Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Disusun Oleh :
Rika Emba

Pembimbing :
dr. Hj. Nuraeni
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
(1)
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di


Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan
di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di
(1)
Guam insiden kejang demam mencapai 14%.

Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam


sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi
kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi
(2)
berat badan lahir rendah).

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka


kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
(2)
menkhawatirkan bagi orangtuanya.
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa
pemberian antipiretik dan antikonvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai
pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk
mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan
adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat antikonvulsan
jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan
tetapi tidak akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat
kejang demam. Tetapi pemberian obat anti kejang mempunyai efek samping tidak
baik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian obat fenobarbital maupun
asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi
pemberian pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila
(2)
demam tersebut mempunyai resiko terjadi bangkitan kejang demam.
BAB II

STATUS PASIEN

1. ANAMNESIS
A. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : An. MA
Umur : 2 tahun
Alamat : Jl. KH. Syamsuddin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Makassar
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 11 Desember 2019
2) Identitas orang tua pasien
Nama ayah : Tn. A
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. KH. Syamsuddin
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Freelancer
Hubungan : Ayah Kandung
Nama Ibu : Ny. R
Umur : 25 tahun
Alamat : Jl. KH. Syamsuddin
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Hubungan : Ibu kandung
B. Keluhan Utama
Kejang
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum
masuk rumah sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 2 menit. Saat kejang terjadi
tubuh pasien kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada. Setelah pasien
mengalami kejang langsung menangis.
Ibu pasien mengatakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
batuk dan flu yang kemudian diikuti dengan demam. Awalnya demam yang dialami
tidak begitu tinggi, dan demam turun setelah pemberian obat penurun demam.
Kemudian dimalam harinya pasien kembali demam dan demam tidak turun setelah
pemberian obat penurun demam. Buang air kecil dan buang air besar biasa.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien juga
menyangkal pernah masuk rumah sakit sebelum ini. Riwayat alergi makanan dan obat
disangkal. Riwayat trauma disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga dan lingkungan sekitar yang sakit dengan keluhan yang
sama disangkal.
F. Riwayat tumbuh kembang
0 – 3 bulan : bereaksi dan mengoceh spontan
3 – 6 bulan : mulai memegang benda disekitarnya
6 – 9 bulan : mulai dapat membalikan tubuh
9 – 12 bulan : mencoba bisa duduk
12 - 18 bulan : mecoba berdiri dan berjalan dengan bantuan
18 – 24 bulan : sudah mulai bisa berjalan sendiri
G. Riwayat Imunisasi

Imunisasi Awal Ulangan


Hep. B Usia 1 hari
BCG Usia 1 bulan
DPT-HB Usia 2 bulan Usia 3 dan 4 bulan
Polio Usia 1 bulan Usia 2,3 dan 4 bulan
Campak Usia 9 bulan
H. Riwayat kehamilan dan persalinan
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilanya ke bidan sebanyak 4 kali dan mendapat
imunisasi TT 2 x dan tidak mengalami penyulit
I. Riwayat perinatal dan post natal
Pasien lahir normal di tolong bidan lahir cukup bulan (9 bulan). Pasien merupakan
anak pertama dari ibu G1P1A0. Pasien lahir spontan dan langsung menangis. Berat
lahir 2900 gr, panjang badan 47 cm dan lingkar kepala ibu tidak tahu. Warna air
ketuban ibu juga tidak tahu. Diakui ibu tidak terdapat penyulit saat persalinan.
J. Riwayat Pemberian Makanan
0-6 bulan : ASI
6-24 bulan : MPASI+makanan keluarga
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
Tanda - tanda vital : Nadi : 112 x/menit, regular, isi kuat
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 39,20C
Status antopometri
• BB : 12 kg
• TB : 85 cm
• LK : 50 cm
• BB/U : -2SD s/d +2SD
• TB/U : -2SD s/d +2SD
• BB/TB : -2SD s/d +2SD
• Status Gizi : Normal
Kepala : bentuk kepala normocephal, masa (-), edema (-), deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek pupil direk (+/+)
isokor
Telinga : simetris, CAE tenang/tenang, MT intake, serumen -/-

Hidung : deviasi -, PCH-, CN tenang/tenang, secret -/-

Mulut :bibir sianosis (-), perdarahan (-), lidah kotor (-)


Tenggorok : T1-T1 hiperemis(-) , Faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks :
Anterior :
Inspeksi : normotorak, simetris, retraksi (-), lesi (-)
Palpasi : NT -, ekspansi pernapasan simetris
Perkusi : sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Cor BJ1 dan BJ2 reguler,M (-), G (-)
Pulmo Vesikular Breath Sound disemua lapang paru,
ronkhi (-/-), whezing (-/-)
Abdomen :
inspeksi : datar, supel, lesi (-)

auskultasi : BU (+) normal

perkusi : timpani di semua regio

palpasi : NT (-), hepatosplenomegali (-), ginjal tidak teraba, tidak


teraba massa.

Ekstremitas :

Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-)

Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-)

Kulit : petekie (-), lesi (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan 11/12/2019
Hb 11,5 gr/dl
Ht 33,16 %
Eritrosit 4,53 x 106/mm3
Leukosit 9.100/mm3
Trombosit 295.000 U/L
Segmen 70,4 %
Limfosit 19,6%
Monosit 9,9%
GDS 90 mg/dl
Foto Thorax : Normal

4. DIAGNOSIS
Kejang demam sederhana
ISPA
5. TERAPI
- IVFD RL 1000cc/24jam= 40 tpm mikrodrips
- Paracetamol 200 mg/8jam/iv
- Cefotaxime 200mg/12jam/iv
- Diazepam ¼ amp/12j/iv
- Dexamethasone ¼ amp/12j/iv
- Ambroxol 3x ½ cc
- Solvita syrup 1x1
6. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam

FOLLOW UP HARIAN
Tanggal/ Hari Catatan Instruksi
rawatan
12 Desember KU: batuk (+), demam (-), TERAPI :
2019
Kejang IVFD RL 40 tpm
H-2
mikro
(-)
Inj. Cefotaxime 200
TANDA VITAL
mg/12 jam/iv
HR: 103 x/menit

RR : 24 x/menit Inj. Dexa ¼ ap/12


jam/iv
T : 36,8oC
Inj. Diazepam ¼
PEMERIKSAAN FISIK ap/12jam/iv
Kepala : normocephali, rambut Inj. Paracetamol
normal 200mg/8jam/drips

Mata : konj palp inferior pucat Ambroxol syr 3* ½


Cth
(-/-), sklera ikterik (-/-)
solvita syr 3* ½ Cth
Telinga : Normotia, serumen (-)

Hidung : sekret (-)

Mulut : tonsil hiperemis (+),

faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorak :

Inspeksi : Simetris

Palpasi : tidak ada bagian dada

yang tertinggal

Perkusi : Sonor diseluruh


lapangan

paru

Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-),

Wh (-/-)

Cor : BJ I > BJ II, regular,

bising (-)

Abdomen :

Inspeksi : Simetris, Distensi (-)


Palpasi : Soepel

Perkusi :Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+)

Extremitas :

Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis


(-/-), edema (-/-)

ASSESSMENT:

Kejang demam
ISPA

FOLLOW UP HARIAN

Tanggal/ Hari Catatan Instruksi


rawatan
13 Desember KU: batuk (-), demam (-), TERAPI :
2019
Kejang IVFD RL 40 tpm
H-3
mikro
(-)
Inj. Cefotaxime 200
TANDA VITAL
mg/12 jam/iv
HR: 105 x/menit

RR : 24 x/menit Inj. Dexa ¼ ap/12


jam/iv
T : 36,8oC
Inj. Diazepam ¼
PEMERIKSAAN FISIK ap/12jam/iv
Kepala : normocephali, rambut Inj. Paracetamol
normal 200mg/8jam/drips

Mata : konj palp inferior pucat Ambroxol syr 3* ½


Cth
(-/-), sklera ikterik (-/-)
solvita syr 3* ½ Cth
Telinga : Normotia, serumen (-)

Hidung : NCH (-), sekret (-)

Mulut : tonsil hiperemis (+),

faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorak :

Inspeksi : Simetris
Palpasi : tidak ada bagian dada

yang tertinggal

Perkusi : Sonor diseluruh


lapangan

paru

Ausk : Ves (+/+), Rh (-/-),

Wh (-/-)

Cor : BJ I > BJ II, regular,

bising (-)

Abdomen :

Inspeksi : Simetris, Distensi (-)

Palpasi : Soepel

Perkusi :Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+)

Extremitas :

Pucat (-/-), Ikterus (-/-), sianosis


(-/-), edema (-/-)

ASSESSMENT:

Kejang demam
ISPA
BAB III
ANALISA KASUS

KEJANG DEMAM

3.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
0
tubuh (suhu rektal lebih dari 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
(3)
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
(1)
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

3.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.


Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di
China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai
(1)
14%.
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda
bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam
terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
(4)
bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.

3.3 Etiologi

Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga saat


ini belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam
diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis
media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013). Sedangkan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang
demam antara lain obat-obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti
hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu
yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab
kejang demam menurut data profil kesehatan Indonesia (2012) yaitu didapatkan
10 penyakit yang sering rawat inap di Rumah Sakit diantaranya adalah diare dan
penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue,
demam tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial,
cidera intrakranial, indeksi saluran pernafasan atas dan pneumonia.

Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun


merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab
kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama kejang adalah
kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya adalah gangguan
metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara berkembang, kejang
pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus neonatus, sepsis,
meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan. Penyebab kejang pada
neontaus, baik primer maupun sekunder umumnya berkaitan erat dengan kondisi
bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan serta masa-masa bayi baru
lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran, penyebab kejang demam
dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014).

3.4 Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam


(5)
sederhana dan kejang demam kompleks.

Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks

KLINIS KD Sederhana KD Kompleks

1 Durasi < 15 menit > 15 menit


2 Tipe Kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali
4 Defisit neurologis - +/-
5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/-
6 Riwayat keluarga kejang tanpa demam +/- +/-
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/-

Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan
35% berupa kejang demam kompleks.

3.5 Patofisiologi

Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan


kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah glukosa.
Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan
ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam
yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neoron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi
kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar
sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat
Celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan
oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.

Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan


dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih
dari 15 menit biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan oleh
matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan
perederan darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang berlangsung lama
di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu
kejang demam yang berlansung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di
otak hingga terjadi epilepsi (Nurindah , 2014).

3.6 Penegakan Diagnosis

Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk


(1)
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:

a. Dari anamnesa yang didapatkan


 Umur pasien kurang dari 5 tahun (2 tahun)
 Kejang didahului demam
 Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang
dari 2 menit
 Kejang umum dan tonik klonik
 Kejang berhenti sendiri
 Pasien tetap sadar setelah kejang
b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
0
 Suhu tubuh aksila 39,2 C

 Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang


Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria
Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode
demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi
menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi
dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan
rumat.(7)

Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan
dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah
mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan
kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang
terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1)

Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium


tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia
(1)
pasien kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang
lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal
diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me-nyingkirkan
adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan
demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang menderita
(7)
kejang demam.

3.7 Tatalaksana

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:

a. Mencegah kejang demam berulang


b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi

d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.


Pengobatan fase akut

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan,
kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10
(7)
mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).

Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase
akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat
diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya
lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara
intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal
pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman
dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam
tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal
30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia
lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan
efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi
midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik.
Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam
(7)
intravena.

Mencari dan Mengobati Penyebab

Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2
tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula
kontraindikasinya.

Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,


seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan
(7)
pertama kali terjadi.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan


keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
(7)
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:

• Profilaksis intermittent pada waktu demam


• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah
sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama
pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap
6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana
0
Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,5 C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya
kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya
diberikan Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos
mentis dan masih dapat mengkonsumsi obat oral.(7)

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari

Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:

• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang
tua atau saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau tetap
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun


setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16
mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam.

Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif


ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
yang memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane
meneliti kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati
dengan asam valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam
valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping
yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan
karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.

Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan


menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
 Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
 Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis
0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam.
Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan
fenobarbital.
 Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
 Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian
sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan
kadar fenobarbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga
dipantau keadaan tingkah laku dan psikologis anak.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori
dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan
mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan
pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup
informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan
yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak
(1)
menyebabkan kematian.

3.8 Prognosis

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka


kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
(2)
mengkhawatirkan bagi orangtuanya.
BAB IV
KESIMPULAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
0 0
kenaikan suhu tubuh di atas 38 C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada
anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada
anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan
kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:

1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau


fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat
pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak
ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun
yang lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga
dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis
sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan
sesuai indikasi.
3. Pengobatan profilaksis.
 Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
0
demam (suhu rektal lebih dari 38 C) dengan menggunakan diazepam
oral / rektal, klonazepam supositoria.

 Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat


tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat-
obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang
demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi
dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.
Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
menkhawatirkan bagi orangtuanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan


karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological
and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion.
Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun.
Medula. 2013;1(1):57-64.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term
Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103
(6): 1307-9.

5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas


Diponegoro; 2010.
6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.
2002;4(2):59 - 62

Anda mungkin juga menyukai