Anda di halaman 1dari 24

A.

Pendahuluan
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia.
Seiring masa penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi,
baik dari struktur anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh
yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada
sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat penuaan,
yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
(DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan
insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010)
menjelaskan bahwa BPH terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di
Amerika Serikat, dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas.
Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan meningkat mencapai 20
persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta pria
(Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH
merupakan penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di
Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi
dengan kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun
penanganan dini sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen
(2007) menjelaskan bahwa pandangan stereotip yang mengatakan pria itu
kuat, akan mengarahkan pria untuk cenderung lebih mengabaikan gejala yang
timbul di awal penyakit. Pria akan menguatkan diri dan menghindari
penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri. Sementara, ketika wanita sakit,
wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha mencari perawatan
kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak kasus yang
sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu
prosedur pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering
dilakukan. Rassweiler (2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan
representasi gold standard manajemen operatif pada BPH. TURP memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur bedah untuk BPH lainnya.
Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan insisi dan
dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih aman bagi
pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi
masalah pembesaran kelenjar prostat.

B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan
berorientasi di bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak
tepat diatas fasia profunda dari diafragma urogenital. Permukaan
anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak serta
vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan
prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan
dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram
dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus
anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat
dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan
serabut fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus
anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona
besar: sentral (menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan
transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini penting secara
klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan,
dan zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.

Gambar: Pembesaran Prostat


Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk
prostat. Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan
prostat dan bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter
preprostatik. Pada tingkat veromontanium, urethra membentuk sudut
anterior 350 dan urethra pars prostatika distal bersinggung dengan zona
perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar pada individu muda,
tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif.
Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna
prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat
melalui potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan
anterior prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran
otot polos disekitar urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran
ini bergabung dengan spinkter interna dan otot detrusor dari tempat
dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini bergabung dengan
striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-
67 % dari seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal
dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral
dan zona perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik
pertemuan urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh
massa prostat. Pada zona ini asiner banyak mengalami proliferasi
dibandingkan ductus periurethra lainnya.

2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan
mulai tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar
ini mencapai ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam
kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada
beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan dengan
penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu
dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase,
kalsium dan koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan
prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersama dengan vas
deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.

C. Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai


pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung
kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra
(Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan
meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat.
Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi
atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya
akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.

D. Klasifikasi

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong


(2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

E. Etiologi

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan


bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti
usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut
selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein growth factor,
yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran prostat
juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses apoptosis. Roehrborn
(2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya karena
meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH
dapat menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya
gejala LUTS (lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri
atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom)
yang meliputi: frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia, pancaran
berkemih lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI,
2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan

F. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran
prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)
G. Tanda dan gejala

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat


digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan
urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150
cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan
gejala dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun
dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine
terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam
rectum.
b. Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam
rectum.
c. Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam
rectum.
d. Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam
rectum.
e. Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam
rectum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,
disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

H. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.

Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar


penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG,
dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH,
derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat
juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan
prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

I. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol
keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1) Mengharnbat adrenoreseptor α
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim α -2 reduktase
4) Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan
malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
1) Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan
Darah, CT, BT, AL)
2) Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh
kebanyakan lansia
3) Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
4) Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. 
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap
2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara
untuk meminimalkan masuknya udara
b. Post operasi
1) Irigasi/Spoling dengan Nacl
a) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b) Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
c) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
d) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e) Hari ke 4 post operasi diklem
f) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak
ada masalah (urin dalam kateter bening)
2) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada
masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
3) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat
injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan
minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat
oral.
4) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24
jam post operasi
5) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
6) Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak
pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar
kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk
berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat
meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
12) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai
kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus
dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
13) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda
kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda
dalam 24 jam setelah pembedahan.
14) Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang
meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan
perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan
kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang
traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.

J. Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses


keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH
adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada
kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang
disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan
darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH
yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami
oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam
memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih
inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase
kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna
urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut
terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada
postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena
efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan
dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang
harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya
nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat
penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda
infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi),
sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya
tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi
maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin
analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum,
SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar
hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar
leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
K. Pathway

L. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi


2. Retensi Urin berhubungan dengan penyumbatan uretra oleh prostat
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
4. Risiko infeksi
M. Intervensi keperawatan

Diagnosa 1 : Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi


Tujuan & Kriteria Hasil NOC
Setelah diberikan perawatan pasien akan:
Memperlihatkan pengendaian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut:
1     tidak pernah
2     jarang
3     kadang-kadang
4     sering
5     selalu
Indicator 1 2 3 4 5
Mengenali awitan nyeri
Menggunakan tindakan
pencegahan
Melaporkan nyeri dapat
dikendaikan

Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:


1     sangat berat
2     berat
3     sedang
4     ringan
5     tidak ada
Indicator 1 2 3 4 5
Ekspresi nyeri pada wajah
Gelisah atau ketegangan otot
Durasi episode nyeri
Merintih dan menangis
Gelisah

1. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk


mencapai kenyamanan
2. Mempertahankan nyeri pada ….atau kurang (dengan skala 0-10)
3. Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
4. Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
memodifikasi factor tersebut
5. Melaporkan nyeri kepada pelayan kesehatan
6. Melaporkan pola tidur yang baik

Intervensi keperawatan (NIC)


Pengkajian

1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk


mengumpulkan informasi pengkajian
2. Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10.
3. Gunakan bagan alir nyeri untuk mementau peredaan nyeri oleh analgesic
dan kemungkinan efek sampingnya
4. Kaji dampak agama, budaya dan kepercayaan, dan lingkungan terhadap
nyeri dan respon pasien
5. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan
tingkat perkembangan pasien

Manajemen nyeri:

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,


karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri dan factor presipitasinya
2. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka
yang tidak mampu berkomunikasi efektif

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus


diminum, frekuensi, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat
tersebut dan nama orang yang harus dihubungi bila mengalami nyeri
membandel.
2. Instruksikan pasien untuk menginformasikan pada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang ditawarkan
4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesic narkotik atau oploid (resiko
ketergantungan atau overdosis)

Manajemen nyeri:
1. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur
2. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (relaksasi, distraksi, terapi)

Aktivitas kolaboratif

Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(missal setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA

Manajemen nyeri:

1. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat


2. Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat
ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien
dimasa lalu

Perawatan dirumah

1. Intervensi di atas dapat disesuaikan untuk perawatan dirumah


2. Ajarkan klien dan keluarga untuk memanfaatkan teknologi yang
diperlukan dalam pemberian obat

Diagnosa 3 : Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Setelah diberikan perawatan klien akan menunjukkan:

1. Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya ringan sampai


sedang dan selau menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, diri,
koping.
2. Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas; yang dibuktikan oleh
indicator sibagai berikut:

1     tidak pernah


2     jarang
3     kadang-kadang
4     sering
5     selalu
Indicator 1 2 3 4 5
Merencanakan strategi koping
untuk situasi penuh tekanan
Mempertahankan performa peran
Memantau distorsi persepsi
Memantau manifestasi perilaku
ansietas
Menggunakan teknik relaksasi
untuk meredakan ansietas

Intervensi Keperawatan NIC


Pengkajian

1. kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik


setiap……..
2. kaji untuk factor budaya yang menjadi penyebab ansietas
3. gali bersama pasien tenteng tehnik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas dimasa lalu
4. reduksi ansietas (NIC); menentukan kemampuan pengambilan keputusan
pasien

Penyuluhan untuk pasien dan keluarga

1. buat rencana penyuluhan dengan tujuan ang realistis, termasuk kebutuhan


untuk pengulangan, dukungan dan pujian terhadap tugas-tugas yang telah
dipelajari
2. berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia, seperti
teman, tetangga, kelompok swabantu, tempat ibadah, lembaga
sukarelawan dan pusat rekreasi
3. informasikan tentang gejala ansietas
4. ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan panic
dan gejala penyakit fisik

penurunan ansietas (NIC);

1. sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, terapi dan prognosis


2. instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi
3. jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dialami selama
prosedur

Aktivitas kolaboratif
penurunan ansietas (NIC); berikan obat untuk menurunkan ansietas jika perlu

Aktivitas lain
1. pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan
berikan ketenangan serta rasa nyaman
2. beri dorngan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran
dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
3. bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara untuk
mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi
ansietas
4. sediakan pengalihan melaui televise, radio, permainan serta terapi okupasi
untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus
5. coba teknik seperti imajinasi bombing dan relaksasi progresif
6. dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta izinkan
pasien untuk menangis
7. yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara
verbal dan nonverbal secara bergantian
8. sediakan lingkungan yang tenang dan batasi kontak dengan orang lain
9. sarankan terapi alternative untuk mengurangi ansietas yang dapat diterima
oleh pasien
10. singkirkan sumber-sumber ansietas jika memungkinkan

penurunan ansietas (NIC);

1. gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan


2. nyatakan dengan jelas tentang harapan terhadap perilaku pasien
3. damping pasien untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi rasa takut
4. berikan pijatan punggung, pijatan leher jika perlu
5. jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan
6. bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan ansietas

Diagnosa 3 : Risiko infeksi


Setelah diberikan perawatan pasien akan menunjukkan:

1. Factor resiko infeksi akan hilang yang dibuktikan dengan pengendalian


resiko komunitas, penyakit menular, status imun, keparahan infeksi,
keparahan infeksi bai baru lahir, pengendalian resiko PMS, dan
penyembuhan luka primer dan sekunder.
2. Pasien akan memperlihatkan pengendalian resiko PMS yang dibuktikan
oleh indicator sebagai berikut:

1     tidak pernah


2     jarang
3     kadang-kadang
4     sering
5     selalu
Indicator 1 2 3 4 5
Memantau perilaku seksual
terhadap resiko pajanan PMS
Mengikuti strategi
pengendalian pemajanan
Menggunakan metode
pengendalian penularan PMS

Contoh lain: pasien dan keluarga akan:


Terbatas dari tanda dan gejala infeksi

1. Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat


2. Mengindikasikan status gi, pernapasan, genitourinaria dan imun dalam
batas normal
3. Menggambarkan factor yang menunjang penularan infeksi
4. Melaporkan tanda atau gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining
dan pemantauan

Intervensi keperawatan (NIC)


Pengkajian

1. Pantau tanda dan gejala infeksi (suhu, denut jantung, drainase, penampilan
luka, sekresi, penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise)
2. Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
3. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit,
absolute, hitung jenis, protein serum, albumin)
4. Amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan terhadap
infeksi

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1. Jelaskan pada ppasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi


meningkatkan resiko terhadap infeksi
2. Instruksikan untuk menjaga personal hygiene
3. Jelaskan manfaat dan rasional serta efek samping imunisasi
4. Berikan pasien dan keluarga metode untuk mencatat imunisasi

Pengendalian infeksi (NIC):

1. Ajarkan pasien tehnik mencuci tangan yang benar


2. Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan
meninggalkan ruang pasien

Aktivitas kolaboratif

1. Ikuti protocol institusi untuk melaporkan suspek infeksi atau kultur positif
2. Pengendalian infeksi (NIC): berikan terapi antibiotic, bila diperlukan

Aktivitas lain

Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan tidak menugaskan


perawat yang sama untuk pasien lain yang mengalami infeksi dan
memisahkan ruang perawatan pasien dengan pasien yang terinfeksi

Pengendalian infeksi (NIC):

1. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah dipergunakan masing-masing


pasien
2. Pertahankan tehnik isolasi, bila diperlukan
3. Terapkan kewaspadaan universal
4. Batasi jumlah pengunjung, bila diperlukan

Perawatan dirumah

1. Ajarkan tindakan hygiene dasar seperti mencuci tangan, tidak berbagi


handuk, gelas , dll
2. Ajarkan metode mengolah, menyiapkan, dan menyimpan makanan yang
aman
3. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi factor dilingkungan mereka,
gaya hidup atau praktik kesehatan yang meningkatkan risiko infeksi
4. Ajarkan keluarga bagaimana membuang balutan luka yang kotor dan
sampah biologis lainnya
5. Jangan melakukan kunjungan rumah jika saudara sedang sakit
6. Rujuk pasien dan keluarga kelembaga sosial untuk membantu menjaga
kebersihan rumah dan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 22
Januari 2020).
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh pada 22 Januari 2020)
Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting
the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder
Dysfunct Rep, 5:212–218.
Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-
kota.html. (Diunduh pada 22 Januari 2020).
Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology.
(10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan.
Edisi 9. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai