Anda di halaman 1dari 4

Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits

A. Pengertian Tahammul al-Hadits dan Ada’ al-Hadits

Pengertian Tahammul al-Hadits


Menurut bahasa Tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ً‫ت ََح ُّمال‬-ُ‫يَتَ َح َّمل‬-‫ )تَ َح َّم َل‬yang
berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Para Ulama mengistilahkan bahwa Tahammul al-Hadits adalah menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah “mengambil atau menerima
hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahammul ini sebenarnya
masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di
bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga
berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya hadits tersebut
diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
Tahammul menurut istilah ialah :
ِ ‫ث َواَخَ َذ ع َِن ال َّشي‬
‫ْخ‬ ِ ‫ تَلَقِّ ْى ْال َح ِد ْي‬: ُ‫التَّ َح ُّم ُل َم ْعنَاه‬
“Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Definisi lain dikatakan dalam Ilmu Mustalah Hadits
‫ق التَّ َح ُّم ِل‬ ِ ْ‫ق ِم ْن طُرُو‬ ٍ ‫ْخ بِطَ ِر ْي‬ ِ ‫ث َع ِن ال َّشي‬ ِ ‫ ه َُواَ ْخ ُذ ْال َح ِد ْي‬: ‫التَّ َح ُّم ُل‬
“Tahammul adalah mengambil hadis dari seorang syeikh dengan metode tertentu dari beberapa
metode”.
Pengertian Ada’ al-Hadits
Kata ada’ (ٌ‫ )أَدَاء‬berasal dari kata ً‫ أَ َّدى – ي ُْؤ ِدى – تَاْ ِديَة‬yang artiya melaksanakan pekerjaan pada waktunya,
membayar pada waktunya, atau menyampaikan kepadanya. Misalnya, melaksanakan shalat, zakat,
dan puasa pada waktunya, sedangkan jika melaksanakan di luar waktuny itu disebut qada’. Para
ulama mengistilahkan menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain dengan istilah al-
ada’.
Secara terminologi ada’ adalah :
‫ص ٍة‬ َ ْ‫صيَ ٍغ َم ْخصُو‬ ِ ‫ِر َوايَةٌ ال َح ِد ْي‬
ِ ِ‫ث َوتَ ْبلِ ْي ُغهُ لِ َغي ِْر ِه ب‬
“Meriwayatkan hadits dan menyampaikan kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata
tertentu”.
Definisi lain dikemukakan dalam Ilmu Mustalah al-Hadits
‫ َح َّدثَنِ ْي‬: ‫ فَالَ يَ ْب ُد ُل‬,‫صيَ ِغ ْاألَدَا ِء‬ ِ ‫ َحتَّى فِ ْي‬pُ‫ْث َك َما َس ِم َعه‬ َ ‫ إِ ْبالَ ُغهُ إِلَى ْال َغي ِْر َويُؤَ دِّي ْال َح ِدي‬: ‫ث‬
ِ ‫ أَدَا ُء ْال َح ِد ْي‬,ُ‫ث َوأَدَائُه‬
ِ ‫ْاالَدَا ُء هُ َو تَ ْبلِ ْي ُغ ْال َح ِد ْي‬
, ‫ َح َّدثَنِ ْي‬: ‫ْخ فِ ْي قَوْ لِ ِه‬ ِ ‫ اِتَّبِ ْع لَ ْفظَ ال َّشي‬: ‫ نُقِ َل ع َْن ْا ِإل َم ِام أَحْ َم َد أضنَّهُ قَا َل‬,‫ح‬ ِ َ‫ف َم ْعنَا هَافِ ْي ْا ِالصْ ِطال‬ ِ َ‫ْت أَوْ نَحْ َوهَا اِل ِ ْختِال‬ ُ ‫بِأ َ ْخبَ َرنِ ْي أَوْ َس ِمع‬
ُ‫ َواَ ْخبَ َرنَا َوالَتَ ْع ُده‬, ‫ْت‬ ُ ‫ َو َس ِمع‬, ‫و َح َّدثَنَا‬. َ

“Ada’ adalah menyampaikan hadits dan meriwayatkannya, sedangkan ada’ al-hadits adalah
menyampaikan hadits kepada orang lain dan meriwayatkannya sebagaimna ia mendengar sehingga
dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan dalam periwayatan. Tidak boleh lafal ‫ َح َّدثَنِ ْي‬tetapi diganti
dengan ‫ أَ ْخبَ َرنِ ْي‬atau ‫ْت‬ pُ ‫ َس ِمع‬atau persamaannya karena berbeda makna dalam istilah. Diriwayatkan dari
Imam Ahmad , ia berkata: ikutilah lafalnya syeikh yang digunakan dalam periwayatan pada
perkataan ‫ َح َّدثَنِ ْي‬, ‫ َح َّدثَنَا‬, ‫ْت‬ ُ ‫ َس ِمع‬dan ‫ اَ ْخبَ َرنَا‬jangan engkau lewatkan.”
B. Syarat Tahammul Wal Ada’ Al-Hadits
Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya
keikhlasan hati dan lurusnya niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyimpang,
merupakan adab atau tata krama seorang tholibul al-hadits. Dalam menerima hadits, harus
memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan istilah
ahli yatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.
1. Tamyiz
Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa
ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan
antara sapi dan khimar. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan
menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran
tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan
baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan
pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya yang menerima hadits walaupun
mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadits dengan
batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena
pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi.
Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia
sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn
Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.

Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits


Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal dengan istilah
ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang perowi harus muslim. Menurut ijma’,
periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim
yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun
dalam tahammul hadits orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus
sudah masuk Islam.
b. Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits. Baik baligh
karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini
bisa diketahui dalam ketab-kitah fiqih
c. ‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
seorang rowi memiliki sifat ‘adl di dalam riwayatnya. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti
orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan
kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua
syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang
kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (‫)مجهول‬
d. Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan hadits yang ia
sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya, serta hafal
sejak ia menerima hadits hingga ia meriwayatkannya.

Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:


1) Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam
dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
2) Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang catatan hadits yang
ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia meriwayatkan hadits sesuai dengan
tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.
Sighat Tahammul Wal Ada’ al-Hadits
1. As-sima’i (Mendengarlafazh guru)
Yaitu murid mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara mengimlakkan maupun
bukan, baik dari hafalannya maupun membaca tulisannya.
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari
hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar atau menulis apa yang didengarnya, atau
mendengar saja dan tidak menulis.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang ia dengar (terima) itu, sirawi menggunakan
sighat، (‫) َح َّدثَنَا‬،(‫)أَ ْخبَ َرنَا‬، (‫ْت()أَ ْنبَأَنا‬
pُ ‫سمعنا ) َس ِمع‬
2. Al-Qiro’ah (Membacadarisyeikh)
Gambarannya: seorang perawi membaca hadits kepada seorang syeikh, dan syeikh mendengarkan
bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang
syeikh mendengarkan.
Ketika sirawi itu sendiri membaca hadits kepada syeikhnya, maka waktu menyampaikannya, ia
pakai sighat(‫)انباءنى‬. Sedangkan jika orang lain yang membaca, sedang ia mendengarkan, maka
ketika menyampaikan kepada rawi lain, ia sebut:،(‫ت َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫)اَ ْخبَ َرنَا( )قَ َر ْأ‬
3. Al-Ijazah
Artinya seorang syeikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan ataupun
tulisan. Gambarannya: seorang syeikh mengatakan kepada salah seorang muridnya: “aku izinkan
kepadamu untuk meriwayatkan dari kudemikian”.
Dalam menyampaikan sesuatu yang didapati dengan ijazah, sirawi berkata، (ً‫)أَ ْخبَ َرنَافُاَل ٌن إِ َجازَ ة‬،(
‫)شَافَهَنى()فِ ْي َمااِ َجا َزنِ ْي فُاَل ن‬.[5]
4. Al-Munawalah(Menyerahkan)
Al-Munawalah ada 2 macam :
a. Munawalah yang disertai dengan ijazah.
Munawalah yang disertai ijazah ketika menyampaikan riwayat itu, sirawi berkata (‫ )انباءنى‬atau (
‫)انباءنا‬.
b. Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah.
Munawalah yang tidak dengan ijazah, hendaklah ia berkata (‫ )ناولنى‬atau (‫)ناولنا‬.[6]
5. Al-Kitabah
Yaitu seorang syeikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada
orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Mukatabah ini ada yang disertakan dengan ijazah, dan ada yang tidak pakai ijazah, tetapi kedua-
dua macam itu boleh dipakai.
Waktu menyampaikan hadis yang didapati dengan perantara mukatabah, sirawi berkata kepada
orang yang ia sampaikan nyan(‫ى فُاَل ٌن‬ َّ َ‫َب اِل‬
َ ‫) َكت‬.
6. Al-I’lam(Memberitahu)
Yaitu seorang syeikh memberitahu seorang murid nya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah
riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya.
Ketika menyampaikan riwayat dari jalan I’lam, sirawi berkata، (‫)اَ ْعلَمنِ ْى فُاَل ٌن()فِ ْي َماأَ ْعلَ َمنِى َش ْي ِخى‬.
7. Al-Wahsiyyah(Mewasiati)
Yaitu seorang syeikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya a atau dalam perjalanan, sebuah kitab
yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang diterima dengan jalan wasiat ini
boeh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiyat ini, sirawi berkata ،(‫صيَ ِة‬ ِ ‫ى ()أَ ْخبَ َرنِى فُاَل ٌن بِ ْال َو‬
َّ َ‫صى اِل‬
َ ْ‫اَو‬
ٍ ‫)فُاَل ٌن بِ ِكتَا‬.
‫ب‬
8. Al-Wijadah(Mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syeikh dan ia mengenal
syeikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, sirawi berkata، (
‫ب فُاَل ن‬ِ ‫ت فِى ِكتَا‬ُ ‫ت ِبخَ طِّ فُاَل ٌن() َو َج ْد‬
ٌ ‫)و َج ْد‬.[7]
َ
Dari uraian di ataskelompok kami menyimpulkan bahwa dalam menerima dan menyampaikan
(meriwayatkan) hadits ada 8 (delapan) metode yaitu: As-Sama’ (mendengar lafadz guru), Al-
Qiro’ah (membaca dari syeikh), Al-Ijazah, Al-Munawalah (menyerahkan), Al-Kitabah, Al-I’lam
(memberitahu), Al-Wahsiyah (mewasiati), Al-Wijadah (mendapat).

Anda mungkin juga menyukai