Anda di halaman 1dari 8

1.

Konsep dan Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan dalam


Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Untuk dapat memahami konsep Pendidikan Kewarganegaraan dapat dikaji


dengan menggunakan konsep etimologis, yuridis, dan teoritis. Konsep PKn secara
etimologis dilakukan dengan cara menganalisis “PKn” kata perkata. PKn dibentuk
oleh dua kata yaitu “pendidikan” dan “kewarganegaraan”. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia pendidikan berarti, proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran, dan pelatihan. Definisi pendidikan juga terdapat dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga
peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”. Sedangkan definisi kewarganegaraan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah hal yang berhubungan dengan warga: keanggotaan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa PKn adalah program pendidikan yang membina para pelajar
agar menjadi warga negara yang baik sehingga mampu hidup bersama-sama
dalam masyarakat, baik sebagai anggota keluaraga, masyarakat, maupun sebagai
warga negara.

Selanjutnya konsep PKn secara yuridis, terdapat dalam Undang-Undang RI


No. 12 Tahun 2006 yang berbunyi “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal
yang berhubungan dengan warga negara”. Pendidikan kewarganegaraan bertujuan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air (Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37).
Selain itu juga terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Pembukaan alinea kedua
tentang cita-cita mengisi kemerdekaan dan alinea keempat khusus tentang tujuan
negara, yaitu keamanan dan kesejahteraan, Selanjutnya terdapat pada Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa.

Konsep PKn yang terakhir yaitu secara teoritis menurut para ahli. Banyak
pendapat yang mengemukakan pendapatnya mengenai pendidikan
kewarganegaraan, diantaranya: M. Nu’man Soemantri (2011), Abdul Azis Wahab
dan Sapriya (2011), Winarno (2013) dan lain lain. Menurut M. Nu’man Soemantri
(2011), berpendapat bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah program
pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-
sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan, sekolah,
masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa
berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan
hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Abdul
Azis Wahab dan Sapriya (2011) menyatakan bahwa istilah civics dan pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia sudah mulai dikenalkan dalam kurikulum sekolah
sejak tahun 1968 sebagai upaya untuk menyiapkan warga negara menjadi warga
negara yang baik, yaitu warga negara yang mengetahui hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya. Secara teoritik pendidikan kewarganegaraan merupakan perluasan
dari mata pelajaran civics dan lebih menekankan pada pendidikan orang dewasa
dan lebih beriorentasi pada praktik kewarganegaraan. Dengan kata lain pada
dasarnya Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan politik. Pendidikan
Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia
yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari
pelajar sebagai individu anggota masyarkat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Selanjutnya yaitu urgensi Pendidikan Kewarganegaraan. Tujuan pendidikan


kewarganegaraan pada umumnya untuk membentuk warga negara yang baik
(good citizen). Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 37 Ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat pendidikan kewarganegaraan. Demikian pula pada
ayat (2) huruf b menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat
pendidikan kewarganegaraan. Bahkan dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang
Pendidik Tinggi lebih eksplisit dan tegas dengan menyatakan nama mata kuliah
kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib. Mata kuliah kewarganegaraan adalah
pendidikan yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika
untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta terhadap tanah air.

Apabila kita mencermati pasal 37 dalam Sisdiknas tersebut, maka pendidikan


kewarganegaraan memegang peranan penting dalam mendidik manusia Indonesia
menjadi warga negara yang baik yang menghargai perbedaan suku, agama, ras,
budaya dan bahasa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang
tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 1 ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat bangsa dan negara.

Pendidikan kewarganegaraan merupakan subjek pembelajaran yang


mengemban misi untuk membentuk kepribadian bangsa, yakni sebagai upaya
sadar dalam ”nation and charcter building”. Dalam konteks tersebut peran
Pendidikan Kewarganegaraan bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan
bernegara sangat trategis. Suatu negara demokratis pada akhirnya harus bersandar
pada pengatahuan, keterampilan, dan kebijakan dari warga negaranya dan orang-
orang yang mereka pilih untuk menduduki jabatan publik. Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
warga negara yang baik (to be a good and smart citizen) yang memiliki komitmen
yang kuat dalam dalam mempertahankan kebhinekaan di Indonesia dan
mempertahankan integritas nasional.
2. Sumber Historis, Politis dan Sosiologis Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia
a. Sumber Historis
Secara Historis, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia telah
dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam sejarah kebangsan
Indonesia, berdirinya organisasi Budi Utomo pada ttahun 1968 disepakati
sebagai Hari Kebangkitan Nasioanl karena pada saat itu dalam diri bangsa
Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagai bangsa meskipun belum
menamakan diri sebagai Indonesia. Setelah berdirinya Budi Utomo,
terdapat pula organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan lain seperti
Syarikat Islam, Muhammadiyah, Indische Party, PSII, PKI, NU, dan
organisasi lainnya yang memiliki tujuan akhir yang sama yaitu ingin
melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada tahun 1928, para pemuda
yang berasal dari nusantara berikrar menyatakan diri sebagai bangsa
Indonesia, bertanah air satu, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang berjuang
secara terang-terangan maupun secara diam-diam, baik yang berada di
dalam negeri maupun di luar negeri tumbuh secara satu per-satu. Secara
umum, organisasi-organisasi tersebut bergerak dan bertujuan membangun
rasa kebangsaan dan mempunyai cita-cita Indonesia dapat merdeka.
Indonesia sebagai negara merdeka yang dicita-citakan oleh masyarakat
adalah negara yang mandiri yang bebas dari belenggu penjajahan dan
ketergantungan terhadap kekuatan asing.
Setelah melalui perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga,
akhirnya Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agusutus 1945. Soekarno
dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Akan tetapi, perjuangan bangsa Indonesia tidak sampai disitu
saja, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, melepaskan diri dari
belenggu penjajahan, bangsa Indonesia masih harus berjuang
mempertahankan kemerdekaan karena ternyata para penjajah masih
belum mengakui kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan Indonesia,
tahun 1945 sampai saat ini, bangsa Indonesia telah berusaha mengisi
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai macam
cara, baik perjuangan fisik maupun diplomatis. Perjuangan mencapai
kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk tetap
menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah
selesai.
b. Sumber Sosiologis
Pendidikan Kewarganegaraan pada saat permulaan atau awal
kemerdekaan lebih banyak dilalukan pada tataran sosial kultural dan
dilakukan oleh para pemimpin negara bangsa. Melalui pidato-pidatonya,
para pepimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan
bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat
untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menduduki dan menguasai
Indonesia yang telah dinyatakan merdeka. Ceramah-ceramah serta
pidato-pidato kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat
berjuang mempertahankan tanah air merupakan Pendidikan
Kewarganegaraan dalam dimensi sosial kultural. Hal tersebutlah yang
merupakan sumber Pendidikan Kewarganegaraan dari aspek sosiologis.
Pendidikan Kewarganegaraam dalam aspek sosiologis sangat diperlukan
oleh masyarakat untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan
eksistensi bangsa dan negara.
c. Politis
Pendidikan kewarganegaraan secara politis mulai dikenal dalam
Pendidikan-pendidikan yang ada di sekolah dari dokumen kurikulum
tahun 1957, sesuai dengan pernyataan dari Somantri (1972) bahwa pada
masa Orde Lama mulai dikenal istilah : Kewarganegaraan (1957); Civics
(1962 dan Pendidikan Kewarganegaraan (1968). Pada masa awal Orde
Lama sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganergaan
membahas cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan,
sedangkan dalam Civics (1962) lebih banyak membahas tentang sejarah
UUD, Kebangkitan Nasional serta pidato-pidato politik kenegaraan yang
diarahkan untuk “nation and character building” bangsa Indonesia.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum sekolah yang
berlaku dinamakan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut di
dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang
telah diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang
dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, yang
terdapat dalam Kurikulum Sekolah Dasar (SD) 1968.
Berbeda dengan Sekolah Dasar, untuk jenjang Sekolah Menengah
Atas, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara termasuk dalam
kelompok Pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa
Indonesia dan Pendidikan Olahraga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di
Sekolah Menengah Atas, yang pertama yaitu Pancasila dan UUD 1945,
yang kedua mengenai Ketetapan-Ketetapan MPRS 1966 dan yang
terakhir tentang Pengetahun umum tentang PBB. Dalam kurikulum 1968,
mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi,
artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain,
seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan
Ekonomi.
Kurikulum Sekolah tahun 1978 kemudian mengalami perubahan
menjadu Kurikulum Sekolah Tahun 1975, sehingga nama mata pelajaran
juga berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila yang memiliki materi
secara khusus yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945. Materi
tersebut kemudian dipisahkan dari mata pelajaran lainnya. Hal-hal yang
berkaitan dengan Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran
Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan
masyarakat, kurikulum sekolah mengalami perubahan kembali menjadi
kurikulum 1994. Nama mata pelajaran PMP pun mengalami perubahan
menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang
didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasioanl. Pada ayat 2
dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Setelah Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan lagi-lagi mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dapat diketahui dalam dokumen mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (2006) menjadi mata pelajaran PPKn (2013). Nama
PPKn sebenarnya bukan hal yang baru pada kurikulum pendidikan
Indonesia. Sebab nama PPKn juga muncul pada Kurikulum 1994,
kemudian pada Kurikulum 2016 “hilang”, dan pada Kurikulum 2013
Pancasila dimunculkan kembali. Pada kurikulum 2006 menyebutkan
bahwa Pendidikan Nasional berfungsi sebagai sarana untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta kepribadian
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
selain itu, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki akhlak mulia, berilmu, sehat, kreatif, cakap, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta dapat bertanggung jawab.
Pada kurikulum 2013 Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk
mengembangkan peserta didik menjadi manusia Indonesia yang memiliki
rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air, yang dilandasi oleh nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2016.
Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Ristekdikti:Jakarta.
Pangalila, Theodurus. 2017. Peningkatan Civic Deposition Siswa Melalui
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Jurnal
Pendidikan Kewarganegaraan. Vol. 7(1) : 91-103.

Anda mungkin juga menyukai