Anda di halaman 1dari 14

1.

Kemitraan Pemerintah dan Swasta ( KPS )

Kemajuan suatu daerah tidak terlepas dari adanya kerjasama pemerintah,


swasta dan masyarakat. Pemerintah dengan keterbatasanya belum tentu dapat
melakukan sendiri dalam meningkatkan pembangunan di semua sektor. Hal ini
bukan saja terkait dengan pendanaan, akan tetapi juga berkaitan dengan kesiapan
dalam pelaksanaan program dan kegiatan.

Pembangunan di era globalisasi yang begitu cepat menuntut pelayanan


publik untuk dapat memenuhi harapan masyarakat yang kebutuhannya. Untuk itu
diperlukan kerjasama yang baik antara sektor publik, yaitu pemerintah dan swasta
sebagai penggerak ekonomi, yang dapat diformulasikan ke dalam Kemitraan
Sektor Publik dan Swasta yang dikenal dengan istilah Public Private Partnerships
( PPP ).

Kerjasama pemerintah dan swasta atau yang disingkat dengan KPS adalah
suatu kerjasama dalam penyediaan infrastruktur suatu daerah. KPS, dapat
diterjemahkan sebagai sebuah perjanjian kontrak antara swasta dan pemerintah,
yang keduanya bergabung bersama dalam sebuah kerjasama untuk menggunakan
keahlian dan kemampuan masing-masing untuk meningkatkan pelayanan kepada
publik dimana kerjasama tersebut dibentuk untuk menyediakan kualitas pelayanan
terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik.

Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam skema public private


partnership memiliki berbagai bentuk dan tidak ada satupun model yang persis
sama dengan model lainnya. Dalam prakteknya merupakan kombinasi dari fungsi-
fungsi berikut :

1. Design-Build-Finance-Operate (DBFO). Model ini merupakan bentuk


paling umum dari PPP. Model ini mengintegrasikan empat fungsi dalam
kontrak kemitraan mulai dari perancangan, pembangunan, pembiayaan
hingga pengoperasian. Penyediaan infrastruktur publik dibiayai dari
penghimpunan dana swasta seperti perbankan dan pasar modal. Penyedia
akan membangun, memelihara dan mengoperasikan infrastruktur untuk
memenuhi kebutuhan sektor publik. Penyedia akan dibayar sesuai dengan
layanan yang diberikan untuk suatu standar kinerja tertentu sesuai kontrak.
2. Design-Build-Operate (DBO), merupakan salah satu variasi model DBFO.
Dalam model ini, pemerintah menyediakan dana untuk perancangan dan
pembangunan fasilitas publik. Setelah proyek selesai, fasilitas diserahkan
kepada pihak swasta untuk mengoperasikannya dengan biaya pengelolaan
ditanggung oleh pihak swasta

Dalam kerangka kebijakan, kemitraan merupakan prinsip ke 11 dari good


governance versi Bappenas, yaitu kemitraan dengan dunia usaha swasta dan
masyarakat ( private and civil society partnership). Menurut Bappenas, dalam
Modul Penerapan Prinsip – Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik ( Bappenas
2007 : 105 ) , kemitraan harus didasarkan pada kebutuhan rill (demand driven).
Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena mengalami hambatan birokratis (red
tape) seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk izin dan kemudahan lainnya.

Indikator minimal yang diperlukan adalah pemahaman aparat pemerintah


tentang pola-pola kemitraan, lingkungan yang kondusif bagi masyarakat kurang
mampu (powerless) untuk berkarya, terbukanya kesempatan bagi masyarakat /
dunia usaha swasta untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum,
pemberdayaan institusi ekonomi lokal/ usaha mikro, kecil dan menengah.
Sedangkan perangkat pendukung indikatornya adalah peraturan - peraturan dan
pedoman yang mendorong kemitraan pemerintah - dunia usaha swasta –
masyarakat, peraturan yang berpihak pada masyarakat kurang mampu, serta
adanya program – program pemberdayaan.

Beberapa pertimbangan pengembangkan kemitraan ( Kariem, 2003 :16 ) :


1. Efisiensi dan kualitas, dimana kemitraan merupakan sarana untuk
meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat. Hal ini dibangun melalui penyertaan modal
ataupun bentuk kontrak (contracting out).
2. Efektivitas, dimana setiap organisasi dalam rangka mencapai
tujuannya dituntut untuk semaksimal mungkin sesuai dengan yang
telah ditetapkannya (efektif) dan dengan menggunakan sumber
daya sekecil-kecilnya (efisien). Namun apabila terjadi dinamika
internal misalnya, menonjolnya kepentingan pribadi (vested
interest) dari para anggota organisasi dalam menjalankan
tugasnya, keterbatasan kemampuan pelaksana, dan konflik
antar anggota, maka harus dilakukan monitoring dan pengendalian.
3. Memacu dinamika organisasi, dimana dengan membuka kesempatan
bagi masyarakat untuk menjadi mitra, kerjasama pemerintah maka
akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat.
4. Membagi resiko dan keuntungan (risk and benefit sharing) dengan
mitra kerjanya. Selain juga menciptakan keuntungan bagi kedua
belah pihak.

Indikator yang dapat dipakai yang cenderung mengikat dalam kemitraan


antara pemerintah dan swasta menurut Agenda 21 Sektoral – Indikator
Pembangunan Berkelanjutan ( Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2000:36 )
antara lain adalah : (1) rasa saling menghargai dan memahami misi dan mandat
masing – masing, (2) kepedulian terhadap mitra yang lemah, (3) komunikasi yang
jelas dan lancar, (4) transparansi dalam pengambilan keputusan. Selain itu peran
swasta juga dapat dipantau melalui hal – hal : (1) menjaga ekonomi pasar yang
kompetitif, (2) mengundang investor dalam dan luar negeri, (3) menciptakan
lapangan kerja, (4) mengawasi jalannya pemerintahan dalam pelayanan kepada
usaha swasta, (5) peduli terhadap masalah lingkungan dan manusia.

Saat ini kerjasama pemerintah dengan swasta yang populer di Indonesia


dengan istilah KPS dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan
berikut, yaitu :
1. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
2. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
3. Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur;
4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur;
5. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

2. Teori Kemitraan

Secara Teori inti dari KPS adalah keterkaitan yang berkelanjutan


(kontrak kerjasama jangka panjang) dalam pembanguann proyek untuk
meningkatkan pelayanan umum. Terminologi kerjasama ( partnership ) atau
kemitraan, lazim digunakan untuk menggambarkan sebuah jalinan kerja antara
dua atau lebih individu / organisasi untuk memproduksi suatu barang (goods)
atau memberikan suatu pelayanan jasa (service delivery) ( Kariem, 2003:12 ).
Pakar lain (Savas, 1988; Donahue, 1992) menambahkan bahwa kemitraan sering
juga dilihat sebagai proses peningkatan kualitas layanan atau produk dengan atau
tanpa penurunan beban biaya (increasing quality of service and reducing cost).
Dengan demikian kemitraan dapat memainkan peran yang signifikan dalam
menciptakan sebuah nilai yang terbaik di mana proses peningkatan
mutu diharapkan terjadi dengan tanpa menambahkan beban biaya.

Dasar Pemikiran Kemitraan (partnership) pada dasarnya berada dalam


argumen tentang peran dan posisi negara dalam relasi (hubungan) negara (State)
dan masyarakat (Society). Penjelasan terhadap hubungan (relasi) ini adalah
pembicaraan paling klasik dalam pengetahuan Ilmu Sosial. Hal ini jelas terlihat
karena konsep ini telah dibicarakan sejak tahun 1800-an (Hintze dalam Peirson,
1996: 64), yaitu:

1. Perspektif Pasar (market system) yang dapat ditelusuri dalam teori


ekonomi klasik dari Adam Smith (1723-1790) sampai New public
Management dalam karya David Osborne (1992). Dalam perspektif ini
bermula dari pemisahan tegas atau tidak ada hubungan sama sekali antara
negara dengan masyarakat (baik dalam bentuk privat maupun komunitas)
sampai pandangan yang mengarahkan pelibatan negara dalam urusan pasar
yang dikemukakan Keyness (1883-1946, dalam Staniland, 1985: 16-18)
dan perubahan manajemen negara untuk beroperasi seperti perusahaan
privat.
2. Perspektif Demokrasi yang dapat ditelusuri dalam teori Democratic
Administration sejak Max Weber ( Ostrom, 1973) sampai New Public
Services dalam karya Denhardt and Denhardt (2003).

Bell dan Watkins (1996) yang menyebutkan bahwa Partnership atau


kemitraan tersebut berada dalam ruang pembatasan 4 tipologi hubungan
interorganisasi, yaitu: a. Kompetisi, b.Kooperasi, c. Koordinasi, d. Kolaborasi.
Menurut Jamal dan Getz (1995 dalam William, 2005) yang diperlukan dalam
partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi (kerjasama) dalam jangka pendek.
Substansi kolaborasi dalam kemitraan (partnership) ini tidak sepenuhnya mudah
dijelaskan batasannya.

Kolaborasi sudah mencakup jejaring hubungan antara pemerintah, privat


(perusahaan) dan NGO yang mempunyai perbedaan tipe kegiatan kolaborasi
dengan kegiatan interorganisasional lain yang didorong oleh pasar dan mekanisme
kontrol hirarki. (Lawrence et al, 2002; Powell, 1990; Imperial, 2005).

Mahmud (2001) dalam kajiannya tentang organisasi kerjasama Shanghai,


menunjukkan bahwa kemitraan (partnerhsip) merupakan suatu model kerjasama
baru. Model ini berbeda dengan aliansi strategik. Konsep partnership mempunyai
pengertian yang berbeda dia mendasarkan keseimbangan kekuasaan antar
partisipan. Dengan pendekatan ini Shanghai Cooperation Organization lebih
banyak membuat partnership daripada melakukan perluasan organisasi.

Salah satu model kemitraan (partnership) hubungan pemerintah, swasta


dan masyarakat dikemukakan oleh Savas (2000). Dalam bukunya Privatization,
berdasarkan jenis dan sifat barang, Savas membedakan penyediaan barang publik
dapat dilakukan melalui privatisasi di mana pemerintah melibatkan pihak swasta
dan masyarakat.

Kemitraan Pemerintah Swasta merupakan kerjasama pemerintah dan


swasta, dimana sektor swasta menyediakan modal investasi penting dalam
penanganan penyediaan prasarana skala besar (Soesilo, 2000). Masuknya sektor
swasta, maka persaingan akan lebih tumbuh, efisiensi diperkirakan akan lebih
baik dan pelayanan dapat lebih bervariasi (Ibid). Sektor swasta memang
terkondisikan untuk bekerja secara efektif dan efisien dengan struktur organisasi
dan personil yang tidak kaku, dimana hal tersebut tidak ditemukan dalam
lingkungan kerja instansi pemerintah (Rukmana, 1993).

Sektor swasta telah terbukti banyak membantu pemerintah terutama dalam


penyediaan infrastruktur di negara-negara yang sedang berkembang. Sisi lain dari
aspek peran serta sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur adalah prinsip
kepentingan swasta dalam menjalankan usaha, dimana modal besar yang
diinvestasikan tentu harus ada jaminan kepastian pengembalian dengan
keuntungan yang memadai (Hindersah, 2003). Prinsip profit oriented ini
seringkali berbenturan dengan kepentingan pemerintah yang lebih bersifat social
kemasyarakatan.

Pendekatan Kerjasama Pemerintah Swasta (public private partnership)


dipandang penting untuk memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana dasar
perkotaan dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.Mengingat
keterbatasan kemampuan pemerintah, baik berupa keterbatasan sumber daya
keuangan dan sumber daya manusia maka keterlibatan sector privat penting dalam
urusan public untuk memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan
dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.

3. Kemitraan Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan

Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan mendasar di


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya
berdampak pada sistem penyelenggaraan pemerintahan tetapi berdampak pula
terhadap kebijakan-kebijakan dalam pembangunan daerah, termasuk pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya. Dalam pembangunan daerah dijumpai tiga
komponen yang memiliki peran signifikan, yaitu Pemerintah, Swasta dan
Masyarakat.

Tingkat keterlibatan berbagai komponen tersebut akan terbagi ke dalam


berbagai variasi fungsi dan peran. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan
kepentingan yang beragam pula. Karena perbedaan itulah maka diperlukan
koordinasi yang baik antara komponen dalam meningkatkan proses
pembangunan. Berkaitan dengan reformasi pembangunan, terutama dengan
adanya kebijakan otonomi daerah maka pembangunan daerah lebih diarahkan
pada bagaimana pembanguan daerah tersebut dapat mandiri sesuai dengan potensi
dan karakteristik daerahnya sendiri.

Pelaksanaan otonomi daerah yang disertai dengan berbagai kewenangan di


dalamnya termasuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sangat rawan
terhadap terjadinya konflik. Otonomi daerah akan dapat berjalan dengan baik
apabila memiliki persepsi dan pandangan yang sama terhadap kebebasan dan
kewenangan daerah. Perbedaan persepsi antar komponen terhadap kewenangan
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah akan tetap menjadi salah satu pemicu
timbulnya konflik di antara mereka. Sedangkan konflik antara pemerintah dan
swasta disebabkan oleh perbedaan kehendak dan kepentingan masing-masing.

Adapun beberapa keuntungan pemerintah dalam menjalankan kemitraan


dalam pelaksanaan program/kegiatan pembangunan:
1. Meningkatkan perasaan memiliki pada masyarakat terhadap suatu
program.
2. Mengurangi hambatan terhadap inovasi program dan membantu
penyebaran informasi.
3. Mengurangi ketergantungan terhadap faktor eksternal.
4. Program yang menekankan masyarakat cenderung sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
5. Sharing risk dalam arti segala resiko ditanggung bersama antara
komponen.
6. Sharing dana sehingga ketergantungan APBD jadi berkurang.
7. Merealisasikan pemerintah berdasarkan prinsip good governance dan
clean governance.

Kebijakan kemitraan saat ini hanya terbatas pada penyediaan infrastruktur,


sedangkan bidang lainya seperti Pengembangan Ekonomi Lokal dan berbagai
jenis layanan pblik belum tersentuh regulasi yang mengatur kerjasama antara
Pemerintah dan Swasta. Corporate Social Responsibility sebagai salah satu bentuk
kemitraan dalam perjalannya masih banyak menghadapi kendala, di antaranya
adalah:
1. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat
2. Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM
3. Belum adanya aturan jelas dalam pelaksanaan CSR Di kalangan
perusahaan.

Kemitraan Pemerintah Daerah dan Swasta dilaksanakan dengan tujuan


untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-
hasil pembangunan. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dala rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketergantungan Kabupaten/Kota terhadap dana
perimbangan dari pusat masih tinggi. Hal ini terlihat sangat jelas pembangunan
yang berlangsung di daerah dapat berjalan lancar apabila dana dari pusat sudah
cair dan dibagikan.
Kemitraan dapat berjalan dengan baik, apabila kemitraan pemerintah dan
swasta berlangsung dengan kaidah (prinsip dasar dan landasan) kerjasama. Yaitu:

1. Kesetaraan berarti saling memiliki kepercayaan penuh, saling menghargai,


saling menghormati, saling mengakui kemampuan dan wewenang masing-
masing.
2. Keterbukaan berarti saling percaya, jujur dan tidak ada kerahasiaan serta
yakin akan komitmen masing-masing.
3. Komitmen berarti kerjasama yang harmonis, kolaborasi yang serasi, serta
koordinasi yang baik dan jauh dari unsur-unsur tekanan. Komitmen juga
merupakan kunci keberhasilan dalam kemitraan.
Pembangunan daerah di Indonesia yang mengenal keragaman sepatutnya
menerapkan kebijakan pasrtisipatif melalui pembangunan dialog. Artinya
dalam melakukan pembangunan tersebut perlu berbasis jejaring kemitraan
dengan memperhatikan lokalitas dalam bingkai proses komunikasi multi
pihak, bukan pendekatan birokrasi. Partisipasi otonom merupakan model
kemitraan yang perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dimana keterlibatan dunia usaha didasarkan
karena partisipasi mandiri bukan karena mobilisasi pemerintah daerah.

4. Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Pengembangan Listrik di


Kabupaten Ende.

Peran swasta di sektor publik bukan merupakan hal baru dalam


pembangunan infrastruktur, tetapi isu ini menjadi menarik karena menjadi tren di
berbagai negara dalam satu dekade terakhir.  secara nasional, konsep ini menjadi
populer ketika pemerintah menyelenggarakan indonesia infrastructure summit i
pada awal tahun 2005. beberapa proyek pemerintah seperti jalan tol, pengelolaan
air minum, listrik dan telekomunikasi ditawarkan kepada swasta sebagai proyek
kerjasama. Bahkan di tingkat lokal, beberapa daerah melibatkan pihak swasta
dalam berbagai proyek infrastruktur mereka.  

Upaya melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek pemerintah bukan


tanpa alasan kuat. Ide ini terutama dilandasi oleh pemikiran bahwa pemenuhan
infrastruktur publik memerlukan dana yang besar. Sementara, kebutuhan
infrastruktur terus meningkat baik karena pertambahan penduduk maupun untuk
penggantian infrastruktur lama yang telah usang. Jika pembangunan hanya
mengandalkan dana yang bersumber dari pemerintah, maka usaha menyediakan
infrastruktur yang layak akan sulit diwujudkan. Pada akhirnya, negara/daerah
menjadi semakin tidak kompetitif karena tidak mampu menyediakan infrastruktur
secara memadai.

Kemitraan pemerintah dan swasta di Indonesia telah ditetapkan oleh


Presiden. Presiden Jokowi Izinkan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Bangun Infrastruktur. Dengan pertimbangan untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dalam Perpres ini disebutkan, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat
bekerjasama dengan Badan Usaha (BUMN, BUMD, swasta, badan hukum asing,
atau koperasi) dalam Penyediaan Infrastruktur.

“Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan


Infrastruktur dilakukan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
(KPBU) berdasarkan ketentuan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden ini,” bunyi Pasal 2 Ayat (2) Perpres tersebut. KPBU, menurut Perpres
ini, dilakukan berdasarkan prinsip Kemitraan, Kemanfaatan, Bersaing,
Pengendalian dan pengelolaan risiko, Efektif, dan Efisien.
Energi listrik adalah energi yang berasal dari muatan listrik yang
menyebabkan medan listrik statis atau gerakan elektron dalam konduktor
(pengantar listrik) atau ion (positif atau negatif) dalam zat cair atau gas. Energi
listrik dinamis dapat diubah menjadi energi lain dengan tiga komponen dasar,
sesuai dengan sifat arus listriknya. Manfaat energi listrik bagi kehidupan manusia
sehari-hari sangatlah banyak seperti belajar, memasak, bekerja. Jika anda lihat
secara lebih jelas kehidupan manusia sudah sangat bergantung pada listrik.
Berikut ini ada beberapa manfaat atau kegunaan listrik dalam kehidupan manusia
sehari hari :
1. Untuk penerangan saat malam menjelang, malam hari kita menjadi lebih
terang dengan sinar lampu yang menggunakan listrik dari PLN.
2. Untuk sumber energi, listrik berguna untuk menghidupkan berbagai alat
rumah tangga dan kantor serta peralatan elektronik lainnya.
Kabupaten Ende adalah sebuah kabupaten di Pulau Flores, provinsi Nusa
Tenggara Timur, Indonesia. Luas kabupaten ini ialah 2.046,6 km² dan populasi
238.040 jiwa. Ibukotanya ialah Kota Ende.

Batas wilayah kabupaten Ende yaitu: Batas Wilayah Kabupaten Ende :


 Sebelah Utara Kabupaten Ende Berbatasan Dengan Laut Flores Di
Nangaboa Dan Di Ngalu Ijukate
 Sebelah Selatan Kabupaten Ende Berbatasan Dengan Laut Sawu Juga Di
Nangaboa Dan Di Ngalu Ijukate
 Sebelah Timur Kabupaten Ende Berbatasan Dengan Kabupaten Sikka Dari
Pantai Utara Nangambawe, Hangamanuria Ke Arah Selatan Dan Di Ngalu
Ijukate
 Sebelah Barat Kabupaten Ende Berbatasan Dengan Kabupaten Ngada Dari
Pantai Utara Di Nanganiohiba Ke Arah Tengah Utara, Wuse Ke Arah Tengah
Selatan, Sanggawangarowa Menyusur Kali Nangamboa Ke Arah Pantai
Selatan Dan Di Nangamboa.
Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Pengembangan Listrik di
Kabupaten Ende terlihat sangat jelas dan transparan. Hal ini bukan saja
pelaksanaan proyek yang sudah berjalan dan sudah dirasakan oleh masyarakat
namun adanya koordinasi dan kemitraan yang sangat baik antara Pemerintah dan
Swasta.
Dijelaskan bahwa terdapat potensi energi di Kabupaten Ende, diantaranya
ada tiga potensi energi utama yang dimiliki; pertama, PLTU Ropa, sebesar 2,7
MW dengan operasi sebesar 1,7 MW; kedua, PLTMH 2 MW, beroperasi 1,2 MW;
ketiga, PLTD 5 MW (mesin tua 1990-an dan sering macet). Sementara potensi
panas bumi, memiliki lima titik; pertama, panas bumi Mutubusa di Desa Sokoria
Kecamatan Ndona Timur; Kedua, Panas Bumi Lasugolo di Desa Unggu
Kecamatan Detukeli; ketiga, Panas Bumi Detusoko di Keluarahan Detusoko
kecamatan Detusoko; keempat, Panas Bumi Jopu, di Desa Jopu Kecamatan
Wolowaru; kelima, Panas Bumi Komandaru di Desa Ria Raja Kecamatan Ende.
Kemitraan pemerintah dan swasta dalam mengembangkan listrik di
kabupaten ende ditandai dengan adanya perjanjian antara PLN dengan Pt. Indo
Solusi Utama yang diketuai oleh Rici Candra Perwira, untuk pembangunan
pembangkit listrik swasta (ipp) plts 2 x 1 mwp ende-ropa-maumere.
Kekuatan listrik PLTU Ropa mencapai 7 megawatt (MW). Dalam waktu
dekat yang akan dipakai baru 1 MW. Dari penggunaan listrik PLTU Ropa untuk
satu MW diperkiraan hemat Rp 50 juta/ hari. Jika suatu saat 7 MW listrik asal
PLTU Ropa bisa dimanfaatkan maka PLN Ende bisa menyetop penggunaan BBM
sebab kebutuhan listrik Kabupaten Ende saat ini mencapai kurang lebih 7,7
Megawatt.
Kemitraan pemerintah dan swasta dalam pengembangan jaringan listrik di
Kabupaten Ende, sudah berjalan dengan baik dan lancar hanya tinggal menunggu
waktu untuk dimanfaatkan yang sisanya dan disebarkan ke semua daerah di
kabupaten Ende. Hal ini juga sebagai jalan untuk meminimalisirkan masalah
keterbatasan anggaran pemerintah, sementara kebutuhan masyarakat akan listrik
semakin tinggi. Selain itu keterlibatan atau partisipasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur jaringan listrik merupakan bentuk tanggungjawab dan kontribusi
sektor swasta dalam pembangunan di daerah. Pihak swasta tidak saja mencari
keuntungan dari hasil investasinya, tetapi swasta memiliki tanggungjawab untuk
menyejahterakan masyarakat.

Daftar Pustaka
Pusat Kajian Administrasi Internasional-Lan. (2009). Kemitraan Pemerintah Dan
Swasta

Rohmad Zaini, Sudarmo, Liestyasari Siany. 2009. Kebijakan Kemitraan Publik,


Privat Dan Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata (Studi
Tentang Kebijakan Kemitraan Dalam Pengembangan Pariwisata Di
Malang Raya).

Uji Yanti Andi, Kemitraan Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan


Bandara Swadaya Sangia Nibandera Kabupaten Kolaka. Pemerintah
Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia.

https://diniindahsaraswati.wordpress.com/2015/11/01/proyek-kerja-sama-
pemerintah-swasta/. (Diakses 2 maret 2017. 18.00 p.m)
http://dppka.kerincikab.go.id/node/1975. (Diakses 2 maret 2017. 18.00 p.m)
http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/10/10/1375/pemkab.ende.sambut.baik.flores.seb
agai.pulau.panas.bumi. (Diakses 2 maret 2017. 18.00 p.m)

Anda mungkin juga menyukai