Anda di halaman 1dari 7

Skleritis Nekrotikan

ABSTRAK
Tujuan : melaporkan kasus skleritis nekrotikan eksisi Pterygium dan pemberian mitomycin
C
Metode : laporan kasus
Hasil : Laki laki 52 tahun menderita nekrosis pada sklera setelah operasi pterygium, yang
diterapi dengan mitomycin C dan steroid tetes mata dalam jangka waktu lama. Pada saat ini
pemeriksaan laboratorium dan foto thorax tidak dijumpai kelainan, THT tenang, pada gigi
ditemukan gangrene radix. Penderita ini didiagnosis dengan suspek skleritis nekrotikan
dipicu oleh pembedahan dan pemberian mitomycin C dan steroid tetes mata.
Kesimpulan : skleritis nekrotikan dapat dipicu oleh tindakan pembedahan, dan pemberian
mitomycin C dan steroid tetes mata
Kata kunci : skleritis nekrotikan, pembedahan, mitomycin C, steroid tetes mata

ABSTRACT
Purpose: to report necrotizing scleritis after excision of pterygium with Mitomycin C
Metode: A case report study
Result: Male 52 years old suffering from necrosis of the sclera after pterygium surgery,
treated with mitomycin C and steroid eye drops in the long term. At this time, and laboratory
examinations found no abnormalities thorax images, ENT calm, in the teeth found gangrene
radix. These patients were diagnosed with suspected skleritis nekrotikan triggered by surgery
and provision of mitomycin C and steroid eye drops.
Conclusion: bare sclera surgery with mitomycin C and steroid eye drop induced necrotizing
scleritis
Key word: necrotizing scleritis, bare sclera surgery, mitomycin C, steroid eye drop

1
Pendahuluan

Skleritis nekrotikan (SN) merupakan salah satu tipe dari skleritis anterior yang disertai
gambaran nekrosis pada sklera. Skleritis adalah suatu inflamasi granulomatus yang
melibatkan pembuluh darah sklera dan episklera melalui respon yang diperantarai oleh sel
terhadap antigen lokal atau terhadap deposisi kompleks imun. 1,2
Studi di USA menggambarkan angka insiden skleritis sangat sulit didapatkan dan
hanya 0,08% dari pasien baru yang berobat ke bagian mata. SN sebagian besar dijumpai pada
wanita, umur 40-60 tahun. SN biasanya bilateral dan 25% akan sering berulang. Lima puluh
persen SN memiliki riwayat penyakit sistemik. Tidak ada perbedaan ras dan geografi pada
kelainan ini. Wanita mempunyai kemungkinan menderita lebih besar daripada pria dengan
rasio 1,6 : 1. 1-6
Skleritis nekrotikan dibagi menjadi dua, yaitu skleritis nekrotikan anterior (dengan
inflamasi) dan skleromalasia perforans (tanpa inflamasi). 3-5
Skleritis nekrotikan anterior (dengan inflamasi) memiliki tiga tipe spesifik yaitu vaso
oklusif necrotising, ditandai adanya daerah kongesti menjadi daerah avaskuler dan dapat
menjadi ulserasi. Tipe kedua Granulomatous necrotising scleritis, biasanya berkaitan dengan
penyakit wegener granulomatosis dan polyarteritis nodusa, awalnya terjadi hiperemi pada
limbus, dalam 24 jam menjadi edema, epitel konjungtiva dan kornea robek, dan terjadi
ulserasi sklera. Tipe ketiga skleritis dipicu pembedahan, bisanya terjadi tiga minggu setelah
pembedahan. Proses nekrosisnya bermula pada lokasi operasi kemudian meluas. Dapat terjadi
setelah operasi repaire strabismus, phacoemulsificasi, trabculectomi, dan ablasio retina.
Biasanya terjadi pada satu segmen saja biasanya terjadi setelah pembedahan okuler dan
lebih sering terjadi setelah prosedur multipel. Juga sering berhubungan dengan penyakit
sistemik yang menyertai. 8-10
Skleromalasia perforan biasanya bilateral, terutama pada wanita lanjut usia dan
hampir selalu terjadi pada pasien dengan reumatoid artritis. Pada pemeriksaan biasanya
tampak iritasi ringan yang tidak spesifik, dapat disertai keratokonjungtivitis sika, tidak terasa
nyeri dan tajam penglihatan tidak teraganggu. Tampak nekrotik pada limbus, tanpa kongesti
vaskuler, penipisan sklera sangat lambat. 9,10
Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis, riwayat
penyakit sistemik serta pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis SN sangat klasik.

2
Keluhan utamanya nyeri okuler dan periokuler yang berat dan bertambah secara gradual
setiap harinya sampai tingkat yang sangat berat. Fluoresin angiografi (FA) eksternal
berguna dalam menilai derajat berat skleritis. Pemeriksan FA diperlukan teknik yang tinggi
dan high-speed image untuk memberi gambaran vaskuler yang berkualitas baik. Tehnik FA
dapat dipakai mendiagnosa SN yang pada pemeriksaan fisik biasa tidak dapat ditemukan.
Pemeriksaan laboratorium meliputi rhematoid faktor, antibodi antinuklear, antibodi
sitoplasma antineutrofil (cANCA anti-PR3; pANCA anti-MPO), antibodi antipospolipid. 7-10

Komplikasi skleritis dapat berupa ulkus kornea perifer ataupun interstisial, uveitis
anterior, vitritis, katarak, peningkatan tekanan intra okular, edema makula kistoid. Uveitis
anterior lebih banyak terjadi pada skleritis yang berat. Komplikasi lainnya adalah katarak,
ablasio retina, dan iskemia segmen anterior. 8-12
Skleritis anterior nekrotikan didiagnosis banding dengan skleromalasia peforan
sklera melting dan ulkus marginal.
Deteksi dini dan terapi yang adekuat dapat menurunkan resiko mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang diderita sebelumnya. Pengobatan skleritis selalu
memerlukan terapi sistemik baik dengan agen antiinflamasi non steroid, kortikosteroid
maupun obat imunosupresan lainnya. Pengobatan ini tergantung pada derajat berat penyakit,
respon terhadap pengobatan, efek samping dan adanya penyakit lain yang melatarbelakangi
terjadinya skleritis. Terapi pembedahan jarang dilakukan, namun terapi ini dilakukan untuk
mempertahankan integritas sklera, memperbaiki defek pada sklera dan kornea, perforasi,
atau adanya komplikasi, seperti glaukoma dan katarak. Pelaksanaan terapi pembedahan
dilakukan jika sudah diberikan terapi medikamentosa. 12-15
Prognosis penyakit ini tergantung pada berat ringannya skleritis di samping penyakit
sistemik yang menyertainya. Beberapa penyakit sistemik menyebabkan skleritis yang berat.
Pengobatan dengan agen imunosupresif yang berhubungan dengan rheumatoid artritis sangat
membantu. 2,15
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui bahwa penggunaan
Mitomycin C jangka panjang pada pasien pasca operasi pterygium dapat menyebabkan
terjadinya skleritis nekrotikan.

Laporan kasus

3
Penderita laki-laki berumur 52 tahun, lulusan SMA, bekerja sebagai pegawai negeri
di salah satu BUMN. Penderita datang dengan keluhan timbul warna hitam pada putih mata
kanan dekat hidung, sejak 2 tahun yang lalu, awalnya ukuran kecil seukuran mote, semakin
lama makin meluas, penderita juga mengeluh pandangan kabur. Sebulan sebelumnya
penderita di operasi oleh dokter spesialis mata di tempat praktek swasta karena tumbuh
daging pada mata kanan, kemudian diberikan obat tetes Mitomycin C dan steroid, namun
penderita tidak pernah kontrol dan terus memakai mitomycin C. Setelah timbulnya warna
bintik hitam tersebut, penderita kembali kontrol ke dokter spesialis mata yang sama
sebanyak sembilan kali selama bulan Maret sampai Juli 2009. Penderita didiagnosis dengan
suspek sklerektasis dan di terapi dengan Gentamicin salep mata, Reepitel, Meloxin, Tarivid,
Matovit, Matoflam. Penderita kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah untuk operasi pemasangan
graft, namun penderita tidak datang ke RS Sanglah.
Penderita kemudian memeriksakan diri ke RS Indra Timur seminggu sekali sebanyak
4 kali. Di RS Indra Timur penderita juga disarankan operasi, namun penderita menolak.
Penderita hanya diberikan obat tetes.
Kemudian penderita memeriksakan diri ke tempat praktek dokter spesialis mata yang
lain. Pada pemeriksaan didapatkan visus mata kanan (OD) 6/60,ph 6/30, S+1,00 C+1,00 x 0 0
6/7,5. Visus mata kiri 6/30, S+0,50 C+0,50 x 0 0 6/15, Addisi +2,25, Segmen anterior
mata kanan: sinekia posterior, pericorneal vascular injection (PCVI)(+), keratik presipitat (+).
Penderita di diagnosa dengan OD uveoskleritis nekrotikan, dilakukan pemeriksaan BSN &
BS 2 Jam PP, ASTO, Anti Rhemathoid, Anti TB ( IgG,IgM) foto thorax dan juga disarankan
untuk operasi. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan glukosa puasa : 121 mg/dl,
glukosa 2 jam PP:139 mg/dl, ASTO : 200 IU/ml, RF Kualitatif : negatif, Anti-Tb IgG
(Rapid): negatif. Hasil pemeriksaan foto thorax tidak tampak kelainan. Tanggal 14 Agustus
2009 dilakukan pemasangan amnion graf di RSU Swasta, tetapi tidak bisa menempel.
Kemudian penderita kontrol beberapa kali, di diagnosa OD Uveoskleritis Nekrotikan dan
diterapi dengan Dexaton, Lameson, Movix, Imunose. Kemudian penderita dirujuk ke RSUP
Sanglah.
Pada tanggal 17 September 2009, penderita datang ke RSUP Sanglah. Pada
pemeriksaan mata kanan di dapatkan visus 6/60 PH 6/30, segmen anterior : palpebra normal,
konjungtiva CVI (+), kornea jernih, bilik mata depan (COA) normal Iris/Pupil bulat regular
reflek pupil (+), sklera nekrotik (+), lensa jernih, segmen posterior dalam batas normal. Pada
mata kiri didapatkan visus 6/30 PH 6/10, segmen anterior dalam batas normal, segmen

4
posterior dalam batas normal, tekanan bola mata 17,3 mmHg. Penderita datang sebanyak
lima kali, didiagnosis dengan OD skleritis nekrotikan dan diterapi dengan Lubricent, Movix,
Imunose. Penderita di konsulkan ke bagian Gigi dan mulut, jawaban konsulnya gangrene
radix gigi 15,16,23,37,48, dan disarankan untuk ekstraksi gangrene radix. Penderita juga di
konsulkan ke bagian THT, dan jawanan konsulnya THT tenang. Pada tanggal 29 September
2010 dilakukan ekstraksi gangrene radix. Setelah itu penderita tidak pernah memeriksakan
diri lagi.
Pada 25 Januari 2010 penderita dirawat di RSU Swasta dengan keluhan nyeri kepala
hebat. Penderita dirawat oleh dokter spesialis saraf, dan didiagnosis dengan observasi
cephalgia, dan diterapi dengan Aspilet 1x80mg, Simvastatin 1x 40 mg, Rantin 2x1, Spedipen
400 mg 2x1, insidal 2x1. Saat dirawat penderita dikonsulkan ke dokter spesialis mata yang
pertama, kemudian diberikan terapi tambahan Eye fresh 6x1 tetes. Selanjutnya penderita
kontrol lagi ke dokter spesialis mata yang pertama. Penderita kontrol sebanyak dua kali,
didiagnosis dengan OD Observasi skleromalacea dan diberikan terapi Lameson dan Tarivid.
Atas permintaan pasien, kemudian dikonsulkan ke dokter spesialis mata yang lainnya. Dari
dokter terakhir ini penderita tidak mendapatkan terapi medikamentosa. Setelah itu penderita
tidak pernah memeriksakan diri lagi.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal, riwayat penyakit yang sama pada
keluarga disangkal, riwayat alergi (+) tahun 1982 tapi tidak diketahui jenis obatnya.

Gambar 1. keadaan pada tanggal 17 September 2009 Gambar 2. keadaaan pada tanggal 22 April 2010

Pada tanggal 22 April 2009 dilakukan pemeriksaan didapatkan pada mata kanan visus
6/30, segmen anterior : palpebra normal, konjungtiva CVI (+), kornea jernih, COA normal
Iris/Pupil bulat regular reflek pupil (+), sklera nekrotik (+), lensa jernih, segmen posterior

5
dalam batas normal. Pada mata kiri didapatkan visus 6/30, segmen anterior dalam batas
normal, segmen posterior dalam batas normal.

Diskusi

Pada SN biasanya terjadi pada umur 40-60 tahun, biasanya bilateral (60%), bila dapat
menyebabkan penurunan visus dan kebutaan. Terdapat nyeri yang bersifat gradual, jarang
dapat diatasi dengan analgesia. Dapat terjadi edema sklera, kongesti pembuluh darah , daerah
yang meradang dapat meluas, oklusi dan pembentukan pola avaskuler, sklera berwarna
kebiruan seperti warna koroid, terdapat jaringan sikatrik, biasanya ditemukan penyakit
sistemik yang menyertai. Pada proses penyembuhan akan terbentuk suatu area koroid yang
gelap ditutupi konjungtiva yang atropi. SN memiliki tiga tipe spesifik yaitu vaso oklusif
necrotising, Granulomatous necrotising scleritis, SN dipicu pembedahan.
Penderita adalah laki-laki 52 tahun, ditemukan adanya defek (nekrotik) pada sklera,
didapatkan rasa nyeri (cephalgia), terjadi penurunan tajam penglihatan. Ada riwayat operasi
pterygiun sebulan sebelumnya dan mendapatkan pengobatan mitomycin C dan steroid tetes
mata dalam waktu lama. Pada pemeriksaan laboratorium tidak lengkap karena tidak tersedia
sarana dan pasien menolak dilakukan pemeriksaan, dari hasil laboratorium dan foto thorax
didapatkan dalam batas normal. THT tenang, pada gigi di dapatkan adanya gangrene radix.
Penderita diterapi dengan obat-obatan medikamentosa, dan juga dilakukan operasi
pemasangan amnion pada defek, namun tidak menempel, pada pemeriksaan terakhir
ditemukan jaringan sikatrik ditutupi oleh konjungtiva yang atropi.
Dilaporkan banyak kasus skleritis nekrotikan setelah operasi pterygium dan
pemberian Mitomycin C. Mitomycin C adalah agen anti metabolit dihasilkan oleh
strain Streptomyces caespinosus. Ini menghambat sintesis DNA, RNA dan protein. Scleral
menipis setelah pemberian mitomycin C karena terjadi penekanan pertumbuhan serat
kolagen, menghambat pembentukan jaringan granulasi pada proses penyembuhan luka. Oleh
karena itu, penipisan sklera menunjukkan penurunan dalam pembentukan jaringan ikat
fibrosa. Meskipun patogenesis kalsifikasi sklera tidak diketahui, mitomycin memacu
perubahan degeneratif pada jaringan. SN biasanya terjadi karena pemberian jangka waktu
yang lama dan atau dosis tinggi. Pemberian yang aman disarankan mitomycin C 0,02 %

6
ditempelkan dengan spon selama kurang dari 5 menit, lalu di bilas dengan cairan Ringer
Laktat. 15
Steroid berfungsi sebagai anti inflamasi. Pengobatan dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis dan
penghambatan pertumbuhan anak. 15
Pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda skleromalasia perforan, sehingga diagnosis
skleromalasia perforan dapat disingkirkan. Dari data yang ada pada pasien ini tidak ditemukan
kelainan sistemik kecuali gangrene radix pada gigi. Ulkus marginal juga dapat disingkirkan
karena tidak ditemukan kelainan sistemik.

Simpulan

Penderita laki-laki 52 tahun didiagnosis skleritis nekrotikan berdasarkan atas adanya


tindakan pembedahan, adanya pemberian mitomycin C dan steroid yang tidak terkontrol
dalam jangka waktu panjang. SN akan menjadi semakin parah jika tidak berobat secara
teratur. Pada operasi pterygium disarankan tidak menggunakan MitomycinC supaya kasus
seperti ini tidak terulang kembali, karena penanganannya yang sulit.

Anda mungkin juga menyukai