Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Fisiografi

Pulau Sumatera secara regional mempunyai bentuk memanjang dengan

kecenderungan arah kira-kira N300°E. Panjang pulau ini kurang lebih 1700 km dengan

lebar kurang lebih 200 km di bagian Utara dan 350 km di bagian Selatan. Perlu

diketahui daerah penelitian terdapat pada Lembar Lubuk Sikaping dengan skala

1 : 250.000.

Berdasarkan yang ditulis dalam laporan penelitian oleh Syukri (2010),

fisiografi yang terdapat Peta Fisiografi Lembar Lubuk Sikaping dibagi menjadi

6 (enam) zona (Rock dkk., 1983, op. cit. Syukri, 2010), yaitu:

1. Zona Dataran Pantai Barat yang merupakan suatu morfologi dataran

dengan ketinggian permukaan sekitar 75 m di atas permukaan laut, dengan teras-

teras 2,6 m pada lembah Batang Natal. Umumnya daerah ini disusun oleh tufa

dengan pola aliran dendritik. Dataran ini dikelilingi oleh sederetan perbukitan

dengan puncak tertinggi mencapai 400 meter dari permukaan laut, disusun oleh

batuan Vulkanik Tersier

2. Zona Pegununggan Bukit Barisan Bagian Barat membentuk pengunungan

yang memanjang, dipisahkan oleh graben. Bagian barat graben disusun oleh meta-

vulkanik dan meta-sedimen berumur Mesozoikum Akhir. Intrusi granitoid

Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
kemudian ditutupi oleh sedimen dan vulkanik berumur Miosen dan selanjutnya

diendapkan batuan vulkanik berumur Kuarter.

3. Zona Graben yang cenderung berarah barat laut – tenggara seperti terlihat

di daerah Panyabungan (Panyabungan Graben), Rao (Rao Graben) dan Lubuk

Sikaping (Sumpur Graben), oleh Vestappen (1973, op. cit. Syukri, 2010), disebut

sebagai Sistem Sesar Sumatera. Sesar ini diperkirakan telah aktif sejak Oligosen

(Rock dkk., 1983 op. cit. Hidayat dkk., 2008).

4. Zona Pegunungan Bukit Barisan Bagian Timur yang berbeda dengan zona

bagian barat dari segi umur, terutama jika dilihat berdasarkan batuan dasar

(meta-sedimen dan intrusi berumur Palezoikum Akhir), tidak dijumpai vulkanik

Kuarter.

5. Zona Kaki Bukit Barisan menggambarkan suatu graben dasar horst

membentuk lipatan pada lapisan Tersier, dengan batas berupa sesar yang berarah

mengikuti sayap lipatan. Daerah horst disusun oleh lapisan Tersier Tua (Formasi

Sihapas) dibagian Timur zona Bukit Barisan, umumnya tidak datar, namun

mempunyai relief rendah. Torehan sungai sangat dalam dengan jurang yang terjal.

Daerah ini juga disusun oleh metasedimen Pra-Tersier dan umumnya berarah

Utara hingga bagian Timur horst.

6. Zona Lubuk Sikaping merupakan zona yang menempati daerah rendah

yang memotong perbukitan yang disusun oleh dataran aluvial. Perbukitan ini

berbentuk perlipatan yang ditutupi oleh sedimen Tersier dengan ketebalan

bervariasi dari suatu urutan klastik berumur Pleistosen.

6
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
2.1.2 Geologi Regional

Di dalam daerah survei penelitian terdapat 4 formasi geologi dan hanya 3

formasi geologi yang terlewati, yaitu Formasi Kuantan (Pukul), Formasi Kuantan

(Puku), dan Formasi Sihapas (Tms).

Formasi Kuantan (Pukul) memiliki penyebaran batuan menghampar sepanjang

inti Pegunungan Barisan, dibatasi oleh Padangsidempuan di ujung utara dan sejajar

dengan Padang di ujung selatan. Batuan yang terdapat pada formasi ini yaitu

batugamping, metabatugamping. Formasi ini ditunjukkan dengan warna hijau tua

(Gambar 2.1).

Formasi Kuantan (Puku) terdiri dari filit, batusabak, meta-batupasir arenit dan

meta wacke. Struktur, ketebalan dan sebaran fasies tidak diketahui secara jelas

meskipun fakta di lapangan ditemukan banyak singkapan batuan dengan kondisi yang

sangat baik. Formasi ini tersebar di bagian utara dan tenggara, yang ditunjukkan

dengan warna hijau (Gambar 2.1).

Formasi Sihapas (Tms) yang tersebar di bagian timur dan barat Lubuksikaping

didominasi oleh endapan flysch. Batuan yang terdapat pada formasi ini yaitu batupasir

kuarsa bersih, seripih berkarbon, batulanau, konglomerat. Formasi ini ditunjukkan

dengan warna coklat (Gambar 2.1)

7
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Gambar 2.1 Peta Geologi Lembar Lubuksikaping Skala 1 : 250.000
(Rock dkk., 1983 op. cit. Hidayat dkk., 2008) dan daerah penelitian yang diberi kotak
merah Skala 1 : 100.000

2.1.3 Tatanan Struktur Regional

Tatanan struktur regional dipengaruhi oleh dua sesar besar yang

merupakan percabangan dari Sesar Utama Sumatera, yaitu Sesar Lubuksikaping dan

Sesar Pungkut-Barilas (Gambar 2.2). Sesar Lubuksikaping mempunyai indikasi

pergeseran menganan sejauh 42 km. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan Granit

Sopan di bagian timur sesar dan Granit Air Mabara di sebelah barat sesar (Hahn &

Weber, 1981 op. cit. Barber dkk., 2005). Pada saat ini, Sesar Lubuksikaping

diperkirakan sudah tidak aktif lagi (Sieh & Natawijaya, 2000). Sedangkan Sesar

Pungkus-Barilas ditandai dengan zona sesar selebar 20 meter yang terdiri dari zona

lempung berupa lempung kaya sulfida dan breksi tersilikakan dengan gipsum (Rock

dkk., 1983 op. cit. Barber dkk., 2005).

8
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Tatanan struktur regional daerah ini dimodelkan oleh Rock dkk. (1983 op. cit.

Barber dkk., 2005) sebagai sebuah Pull Apart Bassin dengan elipsoid berarah

Barat Laut-Tenggara bergerak menganan (Gambar 2.2). Daerah ini diinterpretasikan

sebagai graben, yang me rupakan ekstensi akibat pergerakan menganan dari Sesar

Utama Sumatera. Pembentukan Graben Panyabungan dipengaruhi oleh pergerakan

ekstentsi dari Sesar Normal Gadis. Sedangkan di bagian yang berlawanan, terbentuk

Graben Rau. Graben ini terbentuk karena adanya pergerakan ekstensi yang diakibatkan

pergerakan menganan dari Sesar Lubuk Sikaping dan Sesar Pungkut-Barilas. Daerah

penelitian terletak di sekitar Air Mabara Granite dan sedikit terlewati Sesar Lubuk

Sikaping di bagian Utara.

Gambar 2.2 Model struktur regional daerah Lubuk Sikaping dan sekitarnya. Daerah
penelitian ditunjukkan dengan kotak merah.

9
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
2.2 Teori Dasar

Geologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari mengenai bumi dari

permukaan bumi hingga inti bumi dengan fokus kajian mengenai material penyusun,

komposisi, serta proses-proses yang berlangsung pada masa lampau yang dapat

diamati pada masa sekarang. Ilmu geologi ini dapat dimanfaatkan untuk membantu

manusia dalam menganalisis berbagai fenomena kebumian yang ada seperti gempa,

tanah longsor, serta dapat membantu mengetahui potensi sumber daya alam. Dalam

mempelajari geologi didasarkan pada fenomena yang terekam dalam batuan / litologi

diantaranya: a). Warna; b). Tekstur batuan; c). Struktur batuan; dan d). Komposisi

mineral.

Geomorfologi merupakan ilmu tentang roman/bentuk muka bumi beserta

aspek-aspek yang mempengaruhinya. Kata Geomorfologi (Geomorphology) berasal

bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos (earth/bumi), morphos

(shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari kata-kata

tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan pengetahuan tentang bentuk-

bentuk permukaan bumi.

Obyek kajian dari geomorfologi adalah bentuk lahan, bukan hanya sekedar

mempelajari bentuk-bentuk yang tampak saja, tetapi juga menafsirkan bagaimana

bentuk-bentuk tersebut bisa terjadi, proses apa yang mengakibatkan pembentukan dan

perubahan muka bumi. Misalnya, dalam mempelajari pegunungan, lembah-lembah

atau bentukan-bentukan lain yang ada di permukaan bumi, bukan hanya mempelajari

dalam arti mengamati serta mengukur bentukan-bentukannya, tetapi juga

mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana bentukan itu terjadi. Dalam hal ini

10
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
adanya bentukan yang tampak sama, ada kemungkinan latar belakang

pembentukan dan kejadiannya tidak sama, bahkan sangat berbeda sekali. Umpamanya

suatu deretan pegunungan, mungkin terjadi karena pelipatan kulit bumi, patahan,

mungkin juga karena hasil pengerjaan erosi yang demikian hebat, sehingga

menimbulkan relief permukaan bumi yang bervariasi.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dijelaskan

bahwa geomorfologi adalah mempelajari bentuk lahan (landform), proses-proses yang

menyebabkan pembentukan dan perubahan yang dialami oleh setiap bentuk lahan

yang dijumpai di permukaan bumi termasuk yang terdapat di dasar laut/samudera

serta mencari hubungan antara bentuk lahan dengan proses-proses dalam tatanan

keruangan dan kaitannya dengan lingkungan. Di samping itu, juga menelaah dan

mengkaji bentuk lahan secara deskriptif, mempelajari cara pembentukannya, proses

alamiah dan ulah manusia yang berlangsung, pengkelasan dari bentuk lahan serta cara

pemanfaatannya secara tepat sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Analisis morfologi merupakan suatu pekerjaan atau langkah-langkah

memisahkan sesuatu menjadi bagian-bagiannya yang lebih kecil (separating or

breaking up of anything into its constituent elements). Batuan dapat dianalisis menjadi

unsur-unsur pembentuk mineral-mineralnya, dan sebagainya. Morfologi dapat

dianalisis ke dalam pembagian sudut lereng, bentuk-bentuk bukit atau orde-orde

gunung, kerapatan sungai, pola genetik sungai, tahapan kedewasaan, jenis-jenis

pegunungan/datarannya, dan sebagainya.

Analisis morfologi dilakukan dengan menggunakan data dasar yang diambil

dari pengamatan lapangan, pengukuran lapangan, peta topografi, foto udara, dan

11
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
sebagainya. Berbagai data selanjutnya perlu diolah dengan berbagai cara, baik

dengan tangan atau dengan alat. Keluaran (output) yang dihasilkan dapat berbentuk

uraian deskriptif/explanatory, ataupun dalam bentuk tabel-tabel, grafik-grafik, angka-

angka ringkasan (summary figures) seperti jumlah, rata-rata, persentase, proporsi,

rasio, angka indeks, dan sebagainya.

Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan tabel, grafik, diagram, angka,

atau peta. Macam analisis yang bagaimana yang akan digunakan tergantung dari sifat

dan tujuan penelitian itu sendiri. Pada dasarnya analisis merupakan usaha penguraian

lebih lanjut daripada data agar dapat diperbandingkan, maka dari itu pada analisis perlu

dibuat kategori-kategori atau klasifikasi-klasifikasi. Selain itu pada analisis juga

berarti memperhitungkan besarnya pengaruh antara nilai variabel yang satu

terhadap variabel lainnya.

Berikut ini digambarkan matriks antara tujuan analisis dan variable yang

mungkin mempengaruhinya.

Tabel 2.1. Matrix Hubungan Antara Macam-Macam Analisis dan Tujuan Analisis
Dalam Perencanaan Jalan (Ludiro, dkk, 1985)

12
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Analisis Morfologi dilakukan dengan pemisahan-pemisahan unsur-unsur

morfologi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Analisis dilakukan dengan

memperhatikan tujuan semula, mungkin berupa tujuan-tujuan ilmiah atau tujuan-

tujuan aplikasi dalam hal ini difokuskan pengaplikasian analisis trase jalan raya (Tabel

2.1). Analisis morfologi yang digunakan adalah: elevasi, sudut lereng, dan tekuk

lereng/gradien, dan satuan morfologi.

a. Elevasi.

Elevasi diukur dalam meter di atas muka laut. Data mengenai elevasi

diperlukan dalam kaitannya dengan iklim/cuaca daerah tersebut yang selanjutnya

dapat mempengaruhi aplikasi misalnya untuk tata guna tanah,

pertanian/perkebunan, engineering, dan sebagainya. Misalnya pohon teh dapat

hidup baik pada elevasi antara sekian dan sekian meter di atas muka laut; salju

terdapat pada elevasi sekitar 5.000 meter ke atas, dan sebagainya.

b. Sudut Lereng.

Penggunaan lahan sebagai alternatif trase jalan sangat dipengaruhi

pemilihannya oleh sudut lereng dan luasnya masing-masing. Beberapa

penggunaan lahan memerlukan sudut lereng yang mutlak datar seperti lapangan

terbang, dan penggunaan lahan lain dapat tidak terlalu terpengaruh sudut lereng

seperti beberapa macam daerah rekreasi, jalan setapak. Beberapa penggunaan

lain bahkan memerlukan sudut-sudut lereng terjal seperti mendaki gunung.

c. Satuan Morfologi.

Daerah di muka bumi yang mempunyai kesamaan dalam bentuk – bentuk dan

pola aliran sungai dimasukkan ke dalam satuan yang sama. Tujuan utama adalah

13
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
memisahkan mana daerah konstruksional dan daerah destruksional. Di dalam peta

geomorgologi tercantum warna yang menunjukkan kelas lereng dan prosesnya.

Kelas lereng yang menunjukkan kesamaan lahan kritis disertai dengan proses-

proses pada lereng tertentu yang menonjol. Kegiatan konservasi tertentu dapat juga

dilakukan terhadap satuan bentuk lahan tertentu yang memiliki proses yang

menonjol atau nilai kelas konservasi. Jika batas satuan bentuk lahan digambar

dengan garis tebal, maka nama singkatan dari bentuk lahan perlu dicantumkan

dengan huruf kapital. Simbol-simbol lain yang digambar dengan garis hitam dapat

diberikan untuk proses geomorfologi yang sudah tidak aktif tapi masih baru, garis

merah untuk erosi yang aktif dan biru gelap untuk gerakan tanah yang aktif.

Vegetasi alami, semi alami dan pertanian sangat mempengaruhi proses erosi dan

gerakan tanah, sehingga simbol - simbol vegetasi digambar dengan warna hijau.

Kelas lereng, proses, karakteristik, kondisi lahan, dan warna tercantum pada

klasifikasi kelas lereng oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.2)

14
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Tabel 2.2 Klasifikasi Kelas Lereng oleh Van Zuidam (1983)
Simbol Warna
Kelas
Proses, Karakteristik, dan Kondisi Lahan Yang
Lereng
Disarankan
Datar atau hampir datar, tidka ada erosi yang besar,
0-2% Hijau Tua
dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering
Laham memiliki kemiringan lereng landai, bila
terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah,
2-7% Hijau Muda
pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas yang
sangat dalam
Lahan memiliki kemiringan lereng landai samai
7-15% curam, bila terjadi longsor bergerak dengan Kuning Muda
kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi
Lahan memiliki kemiringan leeng yang curam,
15-30% rawan terhadap bahaya longsor, erosi permukaan, Kuning Tua
dan erosi alur
Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam,
sampai terjal, sering terjadi erosi dan gerakan tanah
30-70% Merah Muda
dengan kecepatan yang perlahan-lahan. Daerah
rawan erosi dan longsor.
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjalm
70-
sering ditemukan sngkapan batuan, rawan terhadap Merah Tua
140%
erosi
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal,
>140% singkapan batuan muncul di permukaan, rawan Ungu Tua
terhadap longsor batuan.

2.3 Geologi Teknik

Definisi geologi teknik menurut The American Geological Institute dalam

Attewell dan Farmer (1976) adalah penerapan ilmu geologi pada praktek rekayasa

dengan tujuan agar faktor-faktor geologis yang mempengaruhi lokasi, desain,

konstruksi, pengoprasian, dan pemeliharaan pekerjaan-pekerjaan rekayasa seperti

rekayasa sipil. Ahli geologi teknik atau geologi rekayasa menyelidiki dan memberikan

pertimbangan, analisis, dan desain dari sudut pandang geologi dan geologi teknik.

Pekerjaan yang dilakukan oleh ahli geologi rekayasa, yaitu: a). Penyelidikan bahaya

15
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
geologi; b). Penyelidikan geologi teknik seperti mekanika tanah dan batuan; c). Teknik

pondasi; d). Struktur bawah tanah; e). Sifat-sifat materi; dan f). Bencana geologi

seperti stabilitas longsoran dan lereng, erosi, banjir, dll.

Peristilahan material bangunan seorang ahli teknik sipil, sering terjadi masalah,

oleh karena itu sebagai seorang ahli dalam bidang geologi teknik harus memahami

istilah-istilah atau batasan-batasan yang benar menurut teknik sipil. Ada perbedaan

pengertian dalam bidang geologi maupun bidang teknik sipil tentang tanah dan batuan

(Tabel 2.3)

Tabel 2.3 Beberapa Perbedaan Pengertian Menurut Teknik Sipil dan Teknik Geologi
(Agung, 2010)
Istilah Teknik Sipil Teknik Geologi
Hasil pelapukan batuan yang
Tanah Semua bagian dari bumi yang menghasilkan material dengan
(Soil) dapat digali tanpa alat peledak sifat sesuai dengan batuan
induknya
Bagian dari kulit bumi yang Susunan kulit bumi yang
Batuan
hanya diambil dengan alat terdiri dari satu atau beberapa
(Rock)
peledak jenis mineral
Batu Masa fragmen yang lepas dari
Merupakan bagian dari batu
(Stone) batuan aslinya untuk konstruksi
Tanah yang terisi oleh semen
Padas Sama dengan batu
sehingga menjadi satu kesaruan

2.3.1 Daya Dukung Tanah

Dalam tahap pembangunan suatu struktur bangunan dibutuhkan data besaran

daya dukung tanah dalam menerima beban. Daya dukung tanah perlu diketahui untuk

menghitung dan merencanakan dimensi podasi yang dapat mendukung beban struktur

yang akan dibangun. Apabila daya dukung tanah tidak mampu menerima beban dari

struktur yang direncanakan, maka dengan data daya dukung tanah yang telah diketahui

kita dapat melakukan perlakuan tertentu agar nilai daya dukung tanah dapat mencapai

16
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
nilai yang diinginkan. Penimbunan dan pemadatan merupakan salah satu perlakuan

tertentu untuk mendapatkan nilai daya dukung tanah.

Definisi daya dukung tanah menurut Terzaghi (1943) dalam Das (2004) adalah

kemampuan tanah untuk mendukung beban baik berupa beban pondasi sendiri dan

beban yang lain, yaitu berupa beban tetap, beban bergerak, beban angin dan beban

gempa. Daya dukung batas (ultimate bearing cap) adalah tekanan minimum yang

menyebabkan keruntuhan geser (shear failure) pada tanah pendukung secara cepat ke

bawah.

Daya dukung tanah dapat menggunakan alat penetrometer diantaranya

penetrometer saku (pocket penetrometer) yang merupakan penetrometer miniatur

gengam (Gambar 2.4). Alat ini dibuat untuk mengetahui daya ikat atau konsistensi

tanah-tanah yang bertekstur halus. Penetrometer saku dapat digunakan dalam berbagai

Gambar 2.4 Penetrometer Saku

Penetrometer saku mempunyai berat 170 hingga 200 gram, panjang 160 hingga

180 mm, diameter ujung penetrometer 19,1 mm, dan diameter tongkat 6,4mm. Hasil

pengukuran penetrasi dengan alat ini dapat dibaca langsung pada alat, dinyatakan

dalam kg/cm2. Selanjutnya dicocokkan ke dalam konsistensi tanah yang terdapat pada

Tabel 2.4

17
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Tabel 2.4 Konsistensi Tanah Terhadap Nilai Daya Dukung Tanah
Nilai Daya
Konsistensi Tanah Dukung
Tanah
Very Soft (Sangat Lunak) < 2,5
Soft (Lunak) 2,5 - 5,0
Medium Stiff (Sedikit
5,0 - 10,0
Keras)
Stiff (Keras) 10,0 - 20,0
Very Stiff (Sangat Keras) 20,0 - 40,0

Hard (Sangat Keras Sekali) > 40,0


(Sumber : Begeman, 1965)
2.4 Peraturan Perencanaan dan Pembuatan Jalan

Adapun peraturan yang mengatur tentang perencanaan dan pembuatan jalan,

meliputi:

a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa “Hak prioritas pertama bagi Pemerintah

dan pemerintah daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan

kepentingan umum yang sesuai dengan rencana tata ruang dapat dilaksanakan

dengan proses pengadaan tanah yang muda. Pembangunan bagi kepentingan

umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi: a). Jalan

umum dan jalan tol, rel kereta api, (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di

ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan

sanitasi; b). Waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan

lainnya; c). Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d). fasilitas

keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-

18
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
lain bencana; e). Tempat pembuangan sampah; f). cagar alam dan cagar budaya;

dan g). pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.”

b. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M 2011 tentang Persyaratan

Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa “Jalan adalah prasarana transportasi darat

yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada

permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau

air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.”

Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa “Persyaratan Teknis Jalan adalah ketentuan

teknis yang harus dipenuhi oleh suatu ruas jalan agar jalan dapat berfungsi secara

optimal memenuhi Standar Pelayanan Minimal Jalan dalam melayani lalu lintas

dan angkutan jalan.”

Pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa “Kriteria Perencanaan Teknis Jalan adalah

ketentuan teknis jalan yang harus dipenuhi dalam suatu perencanaan teknis jalan.”

Bab III Kriteria Perencanaan Teknis Jalan

Pasal 44 menyebutkan bahwa

(1) Tahapan perencanaan teknis jalan meliputi:

a. Perencanaan Teknis Awal, yang melingkupi:

1) perencanaan beberapa alternatif alinemen jalan yang akan

dibangun;dan

19
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
2) pertimbangan teknis, ekonomis, lingkungan, dan keselamatan yang

melatarbelakangi konsep perencanaan;

b. Kajian kelayakan jalan (Feasibility study), yang melingkupi:

1) kajian kelayakan teknis dan kajian kelayakan finansial untuk setiap

alternatif alinemen jalan keluaran perencanaan teknis awal; dan

2) menetapkan pilihan alternatif yang paling layak baik secara teknis

maupun finansial, serta keselamatan lalu lintas jalan;

c. Perencanaan Teknis Akhir (Final Engineering Design), terdiri dari:

1) desain pendahuluan, yang diawali dengan pelengkapan data pendukung

untuk perencanaan termasuk tinjauan lapangan untuk penetapan

alinemen jalan yang final untuk alternatif alinemen terpilih hasil kajian

kelayakan jalan;

2) perencanaan teknis rinci (Detail Engineering Design);

3) audit keselamatan jalan (AKJ); dan

4) perencanaan teknis akhir.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan

Bagian Kedua tentang Sistem Jaringan Jalan

Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa “Sistem jaringan jalan merupakan satu

kesatuan jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin

dalam hubungan hierraki.”

Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa “Sistem jaringan jalan disusun dengan

mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan

20
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan

perdesaan.”

Pasal 13 ayat 1 menyebutkan bahwa “Jalan arteri primer didesain berdasarkan

kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dengan lebar

badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter.”

Pasal 13 ayat 3 menyebutkan bahwa “Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak

jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan

lokal.”

Pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa “Jalan arteri sekunder didesain

berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) kilometer per jam

dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter.”

Pasal 17 ayat 3 menyebutkan bahwa “Pada jalan arteri sekunder lalu lintas

cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.”

d. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-II/2014

tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa kegiatan untuk kepentingan pembangunan

di luar kegiatan kehutanan tertentu yang dapat menunjang pengelolaan hutan

secara langsung atau tidak langsung dapat dilakukan dengan mekanisme

kerjasama.

Pasal 7 ayat 2 menyebutkan bahwa Jenis kegiatan yang dapat dikerjasamakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:

a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman umum dan wisata rohani;

b. pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro;

21
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
c. penanaman/pemasangan pipa atau kabel;

d. pemasangan jalur listrik masuk desa (bukan SUTT);

e. pembangunan kanal/saluran air, normalisasi sungai/saluran irigasi, dan

pembuatan tanggul;

f. tempat pembuangan akhir sampah dengan produk akhir antara lain

kompos dan biogas;

g. pembangunan area peristirahatan (rest area);

h. peningkatan alur/jalan untuk jalan umum atau sarana pengangkutan hasil

produksi;

i. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas

laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat dan sarana meteorologi, klimatologi dan

geofisika, serta alat pemantau mitigasi bencana;

j. pembangunan embung;

k. pembangunan bak penampung air;

l. pemasangan papan iklan;

m. penanaman oleh pihak di luar kehutanan untuk kegiatan reklamasi dan

rehabilitasi hutan;

n. pembangunan kebun percobaan dan sarana prasarana pendukungnya; atau

o. daerah latihan tempur selain sarana dan prasarana.

2.5 Jalan Raya

2.5.1 Perencanaan Geometrik

Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana bentuk

dan ukuran yang nyata dari suatu jalan yang direncanakan beserta bagian-bagiannya

22
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
disesuaikan dengan kebutuhan serta sifat lalu lintas yang ada. Dalam perencanaan jalan

raya, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian sehingga jalan yang

bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai

dengan fungsinya (PPGJR No.13/1970).

Tujuan dari perencanaan geometrik ini adalah untuk mendapatkan keseragaman

dalam merencanakan geometrik jalan antar kota, guna menghasilkan geometrik jalan

yang memberikan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pemakai jalan.

Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam klasifikasi menurut

fungsinya, dimana peraturan ini mencakup tiga golongan penting, yaitu jalan utama,

jalan sekunder, dan jalan penghubung.

1) Jalan utama merupakan jalan raya yang melayani lalu lintas yang tinggi antara

kota-kota yang penting atau antara pusat-pusat produksi dan pusat-pusat eksport.

Jalan-jalan dalam golongan ini harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas

yang cepat dan berat.

2) Jalan sekunder merupakan jalan raya yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi

antara kota-kota penting dan kota-kota penting dan kota-kota kecil, serta melayani

daerah-daerah di sekitarnya.

3) Jalan penghubung merupakan jalan untuk keperluan aktivitas daerah yang juga

dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau

yang berlainan.

2.5.2 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:

1) Jalan Arteri

23
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh,

kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

2) Jalan Kolektor

Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan

jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3) Jalan Lokal

Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat,

kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Klasifikasi menurut kelas jalan terbagi atas:

1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk

menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam

satuan ton.

2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan kasifikasi

menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.5

Tabel 2.5 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Klasifikasi Jalan Lalu Lintas Harian Rata-
Kelas
Fungsi Rata
Utama I >20.000
II A 6.000-20.000
Sekunder II B 1.500-6.000
II C <2.000
Penghubung - -
Sumber: Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (1970)

Klasifikasi menurut medan jalan

1) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan

24
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
medan yang diukur tegak lurus garis kontur.

2) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat

dalam Tabel 2.6

Tabel 2.6 Klasifikasi Menurut Medan Jalan


Kemiringan
No Jenis Medan Notasi
Medan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G >25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya Antar Kota (1970)

3) Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan

keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan

perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.26/1985 adalah

jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan

Khusus.

1) Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan

jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi dan jalan strategis

nasional serta jalan tol.

2) Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten.

3) Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan serta jalan

umum dalam jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten.

25
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
4) Jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang

fungsinya menghubungkan pusat pelayanan kota, pusat pelayanan dengan

persil serta antar pemukiman dalam kota.

5) Jalan desa adalah jalan umum yang berfungsi menghubungkan wilayah

pemukiman dalam desa.

6) Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,

perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.

Dalam merencanakan jalan baru, mengidentifikasi klasifikasi jalan yang dipilih

(Tabel 2.7) adalah hal pertama yang dilakukan sebelum menarik trase jalan. Trase jalan

raya atau sering disebut sumbu jalan yaitu berupa garis-garus lurus saling berhubungan

yang terdapat pada peta topografi suatu muka tanah dalam perencanaan jalan baru.

Biasanya terdapat bebrapa trase jalan yang dibuat, sehingga pada akhirnya dipilih salah

satu trase yang dapat memenuhi syarat suatu perencanaan jalan. Trase jalan digunakan

sebagai acuan membentuk lengkung jalan hingga perkerasan jalan.

Tabel 2.7 Ketentuan Klasifikasi Fungsi, Kelas Beban, dan Medan Berdasarkan Tata
Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No 038/T/BM/1997

2.5.3 Teknis Pembuatan Jalan Baru

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih trase yang dapat

memenuhi syarat bahwa suatu jalan layak digunakan, terutama jalan yang dibangun di

area pegunungan dan hutan, yaitu:

26
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah
a) Trase diusahakan jalur terpendek

Hal yang paling diutamakan perencana adalah jalan yang ekonomis. Ekonomis

yang dimaksud yaitu suatu jalan dapat dibangun dengan kualitas bagus dan harga

yang terjangkau maka dengan merencanakan trase yang terpendek, biaya dalam

pembangunan jalan relatif kecil.

b) Tidak terlalu curam

Salah satu syarat dalam merencanakan jalan adalah memberikan kenyamanan

bagi pengguna jalan. Jalan yang terlalu curam akan membuat kendaraan menjadi

berat akibat adanya gaya sentrifugal sehingga pengguna jalan tidak lagi

menemukan kenyamanan saat menggunakan jalan tersebut.

c) Sudut luar (sudut tan) tidak terlalu besar

Sudut luar dalam menarik trase jalan akan sangat mempengaruhi keadaan jalan

setelah dibangun. Perencana jalan diharapkan mampu merencanakan jalan dengan

tikungan yang kurang dari 90 derajat agar tikungan yang terbentuk tidak terlalu

tajam, sehingga aman bagi pengguna jalan.

d) Galian dan timbunan

Galian (cut) dan timbunan (fill) merupakan hal yang juga sangat diperhatikan

dalam merencanakan jalan. Biasanya dalam merencanakann jalan, besar timbunan

dan galian telah ditentukan terlabih dahulu, agar biaya yang dikeluarkan untuk

melaksanakan suatu bangunan jalan tidak lebih besar dari yang tersedia. Perencana

jalan harus merencanakan trase jalan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi galian

dan timbunan yang terlalu besar.

27
Analisis Perencanaan Trase Jalan Raya dari Daerah Hapung Kabupaten Padang Lawas hingga Daerah Pagur
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara Berdasarkan Aspek Geologi Teknik
Alif Yanuar Aviansyah

Anda mungkin juga menyukai