Ana Latifah
e-mail : analatifah916@gmail.com
Budaya merupakan kebiasaan, literasi adalah kemampuan membaca atau menulis. Jadi,
budaya literasi adalah kebiasaan membaca atau menulis yang dilakukan terus-menerus
dengan tujuan mendapatkan pengetahuan atau informasi. Budaya literasi di Indonesia sedang
berada pada titik mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kita perlu melakukan upaya-upaya yang
dapat meningkatkan budaya literasi terutama di kalangan peserta didik. Rendahnya minat
baca dan kurang tertariknya peserta didik pada bidang sastra menjadi salah satu alasan utama
peserta didik tidak suka berliterasi (Nugraheni, 2020).
Di Indonesia, literasi sudah menjadi budaya apalagi di bidang pendidikan. Bidang pendidikan
mengaplikasikan budaya literasi ini pada jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah menengah atas. Namun kenyataannya budaya literasi di kalangan peserta didik dalam
kondisi mengkhawatirkan. Rendahnya minat baca membuat peserta didik seringkali tidak
menghiraukan adanya keberadaan budaya literasi. Budaya literasi dimasukkan ke dalam
proses pembelajaran karena dinilai sangat mampu membantu peserta didik meningkatkan
pengetahuannya (Nugraheni, 2020).
Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu
fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65
negara. Akan tetapi, tidak ada diskusi panjang di media mengkritisi fenomena ini. Tidak ada
dialog dengan mengundang berbagai pakar untuk membahasnya. Tidak ada. Data itu hanya
dibaca sebagai berita setengah menit yang berlalu begitu saja. Para politisi kita juga
kelihatannya tidak ada yang tertarik untuk menunjukkan kepeduliannya (Permatasari, 2015).
Saat ini banyak negara sedang membicarakan pengaruh literasi terhadap tingkat kesejahteraan
rakyatnya. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca
dan menulis. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas. Ada bermacam-macam literasi,
misalnya: literasi perpustakaan, literasi hukum, literasi komputer, literasi media, literasi
teknologi, literasi ekonomi, literasi informasi, literasi matematika, bahkan ada literasi moral.
Jadi, literasi dapat diartikan melek, yaitu melek hukum, melek teknologi, melek informasi,
berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Inti literasi yaitu
kegiatan membaca-berpikir-menulis (Suyono, 2009).
Data hasil survei UNESCO (2012) menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia
baru 0,001 persen. Artinya, dalam seribu masyarakat hanya ada satu masyarakat yang
memiliki minat baca, sehingga Indonesia dianggap tertinggal jauh dibandingkan dengan
Negara-negara lain (ASEAN).
Data ini juga menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia termasuk rendah. Namun
demikian, masih banyak para ahli di bidang literasi yang meyakini jika minat baca
masyarakat Indonesia sebenarnya tinggi, hanya saja akses baca serta minimnya taman bacaan
dan buku yang berkualitas menjadi faktor lain yang berakibat pada rendahnya minat baca
masyarakat (Muslimin, 2020).
Generasi saat ini memiliki alasan mengapa buku bukan menjadi satusatunya bahan bacaan
Remaja berasumsi bahwa ilmu pengetahuan bisa didapat dan diakses dengan mudah lewat
telepon genggam yang super ajaib menurut mereka. Lihat saja senyatanya, generasi sekolah
hanya sibuk bermain media sosial dan terbuai dengan segala aktivitas dunia maya yang
seolah merenggut waktu-waktu terbaik untuk membaca hal-hal yang bermanfaat baik
(Suragangga, 2017).
Pembudayaan kegemaran membaca dalam keluarga melalui fasilitas buku murah dari
pemerintah sudah bisa dirasakan sejak tahun 2008 silam. Melalui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, pemerintah secara bertahap telah membeli hak cipta (Copy Right) penulis
buku teks pelajaran dari mulai tingkat SD sampai tingkat SLTA. Setelah membeli dan
memeriksa isi, pemerintah selanjutnya mengunggah soft file buku tersebut di website
kemendikbud. Masyarakat boleh mencetak, menggandakan, dan memperjualbelikan dengan
catatan harus sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi yang tercantum di cover belakang buku.
Salah satu penunjang kegiatan membaca di sekolah adalah dengan adanya perpustakaan.
Sejak dulu sampai saat ini perpustakaan telah menjadi pusat sumber belajar di suatu lembaga
pendidikan, dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat pendidikan tinggi, perpustakaan
menjadi tempat yang wajib adanya. Karena di sanalah buku-buku yang menjadi sumber
belajar pokok maupun penunjang tersimpan dan tertata.
Dengan adanya perpustakaan tersebut sudah semestinya dapat meningkatkan budaya baca
para murid di sekolah, karena apapun yang ingin diketahui oleh murid setidaknya dapat
ditemukan di perpustakaan. Namun pada kenyataannya, masih banyak perpustakaan di
sekolah-sekolah tertentu tidak begitu berpengaruh keberadaannya terhadap peningkatan
budaya baca para muridnya. Khususnya perpustakaan-perpustakaan yang ada pada satuan
pendidikan dasar. Kenapa demikian? Karena pengelola perpustakan di Sekolah Dasar (SD)
biasanya harus bebagi tanggung jawab dengan profesi pokoknya sebagai guru. Dengan kata
lain, pustakawan di SD adalah juga merupakan guru di SD tersebut (Nurfadhilah, 2020).
Ketersediaan buku-buku yang bermutu adalah hal yang sangat penting untuk
mengoptimalkan peran perpustakaan sekolah. Bangunan perpustakaan yang bagus dan luas
tidak akan berpengaruh apa-apa kalau di dalamnya tidak ada buku-buku yang bermutu.
Bermutu disini sangatlah relatif, sesuai dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan dimana
perpustakaan tersebut berdiri.
Meskipun di masa kini banyak perpustakaan sekolah yang membuka ruang secara online bagi
para pembaca di dunia maya, namun tidak semua pelajar dapat masuk dan menikmati fasilitas
yang telah terhubung dengan jaringan tersebut. Maka perpustakaan sebagai sebuah ruangan
nyata yang banyak menyimpan berbagai macam koleksi buku tetap menjadi pilihan utama.
Oleh karenanya, tempat yang nyaman, tata letak lemari dan pajangan yang tidak
membosankan untuk dipandang mata adalah hal yang harus diperhatikan. Ruangan yang
diciptakan seperti suasana di dalam rumah atau kamar sendiri tentu menjadi nilai plus bagi
perpustakaan tersebut.
Perpustakaan Sekolah harus merancang program yang kreatif guna meningkatkan kegemaran
murid dalam membaca buku. Contohnya adalah dengan diadakannya lomba menulis, entah
itu menulis cerpen, novel, puisi, artikel atau resensi yang semuanya itu berhubungan erat
dengan dunia kepustakaan. Tentunya, murid akan semakin sering berkunjung ke
perpustakaan dikarenakan membutuhkan contoh atau referensi guna menunjang perlombaan
tersebut. Lambat laun, secara tidak langsung kegiatan semacam ini akan menjadikan siswa
lebih akrab dengan perpustakaan, khususnya dengan buku itu sendiri (Nurfadhilah, 2020).
Telah banyak studi dan hasil penelitian menunjukan anak jauh lebih banyak menghabiskan
waktu di depan ponsel untuk bermain game ketimbang membaca. Padahal membaca memberi
banyak manfaat untuk anak, antara lain: membuat anak lebih kaya perbendaharaan kosakata,
memperlancar kemampuan berbicara, menambah pengetahuan di luar yang diajarkan
orangtua dan lingkungan, menambah motivasi, meningkatkan kreativitas, serta
mempengaruhi karakter anak.
Namun sebaliknya, anak yang kesehariannya hanya diisi dengan menonton televisi dan
bermain game, mereka akan berpotensi besar tumbuh menjadi anak yang manja, egois dan
individualis. Saat ini, menumbuhkan minat baca sejak dini akan mempermudah mewujudkan
budaya baca dan tradisi anak, khususnya TK dan SD pada kemampuan membaca dan menulis
kedepannya. Hanya saja, mengimplementasikan kegiatan positif tersebut pada anak bukan
perkara mudah. Selain karena lebih cenderung kesukaannya pada digitalisasi, anak juga tidak
bisa dipaksa begitu saja untuk membaca buku (Wulandari, 2014).
Tips pertama ialah dengan menyediakan banyak bahan bacaan berupa buku, majalah, komik,
koran dan lain sebagainya yang relevan untuk anak, atau buat semacam perpustakan di
rumah. Melalui cara ini, anak telah terbiasa dekat dengan bahan bacaan dan tentunya akan
mempermudah anak dalam mengakses bacaan karena bahan bacaan itu ada di rumah. Bagi
orangtua, contohkan pada anak untuk meluangkan waktu setiap harinya agar membaca. Hal
ini dapat dilakukan ketika pagi hari sebelum berangkat kerja atau sepulang kerja ketika anak
sedang di rumah. Ini karena orangtua adalah figur pertama kali yang diidolakan anak, apabila
idolanya gemar membaca, maka anak otomatis akan menirunya (Albertus, 2020).
Jika Anda sudah meluangkan waktu untuk membaca, maka kalui ini Anda harus rajin
membacakan buku terhadap anak setiap harinya. Membacakan buku tentu yang memuat hal-
hal atau dunia anak, mulai dari imajiner maupun pengetahuan lain, tentunya disesuaikan
dengan umur anak. Intinya hal-hal yang menghibur sekaligus mendidik buah hati Anda.
Membacakan buku pada anak dapat dilakukan setelah anak selesai belajar, atau sebelum ia
tidur. Jadi, orangtua perlu menciptakan kesan bahwa membaca adalah kegiatan yang
menyenangkan untuk dilakukan.
Ketika Anda sedang bepergian, libatkan anak untuk ikut. Ajak anak Anda ke toko buku dan
ajarkan padanya tentang lebih berharga membelanjakan hasil tabungan untuk membeli buku,
daripada untuk membeli barang-barang lain yang tidak terlalu penting.
Budaya literasi sangat erat kaitannya dengan membaca karya sastra. Pada jenjang sekolah
menangah pertama dan atas, peserta didik lebih memilih bahan bacaan yang ringan dan
bahasanya mudah dimengerti. Peserta didik lebih bersemangat membaca dengan topic bacaan
yang dekat dengan dirinya, misalnya tentang pendidikan. Karya sastra yang seperti itu hanya
ada pada karya sastra populer.
SIMPULAN
Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan membaca buku, ilmu
pengetahuan akan didapatkan. Kegiatan membaca akan menambah wawasan sekaligus
mempengaruhi mental dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh besar bagi
masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran membaca ini akan membentuk budaya literasi yang
berperan penting dalam menciptakan bangsa yang berkualitas. Rendahnya minat baca pada
peserta didik tidak menjadikan halangan untuk berliterasi. Upaya-upaya peningkatan budaya
literasi dapat dilakukan dengan cara membentuk gerakan literasi sekolah (Warsihna, 2016).
Akhirnya, mari kita membangun kesadaran bersama, budaya literasi Indonesia sudah berada
dalam kondisi kritis. Kalau para pemimpin kita kelihatan begitu tenang, bahkan tidak peduli,
tampaknya sudah saatnya kelompok kelompok masyarakat sipil memperjuangkan budaya
literasi dan mengingatkan pemerintah dan elit politik agar segera mengambil kebijakan yang
efektif. Jika tidak, Indonesia akan terus terpuruk dan menjadi negara paria. Budaya literasi
adalah masalah serius.
DAFTAR PUSTAKA