Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315784422

ISLAMIC ECONOMIC RESEARCH PARADIGM - Critical writing on Positivism in


Islamic Economic Research

Article · December 2014

CITATIONS READS

0 1,835

1 author:

Sjafruddin Sjafruddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sjafruddin Sjafruddin on 05 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PARADIGMA PENELITIAN EKONOMI ISLAM
(Kritik Terhadap Paradigma Filsafat
Positivisme dalam Penelitian Ekonomi Islam)

Oleh : Sjafruddin, M.E.I

Abstrak
Keberadaan ekonomi islam dalam wacana keilmuan
masih terbilang baru dibandingkan keilmuan islam
lainnya yang lebih mapan. Praktik-praktik ekonomi
islam pada pasar mendorong kajian dan penelitian
yang lebih jauh dan mendalam untuk menjawab
persoalan yang terjadi. Kemudian timbul permasalahan
dimana penelitian-penelitian dengan menggunakan
pendekatan kuntitatif-positivistik memberi kesan
seoalah-olah pendekatan ini merupakan sesuatu
yang “mainstream” dan diluar itu menjadi “non
mainstream”. Aliran positivistik yang mengarah
pada asumsi bebas nilai(value free) menjadikan
penilitian yang dihasilkan menjauh dari nilai-nilai
manusia sebagai pelaku ekonomi dan makhluq
ruhaniah. Pendekatan melalui paradigma
integrasi-interkoneksi mencoba untuk
memposisikan ilmu ekonomi islam berada proses
objektifikasi etika agama.

Kata kunci : ilmu ekonomi islam, kuntitatif-positivistik, integrasi-


Interkoneksi

A. Pendahuluan
Sejauh ini, penelitian yang berhubungan dengan kajian ekonomi islam
terus bertambah dan berkembang. Banyak kajian yang dilahirkan oleh para
akademisi maupun praktisi yang concern terhadap ekonomi islam. Tema-
tema perbankan syariah, investasi syariah dan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah)
mendominasi dalam publikasi karya–karya ilmiah para sarjana ekonomi
islam. Secara umum dapat dilihat semakin populernya pendekatan analisis
kuantitatif yang digunakan sebagai perangkat dalam memaparkan,

1
menganalisis, dan mengambil suatu kesimpulan akhir pada karya-karya
tersebut. Banyaknya hasil penelitian yang dipublikasikan dengan
menggunakan pendekatan analisis ini memberi kesan seoalah-olah
pendekatan ini merupakan sesuatu yang “mainstream” dan diluar itu menjadi
“non mainstream”. Keadaan tersebut tidak lebih seperti halnya barang/jasa
yang di jual di pasar, akan ada metode yang banyak dilirik konsumen, maka
akan disebut “mainstream” maupun yang sedikit diminati sehingga terlebel
“non mainstream”.
Secara substansif, pilar filosofis utama ilmu ekonomi islam adalah menjadi
roh jiwa yang membuat suatu teori ekonomi islam memiliki nafas kebenaran
yang hidup, bukan suatu teori yang kering mati tak memberi manfaat apapun.
Semua hal itu dipulangkan kepada ketiga pilar roh kebenaran ilmu
pengetahuan, oleh apa yang dipakai dalam filsafat ilmu adalah disebut
sebagai ontology, epistemology, dan axiology.
Dimulai dengan pertanyaan; Apa yang menjadi esensi perlu dipahami dan
diketahui untuk sesuatu penelitian ilmu ekonomi islam, maka pertanyaan itu
masuk kedalam ranah ontology. Kemudian, untuk menjawab; Bagaimana
ilmu ekonomi islam melakukan penelitian yang baik dan benar, maka itu
adalah dalam ranah epistemology. Lalu dimintai penjelasan untuk apa, untuk
siapa penelitian ilmu ekonomi islam dapat dimanfaatkan, apa perlunya teori
ekonomi islam digunakan maka itu menjadi ranah axiology.
Sesuatu penelitian, akan menghasilkan teori yang fundamental kokoh
kuat, serta dapat menjawab realitas fenomena ketika telah bertumpu secara
tepat dan benar pada ketiga sendi filosofi dasar penelitian tersebut diatas:
penguasaan pemahaman secara mendalam dan utuh pada - ontology,
epistemology, dan axiology – nya problematika penelitian sebagian besar
diabaikan oleh peneliti ketika mulai mendesain suatu penelitian, akibatnya
penelitian sejak awal telah membawa cacat bawaan, karena metode
pendekatannya memaksakan diri dalam memilih problematika dengan

2
paradigma yang diteliti walaupun sesungguhnya tidak senyawa dan sejiwa
dengan ranah filosofi dasarnya.
Tujuan dari setiap penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuan,
yakni pemahaman tentang kenyataan. Pengetahuan yang dihasilkan, oleh
sebuah penelitian disamping ditentukan oleh obyek penelitian adalah
ditentukan pula oleh pendekatan, metode dan prosedurnya. Bilamana secara
umum ilmu pengetahuan dibedakan atas tiga macam cabang utama yaitu
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan ilmu humaniora, maka pada dasarnya
ilmu ekonomi islam adalah masuk dalam ranah ilmu-ilmu sosial humaniora.
Kemudian menjadi persoalan, adalah ketika diantara peneliti Ilmu ekonomi
islam secara gegabah tanpa pilah pilih karakter problematikanya
menggunakan pendekatan, metode dan prosedur yang hanya tepat dipakai
untuk ilmu-ilmu alam (dengan paradigma positivistic). Penelitian ekonomi
yang menyangkut problematika efisiensi & efektitivitas untuk sesuatu komoditi
barang boleh jadi bisa meminjam metode, prosedur dan pendekatan milik
ilmu alam; namun sesuatu penelitian ekonomi yang menyangkut manusia
sebagai pelaku ekonomi pendekatan dan prosedur yang tepat dan benar
adalah menurut paradigma ilmu sosial atau ilmu humaniora.
Jadi, penelitian ilmu ekonomi Islam dihadapkan pada dua macam pilihan
paradigma, yaitu penelitian yang berlandaskan pada aliran/paradigma filsafat
positivisme atau aliran filsafat non-positivisme. Kedua paradigma ini sama
sama bertujuan menemukan kebenaran, namun untuk mendapatkan
kebenaran diantara satu sama lain kedua paradigma tersebut memiliki
karakter filosofi dasar yang secara substansial amat berbeda. Jadi kesalahan
fundamental dari sesuatu penelitian ekonomi islam adalah bukan karena
kesalahan paradigma positivistic (yang sesuai untuk kelompok ilmu alam),
namun paradigma positivistic tidak bisa dipukul rata berlaku untuk semua
masalah penelitian ekonomi islam. Sampai kini amat sangat banyak terjadi

3
penelitian yang masalahnya menyangkut pada pelaku ekonomi (serta
kelembagaannya) selalu digarap dengan paradigma positivistic.

B. ANTARA POSITIVISME DENGAN NON POSITIVISME


Positivisme, sebagai salah satu aliran filsafat yang bebas nilai
dikembangkan mulai abad ke 19 melalui rintisan Auguste Comte,
sesungguhnya merupakan penajaman trend pemikiran rasionalisme dan
empirisme (Muslih, 2010:90). Pendekatan positivisme dinilai sebagai hal yang
baru adalah karena pandangan tentang metodologi ilmu pengetahuan yang
menitik beratkan pada metodologi ilmu pengetahuan. Dalam pemikiran
empirisme dan rasionalisme (yang berkembang sebelum positivisme) sesuatu
pengetahuan masih sebatas ditempatkan sebagai refleksi, maka setelah itu
dengan positivisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi. Dan
satu-satunya pilihan metodologi yang unggul berjaya sejak masa renaisance
adalah metodologi ilmu-ilmu alam bukan ilmu yang lain. Sehingga, dengan ini
positivisme mengambil alih sesuatu pengetahuan yang semula menjadi
wilayah refleksi epistemologi; yakni bagaimana pengetahuan manusia
tentang kenyataan, telah menjadi terkooptasi oleh ruang metodologi ilmu-ilmu
alam.
Aliran positivisme dalam penelitian berkembang menjadi penelitian
dengan paradigma kuantitatif. Paradigma positivisme jika diimplementasikan
dalam penelitian ilmu ekonomi islam adalah untuk menguji kebenaran atau
menerapkan sesuatu teori. Dalam metodologi, positivisme menggunakan
metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik
penelitian survai, statistika (termasuk yang non parametrik atau yang
diskriptif), dan berbagai teknis studi kuantitatif serta didesain dengan model-
model kalkulatif, Implikasi pemahaman ini menyebabkan keharusan sesuatu
konsep penelitian yang digunakan perlu didefinisikan secara operasional

4
dengan batasan aspek aspek tertentu serta ukuran-ukuran tertentu. Oleh
karena itu, dalam positivisme diakui bahwa operasionalisasi konsep-konsep
merupakan bagian penting dalam penelitian ilmiah. Dalam positivisme secara
umum, istilah atau konsep harus didefinisikan secara spesifik (operasional)
agar penelitian dapat melakukan pengukuran-pengukuran. Aliran filsafat
positivisme telah mendorong perkembangan teknik-teknik statistik, baik untuk
kepentingan deskriptif maupun eksplanatif (disertai pengujian hipotesa
dan/atau teori).
Sebaliknya filsafat non-positivisme kebenaran didasarkan pada esensi
idea (sesuai dengan hakekat obyek) dan kebenarannya bersifat holistik.
Pengertian fakta maupun data dalam filsafat non-positivisme juga memiliki
cakupan selain yang empiri sensual (fenomena) adalah lebih melacaki apa
yang ada di balik yang empiri sensual (nomena). Non-positivisme
menemukan makna pada empiri idea. Paradigma Non-positivisme dalam
penelitian berkembang menjadi penelitian dengan paradigma kualitatif.
Noeng Muhadjir (2000:78) yang menyebut non-positivisme dengan post-
positivisme, memiliki karakteristik utama pada pencarian makna di balik data.
Paradigma non-positivisme jika diimplementasikan dalam penelitian
tujuannya adalah untuk membangun sesuatu teori, bukan membuktikan
benarnya sebuah teori.
Pemahaman terhadap kedua aliran tersebut membawa kita kepada
pertanyaan: pilihan paradigma apa yang sesuai untuk penelitian ilmu
ekonomi islam?, mengapa penelitian dalam ilmu ekonomi islam harus
mempunyai paradigma tersebut?. Penekanan pada aspek aksiologis
merupakan sasaran lahirnya ilmu ekonomi islam. Kemampuan menjawab
pertanyaan ”Untuk apa pengetahuan digunakan?” merupakan penekanan
dalam ilmu ekonomi islam. Pengetahuan harus digunakan untuk
kemaslahatan manusia (Suriasumantri, 1999:249). Sementara aksiologi
positivisme menghendaki adanya peruntukan yang bebas nilai. Persoalan

5
kemiskinan, keadilan sosial, kemakmuran masyarakat dan semacamnya
adalah satu atau dua bukti diantara sekian banyak contoh yang menunjukkan
adanya kegagalan positivisme dalam aspek aksiologis.
Menjadi pertanyaan lain, ketika ilmu ekonomi islam yang faktualnya
adalah manusia sebagai pelaku ekonomi diperlakukan sama layaknya gejala
kehidupan material ataupun benda mati. Sebagai pelaku ekonomi, tidak bisa
dianalogikan sama dengan eksperimen yang dapat diukur prilakunya menurut
skala skala tertentu. Kepentingan manusia tentang ekonomi dan tujuannya
tidak dapat ditinjau menurut sudut pandang barang atau binatang; tidak juga
homo economicus semata, tetapi sekaligus homo metaphysicus maupun
homo ethicus dan homo sapiens. Di balik tindakan ekonomi manusia selalu
terdapat dimensi nilai yang dianutnya

C. NON POSITIVISME DALAM ILMU EKONOMI ISLAM


Ekonomi islam adalah ekonomi yang penuh dengan nilai-nilai etika. Paham
seperti ini memandang ilmu ekonomi sebagai ilmu moral (moral science)
yang orientasinya jauh lebih luas daripada sekedar self-interest. Dengan
pemahaman demikian, pendekatan yang tepat dilakukan dilakukan adalah
dengan verstehen (memahami), yakni dengan menafsirkan makna tindakan-
tindakan dan bukan dengan erklaren (penjelasan menurut sebab akibat)
(Mikhael dua, 2008:120).
Pelaku ekonomi adalah makhluq ruhaniah, yang memiliki idea, nilai
nilai, harapan harapan tertentu sesuai dengan kesadarannya, sebagai
seperangkat fenomena responsibilitasnya tidak akan tepat bilamana dibaca
sebagai tindakan yang otomatik ataupun mekanistik maupun matematik dan
statistik. Kegiatan ekonomi adalah merupakan fenomena sosial (fenomena
manusia sebagai makhluq ruhaniah) akan dapat dipahami setepat tepatnya
hanya dengan memahami dunia makna yang hidup pada mindset para

6
pelakunya, yakni pelakunya itu sendiri yang dinamik dan unik. Subyek pelaku
berperan kuat dalam memaknai dan kemudian menyikapi dinamika ekonomi.
Pemaknaan & penyikapan ini tidak berhenti pada dunia yang dihayati oleh
individu pelaku ekonomi, namun pula melibatkan makna penafsiran yang
terungkap karena penghayatan pada fenomena itu.
Ketika persoalan ekonomi dipahami dengan pemahaman menurut sifat
ilmu alam; maka pelaku ekonomi sebagai manusia akan diperlakukan
sebagai obyek seperti barang. Menyikapi pelaku ekonomi secara netral, tidak
memberi apresiasi pelaku ekonomi (pedagang, konsumen, produsen) pada
harapan-harapannya yang hidup atau nilai-nilai dan norma serta etika yang
diampunya dan berkemungkinan pula peneliti akan mendesain (rekayasa
sosial) dengan menempatkan pelaku-pelaku ekonomi dalam hubungan sebab
akibat, membutakan diri terhadap pendekatan yang sesungguhnya tidak
sesuai.
Oleh karena itu permasalahan ekonomi yang menyangkut perilaku
ekonomi bilamana dipaksakan dengan positivisme maka hasil yang diperoleh
tiada lain adalah pembenahan pembenahan, tidak muncul teori baru, dan
amat besar kemungkinannya akan menghasilkan kontroversi yang tidak
terselesaikan dalam menentukan kebijakan ekonomi karena padanya adalah
sebuah hasil spekulatif dari sebuah stereotipe. Karena dengan sifatnya yang
predictable, positivisme sejalan dengan teorinya seakan sudah dapat
menentukan atau menduga hasil dari sejak penelitian belum dilaksanakan.
Bilamana kejadian yang probabilistic, terjadi diluar dugaan sebagaimana
menjadi prediksi awal, maka positivisme juga telah siap memiliki jawaban
bahwa penyimpangan itu adalah sebagai “error”, atau membela diri dengan
mengatakan; sebagai bagian dari variable yang tidak diamati
Studi yang masuk dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, tak bisa dipahami
dengan cara-cara disekap sebagai obyek manipulasi dan didesain dengan
model-model kalkulatif. Peneliti hanya bisa bersikap “memasuki” wilayah ini

7
dengan pemahaman (verstehen) (Bambang Hardiman, 2002:28), sebab yang
diharapkan ditemukan dalam studi ini bukanlah hubungan sebab-akibat yang
bersifat pasti, namun tentang dunia makna. Disini diperlukan “mata (hati)
seorang manusia” yang dapat memahami makna, bukan “mata seorang
biologi atau fisikawan atau matematikawan”.
Dalam konteks ini peneliti tidak lebih tahu daripada pelaku ekonomi itu
sendiri. Karenanya, paradigma non positivisme selalu berupaya menjelaskan
fenomena yang ada, yaitu memahami makna yang berada dibalik fenomena.
Tujuan pilihan metode pendekatan, paradigma dan model yang tepat
untuk memperoleh gambaran menyeluruh yang holistik mengenai realitas
ekonomi menurut penelitian kualitatif yang benar adalah bukan to learn about
the people, akan tetapi to learn from the people. Dengan ini pula dapat
ditegaskan bahwa sesuatu jenis penelitian yang – diskriptif – adalah bukan
penelitian kualitatif karena masih membawa anasir yang positivistic.
Karakter utama pendekatan kualitatif ini adalah mengkedepankan
makna, konteks dan perspektif emic (Yustika, 2010:70), mementingkan
kedalaman informasi daripada cakupan penelitian. Sehingga penelitian lebih
berupa siklus dan proses pengumpulan data secara simultan. Dasar
paradigma yang diacu dalam paradigma kualitatif adalah tetap memandang
manusia bertindak rasional, namun dalam penyelesaian masalah hidup
sehari hari adalah menggunakan ”penalaran praktis” , bukan logika formal.

D. Rancangan Paradigma dalam Ekonomi Islam


1. Epistimologi Ekonomi Islam
Dalam pengkajian yang sederhana Intelektual Islam telah bersepakat
dalam Pendefinisian ilmu Ekonomi Islam bahwa ilmu Ekonomi Islam
adalah ilmu Ekonomi yang sesuai dengan syari’ah Islam, lalu jika
demikian akan muncul pertanyaan yang dipakai mazhab apa, tafsirnya
milik siapa, dan pertanyaan sejenisnya. Ilmu ekonomi Islam berdiri

8
atas paradigma yang khas. Paradigma itu mencakup al-Qur’an dan
hadits beserta sebab-sebab turunnya ditambah dengan rasionalitas
dan penelitian empiris yang terus bergerak dinamis dari teks ke
konteks atau arah sebaliknya dari konteks ke teks. Paradigma itu tentu
saja harus dalam koridor maqashidus syari’ah. Tetapi muncul
kesulitan yang dialami ketika mencoba merumuskan teori ekonomi
Islam. Hal ini yang sering dikritik, bahwa mengapa jika paradigmanya
dengan asumsi-asumsi ekonomi yang berbeda tetapi teorinya masih
sama.
Pendekatan melalui paradigma integrasi-interkonesi dalam
mencari suatu gagasan mengenai ekonomi Islam dapat digunakan
dalam menampilkan permasalahan tersebut, baik itu pada tataran
masalah epistemologi dan sifat dasar dari ilmu pengetahuan tersebut
(obyek formal maupun obyek material dalam ekonomi Islam), sehingga
menemukan arah gagasan yang jelas tentang posisi ilmu Ekonomi
Islam.
Amin Abdullah(2005:234) melihat bahwasannya kemandulan
Islam lebih disebabkan oleh tercerainya teks-teks keislaman dengan
konteks sosial, di mana corak yang populer digunakan dalam
pengkajian Islam adalah corak yang dikotomis danatomistik, oleh
karena itu corak pengkajian seperti ini harus dirubah dengan corak
pengkajian yang integrasi-interkonektif melibatkan multidisiplin
keilmuan. Upaya yang dilakukan adalah menuju reintegrasi keilmuan
atau penyatuan kembali atau yang dapat pula diartikan upaya
menerima masukan dari berbagai sisi keilmuan, menerima keberadaan
entitas lain dari ilmu yang sebenarnya berkaitan erat dengan ilmu
keislaman lalu mengintegrasikannya menjadi formula yang efektif
mengurai benang kusut berbagai masalah kekinian.

9
Paradigma interaksi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan
bahwa antar berbagai bidang keilmuan “Ekonomi Islam” tersebut
sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik
oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta
yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh
masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior,
eksklusifitas, pemilahan secara dikotomis terhadap bidang-bidang
keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik
secara psikologis maupun secara ilmiah akademis. Betapapun setiap
orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif,
bukannya pemahaman yang parsial dan reduktif. Maka dengan
menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memiliki visi integrasi-
interkoneksi. Mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan
bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat kesaling-terkaitan
antar berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi.
Kuntowijoyo (2006:55) menyatakan bahwa inti dari integrasi
adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu
Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak
mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other
worldly asceticisme). Model integrasi adalah menjadikan al-Qur’an dan
hadits sebagai grand theorypengetahuan, sehingga ayat-ayat
qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.Integrasi yang dimaksud di sini
adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan
Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua
keilmuan tersebut.
Untuk memahami hubungan antara agama dan ekonomi, orang
harus memperlajari cakupan-cakupan dan bidang kerjanya masing-
masing, dan meneliti apakah keduanya saling bertumpang tindih dan
(bila ada) dalam aspek apa. Beberapa agama melihat kegiatan-

10
kegiatan ekonomi manusia hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup
yang seharusnya dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan
makan dan minum semata. Namun sebaliknya, Islam menganggap
kegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek dari
pelaksanaan tanggung jawabnya di bumi (dunia) ini. Setiap sistem
ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan,
tujuan dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsip. Proses yang diikuti
dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan, untuk
lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem
yang bisa di uji (Monzer Kahf, 1995:5).
Suatu sistem untuk mendukung Ekonomi Islam seharusnya
diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan.
Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya
ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya
dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya.
Namun perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem
ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam
literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian yang diberkan
kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang
dikatakan membahas “Sistem Ekonomi Islam” sebenarnya hanya
berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang kadang
disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian
mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung
mengenai kajian sistem ekonomi (Monzer Kahf, 1995:6).
Pengkajian Ekonomi Islam selama ini memiliki corak yang
berbeda dengan memadukan berbagai pendekatan yang
(normatifistik-positifstik) berkaitan dengan keilmuan tersebut, artinya
ilmu Ekonomi Islam harus memberikan pembedaan antara bagian
hukum (fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalat)

11
dan ekonomi. Selama ini Ekonomi Islam cenderung dibatasi oleh
Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan
mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan
keagamaan mempunyai banyak pengaruh terhadap cakupan ekonomi
dibandingkan dengan sistem hukumnya. Ketika tidak adanya
pembedaan antara Fiqih Muamalat dan Ekonomi Islam berarti
merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur
mengenai Ekonomi Islam (Monzer Kahf, 1995:6).
Selain itu perlu adanya pengkajian sejarah dalam ekonomi
Islam sendiri karena sejarah adalah laboratorium umat manusia.
Ekonomi sebagai ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat
melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan
kecenderungan-kecenderungan jangka jauh dalam berbagai
perubahan ekonominya. Sejarah memberikan dua aspek utama
kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-
unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan Ilmu
Ekonomi (Monzer Kahf, 1995:7).
Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam akan
membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi
kontemporer, di satu pihak, dan di lain pihak, akan memberi
kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-
duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka
jangkauan lebih luas bagi konseptulisasi dan aplikasinya (Monzer
Kahf, 1995:7).
2. Pendekatan dalam Ekonomi Islam
Menurut Kuntowijoyo (2006:60), pengetahuan yang benar-benar
objektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas.
Oleh karena itu, umat Islam harus pandai-pandai memilih mana yang

12
perlu islamisasi mana yang tidak. Tidak ada kekhawatiran apapun
dengan ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Menindaklanjuti hal
yang mendasar tersebut, kiranya dapat dipinjam langkah
objektifikasinya Kuntowijoyo secara singkat dan sederhana untuk
membuat pengembangan Ekonomi Islam lebih terbuka. Oleh
Kuntowijoyo, Objektivikasi adalah penerjemahan atau konkretisasi
nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif.
Objektivikasi dapat diwujudkan melalui perbuatan rasional,
sehingga semua orang dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-
nilai dasar. Ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang tidak
beriman bila tidak meninggalkan riba dapat diobjektifkan dengan
sistem bagi hasil yang secara ekonomi lebih menguntungkan dan
secara muamalat dibolehkan. Objektifikasi sendiri sesungguhnya
berbeda dengan sekulerisasi dan objektifasi pengetahuan Barat.
Dengan strategi ini, diharapkan dari sisi Ekonomi Islam menjadi
semakin jelas dan dapat diterima oleh lebih banyak pihak.
Naqvi (2003:19) menyebutkan, ide sentral yang membatasi ilmu
Ekonomi Islam, dan yang menempatkan berbeda dengan ekonomi
(neo-klasik) positif, adalah desakan untuk memasukkan secara
eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu
framework analisis yang terpadu. Tetapi, selain menetapkan validitas
filosofis ide ini dari sudut pandang Islam, ia setidaknya harus memiliki
kemungkinan untuk dihubungkan dengan situasi-situasi kehidupan riil
agar bisa memberikan klaim validitas objektif atas pernyataan-
pernyataan spesifik tentang ilmu ekonomi Islam. Hal ini karena
pernyataan-pernyataan demikian itu, baik dari keputusan nilai maupun
faktual, dapat dibuktikan sejalan dengan “fakta-fakta” yang ada dalam
masyarakat. Untuk tujuan ini, diperkenalkan dua konsep kunci, yakni
konsep kehadiran Tuhan dan masyarakat yang hidup-riil (berbeda

13
dengan masyarakat Islam yang ideal). Kedua konsep ini pada
dasarnya merupakan proporsi empiris dalam arti bahwa secara faktual
dapat dibuktikan sebagai benar atau salah.
Nilai-nilai moral-etik yang kemudian akan menjadi unsur
pembeda dengan sisitem ekonomi yang lain, seperti kapitalisme dan
sosialisme, meskipun pada dasarnya dalam kerangka operasionalnya
semua sistem ekonomi itu menerapkan ilmu-ilmu bantu (dasar)
ekonomi yang sama, sebagaimana disebutkan di atas. Kemudian
dalam wujud konkretnya, sistem nilai etika ini dijadikan ruh bagi semua
instrumennya yang pada akhirnya akan membentuk karakter tipikal
yang membedakan dengan sistem-sistem ekonomi lainnya (Abdul
Mughits, 2007:7)
Meskipun kajian etika ekonomi ini masuk dalam wilayah
aksiologi namun penting diikutsertakan dalam kajian epistimologi
sebagai faktor pendukung dalam pencarian keabsahan eksistensi
disiplin ilmu Ekonomi Islam. Menurut Ekonomi Islam bahwa antara
dimensi etis ekonomi dan dimensi praktis (bisnis) harus dipahami
dalam pengertian integratif, tidak secara parsial. Hal ini tentunya
berbeda dengan aksioma kapitalis bahwa kegiatan ekonomi (bisnis)
itu mempunyai tujuan ekonomis, yakni keuntungan materil, sehingga
keuntungan menjadi ideologinya dalam berbisnis, meskipun harus
mengorbankan nilai-nilai moral-etik (Abdul Mughits, 2007:8). Dalam
ekonomi Islam, nilai-nilai etika yang dimaksud seperti kesatuan (unity),
equilibrium (keseimbangan atau keadilan),kebebasan yang terbatas
pada hak orang lain, pertanggungjawaban,kebajikan dan kejujuran.
Terkait penjelasan di atas, Ugi Suharto(2005:42-53)
menyatakan bahwa ekonomi Islam tidak bisa begitu saja terlepas dari
ekonomi konvensional. Paradigma ekonomi konvensional akan tetap
berfungsi dalam membentuk paradigma Ekonomi Islam dan

14
pelaksanaannya. Teori-teori ekonomi konvensional, baik yang mikro
maupun makro, akan tetap terpakai dalam diskursus Ekonomi Islam.
Dalam melakukan proses islamisasi ekonomi perlu mengambil tiga
bentuk pendekatan yang adil terhadap ekonomi konvensional. Adapun
pendekatan tersebut adalah:

a. Pendekatan menolak (negation). Maksudnya bahwa tidak semua


paradigma ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam
Ekonomi Islam. Sebagian paradigma ekonomi konvesional,
bahkan mungkin bagian yang paling fundamental, harus ditolak
dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran Islam.
b. Pendekatan memadukan (integration). Selain menolak yang tidak
sesuai, Islam juga megakui kebaikan-kebaikan yang ada pada
sistem lain. Ekonomi konvensional yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam mesti diterima oleh ekonomi Islam. Karena
integralisme merupakan salah satu unsur dari islamisasi.
c. Pendekatan menambah nilai (value addition). Ekonomi Islam
mampu memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Pada tataran ini peranan
islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus
Islam yang tidak ada pada ekonomi konvensional.

15
E. Kesimpulan
Dari sejak kelahiran dan perkembangan selanjutnya dari ekonomi islam,
tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi islam tiak lepas dari nilai-nilai.
Sehingga penelitian ekonomi islam tidak dapat didasarkan kepada filsafat
ilmu yang bebas nilai.
Prinsip utama yang perlu disepakati dari sejak awal, bahwa ilmu ekonomi
itu memiliki genetic ilmu sosial dan sama sekali bukan turunannya ilmu
eksakta. Artinya, permasalahan ilmu ekonomi adalah menyangkut pada
fenomena manusia, bukan tentang fenomena alam, bukan setara dengan
persoalan makhluq hidup semacam binatang atau tumbuh tumbuhan, apalagi
diperlakukan seperti barang.
Konsep Paradigma integratif-interkonektif mesti terus memperbarui
keilmuan ekonomi islam, di mana dialog antar disiplin ilmu akan semakin
memperkuat keilmuan ekonomi Islam dalam menghadapi tantangan zaman
dengan segala kompleksitas yang ada. Kegiatan ekonomi manusia menurut
sistem dalam Islam merupakan salah satu bagian yang diatur dalam kegiatan
muamalat. Akan tetapi, akidah, akhlak dan syari’ah merupakan satu kesatuan
yang saling melengkapi. Hal inilah yang merupakan letak dari ke-universal-an
Islam. Oleh karena itulah maka salah satu tujuan pengembangan ekonomi
dalam Islam yang ingin dicapai adalah transformasi masyarakat yang
berbudaya islami. Nilai-nilai Islam harus "ter-internalisasi" dalam kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain, Islam menjadi budaya masyarakat. Lebih
jelasnya, seluruh pihak yang terkait dengan perkembangan ilmu Ekonomi
Islam harus mampu menampilkan produk ilmu Ekonomi Islam yang terbuka,
tidak bebas nilai, dan bermanfaat bagi umat untuk seluruh umat tanpa
memandang corak agama, bangsa, kulit maupun etnis (rahmatan li’alamin).

16
Daftar Pustaka

Bagir, Zainal Abidin, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Intepretasi dan Aksi,
Bandung: Mizan, 2005
Hardiman, Bambang, Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar
Offset, Yogyakarta 2002
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika,
cetakan II, Jakarta: Tiara Wacana, 2006.
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam), alih bahasa Machnun Husein, cetakan I, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
Muslih, Mohammad, FilsafatIlmu: kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Penerbit Belukar, Yogyakarta 2010
Mughits, Abdul, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M.
Abdul Mannan),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI)
Volume.1. No.2, Juni 2007.
Muhadjir, Baca Noeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake
Sarasin, Yogyakarta 2000
Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M.
Saiful Anam, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Suharto, Ugi, “Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi
Islam,” sebuah makalah yang disampaikan dalam Studium Generale
Forum Studi Ekonomi Islam, UIN Sunan Kaliaga, April 2005.
Suriasumantri, J.S. ,Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan, (Jakarta 1999).
Mikhael dua, filsafat ekonomi:upaya mencarikesejahteraan bersama Penerbit
Kanisius, Yogyakarta: 2008
Yustika, Ahmad erani, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi.
Bayumedia Publishing, Malang: 2010.
Suharto, Ugi, “Paradigma Ekonomi Konvensional dalam Sosialisasi Ekonomi
Islam,” sebuah makalah yang disampaikan dalam Studium Generale
Forum Studi Ekonomi Islam, UIN Sunan Kaliaga, April 2005.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai