Anda di halaman 1dari 15

PSIKOLOGI USIA LANJUT / GERONTOLOGI

MAKALAH DEATH AND DYING

Dosen Pengampu: Devi Rusli, S. Psi

Disusun Oleh :

Jihad Al Ghazali (17011098)


Dwi Shalsabila (18011136)
Rahayu Intan Dinata (18011182)

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah telah
memberikan rahmat dan anugrah sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah yang
berjudul "Death and Dying" tepat waktu. Tidak lupa pula Shalawat beserta salam
kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah kepada zaman yang berilmu pengetahuan sampai saat sekarang
ini.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi usia Lanjut
yang diampu oleh Ibu Devi Rusli, S. Psi Selain itu kami juga mengharapkan agar
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kami sangat menerima kritik dan saran agar makalah ini lebih baik lagi.

Padang, 20 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................


ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................
4
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................................
4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................
4
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................................
4

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................


6
2.1 Pengertian death and dying……………………………………………………5
2.2 Tahap-tahap Menjelang Kematian……………………………………………… 6
2.3 Menghadapi Kondisi menuju Kematian………………………………………… 8
2.4 Berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat…………………………………9
2.5 Fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita…………12

BAB III PENUTUP....................................................................................................................


13
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................................
13
3.2 Saran ....................................................................................................................................
13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................


14
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan manusia yang
dianggap sebagai seseorang yang mengalami berbagai penurunan fungsi
kehidupannya. Proses menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu
peristiwa yang akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang dan
berlangsung secara terus menerus.
Mati dan proses kematian merupakan kondisi yang terkait erat dengan masa tua
dan proses penuaan. Lebih dari itu, mati dan proses kematian menjadi masalah sosial,
karena pemahaman yang kurang mengenai hal itu dengan penelitian yang juga kurang
dan belum ada teknologi yang mampu memperhitungkan mati dan proses kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan death and dying?
2. Apa sajaTahap-tahap Menjelang Kematian ?
3. Bagaimana Menghadapi Kondisi menuju Kematian ?
4. Bagaimana berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat ?
5. Bagaimana fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui death and dying
2. Untuk mengetahui tahap-tahap Menjelang Kematian
3. Untuk mengetahui menghadapi Kondisi menuju Kematian
4. Untuk memahami berhadapan dengan kematian dan situasi sekara
5. Untuk memahami fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka
cita

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Death danDying


Mati dan proses kematian merupakan kondisi yang terkait erat dengan masa
tua dan proses penuaan. Lebih dari itu, mati dan proses kematian menjadi masalah
sosial, karena pemahaman yang kurang mengenai hal itu dengan penelitian yang juga
kurang dan belum ada teknologi yang mampu memperhitungkan mati dan proses
kematian. Pada abad ke-15, kematian dilihat sebagai suatu hinaan terhadap
kehidupan. Ketika memasuki abad pencerahan, kematian dipandang sebagai akhir dari
kehidupan dan awal dari keabadiaan. Dalam era borjuis, pandangan mereka terhadap
kematian menyebabkan kematian merupakan suatu kondisi yang dapat dicegah
dengan perawatan dokter. Kemudian pada abad ke-19, kematian dianggap sebagai
proses yang alamiah, di mana para dokter berusaha untuk mencegah pasien dari
kematian. Dapat disimpulkan bahwa tahapan tersebut telah mengubah persepsi
mengenai kematian di masyarakat, dari kejadian yang alamiah menjadi kekuatan
alamiah yang memerlukan penanganan medis dan menelan biaya.
Definisi tentang kematian pun tidak memiliki kepastian. Dalam hal ini
terdapat juga usaha untuk menegaskan mengenai definisi kematian dengan adanya
pengajuan oleh dua lembaga medis, yaitu berupa The Harvard Plan dan Kansas
Statute. Namun setidaknya kematian didefinisikan sebagai terhentinya fungsi-fungsi
organis dan aliran darah dalam tubuh.
Sekarat (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian,
yang memilikibebagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian (death)
merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah, serta hilangnya
respon otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan paru secara
menetap atau terhentinya kerja otak secaramenetap(Hidayat, 2006).
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan manusia yang
dianggap sebagai seseorang yang mengalami berbagai penurunan fungsi
kehidupannya. Proses menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu
peristiwa yang akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang dan
berlangsung secara terus menerus (Nugroho, 2008).
Menurut Papalia (2002) Mereka yang berhasil mencapai kebijaksanaan yang
dapat membuat mereka menerima apa yang telah dilakukan dalam hidupnya dan
diharapkan lansia telah siap menghadapi kematian. Lansia yang siap menghadapi
kematian telah mengatasi rasa cemas maupun takutnya pada kematian, mereka
sadar bahwa kematian pasti datang pada yang hidup (Backer, 1982).
Kehilangan kehidupan atau kematian merupakan penghentian secara permanen
semua fungsi tubuh yang vital atau akhir dari kehidupan manusia (Stanley, M. &
Beare, 2007). Peningkatan kesadaran mengenai kematian timbul saat individu
beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa menengah, yang
menandakan bahwa usia paruh baya merupakan saat orang dewasa mulai berpikir
lebih jauh mengenai berapa waktu yang tersisa dalam hidup mereka (Irfani, 2008)
Lansia memiliki persepsi yang berbeda-beda ketika menghadapi kematian
(Harapan, 2014). Kesiapan lansia saat menjelang kematian dipengaruhi oleh beberapa
aspek, yaitu aspek psikologis, sosial, fisik dan spiritual (Meiner, 2006).

2.2 Tahap-tahap Menjelang Kematian menurut Elisabeth Kübler-Ross


Elisabeth Kübler-Ross seorang dokter dan ahli tentang kematian yang lahir di
Swiss pada tahun 1926 telah melakukan penelitian yang luas menyangkut latar
belakang usia, agama, asal-usul, warna kulit dan mendalam tentang proses menjelang
kematian. Ia melakukan wawancara dengan lebih dari dua ratus orang yang
mengalami terminal illness untuk mengetahui pengalaman menjelang kematian.
Dalam buku On Death and Dying, Elisabeth Kübler-Ross menyebutkan ada lima
tahap tanggapan manusia pada saat menjelang kematian, dan terjadinya berurutan
dari tahap satu ke tahap berikutnya mulai dari sikap penyangkalan, isolasi,
kemarahan, tawar menawar, depresi hingga penerimaan.

1. Tahap Penyangkalan dan Isolasi


Tanggapan pertama ketika memperoleh informasi tentang penyakitnya yang tidak
tersembuhkan adalah penyangkalan diri. Pasien menolak berita buruk mengenai
kesehatannya, meragukan keakuratan hasil laboratorium, pemeriksaan dokter dan
pemahaman atas data-data tentang dirinya. Penyangkalan ini mendorongnya untuk
mencari ahli lain yang dipandang lebih mampu dengan harapan ada kesimpulan yang
berbeda. Penyangkalan disertai dengan kecemasan yang tinggi juga dapat terjadi jika
penyampaian informasi tidak memperhitungkan kesiapan pasien. Menurut Elisabeth
Kübler-Ross, tahap penyangkalan juga menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri
yang sifatnya sementara, karena sesungguhnya pasien belum sepenuhnya mampu
menerima kematiannya. Sikap berdiam atau menutup diri juga mungkin muncul
karena pasien kehilangan kepercayaan kepada pihak-pihak yang telah merawatnya.

2. Tahap Kemarahan
Bila pada tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat mengubah apa-apa
lagi, maka muncullah perasaan marah. Pada tahap kemarahan ini, pasien berubah
menjadi tidak bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk kepada dokter,
perawat, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, pasien
mudah curiga dan tersinggung ketika ada yang berkunjung untuk menjenguknya. Apa
pun yang dikerjakan bagi dirinya dianggap salah dan negatif.

3. Tahap Tawar Menawar


Menurut Elisabeth Kbüler-Ross, tawar-menawar merupakan suatu usaha untuk
menunda kematian. Bila pasien sudah menyadari tidak mampu lagi menghindari
kenyataan yang sangat menyedihkan dan sikap marah tidak bisa mengubah keadaan,
ia akan mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu perjanjian yang dapat
menunda kematiannya dan berupaya untuk memperpanjang hidupnya. Keinginan-
keinginan yang berbentuk perjanjian ini dilakukan karena memiliki rasa bersalah
karena memiliki konflik relasi dengan orang lain atau tidak melakukan hal-hal baik
dalam hidup sebelumnya.
Perasaan bersalah ini perlu diatasi sehingga proses tawar-menawar tidak
berkepanjangan. Pasien seperti layaknya seorang anak kecil yang memiliki pandangan
kalau ia berbuat baik akan mendapatkan imbalan. Dalam hal ini imbalan yang
diharapkan adalah penundaan kematian yang akan didapatkan kalau melakukan
kebaikan-kebaikan, misalnya ikut kegiatan sosial, menyumbangkan organ tubuh, dan
aktif dalam kegiatan rohani. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, proses tawar-menawar
ini berlangsung hanya singkat, dan hampir semua pasien melakukannya secara pribadi
kepada Tuhan.

4. Tahap Depresi
Elisabeth Kübler-Ross menyebutkan setelah tahap kemarahan akan muncul dua
jenis depresi yaitu depresi reaktif dan depresi preparatory (persiapan). Pada jenis
depresi reaktif, pasien sudah mengalami peristiwa kehilangan, misalnya pekerjaan,
penghasilan dan harta benda yang harus digunakan untuk biaya perawatan, demikian
juga organ tubuh yang diangkat, sehingga merasa menjadi manusia yang tidak
sempurna. Pada tahap ini pasien banyak mengungkapkan beban-bebannya dan
memerlukan interaksi secara verbal.
Dalam kondisi depresi persiapan, pasien sedang dalam proses kehilangan yang
tidak dapat dielakkan, misalnya kehilangan keluarga dan sahabat yang dicintainya.
Pada tahap ini, pasien membatasi minatnya pada orang lain dengan segala
masalahnya, berharap bertemu dengan sesedikit mungkin orang dan melewati masa
dukacitanya dengan diam-diam. Komunikasi yang terjadi lebih banyak secara
nonverbal. Pasien membutuhkan sentuhan tangan, usapan rambut atau sekedar
duduk bersama walau dalam situasi diam. Depresi akan berlangsung seiring dengan
melemahnya fisik.

5. Tahap Penerimaan
Hasil penelitian Elisabeth Kübler-Ross menunjukkan bahwa pada tahap
penerimaan terjadi kelelahan sehingga membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak.
Seseorang yang berada pada tahap ini akan merenungkan akhir hidupnya dengan
pengharapan tertentu, ia enggan diajak berbicara, dan tidak ingin memikirkan berita
berita dari luar. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, tahap penerimaan perlu dibedakan
dengan kebahagiaan. Pada saat itu terjadi kehampaan perasaan dan rasa sakit sudah
mulai mereda. Pergumulan melawan rasa sakit tersebut juga sudah berhenti, dan
pasien memasuki istirahat terakhir sebelum melakukan perjalanan panjang
berikutnya. Pasien sudah menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal. Seperti
pada tahap depresi, komunikasi lebih banyak dilakukan secara non verbal dengan
genggaman tangan dan duduk mendampingi sebagai suatu pesan bahwa ia merasa
ada teman sampai akhir hidupnya.

2.3 Menghadapi Kondisi menuju Kematian


Untuk membantu seseorang yang tengah menghadapi kondisi menuju kematian,
terdapat enam cara yang diajukan oleh Pattison(1969).
a. Pertama, upayakan untuk berbagi dengan orang yang mengalami kondisi tersebut
guna mengurangi kegelisahan dan kebingungannya menghadapi kondisi tersebut.
b. Kedua, menjelaskan secara spesifik mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi
dalam kehidupannya.
c. Ketiga, Dampingi orang tersebut dalam melepas peran yang selama ini melekat
pada dirinya dalam kehidupan, dengan memberikan pemahaman yang baik bahwa
hubungan dengan segala sesuatu yang ada didunia akan terlepas.
d. Keempat, usahakan untuk mengurangi beban fisik dan psikologis yang dialaminya
dengan tidak membuatnya merasa rendah diri.
e. Kelima, Bantu orang tersebut untuk membesarkan hatinya dalam menerima situasi
akhir dari kehidupannya dengan segala keutuhan jiwa dan martabat.
f. Keenam pelihara hubungan sosial dengan orang-orang lingkungan sekitarnya yang
bermanfaat dan mampu membantu bagi kondisi orang tersebut dalam menghadapi
kondisi menuju kematiannya

2.4 Berhadapan dengan kematian dan situasi sekarat : Kesadaran akan situasi
sekarat
Dalam memahami proses sekarat seorang pasien maka sebelumnya kita harus
menyadari situasi sekarat itu dahulu. Kubler-Ross yang meneliti tentang keadaan
sekarat yang dialami pasien heran dengan sikap personil atau pegawai rumah sakit
yang seakan enggan mengidentifikasi pasien yang sekarat. Kubler-Ross melakukan
penelitian tersebut karena pada saat itu setengah dari orang Amerika meninggal di
rumah sakit, berbagai konteks mengenai kesadaran akan keadaan sekarat dan
kematian menjadi hal yang penting dalam memahami keseluruhan isu tersebut. Para
personil rumah sakit melihat keadaan sekarat dan kematian sebagai hal yang dapat
sangat mengganggu atau mengacaukan setting sosial yang dibuat order. Personil
rumah sakit memanipulasi situasi sosial untuk meminimalisasi gangguan terhadap
situasi sosial yang telah order seperti keadaan sekarat pasien dan kematian.

Dalam buku Awareness of Dying Glaser dan Strauss (1996) mengidentifikasi


adanya 4 tipe keadaan kesadaran rumah sakit terhadap keadaan sekarat dan kematian
pasien yaitu : Closed awareness, suspected awareness, mutual pretense awareness dan
open awareness. Keadaan yang saling mempengaruhi antara pasien dan personil
rumah sakit tergantung pada konteks kesadaran terhadap situasi serta cepat dan
lambatnya kesadaran terhadap situasi sekarat tersebut.

1. Closed Awareness
Situasi closed awareness terjadi apabila personil rumah sakit menyadari bahwa si
pasien dalam keadaan sekarat namun pasien itu sendiri tidak menyadari. Glaser dan
strauss mengidentifikasikan 5 faktor yang menyebabkan terjadinya close awareness
yaitu : pertama, kebanyakan pasien tidak memiliki pengalaman dalam mengenali
tanda-tanda sekarat sehingga dirinya tidak menyadari sedang menjelang ajal; kedua,
para psikiater juga biasanya tidak memberitahukan samasekali pada pasien atau
keluarganya bahwa pasien bahwa ia sedang menjelang ajal untuk menghindari
guncangan emosional; ketiga, Keluarga mengetahui bahwa pasien dalam keadaan
sekarat namun tidak diberitahukan pada pasien agar tidak membuatnya sedih;
keempat adanya struktur rumah sakit yang membuat informasi medis dalam bentuk
dokumen dan pengetahuan yang dimiliki staff tidak dapat diakses oleh pasien; kelima,
pasien yang sekarat tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu informasi apakah
dirinya sekarat atau tidak. Terdapat beberapa keuntungan dari keadaanclosed
awareness ini yaitu psiakiater tidak perlu mendiskusikan tentang proses kematian
dengan pasien, kedua trauma emosional terhadap kematian dapat dihindarkan, serta
pasien dapat bertahan menghadapi tahap yang membuatnya menderita dalam proses
sekarat dan menjelang ajal.

2. Suspected awareness
Konteks suspected awareness terjadi saat si pasien mencurigai dirinya bahwa ia
sekarat dan tidak yakin namun para personil rumah sakit juga mengetahui dan yakin
bahwa si pasien dalam keadaan sekarat. Dalam konteks ini si pasien yang sekarat
berusaha menggambarkan informasi dan keadaan yang dialaminya dengan
kemampuan yang dimilikinya namun pasien dan personil rumah sakit akan
menghindari permintaan atau keinginan si pasien untuk mengetahui informasi tentang
penyakit atau apa yang dialami pasien agar tidak membuat emosional pasien
terguncang sehingga ia bisa dapat bertahan dalam menghadapi situasi sekarat tersebut.

3. Mutual pretense
Dalam mutual pretense, antara staff rumah sakit dan pasien sama sama menyadari
bahwa si pasien dalam keadaan sekarat dan akan menjelang ajal. Namun si pasien
akan cenderung menghindari untuk membicarakannya dan staff rumah sakit
memposisikan dirinya untuk tidak membahas hal tersebut dengan pasien walaupun si
pasien meminta untuk mendiskusikan atau menanyakannya. Dengan kata lain konteks
mutual pretense ini pengetahuan tentang si pasien yang akan menjelang ajal diikuti
dengan panghindaran diskusi untuk mencegah terjadinya kesedihan bagi si pasien.

4. Open awareness
Pada situasi ini Pasien yang sekarat dan staff rumah sakit sama-sama mengetahui
bahwa si pasien sekarat dan akan menjelang ajal serta menyatakan secara terbuka
situasi tersebut. Staff rumah sakit berusaha untuk membuat hari-hari terkahir si pasien
senyaman mungkin dan tidak mengalami kesakitan da si pasien berusaha menghadapi
ajalnya dengan tanggung jawab dan harga diri. Deggan kata lain dalam konteks ini
pasien dan personil rumah sakit saling bekerja sama dan mendukung agar si pasien
dapat menghadapi masa sekaratnya.
Konteks kesadaran terhadap situasi sekarat dan kematian yang diidentifikasi oleh
Glaser dan strauss berdasarkan pada setting sosial (termasuk interaksi sosial) dan
kontrol informasi mengenai pasien yang sekarat di rumah sakit. Pada konteks closed
awareness, setting sosial tertutup dan informasi mengenai keadaan pasien tidak
diberitahukan pada pasien sedangkan sebaliknya pada open awareness setting sosial
terbuka dan adanya pemberian informasi pada pasien. Dengan kata lain konteks
kesadaran yang berbeda merepresentasikan cara yang berbeda dalam mengatur
pengalaman keadaan sekarat yang dialami oleh pasien, disaat kondisi sekarat mulai
dirasakan oleh pasien lalu pasien dan personil rumah sakit mulai berinteraksi maka
konteks kesadaran yang tadinya berada dalam situasi yang tertutup berubah menjadi
lebih terbuka.Namun bagi beberapa orang keadaan yang tertutup akan membuatnya
lebih mudaj untuk menghadapi kondisi sekarat dan kematian. Konteks kesadaran
terhadap sistuasi sekarat dan menghadapi kematian menjadi penting karena adanya
peningkatan fakta bahwa orang Amerika meninggal karena keadaan kronis membuat
mereka membutuhkan hospitalisasi untuk memperpanjang waktu hidup mereka.
Olehh karena itu terjadi peningkatan keadaan sekarat yang dialami oleh pasien di
rumah sakit. Dengan memanipulasi setting sosial dan mengendalikan arus informasi
yang ada, personil rumah sakit dapat memilih konteks kesadaran yang dianggap
paling membuat pasien nyaman dan sesuai dengan keadaan pasien.
Pendekatan konteks kesadaran yang diidentifikasi oleh Glaser dan Strauss mirip
dengan tahap proses sekarat yang dijelaskan oleh Kubler Ross. Pertama 4 macam
konteks kesadaran hanya sesuai dengan saat pasien tersebut sadar dan berada di
rumah sakit pada periode yang memungkinkan sebelum ia meninggal, hal tersebut
membuat pasien yang dalam keadaan tidak sadar/koma tidak sesuai dengan konteks
ini. Kedua konteks kesadaran tersebut hanya dapat diaplikasikan apabila staff rumah
sakit mengatur informasi atau pengetahuan tentang kondisi sekarat yang dialami
pasien serta terakhir para pasien yang diteliti oleh Glaser dan strauss merupakan
pasien dengan status sosial ekonomi diatas rata-rata dan membayar sendiri biaya
perawatannya. Hal tersebut menempatkan para pasien yang sekarat tersebut lebih
memiliki posisi yang lebih menguntungkankarena dapat bernegosiasi dengan staff
rumah sakit untuk mendapatkan informasi dan hasilnya mereka menjadi tidak tipikal.
Dengan kata lain Glasser dan Strauss menggambarkan bahwa keadaan sekarat dan
kematian dilihat sebagai proses yang disruptive atau menganggu oleh personil rumah
sakit yang mengatur setting sosial dan arus informasi dalam rangka meminimalisasi
gangguan terhadap setting sosial yang dibuat order.

2.5 fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita
Menurut Dr. Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiatri dari Swiss, Ada lima fase
yang dilalui seseorang akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman
dekat yaitu shock, denial, anger, mourning dan recovery.
1. Shock (Terkejut)
Perasaan terkejut dan tidak percaya dengan kabar yang didengar. Dalam diri bilang
“Tidak”, ini tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.
2. Denial (Penyangkalan)
Individu merasa kematian hanyalah mimpi buruk saja, dan bukan merupakan suatu
kenyataan. Menurut Kubler-Ross, kata „meninggal‟ merupakan suatu kata yang
memperhalus kata „mati‟ sebagai produk dari budaya masyarakat yang menyangkal
kematian.
3. Anger (Kemarahan)
Individu tidak terima dengan kematian dan mulai menyalahkan semua pihak yang
menyebabkan itu terjadi. Individu bahkan cenderung menyalahkan Tuhan (Ini adalah
reaksi wajar bagi orang orang yang mengakui adanya Tuhan yang Maha Kuasa), juga
menyalahkan situasi dan orang lain, dokter dan tim medis, ambulan yang tidak
tersedia dan rumah sakit.
4. Mourning (Berkabung)
Menurut Kubler-Ross, Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa
berlangsung dalam beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan depresi,
rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa pemicu yang jelas
bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan bisa termanifestasi dalam penyakit fisik
ringan.
5. Recovery (Pemulihan)
Menurut beberapa orang, kematian tidak bisa dipulihkan karena kematian telah
mengubah hidup mereka selamanya dan tidak bisa mengembalikan situasi kembali
seperti sebelumnya. Namun demikian rasa sakit akibat kematian akan berkurang
seiring dengan berjalannya waktu.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sekarat (dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian,
yang memilikibebagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian (death)
merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah, serta hilangnya
respon otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan paru secara
menetap atau terhentinya kerja otak secaramenetap(Hidayat, 2006).

3.2 Saran
Sangat banyak kekurangan dalam makalah ini, kami berharap pembaca
memperoleh ilmu, dan dapat menjadi pembelajaran pula bagi penulis untuk lebih baik
dalam penulisan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University


Press. Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D.,2008. Psikologi Perkembangan
edisi kesembilan. Jakarta: Kencana Prenada media group.

Pratiwi, F. M., Fahmi, I., & Supenawinata, A. (2018). Makna Kematian pada Wanita
Lanjut Usia yang Melajang. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(2), 241-252.

Naftali, A. R., Ranimpi, Y. Y., & Anwar, M. A. (2017). Kesehatan spiritual dan
kesiapan lansia dalam menghadapi kematian. Buletin Psikologi, 25(2), 124-135.

Harapan, P., Sabrian, F., & Utomo, W. (2014). Studi fenomenologi persepsi lansia
dalam mempersiapkan diri menghadapi kematian (Doctoral dissertation, Riau
University).

Anda mungkin juga menyukai