerah sentra produksi.
6. Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, yaitu klaster cabai yang merupakan
daerah sentra produksi.
11
b. Angka-angka tersebut menunjukkan suatu perbandingan dari dua elemen
pernyataan dengan skala kuantitatif 1 sampai dengan 9. Untuk menilai
perbandingan tingkat intensitas kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang
lain digunakan kriteria sebagai berikut.
Intensitas Keterangan/Definisi
Penjelasan
Kepentingan Verbal
12
3.5 SWOT
Secara umum SWOT adalah salah satu alat untuk menganalisis lingkungan
internal atau eksternal untuk merumuskan strategi apa yang akan digunakan oleh
suatu organisasi. Namun, untuk tujuan analisis, komponen SWOT tersebut dapat
diartikan sebagai berikut.
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari internal klaster atau
dapat dikontrol oleh klaster.
1) Strength (kekuatan) adalah sumber (resource), skill, dan faktor-faktor lain
yang secara relatif lebih unggul yang dimiliki oleh daerah survei. Contoh:
akses permodalan atau manajemen yang baik.
2) Weakness (kelemahan) adalah keterbatasan atau kekurangan dalam
sumber, skill, dan faktor-faktor lain yang secara serius menghambat
kinerja/produktivitas klaster. Contoh: penelitian pengembangan, budaya
wirausaha.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar klaster yang tidak
dapat dikontrol secara langsung oleh klaster.
1) Opportunity (kesempatan) adalah situasi dominan yang menguntungkan
yang terdapat pada lingkungan klaster. Contoh: peraturan perundang-
undangaan, dan dukungan Pemda dalam pengembangan klaster.
2) Threat (hambatan) adalah situasi dominan pada klaster yang tidak
menguntungkan untuk mempengaruhi pasokan atau stabilitas harga.
Contoh: infrastruktur yang tidak memadai dan kompetisi dengan dengan
komoditas yang lain.
Analisis SWOT ini selanjutnya akan digunakan sebagai alat bantu untuk
merumuskan strategi yang tepat terhadap penguatan klaster dalam meningkatkan
pasokan yang berdampak pada stabilisasi harga di kabupaten tersebut. Dalam
penelitian ini kuesioner SWOT berisi dua tabel utama, yaitu penilaian tentang
kondisi saat ini dan urgensi pembangunan/penanganan ke depan berkaitan dengan
permasalahan subbidang/faktor dengan lebih spesifik. Untuk itu, setiap subbidang
13
dibagi dalam dua katagori, yaitu internal (untuk mendapatkan strength dan
weakness) serta eksternal (untuk mendapatkan opportunity dan threat).
1. Penilaian skor, yaitu penilaian pada potensi maupun capaian hasil pada saat ini
serta capaian yang diharapkan pada lima tahun ke depan. Penilaian responden 1
sampai dengan 8 dengan penjelasan:
14
3.6 Dekomposisi Time Series
Metode dekomposisi dilandasi oleh asumsi bahwa data yang ada merupakan
gabungan dari beberapa komponen,
Dalam estimasi komponen tidak berpola atau komponen acak akan diwakili
oleh residual, yaitu perbedaan dari kombinasi estimasi komponen tren, siklus, dan
musiman dengan data sebenarnya. Asumsi di atas mengandung pengertian bahwa
terdapat empat komponen yang mempengaruhi suatu deret waktu, yaitu tiga
komponen yang dapat diidentifikasi karena memiliki pola tertentu, yaitu tren, siklus,
dan musiman, serta komponen acak yang tidak dapat diprediksi karena tidak
memiliki pola yang sistematis dan mempunyai gerakan yang tidak beraturan (Awat,
1990).
Komponen tren adalah kecenderungan gerak naik atau turun pada data yang
terjadi dalam jangka panjang. Variasi musim adalah gerak naik dan turun yang
terjadi secara periodik (berulang dalam selang waktu yang sama). Komponen siklus
adalah perubahan gelombang pasang surut yang berulang kembali dalam waktu
yang cukup lama, misalnya 10 tahun, kuartal ke-20, dan lain-lain. Komponen acak
(random) adalah gerakan yang tidak teratur, terjadi secara tiba-tiba, dan sulit untuk
diramalkan. Gerakan tersebut dapat timbul sebagai akibat adanya peperangan,
bencana alam, atau krisis moneter.
15
𝒚𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕 𝒙 𝑰𝒕
Keterangan:
𝒚𝒕 = 𝒚̂𝒕 + 𝜺𝒕
𝒚̂𝒕 = 𝑺𝒕 𝒙 𝑴𝒕 𝒙 𝑻𝒕
Keterangan:
16
IV. HASIL PENELITIAN
Bab ini akan memberikan gambaran umum produksi, konsumsi, dan tata
niaga komoditas cabai dan bawang merah pada tingkat nasional dan daerah wilayah
survei. Perlu diperhatikan bahwa komoditas terutama cabai memiliki varietas yang
berbeda-beda. Cabai, misalnya, dapat dikelompokkan menjadi cabai merah besar,
cabai merah keriting, cabai hijau, dan cabai rawit. Analisis cabai tanpa
memperhatikan jenisnya dapat memberikan simpulan yang kurang tepat. Oleh
sebab itu, dalam penelitian diusahakan sebisa mungkin mengelompokkan
komoditas cabai berdasarkan varietas yang dikembangkan di wilayah survei. Selain
itu, akan dipaparkan pula keragaan dan analisis pada tiap-tiap klaster responden.
17
kelompok, yaitu cabai merah, cabai hijau, dan cabai rawit. Dengan ketersediaan
data seperti itu pembahasan tentang kondisi surplus atau defisit nasional dan
provinsi, terutama Sumatera Barat dan Jawa Timur digunakan data total varietas
cabai bukan hanya cabai merah, sedangkan untuk provinsi Sulawesi Utara dapat
dikhususkan pada komoditas cabai rawit.
Karena cabai dan bawang dikonsumsi secara harian, data dengan frekuensi
bulanan sangat penting untuk mengestimasi kebutuhan aktual. Data produksi
cabai dan bawang merah telah tersedia dalam bulanan, tetapi data konsumsi yang
merupakan estimasi dari konsumsi SUSENAS hanya tersedia dalam tahunan. Oleh
karena itu, data konsumsi hanya dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata
kebutuhan per bulan atau per tahun, tanpa memperhitungkan faktor musiman,
seperti peningkatan konsumsi pada hari raya atau hari besar.. Demikian juga
dengan data kebutuhan untuk industri yang belum tersedia, padahal jumlahnya
cukup signifikan dalam mempengaruhi harga. Dengan keterbatasan itu, penelitian
berusaha melengkapi setiap analisis dengan memasukkan faktor musiman dan
estimasi kebutuhan industri yang diambil dari berbagai literatur.
4.1.1 Cabai
Grafik 1 menunjukkan bahwa produksi cabai secara nasional lebih besar jika
dibandingkan dengan konsumsi1 atau terjadi suplus produksi yang per tahunnya
mencapai 40%–60% dari konsumsi.2 Kondisi surplus ini tidak berarti bahwa terjadi
penurunan harga sepanjang tahun di seluruh wilayah Indonesia. Jika terjadi
oversupply, harga akan turun di tingkat petani, tetapi dampaknya terhadap
konsumen akhir dipengaruhi oleh banyak hal.
1 Data konsumsi telah dibobotkan dengan estimasi kebutuhan industri yang menurut
berbagai sumber sekitar 25% dari total kebutuhan. Suplus yang lebih besar terjadi untuk
cabai rawit yang bisa mencapai 60%–80% per tahun
2Studi pendahuluan Renstra Kementan 2015–2019 menyatakan surplus sebesar 50%.
18
1,100,000 1,074,602
1,050,000
1,012,879
991,258.65 983,846.83
1,000,000
954,360
Ton
950,000
898,189.29
900,000
850,000
800,000
2012 2013 2014
Produksi Konsumsi
Gejolak harga cabai masih terus terjadi yang didorong oleh beberapa hal
berikut.
1. Pola produksi nasional memiliki karakteristik musiman yang kuat dan siklus
yang panjang (hampir satu tahun). Produksi menurun pada musim hujan, sekitar
bulan November–Februari (Grafik 2). Karakteristik itu juga terdapat pada
permintaan cabai merah, pada bulan-bulan tertentu, seperti hari raya, konsumsi
dapat meningkat 10%–20% jika dibandingkan dengan konsumsi normal. Adanya
perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi mendorong
ketidakstabilan harga, misalnya saat hari raya permintaan meningkat, tetapi
produksi menurun karena musim hujan. Dengan demikian, harga cabai
ditentukan oleh fundamental current production dan consumption yang bersifat
mingguan, bahkan harian.
2. Jarak produsen (sentra produksi) ke konsumen terutama ke kota-kota besar
sebagai sentra defisit (Gambar 3) terlalu jauh. Gangguan transportasi terjadi
ketika produksi menurun, terutama pada musim hujan, akan mendorong
kenaikan harga. Selain itu, cabai bersifat perishable sehingga penyimpanan
persediaan (stok) lebih sulit dilakukan untuk merespons kenaikan permintaan,
terutama permintaan cabai segar.
3. Permintaan industri yang cukup tinggi juga akan mengurangi kemampuan
produksi untuk menahan gejolak harga dari sisi konsumsi.
19
Cabai Merah
120,000 80,000
100,000 70,000
60,000
80,000 50,000
Ton
Rp
60,000 40,000
40,000 30,000
20,000
20,000 10,000
- 12 -
12
13
13
14
14
12
12
13
13
14
14
Jul
Jul
Jul
Apr
Okt
Apr
Okt
Apr
Okt
Jan
Jan
Jan
Produksi Konsumsi Harga
3Rata-rata
konsumsi per bulan diperoleh dari jumlah konsumsi per tahun dibagi 12. Hal itu
menjadikan grafik rata-rata konsumsi mendatar dalam satu tahun. Kebutuhan akan data
konsumsi per bulan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat penting untuk mampu
memprediksi lebih tepat kondisi surplus/defisit dalam satu bulan.
20
Kondisi surplus cabai juga terjadi pada provinsi wilayah klaster yang disurvei
(Gambar 3). Namun, jika diperinci berdasarkan jenis cabai, Sulawesi Utara
mengalami defisit cabai rawit (Grafik 3). Dari sisi konsumsi, konsumsi cabai per
kapita di Sumatera Barat jauh lebih tinggi (9kg/tahun/kapita) jika dibandingkan
dengan Jawa Timur (3,5kg/tahun/kapita). Akibatnya, peningkatan kebutuhan
konsumsi cabai di Sumatera Barat jauh lebih tinggi daripada Jawa Timur ketika
terjadi dampak musiman hari raya. Selain itu, produksi cabai dari kedua sentra
tersebut terserap juga oleh industri pengolahan makanan, baik industri besar (Jawa
Timur) maupun industri rumah tangga (Sumatera Barat).
21
35,000
30,000
25,000
20,000
Ton
15,000
10,000
5,000
-
Mar-12
Jul-12
Nov-12
Mar-13
Jul-13
Nov-13
Mar-14
Jul-14
Nov-14
May-12
May-13
May-14
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Jan-12
Jan-13
Jan-14
CR_Sumbar CR_Jatim CB_Sumbar CB_Jatim
Jumlah produksi cabai rawit Jawa Timur mencapai puncaknya pada April–
Juli dan mencapai titik terendah pada Desember–Februari, sedangkan produksi
terendah cabai besar Jawa Timur adalah pada bulan Juli–Januari dan meningkat
pada bulan Februari–Juni. Dengan pola seperti itu, Jawa Timur membutuhkan
program penanaman bulan Oktober–November untuk cabai rawit dan program
penanaman musim kemarau untuk cabai besar. Kedua program itu membutuhkan
program khusus/lanjutan berupa penanganan tanaman cabai merah dan rawit
dewasa pada bulan Desember dan Januari. Di lain pihak, Sumatera Barat lebih
fokus pada usaha intensifikasi dan ekstensifikasi.4
Terdapat perbedaan tata niaga cabai merah di Sumatera Barat dan Jawa
Timur. Dari penelusuran berbagai sumber diketahui bahwa 90% produksi cabai
merah Sumatera Barat dijual ke Riau, sedangkan pasokan untuk kebutuhan
4Produktivitas cabai sering menurun pada musim hujan karena banyaknya cabai yang
membusuk dan rentan terhadap serangan penyakit/virus.
22
Sumatera Barat sendiri diperoleh dari Provinsi Bengkulu, Jawa, Lampung, dan
Sumatera Utara. Selain adanya permintaan industri rumah tangga, faktor tata niaga
ini merupakan salah satu sebab terjadinya gejolak harga cabai di Sumatera Barat
yang merupakan sentra produksi cabai merah. Di lain pihak, sentra cabai merah di
Jawa Timur lebih memiliki permasalahan rendahnya harga di tingkat petani jika
musim panen raya. Hal itu menegaskan pentingnya pemasaran cabai merah hasil
produksi sentra Jawa Timur.5
Dari ketiga wilayah survei hanya Sulawesi Utara yang bukan merupakan
sentra produksi karena budi daya cabai belum dilakukan secara masif dan
sistematis. Di daerah ini konsumsi cabai rawit merah jauh lebih tinggi dibandingkan
konsumsi cabai merah (18:1) sehingga budi daya difokuskan pada cabai rawit
merah. Konsumsi cabai rawit merah di Sulawesi Utara meningkat tajam pada bulan
pengucapan syukur atau paskah (Juli–Agustus) dan hari raya Natal. Dengan kondisi
defisit per tahun yang relatif stabil sebesar 3%–7% atau 300–600 ton dari konsumsi
pada tahun 2012–2014, Sulawesi Utara masih bergantung pada wilayah lain
(Gorontalo6 dan Jawa Timur) untuk pemenuhan kebutuhan cabai, terutama ketika
konsumsi melonjak tajam.
Produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara stabil pada kisaran 9.000–9.500
ton pada tahun 2010–2013, tapi hanya mencapai 8.461 ton pada tahun 2013.
Penurunan itu terjadi akibat menurunnya luas tanam terutama di Kabupaten
Minahasa yang merupakan sentra produksi cabai rawit. Pada tahun 2014
pemerintah kabupaten Minahasa bersama BI menjalankan program Kabupaten Rica
atau Kabupaten Cabai yang berdampak pada meningkatnya luas tanam. Program
tersebut telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit merah Sulawesi Utara
sebesar 24,9 ton menjadi 8.486 ton pada tahun 2014. Kenaikan produksi tahun
2014 tersebut belum mampu mengantisipasi kenaikan kebutuhan konsumsi yang
mencapai 8.779 ton (10.974 ton dengan kebutuhan industri) atau naik 8,6% dari
tahun sebelumnya. Hal itu menyebabkan defisit sebesar 293 ton (2.488 ton dengan
kebutuhan industri) atau sebesar 22,7% dari kebutuhan konsumsi. Defisit tersebut
5 Sumatera Barat dan Jawa Timur sebagai sentra dan sumber cabai bagi daerah lain juga
memiliki permasalahan harga yang meningkat, terutama pada hari raya. Semakin banyak
terjadi arus informasi dan perdagangan antarwilayah akan mempengaruhi harga komoditas
di daerah sentra.
6 Beberapa sumber mengatakan bahwa cabai merah Gorontalo berasal dari Bolaang
Mongondow Selatan (Bolsel) yang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Utara.
Kedekatan geografis dengan Gorontalo menyebabkan tata niaga cabai kabupaten Bolsel lebih
terjalin dengan Gorontalo dibandingkan dengan kabupaten/kota di Sulawesi Utara.
23
akan menjadi sangat besar jika terjadi kenaikan konsumsi pada bulan-bulan
tertentu. Gejolak harga semakin sulit dikontrol dengan kenyataan bahwa produksi
cabai rawit merah di provinsi ini menurun pada bulan Oktober–Desember saat
kebutuhan meningkat (Grafik 5).
1,800
1,600
1,400
1,200
1,000
Ton
800
600
400
200
-
Mar-12
Jul-12
Nov-12
Mar-13
Jul-13
Nov-13
Mar-14
Jul-14
Nov-14
May-12
May-13
May-14
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Jan-12
Jan-13
Jan-14
Produksi Konsumsi
Meskipun secara nasional surplus cabai rawit lebih besar dari surplus cabai
yang bisa mencapai 60%–80%, pola penurunan produksi pada bulan Desember
merupakan pola umum nasional produksi cabai rawit (Grafik 6). Penurunan
produksi nasional itulah yang menjadi salah satu penyebab kenaikan harga yang
sangat tinggi di Sulawesi Utara hingga mencapai Rp150.000,00/kg pada Desember
2014. Dengan demikian, program penanaman bulan September–November dan
program khusus berupa penanganan tanaman cabai dewasa pada bulan Desember
dan Januari sangat krusial untuk dilakukan.
24
90,000
80,000
70,000
Ton
60,000
50,000
40,000
30,000
Nov-12
Nov-13
Nov-14
Mar-12
May-12
Jul-12
Mar-13
May-13
Jul-13
Mar-14
May-14
Jul-14
Sep-12
Sep-13
Sep-14
Jan-12
Jan-13
Jan-14
Produksi Konsumsi
1,400,000
1,233,984
1,200,000
964,221 1,010,773
1,000,000
755,162
800,000 705,584
Ton
629,690
600,000
400,000
200,000
-
2012 2013 2014
Produksi Konsumsi
7Konsumsi belum memasukkan kebutuhan industri oleh sebab tidak ada sumber informasi
yang valid mengenai berapa kebutuhan bawang untuk untuk industri.
25
Harga bawang relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan harga cabai
karena beberapa faktor berikut.
160,000 70,000
140,000 60,000
120,000
50,000
100,000
40,000
Ton
Rp
80,000
30,000
60,000
20,000
40,000
20,000 10,000
- -
12
13
14
12
12
12
13
13
13
14
14
14
12
13
14
12
13
14
Jul
Jul
Jul
Mar
Mei
Mar
Mei
Mar
Mei
Jan
Sep
Nov
Jan
Sep
Nov
Jan
Sep
Nov
8Dalam satu tahun terdapat dua siklus sedangkan cabai rawit hanya memiliki satu siklus
panjang dalam satu tahun.
26
Sumber: Kementan (diolah) dan BPS
Gambar 4. Peta Surplus dan Defisit Bawang Merah Nasional Tahun 2014
Dari ketiga wilayah survei (Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan
Tengah), hanya Jawa Barat yang mengalami surplus karena Kabupaten Cirebon
merupakan salah satu sentra produksi bawang merah nasional. Adapun Sumatera
Utara dan Kalimantan Tengah mengalami defisit yang menyebabkan harga relatif
tinggi. Misalnya, tahun 2014 produksi bawang merah Sumatera Utara dan
Kalimantan Tengah berturut-turut hanya 21% dan 1% dari kebutuhan konsumsi.
Dengan defisit produksi terhadap konsumsi yang mencapai hampir 80% dan 100%,
27
inflasi bawang merah di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah teratasi oleh
meningkatnya produksi bawang merah nasional.
28
dipertimbangkan di wilayah itu adalah kompetisi penggunaan lahan produk
pertanian untuk bawang merah dan cabai merah.
29
Tabel 3. (lanjutan)
Keterangan Klaster
Diawali oleh modal pribadi anggota kelompok,
selanjutnya modal usaha kelompok diambil dari
sisa kas yang diperuntukkan untuk modal usaha
Sumber Modal
pada musim tanam/tahun berikutnya, fasilitasi
kegiatan SLPHT dan demplot tanaman cabai
berbentuk bantuan sarana produksi.
Status/Tanggal Akhir
Program sedang berjalan, berakhir Desember 2016
Program
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
Cabai, Pelatihan Penguatan
Kelembagaan/Kelompok, Demonstrasi Plot
Kegiatan Pendampingan
(Demplot) Tanaman Cabai (0,5 – 1 ha), Kunjungan
Belajar Ke Laboratorium Hama Penyakit dan Klinik
PHT (BPTHP) di Bukittinggi.
Kecamatan Sepuluh Koto merupakan daerah yang subur dan cukup sumber
air. Hal itu menyebabkan klaster BI dapat melakukan penanaman sepanjang tahun
dengan masa tanam selama 6 bulan dan masa panen adalah 20 minggu atau 5
bulan. Kegiatan pada tahun pertama yang dilakukan adalah memberikan
pendampingan dan pengetahuan budi daya, seperti penggunaan teknologi dan
penggunaan yang tepat atas pestisida atau pupuk buatan. Saat ini sedang dibuat
demplot tambahan seluas 1 hektare dan sebelumnya sudah dilakukan SLPHT seluas
0,5 hektare.
Dengan produksi mencapai 20 ton per tahun, klaster ini hanya mampu
meningkatkan surplus sebesar 0,09%. Terdapat surplus sebesar 21.617 ton untuk
provinsi serta 8.769 ton untuk Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 2014
Kabupaten Tanah Datar telah berhasil meningkatkan produksi cabai sebesar 79 ton
atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 436 ton dari 8.333 ton menjadi
8.769 ton sehingga efektivitas Kabupaten Tanah Datar secara keseluruhan adalah
sebesar 0,09%.
30
1. Belum terbentuknya kelembagaan seperti koperasi sehingga kelompok tani
hanya bertindak sebagai penerima harga/price taker dari pengepul.
2. Perubahan cara budi daya cabai dari nonorganik menjadi organik menjadi beban
anggota kelompok karena memerlukan usaha yang lebih besar. Saat ini masih
belum dapat diketahui hasil dari perubahan cara budi daya organik karena
belum diakukan pemanenan dari lahan demplot.
3. Peran pemerintah daerah khususnya kabupaten masih kurang sehingga
pengembangan klaster cabai masih belum berjalan secara optimal.
Dalam penelitian ini analisis pasokan dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu
produksi, replikasi, dan sustainability, sedangkan stabilitas harga juga
dikelompokkan dalam tiga proses, yaitu permintaan antara, permintaan akhir, dan
konektivitas. Semua proses memiliki konsistensi yang tinggi sehingga hasil AHP dari
proses ini layak untuk diambil simpulan (Grafik 10).
Produksi Replikasi
31
Permintaan Akhir Konektivitas
32
4.2.2 Klaster Cabai Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur
Setiap tahun Koperasi Lestari memasok 1.500 ton cabai ke PT Heinz ABC
yang dipasok oleh 125 mitra koperasi. Setiap petani akan memiliki kontrak dengan
jumlah dan masa tanam (bulan) yang berbeda serta harga yang sudah disepakati
dengan PT Heinz ABC. Beberapa keuntungan yang diperoleh petani melalui
kemitraan dengan Koperasi Lestari ialah (1) petani mitra akan mendapatkan
pinjaman dalam bentuk bibit dan saprodi yang dibayar pada saat panen; (2) harga
yang ditawarkan besarnya di atas biaya produksi (Rp8.000,00 per kg). Apabila
terjadi penurunan hargai cabai, PT Heinz ABC tetap akan membeli dengan harga
yang disepakati. Namun, jika harga pasar lebih tinggi dari harga kontrak, PT Heinz
ABC akan memberikan kenaikan harga sebesar 50% dari selisih harga pasar dan
harga kontrak.
33
Pada tahun 2014 dilakukan operasi pasar cabai oleh Dinas Perdagangan
yaitu pada saat terjadi kenaikan harga cabai hingga Rp30.000,00. Koperasi Lestari
diminta untuk berperan serta dalam operasi pasar tersebut dengan memasok 2 truk
yang tiap-tiap truk berisi 5 ton (total 10 ton) dengan harga jual Rp10.000,00 per kg.
Dampak adanya cabai murah yang masuk pasar secara tidak langsung menurunkan
harga cabai di Pasar Tanjung Jember.
Pada bulan Agustus tahun 2015 dilakukan gerakan tanam cabai di musim
kemarau (GTCK) yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian dan didukung oleh BI.
Untuk gerakan ini KPw BI Jember memberikan bantuan lahan seluas 1 hektare,
tetapi karena ingin berdampak lebih besar, koperasi sebagai pengelola klaster BI
melakukan penambahan lahan sebanyak 14 hektare sehingga menjadi 15 hektare.
Kendala terbesar dalam pelaksanaan GTCK adalah ketersediaan sumber air. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dilakukan dengan menggunakan pompa untuk
mengairi lahan cabai. Biaya yang dihabiskan hingga panen pertama sebesar
Rp5.900,00 per batang, sangat besar jika dibandingkan biaya produksi satu musim
tanam pada umumnya (musim normal) sebesar Rp6.000,00 per batang.
1. Penurunan harga yang sangat signifikan terjadi pada saat pasokan cabai
melimpah.
2. Untuk melakukan penanaman cabai dibutuhkan modal yang cukup besar
sehingga membutuhkan sumber dana dari pihak luar. Sebagai ilustrasi
dibutuhkan biaya 100 juta rupiah untuk 1 hektare luas lahan tanam.
Berdasarkan hasil AHP pada klaster ini, faktor terpenting dalam proses
produksi adalah skill dan teknologi. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
organisasi klaster, modal sosial, dukungan stakeholders, entreprenuership, dan
akses pembiayaan. Kekuatan organisasi klaster di Jember menjadi faktor replikasi
yang utama karena jalinan dengan industri sudah cukup lama terjalin.
Di sisi lain, akses dan perluasan pasar serta modal sosial dan jaringan
menjadi faktor utama dalam keberlanjutan pertanian klaster. Untuk klaster ini,
permintaan akhir yang terpenting adalah keberadaan industri untuk jaminan pasar,
34
sedangkan untuk konektivitas, akses informasi merupakan faktor terpenting untuk
memperoleh informasi harga ataupun hubungan dengan seluruh mitra koperasi.
Produksi Replikasi
Inconsistency : 0,02
Inconsistency : 0,05
35
Tabel 6.Hasil SWOT Klaster Cabai Jember
STRENGTH WEAKNESS
Ketersediaan input Sistem informasi manajemen klaster
Manajemen klaster Manajemen klaster
Pemasaran Modal sosial
OPPORTUNITY THREAT
Faktor demografis Faktor geografis
Sistem informasi manajemen klaster Faktor kompetitif
Kedekatan dengan pemasok Akses pasar
36
Bantuan BI kepada klaster berupa penyediaan saprodi dan permodalan,
bahkan pada awalnya BI menyediakan pembiayaan keseluruhan proses produksi.
Untuk penyediaan saprodi dilakukan oleh Pemda melalui PT Gunung Mas Agro
Lestari. Pengembangan klaster diawali dengan membuat demplot dengan luas 1
hektare yang dikerjakan oleh satu kelompok tani yang terdiri atas rata-rata 10
petani. Rata-rata produksi setiap demplot adalah 1 ton per tahun. Produksi cabai
rawit untuk keseluruhan demplot cabai rawit (termasuk 10 hektare demplot dari
Pemda) adalah sebanyak 15 ton.
Dengan produksi sebesar 15 ton per tahun dan defisit sebesar 2.488 ton per
tahun, klaster BI hanya menutup defisit sebesar 0,60%. Karena Kabupaten
Minahasa telah berhasil meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 130 ton pada
tahun 2014 atau meningkatkan surplus kabupaten sebesar 319 ton dari 354 ton
menjadi 673 ton, program Kabupaten Cabai telah berhasil mengurangi defisit
produksi cabai rawit Kabupaten Minahasa sebesar 12,82%. Peran klaster BI dalam
kestabilan harga masih sangat minim karena masih tingginya gejolak harga
terutama pada bulan Desember tahun 2014. Kestabilan harga tidak hanya
dipengaruhi oleh peningkatan produksi, tetapi juga oleh penyelarasan antara pola
tanam dan faktor musiman konsumsi masyarakat.
1. Peran klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai cenderung
disebabkan oleh adanya bantuan atau insentif BI dalam pembuatan demplot.
2. Jumlah anggota kelompok tani yang terlibat dalam demplot seluas 1 hektare
pada umumnya berjumlah 10 petani. Jumlah tersebut tidak efisien karena
mendorong terjadinya freerider sehingga pengembangan klaster menjadi tidak
optimal.
3. Upaya melakukan replikasi budi daya cabai masih kurang atau gagal terbentuk.
Hal itu disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam satu demplot (1
hektare) sehingga keuntungan atau hasil per petani sangat kecil. Hal tersebut
belum mendorong petani melakukan replikasi budi daya cabai.
4. Adanya indikasi kelompok tani yang tidak berada dalam satu kawasan
menyebabkan sulitnya koordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
37
Hasil AHP dan SWOT
Hasil kajian AHP (Grafik 12) menunjukkan bahwa seluruh proses memiliki
konsistensi yang tinggi, kecuali permintaan akhir. Oleh karena itu, hasil AHP dari
proses ini tidak valid untuk diambil simpulan. Untuk proses produksi, faktor
terpenting adalah teknologi dan keahlian. Teknologi yang dibutuhkan adalah
handtractor dan pompa air/embung. Adapun kemampuan replikasi ditentukan oleh
modal sosial, organisasi klaster, dukungan stakeholders, dan akses pembiayaan. BI
sebaiknya mampu memanfaatkan modal sosial petani (mapalus), yaitu budaya
gotong royong masyarakat Minahasa untuk melakukan replikasi klaster. Di sisi lain,
akses dan perluasan pasar serta penanganan pascapanen menjadi faktor utama
dalam keberlanjutan klaster.
Produksi Replikasi
38
Tabel 8. Hasil SWOT Klaster Cabai Minahasa
STRENGTH WEAKNESS
Modal sosial Produksi/operasi
Ketersediaan input Penelitian dan pengembangan
Budaya kewirausahaan Keuangan/akuntansi
OPPORTUNITY THREAT
Kedekatan dengan pemasok Infrastruktur
Peran stakeholder Akses pasar
Akses informasi Faktor kompetitif
39
Pematang Siantar bekerja sama dengan BPTP Sumatera Utara melakukan studi
mengenai pendampingan petani bawang merah dengan membentuk klaster. Setelah
pengujian laboratorium terhadap beberapa jenis bibit bawang merah, diketahui jenis
bawang merah maja merupakan yang paling cocok untuk struktur tanah dari
kawasan ini.
40
Meskipun mengalami peningkatan produksi, defisit bawang merah Sumatera
Utara sebesar 39.781 ton pada tahun 2014 menyebabkan produksi klaster hanya
menutupi defisit sebesar 0,06%. Selain itu, produksi bawang merah di Kabupaten
Simalungun sendiri juga mengalami defisit pada tahun tersebut.
Hasil perhitungan dari kuesioner AHP dan SWOT yang dilakukan di daerah
survei klaster bawang merah menunjukkan bahwa, dari sisi produksi, teknologi dan
skill merupakan hal paling penting bagi kelancaran proses produksi di klaster
bawang merah Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi obat
tanaman yang secara berkala diberikan ke area pertanian. Kemampuan budi daya
tanaman juga merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan produksi.
Produksi Replikasi
41
Sustainability Permintaan Antara
Dari segi pemasaran, untuk permintaan akhir, akses pasar menjadi penting
karena di Sumatera Utara terdapat sentra terminal agribisnis (STA) yang menjadi
tempat berkumpulnya semua hasil pertanian dari berbagai daerah. Dari STA ini
pedagang-pedagang kecil akan mengambil komoditas untuk dijual di pasar-pasar
konsumsi. Peran pedagang pengepul yang mengumpulkan hasil tanaman dari petani
untuk dibawa ke STA merupakan hal yang sangat penting dalam kelancaran
distribusi.
42
pasar yang cukup besar di Sumatera Utara (dilihat dari konsumsinya). Hal tersebut
menjadi motivasi yang besar bagi petani untuk terus berproduksi.
Dari analisis SWOT ditemukan bahwa yang menjadi kekuatan dari internal
klaster bawang merah Kabupaten Simalungun adalah modal sosial yang kuat, input,
dan kemampuan bertani dari anggota klaster. Semangat dan motivasi yang kuat dari
anggota klaster yang didukung dengan faktor historis dari Kecamatan Haranggaol
Horisan menjadi modal awal yang baik bagi berkembangnya klaster. Ketersediaan
input sangat baik dan berasal dari luar klaster, yaitu dari daerah Aipopo. Saat ini
klaster sedang mengembangkan benih bawang merah.
Kelemahan yang ada dalam klaster, antara lain, adalah (i) masih kurangnya
budaya kewirausahaan serta belum memiliki sistem informasi yang memadai; dan
(ii) belum adanya gudang yang layak untuk menyimpan dan mengeringkan bawang
merah sehingga bawang lebih cepat bertunas dan tidak dapat dijual untuk
konsumsi.
43
klaster ini lebih kompetitif jika dibandingkan dengan tanaman lain di klaster yang
sama atau hasil bawang merah dari klaster lain.
Program Klaster BI belum bersifat masif dan masih bersifat pilot project.
Kegiatan yang dilakukan BI KPw Cirebon, antara lain, adalah pengembangan
kapasitas dan peningkatan pendapatan dan petani. Pengembangan klaster bawang
merah oleh BI mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Majalengka. Saat
ini, selain pengembangan kawasan pertanian bawang merah, pemerintah
Kabupaten Majalengka ingin masuk ke pasar terstruktur, mengembangkan produk
turunan bawang merah, serta mengatur pola tanam yang lebih baik.
44
Tabel 11. (lanjutan)
Keterangan Klaster
Luas Lahan Total: 30 hektare (dari 3 orang yang mengelola)
Dataran rendah: 12–15 ton/ha
Produktivitas
Dataran tinggi: 8–10 ton/ha
Pemasaran (Lokal,
Antar Kabupaten- Lokal, antar kabupaten dan provinsi
Provinsi, dll)
Sumber Modal Swadaya dan bantuan saprodi dari stakeholder
Status/Tanggal Akhir Program masih berjalan hingga saat ini, akan diadakan
Program program Brigade
Kegiatan Pelatihan budi daya, pelatihan pengembangan produk
Pendampingan turunan
Lahan yang dikelola klaster bawang merah sebesar 30 hektare dan berasal
dari lahan 3 kelompok. Kegiatan klaster BI mampu meningkatkan produktivitas
atau sumber daya manusia sehingga menginspirasi Pemda Kabupaten Majalengka
melakukan kegiatan pengembangan klaster bawang merah. Untuk menunjang
kegiatan klaster bawang merah, petani klaster telah membentuk koperasi yang
dimanfaatkan untuk melakukan simpan pinjam dan memberikan fasilitas bibit jika
petani kesulitan mencari bibit. Namun, untuk kepentingan keamanan, saat ini
koperasi masih meminta jaminan untuk pinjaman.
45
Untuk keberlangsungan usaha, perlu dikembangkan akses dan perluasan
pasar. Penanganan pascapanen lebih dibutuhkan oleh klaster bawang merah
Kabupaten Majalengka di dataran tinggi karena hanya kendaraan tertentu saja yang
dapat menjangkau klaster.
Produksi Replikasi
46
Permintaan Akhir Konektivitas
Berdasarkan hasil SWOT, faktor produksi, ketersediaan input, dan faktor lain
merupakan kekuatan klaster yang paling utama, sedangkan akses pasar,
manajemen klaster, dan sisi keuangan masih terbilang lemah sehingga kriteria itu
harus ditingkatkan kembali. Tantangan besar yang harus dihadapi adalah akses
informasi, pembelian, faktor kompetitif, dan sosial budaya. Keunggulan Kabupaten
Majalengka adalah memiliki faktor geografis yang terdiri atas dua dataran sehingga
penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan faktor ekonomi
dan kedekatan dengan pemasok.
47
belum masuk ke pasar-pasar di Kota Palangkaraya dan Kalimantan Tengah. Selama
ini, Kalimantan Tengah mengalami defisit produksi bawang merah yang cukup
besar. Kebutuhan konsumsi akan bawang merah di Kalimantan Tengah dikirim dari
Bima (NTB), Brebes (Jawa Barat), dan Probolinggo (Jawa Timur).
48
11,1% pada tahun 2014. Dengan demikian, keberadaan klaster yang ada saat ini
belum mampu untuk menutup defisit produksi bawang merah.
Hasil analisis hierarki proses (Grafik 15) sejalan dengan hasil wawancara
mendalam kepada masing-masing pihak. Pada proses produksi, klaster di Kota
Palangkaraya sangat membutuhkan keahlian dan kemampuan dalam budi daya
bawang merah, mulai dari penanaman hingga panen. Waktu dua tahun sejak
diperkenalkannya bawang merah kepada petani dirasakan masih belum cukup
untuk menguasai budi daya bawang merah sehingga belum mampu menangani
permasalahan secara cepat jika terjadi serangan hama dan penyakit. Teknologi
pengolahan lahan seperti penggemburan tanah masih menggunakan cangkul
sehingga hasilnya tidak optimal. Di samping itu, tidak adanya saluran irigasi
memaksa petani menggunakan sumur bor dan pompa sehingga membutuhkan
biaya lebih mahal.
Pada permintaan antara, petani lebih memilih untuk dapat langsung menjual
hasil panennya ke pedagang/pengepul daripada ke pedagang besar atau tengkulak.
Hal itu disebabkan petani belum memiliki akses ke pedagang besar. Sementara itu,
49
jika dijual kepada tengkulak, harga bawang merah akan dipermainkan atau
ditentukan sepenuhnya oleh tengkulak.
Produksi Replikasi
Penanganan Pasca
Panen 0.435 Pengepul/Pedagang 0.506
Modal Sosial dan
Networking 0.192
Akses dan Perluasan Pedagang Besar/Pasar
Pasar 0.178 Induk 0.384
50
Berdasarkan hasil analisis SWOT pada Tabel 14, terlihat masih banyak
kelemahan yang harus diperbaiki dalam kegiatan pengembangan klaster bawang
merah di Kota Palangkaraya, seperti manajemen klaster, modal sosial, dan
produksi/budi daya. Hal itu disebabkan usaha budi daya bawang merah merupakan
sesuatu yang baru dalam dunia pertanian Kalimantan Tengah sehingga harus
didukung dari segala arah untuk menunjang proses kegiatan produksi bawang
merah.
Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi adalah akses pasar karena
bawang merah produksi Kalimantan Tengah belum banyak dikenal. Tantangan
lainnya ialah kurangnya akses informasi dan adanya faktor sosio-demo-geografis
yang belum mendukung. Peran stakeholder yang baik dari berbagai pihak di
Kalimantan Tengah diharapkan akan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang
ada.
CABAI
51
Lokasi pengepul adalah di Pasar Padang Luar dengan jumlah pengepul yang
sejenis sebanyak delapan orang. Jumlah barang yang dikirim berkisar 2–5 ton per
hari. Setiap hari sebanyak 40–50 orang petani menjual cabai kepada pengepul,
tetapi saat sepi hanya sekitar 25 orang petani per hari. Untuk komoditas cabai,
setiap 50 kg cabai yang diterima akan mengalami susut 1–2 kg yang disebabkan
faktor fisik (cabai patah/jelek). Harga cabai yang diterima dari petani umumnya
bagus hingga panen ke-8, setelah itu pengepul akan memberikan harga lebih rendah
karena kualitas setelah panen ke-8 lebih rendah.
52
2. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Kabupaten Jember
Petani Mitra Koperasi Industri (PT Heinz ABC)
3. Jalur Pemasaran di Klaster Cabai Rawit Kabupaten Minahasa
Petani Pengumpul/Pedagang Besar Pengecer Konsumen
BAWANG MERAH
53
1. PD Medal Rahayu
a. Pasar Induk Caringin dengan permintaan 10 ton/hari
b. Supermarket dengan permintaan 7 ton/minggu
2. MJ Sukasari Kaler
Bawang merah yang ada di Kota Palangkaraya berasal dari Bima, NTB, dan
Brebes. Bawang tersebut masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Selatan (Trisakti),
lalu dikirim ke Palangkaraya melalui jalur darat dan langsung masuk ke pasar besar
di Palangkaraya. Pasar besar di Palangkaraya memiliki tiga orang pengepul besar
yang mendistribusikan bawang merah ke pedagang kecil untuk dijajakan kepada
konsumen. Pengepul memiliki koneksi dengan pengirim bawang merah, sebagian
merupakan keluarganya sendiri.
54
a. Petani Palangkaraya Dinas Pertanian
b. Petani Bima, Brebes Pengumpul Kecil Pengumpul Besar Pengepul
Palangkaraya Pengecer Konsumen
Data estimasi produksi komoditas cabai rawit, cabai besar, cabai total, dan
bawang merah berdasarkan metode dekomposisi dapat dilihat pada Grafik 16,
Grafik 17, dan Grafik 18. Kebutuhan klaster untuk menambah produksi ketika
produksi mengalami musim yang menurun atau di bawah trend.
Cabai Rawit
160,000
150,000
140,000
Ton
130,000
120,000
110,000
100,000
Nov-16
Jan-16
Feb-16
Dec-16
Mar-16
Jun-16
Jul-16
Aug-16
Oct-16
Apr-16
May-16
Sep-16
Pada tahun 2016 klaster harus menambah produksi cabai rawit sebanyak
70.816 ton yang tersebar pada bulan Januari–April dan September–Desember.
Kebutuhan terbesar adalah pada bulan Desember, Januari, dan Februari yang
masing-masing membutuhkan sekitar 15.000 ton (estimasi produksi di bawah garis
trend).
55
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Jan 14.789
Feb 14.907
Mar 9.958
Apr 2.473
Sep 1.788
Okt 5.844
Nov 6.005
Des 15.052
Total 70.816
Cabai Besar
210,000
200,000
190,000
Ton
180,000
170,000
160,000
150,000
56
tahun 2016. Secara total dibutuhkan pasokan cabai sebesar 167.041 ton, yaitu
70.816 ton untuk cabai rawit dan 96.225 ton untuk cabai besar. Estimasi
kebutuhan terbesar berada pada bulan Januari (23.465 ton), November (31.548 ton),
dan Desember (41.778 ton).
Bawang Merah
310,000
290,000
270,000
250,000
Ton
230,000
210,000
190,000
170,000
150,000
Jan-16
Feb-16
Mar-16
Jun-16
Dec-16
Jul-16
Aug-16
Oct-16
Nov-16
May-16
Apr-16
Sep-16
Untuk komoditas bawang merah pada tahun 2016 klaster harus menambah
produksi bawang merah sebanyak 350.623 ton yang tersebar pada bulan Februari–
Mei dan September–Desember. Kebutuhan terbesar bawang merah adalah pada
bulan Februari–Maret dan November–Desember.
57
Tabel 18. Kebutuhan Pasokan Bawang Merah Tahun 2016
Bulan Tambahan Produksi (Ton)
Feb 40.047
Mar 51.240
Apr 24.597
Mei 22.603
Sep 4.029
Okt 110
Nov 61.622
Des 36.704
Total 350.842
58
peningkatan produksi dapat mencapai 1,5 kali lipat dari produksi
normal. Berdasarkan tabel di atas, empat klaster memiliki nilai efektivitas positif
yang berarti memberikan kontribusi terhadap surplus dan mengurangi defisit, yaitu
(i) Klaster Cabai Tanah Datar, (ii) Klaster Cabai Jember, (iii) Klaster Cabai Minahasa,
dan (iv) Klaster Bawang Merah Majalengka. Sementara itu, dua klaster lainnya
masih bernilai negatif, yaitu klaster Bawang Merah Simalungun dan Klaster Bawang
Merah Palangkaraya. Penyebab nilai negatif tiap-tiap klaster tersebut adalah
berkurangnya produksi bawang merah di Kabupaten Simalungun dan peningkatan
konsumsi yang tinggi di Kota Palangkaraya.
59
V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan
Permintaan cabai memiliki karakteristik musiman yang kuat, dalam arti pada
bulan-bulan tertentu seperti hari raya, konsumsi dapat meningkat 10%–20% jika
dibandingkan dengan konsumsi normal. Pola produksi nasional juga memiliki
karakteristik musiman yang kuat dan siklus yang panjang (hampir satu tahun),
tetapi produksi menurun pada musim hujan, yaitu sekitar bulan November–
Februari. Perbedaan faktor musiman pada permintaan dan produksi semakin
mendorong ketidakstabilan harga. Gejolak harga juga dipengaruhi oleh distribusi
sentra produksi yang berbeda dengan distribusi pusat konsumsi, yaitu kota-kota
besar. Di sisi lain, sifat perishable cabai merah serta preferensi konsumsi terhadap
cabai segar menyebabkan sulit memanfaatkan kondisi surplus pada tingkat
nasional untuk stabilitas harga di daerah pusat konsumsi.
60
Dari hasil AHP dapat disimpulkan beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan klaster dalam mempengaruhi pasokan, yaitu (1) produksi yang
ditunjang oleh skill yang baik dan penguasaan teknologi dalam pengolahan atau
budi daya; (2) replikasi yang dilakukan melalui organisasi klaster yang baik
(misalnya koperasi) serta modal sosial yang kuat di dalam klaster atau kelompok
(nilai-nilai gotong royong, rasa kebersamaan, dan kepemilikan bersama); (3)
sustainability dengan memfasilitasi akses dan perluasan pasar untuk menyerap
hasil produksi, modal sosial, serta networking yang dimiliki klaster; (4) permintaan
antara dengan menjalin kerja sama dengan pengepul lokal; (5) permintaan akhir
dapat dilakukan melalui kerja sama dengan industri berdasarkan kontrak untuk
menjamin harga dan kepastian pasar; dan (6) konektivitas melalui penyediaan
informasi terkait harga, akses permodalan, serta kualitas dan ketersediaan
infrastruktur (jalan, listrik, dan saluran irigasi).
61
5.2 Rekomendasi
62
Adapun rekomendasi untuk mendorong kestabilan harga bawang merah
antara lain adalah:
1. memperbaiki tata niaga dan jalur distribusi agar lebih efisien dan terjaga;
2. mendorong terjalinnya kerjasama antar provinsi sentra produksi dengan provinsi
sentra konsumsi yang bertujuan menyelaraskan pasokan dan permintaan untuk
kestabilan harga; dan
3. memasok dari daerah lain secara terkendali dan sesuai kebutuhan.
Dalam melakukan penguatan peran klaster secara umum, upaya yang dapat
dilakukan antara lain adalah:
63
DAFTAR REFERENSI
64
Lampiran 1
Klaster Komoditas Karakteristik Produksi Kebutuhan Vs. Produksi Pasokan: Prod - EX + IM Harga Konsumen
Kabupaten Cabai Sentra Surplus Surplus Surplus Rp 10.000,-
Jember Merah
Besar Industri besar Ekpor ke Jakarta dan Turun jika panen raya
lainnya
65
Lampiran 2. Deskripsi Wilayah
Kecamatan Sepuluh Koto merupakan sentra pertanian cabai merah dengan luas
lahan 1.027 hektare dan produksi 6.054 ton (2013), setara dengan 55% produksi cabai
merah di Kabupaten Tanah Datar. Telah terjadi peningkatan produksi sebesar 4% atau
397 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi Kabupaten Tanah Datar terhadap
total produksi Sumatera Barat adalah sebesar 17%. Petani di wilayah itu telah turun-
temurun bertani cabai sehingga secara skill bertani sudah dianggap mumpuni.
2. Kabupaten Jember
Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra cabai di Jawa Timur yang
menyumbang 13% dari total produksi seluruh Jawa Timur. Jawa Timur sendiri
berkontribusi terhadap produksi cabai nasional sebesar 18%. Pada tahun 2013 terjadi
penurunan produksi cabai di Jawa Timur sebesar 4% dan penurunan hingga 50% di
Jember yang diakibatkan faktor cuaca ekstrim yang berdampak terhadap gagal panen.
Pada tahun 2014 kondisi produksi kembali meningkat yang berdampak pada surplus
hingga 37.000 ton.
Klaster cabai di Jember dikelola oleh Koperasi Hortikultura Lestari yang berdiri
pada tahun 2011. Sebelum terbentuk menjadi koperasi, Koperasi Lestari masih
berbentuk kelompok usaha yang menjadi subpemasok ke PT Heinz ABC hingga tahun
9 Konsumsi di sini adalah konsumsi rumah tangga atau belum memasukkan kebutuhan
industri dan benih. Kebutuhan konsumsi di luar rumah tangga diestimasi sebesar 20 persen
dari kebutuhan rumah tangga sehingga estimasi kebutuhan total adalah 1,25 x konsumsi
rumah tangga.
66
2011. Untuk bisa memasok secara langsung ke PT Heinz ABC, kelompok tersebut
harus berbentuk lembaga resmi.
3. Kabupaten Minahasa
Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit bagi Provinsi Sulawesi
Utara dengan kontribusi mencapai 25% dari total produksi. Kabupaten Minahasa
mengalami surplus produksi cabai hampir mencapai 673 ton sehingga menjadikan
kabupaten tersebut strategis dalam pemenuhan kebutuhan cabai rawit di Sulawesi
Utara. Produksi cabai Kabupaten Minahasa pada tahun 2014 meningkat sebesar 130
ton atau sekitar 9,5% dari tahun sebelumnya. Hal itu mengindikasikan adanya
keberhasilan dengan ditetapkannya Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
meskipun hasil produksi tersebut belum optimal. Pemilihan Kabupaten Minahasa
sebagai lokasi klaster Bank Indonesia sudah sangat tepat jika bertujuan untuk
meningkatkan produksi. Penanaman cabai rawit sudah biasa dilakukan masyarakat
Kabupaten Minahasa pada level rumah tangga, tetapi usaha bertani cabai hanya
dilakukan oleh sebagian masyarakat.
67
4. Kabupaten Simalungun
5. Kabupaten Majalengka
Kondisi geografis lahan di Kabupaten Majalengka terdiri dari dua wilayah, yakni
wilayah dataran rendah dan tinggi. Kondisi itu memungkinkan Kabupaten Majalengka
dapat melakukan budi daya bawang merah sepanjang tahun. Penanaman bawang
merah di dataran tinggi memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan
penanaman di dataran rendah, mulai dari biaya input, perawatan, hingga pascapanen.
Sementara itu, dari sisi produktivitas, hasil panen yang telah dicapai dataran rendah
sebesar 12–15 ton/hektare dan dataran tinggi sebesar 8–10 ton/hektare.
68
Provinsi Jawa Barat 2012–2014
Produksi (Ton) Konsumsi
Tahun
Jawa Barat Majalengka Jawa Barat
2012 115.896 1.805 102.743
2013 115.585 1.467 76.875
2014 130.082 1.547 90.057
Sumber: Susenas, BPS, dan Pusat Data Pertanian Kementrian Pertanian
6. Kota Palangkaraya
69
Simpulan
70
Klaster Cabai Kabupaten Jember
1. Cara bertani di Kabupaten Jember sudah terstruktur dengan baik. Hal itu terlihat
dengan pemilik lahan/modal bertindak sebagai manajer dan menyerahkan semua
urusan teknis pekerjaan kepada tenaga kerja yang dibayar harian. Kepemimpinan
dan manajerial yang baik dan andal dibutuhkan untuk mengelola sistem seperti ini.
2. Pendampingan BI telah berdampak pada peningkatan produktivitas, yaitu dari 0,8
kg per batang menjadi 1,5–2 kg per batang. Dampak itu juga dirasakan para petani
nonklaster yang lahannya berdampingan dengan lahan petani klaster.
3. Pada tahun 2013 terjadi kemarau basah, yaitu hujan sepanjang tahun yang
berdampak pada anjloknya produksi cabai di Kabupaten Jember hingga 50%.
4. Klaster dapat mempengaruhi harga melalui operasi pasar dengan menjual cabai di
bawah harga pasaran yaitu sebesar Rp10.000,00 dari harga normal Rp28.000,00
s.d. Rp30.000,00.
5. Besarnya modal awal dalam bertani cabai memerlukan modal yang cukup besar.
Hal itu tentu diperlukan akses keuangan dengan bunga yang rendah.
6. Jika melihat produksi klaster Kabupaten Jember 13% dari total produksi Jawa
Timur, perubahan pasokan yang drastis cukup mempengaruhi produksi cabai di
Jawa Timur, bahkan hingga ke daerah lain.
7. Setiap tahunnya Koperasi Lestari melakukan kontrak kerja sama dengan PT Heinz
ABC sebanyak 1.500 ton yang dibagi dalam 12 bulan. Setiap bulan Koperasi Lestari
harus dapat memenuhi pasokan sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati.
8. Harga kontrak antara Koperasi Lestari dan PT Heinz ABC selalu di atas harga
produksi.
9. Adanya anggota kelompok yang tidak berkomitmen menyebabkan koperasi pada
tahun 2015 tidak dapat lagi memasok cabai kepada PT Indofood. Anggota koperasi
yang bermitra memilih menjual hasil panennya di pasar yang memiliki harga lebih
tinggi.
10. Wadah koperasi diperlukan untuk mendapatkan akses kerja sama dengan
perusahaan. Organisasi koperasi yang terbentuk tidak murni karena yang bermitra
dengan koperasi tidak diwajibkan menjadi anggota.
71
11. Dari analisis menggunakan AHP, kekuatan organisasi klaster di Kabupaten Jember
menjadi faktor replikasi yang utama karena kerja sama dengan industri yang sudah
cukup lama terjalin. Berbeda dengan klaster lainnya, permintaan akhir yang
terpenting dalam klaster ini adalah keberadaan industri karena seluruh hasil
produksi dijual ke industri.
12. Analisis SWOT menyimpulkan bahwa ketersediaan input menjadi kekuatan klaster
paling dominan, sedangkan kelemahan klaster adalah pada produksi. Di lain pihak
faktor demografis (tenaga kerja) menjadi peluang paling nyata bagi pengembangan
klaster. Faktor geografis dan kompetisi penggunaan lahan serta akses pasar masih
menjadi ancaman bagi petani klaster.
1. Jenis petani di Kabupaten Minahasa terdiri atas petani merpati (PSPB), petani
pedati, dan petani sejati.
2. Kabupaten Minahasa menjadi sentra produksi cabai rawit di Sulawesi Utara dan
telah ditetapkan menjadi Kabupaten Rica pada tahun 2014 yang telah berhasil
meningkatkan produksi cabai rawit meskipun belum optimal.
3. Kemampuan klaster BI dalam mendorong petani untuk budi daya cabai lebih
disebabkan oleh adanya insentif swadaya BI dalam pembuatan demplot.
4. Insentif replikasi berupa keuntungan budi daya cabai masih kurang atau gagal
terbentuk. Hal itu antara lain disebabkan terlalu banyak petani yang terlibat dalam
satu demplot (satu hektare) sehingga hasil/petani boleh dibilang sangat kecil.
5. Jumlah 10 petani per hektare per demplot sangat tidak efisien dan mendorong
terjadinya free rider. Hal itu disebabkan target kepada kelompok tani yang
umumnya beranggotakan 10 petani.
6. Adanya indikasi kelompok tani tidak berada dalam satu kawasan menyebabkan
sulitnya berkoordinasi dalam pengembangan klaster/demplot.
7. Terdapat indikasi petani PSPB dan/atau petani merpati dalam klaster BI dan
program pertanian lainnya.
8. Dari penelusuran hasil AHP, selain skill, teknologi adalah hal yang paling penting
dalam pengembangan produktivitas klaster ini, terutama hand tractor dan pompa
72
air/embung. Dalam proses replikasi, modal sosial menjadi hal terpenting dari
klaster ini.
9. Setelah dilakukan analisis SWOT ditemukan bahwa modal sosial dan ketersediaan
input menjadi kekuatan klaster paling dominan, sedangkan kelemahan utama
klaster adalah pada produksi. Di lain pihak, kedekatan dengan pemasok menjadi
peluang paling nyata bagi pengembangan klaster. Sementara di sisi lain,
infrastruktur dan ketiadaan akses pasar masih menjadi ancaman bagi petani
klaster.
73
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
74
Klaster Bawang Merah Kota Palangkaraya
1. Budi daya bawang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dan BPTP sejak tahun
2012. Sebelum tahun 2012 produksi bawang merah di Kalimantan Tengah belum
ada.
2. Selama ini bawang merah yang ada di Kalimantan Tengah berasal dari Bima (NTB),
Brebes (Jawa Tengah), dan Probolinggo (Jawa Timur).
3. Di Kota Palangkaraya belum terbentuk klaster seperti yang ada di Kabupaten
Majalengka, yang ada masih berbentuk demplot-demplot.
4. Harga cenderung stabil pada kisaran Rp20.000,00 s.d. Rp30.000,00.
5. Produksi yang berjalan di Kota Palangkaraya masih berjalan dengan adanya
bantuan dari dinas, benih diberikan, dan hasilnya dijual kepada dinas.
6. Bawang merah untuk konsumsi belum masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota
Palangkaraya.
7. Sudah ada roadmap pengembangan bawang merah 2016–2020 yang merupakan
hasil kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dan dinas-dinas terkait.
8. Produksi bawang merah di Kota Palangkaraya belum mencukupi untuk konsumsi
(defisit). Hal itu disebabkan peningkatan produksi tidak dapat mengimbangi
peningkatan konsumsi bawang merah.
9. Skill dan teknologi merupakah hal yang penting terkait dengan produktivitas. Skill
petani di Palangkaraya masih tertinggal jauh daripada petani di Jawa dan
penggunaan teknologi pun masih sangat sederhana. Dalam hal replikasi, dukungan
stakeholders masih sangat diperlukan, terutama dalam proses kegiatan produksi
dalam demplot.
10. Banyak hal yang masih harus diperbaiki, seperti manajemen klaster karena bawang
merah memang menjadi sesuatu yang baru dalam dunia pertanian di Kalimantan
Tengah. Tantangan atau ancaman besar yang dihadapi petani bawang merah di
Palangkaraya adalah akses pasar.
Rekomendasi
Kabupaten Tanah Datar sebagai salah satu sentra cabai merah di Sumatera
Barat memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan dan
harga. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk klaster tersebut, yaitu
75
(1) meningkatkan kualitas produksi dengan menggunakan pestisida yang tepat (jenis
dan dosis);
(2) meningkatkan kelembagaan klaster menjadi lembaga formal, seperti koperasi, agar
dapat mempermudah akses dengan stakeholders terkait;
(3) menggunakan teknik penanganan pascapanen dan diversifikasi produk olahan;.
(4) mengurangi ketergantungan kepada pihak pengepul dengan membuka akses
pasar ke pihak/daerah lain;
(5) memperluas akses informasi pasar, misalnya, dengan mendirikan stasiun
agribisnis;
(6) mengatur masa tanam dengan daerah lain agar tercipta stabilitas harga dan
pasokan;
(7) membentuk wadah untuk melakukan koordinasi antarpetani dalam satu provinsi;
(8) meningkatkan peran dan fungsi dari PPL;
(9) membuka akses keuangan dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang
mudah, seperti KKPE yang sangat membantu petani dengan suku bunga rendah;
(10) meningkatkan kemampuan pengelolaan administrasi keuangan kelompok; dan
(11) mengembalikan kesuburan tanah yang mulai jenuh dengan menggunakan
teknologi yang tepat (organik).
Kabupaten Jember sebagai salah satu sentra cabai merah di Jatim memiliki
peranan strategis dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga cabai di Jawa Timur,
bahkan hingga Jakarta dan Kalimantan. Berikut ini merupakan rekomendasi untuk
klaster tersebut, yaitu
(1) memerlukan perbaikan aspek administrasi keuangan klaster ke arah yang lebih
modern dengan menggunakan aplikasi/software akuntansi;
(2) memerlukan pendampingan secara berkelanjutan, antara lain, untuk mengatasi
permasalahan dan penerapan teknologi;
(3) memerlukan akses kredit/pembiayaan yang sesuai dengan pola/siklus budi daya
cabai, misalnya angsurannya dapat dibayar setelah panen;
(4) meningkatkan koordinasi antar-stakeholders guna terciptanya sinkronisasi dalam
pemberian bantuan;
(5) memerlukan akses informasi harga; dan
76
(6) memerlukan teknologi modern untuk menghasilkan cabai yang lebih
menguntungkan dibandingkan hasil produksi komoditas lain.
Kabupaten Minahasa dapat dikatakan belum optimal dalam produksi cabai rawit
dan dalam mendorong kestabilan harga terutama pada bulan Desember. Rekomendasi
untuk optimalisasi klaster BI dan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten Cabai
adalah sebagai berikut.
1. Perbaikan targeting petani klaster dan penerima bantuan pemerintah kepada petani
sejati atau minimal petani pedati.
2. Pre-program harus dimulai dengan membarui (updating) dan memverifikasi data:
membandingkan data BP4K dan sumber data lainnya, misal data swasta.
3. Jika updating data kelompok tani tidak dimungkinkan, program pertanian tidak
ditujukan kepada kelompok tani, tetapi kepada petani kawasan dengan jumlah 3
petani/hektare yang mencakup 10 hektare atau 30 petani.
4. Jika ingin mendorong pasokan dan kestabilan harga, yang lebih potensial dilakukan
BI adalah membantu ketersediaan pompa dan embung di kabupaten sentra
produksi kepada petani sejati.
5. Subsidi modal dan teknologi tetap dibutuhkan dan dengan konsep kawasan,
efisiensi dana klaster bisa ditingkatkan, misalnya untuk penyediaan satu hand
tractor untuk 10 hektare lahan atau 3 kelompok tani kawasan.
6. Kontrak secara profesional, terutama dengan pihak swasta untuk penyediaan
saprodi.
7. Bank Indonesia harus mendorong penyediaan data, terutama kebutuhan konsumsi
per bulan khususnya data kebutuhan konsumsi pada bulan Juli–Agustus dan
Desember. Dengan data ini dapat direncanakan program atau rencana antisipasi
sebelum terjadi gejolak harga.
8. Perlu dilakukan koordinasi dan kerja sama dengan sentra cabai rawit, terutama
Brebes dan sentra lainnya di Jawa Timur selain dengan Gorontalo.
9. Kesan sosial dalam program klaster harus diminimalkan oleh pimpinan Bank
Indonesia di daerah dan pusat sehingga tujuan klaster lebih tegas dan terstruktur,
yaitu untuk meningkatkan pasokan dan kestabilan harga.
77
10. Kesejahteraan petani yang lebih besar harus diupayakan dengan jalan mendorong
akses petani ke pasar tradisional dan pasar lainnya, salah satunya dengan
membentuk toko tani.
11. Bank Indonesia sebaiknya mampu memanfaatkan mapalus sebagai modal sosial
petani Minahasa sebab mapalus merupakan bentuk budaya gotong royong
masyarakat Minahasa. Hal itu merupakan pemanfaatan jalur adat tradisional dalam
usaha mereplikasi klaster Bank Indonesia.
12. Akses pasar atau toko tani dapat menjadi solusi bagi kelemahan dan ancaman
terhadap pasokan dan stabilitas harga, baik untuk petani maupun untuk
masyarakat pada umumnya di Kabupaten Minahasa.
1. Dukungan yang kuat dari segi infrastruktur, yaitu berupa jalan sangat dibutuhkan
karena berpengaruh pada konektivitas klaster dengan pasar (koordinasi pemerintah
daerah).
2. Klaster membutuhkan penanganan pascapanen yang baik agar dapat menyimpan
bawang merah yang dihasilkan sehingga tidak mudah busuk.
3. Informasi harga yang berkembang di pasar sangat dibutuhkan sehingga tidak
merugikan petani.
4. Modal sosial yang baik (kelembagaan yang kuat) sebaiknya diwadahi dengan
koperasi agar menguntungkan, baik dari segi pemasaran hasil maupun penyediaan
input.
5. Komunikasi intensif antar-stakeholder yang terlibat dalam pengembangan bawang
merah di Kabupaten Simalungun serta koordinasi agar program-program
pengembangannya lebih terarah dan tepat sasaran sangat dibutuhkan.
6. Klaster membutuhkan teknologi obat tanaman yang secara berkala diberikan ke
area pertanian, selain juga pengembangkan wawasan yang bersifat ilmiah seperti
alokasi pupuk.
7. Meskipun ketersediaan input di klaster ini di-supply dengan baik dari daerah lain,
untuk kemandirian ke depannya dibutuhkan pengembangan bibit. Selain itu,
diperlukan juga pengembangan sistem informasi untuk menunjang modal sosial
yang sudah baik.
78
Klaster Bawang Merah Kabupaten Majalengka
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses produksi bawang merah di
lahan berpasir dan gambut.
2. Pengenalan lebih luas kepada petani apakah itu klaster, bagaimana kegiatannya,
dan apa saja yang dilakukan.
3. Pemberian pemahaman untuk mengubah pola pikir para petani agar tidak bertani
pada saat ada bantuan saja. Penumbuhan kesadaran dan pembangunan modal
sosial yang tinggi agar mampu membuat bawang merah menjadi komoditas yang
utama serta meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan petani.
4. Perlu adanya bantuan dalam pengolahan lahan, seperti cultivator dan spryer karena
semua kegiatan pengolahan lahan masih dilakukan secara manual.
5. Pemaksimalan tugas dan fungsi PPL dalam memberikan penyuluhan.
6. Petani lebih menginginkan kegiatan pelatihan yang langsung di lapangan, tidak
hanya sekadar pelatihan dalam bentuk seminar atau lokakarya (workshop).
7. Roadmap yang telah dibuat harus dilaksanakan dengan baik.
79
8. Jika bawang merah sudah tumbuh pesat di Kalimantan Tengah, langkah
selanjutnya adalah perluasan ke pasar-pasar. Selama ini bawang merah yang
tersedia di pasar merupakan kiriman dari daerah lain dan strukturnya sudah
terbentuk sejak lama. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana bawang merah
yang diproduksi lokal dapat masuk ke pasar-pasar tanpa terjadi perselisihan antara
pemain besar pemasok bawang merah dari luar daerah.
9. Pendampingan yang intensif dari klaster ini sangat dibutuhkan karena masih
berupa klaster awal, terutama pendampingan dalam pengembangan teknologi.
10. Perluasan akses pasar karena selama ini klaster lebih banyak memenuhi
permintaan dari dinas saja.
80