Anda di halaman 1dari 7

A.

   Pengertian Bias Dalam Pengambilan Keputusan

Penelitian menunjukkan bahwa penilaian seorang negosiator tidak selamanya


“rasional.”  Dalam pengambilan keputusan seringkali terperangkap cacat
keputusan, sehingga hasil-hasil perundingannya di bawah optimal.  Dalam
literatur teori keputusan atau proses kognitif, misalnya yang dibangun atas
temuan-temuan Tverski dan Kahneman, ini disebut bias
atau heuristics.  Heuristics adalah semacam “jalan pintas” dalam proses
pembuatan keputusan dan penilaian.  Seringkali, heuristics ini terjadi dalam
kondisi ketidakpastian serta didasarkan atas data yang validitasnya
terbatas. Dengan demikian, ini tergolong kepada persoalan judgment under
uncertainty danjudgment under risk.

B.   Beberapa faktor Penyebab adanya Bias dalam pengambilan keputusan

1.    Heuristics
Menggunakan “petunjuk praktis” untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Seorang yang mengambil keputusan di bawah tekanan deadline waktu, sering
terjebak dalam salah pengambilan keputusan disebabkan karena hanya
menggunakan informasi yang tidak lengkap dan kurang relevan untuk
dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan.
2.    Kutukan Pemenang [Winner’s Curse]
Pedagang setuju melepas dagangannya sesuai harga yang Anda ajukan.  Tapi
mengapa Anda malah resah dan menyesal? 
Persoalan pokok dalam kutukan pemenang adalah: salah satu dari dua perunding
memiliki informasi yang lebih banyak atau lebih baik – dalam kasus di atas, si
pedagang. Sementara, Anda menganggap enteng arti penting informasi akurat
dalam transaksi. Nasihat orang-orang tua, “teliti sebelum membeli,” sangat
relevan dalam perundingan yang rasional.  Di sini “teliti” berarti
mengumpulkan dan menggunakan informasi sebelum dan saat
berunding.  (Apa beda “kutukan pemenang” dengan “Pak Tua yang selalu
benar”?) 
3.    Pem-bingkai-an [Framing]
Memilih dan menggarisbawahi aspek tertentu dari suatu keadaan dengan
mengabaikan aspek yang lain. Misalnya, Jimmy Connors, mantan petenis
kaliber dunia mengatakan, “Ketika bertanding, saya cenderung ‘takut kalah’
daripada ‘ingin menang’”? Dengan kata lain, prospek kalah lebih besar artinya
bagi Connors daripada prospek menang.  Atau, ia cenderung menghindari
resiko daripada mengambil resiko. 
Dalam perundingan, frame adalah soal bagaimana perunding merumuskan isu dan
hasil yang mereka hadapi dalam suatu perundingan.  Framing – positif atau
negatif, half emptyatau half full, keuntungan atau kerugian – sangat penting
artinya, terutama dalam membimbing seseorang memilih taktik
berunding.  Penelitian menunjukkan bahwa perunding berbingkai kehilangan
lebih sulit memberi konsesi dibanding perunding berbingkai perolehan.  Begitu
pula, perunding berbingkai perolehan lebih berhasil dibanding yang
berframe kehilangan, karena yang pertama berhasil mencapai lebih banyak
kesepakatan dibanding yang kedua.  Sehubungan dengan perundingan harga,
riset menunjukkan bahwa perunding yang berbingkai kehilangan bisa mencapai
kesepakatan yang lebih optimal baginya bila berhadapan dengan perunding
yang berbingkai perolehan. Dengan kata lain, bingkai kehilangan bisa juga
menjadi aset, yaitu bila lawan berunding menggunakan bingkai perolehan. 
Jadi, pada kunjungan berikutnya ke toko DVD bajakan (per keping Rp 10.000,
setiap beli 5 gratis 1 keping), berapa keping akan Anda beli (baca: bingkai apa
yang Anda gunakan)? 

4.    Kemiripan [Representativeness]
Menggambarkan analogi dan menilai kemiripan peristiwa  berdasar pada seberapa
dekat peristiwa tsb menyerupai peristiwa yg lain. Sebagai contoh, hasil
perundingan Munich 1938, Inggris setuju menutup mata atas agresi
NAZI.  Dewasa ini, jika ada tendensi tutup mata terhadap suatu agresi, politisi
internasional akan mengatakan,”Kalau dibiarkan, ini akan menjadi Munich
kedua”.
Orang sering mencari kemiripan antara perundingan yang sedang dihadapinya
dengan preseden di masa lalu.  Penilaian, pemilihan taktik, dan pengambilan
keputusan pun kemudian cenderung disamakan dengan perundingan terdahulu
yang dianggap serupa. Padahal, yang serupa belum tentu sama, bukan?

5.    Ketersediaan [Availability]
Kehilangan objektivitas dalam pengambilan keputusan karena focus hanya pada
kejadian yang baru terjadi. Misalnaya, seminggu terakhir, Anda menonton 5
film Johny Depp.  Ketika diminta mengusulkan nama aktor pria untuk diulas di
rubrik film, Anda pun mengusulkan Johny Depp – bukan Al Pacino yang baru
saja berulang tahun, Sean Penn yang lagi-lagi masuk pusat rehabilitasi, Leo
diCaprio yang baru merilis film baru, Forrest Whittaker yang baru mendapat
Oscar, atau Marlon Brando yang baru saja wafat.  Kenapa ya?
Ketersediaan adalah penggunaan contoh atau skenario yang tersedia dan gampang
teringat (vivid, salient) untuk menilai frekuensi, probabilitas, atau plausibilitas
suatu isu atau peristiwa.  Fakta atau informasi lain cenderung diabaikan hanya
karena tidak segar dalam ingatan.  Sesuatu yang masih segar dalam ingatan
perunding tampak lebih sering terjadi, lebih mungkin terjadi, atau lebih pantas
terjadi.  Guna menghindari bias ketersediaan, perunding perlu hati-hati supaya
ketersediaan informasi tertentu tidak menyebabkannya lupa menganalisis
situasi negosiasi.  Ingat, informasi harus dinilai berdasarkan keandalannya,
bukan ketersediaannya.  Bedakan antara informasi yang relevan dan dapat
diandalkan dari yang masih segar dalam ingatan dan dikenal dekat.

6.    Kesalahan Biaya yg ditanamkan (Sunk Cost Errors) / Patokan awal dan


penyesuaian [Anchoring and insufficient adjustment]
 Lupa bahwa tindakan yang sekarang tidak dapat mempengaruhi kejadian yang
lalu dan hanya berhubungan dengan konsekuensi di masa depan. 1 x 10 x 100 x
1000 x 10000 sekilas terasa lebih kecil nilainya dibandingkan 10000 x 1000 x
100 x 10 x 1.  Dua tahun lalu Anda mendapat angpao Rp 500.000.  Tahun lalu
Anda mendapat Rp 700.000.  Tahun ini, orang tua Anda sebenarnya punya
rencana memberi Rp 1.000.000.  Sayang Anda hanya meminta Rp
900.000.  Mengapa demikian?
Sesuatu (informasi, skenario, preseden, dll) yang menjadi patokan awal biasanya
berperan besar dalam pengajuan tawaran dan pembuatan konsesi.  Terkadang
perunding terlampau terpaku pada patokan tersebut, sehingga gagal membuat
penyesuaian yang tepat.  
Ketika perunding menanggapi tawaran awal lawan dengan mengajukan
penawaran dan penyesuaian, ia telah menerima atau memberi kredibilitas
terhadap patokan awal yang dibuat lawan.  Status quo, jalan keluar yang paling
menonjol, dan focal point sering menjadi patokan awal.  Jika patokan awal
terlalu ekstrem, apa yang Anda lakukan?  Re-anchoringdan
atau threatening.  Menurut riset, penggunaan patokan awal terutama terjadi
dalam situasi perundingan yang ditandai dengan ketidakpastian.

7.    Bias Kepuasan Yang cepat


Memilih alternatif yang menawarkan hasil yang cepat dan menghindari biaya
yang cepat. Asumsi ini sering sekali salah. Misalnya Kita akan menerima
pegawai baru, perusahaan tidak membuka lamaran secara terbuka, karena
dinilai terlalu lama dan akan memakan biaya, jadi yang dilakukan perusahaan
hanya mengandalkan referensi/promosi dari pkenalan pegawai lama, yang
belum tentu akan dapat menguasai pekerjaan tersebut. Dibandingkan dengan
diadakannya penerimaan secara terbuka dan dari hasil seleksi yang ketat, tentu
hasilnya akan lebih maksimal.

8.    Bias Konfirmasi / Eskalasi yang tidak rasional


Mencari informasi yang menegaskan kembali pilihan yang lalu dan mengabaikan
informasi yang berlawanan. Dalam suatu keputusan  yang telah diambil,
banyak dari pengambil keputusan akan melanjutkan keputusan tersebut, untuk
kasus yang sama tetapi dalam periode berbeda. Ini disebut eskalasi komitmen
atau eskalasi konflik yang tidak rasional. Artinya, langkah yang telah diambil
terus diikuti walaupun sudah tidak optimal dan menguntungkan.  Dalam bahasa
dangdut,”Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali.” Waktu, tenaga, uang, dan
perhatian yang telah banyak dicurahkan menjadi pembenar untuk terus
melanjutkan langkah yang diambil (supaya “pengorbanan” tidak sia-sia),
walaupun tidak rasional lagi.  Perunding seharusnya tidak menjadikan sunk
costs (investasi uang, waktu, tenaga, yang telah dilakukan) sebagai rujukan,
tapi keadaan sekarang dan untung rugi masa depan. 

9.    Bias Peninjauan ke Belakang (Hindsight Bias)

Kesalahan meyakini bahwa suatu kejadian dapat diramalkan jika hasil aktual
diketahui. Misalnya, anda membayangkan pacar Anda ngambek karena
semalam Anda tidak apel (hujan deras, Sayang!).  Hari ini Anda datang
membawakan coklat favoritnya, menyewakan DVD yang sudah lama ingin
ditontonnya, dan menawarkan mengetikkan tugasnya.  Anda tidak tahu bahwa
sebenarnya dia senang Anda tidak datang: tiga tugas kuliahnya selesai, bisa
pesan delivery pizza (Anda selalu menolak diajak makan pizza), dan sempat
bikin slumber party dengan teman-teman se-kost.  Nah lo!
Terkadang, seorang perunding beranggapan bahwa ia dan lawan rundingnya
berbeda kepentingan atau bertikai mengenai sesuatu hal, padahal sebenarnya
tidak.  Konflik yang ia bayangkan ternyata semu.  Malahan, ia dan lawan
rundingnya menginginkan hal yang sama (common value).  Akan tetapi, karena
bertindak berdasarkan anggapan adanya konflik, si perunding mendapatkan
hasil yang tidak optimal. 
Dalam kasus di atas, Anda dan pacar memiliki common value: tidak apel.  Bias
konflik semu membuat Anda menyangka telah membuat konsesi untuknya
dengan membawakan coklat dll, padahal tidak.  Bayangkan jika pacar Anda
dari awal menggunakan taktikstrategic mispresentation dan berkata,”Oke,
kamu boleh tidak apel, tetapi kamu harus A, B, dan C.”  Di mata Anda, ia
seperti memberi konsesi (merelakan tidak diapeli), padahal ia mendapatkan
semua yang diinginkannya: Anda tidak apel, A, B, dan C. 

10.  Persepsi yang Selektif [Reactive Devaluation]


Selektif mengatur dan  menafsirkan peristiwa yang berdasar pada persepsi mereka
yang bias. Misalnya, dalam sebuah mediasi, Ahmad Dhani serta merta menolak
klausul yang diajukan Maia.  Padahal, klausul yang sama, jika diajukan oleh
Kak Seto, sang mediator, atau pihak ketiga lainnya (termasuk Mulan!), pasti
akan diterima Ahmad Dhani. Ini yang disebut reactive devaluation.
Perunding seringkali beranggapan bahwa usulan lawan hanya menguntungkan diri
lawan sendiri, dan karenanya merugikan diri si perunding.  Akibatnya, sebagus
apapun usul lawan, perunding pasti men-devaluasi-nya, alias mengurangi
bobotnya.  Semakin rendah rasa percaya antarperunding, semakin tinggi
kemungkinan masing-masing saling mendevaluasi usul lawan.

11. Bias Keacakan (Randomness Bias)


Menciptakan makna yang tidak diketahui dari peristiwa acak. Acapkali dari
banyaknya peristiwa yang terjadi disekitar, kita malah sering mengambil salah
satu kesimpulan dari salah satu peristiwa yang terjadi, padahal, peristiwa-
peristiwa tersebut belum tentu dapat mewakili dari kesimpulan atas keputusan
yang akan kita ambil, untuk satu peristiwa.

12. Terlalu percaya diri [Overconfidence]


Menganut pandangan positif yang tidak realistis tentang diri seseorang dan kinerja
seseorang. Ada kalanya, seorang perunding terlalu yakin bahwa taktik dan
ancamannya jitu, bahwa lawan akan segera menurunkan tuntutan atau memberi
banyak konsesi, serta bahwa ia akan menang.  Merasa di atas angin, perunding
enggan menurunkan tawaran dan memberi konsesi.  Dan karena tidak
mengantisipasi kegagalan, ia pun tidak membuat rencana cadangan. 
Perunding yang terlalu PD biasanya hanya berorientasi pada perolehan
sendiri.  Perunding yang berorientasi pada perolehan bersama cenderung
melihat “both sides having equally strong cases” sehingga tidak serta merta
melihat diri sendiri sebagai “yang pantas menang” atau “yang akan menang
mudah”.

13. [Mood states]
Kapan terakhir kali Anda berunding saat sedang bete?  Kreatifkah jalan keluar
yang disepakati dalam perundingan tersebut?
Riset menunjukkan bahwa suasana hati yang riang mengurangi kemungkinan
perunding bersikap kasar serta meningkatkan kemampuan kognitifnya dalam
mengenali solusi-solusi kreatif.  Suasana hati yang positif menjadikan
perunding lebih banyak menaruh kepercayaan terhadap lawannya, lebih
bersedia mendengar dan mengeksplorasi opsi, serta lebih banyak bertukar
konsesi.  Konon, keberhasilan Henry Kissinger terletak pada kepiawaiannya
menggunakan humor sebagai alat diplomasi.

Intinya, cacat keputusan seringkali terjadi karena perunding men-diskon


informasi.  Men-diskon artinya menganggap enteng, mengurangi bobot,
mengabaikan, atau bahkan mengingkari informasi tersebut.  Diskon dilakukan
karena banyak alasan, antara lain karena informasi dianggap tidak relevan,
tidak sesuai script, tidak selaras dengan patokan, tidak mirip, atau tidak segar;
atau karena perunding merasa di atas angin, merasa benar sendiri, sedang bete,
menghadapi konflik semu, atau sudah terlanjur mengorbankan banyak hal. 

Anda mungkin juga menyukai