Laporan Pendahuluan Benign Prostatic Hyperplasia
Laporan Pendahuluan Benign Prostatic Hyperplasia
Pendahuluan
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia.
Seiring masa penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi,
baik dari struktur anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh
yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada
sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat penuaan,
yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
(DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan
insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010)
menjelaskan bahwa BPH terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di
Amerika Serikat, dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas.
Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan meningkat mencapai 20
persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta pria
(Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH
merupakan penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di
Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi
dengan kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun
penanganan dini sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen
(2007) menjelaskan bahwa pandangan stereotip yang mengatakan pria itu
kuat, akan mengarahkan pria untuk cenderung lebih mengabaikan gejala yang
timbul di awal penyakit. Pria akan menguatkan diri dan menghindari
penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri. Sementara, ketika wanita sakit,
wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha mencari perawatan
kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak kasus yang
sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu
prosedur pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering
dilakukan. Rassweiler (2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan
representasi gold standard manajemen operatif pada BPH. TURP memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur bedah untuk BPH lainnya.
Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan insisi dan
dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih aman bagi
pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi
masalah pembesaran kelenjar prostat.
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan
berorientasi di bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak
tepat diatas fasia profunda dari diafragma urogenital. Permukaan
anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak serta
vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan
prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan
dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram
dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus
anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat
dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan
serabut fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum
pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus
anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona
besar: sentral (menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan
transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini penting secara
klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan,
dan zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan
mulai tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar
ini mencapai ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam
kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada
beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan dengan
penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu
dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase,
kalsium dan koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan
prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersama dengan vas
deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.
C. Pengertian
D. Klasifikasi
E. Etiologi
F. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan
oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran
prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)
G. Tanda dan gejala
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
I. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol
keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1) Mengharnbat adrenoreseptor α
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim α -2 reduktase
4) Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan
malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
1) Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan
Darah, CT, BT, AL)
2) Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh
kebanyakan lansia
3) Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
4) Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap
2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara
untuk meminimalkan masuknya udara
b. Post operasi
1) Irigasi/Spoling dengan Nacl
a) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
c) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
d) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e) Hari ke 4 post operasi diklem
f) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak
ada masalah (urin dalam kateter bening)
2) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada
masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
3) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat
injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan
minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat
oral.
4) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24
jam post operasi
5) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
6) Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
7) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
8) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
9) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak
pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar
kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk
berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat
meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
12) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai
kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus
dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
13) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda
kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda
dalam 24 jam setelah pembedahan.
14) Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang
meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan
perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan
kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang
traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
J. Pengkajian keperawatan
L. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
Manajemen nyeri:
Manajemen nyeri:
1. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur
2. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (relaksasi, distraksi, terapi)
Aktivitas kolaboratif
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(missal setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
Manajemen nyeri:
Perawatan dirumah
Aktivitas kolaboratif
penurunan ansietas (NIC); berikan obat untuk menurunkan ansietas jika perlu
Aktivitas lain
1. pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan
berikan ketenangan serta rasa nyaman
2. beri dorngan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran
dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
3. bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara untuk
mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi
ansietas
4. sediakan pengalihan melaui televise, radio, permainan serta terapi okupasi
untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus
5. coba teknik seperti imajinasi bombing dan relaksasi progresif
6. dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta izinkan
pasien untuk menangis
7. yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara
verbal dan nonverbal secara bergantian
8. sediakan lingkungan yang tenang dan batasi kontak dengan orang lain
9. sarankan terapi alternative untuk mengurangi ansietas yang dapat diterima
oleh pasien
10. singkirkan sumber-sumber ansietas jika memungkinkan
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (suhu, denut jantung, drainase, penampilan
luka, sekresi, penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit, keletihan dan malaise)
2. Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
3. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit,
absolute, hitung jenis, protein serum, albumin)
4. Amati penampilan praktek hygiene personal untuk perlindungan terhadap
infeksi
Aktivitas kolaboratif
1. Ikuti protocol institusi untuk melaporkan suspek infeksi atau kultur positif
2. Pengendalian infeksi (NIC): berikan terapi antibiotic, bila diperlukan
Aktivitas lain
Perawatan dirumah
Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New
York: Delmar.
IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 22
Januari 2020).
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum
renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh pada 22 Januari 2020)
Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta.
Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting
the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder
Dysfunct Rep, 5:212–218.
Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-
kota.html. (Diunduh pada 22 Januari 2020).
Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology.
(10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal
782–786): Jakarta
Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri:
Mosby
Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan.
Edisi 9. EGC : Jakarta