Anda di halaman 1dari 10

Telaah Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam

Kakawin Nāgarakṛtāgama

Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia


IAIN Tulungagung ; Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
tegoeh950@gmail.com ; misbahulmunirsulaiman1604@gmail.com ;
maulidiadina98@gmail.com

Abstrak:
Kakawin Nāgarakṛtāgama merupakan karya sastra Jawa klasik yang ditulis Mpu Prapañca pada
sekitar abad ke-14. Kakawin Nāgarakṛtāgama merupakan rujukan utama bagi para peneliti untuk
mengungkapkan perkembangan Kerajaan Majapahit hingga masa kepemimpinan Prabu Hayam
Wuruk. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui sistem tata kota Kerajaan Majapahit yang tercatat
dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama. Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berdasarkan
literatur (1) Kakawin Deśawarnnana uthawi Kakawin Nāgarakṛtāgama: Masa Keemasan Majapahit
gubahan Riana (2009) dan (2) Kakawin Nagarakertagama gubahan Damaika, dkk (2016). Hasil pada
kajian ini yaitu sistem tata kota Majapahit yang tercatat dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama meliputi
tata letak tempat dan bangunan: (1) Benteng yang terbuat dari batu bata merah, (2) Gerbang Kota
Majapahit, (3) Balai desa; pintu gerbang; dan pendapa, (4) Lapangan Watangan, (5) Tempat tinggal
Raja Majapahit, (6) Tempat tinggal keluarga Raja dan Patih Gajah Mada, (7) Tempat tinggal Patih
Gajah Mada, (8) Tempat tingal para pegawai istana, (9) Tempat tinggal pemuka Agama Siwa serta
pemuka Agama Buddha, dan (10) Tempat pemukiman rakyat. Secara keseluruhan dapat diketahui
bahwa Kakawin Nāgarakṛtāgama mencatat dengan baik sistem tata kota Kerajaan Majapahit pada
masa berdirinya kerajaan tersebut hingga pada masa keemasannya.
Kata Kunci:
Kakawin Nāgarakṛtāgama, Kerajaan Majapahit, Sistem Tata Kota

Abstract:
Kakawin Nāgarakṛtāgama is a classic Javanese literary work written by Mpu Prapañca around the 14th
century. Kakawin Nāgarakṛtāgama is the main reference for researchers to reveal the development of the
Majapahit Kingdom until the reign of King of Hayam Wuruk. This study aims to determine the Majapahit
Kingdom’s urban planning system recorded in Kakawin Nāgarakṛtāgama. This study uses qualitative
research methods based on literature (1) Kakawin Deśawarnnana uthawi Kakawin Nāgarakṛtāgama:
The Golden Age of Majapahit composed by Riana (2009) and (2) Kakawin Nagarakertagama composed
by Damaika, et al (2016). The results of this study are the Majapahit urban planning system recorded in
Kakawin Nāgarakṛtāgama including the layout of the premises and buildings: (1) Citadel made of red
bricks, (2) Majapahit City Gate, (3) Village halls; gate; and gazebo, (4) Field of Watangan, (5) King of
Majapahit Residence, (6) King and Governor of Gajah Mada’s family residence, (7) Governor of Gajah
Mada residence, (8) Palace officials residence, (9) The residence of the Shiva religious leaders as well as

SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya | 77


Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia

the Buddhist leaders, and (10) A place for settlement of the people. Overall, it can be seen that Kakawin
Nāgarakṛtāgama records well the Majapahit Kingdom’s urban planning system since the time of its
establishment until its golden age.
Keywords:
Kakawin Nāgarakṛtāgama, Majapahit Kingdom, Urban Planning System

Pendahuluan yang menyebut bahwa Mpu Prapañca memberi


Kakawin Nāgarakṛtāgama ditulis oleh Mpu nama Kakawin tersebut dengan Deśawarnnana.
Prapañca yang disusun berupa pujasastra, Nama Nāgarakṛtāgama merupakan nama
terdiri dari 98 pupuh. Penulis dalam kakawin tambahan dari penyalin naskah ini yang
ini menggunakan nama Prapañca sebagai bernama Arthapamasah. Beliau menyalin
nama samaran. Berdasarkan hasil analisis naskah ini pada bulan Kartika, tahun Śaka
kesejarahan yang telah dilakukan, diketahui 1662 (20 Oktober 1740 Masehi)1. Disalin
bahwa penulis naskah Kakawin Nāgarakṛtāgama menggunakan aksara Bali di Kañcana (Bullough,
ini bernama Dang Acarya Nadendra. Beliau 2007). Selanjutnya, penyebutan naskah dalam
merupakan mantan pembesar urusan agama kajian ini tidak menggunakan nama Kakawin
Budha (Dharmmadyaksa Kasogatan) di istana Deśawarnnana, melainkan menggunakan nama
Majapahit, yang mewarisi jabatan tersebut dari Kakawin Nāgarakṛtāgama. Sebab nama Kakawin
ayahnya (Muljana, 2006). Nāgarakṛtāgama lebih dikenal oleh khalayak
Naskah ini pertama kali ditemukan oleh J. umum.
L. A. Brandes pada tahun 1894 di perpustakaan Kakawin Nāgarakṛtāgama mencatat
Pura Cakranagara Lombok. Saat itu Brandes bahwa, Majapahit merupakan sebuah kerajaan
sedang mengiringi tentara KNIL Belanda yang besar yang kekuasaannya meliputi seluruh
sedang menyerang kerajaan Lombok. Sebelum wilayah Nusantara. Kemajuan Majapahit
pusat kerajaan Lombok dibakar tentara sebagai sebuah imperium klasik tidak hanya
KNIL, Brandes terlebih dulu menyelamatkan terfokus pada proses penyebaran pengaruhnya
naskah-naskah yang ada diperpustakaan saja. Akan tetapi juga mengembangkan segala
tersebut. Brandes tidak hanya sebagai penemu bidang, baik dalam pemerintahan; budaya dan
naskah Kakawin Nāgarakṛtāgama, beliau ekonomi. Salah satu kemajuan Majapahit yang
juga orang pertama kali yang mengkajinya. menunjukkan ciri khas dan karakteristik yang
Brandes memberi nama naskah ini Kakawin tidak dimiliki oleh imperium lainnya adalah
Nāgarakṛtāgama yang artinya “Negara dengan kemajuan sistem perkotaan.
tradisi (agama) yang suci”. Sistem perkotaan Majapahit pada saat
Seiring berjalannya waktu, naskah yang itu didesain dan diatur dengan karakteristik
sejenis juga ditemukan di Bali pada tahun arsitekturnya yang berbeda dengan kota-
1970-an. Orang pertama yang mengkaji naskah kota lainnya di Nusantara. Kota Majapahit
tersebut adalah Stuart O. Robson, seorang pada saat itu menggambarkan kemajuan dan
Filolog berkebangsaan Australia. Robson kemajemukan masyarakat Majapahit. Setiap
menjelaskan dalam kajiannya bahwa, nama asli tata letak kota mewakili suatu golongan
kakawin tersebut adalah Deśawarnnana. Hal masyarakat yang terhubung dengan kelompok
tersebut merujuk pada isi Kakawin pupuh 94 masyarakat lainnya (Antariksa, 2004). Tidak

1 Kakawin Nāgarakṛtāgama asli selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Śaka 1287 (September-Oktober 1365 Masehi). Sang
penulis menyelesaikan diusia senja dalam pertapaannya di lereng gunung desa Kamalasana. Kemudian pada tahun 2008,
Kakawin ini telah diakui oleh UNESCO sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) (Muljana,
2006).

78 | Volume 1, Nomor 2, September 2019


Telaah Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama

hanya kota saja, sistem penataan istana dan Kakawin Deśawarnnana uthawi Kakawin
lingkungannya sebagai bagian dari perkotaan Nāgarakṛtāgama: Masa Keemasan Majapahit
juga mendapatkan perhatian baik tertata karya Riana, I Ketut (2009) dan Damaika, dkk
dengan baik. Sehingga kota di Majapahit tidak (2016) berjudul Kakawin Nagarakertagama
hanya berfungsi sebagai tempat aktifitas yang menjadi sumber literatur utama kajian
kerajaan berlangsung, melainkan juga menjadi ini. Kedua literatur tersebut digunakan untuk
cerminan kemajuan dan berkembangnya menganalisis sejarah berdirinya kerajaan
kerajaan Majapahit pada masa itu (Soekmono, Majapahit dan sistem tata kota Majapahit.
1973).
Selanjutnya, kajian Kakawin Hasil dan Pembahasan
Nāgarakṛtāgama ini bertujuan untuk (1) Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit
Mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Majapahit merupakan kerajaan penganut
Majapahit dan (2) Menganalisis sistem kota aliran Siwa-Buddha. Kakawin Nāgarakṛtāgama
Majapahit. menyebutkan bahwa, kerajaan Majapahit
berdiri pada tahun 1216 Śaka. Hal tersebut
Metode Penelitian ditulis dalam bentuk candra sengkala yang
Kajian ini menggunakan metode berbunyi masa-rūpa-rawi, yang artinya
penelitian kualitatif berdasarkan Kakawin adalah masa rupa matahari. Namun Kakawin
Nāgarakṛtāgama karya Mpu Prapañca sebagai Nāgarakṛtāgama tidak menjelaskan tanggal dan
karya sastra Jawa klasik peninggalan Kerajaan bulan berdirinya kerajaan Majapahit. Pendiri
Majapahit. Karya sastra tersebut berisi masa sekaligus raja pertama Kerajaaan Majapahit
keemasan Kerajaan Majapahit perjalanan adalah Raden Wijaya. Penobatan Raden Wijaya
Prabu Hayam Wuruk ke desa-desa kekuasaan tercatat dalam Kidung Harṣawijaya berlangsung
Majapahit, tatacara upacara adat di Majapahit, pada purneng kartikamāsa pañcadasi sukleng
sekaligus berisi tata kota Kerajaan Majapahit. catur atau tanggal 10 November (Berg,
Kakawin Nāgarakṛtāgama tersebut 1931). Kidung Harṣawijaya tidak menyebut
selanjutnya disalin dalam bentuk suntingan tahun penobatan Raden Wijaya, namun para
teks beraksara latin, berbahasa Jawa Kuna sejarawan mengaitkan hal tersebut dengan
serta dalam bentuk terjemahan teks beraksara peristiwa terusirnya pasukan Tar-tar2 dari
latin, berbahasa Indonesia. Salinan suntingan Jawa pada tahun 1293 Masehi. Oleh karena itu
dan terjemahan teks tersebut berjudul para sejarawan pada umumnya menganggap
2 Pada paruh awal tahun 1293 Masehi, pasukan Tar-Tar tiba di Pulau Jawa. Pasukan tersebut dibagi menjadi 2 gelombang, yaitu
gelombang pasukan pertama mendarat di Pelabuhan Tuban dan pasukan yang lainnya langsung masuk ke muara sungai Brantas.
Penyerangan ini dipimpin oleh 3 panglima, yaitu Ike Mese, Kau Shing dan Sih-Pi. Kedatangan pasukan Tar-Tar di Jawa bermaksud
untuk membalaskan dendam atas pelecehan yang dilakukan Raja Kertanegara kepada utusan Kubilai Khan dengan merusak
wajah dan memotong telinganya. Mengetahui kedatangan tersebut, Raden Wijaya berusaha memanfaatkannya dan bersiasat
bersekutu dengan mereka untuk melawan Jayakatwang yang sebelumnya telah meruntuhkan Kerajaaan Singhasari. Kemudian
Raden Wijaya memberi pasukan Tar-Tar peta wilayah yang telah dikuasai Jayakatwang (Muljana, 2006).
Selanjutnya, pada tanggal 15 Maret 1293 Masehi, pasukan Tar-Tar bergerak menuju istana yang dihuni oleh Jayakatwang.
Sedangkan pasukan Raden Wijaya berada di barisan belakangnya. Kemudian pada tanggal 19 Maret 1293 Masehi pasukan Tar-Tar
dan pasukan dari Raden Wijaya telah berkumpul ditepi kota Dhaha bersiap untuk menyerang istana yang dihuni Jayakatwang.
Pada pagi hari tanggal 20 Maret 1293 Masehi, sirine telah berbunyi pertanda bahwa serangan telah dimulai. Sebanyak 3 kali
gempuran dalam penyerangan tersebut, pada akhirnya pasukan tersebut berhasil menaklukkan Jayakatwang dan pasukannya
(Muljana, 2006).
Setelah menaklukkan Jayakatwang, Raden Wijaya beserta pasukannya diam-diam berbalik menyerang pasukan Tar-Tar.
Diawali dengan Raden Wijaya kembali ke hutan Tarik dengan alasan akan memberikan upeti kepada pasukan Tar-Tar sebagai
tanda tunduk patuh kepadanya. Raden Wijaya dikawal oleh pasukan Tar-Tar yang berjumlah sekitar 200 orang, pasukan tersebut
mengawal Raden Wijaya tanpa membawa senjata. Ketika tiba di Hutan Tarik, pasukan tersebut dibunuh semua. Kemudian Raden
Wijaya menggerakkan pasukannya menuju tempat pertahanan utama pasukan Tar-Tar dan melancarkan serangan tiba-tiba.
Pasukan Raden Wijaya banyak membunuh pasukan Tar-Tar, sedangkan sisanya berlari kembali ke kapal mereka. Pasukan Tar-
Tar kemudian mundur karena angin yang dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir, sehingga mereka bisa terancam
terjebak di Pulau Jawa untuk beberapa bulan berikutnya. Setelah berhasil mengusir pasukan Tar-Tar di Pulau Jawa, kemudian
Raden Wijaya memproklamirkan dirinya sebagai raja Kerajaan Majapahit yang pertama kali dengan gelar abhiseka Kertarajasa
Jayawardhana (Rozi, 2018).

SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya | 79


Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia

bahwa Kerajaan Majapahit berdiri pada tanggal “Kadhaṅndaṅan i laṇḍa len ri samědhaŋ tirěm
10 Novemer 1293 Masehi atau 15 Kartika 1215 tan kasah, ri sedhu buruneŋ ri kalka saludhuŋ
Śaka (Suwardono, 2013). ri solot pasir, baritw i sawakū muwah ri
Kerajaan Majapahit mencapai puncak tabaluŋ tañjuŋ kute, lāwan ri malano maka
kejayaan pada masa pemerintahan Prabu pramuka taŋ ri tañjuŋ puri.”
Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun Artinya:
1350-1389 Masehi. Wilayah kekuasaannya “Kadangdangan, Landa, Samedang, dan
membentang luas dari Sumatra, Jawa, Tirem tak terlupakan, Sedu Bruneng
Semenanjung Malaya, Kalimantan, bahkan (Brunai) Kalka, Saludung, Solot, dan Pasir,
hingga di wilayah Indonesia Timur. Hal tersebut Barito, Sawaku, serta Salubang, dan Tanjung
telah tercatat dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama, Kutai, serta Malano yang terkemuka di
Pupuh Wirama 13, Suwādanā di bawah ini: Tanjungpura.”

“Lwriŋ nūsa panūṣa pramuka sakahawat “Ikāŋ sakahawan Pahaŋ pramuka taŋ hujuŋ
kṣoṇī ri malayu, naŋ jambi mwaŋ palembaŋ medina, ri leṅkasuka len ri saimwaŋ i kalantěn
karitaŋ i těba dharmmāśraya tumūt, i triṅgano, naśor pakamuwar dhuṅun ri
kaṇḍis katwas manaṅkabwa ri siyak i rěkan tumasik ri saŋ hyaŋ hujuŋ, kělaŋ kědha jěre ri
kampar mwaŋ i pane, kampe harwwāthawe kañjap I nirān sanūṣā pupul.”
mandhailiŋ i tumihaŋ parllak mwaŋ i barat.” Artinya:
Artinya: “Yang terlewati adalah Pahang yang
“Bilangan pulau dan daerah yang menjadi terkemuka di Ujung Medini, selanjutnya
bawahan pertama Negeri Melayu, Jambi, Lengkasuka, Siamwang, Kalanten, dan
Palembang lain pula Toba, Darmasyara juga Tringgano, Johor, Paka, Muwar, Dungun,
ikut, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Tumasik di Ujung, Kelang Keda (Kedah)
Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru, Jerai, Kanjapiniran, kumpul dalam satu
Mandailing, Tumihang, Perlak, dan Barat pulau.”
(Padang).”
“Sawetan ikanāŋ tanah jawa muwah ya yan
“Hilwas, lāwan samudera mwaŋ i lamuri Warṇnana ri bāli maka mukya taŋ badha
batan lāmpuŋ mwaŋ i barus. Yekāḍinyaŋ hulu mwaŋ i lwa gajah, gurun maka muka
watěk bhūmi malayu satanah kapwā sukun ri taliwaŋ ri dhompo sami, ri saŋ hyaŋ
matěhanut, lan tekaŋ nūṣa tānjuŋ nagara ri api bhīma śeran i hutan kadhalwa pupul.”
kapuhas lāwan ri katiṅan, sampit mwaŋ kuta Artinya:
liṅga mwaŋ i kuta wariṅin sambas mwaŋ i “Di sebelah timur tanah Jawa juga
lawai.” disebutkan, Bali yang terpenting Bendahulu
Artinya: dan Goa Gajah, Gurun yang terpenting
“Hilwas, Samudera, Lamuri, Batan, Sukun, Taliwang, Dompo semua, Sang Hyang
Lampung, juga Brus, itulah terutama Api Bima, Seran, Hutan Kadah terkumpul.”
daerah-daerah Negeri Melayu semua telah
tunduk, lain pula daerah-daerah pulau “Muwah taŋ i gurun sanūṣa maṅaran ri
Tanjung, Kaapuas, serta Katingan, Sampit, Lombok mirah, lāwan tikaŋ i sākṣak ādīnikalun
Kutalingga, Kutawaringin, Sambas dan kahajyan kabeh, muwah tanah i bantayan
Lawai.” pramuka bantayan len luwuk. Těkeṅudha
makatrayādi nikanaŋ sanūṣāpupul.”

80 | Volume 1, Nomor 2, September 2019


Telaah Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama

Artinya: karěṅö, apituwinajña hajya tan asiŋ parana


“Juga Gurun di pulau yang bernama ketika, hinila hila sakulwan ikanaŋ tanah
Lombok-Mirah, terutama daerah Sasak jawa kabeh, taya riŋ usāna boddha mara
yang makmur dikuasai semuanya, di rakwa sambhawa tinūt.”
wilayah Bantayan terutama Bantayan serta Artinya:
Luwuk, sampai Udamakatraya dan lain-lain “Adapun para Biksu Budha yang terkemuka
pulau berdekatan.” dikisahkan, sekalipun perintah Baginda
Raja tidak semua wilayah dikunjungi,
“Ikaŋ saka sanūṣa nusa makasar butun merupakan larangan semua wilayah di
baṅgawi, kumir galiyau mwaŋ i salaya sebelah Barat tanah Jawa, konon sejak
sumba solot muar, muwah tikaŋ i dahulu bukan penganut Budha, mustahil
waṇḍanambwanathawā maloko wwanin, ri mau tunduk (Riana, 2009).”
seran i timūr makādiniŋ aṅeka nūṣātutur.”
Artinya; Walaupun Kakawin Nāgarakṛtāgama
“Tersebut pula pulau-pulau seperti menyebutkan Majapahit tidak menguasai
Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galiyan, seluruh wilayah Nusantara, namun Majapahit
serta Selayar Sumba, Solot, Muar, lagi pula mempunyai pengaruh terhadap daerah-daerah
Wandan, Ambon atau Maluku, Wanin, luar Jawa yang menjadi tempat berdagang
Seram, Timor dan pulau-pulau yang armada Majapahit (Munandar, 2008).
berdekatan.”
Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam
“Nahan lwiriŋ deśantara kacaya de śrī Kakawin Nāgarakṛtāgama
narapati, tuhun taŋ syaṅkāyodhapura Pusat kerajaan Majapahit terletak di
kimutaŋ dharmma nagari, marutma mwaŋ Trowulan, sebuah kecamatan yang berada
riŋ raja pura ṅuniweh siṅa nagari, ri campa di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Di
kambojha nyati yawana mitrěka satata.” kecamatan Trowulan terdapat puluhan situs
Artinya: seluas hampir 100 kilometer persegi berupa
“Inilah Negara asing yang berhubungan bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman
dengan Baginda Raja, ternyata negeri (Siam) peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena
Ayodia Pura, begitu pula Darma Nagari, status Trowulan sebagai ibukota, maka di
Marutma, dan Rajapura terutama Singha kawasan tersebut terdapat bangunan keraton,
Nagari, Campa, Kamboja, dan Yawana selalu tempat-tempat suci, tempat penghadapan,
bersahabat (Riana, 2009). serta pemukiman rumah rakyat. Uraian
mengenai keraton terdapat dalam Kakawin
Berdasarkan kutipan Kakawin Nagarakrtagama pupuh 8-12. Pupuh tersebut
Nāgarakṛtāgama di atas, dapat diketahui menguraikan seluk beluk ibukota kerajaan,
kekuasaan Kerajaan Majapahit di wilayah dari tempat bersemayam baginda sampai para
Nusantara. Namun demikian, wilayah Sunda abdi dan para pembesar kerajaan. Kakawin
disebutkan enggan tunduk di bawah Kerajaan Nāgarakṛtāgama juga menyebutkan bahwa,
Majapahit. Hal tersebut tercatat dalam Kakawin Kerajaan Majapahit memiliki pola pemukiman
Nāgarakṛtāgama sebagaimana kutipan pada yang terbagi-bagi berdasarkan status sosial
Pupuh Wirama 16, Wiswalalita: serta fungsi dari masing-masing bangunan
(Sani, 2017).
“Kunaŋ ika saŋ bhujaṅga sugata grateki

SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya | 81


Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia

1. Benteng Batu Bata Merah “Lor taṅ gopura śobhtā bhinawa


Pada bagian luar ibukota Majapahit kontenika wesi winūpakā parimita wetan
terdapat benteng kota yang mengitari keraton sandhiṅkārjja paṅguṅaruhur patiga nika
dari batu bata merah. Pintu besar benteng binajralepa maputih.”
di sebelah Barat disebut Purawuktra yang Artinya:
menghadap ke lapangan luas dan dikelilingi “Disebelah utara bertegak gapura permai
parit. Di tepi benteng terdapat pohon dengan pintu besi penuh berukir Di
Brahmastana berderet-deret memanjang sebelah timur: panggung luhur, lantainya
yang bentuknya bermacam-macam. Di situlah berlapis batu, putih-putih mengkilat.”
tempat para perwira yang sedang menjaga
keamanan istana. Keterangan tersebut telah Selain berfungsi sebagai gerbang kota,
tercatat pada Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh gapura peninggalan Majapahit yaitu Waringin
8, di bawah ini: Lawang dan Bajang Ratu memiliki arsitektur
yang berbeda. Waringin Lawang merupakan
“Warṇnan tiṅkahikaṅ purādbhuta kuthanya gapura yang memiliki struktur kembar tanpa
bata baṅumiděr makanděl aluhur kulwan atap sedangkan Bajang Ratu merupakan jenis
didhwura waktra maṅharěpakěn lěbuhagěni gapura tunggal dengan sayap disebelah kanan
těṅah wayedrana dalěm brahma sthāna dan kiri.
matuṅalan pathani buddhi jajarinapi kapwa
sȍk cara cara ṅkā toṅgwan para taṇḍha 3. Balai Desa, Pintu Gerbang, dan Pendapa
tan pěgataganti kuměniti karakṣaniṅ pura Di pusat ibu kota Majapahit terdapat
sabhā.” keraton yang digunakan untuk kegiatan-
Artinya: kegiatan birokrasi. Keraton, sebagai sarana
“Diceritakan bahwa istana itu sangat fisik yang difungsikan sebagai tempat tinggal
menakjubkan, dikelilingi tembok bata maupun penyelenggaraan pemerintahan pusat.
merah yang kokoh dan tinggi. Di sebelah Di bagian Barat, terdapat beberapa balai yang
Barat, pintu masuk istana menghadap memanjang hingga mercudesa yang digunakan
mandala dan dikelilingi parit. Pohon para menteri utama, perwira tinggi dan rakyat
brahmasthana di dekat balai berjajar yang hendak menghadap Raja. Selain itu, di
dengan pohon bodi ditata dengan berbagai sisi selatan terdapat pintu gerbang, pendapa
macam susunan. Di sanalah tempat tunggu dan bangunan lainnya yang digunakan
para penjaga terus-menerus bergantian sebagai tempat para abdi Bhre Paguhan untuk
menjaga keamanan istana (Damaika dkk, menghadap dan melayani Raja. Hal ini tercatat
2016).” pada Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh 9, di
bawah ini:
2. Gerbang Kota Majapahit
Salah satu peninggalan gapura masa kota “ṅkāneṅ bāyabhya riṅ paścima miděr
Majapahit yang sampai saat ini dapat dilihat umareṅ mṛtyudeśā yaśakweh, sar sȍk de saṅ
adalah Gapura Waringin Lawang dan Gapura sumantryāmawa pinituha riṅ wirā bhṛtyān
Bajang Ratu (Wibawanto, 2016). Adanya gapura panaṅkil, anyat kannah kidul pantaran
sebagai pintu gerbang pada masa kota Majapahit ikaṅ lawaṅan maṇḍapa mwaṅ gṛhākweh,
dijelaskan pada pada Kakawin Nāgarakṛtāgama sar sok de bhṛtya saŋ śrī nṛpati ri paguhan
pupuh 8, di bawah ini: nityakalan pasewa.”

82 | Volume 1, Nomor 2, September 2019


Telaah Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama

Artinya: dari tempat tinggal sang Raja dan bersebelahan


“Di bagian Barat, ada beberapa balai yang dengan tempat suci dari agama Buddha dan
memanjang sampai mercudesa. Penuh Siwa. Nama alun-alun tersebut didapat dari
sesak dengan para menteri utama serta kegiatan lomba sambal kuda yang bernama
perwira tinggi dan rakyat yang menghadap, Watangan. Lomba tersebut mempertandingkan
dan lainnya di bagian Selatan sana dibatasi dua orang berkuda dan membawa tongkat
pintu gerbang dan pendapa dan juga yang berfungsi untuk mendorong lawan agar
bangunan lainnya. Penuh sesak oleh abdi terjatuh dari Kuda. Lomba pacuan kuda di
raja Paguhan yang selalu siap menghadap lapangan Watangan biasanya dihadiri oleh raja,
dan melayani sang raja (Damaika dkk, keluarga, dan punggawa istana.
2016). Selain alun-alun Watangan, kota Majapahit
juga memiliki alun-alun Bubat. Berbeda dengan
4. Lapangan Watangan alun-alun Watangan, maka alun-alun Bubat
Kakawin Nāgarakṛtāgama juga menyebut lebih bersifat umum dan tidak mengandung
bahwa terdapat tanah lapang di pusat nilai kesakralan. Biasanya alun-alun /
Kota Majapahit. Lokasi lapangan tersebut lapangan Bubat digunakan sebegai tempat
dekat dengan gugusan bangunan Keraton terselenggaranya pesta rakyat (Sani, 2017).
Rajasanagara yang dinamakan dengan Keraton
Wanguntur. Lapangan tersebut diberi nama 5. Tempat Tinggal Raja Majapahit
Lapangan Watangan yang letaknya disisi utara Tempat tinggal penguasa Majapahit,
Keraton Wanguntur. Hal ini tercatat pada dalam hal ini adalah Raja Majapahit berlokasi
Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh 8, di bawah di sebelah selatan dari Lapangan Wanguntur.
ini: Tempat tinggal raja tersebut berada di sebelah
timur kolam segaran. Lokasi ini dikelilingi
“alwāgimbar ikaṅ waṅuntur an haturdiśi oleh dinding keraton yang memakai bahan
wataṅan ikāwitāna ri těṅah, lor taṅ weśma bata merah. Hal ini tercatat pada Kakawin
panaṅkilan para bhujaṅga kimuta para Nāgarakṛtāgama pupuh 11, di bawah ini:
mantry aliṅgih apupul.”
Artinya: “Nā lwir saṅ marěk iṅ witāna pinake dalěm
“Balai Agung Manguntur dengan Balai inapi riněṅga śobhita riṅ jro pūrwa sake
Witana di tengah menghadap ke lapangan wijil pisan adoh piniṅit ikaṅ umañjiṅe dalěm
Watangan. Dibagian utara adalah tempat ndan saṅ śrī nṛpa siṅha warddhana kidul
bagi para pujangga dan para menteri saha yugala saputra putrikā lor saṅ śrī
berkumpul (Damaika dkk, 2016).” kṛtawarddhaneśwara baṅun surapada tiga
taṅ purāpupul sakweh niṅ graha nora tanpa
Lapangan Watangan juga disebut sebagai saka mokir ukiran apěněd winarṇana mwaṅ
alun-alun Majapahit. Setiap alun-alun memiliki tekaṅ batur aśmawaṣṭaka mirah winětu
fungsi dan kedudukan yang berbeda, alun- wětu pinik rinupaka.”
alun Watangan atau Wanguntur bersifat lebih Artinya:
sakral dan pada biasanya dijadikan tempat “Itulah mereka yang menghadap balai
bagi terselenggaranya upacara penobatan, Witana, tempat singgasana raja yang terhias
upacara keagamaan, dan upacara sambal kuda. indah, pantang masuk ke dalam Istana
Sifat sakral dari lapangan Watangan dapat Timur. Agak jauh dari pintu pertama, arah
terlihat dari posisi lapangan yang tidak jauh ke Istana Selatan, tempat Singawardana,

SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya | 83


Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia

Permaisuri dan putra-putrinya. Di istana dengan Wanguntur yang fungsinya tidak


sebelah utara, tempat singgasana dari hanya sebagai tempat tinggal raja akan tetapi
Kertawardana. Ketiganya bagaikan juga berfungsi sebagai tempat singgasana raja
kahyangan yang menjadi satu. Semua (Tribinuka, 2014).
rumah bertiang kut, berukir indah, dibuat
berwarna-warni, kakinya terbuat dari batu 7. Tempat Tinggal Patih Gajah Mada
merah yang sangat indah (Damaika dkk, Selanjutnya, pada pupuh 12 Kakawin
2016).” Nāgarakṛtāgama juga memberikan keterangan
letak tempat tinggal patih Majapahit, yakni
6. Tempat Tinggal Keluarga Raja Mahapatih Gajah Mada. Lebih tepatnya letaknya
Pada bagian luar keraton, sebelah timur berada di sebelah Timur laut dari tempat tinggal
Lapangan Watangan, terdapat beberapa raja Majapahit:
tempat tinggal dari keluarga raja. Misalnya
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, “Wetan lor kuwu saṅ gajahmada patih riṅ
yaitu tempat tinggal Raja Wengker dan Rani tiktawilwādhika mantra wīra wicakṣaṇeṅ
Daha berdekatan dengan tempat tinggal Raja naya mataṅgwan satya bhaktya prabhu.”
Matahun dan Rani Lasem. Hal ini tercatat pada Artinya:
Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh 12, di bawah “Di timur laut merupakan rumah patih
ini: Wilwatikta, bernama Patih Gajah Mada,
menteri wira, bijaksana dalam mengatur
“Wetan ndan mahělat lěbuh pura narendreṅ strategi, fasih berbicara, kuat, dapat
wěṅker atyādhuta sākṣāt indra lawan sacī diandalkan, dan setia bakti kepada raja
nṛpati lāwan saṅ narendra ṅ dahā saṅ (Damaika dkk, 2016).”
nātheṅ matahun naredra ri lasěm muṅgwiṅ
dalěm tan kasha kannah dakṣiṇa tan madoh Beberapa literatur menerangkan bahwa,
kaměgětan saṅ nātha śobhāhalěp.” rumah Maha Patih Gajah Mada bersebelahan
Artinya: dengan Gapura Waringin Lawang, sebuah
“Di sebelah Timur, terpisah dari lapangan bangunan peninggalan Majapahit yang terletak
terdapat istana Raja Wengker yang di kawasan situs Trowulan (Sani, 2017).
menjulang megah, bagaikan perwujudan Sedangkan dalam keterangan lain disebutkan
Dewa Indra dan Dewi Saci penak Ratu bahwa Gapura Waringin Lawang merupakan
dan Raja Daha. Letaknya di dalam yang gerbang utama menuju kediaman Gajah Mada.
berdampingan dengan istana Raja Matahun Kediaman mahapatih Gajah Mada berada di
dan Rani Lasem, di sebelah selatan yang timur laut dari istana Prabu Hayam Wuruk,
tidak jauh dari lokasi itu, merupakan istana sebagaimana disebutkan pada kutipan Kakawin
Raja Wilwatikta yang indah nan megah Nāgarakṛtāgama pupuh 12 di atas.
(Damaika dkk, 2016).”
8. Tempat Tingal Para Pegawai Istana
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat Beberapa bangunan di kota Majapahit juga
tinggal raja dan keluarganya pada saat itu berfungsi sebagai tempat tinggal para pegawai
terletak bersebelahan dengan lapangan yang istana seperti para perwira, penasihat, dan
bernama lapangan Wetangan (Sani, 2017). patih. Pada umumnya rumah-rumah dari para
Tempat tinggal raja dan keluarganya tersebut punggawa istana lebih baik dan lebih mewah
dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama disebut daripada rumah yang dikhususkan pada

84 | Volume 1, Nomor 2, September 2019


Telaah Sistem Tata Kota Kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama

pemukiman umum. Hal ini disebabkan karena Hindu dan Buddha bersama-sama melakukan
perbedaan kemampuan yang dimiliki antara upacara guna memohon keselamatan Majapahit
rakyat biasa dengan para pegawai istana (Sani, kepada Tuhan (Damaika dkk, 2016). Oleh
2017). Hal ini tercatat pada kutipan Kakawin karena ada dua agama yang dianut Kerajaan
Nāgarakṛtāgama pupuh Wirama 10, Mrdukomala Majapahit, maka di sebelah Timur Lapangan
di bawah ini: Wanguntur terdapat bangunan suci tempat
tinggal pemuka Agama Siwa yang bersebelahan
“Kwehning wesma puri kamantryaning- dengan bangunan suci tempat tinggal pemuka
amatya ring sanagara, doning, bhsa agama Buddha. Hal ini tercatat pada Kakawin
para patih para demung sakala napupul, Nāgarakṛtāgama pupuh 12, di bawah ini:
anghing sang juruning watek pangalasan
mahinganapaleh, panca kweh nira mantrya “Ndā ṅkane kidul iṅ purī kuwu
nindita rumaksa karyya ri dalem.” kadharmmādhyakṣaṅ arddhāhalěp wetan
Artinya: rakwa kaśaiwan ūttama kaboddhan kulwan
“Banyak perumahan-wisma para Menteri, aśryātata.”
para pejabat negeri, sebagai tempat Artinya:
para patih, demung ketika berkumpul “Adapun di sebelah selatan istana adalah
untuk bermusyawarah. Tetapi petugas tempat tinggal para Dharmadyaksa4 yang
pangalasan yang merupakan petugas tetap tinggi nan bagus. Sebelah timur adalah
pada wisma itu. Lima menteri utama yang tempat tinggal para Dharmadyaksa Siwa,
menyelenggarakan urusan pemerintahan sedangkan sebelah barat tempat tinggal
(Riana, 2009). Dharmadyaksa Buddha (Damaika dkk,
2016).”
9. Tempat Tinggal Pemuka Agama Siwa dan
Pemuka Agama Buddha 10. Tempat Pemukiman Rakyat
Majapahit adalah kerajaan yang para Pada umunya rumah rakyat berbeda
penganutnya lebih dominan bercorak Hindu, dengan rumah para pejabat dan keluarga istana.
sehingga sesuai jika di kota Majapahit tempat- Berdasarkan situs penggalian peninggalan
tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa lebih komplek perumahan Majapahit di museum
banyak daripada tempat peribadatan Buddha. Trowulan. Rumah rakyat di Kerajaan Majapahit
Tidak hanya berfungsi sebagai tempat biasanya beratap ijuk atau sirap, tiang-tiangnya
pemujaan, kuil Dewa Siwa juga berfungsi bagi terbuat dari kayu, dan dasar rumah terbuat dari
raja dalam melakukan persembahan berupa batu bata merah. Meski begitu, sistem tata letak
kurban untuk Tuhan serta sebagai tempat para yang rapi dimana satu komplek rumah dengan
Dharmmadyaksa untuk kegiatan setiap harinya. komplek rumah lainnya berbeda sesuai dengan
Selain itu, dalam keraton Majapahit juga strata sosial membuat permukiman kota
terdapat bangunan suci bagi Agama Buddha, Majapahit tampak lebih semarak (Sani, 2017).
namun jumlahnya tidak sebanyak bangunan Hal ini tercatat pada Kakawin Nāgarakṛtāgama
bagi pemuja Siwa (Hindu). Walaupun jumlahnya pupuh 11, di bawah ini:
tidak sama, Agama Buddha memiliki posisi
yang sama dengan Agama Hindu. Disebutkan “Sakweh niṅ graha nora tanpa saka
juga bahwa pada bulan Palguna3 para pendeta mokirnukiran apěněd winarṇana, mwaṅ
3 Palguna merupakan bulan urutan ke-8 dalam kalender tahun Śaka. Bulan Palguna jika konversikan ke Kalender tahun Masehi
bertepatan dengan bulan Februari-Maret (Riana, 209).
4 Dharmmadyaksa yaitu Pemuka agama / Menteri Agama pada masa tersebut.

SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya | 85


Teguh Fatchur Rozi, Misbahul Munir, Dina Maulidia

tekaṅ aśmawaṣṭa mirah winětu mětu Kakawin Nāgarakṛtāgama mencatat dengan


pinik rinupaka, ñjrah tekaṅ wijil iṅ kulāla baik sistem tata kota Kerajaan Majapahit pada
pinakottamani hatěp ikaṅ grhādhika, tañjuṅ masa berdirinya kerajaan tersebut hingga pada
keśara cāmpakādi nikanaṅ kusumacara masa keemasannya.
carañjrah iṅ natar.”
Artinya: Daftar Pustaka
“Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, Berg, C. C. 1931. Kidung Harṣa-Wijaya Middle-
dibuat warna-warni, pondasinya terbuat Javaansche Historische Roman. Batavia:
dari bata merah dibuat sedemikian rupa Martinus Nijhoff.
yang bergambar aneka lukisan, genting Bullough, Nigel. 2007. Napak Tilas Perjalanan
atapnya bersemarak serba meresapkan Mpu Prapañca. Jakarta: Wedatama Widya
pandang, menarik perhatian, bunga tanjung Sastra.
kesara, cempaka dan lain-lainnya terpancar Damaika dkk. 2016. Kakawin Nagarakertagama.
dihalaman (Damaika dkk, 2016).” Yogyakarta: Narasi.
Muljana, Slamet. 1979. Nagarakertagama Serta
Kesimpulan Terjemahannya. Jakarta: Bhatara Karya
Berdasarkan kajian di atas, dapat Akshara.
diketahui bahwa sejarah berdirinya Kerajaan Munandar, Agus Aris. 2008. Ibukota Majapahit,
Majapahit tidak terlepas dari Raden Wijaya Masa Kejayaan dan Pencapaian. Depok:
sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Komunitas Bambu.
Majapahit. Pada masa keemasannya, Majapahit Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana
dipimpin Prabu Hayam Wuruk dengan patihnya uthawi Nāgarakṛtāgama: Masa Keemasan
bernama Gajah Mada. Majapahit dalam Majapahit. Jakarta: Kompas.
Kakawin Nāgarakṛtāgama diceritakan berhasil Rozi, Teguh Fatchur. 2018. Peranan Pelabuhan
menaklukkan wilayah Nusantara, kecuali Tuban dalam Proses Islamisasi di Jawa Abad
wilayah Sunda yang tidak mau tunduk pada XV-XVI. Skripsi Sarjana pada Fakultas Adab
Majapahit. dan Humaniora. UIN Sunan Ampel Surabaya:
Selanjutnya, sistem tata kota Majapahit tidak diterbitkan.
yang tercatat dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama Sani, Armintia Rina. 2017. “Arsitektur Rumah
meliputi tata letak tempat dan bangunan: di Kawasan Cagar Budaya Trowulan (Studi
(1) Benteng yang terbuat dari batu bata merah, Pemukiman Majapahit Abad Ke-14)”. Jurnal
(2) Gerbang Kota Majapahit, Avatara. 5 (3), 968-970.
(3) Balai desa; pintu gerbang; dan pendapa, Suwardono. 2013. Sejarah Indonesia Masa
(4) Lapangan Watangan, Hindu-Buddhaa. Yogyakarta: Ombak.
(5) Tempat tinggal Raja Majapahit, Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan
(6) Tempat tinggal keluarga Raja dan Patih Indonesia 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Gajah Mada, Tribinuka, Tjahja. 2014. “Rekonstruksi
(7) Tempat tinggal Patih Gajah Mada, Arsitektur Kerajaan Majapahit Dari Relief,
(8) Tempat tingal para pegawai istana, Artefak, dan Situs Bersejarah”. Makalah
(9) Tempat tinggal pemuka Agama Siwa serta pada Prosiding Temu Ilmiah IPLBI.
pemuka Agama Buddha, Wibawanto, Wandah. 2016. “Visualisasi
(10) Tempat pemukiman rakyat. Kerajaan Majapahit Melalui Virtual Reality”.
Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa, Jurnal Imajinasi. 10 (1), 35.

86 | Volume 1, Nomor 2, September 2019

Anda mungkin juga menyukai