Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH

Belanda datang ke Indonesia pada awal abad ke-16. Tokoh yang terkenal adalah Cornelis De
Houtman. Belanda tiba pertama kali di Banten. Awal kedatangan belanda ke indonesia
bertujuan untuk menguasai perdangan rempah dengan mendirikan perusahaan
multinasional Verenigde oost Indische Compagnie (VOC). VOC mendirikan pos dagang di
Maluku dan Banda dan melakukan perundingan dengan penguasa setempat. Seiring dengan
berjalannya waktu, kekuasaan VOC semakin membesar. Oleh sebab itu, VOC memerlukan
berbagai fasilitas tambahan seperti pelabuhan besar, gudang penyimpanan, dan kediaman
untuk petinggi VOC. Meningkatnya kebutuhan VOC menyebabkan terjadinya berbagai
perkembangan dari berbagai aspek. Kemajuan VOC memberikan dampak positif terhadap
perkembangan nusantara. Salah satu aspek yang berkembang adalah budaya. Terjadi
adaptasi dan akulturasi budaya, salah satu hasil dari akulturasi tersebut adalah Arsitektur
Kolonial. Arsitektur kolonial dapat dilihat dari bangunan-bangunan peninggalan Belanda di
Indonesia yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Secara keseluruhan, arsitektur
colonial di Indonesia terdapat beberapa gaya bangunan. Tiap gaya bangunan tersebut
memiliki ciri khasnya masing-masing. Pada dasarnya, VOC tidak menetapkan kriteria apapun
untuk fasad bangunan. Namun lebih focus dalam hal structural. Gaya bangunan diambil dari
pengetahuan dan keterampilan dari negeri asal.

Pada masa itu, bangunan yang dibangun memiliki gaya bangunan yang sama dengan
bangunan di Belanda. Bangunan tersebut memiliki interior dan exterior yang sama, hanya
saja lahan yang digunakan di Batavia ukurannya lebih luas. Bentuk bangunan yang sama
seperti di negeri Belanda, seperti penggunaan atap miring ternyata tidak cocok digunakan di
daerah iklim tropis. Secara keseluruhan, perkembangan arsitektur colonial dibagi menjadi
empat periode yaitu, periode tahun 1600-1800, periode 1800-1902, periode 1902-1920, dan
periode 1920-1940. Setiap periode menampilkan ciri khas arsitektur colonial masing-masing.
Pada periode awal sekitar tahun 1600, bangunan memiliki model yang diadaptasi langsung
dari bangunan di negeri asal. Bentuk bangunan itu sebenarnya paling cocok untuk keadaan
iklim di Eropa, namun kurang cocok untuk diterapkan di iklim tropis akibatnya rumah terasa
panas dan lembab. Karena tidak disesuaikan dengan iklim Indonesia. Namun, seiring
berjalannya waktu dan studi yang dilakukan oleh para arsitek Belanda bangunan kemudian
disesuaikan dengan iklim tropis.

1
ALIRAN – ALIRAN YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
ARSITEKTUR KOLONIAL di INDONESIA
Pengaruh percampuran budaya yang dibawa oleh bangsa Belanda pada arsitektur bangunan
dan bentuk kota yang ada di Indonesia merupakan gaya dan konsep arsitektur yang sedang
berkembang di benua Eropa pada masa tersebut. Gaya arsitektur Kolonial di Indonesia
dalam perkembangannya menurut Handinoto (2012) terbagi menjadi tiga yaitu; Indische
Empire style (Abad 18-19); Arsitektur Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial modern
(1915-1940). Pada masa itu, sedang berkembang aliran – aliran gaya arsitektur yang popular
di Belanda (Netherland). Sehingga, terdapat beberapa aliran gaya arsitektur yang
berpengaruh pada perkembangan arstektur kolonial di Indonesia seperti :

Gaya Neo Klasik (the Indische Empire Style / the Dutch Colonial Villa)
Arsitektur Neoklasik pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Herman Willen Daendels.
Daendels tiba ke Hindia Belanda, ia menerapkan gaya neoklasik tersebut kepada bangunan-
bangunan indisch dan dan menyebutnya dnegan istilah bangunan gaya "Indische Empire
Style". Gaya arsitektur Indische Empire style ini berkembang di Indonesia pada pertengahan
abad ke-18 sampai akhir abad ke-19.
Ciri – Ciri dan Karakteristik Gaya Neo Klasik (Indische Empire Style) :
1. Denah simetris penuh dengan satu lantai atas dan ditutup dengan atap perisai.
2. Menggunakan genting atap yang besar
3. Menggunakan pilar (kolom) yang besar menjulang vertikal
4. Bagian atas pilar bergaya Doric (Yunani atau Romawi), Toksana, Ionic, Korintia,
maupun campuran dari semua gaya.
5. Menggunakan dinding satu bata dengan ketebalan ± 30 cm.
6. Penggunaaan ornamen yang sedikit
7. Dinding rumah umunya menggunakan batu bata yang di plester dan di cat putih
8. Pintu dan jendela serta kusen kebanyakan
9. Memiliki langit – langit tinggi
10. Central room yang diapit oleh kamar-kamar di samping kiri dan kanannya.
11. Terkadang terdapat paviliun di samping bangunan utama
Contoh Bangunan Kolonial Dengan Gaya Neo Klasik
Willemskerk (Gereja Emmanuel)

Sumber:cagarbudaya.kemdikbud.go.id

2
Willemskerk merupakan sebuah gereja Protestan yang ada di Batavia dan dibangun pada
tahun 1835. Gereja Willemskerk ini didesain oleh Johan Hendrik Horst yang merupakan
arsitek Belanda. Bentuk denah gereja ini adalah lingkaran, dengan fasad berwarna putih
serta terdapat pilar dengan gaya doric yang menjulang dan berukuran besar. Pada bagian
atap, berbentuk berbentuk kubah besar dengan louver di atasnya. Louver adalah Menara
kecil yang berada di atap yang bergaya neo-klasik.

Bentuk Vernacular Belanda dan Penyesuaian Terhadap Iklim Tropis (Imperium Style)
Seiring berjalannya waktu, para arsitek belanda mulai meninggalkan gaya Neo Klasik dalam
perancangan bangunan. Hal ini, dikarenakan para arsitek mulai memunculkan inovasi baru
dengan menciptakan sebuah gaya arsitektur yang sesuai dengan iklim tropis. Arsitektur Indis
merupakan sebuah inovasi baru perpaduan antara arsitektur local dengan Arsitektur Eropa.
Ciri dan Karakteristik :
1. Adanya lubang angin pada bangunan sebagai aliran udara
2. Bentuk denah tipis dan memanjang. Bentuk ini memung-kinkan tiap ruang untuk
mendapat pencahayaan dan penghawaan alami.
3. Biasanya, menggunakan bentuk pintu dan jendela krepyak
4. Menggunakan dinding satu bata dengan ketebalan ± 30 cm.
5. Bentuk atap tinggi dengan kemiringan besar antara 45º-60º
6. Kebanyakan, layout bangunan menghadap Utara Selatan dengan orientasi tepat
terhadap sinar matahari tropis Timur Barat
Contoh Bangunan Kolonial dengan Penyesuaian Terhadap Iklim Tropis

Gambar: Gedung Tusuk Sate


Sumber : id.pinterest.com
Gedung ini dibangun pada tahun 1920 dan dirancang oleh arsitek Belanda Ir. J. Gerber
beserta timnya. Awalnya, Gedung ini merupakan bangunan kantor untuk Departemen
Pekerjaan Umum (Gouvernments Bedrijven). Gedung ini kemudian diberi nama “Gedung
Sate” karena terdapat elemen horizontal pada atap gedung tersebut yang mirip dengan
tusuk sate. Bangunan ini menjadi symbol dan sengaja disesuaikan dengan iklim tropis.
Pada perancanagannnya, gedung ini memperhatikan penghawaan dan pencahayaan dengan
adanya jendela – jendela yang berjumlah banyak dengan ukuran yang tinggi.

3
Gaya Neo gothic
Gaya Neo gothic merupakan kelanjutan dari arsitektur gothic namun lebih modern. Gaya
Neo Gothic merupakan perulangan dari gaya Gothic yang mengalami penyederhanaan
karena tumbuh pada saat modernisasi.
Ciri-ciri dan karakteristik Bangunan Kolonial dengan Gaya Neo Gothic:
1. Memiliki bentuk denah kotak
2. Tidak ada penyangga( flying buttress) karena menggunakan material beton, kayu
dan konstruksi baja yang memungkinkan bentuk bangunan menjadi lebih ramping,
3. Disisi kanan dan kiri terdapat tangga
4. Pada bagian tampak depan bangunan, terdapat dua
5. Terdapat busur lancip pada bentuk jendela
6. Plafond terbuat dari besi dan memiliki bentuk lekukan khas gothic
7. Terdapat permainan molding (ornament hias) yang lebih sederhana dibandingkan
gaya arsitektur Gothic.
Contoh Bangunan Kolonial dengan Gaya Neo Gothic
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Kayutangan

Gambar: Gereja Hati Kudus Yesus


Sumber : Kompasiana.com
Gereja Hati Kudus Yesus terletak di Jalan Kayoetangan yang sekarang menjadi Jl. Basuki
Rachmad. Dirancang oleh arsitek Belanda Marius J. Hulswit, pada tahun 1898. Gereja
Kayutangan memiliki gaya arsitektur Neo gothic yang memang sedang melanda banyak
bangunan gereja di Eropa pada abad XIX.Gereja ini memiliki struktur gedung yang tinggi,
jendela dan pintu yang besar, juga terdapat ornamen- ornamen dengan ciri-ciri Neo gothic
yang kuat.

Art Deco
Art Deco mulai mucil pada tahun 1920 -an. Perkembangan Art Deco Belanda di pengaruhi
oleh Art Deco di Hindia Belanda. Perkembangan ini, membuat Art Deco lebih modern dari
gaya–gaya sebelumnya. Ciri khas Art Deco berupa penggunaan warna, geometri, dan
ornamentasi. Art Deco merepresentasikan bangunan yang simetris dan menampilkan
kemajuan teknologi dan kemewahan.

4
Ciri-ciri dan karakteristik Bangunan Kolonial dengan Gaya Art Deco:
1. Bentuk bangunan massive
2. Menggunakan unsur unsur bentuk geometris seperti persegi dan lengkung
3. Menggunakan bahan berupa semen, beton, batu bata, baja, dan aluminium
4. Meneraptan motif dekorasi pada bangunan
5. Atap datar
6. Penataan jendela horizontal dan lebar
Contoh Bangunan Kolonial dengan Gaya Art Deco
Lawang Sewu, Semarang

Gambar : Lawang Sewu


Sumber: Heritage.kai.id
Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan landmark di Semarang, Jawa Tengah. Lawang
Sewu dibangun pada tahun 1904 oleh arsitek Cosman Citroen. Dulunya, bangunan ini
merupakan Kantor Pusat Administrasi Kereta Api – NIS (Het Hoofdkantor van de
Netherlands-Indische Spoorweg Maatschappij). Namun, saat ini sudah dialih fungsikan
sebagai museum. Bangunan ini meiliki tiga lantai dengan 900 pintu. Gaya artdeco dengan
bentuk bangunan simetris, hal ini sangat diperhatikan karena desain bangunannya
mengutamakan unsur keseimbangan.

Nieuwe Bouwen
Gaya Nieuwe Bouwen ada dipelopori oleh arsitek Hindia Belanda Le Corbusier (Perancis)
dan Bauhaus (Jerman) pada Abad ke-20. Arsitektur Nieuwe Bouwen merupakan bagian dari
Arsitektur Art Deco. Aliran Niewuwe Bowen ini, dibedakan menjadi dua aliran yakni Nieuwe
Zakelijkheid dan Ekspresionistik
Ciri-ciri dan Karakteristik Gaya Nieuwe Bouwen
1. Bangunan memiliki atap yang datar
2. Memiliki gevel horizontal
3. Volume bangunan berbentuk kubus atau bentuk geometris lainnya
4. Bangunan berwarna putih
5. Pada aliran Nieuwe Zakelijkheid berbentuk asimetris void yang saling tindih.
6. Pada aliran Ekspresionistik memiliki wujud bangunan curvyline atau lonjong

5
Contoh Bangunan Kolonial dengan Gaya Nieuwe Bouwen
Villa Isola

Gambar: Villa Isola


Sumber: wikipedia
Villa Isola terletak di pinggiran utara Kota Banding tepatnya di jl. Dr. Setiabudhi no. 229,
Bandung Utara. Gedung ini dibangun pada tahun 1933 oleh Herman Thomas Karsen.
Bangunan ini memiliki tiga lantai dengan bentuk fasad sudut bangunan melengkung yang
sesuai dengan aliran Nieuwe Bowen Ekspresionistik. Awalnya bangunan ini berfungsi
sebagai rumah tinggal namun, saat ini dialih fungsikan menjadi gedung rektorat Universitas
Pendidikan Indonesia dengan kata lain yaitu UPI.

6
Periodesasi Arsitektur Kolonial Tahun 1600-an sampai
tahun 1800
Pada masa periodesasi 1 Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische atau
Hindia Belanda. Kedatangan orang Belanda di Indonesia semakin bertambah banyak setelah
adanya pembentukan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602. Belanda
mengikuti Portugis yang sudah lebih dahulu di Indonesia untuk mendirikan pos dagang
sendiri agar kedudukan Belanda lebih kuat lagi. Belanda memilih lokasi yang strategis dan
fungsional hingga VOC berani merebut Ambon dari Portugis untuk memonopoli
perdagangan. Dengan berkembang pesatnya kekuasaan VOC, dibutuhkan Pelabuhan besar
untuk mengkoordinasikan armada mereka. Oleh karena itu pada 1619, 16 buah kapal
Belanda tiba di Jawa. Jayakarta diganti oleh VOC menjadi Batavia dan mulai menjalankan
kegiatan Dinas Pekerjaan Umum (Ambachtskwartieren).

Pada pembangunan, rancangan bangunan sangat diperhatikan dan harus sesuai


dengan persyaratan yang difokuskan pada fungsi struktur. Selain itu pada pembangunan
tidak terlalu mementingkan segi estetikanya. Dalam kegiatan pembangunan tersebut,
Belanda menggunakan batu bata yang langsung diimpor dari Belanda karena
standarisasinya telah disesuaikan. Selain batu bata, batu koral juga digunakan dalam
pembangunan. Namun batu koral memiliki struktur yang berpori dan daya kapilaritasnya
yang cukup tinggi sehingga membuat bangunan menjadi lembab.

Pembangunan yang dilakukan oleh VOC ini tidak hanya di wilayah Batavia, tetapi
juga melakukan pembangunan di luar Batavia. Bangunan yang berada di dalam wilayah
Batavia memiliki bentuk yang cukup tinggi dan fasadnya terkesan sempit. Bangunan
tersebut memiliki dinding berplester dan terdapat jendela crossbar dengan aksen anyaman
yang terbuat dari rotan. Bentuk atap dari bangunan yang dibangun di dalam wilayah Batavia
ini merentang dan sejajar dengan jalan. Hal ini dapat menajdikan atapnya sebagai naungan
untuk bagian depan bangunan. Untuk fasad bangunan yang berada di luar wilayah Batavia
terbuat dari batu bata yang diplester.

Seiring berjalannya pembangunan yang dilakukan oleh VOC, arsitektur kolonial


Belanda menjadi kehilangan jati dirinya pada bangunan tradisional di Belanda. Pada periode
ini, bentuk khas dan gaya arsitektur Belanda belum terlihat jelas. Bangunan kolonial Belanda
tidak memiliki orientasi bentuk yang jelas. Arsitekturnya masih mengikuti bangunan dari
negara asalnya tanpa mengadaptasi iklim dan lingkungan yang berbeda antara Belanda dan
Indonesia.

Pada tahun1700-an mulailah VOC dianggap mampu dan aman untuk keluar dari
benteng mereka yang berada di Batavia. VOC sudah sadar bahwa terdapat lingkungan tropis
yang kaya di luar benteng. Akhirnya mulailah mereka melakukan kegiatan bercocok tanam

7
dan berkebun untuk memanfaatkan wilayah tropis yang ada. Di kebun tersebut, mereka
melengkapi fasilitasnya dengan membuat kolam serta membuat patung dan pahatan.
Terdapat semak-semak dan pohon yang masih rindang. Untuk menjaga kebun, dibangun
juga rumah penjaga yang berada di tengah kebun. Tanah di wilayah tersebut yang masih
dirasa banyak dengan pemandangan di Jawa yang sangat indah menajdikan Belanda
semakin ingin untuk tinggal di Jawa. Pegawai VOC mulai mendirikan rumah tinggal masing-
masing dengan memamerkan bentuk yang mewah. Semakin mewah rumah tinggal, semakin
besar penghasilan yang dimiliki oleh pegawai VOC. Rumah mantan Gubernur Jenderal
Reinier de Klerk merupakan salah satu contoh rumah yang dibangun dengan sudah
memperhatikan pendekatan yang lebih merakyat dalam membuat rancangan arsitekur.

Ciri dari arsitektur yang dibangun pada masa periodesasi I (1600-1800) secara umum
yaitu:

1. Bentuk bangunan yang masih sama dengan di negara asal (Belanda)


2. Bangunannya memanjang
3. Atap cenderung tinggi dan merentang
4. Bentuk fasad terkesan sempit
5. Menggunakan material batu bata
6. Bentuk simetris
7. Memiliki bukaan yang banyak

Contoh bangunan yang ada pada masa periodesasi I (1600-1800) adalah sebagai berikut.

1. Museum Fatahillah

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah

Museum Fatahillah merupakan museum yang terletak di daerah Jakarta, tepatnya di


Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat. Museum ini dibangun pada tahun 1707 dan
memakan waktu sekitar 5 tahun untuk proses pembangunan. Pembangunan selesai pada
tahun 1712 atas perintah Gubernur Jenderal Belanda pada waktu itu yang bernama Joan
Van Hoon. Dulu bangunan ini difungsikan sebagai balai kota Batavia atau dalam Bahasa
Belanda disebut dengan Stadhuis Van Batavia. Pada awalnya balai kota ini pertama
dibangun pada 1620 dan terletak di sebelah timur Kali Besar. Namun gedung tersebut hanya

8
bertahan sekitar 6 tahun dan dibongkar untuk serangan dari pasukan Sultan Agung pada
1626. Selanjutnya pada 1627 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon memerintahkan
pembangunan ulang. Pada 1648 kondisi tanah sangat tidak stabil sehingga bangunan mulai
turun dari parmukaan tanah. Hingga pada akhirnya di tahun 1707 diputuskan untuk
dibangun ulang dengan pondasi yang hampir sama dari bangunan sebelumnya. Model
bangunan Museum Fatahillah ini bergaya neo klasik dan didesain mirip seperti Istana Dam
yang berada di Belanda. W. J Van Velde dan J. Kremmer merupakan perancang dari museum
tersebut. Mereka merancang bangunan secara memanjang dengan memiliki 2 sayap
ruangan yang berada di bagian barat dan timur.

2. Gedung Arsip Nasional

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Arsip_Nasional

Gedung Arsip Nasional terletak di Jalan Gajah Mada No. 112gh, Jakarta Barat. Bagunan
tersebut dibangun oleh Reiner de Klerk pada tahun 1755 dan memakan waktu
pembangunan 5 tahun.. Terdapat taman yang luas dan memiliki pintu gerbang yang terlihat
kokoh dengan material besi. Bangunan utamanya bergaya tertutup (closed Dutch Style)
karena tidak memiliki serambi. Selain itu terdapat tujuh jendela yang cukup besar di lantai
dua dan terdapat masing-masing tiga jendela di kiri-kanan pintu masuk. Material lantai
menggunakan ubin yang kemudian diganti oleh marmer pada tahun 1925. Bangunan
tersebut pada awalnya difungsikan sebagai kantor oleh de Klerk saat berada di luar kota (di
luar benteng Batavia). Kemudian pada 1777-1780 dialihfungsikan sebagai kediaman resmi
pejabat tertinggi pemerintahan.

9
Periodesasi Arsitektur Kolonial Tahun 1800-an sampai
tahun 1902

Periode 1800-1816 merupakan masa-masa yang mengalami ketidakpastian. Pada periode ini
menjadi peralihan yang cukup penting didalam perkembangan
arsitektur dan perencanaan kota. Pada saat itu juga sedang terjadi
peperangan antara Belanda dan Prancis. Hal ini menyebabkan Belanda
jatuh pada Prancis yang seiring dengan itu sedang berperang dengan
Inggris. Oleh karena itu, Belanda menganggap hal ini sangat serius
sehingga Herman Willem Daendels yang merupakan seorang mantan
jenderal yang pernah ditugaskan saat peperangan Prancis,
diperintahkan oleh Louis Napoleon untuk pergi ke Hindia Belanda
untuk menjadi gubernur dan ditugaskan mempertahankan pulau Jawa
dari ancaman Inggris. Setelah perjalanan yang memakan waktu hingga
11 bulan ini, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 1 Januari 1808.

Selain itu, munculnya periodesisasi era ini dikarenakan perubahan-perubahan yang terja
pada era tersebut, pada saat itu VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) mengalami keterpurukan
dan kebangkrutan akibat banyaknya korupsi di internal perusahaannya sehingga hal tersebut
1https://fineartamerica.com/feat membuat Belanda mengambil alih perusahaan tersebut. Namun
ured/herman-willem-daendels-
1838-saleh-raden.html? Belanda pun mengalami kekalahan dari Perancis yang saat itu juga
product=art-print sedang berperang
dengan Inggris. Hal
tersebut membuat kerajaan Inggris menyerang
Hindia-Belanda dan berhasil mengambil alih, tapi hal
tersebut hanya berlangsung pada tahun 1811-1815
saja dan pada akhirnya kekuasaan di Hindia-Belanda
dikembalikan ke Belanda.

Dikarenakan melemahnya perekonomian di


negeri Belanda menjadikan pemerintah Belanda
memiliki visi dan misi yang lebih menguatkan
statusnya sebagai penjajah. Salah satunya yaitu dengan cara mendirikan bangunan-bangunan yang
tinggi dan megah dengan gaya khas neo-klasik pada bangunannya sebagai suatu tanda akan
bangunan pemerintah Belanda saat itu. Gaya arsitektur Belanda pada masa itu sebenarnya sedang
terlihat dan sudah mulai muncul di negerinya, namun masih belum tersampaikan sampai ke Hindia
Belanda dikarenakan saat itu Hindia Belanda masih susah untuk dijangkau dari luar ataupun

10
menjangkau keluar. Adanya orang-orang adat Jawa sebagai penduduk asli saat itu akhirnya
membuat suatu percampuran dengan orang-orang Belanda yang datang dan menghasilkan sesuatu
yang baru. Tak terkecuali terbentuknya suatu gaya arsitektur baru dari percampuran tersebut. Gaya
arsitektur ini dikenal dengan nama “The Empire Style”. Awal mula pencetusnya merupakan
Gubernur Jendral Herman Willem Daendels. Daendels yang saat itu akan datang dan menjabat untuk
membenahi Hindia Belanda yang dianggap sedang kacau. ‘The Empire Style’ merajuk pada gaya
arsitektural neo-klasik yang sedang banyak
digunakan di Eropa, khususunya Perancis.
Tidak mengherankan alasan dari ada dan
berkembangnya ‘The Empire Style’ ini
dikarenakan Daendels dulunya adalah
seorang yang menjabat sebagai jenderal
Napoleon. ‘The Empire Style’ memiliki
bentukan gaya yang terlihat kolonial namun
dengan adanya penyesuaian iklim dan juga
material pada lingkungan pribumi.
Penyesuaian terjadi pada material dan
bentukan sehingga bangunan yang dibangun dapat tahan terhadap cuaca dan iklim di Indonesia.

Di era dengan banyak peralihan ini banyak juga pembangunan yang terjadi di nusantara
banyak dipelopori oleh tokoh- tokoh pemimpin penjajah. Herman WIlliem Dandels seorang jendral
yang dikirim ke nusantara oleh Louis Napoleon untuk menjadi gubernur sekaligus mempertahankan
daerah kekuasaan Belanda dari ancaman Inggris. Dengan sistem kerja rodi dia dapat membangun
beberapa proyek yang cukup luar biasa. Selama masa jabatannya, bangunan de Groote Postweg atau
Jalan Raya Anyer sampai ke Panarukan yang mencapai kurang lebih sekitar 1000 kilometer menjadi
salah satu yang paling terkenal, walaupun hal tersebut membuat banyak warga pribumi yang
mendapatkan kekejaman dari sistem kerja rodi.

Herman Willem Daendels dianggap sebagai tokoh yang cukup luar biasa karena dapat
merencanakan dan mengembangkan proyek yang lebih baik dari zamannya. Namun, cara untuk
mengembangkan proyeknya kurang baik karena masyarakat pribumi menjadi dipaksa untuk bekerja
(kerja rodi). Proyek lainnya yang cukup terkenal juga adalah pendirian kota Weltevreden, di selatan
Batavia. Proyek ini dimaksudkan untuk membangun fungsi kota yang terdapat gedung
pemerintahan, fasilitas militer, sarana hiburan dan tempat tinggal yang nyaman. Gedung
Pemerintahan baru telah direncanakan untuk menggantikan benteng VOC lama. Gedung ini sebagian
dibangun dengan menggunakan bata yang didapat dari bekas benteng atau dinding Batavia.
Daendels terburu-terburu dalam memproses bangunan ini.

Pada tahun 1811, Daendels terpaksa kembali ke Eropa. Jenderal J. W. Janssens yang
menggantikan kedudukan Daendels. Namun setelah empat bulan, ia terpaksa pergi karena sudah
terpojokan oleh Inggris dan harus menyerahkan negeri jajahannya kepada Inggris. Muncul tokoh
yang menjadi gubernur jenderal baru, yaitu Thomas Stamford Raffles. Sebuah departemen baru pun
terbentuk. Negeri jajahan ini kembali kepada Belanda pada tahun 1816. Tujuan pemerintahan

11
Thomas S. Raffles ini adalah untuk menyejahterakan rakyat dengan mendirikan system sewa tanah
(landrente).

Setelah itu mulai terjadi peristiwa-peristiwa peralihan kekuasaan yang terjadi, akhirnya
kekuasaan Hindia-Belanda kembali diambil alih oleh Belanda dan pada saat pengembalian alih
kembali tersebut keadaan Belanda sedang mengalami pelemahan di kondisi perekonomian, demi
membenahi keadaan Belanda saat itu, pemerintahan Belanda menerapkan sebuah kebijakan yaitu
cultuurtselsel atau tanam paksa, sebuah sistem yang juga menyengsarakan bagi pribumi.
Dikarenakan buruknya akibat dari sistem tersebut kepada pribumi maka sistem tersebut dihapuskan
dan diganti dengan sebuah sistem baru yang disebut sistem perusahaan terbuka, bukannya
membaik sistem tersebut malah memperburuk keadaan masyarakat Indonesia, terpisahnya antara
pribumi dan orang Eropa mengakibatkan banyaknya terjadi rasisme dan terbentuknya banyak
pemukiman Eropa dengan bangunan yang megah dan tinggi dengan gaya neo-klasik yang sudah
disesuaikan Herman Willem Daendels, sehingga hal tersebut menguatkan kesan mereka sebagai
penjajah. Walaupun dikenal sebagai pemukiman Eropa, hal tersebut tidak serta-merta membuat
pemukiman tersebut seperti di kota-kota Eropa, karena pada saat itu pemukiman terswebut disebut
memiliki ciri sebuah sistem yang mendekati apartheid sejak zaman VOC. Dan memang pada saat itu
Belanda kebanyakan mencontek gaya bangunan-bangunan yang menjadi peninggalan VOC, yang
sebenarnya hal tersebut berbeda dengan gaya yang sedang menjadi “style Belanda” saat itu karena
jarak Hindia-Belanda yang termasuk jauh dari Belanda.

Berikut beberapa contoh bangunan kolonial di Indonesia yang di bangun pada masa
periodesasi tahun 1800-1902 :

Government Hotel (1809)

Mulai berdiri tahun 1809 (saat masa jabatan


Willem Daendels) selesai pada 1828 (saat masa
jabatan Du Bus). Lokasi yang sekarang menjadi
lapangan banteng dan Medan Merdeka, Jakarta.
Kepala arsiteknya adalah J. Jongkin dengan kepala
pelaksana nya adalah Zeni J.C. Schultze.
Governements Hôtel merupakan bangunan yang
digunakan sebagai kantor oleh Gubernur Jendral.
Governements Hôtel sebagai salah satu gedung yang
termegah dan besar di jawa masa itu. Bangunan ini
4Tampak depan Governements Hôtel (foto diambil
pada th. 1895). Sumber DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR memiliki makna atau tujuannya tersendiri dibalik
Vol. 36, No. 1, Juli 2008: 43 - 53 pembangunannya, yaitu menunjukkan betapa besar
dan berpengaruhnya kekuasaan dari pejabat kala itu.

Untuk mendirikan bangunan ini, Daendels sengaja merombak dan merobohkan sebagian besar
bangunan yang menjadi ikon dari VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sebelumnya.
Materialmaterial utama dari perombakan dari bangunan sebelumnya lah yang digunakan oleh
Daendels untuk membangun kembali Governements Hôtel. Mengadaptasi bentukan arsitektural
Eropa. Menurut jurnal Handinoto (2008), bangunan ini memiliki luasan dengan gedung utamanya
adalah 76 x 26,4 M. Sedangkan gedunggedung disampingnya yang merupakan sayap bangunan

12
memiliki luasan 25,10 x 26,40 M. Lebar
seluruh bangunan kira-kira adalah 150 M.
Lapangan luas ini sekarang berubah menajadi
lapangan banteng dan Medan Merdeka yang
berada di pusat Jakarta. Di bagian dalam
bangunan terdapat bagian belakang yang
difungsikan sebagai kantor, tempat para
pekerja sebagai pelayan disana, tempat dari
peliharaan kuda, dan tempat menyimpan
kereta. Di depan bangunan terdapat sebuah
tugu yang memiliki bentuk singa pada bagian ujung puncaknya.

Jongen Weezen-Inrichting (1863)

Jongen Weezen Inrichting mulai dibangun pada tahun 1863. Lokasi di Weezenstraat
(sekarang Jl. Sampurna, Surabaya). Fungsi utama bangunan ini pada masanya adalah sebagai tempat
untuk mengasuh anak-anak yatim piatu. Setidaknya di satu wilayah pemukiman dari orangorang
Belanda, Fungsi utama bangunan ini pada masanya adalah sebagai tempat untuk mengasuh anak-
anak yatim piatu. Setidaknya di satu wilayah pemukiman dari orangorang Belanda, pasti memiliki
tempat untuk mengasuh anakanak yatim piatu yang sudah merupakan suatu tanda dari pemukiman
Belanda tersebut. Bentuk dari bangunannya memiliki khas gaya arsitektur ‘The Empire Style’.
Dengan kolom ionic yang membuat kesan bangunan terlihat megah dan kokoh. Gedung ini sekarang
diakuisisi oleh perusahaan Sampoerna yang pada awalnya digunakan sebagai pabriknya, namun
sekarang bangunan ini beralih fungsi menjadi museum dari pabrik Sampoerna dengan nama House
of Sampoerna. Kurang lebih banyak sekali yang berubah dari bentuk awal bangunan setelah menjadi
milik Sampoerna, utamanya pada bagian fasad depan kecuali kolom ionic yang masih tetap berjajar
dan tidak berubah.

Gedung Societeit Concordia (1860)


Gedung Societeit Concordia dibangun pada
tahun 1860 Lokasi berada di Societeitstraat
(sekarang Jl. Veteran, Surabaya) Gedung
Societeit Concordia termasuk salah satu
bangunan dengan menggunakan material seng
gelombang dan kolomnya yang dibuat dengan
cor besi. Material yang digunakan sudah
menyesuaikan seperti iklim pada kawasan lokal.
Gedung ini sempat digunakan sebagai kantor
Pertamina Unit Pemasaran V. Lalu digunakan
untuk kantor Pengawas Perburuhan Propinsi
5https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/societeit-
Jawa Timur. Namun adanya renovasi membuat
concordia-gedung-merdeka-bandung/
fasadnya yang dahulu dengan yang sekarang
sama sekali terlihat berbeda.

13
Raad Van Justietie (1866)

Raad van justitie (Dewan Kehakiman) merupakan


lembaga pemerintahan tertinggi Belanda, Lembaga ini
didirikan pada tahun 1620 di Gedung Stadhius. Tugas
dewan ini adalah menyelesaikan permasalahan
tentang hukuman yang sudah diputuskan oleh Collegie
van Schepenen (Dewan Pemulih Keamanan).
Dikarenakan peran pentingnya dibangunlah sebuah
gedung di kota-kota besar salah satunya Batavia untuk
6https://ilmuseni.com/seni-rupa/museum-seni-rupa- dijadikan sebagai kantor dan nama Gedung tersebut
dan-keramik dikenal dengan Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het
Kasteel Batavia (Kantor Dewan Kehakiman pada
Benteng Batavia) yang biasa disebut juga raad van justitie. Bangunan yang mulai didirikan pada
tahun 1966 dan diresmikan pada tahun 1870 merupakan rancangan seorang arsitek bernama Jhe.
Willem Herman Frederik Hendrik van Raders yang lahir di Curaçao pada tahun 1827. Bangunan
dengan luas kurang lebih sekitar sekitar 269.000 gulden untuk konstruksinya. Empire style yang
sedang digandrungi di Hindia-Belanda diera itu menjadi model dari bangunan ini. Hal tersebut dapat
kita perhatikan dari pilar-pilar yang digunakan memiliki gaya Yunani yaitu gaya Doria. Ruud van
justitie ini pun memiliki beranda depan dan belakang yang luas serta taman yang mengelilinginya.
Selain itu aspek fasad bangunannya pun menunjukkan keterkaitan dengan empire style yaitu adanya
mahkota di bagian atas beranda depan, denah yang ada pun berbentuk simetris, merupakan
bangunan satu lantai namun memiliki ketinggian atap hingga lebih dari 6 meter. Selain itu warna
yang digunakan adalah putih yang bisa dikatakan merupakan cerminan kesucian dan kemegahan.
Dapat disimpulkan bangunan yang digunakan sebagai Gedung pemerintahan ini menggunakan gaya
bangunan “empire style” yang melambangkan keangkuhan daendels sebagai penjajah yang ia
wariskan melalui gaya bangunan yang besar, megah, tinggi, dan kokoh.

14
Periodesasi Arsitektur Kolonial Tahun 1902-an sampai
tahun 1920
Pada masa periodesasi ini sudah semakin banyak orang Belanda yang bermukim di
Indonesia. Hal ini menjadikan pemukiman di daerah Jawa menjadi semakin padat. Arsitektur
Hindia Baru (Indische Architecture) pada periodesasi ini mulai diperkenalkan dengan sudah
mengadaptasi iklim tropis yang ada di Indonesia. Material baru mulai banyak digunakan
karena sudah mulai terpengaruh modernisme. Pada tahun 1902 kaum liberal yang berada di
negeri Belanda mendesak untuk menerapkan politik etis I tanah mereka.

Semakin banyaknya pemukiman orang Belanda, menjadikan munculnya banyak


perubahan dari arsitekturnya sehingga menjadikan arsitektur Hindia Baru mulai menghilang.
Dengan hilangnya Indische Architecture, mulai muncul gaya baru yang dinamakan Arsitektur
Kolonial Belanda Modern. Ciri khas dari Arsitektur Kolonial Belanda Modern ini memiliki ciri
yang khas dan memiliki gaya yang berbeda dari arsitektur yang ada di Belanda. Hal ini dapat
terjadi karena sudah ada penyesuaian konsep dasar arsitektur yang berada di Belanda
dengan iklim yang ada di Indonesia. Banyak arsitek berpendidikan lulusan Technische Hooge
School Di Delft berdatangan pada tahun 1902-1920 seperti Henri Maclaine Pont dan
Herman Thomas Karsten. Dua tokoh tersebut memfokuskan desain dengan melakukan
pendekatan terhadap budaya dan lingkungan alam tempat pembangunan akan dilakukan.
Mereka mendesain sesuai dengan kesukaan dan referensi yang mereka miliki namun tetap
melakukan pendekatan terhadap iklim.

Petrus Josephus Cuypers merupaka awal mula dari munculnya arsitektur modern
Belanda. Ia merupakan seorang arsitek yang memiliki aliran neo-Gothik. Setelah itu, Hendrik
Petrus Berlage mulai mengikuti jejaknya dengan meliliki aliran Niuwe Kunst (Art Noveau
bergaya Belanda). Pada 1915, aliran Arsitektur Kolonial Belanda Modern terbagi menjadi
dua aliran yaitu Amsterdam School dan De Stijl. Kemudian gaya Arsitektur ini (Nieuwe Kunst
dan Art Deco) menjadi patokan Arsitektur Kolonial Belanda Modern di Indonesia yang
dipadukan dengan arsitektur tradisional Indonesia.

Arsitektur pada masa periodesasi ketiga ini masih memiliki gaya yang mirip dengan
gaya yang ada pada abad ke-18. Pada masa ini gaya neo-klasik masih digunakan dalam
membuat arsitektur. Gaya bangunan mengadopsi dari gaya arsitektur klasik kuno dan karya
dari beberapa arsitek Italia Andrea Palladio. Selain itu prinsip yang diterapkan oleh Vitruvian
juga diterapkan pada saat merancang. Hal ini menjadikan arsitektur pada masa periodesasi
ketiga ini memiliki ciri khas sebagai berikut.

15
1. Bangunan berbentuk simetris
Prinsip bangunan pada masa periodesasi keitga yaitu menggunakan bentuk
bangunan yang simetris. Pada beberapa bangunan bahkan menggunakan bentuk
yang simetris pada denah.
2. Terdapat dormer
Dormer adalah solusi dari arsitektur colonial Belanda untuk mengatasi
penghawaan bangunan. Hal ini menjadikan aliran udara yang masuk ke dalam
bangunan bisa efektif.
3. Terdapat serambi di sepanjang bangunan
Tujuan dari serambi ini adalah sebagai ruang transisi penahan air hujan karena
di Indonesia memiliki 2 musim. Hal ini mengakibatkan curah hujan di Indonesia
tinggi. Dengan adanya serambi, air hujan tidak langsung masuk ke ruangan di dalam
bangunan.
4. Penggunaan Gewel pada fasad
Gewel sudah digunakan pada arsitektur Belanda. Namun pada masa ini
penggunaan gewel sudag mulai beradaptasi dengan arsitektur yang ada di
Indonesia. Jenis gewel yang digunakan bermacam-macam, namun pada umumnya
gewel yang digunakan berbentuk segitiga.
5. Mempunyai menara
Menara pada bangunan berfungsi sebagai masuknya aliran udara sehingga
bangunan bisa menjadi semakin sejuk. Selain itu menara juga berfungsi untuk
estetika desain.

Contoh arsitektur yang ada pada masa periodesasi III antara lain sebagai berikut.

1. Arsitektur Kolonial Kantor Pos, Medan

https://id.wikipedia.org/wiki/Kantor_Pos_Medan

Medan pada masa periodesasi III semakin berkembang pesat setelah perkebunan
menjadi usaha utamanya. Tembakau yang merupakan hasil perkebunan yang ada di Medan
ini menjadi semakin banyak dikenal oleh masyarakat. Selain itu tembakau Medan ini
berkualitas sehingga terkenal ke seluruh Eropa. Untuk mendukung kegiatan operasional
tersebut dibutuhkan kantor agar kegiatan menjadi semakin efektif. Kemajuan perusahaan
tembakau tersebut menjadikan munculnya gedung Kantor Pos Besar Medan. Terdapat

16
ukiran tulisan ‘ANNO 1911’ di bagian atas samping kiri dan kanan pada bangunan yang
menjadi bukti lahirnya bangunan ini. ‘ANNO 1911’ berarti ‘Tahun 1911’ yaitu tahun
dibangunnya kantor pos di Medan ini. Arsitek yang merancang bangunan kantor pos ini
adalah Snuyf. Pembangunan dimulai pada 1909 hingga 1911. Di bagian pintu masuk utama
terdapat ukiran logo merpati. Ukiran geometris yang ada pada gedung pos ini bergaya
tempo dulu. Selain itu terdapat ukiran terompet khas Belanda.

2. Lawang Sewu

https://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu

Lawang Sewu merupakan Bahasa Jawa dari seribu pintu. Hal ini dikarenakan
bangunan ini memiliki pintu yang banyak walaupun tidak sampai seribu pintu, namun
sebanyak 429 buah. Bangunan ini didirikan pada 1904 dan selesai pada 1907. Direksi NIS
(Nederlands Indische Spoorweg Maatschappj) yang merupakan kantor pusat perusahaan
kereta api swasta milik Belanda ini dirancang oleh Prof. Jacob F. klinkhamer dan B. J.
Quendag. Awalnya bangunan berfungsi sebagai kantor pusat perusahaan kereta api. Gedung
utama Lawang sewu memiliki tiga lantai dan memiliki dua sayap yang melebar ke bagian
kanan dan kiri. Terdapat tangga besar yang membentang di dalam gedung. Di antara tangga
terdapat kaca gelas dengan ukuran yang cukup besar dengan gambar wanita muda Belanda.
Bentuk pintu, jendela, dan bentuk bangunan masih mengambil ciri khas dari arsitektur
Belanda.

17
Periodesasi Arsitektur Kolonial Tahun 1920 sampai
tahun 1940
Pada tahun 1920 an terjadi diskusi mengenai perkembangan arsitektur di Indonesia . Dalam
diskusi itu, Berlage dan Van Romont berpendapat bahwa arsitektur Indonesia harus berasal
dan datang dari pikiran kita sendiriPada akhir abad ke-19 terjadi berbagai perubahan di dunia
politik dan otonomi dari Hindia Belanda dan pemerintahan sendiri. Berkembangnya
nasionalisme tersebut membawa pengaruh di dalam dunia arsitektur. Arsitektur kala itu
berusaha mencerminkan jati diri budaya kawasan. Terdapat dua aliran arsitek yang
menanggapi kecenderungan ini. Aliran pertama menganut prinsip fungsionalis ketat yang
sejalan dengan Gerakan Modernisme di Eropa. Tokoh yang termasuk dalam aliran ini adalah
A.F.Aalbers. sedangkan aliran kedua mencoba mengimbangi etos Modernis dengan
memasukkan arsitektur asli setempat, dengan harapan dapat memunculkan arsitektur modern
Indonesia yang khas . Pelopor aliran ini adalah Maclaine Pont dan Karsten.

Kedatangan para arsitek tersebut membawa dampak yang baik yaitu peningkatan kualitas
karya arsitektur dan diskusi di Hindia Belanda. Wolf Schoemaker dan Maclaine Pont
mempertanyakan mengenai sifat dasar dari arsitektur Indonesia. Menurut Wolf Schoemaker
dan Maclaine Pont, perbedaan iklim antara Indonesia dan Belanda merupakan sebuah
tantangan baru. Wolf Schoemaker berpendapat bahwa arsitektur tradisional tidak dapat
dijadikan patokan arsitektur modern. Sama halnya dengan Wolf Schoemaker , Maclaine Pont
juga memiliki pendapat dan keraguan yang sama. Maclaine Pont meyakini tradisi arsitektur
Jawa dan berkeinginan untuk menjadikannya patokan dalam menciptakan sebuah arsitektur
modern.

Pada tahun 20-an dan 30-an terjadi percampuran unsur arsitektur tradisional dari Indonesia
dengan unsur arsitektur modernis dari Eropa. Banyak terjadi perpaduan gaya Eropa dan
Indonesia dalam teknik-teknik bangunan. Perpaduan tersebut menghasilkan Gaya arsitektural
hindia baru yang memadukan unsur struktural modernis dengan ragam hias kedaerahan.

Tokoh dan Karya

1. Henri Maclaine Pont ( 1884 – 1971)

18
Henri https://i2.wp.com/media.tumblr.com/73455374bb94adec657d2d2ac1021604/tumblr_inline_m
mfn6zBBfQ1qz4rgp.jpg

Maclaine Pont merupakan pelopor dari percampuran arsitektur kolonial dan arsitektur
Indonesia. Lahir di Jatinegara pada 21 Juni 1884, beliau merupakan arsitek dan arkeolog asal
Belanda yang melakukan penelitian tentang arsitektur asli Indonesia. Berkat idenya
melakukan asimilasi arsitektur kolonial dan
Indonesia , menghasilkan karya-karya
arsitektur yang indah dan unik.

Salah satu karyanya adalah Gereja


Pohsarang yang berada di Desa
Puhsarang, Kecamatan Semen, Kediri,
Jawa Timur. Bangunan ini berbentuk
sebuah komplek dengan satu bangunan
utama. Gereja ini didirikan pada tahun 1936. G.H Wolters yang merupakan seorang
pastor meminta Maclain Pont untuk membangun sebuah gereja di Pohsarang.
Gereja Pohsarang melambangkan hubungan yang serasi dan selaras antara agama
katholik dengan lingkungan. Hal ini
https://yukpigi.com/wp-content/uploads/2018/12/gereja- dikarenakan Bangunan induk memiliki
pohsarang2-min.jpg
bentuk yang unik menyerupai gunung. Hal ini sesuai dengan kepercayaan Jawa yang
mengagungkan dan mensucikan gunung, tempat manusia bisa bertemu dengan sang
pencipta.
Bangunan induk ini merupakan bangunan yang paling sacral. Tempat khusus bagi
jamaat yang sudah dibaptis. Di dalam nya terdapat altar dan sakramen mahakudus,
bejana baptis, sakristi, dan tempat pengkuan dosa. Bangunan ini memiliki atap
berbentuk kubah yang memiliki lambang salib di atasnya. Pada puncak atap terdapat
empat bagian atap yang mengkerucut ke empat sisi dan mengarah ke empat mata
angin, sebagai simbolis dari keempat pengarang injil. Selain bangunan induk, juga
terdapat pendapa. Pendapa ini diperuntukkan untuk jemaat yang belum atau calon
baptis. Gereja Pohsarang dibangun dengan bahan-bahan lokal. Atap bangunan yang
berbentuk kubah menggunakan struktur atap kayu yang dikunci dibagian ujung.

1. Charles Prosper Wolff Schoemaker ( 1882 – 1949 )

19
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/2/21/CPW_Schoemaker.jpg
Charles Prosper
Wolff Schoemaker merupakan seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang lahir di
Banyubiru, Semarang. Beliau dijuluki sebagai “The Frank Lloyd Wright of
Indonesia”. Karya- karyanya yang
terkenal
a. Villa Isola

https://asset-
a.grid.id/crop/0x0:0x0/700x0/photo/2018/08/14/1390833345.jpg

Villa Isola dibangun pada tahun 1993 di Bandung. Menggunakan gaya bangunan
art deco yang banyak dijumpai di Bandung. Awalnya bangunan ini merupakan
bangunan mewah milik Dominique Willem Berretty. Bangunan ini kemudian
digunakan menjadi kantor rektorat Universitas Pendidikan Indonesia. bangunan
ini telah disesuaikan dengan kondisi iklimtropis di Indonesia berupa penggunaan
jendela ventilasi dan gang-gang yang berfungsi sebagai isolasi panas
matahari.Villa Isola merupakan gabungan antara arsitektur klasik dengan filsafat
arsitektur tanah Jawa. Fasad bagian ujung-ujung villa dibuatmelengkung
seperempat lingkaran. Sisi utara
dan selatan dibuat sebagai area
kamar tidur, ruang keluarga, dan
ruang makan, masing-masing
ruangan dilengkapi dengan
jendela besar . Atapnya yang
berbentuk datar dimanfaatkan sebagai
rooftop
b. Bioskop Majestic ( 1925)

20
https://illeycebrous.files.wordpress.com/2018/04/majestic-cinema.jpg?w=723

Bioskop majestic dibangun sebagai bangunan bioskop yang terletak di Jalan Braga
Bandung. Bangunan ini didirikan untuk melengkapi pusat perbelanjaan di Jalan
Braga pada pertengahan 1920-an. Biro yang
bertanggung jawab atas pembangunan dan
perancangan bisokop ini adalah Technisch Bureau
Soenda. Pada perancangan nya C. P. Wolff
Schoemaker menggunakan aliran gaya Indo
Europeeschen Architectuur Stijl, yang dapat
dilihat dari ukiran ukiran dan ornamen yang ada
pada bagian depan bangunan ini. Aliran tersebut
adalah aliran yang menggabungkan unsur unsur
arsitektural tradisional Indoesia yang digabungkan dengan arsitektur modern yang
dibawa oleh Belanda ke Indonesia.
2. Cosman Citroen

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/fb/Citroen%2C_Cosman.jpg

Cosman Citroen berperan


dalam pembangunan
balaikota Surabaya pada tahun 1923.
Bangunan utama balaikota memiliki luas 1938 m 2. Konstruksinya menggunakan tiang
pancang beton yang ditanam. Sedangkan dindingnya terbuat dari bata dan semen.
Material atapnya terbuat dari rangka berbahan besi yang ditutup dengan sirap.
Namun kemudian atapnya diganti dengan genteng supaya lebih tahan cuaca. Selain
perubahan genteng, bangunan ini tidak mengalami perubahan lagi. Fungsinya pun
tidak berubah sejak masa colonial yaitu sebagai kantor walikota Surabaya

21
https://medium.com/@nevinko28/balai-kota-surabaya-simbol-surabaya-sebagai-kotamadya-556011b1bfc1

Pengaruh Belanda terhadap Arsitektur Kolonial di


Indonesia

22
Selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia banyak pengaruh yang diberikan terhadap
segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Salah satunya di bidang arsitektur hal tersebut terlihat
ketika VOC mulai mengembangkan minat dan campur tangan terhadap politik dan ekonomi local
Indonesia, banyak kebijakan-kebijakan yang
diterapkannya membuat banyak elit politis eropa
datang ke Indonesia demi mencari keuntungan.
Culturstesel merupakan kebijakan yang mengawali hal
tersebut, diera itu, awalnya hanya pihak pemerintahan
Belanda saja tapi pihak swasta Eropa pun mulai ikut
berperan. Setelah VOC bangkrut karena banyak korupsi
di dalam tubuhnya pemerintah Belanda membentuk
NHM (Nederlandsche Handel Maatshappij) yang
merupakan reinkarnasi dari VOC. Setelah menerapkan 7https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-
culturstesel, terjadi berbagai macam ketimpangan berdirinya-voc
sehingga mereka menghapus sistem tersebut dan
digantikan dengan UU Agraria dan UU Gula.
Pembentukan UU ini menjadi salah satu yang membuat banyak investor-investor Belanda tertarik
untuk menginvestasikan kekayaan terhadap kebijakan ini., dan untuk mengenal untuk apa mereka
berinvestasi mereka memilih untuk tinggal didaerah jajahan. Hal tersebut menjadikan awal
pertumbuhan bangunan kolonial Indonesia, baik itu rumah tinggal maupun fasilitas umum. Sistem
politik etis juga menyebabkan efek samping yang besar juga, terutama terhadap komponan
Pendidikan dan politik Indonesia. Pendidikan dan politiik
Indonesia mulai berkiblat dan berpedoman ke Barat, dan
dari sini pula para oejabat pemerintah Belanda mulai
mau bekerja sama dengan beberapa elit Indonesia. Salah
satu tokoh yang mau bekerja sama dengan warga
Indonesia adalah Henri Maclaine Pont. Ia adalah seorang 8 Pemandangan udara kantor cabang NHM
Arsitek yang bekerja sama dengan rakyat Indonesia dan di Jakarta sekitar tahun 1955, sekarang
menjadi  Museum Bank Mandiri.
menerapkan budaya Indonesia dalam bangunan
bangunanya. Henri Maclaine Pont menggabungkan https://id.wikipedia.org/wiki/Nederlandsche_Hande
l-Maatschappij
arsitektur kolonial dengan arsitektur Indonesia, ia pun
lebih suka menggunakan bahan lokal dibanding bahan import dan juga ia memperkerjakan buruh
local dalam karyanya sehingga menjadi latihan bagi keterampilan masyarakat sekitar.

Kesimpulan
Arsitektur kolonial merupakan sebuah sebutan untuk langgam arsitektur yang memadukan
antara budaya Barat dan budaya Nusantara. Arsitektur kolonial berkembang di Indonesia

23
selama masa kolonial, yakni ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda
tepatnya pada tahun 1600-1942, selama 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.
Arsitektur ini muncul karena para arsitek Belanda mulai membuat karya bangunan yang
diperuntukkan untuk para bangsa Belanda yang saat itu tinggal di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa Eropa dalam
segala aspek kehidupan tanpa terkecuali dalam aspek tata kota dan bangunan. Sumalyo
(2005) menyatakan bahwasanya adanya Benteng Belanda di Indonesia merupakan wujud
pengaruh arsitektur Eropa melalui serikat dagang Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Di era 1900-an
Arsitektur kolonial mulai memiliki gaya dengan unsur Neo Klasik dan Neo Gothic melalui
karya-karya para arsitek Belanda.

Seiring berjalannya waktu, para arsitek belanda mulai meninggalkan gaya Neo Klasik dalam
perancangan bangunan. Hal ini, dikarenakan para arsitek mulai memunculkan inovasi baru
dengan menciptakan sebuah gaya arsitektur yang sesuai dengan iklim tropis dan mulai
muncul bangunan lebih modern menggunakan gaya Art deco dan Nieuwe Bouwen

Adanya pencampuran budaya serta adaptasi , antara arsitektur belanda dengan arsitektur
nusantara membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi sebuah bangunan dengan
bentuk arsitektur yang unik. Arsitektur kolonial Belanda ini, merupakan bangunan
peninggalan pemerintah Belada dan salah satu bagian integral dari kebudayaan bangsa
Indonesia yang merupakan aset besar dalam perjalanan sejarah bangsa.

24

Anda mungkin juga menyukai