Anda di halaman 1dari 13

TUGAS HUKUM ADAT

(SISTEM PERNIKAHAN )

Disusun oleh:

FITRA FADJRIANI HANAPI

STAMBUK: 04020160377

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah hukum islam tentang penerapan hukum
islam terhadap hukum nasional Indonesia. .

     Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah pembuatan makalah ini.
   
    Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
   
    Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang penerapan hukum islam terhadap hukum
nasional Indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
   

                                                                                     Makassar 30, Mei 2017

penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG……………………………………………………... 1
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Islam Di Indonesia…………………………………….... 2

B. Sejarah Hukum Nasional…………………………………………………. 3

C. Peranan Hukum Islam dalam Hukum Nasional ………………………….. 4

D. Hukum Islam……………………………………………………………… 5

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN…………………………………………………………….….....9
B. SARAN…………………………………………………………………………..9

Daftar Pustaka……………………………………………………………………….... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sebagai bagian terbesar dari penduduk Indonesia, umat Islam menginginkan hidup dalam
naungan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Islam sebagai agama yang
sempurna tentunya telah memiliki sistem hukum tersendiri untuk mengatur pemeluknya dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam konteks hubungan sosial maupun hubungan dengan sang pencipta.
Kenyataannya, keinginan umat Islam tersebut belum terpenuhi dimana Hukum Nasional yang berlaku
bagi penduduk Indonesia sebagian besar bukan berasal dari Hukum Islam. Hukum Nasional yang ada,
sebagian besar isinya masih mengadopsi nilai-nilai Hukum Barat yang dibawah dan diterapkan oleh
kolonial Belanda selama masa penjajahan.
Atas kondidi tersebut, Umat Islam Indonesia tidak duduk diam saja. Dalam mewujudkan
keinginannya akan hadirnya Hukum Nasional yang sesuai dengan Hukum Islam, Uimat Islam terus
berjuang dengan segala kemampuan. Hasilnya, sedikit demi sedikit, Hukum Islam berhasil masuk dan
memaikan peran yang lebih besar dalam Pembagunan Hukum Nasional yang ditandai dengan lahirnya
berbagai Undang-Undang yang bernafaskan nilai-nilai Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia?
2. Apa dasar acuan teoritis, dan empiris hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Islam Di Indonesia

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, yang
menurut sebagian kalangan, telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M. Sementara itu, hukum
Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M. Sebelum masuknya hukum Islam,
rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya, dan sangat majemuk
sifatnya. Pengaruh agama Hindu dan Budha diduga sangat kuat terhadapnya. Ketiga macam
hukum tersebut (Adat, Islam, dan Barat) kemudian menjadi komponen utama pembentukan
hukum nasional pada masa-masa berikutnya. Ibn Batutah, seorang pengembara dan sejarawan
dari Maroko, menceritakan dalam bukunya bahwa penduduk pulau-pulau yang dikunjunginya
(termasuk pesisir Sumatera) pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Ia juga mengisahkan
pertemuannya dengan Sultan Malik al-Zahir yang dilukiskannya sebagai seorang raja yang
sekaligus ahli fikih.

Menurut Hamka, dari sinilah fikih mazhab Syafi’i kemudian tersebar ke seluruh wilayah
nusantara. Hukum Islam merupakan hukum resmi kerajaan-kerajaan Islam. Dengan kedatangan
para penjajah Belanda, hukum Islam yang sebelumnya berlaku bagi rakyat di kerajaan-kerajaan
Islam, sedikit demi sedikit kedudukannya terancam seiring dengan semakin menguatnya
kekuasaan penjajah di bumi nusantara. Secara perlahan namun pasti wilayah berlakunya hukum
Islam dibatasi hingga hanya berlaku dalam bidang hukum keluarga (nikah, talak, dan rujuk).
Yang terakhir ini pun masih terus dirongrong eksistensinya oleh mereka. Keadaan ini tercermin
misalnya pada nasib yang dialami Pengadilan Agama ketika itu.

Sungguh pun kondisinya tidak menguntungkan, namun ada sesuatu yang tak dapat dipungkiri,
yakni fakta berlakunya hukum Islam di Indonesia. Dengan diraihnya kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945 tumbuh harapan besar dari umat Islam bagi berlakunya hukum Islam secara
lebih baik. Berbagai usaha ke arah itu pun ditempuh, seperti perjuangan melalui BPUPKI yang
kemudian menghasilkan Piagam Jakarta. Perjuangan dilanjutkan melalui sidang-sidang di Badan
Konstituante pada masa Orde Lama, dan di badan legislatif dan eksekutif pada masa Orde Baru.
Pada masa pasca Orde Baru sekarang pun perjuangan tersebut tetap dilakukan. Sejauh ini
perjuangan tersebut relatif lebih berhasil dibandingkan perjuangan pada masa sebelumnya (pada
masa penjajahan). Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Islam, Undang-Undang Zakat, dan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
adalah sejumlah produk hukum nasional yang tidak lepas dari perjuangan kaum muslimin.
Belum lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang secara tidak langsung mendapat
pengaruh dari hukum Islam, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang
Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Perbankan.

2
B.Sejarah Hukum Nasional

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat
merupakan tiga sistem hukum yang menjadi komponen utama dalam pembentukan hukum
nasional. Hukum adat sesungguhnya diperkenalkan pertamakali justru oleh para ahli hukum
bangsa Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Vollen Hoven, yang di antara tujuannya
waktu itu adalah untuk menggusur eksistensi hukum Islam di dalam kehidupan masyarakat.
Namun, hukum adat sekarang dilihat segi positifnya sebagai kesadaran hukum yang hidup dalam
masyarakat. Adapun hukum Barat (Belanda) yang hingga kini masih terus diberlakukan antara
lain adalah Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), Wetboek van Kophandel (KUHD), dan Wetboek
van Strafrecht (KUH Pidana). Meskipun sudah ada perubahan, namun sebagian besar isinya
masih tetap berlaku. Tata hukum di Indonesia pada masa Hindia-Belanda secara hierarkis terdiri
atas I.S. ( Indische Staatsregeling, semacam UUD Hindia-Belanda), Wet (semacam Undang-
Undang), AMvB (Algemeen Maatregel van Bestuur , semacam peraturan pemerintah),
Ordonantie(semacam Perda), dan RV (Regerings Verordenings, semacam keputusan Kepala
Daerah). Setelah Kemerdekaan RI,terutama setelah tahun 1966, tata urutan perundang-undangan
RI ditertibkan dengan terbitnyaTap. MPRS No. XX/MPRS/1966, kemudian disempurnakan
dengan Tap. No. V/MPR/1973, danTap No. IX/MPR/1978. Berdasarkan beberapa Tap. MPR
tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah Undang-Undang Dasar, Tap.
MPR, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang disetingkatkan dengan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, KeputusanPresiden, Keputusan Menteri, Keputusan Lembaga Pemerintah
Non-Departemen, KeputusanDirektur Jenderal Departemen, Keputusan Badan Negara, Peraturan
Daerah Tingkat I, KeputusanGubernur, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan Bupati
(Walikotamadya).

Lapangan Hukum di Indonesia meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara,
Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana (Sipil dan Militer), dan Hukum Acara (Pidana
dan Perdata). Sebagai negara kesatuan, idealnya Indonesia memiliki satu hukum nasional
(unifikasi hukum). Di dalam bidang-bidang tertentu yang sifatnya netral, barangkali lebih mudah
dilakukan unifikasi hukum seperti dalam bidang perdagangan, perbankan, dan pidana. Akan
tetapi, terhadapnilai-nilai hidupseperti agama, adat, dan budaya, masih diragukan apakah dapat
dilakukan unifikasi hukum dalam waktu singkat. Oleh karena itu, dalam lapangan hukum
perdata, misalnya masih berlaku pluralisme hukum. Ketidakseragaman hukum perdata ini
disebabkan banyaknya golongan penduduk di Indonesia yang masing-masingnya memiliki
kebutuhan hukum perdata yang berbeda. Namun, ada beberapa bagian dari hukum perdata yang
telah berhasil dilakukan unifikasi, seperti Undang-Undang Perkawinan.

Politik Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan


beragama dan hukum agama dalam kehidupan hukum nasional. Garis-garis Besar Haluan Negara
di bidang hukum menghendaki terciptanya hukum baru di Indonesia yang sesuai dengan cita-cita
hukum Pancasila dan UUD 1945, serta yang mengabdi pada kepentingan nasional. Hukum
nasional yang dikehendaki oleh negara adalah hukum yang menampung dan memasukkan
hukum agama, dan tidak memuat norma hukum yang bertentangan dengan hukum agama.

3
C. Peranan Hukum Islam dalam Hukum Nasional

Dalam melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, ada beberapa
fenomena yang bisa dijumpai dalam praktek. Pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi
kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara
sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang
memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena aturan hukum tersebut
bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku
pula bagi seluruh warga negara.

Pada kategori yang pertama dapat dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang secara
langsung ditujukan untuk mengatur pelaksanaan ajaran Islam bagi para pemeluknya. Di antara
produk hukum yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan bersama peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1975), UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama, PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan Inpres No. 1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Belakangan pada masa pemerintahan Habibie, berhasil
disahkan Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Jadi,
berdasarkan kategori ini hukum Islam telah mengisi kekosongan hukum bagi umat Islam dalam
bidang-bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) , hukum waris (fara’id) meskipun hanya
bersifat pilihan hukum, hukum perwakafan, zakat, dan haji. Dengan adanya hukum positif yang
menjamin dan mengaturnya, maka pelaksanaan hukum Islam tersebut akan lebih terjamin
kekuatan hukumnya.

Pada kategori kedua, hukum Islam sebagai sumber nilai bagi aturan hukum yang akan dibuat,
dilakukan dengan cara asas-asas (nilai-nilai) dari hukum tersebut ditarik dan kemudian
dituangkan dalam hukum nasional. Dengan demikian, maka implementasi hukum Islam tidak
hanya terbatas pada bidang hukum perdata, khususnya hukum keluarga, tetapi juga pada bidang-
bidang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hokum
dagang. Dengan demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat berperan sebagai sumber
hukum nasional di samping Pancasila, tanpa menimbulkan anggapan bahwa hukum Islam adalah
kuno. Model yang kedua ini sesungguhnya telah dipraktekkan para penyusun UUD 1945, di
mana nilai- nilai hukum ( syari’at) Islam tercermin di dalamnya. Mengingat Indonesia bukan
negara agama dan bukan negara sekuler, maka memperjuangkan hukum Islam dengan
pendekatan yang terakhir ini kelihatannya lebih memberikan harapan daripada dengan
pendekatan yang pertama. Agar hukum Islam dapat memainkan peran maksimal, dalam konteks
ini, maka dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan mensosialisasikan sebanyak
mungkin nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Di antara cara untuk menggali nilai-nilai
tersebut adalah dengan jalan memahami aspek filosofis hukum Islam yang tercermin dari dalil-
dalil kulli yang mendasari pemikirannya, tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah) termasuk
juga hikmahnya (hikmah al-tasyri’), dan konsep manusia menurut hukum Islam.

Dengan menempatkannya sebagai sumber nilai, hukum Islam berarti ikut mewarnai produk
hukum nasional yang telah dan akan dibuat. Ikut mewarnai ini bisa dalam bentuk memasok nilai-
nilai sebagaimana yang terjadi pada fenomena kedua di atas, seperti yang terjadi pada UU No.

4
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak ;

juga bisa dalam bentuk diberikannya jaminan hukum terhadap pelaksanaan syariat (hukum)
Islam, seperti yang terjadi pada UU No. 5/1960 tentang Agraria dan UU No. 7/1992 j.o. UU No.
10/1998 tentang Perbankan. Di samping yang telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-
undangan, hukum Islam khususnya bidang keperdataan, sesungguhnya dapat saja dilaksanakan
oleh masyarakat tanpa harus menunggu dibuatnya aturan hukum formal. Di dalam pasal 1338
KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.

Jadi, KUH Perdata ini menganut asas kebebasan berkontrak, yang berarti setiap warga negara
bebas melakukan segala bentuk perjanjian (kontrak), termasuk kaum muslimin yang ingin
melakukannya berdasarkan hukum muamalatnya (keperdataannya). Dengan demikian, mereka
diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan bisnis berdasarkan hukum Islam. Tinggallah
sekarang bagaimana kesadaran umat Islam sendiri terhadapnya. Kontribusi hukum Islam
terhadap pembangunan hukum nasional akan maksimal jika ia didukung oleh kesadaran
masyarakat muslim yang tinggi terhadap hukum agamanya. Kesadaran dan praktek hukum Islam
yang kuat dalam masyarakat akan menjadi faktor sosiologis yang kuat dalam ikut mewarnai
pembentukan hukum nasional sebab penyusunan aturan hukum oleh pemerintah akan selalu
memperhatikan faktor-faktor historis, sosiologis, dan filosofis. Faktor historis telah dimiliki
cukup kuat oleh hukum Islam di Indonesia sebagaimana tergambar dalam uraian sebelumnya,
sementara faktor filosofis tidak perlu diragukan lagi keunggulannya. Jadi, tinggallah bagaimana
memperkuat faktor sosilogis melalui sosialisasi dan pembudayaan hukum Islam di tengah
masyarakat. Dengan begitu, maka peran hukum Islam sebagai pemasok nilai akan lebih
maksimal.

D. Hukum Islam

Kata hukum berasal dari bahasa Arab, Al-Hukm, yaitu: “Menetapkan sesuatu atas
sesuatu atau meniadakan sesuatu dari padanya dalam hal ini diartikan sebagai peraturan-
peraturan yang terdiri dari ketentuan-ketentuan perintah dan larangan yang menimbulkan
kewajiban dan atau hak. Dan karena kata hukum dirangkaian dengan kata Islam (hukum Islam),
maka sudah barang tentu dalam mendefinisan hukum kembali kepada konsep para ahlinya. Hal
itu didefinisikan: “Firman Allah mengenai tingkah laku orang-orang mukalaf, baik berupa
tuntutan (suruhan dan larangan), memilih (berbuat atau tidak) dan menjadi sebab, syarat atau
penghalang bagi suatu hukum. Dengan demikian konsep hukum Islam adalah “hukum
Ketuhanan”, artinya suatu hukum yang berasal atau bersumber dari ilmu hukum umum.

Kaitan dengan istilah hukum Islam dalam literatur hukum dalam Islam tidak ditemukan lafadz
“Hukum Islam”. Yang sering dipergunakan dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqih atau
seakar dengan kata itu dalam hukum Allah. Dan juga dalam literatur hukum biasa dipergunakan
kata “syari’ah Islam, hukum syara’/hukum syar’i, fiqih, syari’ atau syara’.

5
Kata hukum Islam nampaknya dalam literatur Barat diistilahkan dengan “Islamic Law”. Namun
karena dengan istilah ini sering dikaburkan antara kata syari’at dan fiqih, dimana syari’at
merupakan hukum (wahyu) dari Allah (Al-Qur’an dan Al-Hadits), sedangkan fiqih adalah hasil
ijtihad para mujtahid. Maka istilah hukum Islam mencakup kedua pengertian syari’at dan fiqih.
Secara ringkas menurut DR. H. Satria Effendi M. Zein, hukum Islam dapat dikatakan, seluruh
ketentuan yang mengatur perbuatan manusia baik yang manshuh dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah maupun terbentuk lewat penalaran

Perjalanan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia tidaklah selalu berjalan
dengan lancar, di awal memang setelah kehadiran sultan, sunan-sunan, dan sebagainya hukum
Islam sangat diterima masyarakat Indonesia karena pengenalan hukum Islam dengan cara damai,
tidak memaksa, dan memberikan kemashlahatan umat menjadikan hukum Islam sebagai sumber
hukum yang dipercaya selain hukum adat/hukum Hindu-Budha yang telah terlebih dahulu
dikenalkan ke Indonesia.

            Setelah datangnya VOC yang menunjuk Snouck Hurgronje untuk menjadi penasehat
pemerintah Hindia Belanda 1889-1906 digunakan untuk menghancurkan sistem hukum
Indonesia.

            Awalnya dia sangat disanjung masyarakat karena orang Belanda yang masuk Islam,
kemudian belajar Islam hingga ke Mekkah, kota suci umat Islam. Namun setelah pulang dan
diangkat menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda, beberapa masyarakat Indonesia sedikit
demi sedikit mengetahui bahwa sebenarnya hal tersebut hanya cara Snouck untuk mengetahui
sistem hukum Islam dan penerapan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.

            Salah satu teorinya yang terkenal adalah teori “Receptio In Complexu”. Inti daripada
teori ini  adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat sibuktikn, menurut ajaran ini
hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti agama itu
dengan setia”.

           Jadi tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu,
maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

                        Kalau ada hal-hal yang menyimpang daripada hukm agama yang bersangkutan,
maka hal-hal ini dianggapnya sebagai “perkecualian/penyimpangan” daripada hukum agama
yang telah “in complexu garepecipireerd” (=diterima dalam keseluruhan itu).

                        Teori ini sepintas sangat berpihak kepada hukum Islam dan umat Islam, karena
dia menyatakan dalam teorinya, hukum adat yang ada memakai hukum agama kepercayaannya,
namun di lain sisi hukum agama, terutama hukum Islam menjadikan tidak perlu di kodifikasi,
karena telah diresapi dalam teori itu dan hal tersebut menghambat perkembangan hukum Islam
di Indonesia.

                       

6
Kodifikasi artinya adalah pembukuan suatu hukum dalam satu buku yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan hukum/agar mengkuatkan untuk ditaati dan bersifat ipsojure
(dengan tidak langsung diakui kebenarannya). Karena teori Snouck juga, hukum Islam memang
tidak seluruhnya hilang namun dapat sedikit membuat hukum Islam hancur karena dengan
meresepsi dari pemahaman keislaman masyarakat yang penyimpangan dianggap perkecualian
dapat membingungkan dan penghambatan kodifikasi karena dinilai tidak perlu membuat
penghambatan ilmu hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Penyelesaian permasalahan
hukum Islam ini dilakukan dengan menerapkan salah satunya teori pluralisme hukum, John
Griffith.

                        Pluralisme hukum adalah Suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum
bekerja secara berdampingan yang memiliki metodenya/fungsinya sendiri namun memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk pengendalian sosial dalam kehidupan sosial. Pluralisme hukum ini
bertentangan dengan sentralisme hukum, karena sentralisme mengabaikan kemajemukan sosial
dan budaya dasar masyarakat, termasuk norma-norma hukum lokal yang diambil dari sebuah
kebiasaan/hukum kebiasaan. Jadi yang terjadi pada hukum Islam saat lalu adalah keinginan
pemerintah Hindia Belanda untuk menyentralisasi hukum yaitu menerapkan kebijakan hukum
nasional/ yang memiliki kedudukan lebih tinggi tanpa memikirkan hukum adat/hukum lain yang
berlaku di daerah itu.

   Hukum pada dasarnya ialah plural dan tidak bisa disamaratakan di tengah budaya dan hukum
masyarakat yang berbeda-beda. Konsepsi pluralisme hukum muncul sebagai  bantahan
sentralisme hukum bahwa hukum negara merupakan satu-satunya petunjuk dan pedoman tingkah
laku. Padahal pada lapangan sosial yang sama, terdapat lebih dari satu tertib hukum yang
berlaku. Berangkat dari pemikiran di atas, penulis tertarik untuk
mengetahui, pertama, terminologi masyarakat hukum Islam serta terminologi pluralisme hukum,
yang sudah dijelaskan di atas. Kedua, dominasi hukum positif dan sentralisme hukum. Dominasi
hukum sentralisme menyebabkan masyarakat ada yang terpaksa menerapkan hukum nasional
tersebut karena keinginan untuk disamakan hukum tersebut tanpa mengetahui karakter suatu
daerah tertentu dan terkadang daerah tertentu sudah nyaman dengan hukum kebiasannya/hukum
Islam bagi masyarakat hukum Islam (Contoh: Aceh).  Ketiga, mengetahui dampak dominasi
sentralisme hukum terhadap eksistensi masyarakat hukum Islam. Dampaknya menjadi tidak
diterapkan jika memang benar-benar tidak sesuai dengan karakternya dan dianggap tidak dapat
menyelesaikan permasalahan masyarakat tersebut.  Keempat, ingin menguraikan pentingnya
menerapkan pluralisme hukum. Sangat penting karena setelah diterapkan pluralisme hukum,
kedudukan hukum Islam menjadi setara dengan hukum Adat dan hukum Barat

7
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional sekurang-kurangnya bisa tampil dalam tiga bentuk. Pertama , hukum Islam
tampil dalam bentuk hukum positif yang hanya berlaku bagi umat Islam. Dalam hal ini hukum
Islam berperan mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Kedua , hukum Islam
memberikan kontribusi bagi penyusunan hukum nasional sebagai sumber nilai. Dalam konteks
ini nilai-nilai luhur yang terkandung dalam hukum Islam akan menjadi lebih luas peranannya
untuk mewujudkan kemaslahatan bangsa dan negara tanpa membedakan agama. Oleh karena itu,
akan tercapailah tujuan hukum (syariat) Islam sebagai rahmah li al-’alamin. Di samping sebagai
pemasok nilai, ia juga dapat mengarahkan peraturan perundang-undangan yang ada agar
pelaksanaan hukum Islam diberikan jaminan hukum di dalamnya. Perjuangan untuk berlakunya
hukum Islam di Indonesia hendaknya terus dilakukan melalui ketiga bentuk di atas ataupun
dengan bentuk-bentuk lain yang memungkinkan. Dengan melihat kenyataan yang ada, dari
ketiga bentuk tersebut, bentuk kedua dan ketiga kelihatannya lebih baik dan lebih tepat untuk
dilakukan di masa masa yang akan datang. Di samping karena Indonesia bukan negara agama,
kita juga menghendaki agar hukum Islam dapat memberikan kontribusi yang seluas-luasnya
kepada seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, hubungan antara negara dan agama
menjadi hubungan yang saling mendukung demi kemaslahatan rakyat.

B. SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus
dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah
adalah daftar pustaka.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. 2012. Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Taqwim, Ahmad. 2009. Hukum Islam. Semarang: Walisongo Press.

Wignjodipoero, Soerojo. 1967. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung.

[1] falsafah/fal·sa·fah/ n anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki
oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup; sumber: kbbi.web.id/falsafah

[2] Ali, Daud. Hukum Islam, Cetakan ke-18. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012

Anda mungkin juga menyukai