Anda di halaman 1dari 52

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia

tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-

anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan

perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada

semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan

kronologis. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh

Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi

tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimana

masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,mental, dan social

secara bertahap (Ma’rifatul, L.,2011).

Jumlah lansia di seluruh dunia mencapai 901 juta jiwa

(Depertemen Sosial, 2015). Indonesia mengalami peningkatan dari tahun

2010 sebanyak 8,48% menjadi 9,77% pada tahun 2015 (Muhith & Siyoto

2016). Memperkirakan jumlah lansia akan mencapai 11,34% dari seluruh

penduduk Indonesia di tahun 2020.Peningkatan lansia di Sulawesi

Selatan mencapai dua kali lipat dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 9,9

juta jiwa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2015). Peningkatan usia

harapan hidup terjadi karena beberapa aspek seperti perbaikan

pelayanan kesehatan dan pengaruh kemajuan di bidang ilmu


2

pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran (Kadar,

2013).

Lansia merupakan proses yang terjadi secara alami pada setiap

individu dimana dalam setiap proses ini terjadi perubahan fisik maupun

mental yang akan berpengaruh pada berbagai fungsi dan kemampuan

tubuh yang pernah dimilikinya. Kecepatan proses menua setiap individu

pada organ tubuhnya berbeda-beda, hal itu benar diketahui, tetapi ada

yang menyatakan itu disebabkan oleh hormone setiap individu. Orang

beranggapan lansia sebagai semacam penyakit hal itu tidak benar karena

menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari luar maupun dari

dalam tubuh. Pada proses menua lansia mengalami perubahan

perubahan baik perubahan fisik pada sistem-sistem tubuh dan juga pada

mental maupun psikologis (Nugroho, 2010).

Lansia merupakan tahap akhir siklus perkembangan manusia, dan

semua orang berharap akan menjalani hidup masa tuanya dengan

tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama keluarga dengan

penuh kasih sayang(Syamsudin, 2006). Masalah yang terjadi pada lansia

diantara lain sakit gigi 2,48%, diare 3,05%, asma 11,09%, panas 17,83%,

sakit kepala 19,52%, pilek 21,52%, batuk 33,89% dan lainnya 63,68%

(Infodatin, 2013). Sedangkan menurut (Kemenkes, 2013) keluhan

kesehatan lansia yang paling tinggi adalah keluhan yang merupakan efek

dari penyakit kronis seperti asam urat, darah tinggi, rematik, darah rendah

dan diabetes.
3

Gambaran mengenai jumlah dan presentasi lansia di dari seluruh lansia

di Indonesia tahun 2015, yaitu sekitar 2204 juta jiwa terdapat 66,94

persen termaksud kategori lansia tidak terlantar, 23,52 persen termaksud

kategori lansia hampir terlantar, dan sisanya 9,55 persen diantaranya

termaksud kategori lansia terlantar. Melihat masih bannyaknya lansia

yang tergolong terlantar dan hampir terlantar di perlukan perhatian dan

penanganan yang serius dari berbagai pihak, dalam hal ini tidak saja

pemerintah melainkan juga anggota keluarga dan seluruh elemen

masyarakat. (BPS Sulawesi

Selatan, Statistik Penduduk Lanjut Usia dalam Angka 2015) Seiring

dengan meningkatnya jumlah lansia, turut serta membawa berbagai

permasalahan. Permasalahan yang umum pada lansia di daerah

perkotaan adalah kemisikinan, ketelantaran, kecacatan, serta tidak

adanya sanak saudara yang mendampingi dan memberikan bantuan

perekonomian.

Menurut Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2017,

jumlah lansia terlantar dan tidak memiliki keluarga di 17 Kabupaten dari

24 Kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 450 lansia tahun 2010,

580 lansia tahun 2011, 1150 tahun 2012 2014, dan 1250 lansia dari tahun

2015-2017. Hal yang demikian ini yang harus diantisipasi dan dicarikan

jalan keluarnya. Dan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar

Nomor 31 tahun 2004 pasal 15e bahwa, Bidang Rehabilitasi dan

Pelayanan Sosial menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan pelayanan

sosial bagi lanjut usia terlantar, anak terlantar, fakir miskin, orang
4

terlantar. Dengan demikian perlu adanya suatu Panti Wreda di Makassar

yang dapat menampung para menula dengan menyediakan beberapa

fasilitas yang dibutuhkan. Selain fasilitas hunian, juga disediakan fasilitas

pendukung lainnya seperti fasilitas kesehatan yang memantau kesehatan

mental dan fisik para lanjut usia mengingat mereka mengalami

kemunduran dalam kesehatan. Fasilitas yang bersifat spiritual juga harus

disediakan, mengingat mereka dalam usia lanjut ini makin mendekatkan

diri pada Tuhan sebagai pencipta mereka.

Populasi lansia meningkat sangat cepat. Tahun 2020, jumlah

lansia diprediksi sudah menyamai jumlah balita. Sebelas persen dari 6,9

milyar penduduk dunia adalah lansia (WHO, 2013). Populasi penduduk

Indonesia merupakan populasi terbanyak keempat sesudah China, India

dan Amerika Serikat. Menurut data World Health Statistic 2013, penduduk

China berjumlah 1,35 milyar, India 1,24 milyar, Amerika Serikat 313 juta

dan Indonesia berada di urutan keempat

dengan 242 juta penduduk (WHO, 2013). Menurut proyeksi Badan

Pusat Statistik (2013) pada 2018 proporsi penduduk usia 60 tahun ke

atas sebesar 24.754.500 jiwa (9,34%) dari total populasi.

Lansia merupakan salah satu kelompok atau populasi berisiko

(population at risk) yang semakin meningkat jumlahnya. Allender, Rector,

dan Warner (2014) mengatakan bahwa populasi berisiko (population at

risk) adalah kumpulan orang-orang yang masalah kesehatannya memiliki

kemungkinan akan berkembang lebih buruk karena adanya faktor-faktor

risiko yang memengaruhi. Stanhope dan Lancaster (2016) mengatakan


5

lansia sebagai populasi berisiko ini memiliki tiga karakteristik risiko

kesehatan yaitu, risiko biologi termasuk risiko terkait usia, risiko sosial

dan lingkungan serta risiko perilaku atau gaya hidup.

Stanhope dan Lancaster (2016) mengungkapkan bahwa risiko

biologi termasuk risiko terkait usia pada lanjut usia yaitu terjadinya

berbagai penurunan fungsi biologi akibat proses menua. Risiko sosial dan

lingkungan pada lanjut usia yaitu adanya lingkungan yang memicu stres.

Aspek ekonomi pada lansia yaitu penurunan pendapatan akibat pensiun.

Risiko perilaku atau gaya hidup seperti pola kebiasaan kurangnya

aktivitas fisik dan konsumsi makanan yang tidak sehat dapat memicu

terjadinya penyakit dan kematian. Miller (2012) dalam teorinya functional

consequences mengatakan penurunan berbagai fungsi tubuh merupakan

konsekuensi dari bertambahnya usia.

Lansia identik dengan berbagai penurunan status kesehatan

terutama status kesehatan fisik. Berbagai teori tentang proses menua

menunjukkan hal yang sama. Status kesehatan lansia yang menurun

seiring dengan bertambahnya usia akan memengaruhi kualitas hidup

lansia. Bertambahnya usia akan diiringi dengan timbulnya berbagai

penyakit, penurunan fungsi tubuh, keseimbangan tubuh dan risiko jatuh.

Menurunnya status kesehatan lansia ini berlawanan dengan keinginan

para lansia agar tetap sehat, mandiri dan dapat beraktivitas seperti biasa

misalnya mandi, berpakaian, berpindah secara mandiri. Ketidak sesuaian

kondisi lansia dengan harapan mereka ini bahkan dapat menyebabkan

lansia mengalami depresi. Hasil penelitian Brett, Gow, Corley, Pattie,


6

Starr, dan Deary (2012) menunjukkan bahwa depresi merupakan faktor

terbesar yang memengaruhi kualitas hidup (p= 0,000). Beberapa hal

tersebut dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup lansia.

Latihan fisik sangat penting bagi lansia dalam meningkatkan

kualitas hidup. Latihan yang teratur dapat meningkatkan hubungan sosial,

meningkatkan kesehatan fisik dan kesehatan mental. Latihan juga

berperan penting dalam mengurangi risiko penyakit dan memelihara

fungsi tubuh lansia (Ko & Lee, 2012). Latihan dapat mencegah kelelahan

fisik karena meningkatkan fungsi kardiovaskuler, sistem saraf pusat,

sistem imun dan sistem endokrin. Latihan juga dapat menurunkan gejala

depresi (Chung, 2008).

Masalah-masalah kesehatan atau penyakit fisik dan atau

kesehatan jiwa yang sering timbul pada proses menua (lansia) diantara:

gangguan sirkulasi darah,gangguan metabolism hormonal, gangguan

pada persendian, dan berbagai macam neoplasma. Masalah social yang

dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa keberadaan lansia sering

persepsikan negative oleh masyarakat luas. Kaum lansia sering dianggap

tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan sebagainya. Tak jarang

mereka diperlakukan sebagai beban keluarga, masyarakat, hingga

Negara. Mereka sering kali disukai serta sering dikucilkan dipanti-panti

jompo. Perubahan perilaku kearah negative ini justru akan mengancam

keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan sering menimbulkan

masalah yang serius dalam kehidupannya (Nugroho, W, 2008).


7

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan dan Sikap

Kader Dalam Pelayanan Kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan

lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Kabupaten

gowa 2019”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah

pada penelitian “ bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan dan sikap

kader dalam pelayanan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan pola

hidup lansia?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya pengaruh pendidikan kesehatan dan sikap kader dalam

pelayanan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan pola hidup

lansia.

2.Tujuan Khusus

a. Diketahuinya hubungan antara pendidikan kesehatan terhadap

pengetahuan pola hidup lansia.

b. Diketahuinya antara nilai professional sikap kader dalam

pemberian pendidikan kesehatan terhadap pola hidup lansia.


8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Teoritis

Memberikan informasi mengenai pengaruh pendidikan kesehatan

dan sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap

tingkat pengetahuan pola hidup lansia.

2. Praktisi

Diharapkan dapat berguna sebagai salah satu hasil temuan dan

kajian yang berhubungan dengan pengaruh pendidikan kesehatan

dan sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap

tingkat pengetahuan pola hidup lansia.

a. Bagi institusi pelayanan

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan pada lansia

tentang pengaruh pendidikan kesehatan dan sikap kader dalam

pemberian kesehatan terhadap tingkat pengetahuan pola hidup

lansia.

b. Bagi pendidikan

Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut dan sebagai

referensi pengetahuan tentang pengaruh pendidikan kesehatan

dan sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan

terhadap tingkat pengetahuan pola hidup lansia.


9

C. Bagi peneliti

Dapat mengetahui lebih lanjut pengaruh pendidikan kesehatan

dan sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan

terhadap tingkat pengetahuan lansia.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Umum Tentang Lansia

1.Defenisi Lansia

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi

didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepoanjang hidup, tidak hanya di mulai dairi suatu waktu tertentu, tetapi

dimulai sejak permulaan kehidupan .menjadi tua merupakan peroses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya,

yaitu anak, dewsa dan tua.tiga tahap ini berbeda, baik secar biologis

maupun psikologis. Memesuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, ,misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit

yang mengendur , rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran

kurang jelas, penlihatan semakin menburuk, gerakan lambat dan figure

tubuh yang tidak proporsional (Nugroho,W,2008)

Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2008 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada bab1 pasl1 ayat 2, yang dimaksud lanjut

usia adalah seseorangb yang mencapai usia 60 tahun keatas. Dra.Ny

jos madani; Nugroho, mengemukakan bahwa lansia merupakan

kelanjutan dari usia dewasa.kedewasaan dapat di bagi menjadi 4

bagian pertama fase iufentus, antara 25 dan 40 tahun, kedua fase

varilitas, antara 40 dan 50 tahun ketiga, fase prasenium antara 55 dan

65 tahun dank e empat fase senium, antara 65 hingga tutup usia

(Ma’rifatul, L, 2011)
11

2 .Fisiologi Lansia

Orang yang dikatakan tua adalah yang berusia 60 atau 65, tetapi

sebagian dari mereka ada yang merasa dirinya muda atau belum tua.

Dalam kondisi apa orang-orang dapat menyebutkan dirinya tua dan apa

konsekuensinya dari konsep ini? Satuhal yang pasti bahwa usia itu

sendiri adalah suatu factor dalam mengidentifikasi usia, namun bila

hanya usia tidaklah cukup untuk menjelaskan pengelompokkan usia.

Sebagai contoh, pekerja yang berusia 80 tahun mungkin melihat dirinya

belum tua, sementara pensiunan yang berusia 60 tahun sudah merasa

dirinya tua (Indriani, Y, 2012).

Batasan dan Klasifikasi Lansia

Batasan lansia menurut organisasi kesehatan dunia, lanjut usia

dikelompokkan menjadi:

a. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia umur 45 sampai

59 tahun

b. Lanjut usia (elderly)= antara 60 dan 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun

d. Usia sangat tua ( very old) = diatas 90 tahun (Bandiyah, S, 2009)

Penggolongan lanjut usia menurut Nugroho, 2008 dibagi dalam 2

golongan yaitu :
12

a.Serat Werdatama (Magnum negoro IV).

H.I Widyapranata mengutip serat Werdatama yang menyebutkan :

1. Wong Sepuh

Orang tua yang sepi hawa nafsu, menguasai ilmu “ Dwi Tunggal”,

yakni mampu membedakan antara baik dan buruk, antara sejati

dan palsu, dan antara Gusti (Tuhan) dan kawulanya.

2.Tua Sepuh

Orang tua yang kosong, tidak tau rasa, bicaranya muluk-muluk

tanpa isi, tingkah lakunya dibuat-buat, dan berlebih-lebihan serta

memalukan.

b.Serat Kalatida ( Ronggo Warsito)

1. Orang yang berbudi sentosa

Orang tua yang meskipun diridhoi Tuhan dengan rezeki,namun tetap

berusaha terus disertai ingat dan waspada.

2.Orang Lemah

Orang tua yang berputus asa, sudah tua mau apa,Sebaiknya hanya

menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapatkan kasih

sayang Tuhan.

3.Tugas Perkembangan Lanjut Usia.

Seiring perkembangan tahap kehidupan, lansia memiliki tugas

perkembangan khusus yaitu (Ma’rifatul, L, 2011).

a. .Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan.

b. Menyesuaikan terhadap masa pension dan penurunan pendapatan.

c. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan.


13

d. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia .

e. Mempertahankan kepuasaan pengaturan hidup.

f. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa.

g. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup.

4.Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia pada lansia bergantung pada karakter,

pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, social, dan

ekonominya. Tipe teersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.

b.Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi

undangan

c.Tipe tidak puas.

Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang menyebabkan

kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah, kehilangan

kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar,

mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.

d.Tipe pasrah
14

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

dan melakukan pekerjaan apa saja.

e.Tipe bingung

Kaget, kehilangan pribadi, mengasingkan diri, minder, menyesal,

pasif, dan acuh tak acuh.

B. Tinjauan Umum Tentang Pendidikan Kesehatan

1. Defenisi pendidikan kesehatan

Menurut (Notoatmodjo. S, 2003: 20) pendidikan kesehatan

adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam

memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sedang dalam

keperawatan, pendidikan kesehatan merupakan satu bentuk

intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik

individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah

kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya

perawat berperan sebagai perawat pendidik.

2. Tujuan pendidikan kesehatan

Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah

meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosialnya

sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial (Notoatmodjo S,

2003:21).
15

3. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Menurut ( Notoatmodjo. S, 2003: 27 ) ruang lingkup pendidikan

kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain: dimensi

aspek kesehatan, dimensi tatanan atau tempat pelaksanaan

pendidikan kesehatan,dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan.

a. Aspek Kesehatan

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa kesehatan masyarakat

itu mencakup empat aspek pokok yaitu:

1.      Promosi ( promotif )

2.      Pencegahan ( preventif )

3.      Penyembuhan ( kuratif )

4.      Pemulihan ( rehabilitatif )

b. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan

Menurut dimensi pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat

dikelompokkan menjadi lima yaitu:

1. Pendidikan kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga)

2.    Pendidikan kesehatan pada tatanan sekolah, dilakukan di sekolah

dengan sasaran murid.

3.   Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran

buruh atau karyawan yang bersangkutan.

4. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat umum, yang mencakup

terminal bus, stasiun, bandar udara, tempat-tempat olahraga, dan

sebagainya.
16

5.  Pendidikan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan, seperti:

rumah sakit, Puskesmas, Poliklinik rumah bersalin, dan sebagainya.

c. Tingkat Pelayanan Kesehatan

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan pendidikan kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan 5 tingkat pencegahan dari leavel and clark,

sebagai berikut;

1.   Promosi kesehatan seperti peningkatan gizi, kebiasaan hidup dan

perbaikan sanitasi lingkungan.

2.      Perlindungan khusus seperti adanya program imunisasi.

3.     Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera.

d.Pembatasan Cacat yaitu seperti kurangnya pengertian dan

kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit seringkali

mengakibatkan masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya

sampai tuntas, sedang pengobatan yang tidak sempurna dapat

mengakibatkan orang yang ber sangkutan menjadi cacat.

4. Metode dalam Pendidikan Kesehatan

Menurut ( Notoatmodjo S, 2003:56 ) metode pendidikan

kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk

menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau

individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut

masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan

tentang kesehatan yang lebih baik. Dengan kata lain, dengan adanya

pendidikan tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap

perubahan sikap sasaran. Didalam suatu proses pendidikan


17

kesehatan yang menuju tercapainya tujuan pendidikan yakni

perubahan sikap dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, faktor yang

mempengaruhi suatu proses pendidikan disamping masukannya

sendiri juga metode materi atau pesannya, pendidik atau petugas

yang melakukannya, dan alat-alat bantu atau alat peraga pendidikan.

Agar dicapai suatu hasil yang optimal, maka faktor-faktor tersebut

harus bekerjasama secara harmonis. Metode pembelajaran dalam

pendidikan kesehatan dapat berupa:

a.  Metode Pendidikan Individual

1. Bimbingan dan penyuluhan

2. Wawancara (interview)

b.   Metode Pendidikan Kelompok

1. Ceramah

2. Seminar

c. Metode Pendidikan Massa

1. Ceramah umum

2. Pidato melalui media elektronik.

Metode ini dipilih berdasarkan tujuan pendidikan, kemampuan

perawat sebagai tenaga pengajar, kemampuan individu/ keluarga/

kelompok/ masyarakat, besarnya kelompok, waktu pelaksanaan

pendidikan kesehatan, serta ketersediaan fasilitas pendukung.

5. Alat Bantu Pendidikan Kesehatan


18

Menurut ( Notoatmodjo. S, 2003: 62 ) alat bantu pendidikan

kesehatan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam

penyampaian bahan pendidikan yang biasa dikenal sebagai alat peraga

pengajaran yang berfungsi untuk membantu dan memperagakan

sesuatu di dalam proses pendidikan, yang kemudian dapat memperoleh

pengalaman atau pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu

tersebut.

Menurut ( Notoatmodjo. S, 2003: 65 ) pada garis besarnya

hanya ada tiga macam alat bantu pendidikan (alat peraga), yaitu:

a. Alat bantu lihat (visual aids)

b. Alat bantu dengar (audio aids)

c. Alat bantu lihat dengar yang lebih dikenal dengan Audio Visual Aids

(AVA).

Disamping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat

dibedakan menurut pembuatan dan penggunaannya, yaitu:

a. Alat peraga yang complicated (rumit)

b. Alat peraga yang sederhana, mudah dibuat sendiri dengan bahan-

bahan yang mudah diperoleh.

C. Tinjauan Umum Tentang Tingkat Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,


19

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

2. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif menurut

Notoatmodjo (2012) mempunyai 6 tingkatan, yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,

tahu ini adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja

untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam

konteks atau situasi yang lain.


20

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), ada dua faktor yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi status kesehatan, intelegensi, perhatian, minat, dan

bakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi keluarga, masyarakat, dan

metode pembelajaran.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut

Wawan dan Dewi (2010) antara lain :


21

1. Faktor internal

a. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang

menentukan manusia untuk berbuat untuk mencapai keselamatan

dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan

informasi yang akhirnya dapat mempengaruhi seseorang. Pada

umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah

menerima informasi.

b. Pekerjaan

Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.

c. Umur

Semakin cukup umur individu, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

d. Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak

akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas.

2. Eksternal

a. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia

dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku orang atau kelompok .


22

b. Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi

D. Tinjauan Umum Tentang Sikap

1. Defenisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan

sesuatu yang tidak Sikap merupakan sesuatu yang tidak dapat

langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi

adanya kesesuaian rekasi terhadap stimulus tertentu yang dalam

kehidupan sehari –hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial. Menurut Newcomb dalam Notoadmojo

(2012), sikap itu merupakan kesiapanatau kesediaan untuk bertindak,

dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan

predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan

reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka.

2. Komponen sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoadmojo (2012) menjelaskan

bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)


23

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,

pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan yang penting.

3. Tingkatan sikap

Ada beberapa tingkatan dari sikap yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek) .

b. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Sebab dengan seseorang mengerjakan suatu pekerjaan terlepas dari

pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima

ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d.Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko merupakan merupakan sikap yang paling tinggi.

4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Anwar (2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap

terhadap obyek sikap antara lain :


24

a. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,

pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.

Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman

pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor

emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu

cenderung untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang

yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi

oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang penting

tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah

menanamkan garis yang mengarahkan sikap kita terhadap berbagai

masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

d. Media massa, dalam pemberitaan surat kabar meupun radio atau

media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual

disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap

penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

c. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama, konsep moral dan

ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat

menentukan sistem kepercayaan, tidak mengherankan jika pada

gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.


25

e. Faktor Emosional, kadang kala suatu bentuk merupakan

pernyataan yang disadari emosi yang berfungsi sebagai

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego.

E. Tinjauan Umum Tentang Pola Hidup

Pola hidup adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah

tangga agar sadar, mau, serta mampu melakukan perilaku hidup sehat

(Suratno & Rismiati, 2001) dan menurut kotler (2002), pola hidup sehat

adalah gambaran dari aktifitas atau kegiatan seseorang yang didukung

oleh keinginan dan minat, serta bagaimana pikiran seseorang dalam

menjalaninya dan berinteraksi dengan lingkungannya.

Pola hidup sangat mempengaruhi penampilan untuk menjadi awet

muda dan panjang atau sebaliknya. Mengatur pola makan setelah

berusia 40 tahun keatas, sangatlah penting. Asupan gizi seimbang sangat

diperlukan tubuh jika ingin awet dan berusia lanjut dalam keadaan tetap

sehat. Tidak dapat disangkal, banyak kendala yang dihadapi manusia

saat

memasuki pertambahan usia dan mulai menua.

Terutama bila sejak muda tidak menerapkan pola hidup sehat

atau sudah terserang beragam penyakit seperti stroke, hipertensi,

jantung, dan sebagainya. Bahkan ketajaman penglihatan manusia sudah

berkurang sejak berusia 40 tahun. Kemampuan tersebut berkurang

terutama untuk melihat jarak dekat sehingga memerlukan kaca mata

berlensa cembung. Keadaan ini tidak dapat dihindari, namun mudah


26

diatasi dengan menggunakan kacamata. Penyebabnya bisa bermacam-

macam namun lebih sering karena ketuaan itu sendiri dan akibat

hipertensi (Hanata, 2010).

Masa tua bagi sebagian masyarakat adalah masa-masa yang

menakutkan oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk menyiapkan

investasi kesehatan diusia tua. Penuaan adalah sebuah proses alami.

Setiap orang akan mengalami fase yang mengarah kepada penuaan.

Seseorang dianggap berhasil menjalani proses penuaan jika dapat

terhindar dari berbagai penyakit, organ tubuhnya dapat berfunggsi

dengan baik, organ ubuhnya dapat berfungsi dengan baik, serta

kemampuan berfikirnya atau kognitif masih tajam.

Para lansia yang berhasil mempertahankan fungsi gerak dan

berfikirnya dianggap berhasil menghadapi penuaan sehingga dapat

bekerja aktif terutama disektor informal. Mereka biasanya dapat berbagi

pengalaman dan telah mencapai tahap perkembangan psikologis dimana

mereka dianggap bijaksana menyikapi kehidupan dan mendalami

kehidupan spiritual (Gunawan, 2001).

Agar tetap aktif sampai tua, sejak muda seseorang perlu

melakukan pola hidup sehat dengan menkonsumsi makanan yang bergizi

seimbang, melakukan aktifitas fisik atau olahraga secara benar dan

teratur dan tidak merokok.

Rencana hidup yang realistis seharusnya sudah dirancang jauh

sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya

bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak bila pensiun sesuai
27

dengan kemampuan dan minatnya. Berdasarkan prinsip tersebut maka

lanjut usia merupakan usia yang penuh kemandirian baik dalam tingkah

laku kehidupan sehari-hari, bekerja maupun berolahraga. Dengan

menjaga kesehatan fisik, mental, spiritual, ekonomi, dan social,

seseorang dapat memilih masa tua yang lebih membahagiakan, terhindar

dari banyak masalah kesehatan (Nugroho, 2000).

Pola hidup dan pola makan juga bisa mempengaruhi terjadinya

proses penuaan. Misalnya pola makan yang tidak seimbang antara

asupan dengan kebutuhan baik jumlah maupun jenisnya makanannya,

seperti makan-makanan tinggi lemak, kurang mengkonsumsi sayuran dan

buah dan sebagainya. Selain itu, makanan yang melebihi kebutuhan

tubuh yang bisa menyebabkan obesitas atau kegemukan.

Pola hidup juga bisa mempengaruhi hal tersebut terutama

kurangnya aktifitas fisik. Akibatnya, timbul penyakit yang sering diderita

antara lain diabetes militus atau kencing manis, penyakit jantung,

hipertensi, kanker, atau keganasan dan lain-lain.

Jika sudah terjadi penyakit tersebut harus diterapi dan selanjutnya

harus menerapkan pola hidup maupun pola makan yang benar, sehingga

kerusakan yang terjadi tidak menjadi lebih lebih berat (Muhammad,

2009). Menginjak usia 40 tahun keatas, tidak perlu menghindari pada

satu jenis makanan tertentu. Sepanjang orang tersebut dalam keadaan

sehat atau tidak menderita suatu penyakit, tidak perlu menghindari

terhadap jenis makanan tertentu.


28

Terpenting adalah selalu menerapkan pola hidup maupun pola

makan yang sehat. Menurut Hanata (2010), factor-faktor penting yang

mempengaruhi pola hidup sehat pada lansia antara lain:

a. Faktor makanan usia tua sudah dimulai pada umur 40 tahun, karena

perkembangan fisik akan menurun,tapi perkembanganmental terus

berlangsung. Mulai saat itulah kita harus bisa menahan diri untuk

tidak mengkonsumsi makanan yang hanya disukai dan yang memberi

kepuasaan, karena enak dimulut.

b. Tapi memikirkan akibatnya dalam tubuh, karena bukan lagi kesehatan

jadi baik,tapi sudah membuat penyakit ditubuh kita. Bagi lansia

sebaiknya mengkonsumsi makanan seperti sayuran segar yang dicuci

bersih tanpa pestisida, buah segar, tahu, tempe yang berprotein

tinggi. Terutama hati yang banyak mengandung gizi seperti

kalsium,fosfor, besi, vitamin A, B1,B2,B12, dan vitamin c.

c. Faktor istirahat, istirahat yang cukup sangat dibutuhkan dalam tubuh

kita. Orang lansia harus tidurlima sampai enam jam sehari. Banyak

orang kurang tidur jadi lemas, tidak ada semangat, lekas marah, dan

stress. Bila kita kurang tidur hendaknya diisi dengan ekstra makan.

Dan bila tidur terganggu perlu konsultasi kedokter. Hobi untuk

menonton tv, boleh saja dilakukan, tapi jangan sampai larut malam.

d. Faktor olahraga olahraga yang teratur apapun itu, baik untuk

kesehatan kita seperti senam, berenang, jalan kaki, yoga,

waitungkang, taichi, dan lain-lain. Berolahraga bersama orang lain

lebih menguntungkan, karena dapat bersosialisasi, berjumpa dengan


29

teman-teman, dan mendapat kenalan baru, mengadakan kegiatan

lainnya, seperti bisa berwisata dan makan bersama. Kebanyakan

olahraga dilakukan pada pagi hari setelah subuh. Dimana udara

masih bersih. Berolahraga dapat menurunkan kecemasan dan

mengurangi perasaan depresi dan lowself esteem. Selain fisik jiwa

juga berisi, membuat kita merasa muda dan sehat diusia tua.

F. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel dependen

PENDIDIKAN KESEHATAN
TINGKAT
PENGETAHUAN POLA
HIDUP LANSIA
SIKAP KADER

Keterangan :

: : Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Garis Penghubung

G. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

a. Pendidikan kesehatan dalam penelitian ini adalah untuk

meningkatkan pengetahuan pola hidup lansia. Jika responden

menjawab Ya diberi nilai 1, dan jika tidak diberi nilai 0.

Kriteria Objektif :

a. Baik, jika jawaban benar responden > 75%, apabila total skor
responden > 7 .
b. Buruk, jika jawaban benar responden < 40%, apabila total skor
responden < 4.
30

b. Tingkat pengetahuan pola hidup dalam penelitian ini adalah

pemahaman terhadap pola hidup lansia. Jika responden menjawab

Ya diberi nilai 1, dan jika tidak diberi nilai 0.

Kriteria Objektif :

a. Cukup : jika jawaban benar responden > 75%, apabila total

skor responden > 7.

b. Kurang : jika jawaban benar responden 40-75%, apabila total

skor responden < 7

c. Sikap kader dalam penelitian ini adalah pemahaman terhadap pola

hidup lansia. Jika responden menjawab Ya diberi nilai 1, dan jika

tidak diberi nilai 0.

Kriteria Objektif :

a. Positive: jika jawaban benar responden > 75%, apabila total

skor responden > 7.

b. Negative : jika jawaban benar responden 40-75%, apabila

total skor responden 4-7.

G. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Nol

a. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pola hidup

lansia dengan masalah kesehatan lanjut usia

b. Tidak ada hubungan antara pendidikan kesehatan dengan

tingkat pengetahuan pola hidup masalah kesehatan lanjut usia.


31

c. Tidak ada hubungan antara sikap kader dengan pola hidup

lansia masalah kesehatan lanjut usia.

2. Hipotesis Alternatif

a. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan pola hidup

lansia dalam masalah kesehatan lanjut usia.

b. Ada hubungan antara pendidikan kesehatan dengan pola hidup

lansia dalam masalah kesehatan lanjut usia.

c. Ada hubungan antara sikap kader dengan pola hidup lansia

dalam masalah kesehatan lanjut usia.


32

BAB III

METODE PENELITIAN

A.DESAIN PENELITIAN

Pada dasarnya metode penelitian yang akan digunakan adalah

survey analitik dengan menggunakan pendekatan Cross-sectional.

Cross Sectional (transversal) merupakan suatu penelitian yang

mempelajari hubungan antara factor resiko (independen) dengan factor

efek (dependen), dimana dilakukan observasi atau pengukuran

variabel sekali dan sekaligus pada waktu yang sama.

B.Lokasi dan Populasi

1. Lokasi

Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan diwilayah Balai Rehabilitasi

Sosial Lanjut Usia Gau Mabaji Kabupaten Gowa

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 02 -05 juli tahun

2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitan adalah subjek yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam,2016) Sugiono (2016)

menyebutkan bahwa adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

subjek/obyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang berada


33

diwilayah Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Gau Mabaji

dikabupaten Gowa sebanyak 131 responden.

2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi yang terjangkau

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2008) .

Responden yang di maksud sebagai sampel dalam

penelitian ini adalah lansia yang berusia 60 tahun keatas yang dapat

menanggulagi pengetahuan lansia dalam masalah kesehatannya di

wilayah kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Gau Mabaji

Dikabupaten Gowa . sampel adalah bagian dari keseluruhan obyek

yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Pengambilan

sampel pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode

Nonprobability sampling dengan teknik accidental sampling yaitu

pengambilan sampel secara kebetulan dan responden berada

dilokasi pada saat berlangsungnya penelitian serta bersedia menjadi

responden untuk penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah 30

responden. (Nursalam, 2008).

Kriteria inklusi adalah karakter umum subjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Kriteria inklusi

sampel pada penelitian ini adalah :

a. Umur lansia >60 tahun

b. Lansia yang bersedia untuk diteliti


34

c. Berada pada Wilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut

Usia Kabupaten Gowa.

D. Sumber Data

1. Data Primer

Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan cara menyebarkan

atau membagikan kusioner kepada responden dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

a. sebelum kusioner diserahkan kepada responden, peneliti

memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian.

b. Setelah responden memahami tujuan penelitian, maka responden

diminta kesediannya untuk mengisi kusionernya.

c. Jika responden telah menyatakan bersedia, maka kusioner

diberikan dan diresponden diminta untuk mempelajari terlebih

dahulu tentang cara pengisian kusionernya.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pengumpul data yang disusun

dengan maksud untuk memperoleh data yang relevan, baik kuantitatif

maupun kuualitatif. Penelitian ini menggunakan kusioner, penelitian ini

mengumpulkan kuesioner,peneliti mengumpulkan data secara formal

kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara tertulis.

Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan terstruktrur,

dimana responden hanya menjawab sesuai dengan pedoman yang

sudah ditetapkan. Pertanyaan diajukan secara lisan oleh peneliti dari

pertanyaan yang sudah tertulis. Hal ini dilakukan karena pasien lanjut
35

usia cenderung sudah mengalami kemunduran fungsi motorik

(Nursalam, 2016).

F. Pengolahan dan Penyajian Data.

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan

menggunakan program spss.

1. Editing

Dikumpulkan untuk diteliti kelengkapannya, kejelasan makna

jawaban, konsisten maupun antar jawaban pada kuesioner.

2. Koding

Untuk memudahkan proses pengolahan data, dan memberikan

simbol-simbol tertentu untuk setiap jawabannya (pengkodean).

3. Tabulasi

Mengelomp[okkan data sesuai variable yang akan diteliti agar

mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan analisis.

4.Analisis data

Dari hasil pengisian kuesioner, data akan ditabulasikan dan

dikumpulkan secara kuantitatif untuk mengetahui pengaruh

pendidikan kesehatan dan sikap kader dalam pemberian

pelayanan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan lansia di

Wilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Kabupaten

Gowa. Data yang dikumpulkan kemudian diuji dengan

menggunakan tabulasi silang “chi-square” dengan tingkat

kemaknaan 5% atau p=0,05 setelah memperoleh nilai masingg-

masing tabel, selanjutnya data dianalisa dengan menggunakan :


36

a. Analisa Univariat

Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel dari hasil penelitian.

Analisis ini menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap-

tiap variabel yang diteliti.

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian

dan menguji hipotesis penelitian untuk mengetahui adanya

pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

dengan menggunakan uji statistic dengan tingkat kemaknaan

(a) : 0,05. Uji statistic yang digunakan adalah chi-square,

dengan menggunakan computer program spss.

G. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan

izin kepada kepala Balai Rehabilitasi sosial Lanjut Usia kabupaten

gowa. Setelah mendapatkan persetujuan berulang dilakukan penelitian

dengan menekankan masalah etika penelitiian meliputi :

1. Informed consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang bertujuan

dan manfaat penelitian. Bila objek menolak maka peneliti tidak akan

memaksa kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.

2.Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama

responden tetapi lembar tersebut diberi kode.


37

3. Confendentiality

Kerahasiaan informasi responden menjamin oleh peneliti dan hanya

data yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

a. Karakteristik Umur Responden

Distribusi Frekunsi Responden Berdasarkan Kelompok

Umur di Wilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial lanjut usia

Kab.Gowa

Umur N %
60-65 tahun 11 36,7
>65 tahun 19 63.3
Total 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan distribusi frekuensi responden kelompok umur,

bahwa umur 60-65 tahun adalah sebanyak 11 (36,7%)

responden dan kelompok umur >65 tahun adalah sebanyak 19

(63,3%) responden.

b. Jenis Kelamin Responden


39

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok

Jenis Kelamin diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial

Lanjut usia Kab.Gowa

Jenis Kelamin n %
Laki-laki 16 46,7
Perempuan 14 53,3
Total 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan distribusi frekuensi responden berdasarkan

jenis kelamin, didapatkan laki-laki sebanyak 16 (46,7%)

responden dan perempuan sebanyak 14 (53,3%).

2. Analisis Univariat

a. Pendidikan kesehatan Responden

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok

Pendidikan Kesehatan diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi

Sosial Lanjut Usia Kab.Gowa

Pendidikan n %

kesehatan
Baik 8 26,7
Buruk 22 73,3
Total 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan tentang distribusi responden berdasarkan

pendidikan kesehatan, didapatkan bahwa pendidikan

kesehatan yang paling banyak adalah baik sebanyak 8 (26,7%)

responden, dan pendidikan paling buruk 22 (73,3%) responden.

b. Sikap kader responden


40

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok

Sikap Kader diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial lanjut

Usia Kab.Gowa

Sikap kader n %
Positive 18 63,3
Negative 12 36,7
Total 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan tentang distribusi responden berdasarkan

sikap kader didapatkan bahwa sikap kader yang positive 18

(63,3%) responden dan sikap kader yang negative 12 (36,7%)

responden.

c. Tingkat pengetahuan pola hidup lansia responden

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok

Tingkat Pengetahuan Pola Hidup Lansia diWilayah Kerja

Balai Rehabilitasi Sosial Usia Lanjut Kab.Gowa

Tingkat n %

pengetahuan pola
41

hidup lansia
Kurang 12 40
Cukup 18 60
Total 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan distribusi responden berdasarkan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia didapatkan bahwa tingkat

pengetahuan pola hidup lansia yang cukup 18 (60%)

responden dan tingkat pengetahuan pola hidup lansia yang

kurang 12 (12%) responden.

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan pendidikan kesehatan dengan tingkat pengetahuan

pola hidup lansia.

Hubungan Pendidikan Kesehatan Dengan Tingkat

Pengetahuan Pola Hidup Lansia Kab.Gowa

Pendidikan Tingkat pengetahuan Jumlah P

kesehatan pola hidup lansia Value


kurang cukup
n % n % n %
42

Baik 3 10 5 16.6 8 26.7

Buruk 9 30 13 43.4 22 73.3 0.000


Total 12 40 18 60 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan analisis hubungan pendidikan kesehatan

dengan tingkat pengetahuan pola hidup lansia, didapatkan

responden yang memiliki pendidikan kesehatan dan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia yang cukup sebanyak 3 (10%)

dan 5 (16.6%) responden yang memiliki pendidikan kesehatan

akan tetapi kurang dalam tingkat pengetahuan pola hidup

lansia. Selain itu diperoleh juga data bahwa dari 30 responden

yang memiliki pendidikan buruk dan kurang dalam tingkat

pengetahuan pola hidup lansia 9 (30%) responden dan

sebanyak 13 (43.4%) responden yang memiliki pendidikan

buruk akan tetapi tidak cukup dalam tingkat pengetahuan pola

hidup lansia.

Hasil uji statistik Fisher’s Exact Test dengan tingkat

kemaknaan a = 0,05 (5%) diperoleh nilai p = 0.000 sehingga

0.000<0.05 maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan Ha diterima.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan

pendidikan kesehatan dengan tingkat pengetahuan pola hidup

lansia diwilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia.

b. Hubungan sikap kader dengan tingkat pengetahuan pola hidup

lansia.
43

Hubungan Sikap Kader Dengan Tingkat Pengetahuan Pola

Hidup Lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial

Lanjut Usia Kab.Gowa

Sikap kader Tingkat pengetahuan Jumlah P

pola hidup lansia Value


Kurang cukup
n % n % n %
Positive 6 20 13 43,4 18 60 0,166

Negative 6 20 5 16,6 12 40
Total 12 40 18 60 30 100
Sumber Data : Data Primer, Juli 2019

Berdasarkan analisis hubungan sikap kader dengan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia, didapatkan responden yang

memiliki sikap kader dan tingkat pengetahuan pola hidup lansia

yang kurang sebanyak 6 (20%) dan 13 (43,4%) responden

yang memiliki sikap kader yang kurang akan tetapi tidak

negative dalam tingkat pengetahuan pola hidup lansia. Selain

itu diperoleh juga data dari 30 responden yang memiliki sikap

kader cukup akan tetapi tidak positive dalam tingkat

pengetahuan pola hidup lansia.

Hasil uji statistik Fisher’s Exact Test dengan tingkat

kemaknaan a = 0,05 ( 5%) diperoleh nilai p = 0,166 sehingga

0.166 < 0,05 maka hipotesis nol (Ho) diterima dan Ha ditolak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan

sikap kader dengan tingkat pengetahuan pola hidup lansia


44

diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia

Kab.Gowa.

B. Pembahasan

1. Hubungan pendidikan kesehatan dengan tingkat pengetahuan

pola hidup lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut

Usia.

Berdasarkan hasil uji statistiknya Fisher’s Exact Test

didapatkan bahwa ada hubungan pendidikan kesehatan dengan

tingkat pengetahuan pola hidup lansia ( p = 0,000).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Novianti (2011), tentang pengaruh pendidikan kesehatan dan

sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap

tingkat pengetahuan lansia. Dimana terdapat hubungan yang

signifikan antara pendidikan kesehatan dengan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia, dan hasil uji statistik didapatkan

nilai p < 0,05 atau nilai p = 0,000. Penelitiannya menjelaskan

bahwa sangat berpengaruh terhadap menentukan status

kesehatan seseorang terutama pada pada lansia,dimana

pendidikan kesehatan yang cukup yang dimiliki lansia maka akan

mempermudah lansia untuk tingkat pengetahuan pola hidup

lansia.

Pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalama yang

berpengaruh secara mengguntungkan terhadap kebiasaan, sikap

dan pengetahuan yang ada hubungannya kesehatan


45

perseorangan, masyarakat, dan bangsa. Kesemuanya ini

dipersiapkan dalam rangka dipermudahnya diterimanya secara

sukarela perilaku yang akan meningkatkan dan memelihara

kesehatan ( Azwar dalam Marliana,2008).

Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada

diri manusia yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan

kesehatan perseorangan dan masyarakat. Pendidikan kesehatan

bukanlah sesuatu yang dapat diberikan oleh seseorang kepada

orang lain dan bukan pula sesuatu rangkkaian tata laksana yang

akan dilaksanakan ataupun hasil yang akan dicapai, melainkan

suatu proses perkembangan yang selalu berubah secara dinamis

dimana seseorang dapat menerima dan menolak keteerangan

baru, sikap baru, dan perilaku baru yang ada hubungannya

dengan tujuan hidup sehat (Nyswander dalam Marliana,2008 ).

Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi yang

ditujukan kepada perilaku agar perilaku kondusif untuk kesehatan

atau segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang

lain, baik individu, masyarakat, maupun kelompok sehingga

mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik

(Notoadmojo,2007).

2. Hubungan sikap kader dengan tingkat pengetahuan pola hidup

lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia.


46

Berdasarkan hasil uji statistik Fisher’s Exact Test

didapatkan bahwa tidak ada hubungan sikap kader dengan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia (p = 0,166).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

A. Indarawan (2010) tentang pengaruh pendidikan kesehatann

dan sikap kader dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap

tingkat pengetahuan lansia. Dari hasil penelitian menunujukkan

bahwa dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

sikap kader dengan tingkat pengetahuan pola hidup lansia. Dan

hasil uji statistik yang didapatkan p > 0,05 atau hasil p = 0.166.

Hal ini terjadi karena adanya hal lain menyebabkan pola hidup

lansia muncul.

Sikap adalah merupakan suatu reaksi atau respon

seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau

objek (Notoadmojo dalam Wawan dan Dewi,2010).

Sikap merupakan sesuatu yang tidak Sikap merupakan

sesuatu yang tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara

nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian rekasi terhadap

stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari –hari merupakan

reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut

Newcomb dalam Notoadmojo (2012), sikap itu merupakan

kesiapanatau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu


47

tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup,

bukan merupakan reaksi terbuka

Menurut Allport (1954) dalam Notoadmojo (2012) menjelaskan

bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk

sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang

utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang

peranan yang penting.

Ada beberapa tingkatan dari sikap yaitu :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperhatikanstimulus yang diberikan (objek) .

b. Merespons (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah

suatu indikasi dari sikap. Sebab dengan seseorang

mengerjakan suatu pekerjaan terlepas dari pekerjaan itu benar

atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.


48

c. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan

atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap

tingkat tiga.Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung

jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

risiko merupakan merupakan sikap yang paling tinggi.

Menurut Anwar (2005) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi sikap terhadap obyek sikap antara lain :

a. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan

sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang

kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila

pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya

individu cenderung untuk memiliki sikap yang searah dengan

sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara

lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan

orang penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah

menanamkan garis yang mengarahkan sikap kita terhadap

berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

d. Media massa, dalam pemberitaan surat kabar meupun radio atau

media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual


49

disampaikan secara obyektif cenderung dipengaruhi oleh sikap

penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap

konsumennya.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama, konsep moral dan

ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat

menentukan sistem kepercayaan, tidak mengherankan jika pada

gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

f. Faktor Emosional, kadang kala suatu bentuk merupakan

pernyataan yang disadari emosi yang berfungsi sebagai

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan antara pendidikan kesehatan dengan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi

Sosial Lanjut Usia Kab.Gowa.

2. Tidak ada hubungan antara sikap kader dengan tingkat

pengetahuan pola hidup lansia diWilayah Kerja Balai Rehabilitasi

Sosial Lanjut Usia Kab,Gowa.

B. Saran

1. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :


50

a. Teoritis

Memberikan informasi mengenai pengaruh pendidikan

kesehatan dan sikap kader dalam pemberian pelayanan

kesehatan terhadap tingkat pengetahuan lansia.

b. Praktisi

Diharapkan dapat berguna sebagai salah satu hasil temuan

dan kajian yang berhubungan dengan pengaruh pendidikan

kesehatan dan sikap kader dalam pemberian pelayanan

kesehatan terhadap tingkat pengetahuan lansia.

1. Bagi institusi pelayanan

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan pada

lansia tentang pengaruh pendidikan kesehatan dan sikap

kader dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap

tingkat pengetahuan lansia.

2. Bagi pendidikan

Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut dan

sebagai referensi pengetahuan tentang pengaruh

pendidikan kesehatan dan sikap kader dalam pemberian

pelayanan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan lansia.

3. Bagi peneliti

Dapat mengetahui lebih lanjut pengaruh pendidikan

kesehatan dan sikap kader dalam pemberian pelayanan

kesehatan terhadap tingkat pengetahuan lansia.

c. Diharapkan bagi petugas kesehatan


51

1. Dapat memberikan penyuluhan tentang kesehatan lansia

sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan pada

lansia tentang pola hidup lansia dalam masalah kesehatan

yang dihadapi.

2. Dapat memberikan konseling pada lansia agar dapat lebih

meningkatkan status kesehatan lansia dan dapat

memberikan penjelasan mengenai pentingnya tingkat

pengetahuan pola hidup lansia dalam masalah kesehatan

sehingga lansia dapat mengantisipasi akan mengalami

sakit.

d. Diharapkan pada lanjut usia dapat memperhatikan pengaruh

pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan pola hidup

lansia dalam masalah kesehatan agar dapat menentukan

sikap dan tindakan yang dilakukan untuk tidak mengalami

sakit.
52

Anda mungkin juga menyukai