Review Film
Review Film
NPP : 23.1171
JAKARTA
2015
Review Film “Lagu Duka Kaligaring”
Pada film kali ini diceritakan bagaimana korupsi dapat menimbulkan berbagai
masalah dalam berbagai sektor kehidupan. Film ini selain mengemukakan masalah
korupsi yang menyebabkan banyak kerugian, tapi juga mengamati masalah yang
dihadapi kaum perempuan . Mengambil setting tempat sebuah desa terpencil
bernama Desa Kaligaring yang berada dalam wilayah Provinsi Yogyakarta. Desa
Kaligaring merupakan sebuah desa yang terpencil, dengan fasilitas publik yang
minim dan pembangunan desa yang macet. Film ini merupakan sebuah kisah nyata
yana benar-benar terjadi. Film ini di buat oleh warga Desa Kaligaring sendiri dengan
scenario dan pemain-pemainnya asli dari warga desa yang dibimbing dan diarahkan
oleh LSM IDEA (Institute for Development and Economics Analysis). Sebuah karya
dengan kesederhana namun bermakna sangat dalam, miris melihatnya, dan
menggambarkan korupsi memang berdampak sangat merugikan.
Pada permulaan film digambarkan bahwa desa Kaligaring mendapatkan dana
bantuan dari pemerintah kabupaten untuk pelaksanaan program Keluarga
Berencana dan pembangunan infrastruktur desa, antara lain ialah dana untuk
pembangunan jalan. Namun ternyata dana dipotong sehingga akhirnya tidak bisa
dialokasikan untuk pembangunan desa karena dikorupsi bapak Kades untuk
membeli mobil. Bapak Kades berdalih bahwa mobil tersebut juga untuk kepentingan
masyarakat, masyarakat boleh menggunakan/ meminjam mobil tersebut kapan saja
asalkan kembali dalam keadaan utuh dan ada biaya perawatan ( padahal Kades
minta uang sewa).
Kemudian beralih kepada rumah satu keluarga miskin yang terdiri dari lima
orang anggota keluarga yakni ibu yang bernama Paiyem (yang menjadi tokoh
sentral dalam film ini), tiga orang anak yang bernama Minah, Supri dan adiknya yang
masih kecil, serta suami Paiyem bernama Joyo. Pada malam itu Suami Paiyem
mengeluh kepada Paiyem kenapa Paiyem kok bisa mengandung lagi padahal dalam
keadaan sekarang sudah sangat susah apalagi kalau nanti anak keempat mereka
lahir. Selain itu dari pembicaraan antara Paiyem dan suaminya juga disinggung
mengenai bagaimana ekploitasi wanita terjadi akibat kemiskinan yang semakin
parah banyak wanita didesa yang mencari kerja keluar negeri untuk menjadi Tenaga
Kerja Wanita (TKW), disana mereka diekploitasi dan ketika pulang banyak diantara
TKW tersebut yang hamil tanpa suami.(ekploitasi wanita terjadi akibat kemiskinan)
Pada suatu ketika Supri (anak laki-laki Paiyem) pulang kerumah dengan
wajah sedih, ketika sang ibu Paiyem sedang memasak dan Supri mengadu kepada
Ibunya bahwa ia ingin berhenti sekolah, karena hari ini dia dipanggil lagi ke ruang
Kepala Sekolah karena sudah dua bulan belum membayar uang sekolah selain itu
Supri juga meminta uang untuk membeli buku yang diwajibkan oleh pihak sekolah
(potret kelam pendidikan Indonesia yaitu menjadikan anak didik sebagai obyek
bisnis di sekolah). Tentu saja Paiyem hanya bisa menjanjikan kepada Supri untuk
menunggu sampai akhir bulan karena Paiyem tidak mempunyai uang sama sekali.
Pekerjaan Paiyem hanyalah sebagai seorang tukang sayur keliling yang menjualkan
dagangan milik orang lain, tentu saja untung yang diperoleh tidak bisa dimiliki sendiri
oleh Paiyem,harus dibagi lagi dengan pemilik dagangan, sedangkan suami Paiyem
hanyalah seorang buruh bangunan yang tidak tentu pekerjaannya.
Masalah dikeluarga ini bertambah ketika pada suatu malam Minah anak
perempuan mereka menggigil dan mengigau seperti kesurupan. Dengan
pengetahuan yang masih tradisional mereka beranggapan Minah harus didatangkan
dukun, padahal ternyata Minah menderita penyakit demam berdarah yang harus
dirawat di sebuah rumah sakit. Permasalah pun semakin menumpuk darimana
mereka memperoleh dana untuk membayar biaya rumah sakit anaknya. Suami
Paiyem memikirkan bagaimana cara mendapatkan dana, untuk berhutang di KUD
sudah tidak mungkin karena hutan suami Paiyem sudah melebihi batas dan belum
dilunasi. Ternyata ada satu cara untuk mendapatkan keringanan biaya di rumah
sakit, yaitu dengan memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu dari desa serta memiliki
KTP. Untuk memiliki surat tersebut ternyata harus mendapatkan rekomendasi dari
RT, RW dan Pemerintah desa. Dan untuk mendapatkan rekomendasi tersebut
suami Paiyem harus mengeluarkan uang administrasi yang tidak lain adalah bentuk
dari pungutan liar. Setibanya di kantor kecamatan ternyata membuat kedua surat
tersebut butuh waktu lebih dari satu minggu, sedangkan Minah harus mendapatkan
perawatan sesegera mungkin. Ternyata ada cara lain untuk mempercepat proses
pengurusan kedua surat tersebut yaitu dengan memberikan uang/ sogokan kepada
petugas. (potret birokrasi Indonesia yang rumit berbelit-belit dan banyak sekali
pungutan liar. Akibatnya kembali rakyat miskinlah yang menjadi tumbal).