Anda di halaman 1dari 12

Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

Diah Ratna Sari Hariyanto* dan Pande Yogantara S


Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali
diahratna88@gmail.com
Published: 28/02/2019
How To Cite: Hariyanto, D, R, S., Yogantara, P, S.2019.Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituen-
dum di Indonesia.Volume 13, Nomor 1. Hal 26 - 37.http://dx.doi.org/10.22225/kw.13.1.920.26-37
Abstrak
Belum ada undang-undang yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia, sehingga hal ini menarik untuk
diteliti karena mediasi penal memiliki banyak manfaat untuk dapat diterapkan di Indonesia. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui dasar hukum mediasi penal dalam konteks hukum yang berlaku (ius constitutum),
kedudukan ketentuan hukum yang berlaku (ius constitutum) yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia,
dan perkembangan pengaturan mediasi penal dalam konteks hukum pada masa yang akan datang (ius
constituendum) di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan kasus,
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan sejarah, dan pendekatan perbandingan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam praktek mediasi penal di Indonesia adalah
kewenangan diskresi kepolisian yang diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI dan KUHAP,
selain itu juga digunakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyara-
kat dan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember
2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution. Dasar hukum ini bersifat eksplisit dan
tidak mengatur secara tegas mengenai mediasi penal. Tidak ada dasar hukum yang kuat yang mengatur mengenai
mediasi penal. Pembaharuan hukum pidana secara implisit telah mengarahkan penggunaan mediasi penal dalam
hukum pidana di masa yang akan datang.
Kata Kunci: Constituendum; Ius Constitutum; Mediasi Penal

Abstract
There is no law that regulates penal mediation in Indonesia, so it’s interesting to investigate because penal media-
tion has many advantege to be applied in Indonesia. The purpose of this study is to analyze legal basis of penal
mediation in the context of the ius constitutum, the position of the ius constitutum penal mediation in Indonesia,
and the development of penal mediation arrangements in the criminal law of the ius constituendum in Indonesia.
This research’s is a normative legal research, with the case approach, the statute approach, the conceptual ap-
proach, the historical approach and the comparative approach. The result shows that the legal basis used in the
practice of penal mediation in Indonesia is the discretion power of the police authority regulated in Act No. 2 of
2002 on the Police of the Republic of Indonesia and Criminal Procedure Code, but also used the Regulation of the
Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 3 of 2015 on Community Policing and the Police Letter no. Pol:
B/3022/XXI/2009/SDEOPS, December 14, 2009, About Case Handling Through Alternative Dispute Resolution.
The legal basis about penal mediation is explicit and does not forceful. There is no forceful legal basis regulate of
penal mediation. Criminal law reform has implicitly directed the use of penal mediation in future criminal law.
Keywords: Ius constituendum; Ius constitutum; Penal mediation
I. PENDAHULUAN hanya jumlahnya saja yang meningkat tetapi juga
kualitasnya dipandang serius dibanding masa-
Kejahatan akan selalu muncul dan merupakan masa lalu” (Hatta, 2009). Penegakan hukum harus
masalah sosial yang tidak dapat dihindari. Moh dilakukan dengan cara dan sebuah sistem atau
Hatta menyatakan bahwa, “Kejahatan model penyelesaian kasus yang tepat.
sebagaimana dikatakan oleh Saiichiro Ono,
merupakan suatu universal phenomena, tidak Sistem Peradilan Pidana mengalami berbagai

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 26
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

kendala. Harkristuti Harkrisnowo berpendapat responsif. Pemidanaan memang menjadi hal yang
bahwa, “Dalam kenyataannya masing-masing sub krusial, namun untuk kasus-kasus tertentu hal ini
sistem kadang kala bekerja sendiri-sendiri dengan seharusnya dapat dialternatifkan. Salah satu
motivasi kerja yang berbeda” (Harkrisnowo, alternatif penyelesaian kasus dalam perkara
2002). Kondisi ini tentu tidak sejalan dengan pidana yang dikenal saat ini adalah penerapan
mekanisme kerja dalam Sistem Peradilan Pidana. mediasi penal.
Hal ini dikarenakan terlalu banyaknya kasus yang
Menurut Barda Nawawi Arief mediasi penal
muncul sehingga sub sistem peradilan pidana
adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian
hanya terfokus pada beban kerjanya saja, tanpa
sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal
memperdulikan perkembangan kasus hingga
dengan istilah ADR atau Alternative Dispute
selesai. Penumpukan perkara telah membebani
Resolution; ada pula yang menyebutnya dengan
peradilan dan aparat penegak hukum. Lembaga
Apropriate Dispute Resolution. ADR umumnya
Pemasyarakatan juga mengalami over capacity
digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata,
sehingga memunculkan berbagai permasalahan
tidak untuk kasus-kasus pidana. Walaupun
lainya.
demikian, penyelesaian sengketa di luar
Tidak hanya kendala dalam Sistem Peradilan pengadilan hanya ada dalam dalam ranah perdata,
Pidana. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa namun dalam praktik sering juga terhadap kasus
masih ada penegakan hukum di Indonesia yang pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui
belum bisa memberikan keadilan bagi berbagai diskresi aparat penegak hukum atau
masyarakat, terutama bagi masyarakat kelas melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau
bawah (orang/kelompok orang miskin). Banyak lembaga permaafan yang ada di dalam
pandangan kritis yang menunjukkan sikap masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah
pesimisme, skeptis, dan kekecewaan terhadap desa; musyawarah adat dan sebagainya) (Arief,
penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. 2008). Pada penelitian sebelumnya, Abdullah in
his research found that The paper argues that
Kasus pencurian kayu bakar oleh Ni Komang
though environment court is an important
Kanten (55 tahun) di Jembrana Bali (tahun 2015)
development in the court system in Malaysia,
(denpostnews.com), kasus pencurian 3 (tiga) buah
settlement via alternative dispute resolution
kakao yang dilakukan oleh nenek Minah (55
(ADR) methods can be promising options
tahun) pada tahun 2009 di Jawa Tengah (Kuncoro
available to all stakeholders involved in
& Wahyu, 2012), kasus pencurian pakaian di
urbanisation era, i.e. developers, government
malang (Hutajulu, 2014), kasus pencurian sandal
agencies and citizens at large (Abdullah, 2015).
jepit yang dilakukan oleh Aal (15 tahun) pada
tahun 2011 di Palu (Tridiatno, 2015), kasus Umi Rozah juga memberikan definisi mediasi
pencurian dua buah semangka oleh Basar Suyanto penal yang mengacu pada definisi dari berbagai
(45 tahun) dan Kholil (49 tahun) pada tahun 2009 instrumen internasional terkait mediasi penal.
di Kediri (Taufiq, 2014), kasus pencemaran nama Umi Rozah menyatakan bahwa mediasi penal
baik oleh Prita Mulyasari (32 tahun) pada tahun adalah suatu proses yang mempertemukan korban
2009 (Rosari, 2010). Masih banyak kasus-kasus dan pelaku tindak pidana, jika mereka
yang terjadi yang menunjukkan bahwa keadilan mengkehendakinya secara bebas untuk secara
belum dapat terpenuhi. aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah
yang muncul dari kejahatan melalui bantuan
Permasalahan kerap timbul ketika korban
seorang pihak ketiga yang tidak memihak atau
kejahatan atas kehendaknya ingin menarik
disebut sebagai mediator (Rozah, 2012).
laporannya namun tidak bisa dilakukan karena
laporan tidak bisa ditarik/dicabut. Seiiring dengan Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu
waktu, trilogi peradilan (peradilan yang dikaji mengenai dasar hukum mediasi penal
sederhana, cepat, dan biaya ringan) juga menjadi dalam konteks hukum yang berlaku (ius
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dapat constitutum) di Indonesia, kedudukan ketentuan
dikatakan bahwa penyelesaian melalui peradilan hukum yang berlaku (ius constitutum) yang
tidak selalu dapat memberikan keadilan dan tidak mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia,
selalu mampu menyelesaikan masalah yang dan perkembangan pengaturan mediasi penal
terjadi. dalam konteks hukum pada masa yang akan
datang (ius constituendum) di Indonesia. Mediasi
Sangat diperlukan alternatif-alternatif lain ke
penal merupakan salah satu bentuk alternatif
arah penegakan hukum yang progresif dan

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 27
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

penyelesaian perkara pidana yang senyatanya Latif (2011) menyatakan bahwa ius
merupakan inovasi baru dalam perkembangan constitutum adalah hukum yang telah ditetapkan.
hukum di Indonesia. Mediasi penal dalam Hukum yang telah ditetapkan ini berarti hukum
kerangka hukum yang progresif dan responsif yang berlaku yakni berlaku disuatu tempat
sangat diperlukan untuk memberikan keadilan, tertentu dan pada waktu tertentu pula (Latif &
efektifitas, dan efisiensi dalam penyelesaian Ali, 2011). Djamali (2009) juga menyebut ius
kasus. constitutum dengan “hukum positif” (Djamali,
2009). Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa
Penelitian ini menarik untuk dikaji karena
aturan-aturan yang berlaku merupakan hukum
dalam hukum pidana memang tidak dikenal
positif yang sering disebut ius constitutum. Ius
perdamaian, namun mediasi penal dimungkinkan
constitutum adalah ketentuan-ketentuan hukum
penggunaannya dan telah berkembang diberbagai
yang berlaku pada suatu saat, waktu, dan tempat
negara. Penyelesaian kasus pidana melalui
tertentu. Ius constitutum yang dibahas dalam
mediasi penal lebih banyak mendatangkan
kajian ini adalah ius constitutum di Indonesia,
manfaat/keuntungan, serta menciptakan keadilan
khususnya terkait dengan keberadaan mediasi
bagi korban, pelaku, dan juga masyarakat luas.
penal. Ius constitutum dapat ditelusuri melalui
Hingga saat ini belum ada undang-undang yang
sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia,
sehingga perlu diinventarisir norma atau Mulyadi (2015) menegaskan bahwa mediasi
peraturan yang ada untuk mencapai eksistensi dan penal dalam dimensi hukum negara (ius
evektifitas dalam penerapan mediasi penal di constitutum) pada dasarnya memang belum
Indonesia. banyak dikenal dan masih terdapat kontroversi
II. METODE diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak
sepakat untuk menerapkan mediasi penal di
Jenis penelitian yang digunakan adalah Indonesia. Persoalan esensial mengarah pada
penelitian hukum normatif yang mengkaji pilihan pola penyelesaian sengketa pidana yang
mengenai “Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum berkaitan dengan domain superioritas negara dan
dan Ius Constituendum di Indonesia”. Dalam superioritas masyarakat kearifan lokal (Mulyadi,
penelitian ini untuk kedalaman pengkajian dan 2015). Hal inilah yang perlu dikaji terkait
sesuai dengan konteks permasalahan atau isu eksistensi mediasi penal dalam ius constitutum.
yang dikaji, digunakan lima jenis pendekatan
yakni pendekatan kasus (the case approach), Pada dasarnya tidak ada dasar hukum yang
pendekatan perundang-undangan (the statute kuat yang mengatur mengenai mediasi penal
approach), pendekatan konseptual (conseptual (kekosongan norma/recht vaccum), namun dalam
approach), pendekatan sejarah (historical praktek dapat ditemukan penerapan mediasi
approach) dan pendekatan perbandingan penal. Eksistensi mediasi penal seperti yang
(comparative approach). diungkapkan oleh Mulyadi (2015) disebutkan
seperti antara “ada” dan tiada. Ada dan tiada
Bahan hukum yang digunakan dalam dalam hal ini artinya bahwa di satu sisi mediasi
penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan penal tidak dikenal dalam ketentuan undang-
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier/tertier. undang, tidak dikenal dalam Sistem Peradilan
Bahan hukum primer yang terkait dengan Pidana akan tetapi dalam tataran dibawah undang
penelitian ini dikumpulkan secara sistematis. -undang dikenal secara terbatas melalui diskresi
Bahan-bahan hukum sekunder yang terkait dalam penegak hukum dan sifatnya parsial. Pada sisi
penelitian ini dikumpulkan dan ditelusuri dengan lainya, mediasi penal nyatanya telah dilakukan
menggunakan metode bola salju (snow ball oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian
method). Keseluruhan bahan-bahan hukum yang tersebut dilakukan di luar pengadilan (Mulyadi,
telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan 2015). Ada dan tiada dalam pandangan Lilik
teknik analisis bahan hukum berupa teknik Mulyadi ini menunjukkan bahwa mediasi penal
deskripsi/deskriptif, teknik komparatif, teknik belum mendapat penegasan dalam ius
evaluasi/evaluatif, teknik interpretasi, teknik constitutum, namun masyarakat menerapkannya.
konstruksi, dan teknik argumentasi/argumentatif.
Kondisi inilah yang menuntut perlu adanya
III.PEMBAHASAN penelusuran mengenai landasan hukum mediasi
Dasar Hukum Mediasi Penal Dalam Konteks Hukum penal di Indonesia (ius contitutum). Landasan
yang Berlaku (Ius Constitutum) di Indonesia atau dasar hukum mediasi penal di Indonesia (ius

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 28
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

contitutum) dapat ditemukan dari berbagai Menteri Dewan Eropa)


sumber hukum yang berlaku.
 Tenth United Nations Congress on the
Perlu diidentifikasi dan diklasifikasikan Prevention of Crime and the Treatment of
berbagai dasar hukum yang terkait dengan Offenders Vienna, 10-17 April 2000
mediasi penal baik dalam ranah internasional (Deklarasi Wina pada Kongres PBB ke-
maupun nasional. Meskipun terjadi kekosongan 10/2000), khususnya pada dokumen A/
norma (recht vaccum) atau dapat dikatakan CONF. 187/4/Rev.3
bahwa mediasi penal belum diatur dengan tegas
dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan,  The United Nations Economic and Social
namun perlu diketahui dasar hukum apa saja yang Council (ECOSOC) tahun 2002
telah menjadi landasan dalam pelaksanaan  Council Framework Decision of 15 March
mediasi penal saat ini. Hal ini akan menunjukkan 2001
celah-celah untuk dapat menerapkan medisi penal
di Indonesia dan selanjutnya dapat menjadi Landasan Hukum Nasional
masukan dalam konstruksi hukum yang akan Belum ada undang-undang yang mengatur
datang (ius constitutum). mengenai mediasi penal. KUHP dan KUHAP
Konsep mediasi penal senyatanya telah sebagai dasar hukum pidana materiil dan formil
tumbuh dan berkembang sejalan dengan juga tidak mengatur mengenai mediasi penal.
eksistensi peradilan adat di Indonesia. Konsep Mediasi penal dapat ditemukan dalam peraturan
mediasi penal telah ada dalam ideologi bangsa internal yang menjadi kebijakan kepolisian dalam
dan telah menjadi budaya dalam penyelesaian penanganan kasus. Berdasarkan hal ini dapat
masalah melalui musyawarah mufakat dengan diuraikan beberapa dasar hukum sebagai
pendekatan kekeluargaan. Peraturan Perundang-undangan yang dalam
prakteknya dijadikan dasar dalam pelaksanaan
Mediasi penal memang belum memiliki dasar mediasi penal yaitu:
hukum yang kuat, namun dapat ditemukan
beberapa dasar hukum yang digunakan dalam Diskresi Kepolisian
prakteknya di Indonesia. Hal ini dapat ditemukan
dalam landasan hukum internasional dan landasan Mediasi penal dalam prakteknya diterapkan
hukum nasional. dengan menggunakan diskresi kepolisian.
KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Landasan Hukum Internasional
Tentang Kepolisian Republik Indonesia tidak
Berbagai instrumen internasional mengatur tentang pengertian diskresi kepolisian,
mengarahkan penggunaan mediasi penal di namun dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9
berbagai negara di dunia. Hal ini merupakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
perkembangan hukum di dunia internasional yang Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
menjadi pembahasan dalam berbagai pertemuan yang menyatakan bahwa “Diskresi adalah
dan instrumen internasional diantaranya yakni: Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan
 Ninth United Nation Congress on The dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Prevention of Crime and The Treatment of untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi
Offenders (Kongres PBB ke-9 tahun 1995 dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
mengenai manajemen peradilan pidana), peraturan perundang-undangan yang memberikan
khususnya dalam dokumen penunjang. pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”.
 Ninth United Nation Congress on The Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan
Prevention of Crime and The Treatment of Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8
Offenders (Laporan Kongres PBB ke- Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
9/1995), khususnya pada dokumen A/ (KUHAP), serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan
CONF. 169/16 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
 International Penal Reform Conference 17 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
April 1999 yang mengatur mengenai ketentuan diskresi dapat
dipahami bahwa diskresi kepolisian adalah
 The Committee of Ministers of the Council kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian RI
of Europe tahun 1999 (Komisi Para dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 29
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

untuk bertindak atau melakukan tindakan lain Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol:
berdasarkan penilaiannya sendiri menurut hukum B/3022/XXI/2009/ SDEOPS tanggal 14 Desember
yang bertanggung jawab yang dilakukan demi 2009 perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative
kepentingan umum. Terdapat batasan-batasan Dispute Resolution (ADR)
atau syarat-syarat yang harus dapat dipenuhi
untuk dapat menerapkan diskresi. Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia
No. Pol : B/3022/XXI/2009 /SDEOPS, tanggal 14
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus
Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang RI No. 8
Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
mengatur mengenai penggunaan ADR di tingkat
(KUHAP), serta Pasal 16 ayat (1) huruf l dan
penyidikan (Surat Kapolri ini menggunakan
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
istilah Alternative Dispute Resolution/ADR yang
2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia,
esensinya mengacu pada konteks mediasi penal).
dapat diketahui syarat atau batasan-batasan
Surat Kapolri 2009 ini menyatakan bahwa salah
diskresi yaitu, dilakukan untuk kepentingan
satu bentuk penyelesaian masalah dalam
umum, dilakukan menurut hukum yang
penerapan Pemolisian Masyarat (Polmas) adalah
bertanggung jawab, harus mempertimbangkan
penerapan konsep Alternatif Dispute Resolution
manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-
(ADR), yaitu pola penyelesaian masalah sosial
betul untuk kepentingan umum, tidak
melalui jalur alternatif selain proses hukum atau
bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras
non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
Hal ini menjadi kebijkan internal dalam
dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus
kepolisian dalam menyelesaikan kasus tindak
patut dan masuk akal dan termasuk dalam
pidana ringan yang kerap terjadi di masyarakat.
lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan memaksa, dan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia
menghormati hak asasi manusia. No.Pol:B/3022/XXI/2009 /SDEOPS, tanggal 14
Desember 2009 tentang penanganan kasus
Pasal 5 ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 ayat (1)
melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
huruf j Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981
dikeluarkan berdasarkan kondisi bahwa
Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
penegakan hukum terhadap penyelesaian kasus
mengatur mengenai apa saja tolak ukur hukum
tindak pidana ringan mendapat sorotan dari
yang bertanggung jawab itu dan untuk
masyarakat. Timbul kesan aparat Criminal Justice
kepentingan umum yang bagaimanakah yang
System (CJS) terlalu kaku dalam penegakan
harus dicapai. Ketentuan ini menjadi norma yang
hukum. Berkaitan dengan kondisi ini, dapat
kabur yang masih bersifat subyektif (berdasarkan
mengambil langkah – langkah:
penilaian sendiri) dan abstrak (demi kepentingan
umum) sehingga dimungkinkan mengakibatkan Mengupayakan penanganan kasus pidana yang
penyalahgunaan wewenang dan keragu-raguan mempunyai kerugian materi kecil,
dalam menerapkan diskresi. penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep
Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Diskresi kepolisian merupakan kewenangan
yang sifatnya masih sangat luas dan implisit atau Penyelesaian kasus pidana dengan
tidak tegas menyebutkan bahwa mediasi penal menggunakan Alternatif Dispute Resolusion
adalah kewenangan diskresi yang dapat dilakukan (ADR) harus disepakati oleh pihak-pihak yang
oleh kepolisian. KUHAP dan Undang-Undang berperkara namun apabila tidak terdapat
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan
Indonesia tidak merumuskan ketentuan mengenai prosedur hukum yang berlaku secara profesional
mediasi penal atau tidak dijumpai/tidak ada istilah dan proporsional.
“mediasi penal”. Pengaturan diskresi dalam
KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan
Tentang Kepolisian Republik Indonesia tidak Alternatif Dispute Resolusion (ADR) harus
tegas menyebutkan mediasi penal dapat dilakukan berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus
diketahui oleh masyarakat sekitar dengan
melalui diskresi, sehingga mediasi penal menjadi
sangat terbatas untuk dilakukan atau sangat menyertakan RT/RW setempat.
tergantung pada pilihan kepolisian. Penyelesaian kasus pidana dengan
menggunakan Alternatif Dispute Resolusion

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 30
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

(ADR) harus menghormati norma hukum sosial Penyelenggaraan Tugas Polri menyatakan bahwa
atau adat serta memenuhi asas keadilan “Pemolisian Masyarakat (Community Policing)
yang selanjutnya disingkat Polmas adalah suatu
Memberdayakan anggota Pemolisian
kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui
Masyarakat (Polmas) dan memerankan Forum
kemitraan anggota Polri dan masyarakat,
Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang ada
sehingga mampu mendeteksi dan
di wilayah masing-masing untuk mampu
mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan
mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang
Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di
mempunyai kerugian materiil kecil dan
lingkungan serta menemukan pemecahan
memungkinkan untuk diselesaikan melalui
masalahnya”.
konsep Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Pada sebuah Polmas juga terdapat Forum
Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan
Kemitraan Polri dan Masyarakat (FKPM) sebagai
melalui konsep Alternatif Dispute Resolusion
wahana komunikasi antara Polri dan masyarakat
(ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan
yang membahas masalah Kamtibmas dan masalah
hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan
-masalah sosial yang perlu dipecahkan bersama
Pemolisian Masyarakat (Polmas).
guna menciptakan kondisi yang menunjang
Surat Kapolri 2009 ini digunakan dalam kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian
prakteknya sebagai dasar dalam pelaksanaan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
mediasi penal di tingkat kepolisian. Surat Kapolri Forum ini menjadi sarana yang penting dalam
2009 juga telah menjadi kebijakan internal di pelaksanaan Polmas.Polisi Polmas dapat
kepolisian yang mengarahkan kepolisian untuk dijadikan sebagai mediator, karena polisilah
menerapkan konsep Alternatif Dispute Resolution dalam pelaksanaan Polmas yang berwenang
(ADR) di tingkat penyidikan sebagai alternatif melakukan mediasi, hal sebagaimana diatur
penyelesaian kasus tindak pidana ringan untuk dalam Pasal 16 huruf a Peraturan Kepala
diselesaikan melalui sebuah perdamaian, tidak Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
melalui prosedur litigasi. Surat Kapolri 2009 telah Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
mengakui keberadaan ADR dan diarahkan untuk Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
diterapkan di tingkat Kepolisian, namun belum Penyelenggaraan Tugas Polri. Polmas berwenang
memiliki kekuatan dasar hukum yang kuat karena menyelesaikan perselisihan warga masyarakat
masih dalam tataran peraturan internal. atau komunitas sebagaimana diatur dalam Pasal
17 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat.
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri Tugas pokok Bhabinkamtibmas dalam
penyelesaian permasalahan adalah terkait dengan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik wewenang Bhabinkamtibmas dalam penyelesaian
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang atau pemecahan masalah atau kasus yang terjadi
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi di masyarakat sebagaimana yang dinyatakan
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan dalam Pasal 28 ayat (1) Peraturan Kepala
Tugas Polri (selanjutnya disebut Perkap Polmas Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
2015) dalam prakteknya menjadi landasan dalam Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
penerapan mediasi penal di Indonesia. Perkap Implementasi Pemolisian Masyarakat bahwa
Polmas 2015 menjadi instrumen dalam Bhabinkamtibmas dalam melaksanakan kegiatan
pelaksanaan Pemolisian masyarakat (Polmas) Polmas, berwenang untuk:
yang di dalam pelaksanaannya menyelesaikan
persoalan yang terjadi di masyarakat, salah a. menyelesaikan perselisihan warga
satunya menggunakan metode mediasi dalam masyarakat atau komunitas;
penyelesaian kasus tindak pidana tertentu. b. mengambil langkah-langkah yang
Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala Kepolisian diperlukan sebagai tindak lanjut
Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 kesepakatan FKPM dalam memelihara
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan keamanan lingkungan;
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam c. mendatangi Tempat Kejadian Perkara

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 31
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

(TKP) dan melakukan Tindakan Pertama  apabila korban/pelapor menghendaki


(TP) di TKP; dan perkara diteruskan kepada kepolisian, maka
d. mengawasi aliran kepercayaan dalam Bhabinkamtibmas/ petugas Polmas
masyarakat yang dapat menimbulkan menyerahkan penanganan perkara
perpecahan atau mengancam persatuan dan selanjutnya kepada Polsek;
kesatuan bangsa.  apabila korban/pelapor menghendaki
Pengaturan mengenai penyelesaian masalah perkara diselesaikan secara kekeluargaan,
oleh Bhabinkamtibmas/ Petugas Polmas ini diatur maka Bhabinkamtibmas/petugas Polmas
dalam lampiran C tentang Panduan Pelaksanaan melakukan:
Penyelesaian Perselisihan Warga Masyarakat/ 1) menghubungi anggota FKPM atau nama/
Komunitas dalam Peraturan Kepala Kepolisian istilah lain untuk bersama-sama
Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 menyelesaikan perkara dimaksud;
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat. Panduan 2) menentukan tempat dan tanggal waktu
ini menguraikan mengenai panduan teknis pertemuan dengan kedua belah pihak yang
Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga berperkara;
Masyarakat/Komunitas oleh Bhabinkamtibmas/ 3) mengadakan pertemuan dengan kedua belah
Petugas Polmas. pihak, anggota FKPM, Bhabinkamtibmas/
Ada beberapa hal yang diatur dalam Panduan petugas Polmas, untuk menyelesaikan perkara;
Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga 4) Bhabinkamtibmas/petugas Polmas
Masyarakat/ Komunitas yakni: menfasilitasi dan memediasi penyelesaian
a. Bhabinkamtibmas/petugas Polmas harus perkara tersebut;
memperhatikan: 5) Bhabinkamtibmas/petugas Polmas beserta
 wajib menerima setiap laporan/ pengaduan anggota FKPM memberikan pandangan,
masyarakat; masukan, pendapat, saran kepada kedua belah
pihak berperkara untuk penyelesaian perkara;
 penerimaan laporan/pengaduan
6) apabila kedua belah pihak menerima
dilaksanakan dengan sikap yang sopan dan
penyelesaian yang dicapai secara musyawarah
ramah sehingga masyarakat merasa
dan mufakat, yang ditawarkan oleh
nyaman dan aman.
Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan
b. Dalam menangani perkara ringan yang terdiri anggota FKPM, maka dibuatkan surat
dari beberapa pasal dalam KUHP yaitu: Pasal kesepakatan bersama tentang penyelesaian
302 (penganiayaan ringan terhadap hewan), perkara;
Pasal 352 (penganiayaan ringan terhadap
7) Apabila salah satu atau kedua belah pihak
manusia), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal
tidak menerima penyelesaian yang ditawarkan
373 (penggelapan ringan), Pasal 379
oleh Bhabinkamtibmas/petugas Polmas dan
(penipuan ringan), Pasal 482 (penadahan
anggota FKPM, maka perkara dilimpahkan ke
ringan), dan Pasal 315 (penghinaan ringan),
polsek.
Bhabinkamtibmas/petugas Polmas melakukan
hal-hal sebagai berikut: Panduan dalam Lampiran C Panduan
Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Warga
 mencatat laporan/pengaduan masyarakat;
Masyarakat/Komunitas dalam Peraturan Kepala
 mendatangi TKP; Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
 meminta keterangan kepada korban, saksi, Implementasi Pemolisian Masyarakat
dan pihak terkait lainnya tentang perkara menunjukkan instrumen dalam penyelesaian
yang terjadi; kasus tindak pidana ringan melalui mediasi.
 memberikan pandangan terhadap korban/ Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian
pelapor apakah perkara akan diteruskan Masyarakat telah menjadi langkah dalam
kepada kepolisian atau diselesaikan secara penerapan mediasi penal di Indonesia, namun
kekeluargaan (musyawarah mufakat); perkap ini belum secara komplek mengatur
mengenai mediasi penal.

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 32
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

Hanya tindak pidana ringan yang dapat hukumnya, kekuatan berlakunya, dan arti atau isi
dimediasi penal saja yang diatur dalam Perkap ini aturan tersebut. Hal ini diilhami dari pernyataan
dan tindak pidana ringan yang bisa diselesaikan Abdul Latif dan Hasbi Ali bahwa untuk dapat
melalui mediasi penal masih terbatas, jenis memahami ius contitutum maka perlu ditelaah 3
perkara ringan yang dapat diselesaikan melalui (tiga) hal yakni:
mediasi dalam panduan ini hanya terdiri dari 7
(tujuh) jenis tindak pidana ringan yakni: Pasal  Apakah suatu ketentuan merupakan
302 (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal ketentuan hukum yang berlaku
352 (penganiayaan ringan terhadap manusia),  Bagaimana kedudukan hukum itu, dan
Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373
(penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan  Bagaimana arti atau isi dari ketentuan
ringan), Pasal 482 (penadahan ringan), dan Pasal hukum tersebut (Latif & Ali, 2011).
315 (penghinaan ringan). 1. Ketentuan Hukum yang Berlaku
Mediasi penal dalam prakteknya juga menjadi Agar dapat mengetahui suatu ketentuan
pertimbangan hakim dalam memutus dan hal ini hukum berlaku atau tidak, perlu diketahui
dapat ditemukan dalam yurisprudensi di mengenai ajaran sumber hukum. Sumber hukum
Indonesia, misalnya: dapat diartikan dalam dua arti. Pertama, dapat
 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara diartikan sebagai suatu ajaran tentang ukuran
Nomor: 46/Pid/UT/781/WAN tanggal 17 yang digunakan untuk menentukan apakah suatu
Juni 1978 ketentuan merupakan suatu ketentuan hukum atau
tidak. Kedua, dapat diartikan sebagai suatu
 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor kumpulan ketentuan yang dapat diterapkan oleh
1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pengadilan (Latif & Ali, 2011).
 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 107/ 2. Kedudukan Ketentuan Hukum yang Berlaku
PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007
Kedudukan ketentuan hukum dalam
Tidak hanya dalam peraturan perundang- masyarakat tergantung pada kedudukan ketentuan
undangan dan yurisprudensi saja, konsep mediasi hukum itu dalam sistem hukum yang berlaku
penal juga dapat ditemukan dalam praktek sejalan dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan
dengan eksistensi peradilan adat di dalam ketentuan hukum dalam sistem hukum yang
kehidupan masyarakat. Konsep mediasi penal berlaku dalam masyarakat ditentukan pada 2
telah tumbuh dan berkembang dan kini menjadi (dua) hal yakni, hakikat ketentuan hukum tersebut
tradisi di masing-masing daerah di Indonesia, dan sistem Peraturan Perundang-undangan yang
salah satunya adalah di Bali yang mengenal berlaku (Latif & Ali, 2011).
adanya penyelesaian kasus di desa adat pakraman
yang diterapkan melalui awig-awig. 3. Arti Ketentuan Hukum yang Berlaku

Hukum adat sebagai hukum yang hidup tentu Ketentuan hukum yang berlaku berwujud
merupakan hukum positif. Sebagaimana dalam suatu rangkaian kata yang membentuk kalimat
Teori The Living Law (Hukum yang Hidup yang menetapkan akibat hukum tertentu pada
dalam masyarakat) dari Eugen Ehrlich dan fakta tertentu. Agar dapat memahami isi atau arti
Konsep The Living Law Bangsa Indonesia dari suatu ketentuan hukum termasuk juga akibat
Soetandyo Wignjosoebroto menunjukkan bahwa hukum apa yang terkait pada sebuah fakta
hukum yang hidup memiliki daya berlaku yang diperlukan penafsiran hukum (Latif & Ali, 2011).
kuat dan ditaati oleh masyarakat, hukum yang Apabila dikaji berdasarkan dari ketentuan
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum hukum yang berlaku, kedudukan ketentuan
yang hidup di dalam masyarakat (Ehrlich, 1936), hukum yang berlaku, dan arti ketentuan hukum
(Wignjosoebroto, 2013). yang berlaku maka dasar hukum yang digunakan
dalam praktek penerapan mediasi penal di
Kedudukan Ketentuan Hukum yang Berlaku (Ius
Constitutum) yang Mengatur Mengenai Mediasi Indonesia adalah merupakan ius constititum atau
Penal di Indonesia sebagai hukum positif yang berlaku. Meskipun
merupakan hukum yang berlaku namun tidak
Landasan hukum mediasi penal dalam merupakan dasar hukum yang kuat. UU
penyelesaian perkara pidana di Indonesia (ius Kepolisian dan KUHAP yang mengatur mengenai
contitutum) perlu dikaji berdasarkan sumber

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 33
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

diskresi tidak tepat dijadikan sebagai dasar dalam Rancangan KUHP maupun rancangan
hukum mediasi penal, karena tidak mengatur KUHAP. Mediasi penal memang belum diatur
secara tegas dan masih bersifat implisit. dalam Rancangan KUHP dan KUHAP, namun
nilai-nilai, konsep, ide dasar, pokok pemikiran,
Kedudukan Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang
gagasan, pandangan, dalam konsep rancangan
Pemolisian Masyarakat apabila ditinjau dalam
KUHP dan KUHAP telah mengarah dan
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011
memberikan celah pada konsep penyelesaian
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
kasus tindak pidana di luar pengadilan.
undangan (berdasarkan hirarkhi peraturan
perundang-undangan) merupakan bentuk hukum Pada konsep RUU KUHP memberi
yang tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar kemungkinan untuk menerapkan asas "pemberian
hukum berlakunya mediasi penal dan masih maaf atau pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk
bersifat kebijakan internal, sehingga tidak tepat pardon" atau''judicial pardon), sehingga konsep
digunakan sebagai dasar hukum penerapan RUU KUHP menjadi lebih fleksibel dalam
mediasi penal. UU tidak mengatur mengenai mencapai keadilan dan tidak kaku (Remmelink,
mediasi penal. KUHAP masih mengatur bahwa 2003). Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
perkara pidana akan diproses melalui peradilan asas "pemberian maaf/pengampunan oleh
pidana berdasarkan KUHAP dan tidak mengenal hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial pardon)
adanya mediasi penal, sehingga terjadi benturan menjadi kewenangan hakim untuk tidak
antara Perkap No. 3 Tahun 2015 Tentang menjatuhkan sanksi pidana tindakan apapun
Pemolisian Masyarakat dengan KUHAP. (Arief, 2015). Asas "pemberian maaf/
pengampunan oleh hakim" ("rechterlijk pardon"
Apabila dikaji berdasarkan hirarkhi peraturan
atau''judicial pardon”) merupakan celah yang
perundang-undangan yang diatur dalam Undang-
membenarkan penerapan mediasi penal pada
Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang
masa yang akan datang.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
serta dianalisis berdasarkan teori pertanggaan/ RUU KUHP juga merumuskan mengenai
teori jenjang (stufenbau theory) dari Hans Kelsen tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan
dan Nawiasky dapat diketahui bahwa Perkap No. yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP yang
3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat berlaku saat ini. Tujuan pemidanaan dapat
belum kuat dan berbenturan dengan aturan yang ditemukan dalam Pasal 54 RUU KUHP
lebih tinggi, yakni KUHP, KUHAP, dan Undang-
1) Pemidanaan bertujuan:
Undang Kepolisian (yang tidak mengatur secara
tegas mengenai mediasi penal sebagai bentuk  mencegah dilakukannya tindak pidana
diskresi) sehingga dengan adanya benturan atau dengan menegakkan norma hukum demi
kondisi yang bertentangan dengan aturan yang pengayoman masyarakat;
lebih tinggi maka aturan ini tidak dapat
diberlakukan atau tidak memiliki kekuatan  memasyarakatkan terpidana dengan
berlaku. mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
Konsekuensi/alasan logis lainnya bahwa jika
Perkap ini digugat oleh seseorang ke Mahkamah  menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
Agung (MA) melalui Yudisial Review maka oleh tindak pidana, memulihkan
Perkap ini tidak dapat berlaku lagi. Sementara keseimbangan, dan mendatangkan rasa
Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. damai dalam masyarakat; dan
Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14  membebaskan rasa bersalah pada
Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus terpidana.
Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR)
juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat 2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
karena sifatnya masih kebijakan internal dan menderitakan dan merendahkan martabat
posisinya lebih rendah dari pada Perkap. manusia.
Perkembangan Pengaturan Mediasi Penal Dalam Poin penting terkait dengan penerapan mediasi
Konteks Hukum Pada Masa yang Akan Datang (Ius penal dalam tujuan pemidanaan sebagaimana
Constituendum) Di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 54 Rancangan KUHP
Istilah mediasi penal memang tidak ditemukan menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan adalah
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 34
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mempertimbangkan segi keadilan dan


mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, kemanusiaan dengan pertimbangan ringannya
membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau
menderitakan dan merendahkan martabat yang terjadi kemudian. Secara tegas Pasal 55
manusia. Tujuan pemidanaan ini dapat diperoleh Ayat (2) Rancangan KUHP menyatakan bahwa
dengan penggunan mediasi penal sehingga tujuan ringannya perbuatan menjadi salah satu dasar
pemidanaan ini menjadi celah yang membenarkan pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana
penerapan mediasi penal pada masa yang akan atau mengenakan tindakan dengan
datang. mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan.
Pedoman pemidanaan yang tidak diatur dalam
KUHP dan dirumusakan dalam Pasal 55 Konsep Rancangan KUHAP juga memberikan
Rancangan KUHP: celah dalam penerapan mediasi penal di
Indonesia, meskipun tidak diatur secara eksplisit.
1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
RUU KUHAP telah memberikan pengakuan dan
 kesalahan pembuat tindak pidana; kedudukan pada penyelesaian di luar pengadilan
(afdoening buiten process). Konsep Penyelesaian
 motif dan tujuan melakukan tindak pidana; di luar pengadilan (afdoening buiten process)
 sikap batin pembuat tindak pidana; yang dapat membenarkan keberadan mediasi
penal tentu dapat menjadi pertimbangan bagi
 tindak pidana yang dilakukan apakah penuntut umum untuk tidak melakukan
direncanakan atau tidak direncanakan; penuntutan dalam perkara tertentu. Penuntut
 cara melakukan tindak pidana; umum boleh tidak menuntut suatu perkara pidana
karena telah diselesaikan diluar sidang
 sikap dan tindakan pembuat sesudah pengadilan.
melakukan tindak pidana;
Konsep afdoening buiten process dalam RUU
 riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan KUHAP dirumuskan dalam pasal tentang
ekonomi pembuat tindak pidana; gugurnya kewenangan penuntutan yang dapat
ditemukan dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3)
 pengaruh pidana terhadap masa depan Rancangan KUHAP dan Pasal 153 Rancangan
pembuat tindak pidana; KUHAP. Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan
 pengaruh tindak pidana terhadap korban KUHAP menyatakan bahwa:
atau keluarga korban; Penuntut umum juga berwenang demi
 pemaafan dari korban dan/atau kepentingan umum dan/atau dengan alasan
keluarganya; dan/atau tertentu menghentikan penuntutan baik dengan
syarat maupun tanpa syarat.
 pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan. Kewenangan penuntut umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika:
2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi
pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak pidana penjara paling lama 4 (empat tahun);
menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam
keadilan dan kemanusiaan. dengan pidana denda;
Pasal 55 Rancangan KUHP tentang Pedoman umur tersangka pada waktu melakukan tindak
pemidanaan ini menjadi dasar ke tiga sebagai pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau
celah yang membenarkan penerapan mediasi kerugian sudah diganti.
penal pada masa yang akan datang. Pasal 55 ayat
(2) Rancangan KUHP menjadi konsep dasar yang Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan KUHAP
memperbolehkan tidak menjatuhkan pidana atau mengatur kewenangan bagi penuntut umum
mengenakan tindakan dengan menghentikan penuntutan baik dengan syarat

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 35
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

maupun tanpa syarat. Hal ini dapat dilakukan jika Tidak ada undang-undang yang mengatur
tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan, mengenai mediasi penal, namun mediasi penal
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan dapat ditemukan dalam prakteknya. Dasar hukum
pidana penjara paling lama 4 (empat tahun), yang digunakan dalam praktek mediasi penal di
tindak pidana yang dilakukan hanya diancam Indonesia adalah kewenangan diskresi kepolisan
dengan pidana denda, umur tersangka pada waktu yang diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002
melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) Tentang Kepolisian RI dan KUHAP, selain itu
tahun; dan/atau kerugian sudah diganti. Hal ini juga digunakan Peraturan Kepala Kepolisian
tentu merupakan batasan-batasan yang dijadikan Negara RI No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian
rujukan dalam pembentukan kontruksi hukum Masyarakat dan Surat Kepolisian Negara
mediasi penal di Indonesia. Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/
SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal
Pasal 153 Rancangan KUHAP menyatakan
Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute
bahwa:
Resolution (ADR). Dasar hukum ini bersifat
Kewenangan penuntutan gugur, jika: eksplisit dan tidak mengatur secara tegas
mengenai mediasi penal.
 Telah ada putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap; Tidak ada dasar hukum yang kuat yang
mengatur mengenai mediasi penal. Pembaharuan
 Terdakwa meninggal dunia; hukum pidana materiil (KUHP) dan formil
 Daluwarsa; (KUHAP) secara implisit telah mengarahkan
penggunaan mediasi penal dalam hukum pidana
 Penyelesaian di luar proses; di masa yang akan datang, hal ini terlihat dari
 Maksimum pidana denda dibayar dengan adanya asas "pemberian maaf atau pengampunan
sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan oleh hakim" ("rechterlijk pardon" atau''judicial
hanya diancam dengan pidana denda paling pardon), diaturnya tujuan dan pedoman
banyak kategori II; pemidanaan dan penyelesaian di luar pengadilan
(afdoening buiten process).
 Maksimum pidana denda dibayar dengan DAFTAR PUSTAKA
sukarela bagi tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) Abdullah, N. C. (2015). Going Green in Urbanisation
tahun atau pidana denda paling banyak Area: Environmental Alternative Dispute
kategori III; Resolution as an Option. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 170, 401–408. https://
 Presiden memberi amnesti atau abolisi; doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.050
Arief, B. N. (2008). Mediasi Penal: Penyelesaian
 Penuntutan dihentikan karena penuntutan Perkara Pidana di Luar Pengadilan. Semarang:
diserahkan kepada negara lain berdasarkan Pustaka Magister.
perjanjian; Arief, B. N. (2015). RUU Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem
 Tindak pidana aduan yang tidak ada
Hukum Pidana Indonesia. Surabaya: Pelatihan
pengaduan atau pengaduannya ditarik Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan
kembali; atau Fakultas Hukum Pelita Harapan Surabaya.
 pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Council Framework Decision of 15 March 2001
Agung. (2001/220/JHA).
Djamali, R. A. (2009). Pengantar Hukum Indonesia.
Pasal 153 Rancangan KUHAP mengatur Jakarta: Raja Grafindo Persada.
bahwa penyelesaian di luar proses menjadi salah ECOSOC 24 July 2002; Resolution 2002/12 “Basic
satu dasar gugurnya kewenangan penuntutan. Principles on The Use of Restorative Justice
Perkara pidana yang telah diselesaikan melalui Programmes In Criminal Matters”.
proses di luar pengadilan tidak dapat dituntut Ehrlich, E. (1936). The Fundamental Principles of the
kembali berdasarkan Pasal 153 RUU KUHAP. Sociology of Law. (H. U. Press., Ed.).
IV. SIMPULAN Harkrisnowo, H. (2002). Sistem Peradilan Pidana
Terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Adapun kesimpulan pada penelitian ini adalah Jakarta: News Letter Komisi Hukum Nasional.
sebagai berikut: Hatta, M. (2009). Beberapa Masalah Penegakan

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 36
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia

Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus. (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Yogyakarta: Liberty. 4168).
Hutajulu, J. H. (2014). Mediasi Penal Sebagai Wignjosoebroto, S. (2013). Hukum: Konsep dan
Alternatif Penyelesaian Perkara Pencurian Metode. Malang: Stara Press.
Ringan (Studi Di Polres Malang Kota). Jurnal
Arena Hukum, 7(3).
http://denpostnews.com, dibuka pada tangg al 14
Agustus 2016, diakses pada pukul 13.57 WITA.
International Penal Reform Conference, Royal
Holloway College, University of London,
Egham, Surrey, United Kingdom, 13-17 April
1999.
Kuncoro, M., & Wahyu, N. (2012). 69 Kasus Hukum
Mengguncang Indonesia. Jakarta: Raih Asa
Sukses.
Latif, A., & Ali, H. (2011). Politik Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Mulyadi, L. (2015). Mediasi Penal Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.
Ninth United Nation Congress on The Prevention of
Crime and The Treatment of Offenders, Cairo,
Egypt, 29 April - 8 Mei 1995.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Pemolisian Masyarakat.
Rancangan KUHP tahun 2015.
Rancangan KUHAP tahun 2015.
Remmelink, J. (2003). Hukum Pidana; Komentar Atas
Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sun.
Rosari, A. S. B. de. (2010). Elegi Penegakan Hukum.
Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Rozah, U. (2012). Hukum Pidana Dalam Perspektif.
Denpasar, Bali: Pustaka Larasan.
Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol :
B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14
Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus
Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
Taufiq, M. (2014). Keadilan Substansial Memangkas
Rantai Birokrasi Hukum. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tenth United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders Vienna,
10-17 April 2000.
The Committee of Ministers of the Council of Europe,
15 September 1999.
Tridiatno, Y. A. (2015). Keadilan Restoratif.
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor
76).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

KERTHA WICAKSANA Volume 13, Nomor 1 2019 © All Right Reserved Halaman 37

Anda mungkin juga menyukai