Bab II Tesis
Bab II Tesis
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PENERAPAN METODE DISKUSI,
PENANAMAN MOTIVASI BELAJAR DAN PENINGKATAN BERFIKIR
KREATIF DALAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
a. Metode
Kata metodologi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata metha dan
hodos. Metha artinya melewati dan hodos artinya jalan atau cara. Methodos berarti
jalan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan logos artinya Ilmu.1 Dalam
bahasa Arab metode disebut Thariqat artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban
dalam mengerjakan sesuatu.2
Sedangkan secara terminologi, pengertian umum dapat digunakan untuk
berbagai objek, baik yang berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal,
atau yang menyangkut pekerjaan fisik.3
Metode ialah cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
suatu maksud.4 Metode ialah cara kerja yang bersistematik dan umum, terutama
1
Abuy Sodikin, Metodologi Studi Islam, (Bandung : Insan Mandiri, 2004), hlm. 3.
2
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung : Tafakur, 2007), hlm. 97.
3
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1985), hlm.
649.
4
Abdul Latief, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung : Pustaka
Bani Quraisy, 2006), hlm. 103.
1
2
dalam mencari kebenaran ilmiah.5 Metode ialah semua cara yang digunakan
dalam upaya mendidik.6
Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode
ialah suatu cara, jalan, atau alat yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
pembelajaran, sehingga metode dalam pembelajaran memiliki peran penting
dalam pencapaian hasil belajar. Kemampuan menguasai metode dalam
pembelajaran menjadi salah satu kompetensi yang harus dimilki oleh seorang
dosen.
b. Diskusi
Secara etimologi diskusi berasal dari bahasa Inggris discuss dan discussion.
Discuss berarti examine and argue abaut a subject (menguji dan beradu pendapat
tentang suatu masalah), dan discussion berati talk for the purpose of discussing
(membahas sesuatu sesuai tujuan diskusi).7
Dalam bahasa Arab pengertian yang sepadan dengan diskusi ialah
munaqasyah, mujadalah, mudzakarah, dan munadzarah, yang berarti berdiskusi,
berdebat dan menentang. Kata lain yang mendekati arti diskusi ialah hiwar yang
berarti saling menjawab dan mengulangi perkataan.8 Menurut Ahmad Tafsir kata
hiwar atau dialog ialah perkataan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang
dikehendaki.9
Menurut Rostiyah NK diskusi adalah proses interaksi antara dua atau lebih
yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, dan memecahkan
masalah.10 Dalam kamus populer diskusi diartikan sebagai pembahasan bersama
tentang suatu masalah, tukar pikiran, dan bahas membahas tentang suatu hal.11
5
Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 1.
6
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2008), cet. ke-8, hlm. 131.
7
As Hoornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxford
University Press, 1974), jilid, II, hlm. 24.
8
Lihat Ma’luf Louis, al Munjid fi al Lughah, (Jakarta : Mutiara, 1977), cet. ke-22, hlm. 82.
9
Ahmad Tafsir, Ilmu, hlm. 136.
10
Rostiyah NK, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), cet. ke-6, hlm. 5.
11
Ahmad Maulana dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta : Absolut, 2004), hlm. 306.
2
3
12
M Atar Semi, Terampil Berdiskusi dan Berdebat, (Bandung : Titian Ilmu Bandung, 2008), hlm.
10.
13
JS Kamdhi, Diskusi yang Efektif, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 12-14.
14
Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Bina Baru Algesiado, 2005), hlm.
79.
15
Suryosubroto B, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm.
179.
3
4
peserta diskusi dengan jujur berusaha untuk mencapai atau memperoleh suatu
keputusan atau pendapat bersama yang disepakati.16
Metode diskusi merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah orang
membicarakan secara bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik
atau masalah, atau untuk mencari jawaban dari suatu masalah berdasarkan semua
fakta yang memungkinkan terjadi.17
Berdasarkan pandangan diatas, dalam penerapan metode diskusi perlu
diperhatikan beberapa aspek, antara lain problem yang didiskusikan, pembicara
diatur, pembicaraan tidak menyimpang dari pokok persoalan, dan kesalahan
segera diperbaiki. Dengan demikian persoalan yang diberikan dosen dapat
dipecahkan secara bersama-sama.
Dalam metode diskusi dimaksudkan untuk merangsang pemikiran serta
berbagai jenis pandangan. Ada tiga langkah utama dalam metode diskusi :
a. Penyajian yaitu pengenalan terhadap masalah atau topik yang meminta
pendapat, evaluasi dan pemecahan dari mahasiswa.
b. Bimbingan yaitu pengarahan yang terus menerus dan secara bertujuan
yang diberikan dosen selama proses diskusi. Pengarahan ini diharapkan
dapat menyatukan pikiran-pikiran yang telah dikemukakan
c. Pengihtisaran yaitu rekapitulasi pokok-pokok pikiran penting dalam
diskusi.18
Sedangkan menurut Ali bahwa metode diskusi pada dasarnya merupakan
musyawarah untuk mencari titik pertemuan pendapat, tentang suatu masalah.
Permasalahan yang dimaksud dalam pengertian diatas merupakan persoalan yang
sengaja dimunculkan agar para mahasiswa berfikir kreatif dan tidak selalu
menuinggu informasi dari dosen. Dengan demikian mahasiswa dilatih berfikir
kritis dan bekerja sama untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.19
16
Depdikbud, Metodik Khusus Pengajaran IPS Sekolah Dasar, (Jakarta : Depdikbud, 1994), hlm.
6.
17
Moedjiono dan Dimyati, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Depdikbud, 2004), hlm. 51.
18
Muhaimin dkk, strategi Belajar Mengajar, (Surabaya : CV Citra Media, 1996), hlm. 83-84.
19
Muhamad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004),
hlm. 81.
4
5
5
6
g. Buzz Group
Satu kelompok besar dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, terdiri dari
4-5 orang, tempat diatur agar siswa dapat berhadapan muka dan bertukar pikiran
20
Abu Ahmadi, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT Bima Aksara, 1986), hlm.
114.
6
7
dengan mudah. Diskusi diadakan ditengah atau diakhir pelajaran dengan maksud
menajamkan kerangka bahan pengajaran, memperjelas bahan pelajaran atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan.
h. Debat
Suatu diskusi yang pesertanya terbagi dua dalam kelompok besar yang
kekuatan dan jumlahnya berimbang untuk membahas objek tertentu, dan biasanya
masalah-masalah nilai atau norma.
i. Fish Bowl
Suatu diskusi terdiri dari satu sampai tiga orang nara sumber. Para nara
sumber duduk semi melingkar berderet dengan tiga kursi kosong menghadap
kelompok besar. Moderator memberikan pengantar singkat dan meminta peserta
kelompok besar duduk dikursi kosong untuk mengajukan pertanyaan dan
mempersilahkan peserta lain berpartisipasi.21
Sehubungan dengan beberapa model diskusi tersebut, maka tugas
pemimpin diskusi atau moderator dapat berbeda. Menurut Jos Daniel Parera tugas
pemimpin diskusi adalah :
1. Menjelaskan maksud dan tujuan diskusi
2. Menjamin kelangsungan diskusi secara teratur
3. Memberikan stimulasi, anjuran, ajakan agar setiap peserta benar-benar
mengambil bagian dalam diskusi tersebut
4. Menyimpulkan dan merumuskan setiap pembicaraan, serta kelak membuat
beberapa kesimpulan persepakatan dan persetujuan bersama
5. Mempersiapkan laporan kelak.22
7
8
23
Ibid., hlm. 196-197
8
9
24
Robert E Slavin, Educational Psyhiology Theory and Practice, (Boston : Allyn and Bacon,
1994), hlm. 290-291.
25
Rostiyah NK, Strategi , hlm. 6.
9
10
26
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : Grasindo, 2001), hlm. 203-204.
27
Jos Daniel Parera, Belajar, hlm. 190.
10
11
28
Suryosubroto B, Proses, hlm. 185.
11
12
29
Ibid., hlm.186
12
13
13
14
Perdebatan yang terjadi dalam diskusi bukan berarti perang mulut dan beradu
argumentasi untuk memenagkan pemahamannya, melainkan saling memberikan
sumbangan pikiran, tukar menukar informasi hingga tercapai suatu kesepakatan.
32
Faisal Jalal, Didi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konsteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta
: Karya Nusa, 2001), hlm. 21.
14
15
33
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta,1997), hlm. 43.
34
Zuhairini, Abd. Ghofir-Slamet As Yusuf-M. Sarju, Metodologi Pendidikan Agama, (Solo :
Ramadhani, 1993), hlm. 103.
35
Ibid., hlm. 80.
36
Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159, Yayasan Penyelenggara Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Depag, RI, Jakarta, 1990, hal. 103.
15
16
16
17
41
Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan Universitas LPPM-
Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 39.
17
18
landasan kesadaran akan memilki daya tahan lebih kuat. Kekuatan motivasi yang
ditimbulkan oleh kesadaran merupakan energi yang sulit dikalahkan oleh apapun.
42
Sardiman A M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2011), cet. ke-20, hlm. 73.
43
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998), cet. ke-5,
hlm. 60.
44
S Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), cet. ke-7, hlm. 73.
45
AS Hornby, Oxpord Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxpord
University Press, 1974), hlm. 246.
46
Peter Salim dan Yenny, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English, 1991),
hlm. 997.
18
19
47
Robert E Slavin, Educational, hlm. 347.
48
Ngalim Purwanto, Psikologi, hlm. 71.
49
Sardiman A M, Interaksi, hlm. 73.
50
Ibid., hlm. 74.
19
20
51
Sardiman AM, Interaksi, hlm. 20.
52
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 63.
20
21
dilakukannya ia memperoleh tiga buah hukum dalam belajar , yaitu Law of effect,
law of exercise, dan law of readiness.
a. Law of effect menyatakan tercapainya keadaan yang memuaskan akan
memperkuat hubungan antara stimulus (S) dan respon (R). Maksudnya
bila respon terhadap stimulus menimbulkan sesuatu yang memuaskan
(mengenakkan misalnya) maka bila setimulus seperti itu muncul lagi
subjek memberikan respon yang lebih tepat, cepat dan intens. Bila
hubungan S-R tidak diikat oleh sesuatu yang memuaskan maka respon itu
akan melemah atau bahkan tidak ada respon sama sekali.
b. Law of exercise menyatakan bahwa respon terhadap stimulus dapat
diperkuat dengan seringnya respon itu dipergunakan. Hal ini menghasilkan
implikasi bahwa peraktek, khususnya pengulangan dalam pengajaran
adalah penting dilakukan.
c. Law of readiness mengajarkan bahwa dalam memberikan respon subjek
harus siap. Hukum ini menyangkut syarat kematangan dalam pengajaran,
baik kematangan pisik maupun mental dan intelek. Stimulus tidak akan
direspon, atau responya akan lemah saja, bila pelajar kurang atau belum
siap.53
Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar yang
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang
harus ditunjukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan.
Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik, tetapi perubahan
jiwa dengan sebabnya masuk kesan-kesan baru.
Untuk melengkapi pengertian mengenai makna belajar, perlu kiranya
dikemukakan prinsip-prinsi yang berkaitan dengan belajar. Dalam hal ini ada
beberapa prinsip yang penting untuk diketahui, antara lain :
1. Belajar pada hakikatnya menyangkut potensi manusiawi dan kelakuannya
53
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2011), cet. ke-11, hlm. 29.
21
22
54
Sardiman A M, Interaksi, hlm. 24-25.
55
Robert E Slavin, Educationl , hlm. 347.
56
Masnur dkk, Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang : Jemmars,
1992), hlm. 41.
22
23
belajar, baik dorongan itu berasal dari dalam diri sendiri yaitu berupa
pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan mahasiswa, maupun dari luar diri
mahasiswa, seperti orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat, kondisi sosial ekonomi, dosen, temen, dan metode
belajar.
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri
siswa sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan belajar. 57 Teremasuk
dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan
kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan
siswa yang bersangkutan.
Dalam buku lain yang disebut motivasi intrinsik adalah motivasi yang
timbul dari dalam diri seseorang atau motivasi yang erat hubungannya dengan
tujuan belajar, misalnya : ingin memahami suatu konsep, ingin memperoleh
pengetahuan dan sebagainya.58
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan motivasi intrinsik adalah :
1) Adanya kebutuhan
Kebutuhan juga ada kaitannya dengan motivasi, karena dengan adanya
kebutuhan maka hal ini akan menjadi pendorong bagi mahasiswa untuk berbuat
dan berusaha, misalnya: seorang mahasiswa ingin mengetahui isi cerita akan
menjadi pendorong yang kuat bagi anak untuk belajar membaca, karena apabila ia
dapat membaca maka ia akan mengerti.
2) Adanya pengetahuan tentang kemajuan dirinya sendiri
57
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja
Rosdakarya,2004), cet. ke-10, hlm. 136-137.
58
M Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 85.
23
24
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu
siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. 60 Bentuk
motivasi ekstrinsik ini merupakan suatu dorongan yang tidak secara mutlak
berkaitan dengan aktivitas belajar, misalnya mahasiswa rajin belajar untuk
memperoleh hadiah yang telah dijanjikan oleh orang tuanya, pujian dan hadiah,
peraturan atau tata tertib sekolah, suri tauladan orang tua, dosen dan lain-lain, ini
merupakan contoh konkrit dari motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong
mahasiswa untuk belajar.
Untuk dapat membangkitkan motivasi ekstrinsik dosen hendaknya dalam
proses belajar mengajar berusaha dengan berbagai cara, diantaranya :
1. Kompetisi (persaingan, dosen berusaha menciptakan persaingan diantara
mahasiswa untuk meningkatkan prestasi belajar
2. Pace making, pada awal kegiatan belajar mengajar dosen hendaknya
menyampaikan trik pada mahasiswa
3. Tujuan yang jelas untuk mencapai pembelajaran
59
Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang : Dina Utama Semarang, 1996), cet. ke-1,
hlm.75.
60
Muhibbin Syah, Psikologi, hlm. 137.
24
25
25
26
26
27
e. Motivasi itu mudah menjalar atau tersebar terhadap orang lain. Dosen
yang berminat tinggi dan antusias akan menghasilkan mahasiswa yang
berminat tinggi dan antusias pula.
f. Pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan akan merangsang motivasi.
g. Tugas-tugas yang dibebankan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat
ynag lebih besar untuk mengerjakannya daripada apabila tugastugas itu
dipaksakan oleh dosen.
h. Pujian-pujian yang datangnya dari luar (external reward) kadang kadang
diperlukan dan cukup efektif untuk merangsang minat yang sebenarnya.
i. Teknik dan proses mengajar yang bermacam-macam adalah efektif untuk
memelihara minat mahasiswa.
j. Manfaat minat yang telah dimiliki oleh mahasiswa adalah bersifat
ekonomis.
k. Kegiatan-kegiatan yang akan dapat merangsang minat mahasiswa yang
kurang mungkin tidak ada artinya bagi mahasiswa yang tergolong pandai.
l. Kecemasan yang besar akan menimbulkan kesulitan belajar. Sebab akan
mengakibatkan pindahnya perhatian mahasiswa kepada hal lain, sehingga
kegiatan belajarnya tidak efektif.
m. Kecemasan dan frustasi yang lemah dapat membantu belajar, dapat juga
lebih baik.
n. Apabila tugas tidak terlalu sukar dan tidak ada, maka frustasi secara cepat
menuju ke demoralisasi.
o. Setiap mahasiswa mempunyai tingkat-tingkat frustasi toleransi yang
berlainan.
p. Tekanan kelompok mahasiswa (per grup) kebanyakan lebih efektif dalam
motivasi daripada tekanan/ paksaan dari orang dewasa.
q. Motivasi yang besar erat hubungannya dengan kreativitas mahasiswa.63
5. Tujuan Motivasi
63
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2007), hal. 163-166.
27
28
Adanya tujuan yang jelas dan didasari akan mempengaruhi kebutuhan dan
ini akan mendorong timbulnya motivasi. Jadi, suatu tujuan dapat juga
membangkitkan timbulnya motivasi dalam diri seseorang.64 Sesuai dengan
pengertian motivasi di atas, maka tujuan dari motivasi adalah untuk
menggerakkan atau mengugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya
untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan
tertentu.
Motivasi bertujuan untuk menggerakkan dan sekaligus menggugah
seseorang agar mau melakukan sesuatu dengan sekuat tenaga supaya apa yang
diinginkannya itu dapat tercapai. Menggerakkan berarti mengalihkan kekuatan
kepada kemauan, kemauan sudah jelas ditandai dengan suatu hasil yang
diinginkan. Hanya saja kemauan yang diinginkan itu bermacam-macam sesuai
dengan bentuk kegiatan yang akan dilakukan.Sebelum melaksanakan motivasi
terhadap seseorang harus terlebih dahulu mencari atau mengamati untuk apa kita
memotivasi seseorang.
Di dalam kegiatan belajar mengajar, dosen harus terlebih dahulu
merencanakan untuk apa mahasiswa mempelajari materi-materi pelajaran yang
akan diajarkan di dalam kegiatan belajar mengajar. Cara yang digunakann untuk
menimbulkan motivasi mahasiswa belajar, apakah dengan cara yang sama untuk
semua, atau apakah cara motivasi mahasiswa itu berbeda antara mahasiswa yang
satu dengan mahasiswa lainnya.
Hal ini juga harus dipikirkan oleh dosen secara hati-hati. Memang
demikian, ada cara untuk memotivasi sama untuk mahasiswa, dan ada saatnya
tidak sama antara mahasiswa yang satu dengan mahasiswa yang lainnya. Tentu
setiap pekerjaan yang dilakukan semuanya melalui proses. Baik proses yang
direncanakan terlebih dahulu atau yang disengaja, akan tetapi ada juga yang tidak
direncanakan yakni timbul dengan sendirinya atau perencanaan yang tidak
disengaja. Begitu juga halnya denga cara-cara memotivasi bermacam-macam, ada
64
Ibid., hlm. 160.
28
29
motivasi yang direncanakan dan ada juga motivasi yang tidak direncanakan,
bergantung kepada situasi dan kondisi.65
65
Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran, (Jakarta :
Delia, 2004), hlm. 26-27.
66
Sardiman AM, Interaksi, hlm. 142.
67
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta : Bina Aksara, 1988),
hlm. 100.
29
30
a. Syarat formil : mempunyai ijasah, sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki
cacat yang menyolok, memiliki pengetahuan agama yang mendalam,
bertaqwa dan berakhlak mulia, warga negara yang baik dan di angkat oleh
pejabat yang berwenang.
b. Syarat materiil : memiliki pengetahuan agama Islam secara luas, menguasai
didaktik dan metodik, memiliki ilmu methodologi pengajaran, memiliki
pengetahuan pelengkap terutama yang ada hubungannya dengan profesinya.
c. Syarat non formil : mengamalkan ajaran agama, berkepribadian yang
muslim, memiliki sikap demokratis, tenggang rasa, bersikap positif terhadap
ilmu, disiplin. Berinisiatif dan kreatif, kritis, objektif, menghargai dan waktu
serta produktif.68
30
31
b. Kaya akan berbagai bentuk dan jenis upaya untuk melakukan motivasi
pada mahasiswa baik yang bersifat intrinsik maupun yang bersifat
ekstrinsik.
c. Mempunyai perasaan humor yang positif dan normatif sehingga tetap
disegani dan disenangi mahasiswa.
d. Menampilkan sosok kepribadian dosen yang menjadi panutan mahasiswa,
baik dalam prilaku di kelas maupun di luar kelas.70
31
32
Dalam buku CBSA, Nana Sudjana menyebutkan bahwa tugas dosen itu
meliputi:
73
Nana Sudjana, CBSA dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru, 1989), hlm. 15.
74
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 1995), hlm. 252.
32
33
a. Faktor gerak atau dorongan secara spontan dan alamiah terjadi pada diri
manusia.
b. Faktor kekuatan manusia sebagai inti pusat kepribadian.
c. Faktor situasi manusia atau lingkungan hidup.76
Namun demikian dalam buku tersebut ditegaskan bahwa teori tingkah laku
yang seperti diatas sepertinya sangat umum, dan monistis sebab tidak ada tempat
untuk konfrontasi dengan dunia luar.77
Terlebih dalam kaitannya motivasi beragama sebab kenyataan orang yang
bertingkah laku agama banyak juga didasari oleh unsur hidayah sehingga analisis
psikologi dan sosiologi hanya sampai pada analisis tingkah laku fungsional.
Selanjutnya untuk mengetahui beberapa motif yang mendasari kegiatan
belajar agama, penulis mngambil beberapa pendapat ahli psikologi dan
pendidikan dibawah ini :
Menurut Arden N. Fandsen menyebutkan bahwa yang mendorong belajar
itu ialah :
a. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang luas
b. Adanya sifat yang kreatif pada manusia yang selalu maju dan
berkembang.
c. Keinginan untuk mendapat simpati orang tua, guru dan teman-
temannya.
75
Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung : Rosda Karya, 2001), hlm. 79.
76
Nico Syakur, Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta : Kanisius, 1988), hlm. 72.
77
Ibid., hlm. 73.
33
34
Kalau pendapat para ahli di atas dikaitkan dengan motivasi belajar agama,
maka dapat di tarik kesimpulan bahwa di antara yang dapat sebagai motivasi
belajar agama Islam :
34
35
80
A Tabrani R, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Rosdakarya, 1994), hlm.
121.
35
36
81
Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, (Surabaya : Karya Arbitama, 1994), cet, ke-1, hlm. 103.
82
Sardiman A, Interaksi, hlm. 92-95.
36
37
1. Pengertian Kreativitas
Kata kreativitas berasal dari kata Inggris Creativity, yang berarti daya cipta83
Kreativitas sebagai hasil kemampuan berfikir kreatif memiliki pengertian
beragam. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan
sesuatu yang baru.84 kreativitas ialah thinking which produces new methodes, new
concepts, new understanding, new inventions, new work of art. (yang
menghasilkan metode baru, konsep baru, pemahaman baru, pemahaman baru,
karya seni yang baru).85
Menurut Cony R semiawan, Kreativitas ialah kemampuan tuk memberikan
gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan maslah. Kreativitas meliputi
baik ciri-ciri aptitude seperti kelancaran (fluency), keluwesan (Flexibility), dan
keaslian (originality) dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude seperti rasa
ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan dan selalu mencari pengalaman-
pengalaman baru.86
83
Jon Echol, Kamus Ingris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1987), hlm. 154.
84
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Prespektif
Psikologi Islam, (Jogjakarta : Menara Kudus, 2002), cet. ke-2, hlm. 33.
85
Agus Nggermanto, Quantum Quotitent Kecerdasan Quantum, (Bandung : Nuansa, 2003), cet.
ke-5, hlm. 72.
86
Cony R Semiawan dkk, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (bandung : Remaja Rosda Karya,
2002), hlm. 4.
37
38
87
Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), cet.
ke-3, hlm. 36-37.
88
Reni Akbar Hawadi dkk, Kreativitas, (Jakarta :Grasindo : 2001), hlm. 5.
38
39
2. Teori Kreativitas
Teori tentang kreativitas (berfikir kreatif) ditemukan oleh Guilford (1950)
dan Torrance (1960). Teori ini berkaitan dengan teori keberbakatan (kecerdasan),
yang menurut Renzulli, keberbakatan itu merupakan interaksi antara tiga
kelompok ciri (cluster) :
a. Kemampuan diatas rata-rata (inteligensi)
Dalam istilah kemampuan umum tercakup berbagai bidang kemampuan
yang biasanya diukur oleh tes inteligensi, prestasi, bakat, kemampuan, dan
berfikir kreatif.
b. Krativitas
Kelompok (cluster) kedua yang dimilki anak/orang berbakat ialah
kreativitas sebagai kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru,
sebagai kemampuan memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan
dalam pemecahan maslah, atau kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan
baru antara unsur yang sudah ada sebelumnya.
c. Peningkatan diri terhadap tugas.
Kelompok karakteristik ketiga yang ditemukan pada individu yang kreatif
produktif ialah peningkatan diri terhadap tugas sebagai bentuk motivasi yang
internal yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet mengerjakan tugasnya,
karena ia telah mengikatkan diri terhadap tugas tersebut atas kehendaknya
sendiri.90
89
Sutrisno, Revolusi Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2005), hlm. 124.
90
Utami Munandar, Pengembangn, hlm. 24-25.
39
40
91
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan, hlm. 43-44.
40
41
92
Utami Munandar, Pengembangan, hlm. 119-123.
93
Reni Akbar Hawadi dkk, Kreativitas, hlm. 3.
41
42
4. Manfaat kreativitas
Di zaman era globalisasi ini yang penuh tantangan dan perjuangan hampir
semua manusia ingin meraih sesuatu yang dipikirkann, sehingga persaingan
individual maupun kelompok menjadi lebih keras. Kesiapan individu untuk
menghadapi hidup dengan kondisi seperti ini membutuhkan kemampuan yang
kompetetif. Untuk itu mahasiswa perlu dipersiapkan dengan membekali mereka
melauli pembelajaran yang berkualitas. Indikator pembelajaran yang berkualitas
adalah memberikan hasil belajar yang pervect, dalam bentuk memiliki kegunaan
bagi hidup mahasiswa (bukan sekedar output pendidikan melainkan sampai
outcome). Mencapai taraf mahasiswa memeliki kompetensi berfikir kreatif yang
terwujud dalam kreativitas para lulusannya adalah hasil dari proses pembelajaran
yang berkualitas.
94
Cony R Semiawan dkk, Dimensi, hlm. 5.
42
43
5. Kendala Kreativitas
Dalam mengembangkan dan mewujudkan potensi kreatifnya, seseorang
apakah dia anak atau orang dewasa dapat mengalami berbagai hambatan, kendala
atau rintangan yang dapat merusak bahkan mematikan kreativitasnya. Terdapat
banyak faktor yang dapat menghambat pengembangan kreativitas mahasiswa.
Kendala-kendala tersebut diidentifikasi oleh Utami Munandar sebagai berikut.98
a. Kendala historis : bahwa ada kurun waktu tertentu suatu kelompok
masyarakat sangat kreatif, sebaliknya ada pula kurun waktu yang tidak
menunjang bahkan menghambat kreativitas individu maupun masyarakat
95
Robert L Solso dkk, Cognitive Psychology, (Boston : Pearson, 2005), hlm. 468-469.
96
Ibid., hlm. 265.
97
Reni Akbar Hawadi, Kreativitas, hlm. 24.
98
Utami Munandar, Pengembangan, hlm. 219-221.
43
44
44
45
99
Utami Munandar, Pengembangan, hlm. 227-228.
45
46
cepat dan lancar yang gagasan-gagasan tersebut berbeda dari yang sudah ada serta
bersifat konstruktif atau memberi manfaat.
?tbrã©3xÿtFs
" Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir. (QS. Al-Baqarah {2} :219)
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB ”...3
...”öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
100
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan, hlm. 27-28.
46
47
101
Maksud merubah keadaan itu, Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak
merubah sebab-sebab kemunduran mereka. (Quran World surat ke-13 ayat 11)
102
Utami Munandar, Kreativitas & Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat,
(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 83.
103
Ibid., hlm.12.
47
48
harga diri dan kepercayaan diri, sifat mandiri, berani mengambil resiko, dan
asertif,104 tipe kepribadian.105
Mengenai faktor internal individu, Rogers mengatakan bahwa kondisi
internal yang memungkinkan timbulnya proses kreatif adalah :
a. Keterbukaan terhadap pengalaman, terhadap rangsangan-rangsangan dari
luar maupun dari dalam. Keterbukaan terhadap pengalaman ialah
kemampuan menerima segala sumber informasi dari pengalaman hidupnya
sendiri dengan menerima apa adanya, tanpa ada usaha mempertahankan
diri (defense), dan kteterbukaan terhadap konsep secra utuh, kepercayaan,
presepsi, dan hipotesis. Dengan demikian, individu kreatif adalah individu
yang menerima perbedaan
b. Evaluasi internal, yaitu pada dasarnya penilaian terhadap produk karya
seseorang terutama ditentukan oleh diri sendiri, bukan karena keritik dan
pujian orang lain.
c. Kemampuan untuk bermain dan bersksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-
bentu, dan konsep-konsep.106
Di samping aspek internal, aspek eksternal juga mempengaruhi kreativitas
seseorang, aspek ekstrenal (lingkungan) yang memungkinkan tumbuh dan
berkembangnya kreativitas adalah lingkungan kebudayaan yang mengandung
keamanaan dan kebebasaan psikologis. Faktor lingkungan yang terpenting adalah
lingkungan yang memberikan dukungan atas kebebasan bagi individu. Filusuf
Yunani, Plato, pernah mengungkapkan bahwa “ apa yang mendapatkan
penghargaan dari lingkungan, itulah yang akan berkembang.107
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kreativitas, yakni :
104
Asertif atau asertivitas ialah faktor kepribadian yang mempengaruhi kreativitas sesorang seperti
kepercayaan diri, kebebasan berekspresi secara jujur, tegas dan terbuka tanpa mengecilkan dan
mengesampingkan arti orang lain, dan berani bertangung jawab. Lihat Fuad Nashori dan Rachmy
Diana Mucharam, Mengembangkan, hlm. 57.
105
Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan, hlm. 53-54.
106
Ibid., hlm. 56.
107
Ibid., hlm. 58.
48
49
a. Faktor internal meliputi aspek kognitif seperti kecerdasan dan aspek non
kognitif seperti sikap, motivasi, nilai spiritual, dan ciri kepribadian yang
lain.
b. Faktor eksternal meliputi kebudayaan tempat individu hidup dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan mahasiswa untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga
mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran Islam dari
sumber utamanya kitab suci Al-qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman.
Menurut al-Ghazaly sebagaimana diungkapkan oleh Fatiyah Hasan
Sulaiman bahwa pendidikan sebagai sarana untuk menyebarluaskan keutamaan,
sebagai media untuk mendekatkan umat manusia kepada Allah dan sarana
kemaslahatan untuk membina umat.108
Dengan demikian berfikir kreatif Pendidikan Agama Islam adalah
hasil belajar yang telah dicapai oleh mahasiswa yang merupakan tolok ukur
keberhasilan mahasiswa dalam bidang PAI. Diharapkan dengan berfikir kreatif
ini mahasiswa tidak hanya mampu memahami dan menghayati ajaran-ajaran
agama Islam tetapi juga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik
perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, ketrampilan berfikir maupun
ketrampilan motorik.
Kreativitas yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi dari
berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor intrinsik)
individu antara lain minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif,
sedangkan faktor dari luar diri (faktor ekstrinsik) individu antara lain faktor
lingkungan yaitu alam, sosial budaya dan keluarga dan faktor instrumental yaitu
kurikulum, program, sarana dan fasilitas dan dosen.109
108
fatiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazaly, terj. Fathur Rahman,
Syamsuddin Asyrafi, (Bandung, PT Al Ma’arif, 1993), cet. ke-2, hlm. 11.
109
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar,(Jakarta : Rineka Cipta,
2002), cet. ke-2, hlm. 144.
49
50
110
Thursan Hakim, Belajar Secara efektif, (Jakarta : Puspa Swara, 2000), hlm. 11.
111
Moedjiono, Proses Belajar Mengajar, (jakarta : PT Remaja Rosdakarya, 2002), cet.
ke-6, hlm. 35.
50
51
51