Anda di halaman 1dari 11

PENGENALAN TENTANG SINTAKSIS

A. Hakikat Sintaksis
Istilah sintaksis secara langsung diambil dari bahasa Belanda syntaxis atau
dalam bahasa inggris disebut syntax. Menurut Ramlan (1996:21) sintaksis adalah
bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frasa. Ngusman (2005:2) mendefinisikan sintaksis sebagai cabang ilmu
bahasa bidang gramatikal (tata bahasa) yang mengkaji tata kalimat. Lebih lanjut,
Verhaar (1981:70) menjelaskan bahwa sintaksis adalah ilmu yang menyelidiki semua
hubungan antarkelompok kata atau antarfrasa dalam suatu tataran tata bahasa.
Dengan kata lain, sintaksis adalah bidang tata bahasa yang membahas
mengenai kalimat, klausa, frasa, dan hubungan antarkalimat sebelum dan sesudahnya
pada tataran wacana (Ramlan, 1985:21-22). Kridalaksana menyatakan bahwa
sintaksis adalah pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata dan dengan
satuan-satuan kata yang lebih besar dalam bahasa. Jika mengacu pada pendapat ahli
di atas, disimpulkan bahwa sintaksis adalah ilmu yang membahas mengenai kalimat,
klausa, frasa, dan kata dalam tatanan tata bahasa sehingga menjadi sebuah wacana.
Keraf (1980: 136) menjelaskan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa
yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu
bahasa. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sistem bahasa mempunyai sistem yang
mengikat kata-kata atau kelompok kata dalam suatu bentuk yang dinamis. Dengan
kata lain, tataran sintaksis merupakan bagian kajian gramatikal dalam tata bahasa
yang dinamis karena disesuaikan dengan penyusunan kata-kata yang digunakan.
Penyusunan kata-kata yang digunakan dalam satuan bahasa yang lebih besar menjadi
frasa, klausa, hingga kalimat. Dengan kata lain, kajian sintaksis mengacu pada
pembentukan kata-kata menjadi kalimat yang merupakan kajian secara internal dalam
tata bahasa.
Jika mengacu pada penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
pembahasan tentang kalimat, klausa, frasa, dan hubungan antarkalimat merupakan
bagian dari kajian sintaksis, sedangkan pembicaraan mengenai kata merupakan bagian
dari kajian morfologi (Ramlan, 2005: 18). Hal ini dapat ditinjau dari contoh berikut.
Seorang mahasiswa sedang belajar di perpustakaan.
Kalimat di atas terdiri dari satu klausa, yang terdiri dari subjek ialah seorang
mahasiswa, predikat ialah sedang belajar, dan keterangan ialah di perpustakaan.
Tiap-tiap fungsi dalam klausa tersebut terdiri dari satuan yang disebut frasa. Frasa
yang ada dalam kalimat tersebut yaitu seorang mahasiswa, sedang belajar, dan di
perpustakaan. Frasa seorang mahasiswa yang dibentuk berasal dari kata seorang dan
mahasiswa, frasa sedang belajar berasal dari kata sedang dan belajar, dan frasa di
perpustakaan berasal dari kata di dan perpustakaan. Hal inilah yang menjadi pokok
bahasan dalam pembelajaran sintaksis, yaitu perubahan dan analisis bahasa mulai dari
pembentukan kata-kata di dalam frasa dan klausa, hingga menjadi sebuah kalimat.

B. Hubungan Sintaksis dengan Subbidang Kajian yang Lain


Linguistik sebagai disiplin ilmu memiliki beberapa cabang atau subdisiplin.
Pembagian subdisiplin linguistik tergantung pada tataran-tataran ruang lingkupnya,
yakni mencakup fon, fonem, morf, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf,
wacana, semantik, dan pragmatik. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa
sintaksis merupakan kajian tata bahasa yang berada di atas morfologi dan berada di
bawah wacana. Sintaksis pokok kajiannya adalah kalimat. Kalimat merupakan
susunan dari kata-kata dan susunan dari kalimat akan membentuk wacana. Wacana
sebagai satuan bahasa yang paling besar terdiri dari unsur-unsur yang berupa kalimat,
kalimat dibentuk dari klausa, sedangkan klausa terdiri dari frasa atau kata (Ramlan,
1985: 22).
Jika mengacu pada pembahasan di atas, ada beberapa kaitan antara kajian
sintaksis dan bidang kajian ilmu bahasa lainnya. Kalimat yang merupakan bidang
kajian sintaksis terbentuk dari kata. Kata yang merupakan bagian terkecil dalam tata
bahasa merupakan bahan kajian morfologi. Morfologi dalam ilmu bahasa mengacu
pada pembahasan kata. Pada morfologi, kata merupakan satuan yang terbesar,
sedangkan morfem merupakan satuan bahasa yang terkecil. Sintaksis selaku tataran
bahasa yang lebih besar dari morfologi membahas kalimat sebagai bentuk kajiannya.
Kalimat dalam kajian sintaksis merupakan bagian yang terbesar, sedangkan kata
merupakan bagian terkecil dalam kajian sintaksis.
Fonologi sebagai salah satu subkajian dalam bahasa merupakan penunjang
penting dalam membuat sebuah kalimat yang menjadi kajian bahasa Indonesia.
Fonologi merupakan kajian bahasa yang membahas mengenai huruf agar membentuk
satuan bahasa yang lebih mudah diketahui. Dalam ilmu fonologi terdapat dua bidang
kajian, yaitu fonemik dan fonetik. Fonetik mengkaji proses pembentukan bunyi
bahasa dan mengkaji berbagai bunyi bahasa tersebut sebagai pembeda makna atau
tidak (Ngusman, 2009:4). Selanjutnya, fonemik mengkaji bunyi bahasa sebagai
pembeda makna yang mana lebih memfokuskan kajiannya pada fonem. Dengan kata
lain, hubungan sintaksis dan fonologi dapat ditinjau dari satuan bahasa yang disusun
menjadi kalimat yang dapat dipahami oleh orang lain jika diucapkan atau
diungkapkan dengan ucapan yang tepat (Ngusman, 2009:4). Struktur kalimat yang
sama jika diucapkan dengan lafal yang berbeda akan menimbulkan makna yang
berbeda. Kalimat ini kebun binatang akan mempunyai dua makna yang berbeda
tergantung pada pelafalan dari penutur. Kalimat ini kebun binatang yang diucapkan
dengan kalimat datar bermakna bahwa memberitahu ini adalah kebun binatang,
sedangkan kalimat ini kebun binatang yang diucapkan dengan pemberhentian pada
kata kebun akan bermakna bahwa penutur menyumpahi orang yang diajak bertutur.
Hubungan antara wacana dan sintaksis jika dilihat dari sudut pandang teks
merupakan satuan bahasa yang dibentuk oleh kalimat-kalimat yang saling
berhubungan maknanya (Ngusman, 2009:5). Alwi menambahkan bahwa wacana
membahas struktur teks yang merupakan struktur hubungan antarkalimat (Ngusman,
2009: 5). teks yang baik dibentuk berdasarkan kalimat yang baik dan kalimat yang
baik disusun secara beraturan sehingga akan membentuk satu kesatuan makna
(Ngusman, 2009:5). Lebih lanjut, perlu dipahami lagi bahwa objek kajian wacana
terkecil adalah paragraf dan objek kajiian yang lebih besar bisa berupa esai, artikel,
buku, skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain. Untuk membentuk sebuah wacana,
disusunlah beberapa kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Untuk
membentuk wacana yang baik, ditentukan berdasarkan pembentukan kalimat-kalimat
dalam wacana.
Semantik merupakan salah satu unsur pembentuk bahasa. Semantik sebagai
cabang ilmu bahasa bertugas membicarakan makna, baik makna leksikal maupun
makna gramatikal. Makna leksikal ialah makna yang dimiliki oleh leksem secara
otonom, sedangkan makna gramatikal ialah makna yang timbul atau terjadi sebagai
akibat berbagai proses gramatikal. Salah satunya adalah pembentukan makna
gramtikan dalam kalimat. kata saya, tidur, di rumah, dapat dipahami maknanya
sebagaimana makna di dalam kamus. Setelah disusun dalam sebuah kalimat, secara
leksikal makna kalimat akan sama, tetapi secara gramatikal,makna kata tersebut akan
mengalami perubahan makna. Semantik merupakan kajian bahasa yang mengacu
kepada kesesuaian bentuk dan makna (Ngusman, 2009: 5). Dalam tata bahasa
Indonesia, bisa saja sebuah kalimat ditinjau dari segi sintaksis sudah benar dan sesuai,
tetapi dari segi semantik tidak tepat dan tidak sesuai karena adanya ketidaksesuaian
antara bentuk kata dan makna kata.
Hubungan antara sintaksis dan pragmatik berkaitan dengan tuturan dalam
bentuk kalimat. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas mengenai
tuturan berdasarkan konteks. Tuturan yang diujarkan dalam bentuk kalimat-kalimat
tuturan. Oleh karena itu, kalimat yang baik akan membuat tuturan dapat dipahami
secara mudah dan tepat. Selain itu, struktur kalimat dan pilihan kata yang digunakan
dalam tuturan akan mempengaruhi makna dan kesantunan dalam bertutur (Ngusman,
2009:6).
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa sintaksis, morfologi,
fonologi, semantik, pragmatik dan wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang
sama-sama menangani bahasa, tetapi memiliki objek kajian yang berbeda. Dengan
demikian, kedudukan sintaksis di antara cabang ilmu bahasa yang lain bersifat
komplementer atau saling melengkapi.

C. Objek dan Ruang Lingkup Kajian Sintaksis


Bahasa dapat dikaji berdasarkan struktur bunyi, kata, kalimat, struktur teks,
makna, dan pemakaian bahasa untuk fungsi komunikasi (Ngusman, 2009:3). Setiap
kajian bahasa dalam struktur bahasa tersebut berperan dalam membentuk sebuah
satuan bahasa yang lebih luas. Dalam tatanan bahasa yang lebih besar, morfologi
merupakan bagian terkecil karena membahas mengenai kata, sedangkan wacana
merupakan satuan bahasa yang lebih besar karena membahas mengenai suatu tulisan.
Objek kajian sintaksis merupakan struktur internal kalimat. Di dalam sintaksis
dikaji frasa, klausa, dan kalimat. Frasa adalah objek terkecil dari sintaksis dan kalimat
adalah objek terbesar dari sintaksis. Berkaitan dnegan objek kajian itu, sintaksis
mengkaji struktur frasa, klausa, kalimat, dan hubungan antara frasa, klausa, dan
kalimat, serta proses pembentukan frasa, klausa, dan kalimat (Ngusman, 2009:2).
Bagian struktur frasa berisi uraian tentang unsur pembentuk frasa, relasi antarunsur
pembentuk frasa, kaidan pembentuk fraasa, dan jenis frasa. Bagian struktur klausa
menjelaskan mengenai unsur pembentuk klausa, relasi antarunsur klausa, kaidah
pembentukan klausa, dan jenis klausa. Bagian struktur kalimat membahas mengenai
struktur kalimat, unsur pembentuk kalimat, relasi antarunsur kalimat, proses
pembentukan kalimat dan jenis kalimat.
Kalimat memiliki hubungan yang erat dengan satuan bahasa yang berada di
bawahnya, yaitu kata, frasa, dan klausa. Kalimat dibentuk oleh klausa, klausa
dibentuk dari frasa, frasa dibentuk dari kata (Ngusman, 2015: 3). Jadi, satuan bahasa
yang lebih kecil menjadi unsur-unsur pembentuk satuan bahasa yang lebih besar.
Kalimat yang merupakan bagian dari struktur internal sintaksis merupakan bagian
kajian sintaksis, tetapi kata bukan kajian sintaksis karena kata merupakan struktur
internal kajian dari morfologi. Begitu juga jika analisis bahasa dilakukan dengan
mencari struktur hubungan antarkalimat, hal inilah yang menjadi kajian wacana.

D. Alat Sintaksis
Pada proses pembentukan kalimat, ada alat-alat yang bisa digunakan untuk
proses pembentukan bahasa pada tataran sintaksis (Khaira dan Ridwan, 2015: 13-16).
1. Urutan Kata
Urutan kata adalah letak kata dalam kontruksi sintaksis. Kata-kata yang dibuat
tidak bisa dipindahkan tanpa penyesuaian aturan yang ada. Hal ini disebabkan oleh
urutan kata menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan makna kata yang
dimaksud oleh pembicara atau pendengar. Hal ini mengacu pada jenis bahasa
Indonesia yang bersifat aglutinatif, yaitu bahasa yang mengalami pengimbuhan atau
perubahan kata akan mengakibatkan perubahan makna (Khaira dan Ridwan, 201513).
Dengan kata lain, jika ada perubahan urutan kata akan mengalami perubahan makna
seiring dengan adanya perubahan bentuk kata yang digunakan. Oleh karena itu,
perbedaaan urutan kata akan menyebabkan terjadinya perbedaaan makna dalam
kalimat yang dibuat. Berdasarkan hal tersebut, urutan kata menjadi salah satu faktor
penting dalam pemaknaan kata.
Contoh :
a. Jam lima
b. Lima jam
Jika mengacu pada dua jenis frasa tersebut, terdapat perbedaaan makna jika
kata dipindahkan atau tidak sesuai dengan yang dimaksud. Pada konstruksi kata jam
lima konstuksis kata ini menyatakan waktu, sedangkan konstruksi kata lima jam
mengacu pada durasi atau lamanya waktu. Hal inilah yang menyebabkan adanya
perbedaan makna, jika ditinjau dari pengaturan kata dalam bahasa Indonesia.
2. Kelekatan Unsur-Unsur untuk Membentuk Konstruksi
Kelekatan unsur-unsur dalam sebuah kalimat mengacu kepada pembentukan
kata-kata dalam kalimat tersebut sehingga menjadi sebuah makna yang baik dan tepat.
Contoh : Anak itu // sedang memasak // nasi goreng.
Tiap-tiap unsur di atas, membentuk konstruksi bahasa yang baik karena
pemenggalaan kata-kata yang digunakan dalam bahasa tersebut sudah sesuai dan tepat.
Akan tetapi, jika kata-kata yang dibentuk tidak tepat, tidak akan terbentuk konstruksi
yang tepat dalam bahasa.
Contoh : anak // itu sedang // memasak nasi // goreng.
Pada contoh di atas, dapat dilihat bahwa pemenggalan kata yang tidak tepat
akan membentuk konstruksi bahasa yang tidak tepat juga karena adanya kesalahan
konstruksi akan menyebabkan kekaburan makna.

3. Intonasi
Intonasi berkaitan dengan penggunaan bahasa pada ragam lisan. Hal ini
disebabkan oleh intonasi dalam bahasa merupakan bagian dari suprasegmental bahasa
yang akan mempengaruhi makna. Hal ini diperkuat oleh Chaer (Khaira dan Sakura,
2015: 15) yang menjelaskan bahwa perbedaan modus dalam bahasa Indonesia
ditentukan oleh intonasi daripada unsur segmental bahasa. Hal ini terjadi karena
kalimat yang memiliki unsur segmental yang sama akan memiliki makna yang
berbeda tergantung dari intonasi yang digunakan (Khaira dan Ridwan, 2015: 15).
Contoh :
a. Mahasiswa menghadiri seminar nasional. (kalimat bermodus deklaratif)
b. Mahasiswa menghadiri seminar nasional? (kalimat bermodus interogatif)
c. Mahasiswa-mahasiswa baru // membayar SPP.
d. Mahasiswa-mahasiswa // baru // membayar SPP.

Jika mengacu pada contoh di atas, diketahui bahwa intonasi dalam bahasa
akan mempengaruhi jenis kalimat dalam tataran bahasa yang muncul. Hal ini dapat
dilihat pada contoh a. Jika intonasi yang digunakan bertujuan untuk menyatakan,
kalimat yang dibentuk berwujud kalimat deklaratif. Akan tetapi, jika intonasi yang
digunakan bersifat tinggi dan menuduh, kalimat yang dibentuk akan berwujud kalimat
interogatif. Selain itu, intonasi juga dibutuhkan dalam pembentukan makna kalimat.
Hal ini dapat dilihat dalam contoh c. Diketahui bahwa makna kalimat tersebut adalah
mahasiswa baru diminta untuk membayar SPP, sedangkan dalam contoh d diketahui
bahwa mahasiswa akan diminta untuk membayar SPP. Perbedaan makna yang terjadi
karena dua bentuk kalimat yang sama disebabkan oleh intonasi berbeda yang
digunakan dalam pembentukan kalimat.

4. Konektor
Konektor berfungsi untuk menghubungkan satu konstituen dengan konstituen
yang lain, baik yang berada dalam kalimat maupun yang berada di luar kalimat.
Konektor yang digunakan berbentuk atau berupa konjungsi (Chaer, 2015: 36)
Penggunaan konjungsi dalam kalimat juga harus disesuaikan dengan tujuan dalam
pembuatan kalimat karena konjungsi dalam kalimat berpengaruh pada makna kalimat.
Contoh :
a. Dia makan karena lapar.
b. Dia makan jika lapar.

Penggunaan konjungsi karena pada kalimat (a) menyatakan hubungan alasan,


sedangkan penggunaan konjungsi jika dalam kalimat (b) menyatakan hubungan syarat.
Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan konjungsi dalam sebuah kalimat akan
mempengaruhi makna kalimat tersebut.

E. Satuan Sintaksis
Secara hierarkial dibedakan adanya lima macam satuan sintaksis, yaitu kata,
frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Secara hierarki, kata merupakan satuan terkecil
yang membentuk frasa. Lalu, frasa membentuk klausa, klausa membentuk kalimat,
kalimat membentuk wacana. Jadi, kata merupakan satuan terkecil, sedangkan wacana
merupakan satuan terbesar. Berikut akan dijelaskan lima macam satuan sintaksis.
1. Kata
Secara gramatikal kata mempunyai dua status, yaitu sebagai satuan terbesar
dalam tataran morfologi dan sebagai satuan terkecil dalam tataran sintaksis. Sebagai
satuan terbesar dalam tataran morfologi, kata dibentuk dari bentuk dasar (yang dapat
berupa morfem dasar terikat maupun bebas, atau gabungan morfem) melalui proses
morfologi afiksasi, reduplikasi, atau komposisi. Sebagai satuan terkecil dalam
sintaksis, kata khususnya yang termasuk kelas terbuka (nomina, verba, dan adjektiva)
dapat mengisi fungsi-fungsi sintaksis. Misal:
(1) Nenek melirik kakek kemarin
S P O Ket

Kata-kata dari kelas tertutup (numeraliaia, preposisi, konjungsi) hanya


menjadi bagian dari frasa yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis itu. Yang agak berbeda
adalah kata dari kelas tertutup yang termasuk adverbia. Ada adverbia yang bisa
menduduki fungsi keterangan, ada juga yang menjadi bagian dari frasa lain.
Kata-kata yang dapat mengisi salah satu fungsi sintaksis dalam sebuah klausa
atau kalimat dapat pula menjadi konstituen dalam kalimat minor seperti dalam
kalimat jawaban singkat atau kalimat perintah singkat. Misalnya:

(2) Nenek’ (sebagai kalimat jawaban atas pertanyaan: Siapa yang sedang membaca
komik itu?)

(3) Komik’ (sebagai kalimat jawaban atas pertanyaan: Apa yang dibaca nenek di
kamar?)

Selain kata dari kategori verba, nomina, dan adjektiva, kata dari kategori
numeraliaia, pronomina, persona, dan adverbia juga dapat berdiri sendiri dalam
kalimat minor, tetapi kata dari kategori preposisi dan konjungsi tidak dapat berdiri
sendiri dalam kalimat minor.

2. Frasa
Frasa dibentuk dari dua buah kata atau lebih dan mengisi salah satu fungsi
sintaksis. Misalnya:

(4) Adik saya suka makan kacang goreng di kamar.


S P O Ket

Semua fungsi klausa di atas diisi oleh sebuah frasa. Fungsi subjek diisi oleh
frasa adik saya, fungsi predikat diisi oleh frasa suka makan, fungsi objek diisi oleh
frasa kacang goreng, dan fungsi keterangan diisi oleh frasa di kamar.
Sebagai fungsi-fungsi peran sintaksis, frasa-frasa juga mempunyai kategori.
Kategori frasa tersebut, yaitu (1) frasa nominal, seperti adik saya, sebuah meja, rumah
batu, dan rumah makan, yang mengisi fungsi subjek atau fungsi objek, (2) frasa
verbal, seperti suka makan, sudah mandi, makan minum, tidak mau datang, dan belum
menerima yang mengisi fungsi predikat, (3) frasa adjektival, seperti sangat indah,
bagus sekali, merah muda, sangat senang, dan merah jambu yang mengisi fungsi
predikat, (4) frasa preposisional, seperti di pasar, ke Surabaya, dari gula dan ketan,
kepada polisi, dan pada tahun 2007 yang mengisi fungsi keterangan.
Sebagai pengisi fungsi-fungsi sintaksis, frasa juga mempunyai kategori, yaitu
kategori nominal pengisi fungsi subjek atau fungsi objek, kategori verbal pengisi
fungsi predikat, kategori adjektival pengisi fungsi predikat, dan kategori preposisional
pengisi fungsi keterangan. Di samping itu, dikenal pula adanya frasa numeraliaia dan
frasa adverbial.
Bila dilihat dari hubungan kedua unsurnya, dikenal adanya frasa koordinatif
dan frasa subordinatif. Frasa koordinatif adalah frasa yang kedudukan kedua unsurnya
sederajat. Misalnya ayah ibu, kampung halaman, baik buruk, dan tua muda,
sedangkan frasa subordinatif adalah frasa yang kedudukan kedua unsurnya tidak
sederajat, unsur yang satu berstatus sebagai atasan dan yang lain sebagai bawahan,
misalnya sebuah mobil, mobil dinas, sedang mandi, belum makan, dan jauh sekali.
Bila dilihat dari keutuhannya, sebagai frasa dikenal adanya frasa eksosentris
dan frasa endosentris. Frasa eksosentris adalah frasa yang hubungan kedua unsurnya
sangat erat sehingga kedua unsurnya tidak bisa dipisahkan sebagai pengisi fungsi
sintaksis, misalnya frasa di pasar, dari Medan, atau Sang Saka, sedangkan frasa
endosentris adalah frasa yang salah satu unsurnya dapat menggantikan kedudukan
keseluruhannya. Bagian yang tidak bisa dihilangkan dalam frasa endosentris disebut
inti frasa dan bagian yang dapat ditanggalkan disebut atribut frasa.

3. Klausa
Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frasa dan di
bawah satuan kalimat, berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di
dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frasa yang berfungsi sebagai
predikat dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan sebagainya.
Klausa memiliki fungsi subjek dan fungsi objek, serta fungsi-fungsi lain
berpotensi menjadi sebuah kalimat tunggal lengkap apabila diberikan intonasi final
atau intonasi kalimat. Kata dan frasa juga mempunyai potensi menjadi kalimat apabila
diberi intonasi final. Namun, kata dan frasa hanya bisa menjadi kalimat minor
(kalimat tidak lengkap), sedangkan klausa menjadi sebuah kalimat mayor (kalimat
lengkap).
Klausa dapat dibedakan berdasarkan kategori dan tipe kategori yang menjadi
predikatnya, yaitu (1) klausa nominal, (2) klausa verbal, (3) klausa verbal intransitif,
(4) klausa adjektival, (5) klausa preposisional, dan (6) klausa numeralia.
a. Klausa nominal, yakni klausa yang predikatnya berkategori nomina. Misalnya:

(5) Kakeknya orang Minang.


S P

(6) Flu burung itu penyakit berbahaya.


S P

b. Klausa verbal, yakni klausa yang predikatnya berkategori verba. Misalnya:

(7) Ayah membaca koran


S P O

(8) Anak-anak berlari


S P

c. Klausa adjektival, yakni klausa yang predikatnya berkategori adjektiva. Misalnya:

(9) Tiang bendera itu tinggi sekali


S P

(10) Warnanya biru kehitam-hitaman


S P

d. Klausa preposisional, yakni klausa yang predikatnya berkategori preposisi.


Misalnya:
e.
(11) Ayah di kantor.
S P

(12) Ibu dari pasar.


S P

f. Klausa numeralia, yakni klausa yang predikatnya berkategori numeraliaia. Misalnya:

(13) Kucingnya dua ekor.


S P

(14) Simpanannya lima juta.


S P
4. Kalimat
Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang
biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai
dengan intonasi final. Intonasi final yang merupakan syarat penting dalam
pembentukan sebuah kalimat dapat berupa intonasi deklaratif, intonasi interogatif,
intonasi imperatif, dan intonasi interjektif. Tanpa intonasi final sebuah klausa tidak
akan menjadi sebuah kalimat. Misal:

(15) Fadli membaca komik di kamar.

(16) Fadli membaca komik di kamar, sedangkan Fandi membaca koran di


kebun.

5. Wacana
Sebagai satuan tertinggi dalam hierarki sintaksis, wacana mempunyai
pengertian yang lengkap atau utuh. Wacana dibangun oleh kalimat atau kalimat-
kalimat. Artinya, sebuah wacana mungkin hanya terdiri dari sebuah kalimat, mungkin
juga terdiri dari sejumlah kalimat. Dalam pembentukan sebuah wacana yang utuh,
kalimat-kalimat itu dapat dipadukan oleh alat-alat pemaduan yang dapat berupa unsur
leksikal, unsur gramatikal, ataupun unsur semantik.

(17) Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan ikannya, telurnya
pun sulit diperoleh (2). Kalaupun bisa diperoleh, harganya melambung selangit
(3). Makanya, ada kecemasan masyarakat nelayan di sana bahwa terubuk itu akan
punah (4).

Kepaduan kalimat (1) dan kalimat (2) dilakukan dengan penggunaan


pronomina nya pada kalimat (2) yang mengacu pada kata terubuk pada kalimat (1).
Kepaduan kalimat (2) dan kalimat (3) dilakukan dengan penggunaan konjungsi
kalaupun dan pronomina nya pada kalimat (3). Lalu, kepaduan kalimat (4) dengan
kalimat-kalimat sebelumnya dilakukan dengan penggunaan konjungsi makanya yang
menyatakan “simpulan” untuk kalimat-kalimat sebelumnya. Keempat kalimat itu
hanya mengacu pada satu pokok gagasan, yaitu mengenai terubuk.

Anda mungkin juga menyukai