Anda di halaman 1dari 5

Netralitas Sains

Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat Ilmu


T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)

Di kolom "Hikmah" Republika 6 Maret 1999 saya mengulas tentang sains (dalam hal ini
sains alami - natural science) yang sering disalahartikan dalam hal netralitasnya terhadap
sistem nilai. Dalam tulisan pendek tersebut saya menyatakan bahwa dari segi esensinya
semua sains sudah Islami. Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Tidak ada sains Islam dan
sains non-Islam. Yang ada saintis Islam dan saintis non-Islam. Saintisnya yang tidak bebas
nilai, tata nilai yang dianutnya tidak akan lepas dari pikirannya yang mungkin muncul dalam
pemaparan yang bersifat populer, bukan pada makalah teknis ilmiah. Demi kesahihan
argumentasi ilmiahnya, tata nilai harus dilepaskan dalam pemaparan yang bersifat teknis
ilmiah karena saintis harus berpijak pada rujukan yang dapat diterima semua orang.

Pada saat yang sama muncul tulisan Freddy P. Zen dan Husin Alatas di IDEA edisi Maret
1999 berjudul "Islamisasi Sains atau Islamisasi Saintis". Ide pokoknya sama dengan tulisan
saya tersebut, bahwa sains itu bebas nilai. Hal penting yang perlu dilakukan adalah Islamisasi
saintis.

Secara umum itulah pandangan saintis. Almarhum Prof. Abdus Salam (pemenang Nobel
Fisika 1979, Fisikawan Muslim asal Pakistan -- yang dianggap kontroversial sebagai
pengikut Ahmadiyah) menyatakan secara tegas di dalam pengantarnya untuk buku "Islam and
Science : Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality" (Hoodbhoy, P. 1992)
menyatakan "There is only one universal science, its problems and modalities are
international and there is no such thing as Islamic science just as there is no Hindu science,
no Jews science, no Confucian science, nor Christian science."

Tulisan Zen dan Alatas tersebut ditanggapi oleh Herman Soewardi, Guru besar sosiologi dan
filsafat ilmu, dalam makalah yang disampaikan di Pusdai. Dengan menggunakan terminologi
dari Tarnas, SBS (Sains Barat Sekuler), tulisan tersebut menilai sains tidak netral. Pandangan
bahwa sains netral dianggapnya "terbelakang" dan "sudah ketinggalan zaman". Dilandasi
pandangan para pakar filsafat ilmu, pandangan ketidaknetralan sains tampaknya didasarkan
pada dampak buruk SBS yang, katanya, berpokok pangkal pada kesalahan (controverted,
disaproved). Pandangan seperti itu akhirnya sampai pada kesimpulannya Kegley bahwa sains
itu "paradigm-bound phenomenon", yang berarti tidak mungkin netral.

Saya menilai perbedaan pendapat tentang netralitas sains tersebut bersumber dari sudut
pandang yang berbeda. Saintis berangkat dari makna fisis didasari norma-norma
profesionalisme yang selalu digelutinya. Para pakar filsafat ilmu berangkat dari makna
filosofis yang belum tentu sesuai dengan makna fisisnya. Saintis mengambil kesimpulan dari
data-data yang ada dengan menyadari kesalahan-kesalahan (deviasi) yang harus selalu
dinyatakan untuk dapat dinilai akurasinya. Pakar filsafat ilmu menggali lebih dalam, mungkin
melibatkan juga metafisika, yang di luar lingkup tinjauan sains.

Dengan memodifikasi gambaran komparatif tentang sains oleh Prof. Herman Suwardi, saya
membuat dua klasifikasi: Pertama, Sains versi saintis (yang oleh Prof. Herman Suwardi
disebut SBS) yang berangkat dari premis-premis empiris. Sains tidak mungkin dibangun dari
sumber-sumber non-fisis yang tidak mungkin dikaji ulang oleh saintis lainnya. Betapa pun
rendahnya akurasi data empiris tersebut (tergantung perkembangan teknologi observasi dan
analisisnya) tidak dapat dikatakan "salah". Nilai kebenaran sains memang relatif, tergantung
bukti-bukti dan argumentasi fisis yang jadi landasannya. Selama belum ada bukti yang
menggugurkan suatu teori sains, maka teori itulah yang dianggap benar.

Ke dua, "sains" versi filsafat yang, katanya, seharusnya berangkat dari premis-premis
transendental. Karena berangkat dari premis transedental bisa muncul sebutan "sains" Islam,
"sains" Kristen, "sains" Yahudi, "sains" Hindu, "sains" Shinto, dan sebagainya. "Sains"
seperti ini dibangun dari nilai-nilai kebenaran yang dipandu wahyu atau sumber transedental
yang diakui oleh kelompok tersebut. Nilai kebenaran sains versi filsafat ini mutlak bagi yang
mengakuinya, tetapi mungkin dianggap salah total bagi yang tidak mengakuinya.

Untuk memperjelas perbedaan sudut pandang tersebut, saya bahas dua contoh kasus yang
disebut dalam makalah Prof. Herman Suwardi.

Teori Relativitas

Teori relativitas ada dua: Teori Relativitas Khusus dan Teori Relativitas Umum. Teori khusus
menyatakan bahwa masing-masing pengamat yang bergerak seragam (tanpa percepatan) akan
menyatakan hasil pengukuran yang berbeda, misalnya tentang panjang, waktu, dan energi.
Asumsinya, prinsip relativitas dan kecepatan cahaya yang konstan. Salah satu bukti
kebenaran teori ini yang dikenal masyarakat adalah teori kesetaraan massa dan energi,
E=mc2, bila ada m massa yang dihilangkan akan muncul energi sebesar E. Teori inilah yang
menjadi dasar penggunaan energi nuklir, baik untuk maksud damai maupun untuk maksud
merusak.

Teori umum memperluas teori khusus dengan meninjau pengamat yang bergerak dipercepat
relatif terhadap lainnya akibat gravitasi. Teori ini memperkenalkan kelengkungan
ruangwaktu. Sumber gravitasi besar menyebabkan kelengkungan ruangwaktu yang dalam.
Karena kesetaraan massa dan energi (antara lain cahaya), gravitasi bukan hanya
mempengaruhi massa tetapi juga cahaya. Cahaya akan dibelokkan mengikuti geometri
ruangwaktu di sekitar sumber gravitasi tersebut. Misalnya, cahaya galaksi yang jauh yang
melintasi galaksi lain sebagai sumber gravitasi kuat akan dibelokkan sehingga tampak bukan
pada posisi sesungguhnya. Fenomena ini juga dikenal sebagai lensa gravitasi, sehingga satu
galaksi yang berada jauh di belakang galaksi lain, tampak seperti beberapa galaksi sejenis di
sekitar suatu titik sumber gravitasi.

Teori sains seperti itu, menurut saintis, netral, bebas nilai. Teori tersebut bebas dibuktikan
oleh siapa pun. Teori tersebut makin kuat posisinya karena semakin banyak bukti yang
mendukungnya. Hukum alam yang diformulasi teori tersebut bukan buatan manusia, tetapi
hukum Allah (sunnatullah). Einstein dan para saintis lainnya hanya memformulasikannya.
Hukum Allah itu telah ada bersama dengan alam yang diciptakan-Nya. Siapa pun yang
memformulasikannya dengan benar akan menghasilkan teori yang sejalan.

Bukti bebas nilainya sains dapat juga ditunjukkan dari lahirnya teori penyatuan gaya lemah
dan gaya elektromagnetik yang dirumuskan secara independen oleh Abdus Salam (seorang
Muslim) dan Steven Weinberg (seorang ateis). Dua orang yang berbeda sistem nilainya dapat
menghasilkan teori yang sama. Mungkin ada motivasi ketauhidan pada diri Abdus Salam,
bahwa Alam yang diciptakan oleh Allah yang esa hukum-hukumnya mempunyai keterkaitan
yang dapat dipersatukan dalam satu teori besar (Grand Unified Theories -- GUTs). Tetapi
motivasi dan argumentasi ketauhidan seperti itu tidak akan muncul secara formal dalam
publikasi saintifik, karena belum tentu dapat diterima semua orang.

Teori relativitas pun tersebut juga dapat dikatakan Islami. Artinya, mengikuti hukum Allah
(Islam dalam arti yang umum berarti berserah diri). Teori yang mengungkapkan bagaimana
alam tunduk pada hukum Allah sudah pasti berarti juga mengikuti hukum Allah.

Hukum gravitasi Newton telah mengungkapkan hukum Allah yang mengatur gerakan-
gerakan planet mengitari matahari. Orang kemudian melihat suatu keanehan dengan orbit
planet Merkurius yang orbitnya selalu bergesar. Bila orang menganggap hukum Newton
sebagai formulasi hukum Allah yang sempurna, boleh menyatakan bahwa Merkurius
"membangkang" dari hukum Allah. Ternyata kesan "pembangkangan" planet Merkurius
disebabkan karena keterbatasan formulasi teori Newton. Karena alam semestinya taat pada
hukum Allah sesuai dengan janji ketika diciptakan (Q. S. 41:11), mestinya ada formulasi
yang lebih baik yang bisa menjelaskan bahwa planet Merkurius tidak "membangkang"
hukum Allah. Teori relativitas menjelaskan bahwa karena posisi Merkurius dekat dengan
matahari, ada tambahan gaya dorong yang menyebabkan orbitnya berubah. (Ini contoh
pemaparan saintis Islam tentang teori sains yang bebas nilai itu).

Itulah esensi teori sains. Menjelaskan hukum Allah sebatas pengetahuan manusia karena
keterbatasan ilmu manusia (Q. S. 17:85). Tidak ada seorang saintis pun yang dapat
mengklaim suatu teori sains yang paling benar secara mutlak. Ungkapan yang bisa
dinyatakan adalah "bukti-bukti pengamatan saat ini membuktikan teori inilah yang paling
kuat", artinya bisa saja suatu saat ada bukti lain yang menggugurkannya.

Dalam sains tidak masalah "...create more problems than they solve" (mengutip ungkapan
tentang SBS dalam makalah Prof. Herman Suwardi), tentu dalam konteks problem saintifik.
Karena, saintis selalu merasa tertantang dengan problem-problem baru. Banyak orang tidak
menyangka bahwa sebenarnya sebagian besar waktu saintis digunakan untuk merencanakan
cara memperoleh data baru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saintifik terbaru.

Dalam tinjauan filsafat ilmu (mengutip makalah Prof. Herman Suwardi), teori relativitas
dipandang makna filosofisnya bahwa ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran
dan kita tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati
kenyataan. Karena itu orang tidak mungkin tahun ("know") tentang alam. Maka, mengutip
Tarnas, realitas atau "scientific truth" sekarang menjadi kabur. Seseorang tidak mungkin
mempunyai akses rasional pada kebenaran universal. Observasi merupakan titik lemah dari
sains karena obyektivitas observasi tidak mungkin. Karena semua orang memandang segala
hal yang ada di alam empirik ini dengan mata yang dilapisi oleh "lensa" dan setiap orang
memiliki lensanya sendiri. Sehingga sains dianggapnya sebagai fenomena yang terikat pada
paradigma. Karenanya, beralasan bila dengan cara pandang demikian dan menghendaki
kebenaran hakiki (hal yang lazim dalam filsafat) sampai pada kesimpulan "sains" tidak tidak
netral. Memang, mengkaji secara mendalam mencari kebenaran universal yang hakiki mau
tidak mau akan bersentuhan dengan sistem nilai yang dianut dalam kajian tersebut.

Sebenarnya, mencari kebenaran hakiki bukan lagi ruang lingkup kajian sains. Karena sains
tidak mungkin sejauh itu. Sains berkepentingan pada kebenaran saintifik berdasarkan bukti-
bukti yang diakui menurut kaidah-kaidah ilmiah. Diharapkan kebenaran saitifik tersebut
mendekati kebenaran hakiki, tetapi tak seorang saintis pun berhak mengklaim itulah
kebenaran hakiki. Jadi, definisi "sains" yang disebut tidak netral oleh pakar filsafat ilmu pasti
bukan sains yang dimaksud oleh para saintis.

Kerusakan Lapisan Ozon

Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan legitimasi bahwa sains
tidak netral dan tidak Islami. Sains yang berdampak buruk itu diasosiasikan sebagai sains
barat sekuler (SBS). Sebagai alternatifnya ditawarkan sains Islam yang dipandu wahyu yang
semestinya tidak akan berdampak buruk. Karena Islam dijanjikan Allah sebagai rahmat bagi
alam semesta.

Ada yang rancu di sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan
teknologi) sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains alami.
Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada perilaku manusia
penggunanya. Sains itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen,
pisau tukang sayur, atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila digunakan
untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif.

Sains dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan ozon di
atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-
sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas
matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya
menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon
yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC. Kini sains menemukan
bahan alternatif yang tidak merusak ozon.

Dapatkah sains dipersalahkan dan dijuluki sains barat sekuler yang merusak? Kebetulan yang
menemukan freon adalah saintis non-Muslim. Karena sains bersifat universal, sebenarnya
mungkin juga saintis Muslim yang menemukannya. Bila demikian yang terjadi, bolehkah
pada awal penemuannya bahan yang sangat berguna dalam proses pendinginan diklaim
sebagai bagian dari hasil sains Islam, sains Barat, atau lainnya? Karena keterbatasan ilmu
manusia, tidak semua dampak dapat diprakirakan. Ketika kini diketahui dampak buruknya,
tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa itu produk sains barat sekuler. Bisa jadi, bila
dulu yang menemukannya seorang Muslim dan diklaim sebagai hasil sains Islam, maka sains
Islam yang akan dihujat.

Mungkinkah Mewujudkan Sains Islam?

Para saintis segera menjawab pertanyaan seperti itu, "Tidak mungkin mewujudkan sesuatu
yang tidak ada!". Karena sains bersifat universal dan bebas nilai, tidak ada sains Islam. Tetapi
bagaimana bila diujicobakan dengan usulan menjelmakan ilmu tauhidullah dengan mengganti
premis-premis empiris yang sembarang dengan premis-premis transendental?

Pada awal 1980-an Pakistan dibawah kepemimpinan Zia ul Haq yang mencanangkan
Islamisasi di segala bidang sudah mencoba mengkaji penciptaan sains Islam. Berdasarkan
premis transendental dalam ayat-ayat Al-Quran bahwa jin terbuat dari api tanpa asap, pakar
energi ada yang menawarkan energi alternatif: menangkap jin sebagai sumber energi yang
gratis. Ada yang mengkaji secara kimia, jin kemungkinan besar terbuat dari gas metan dan
hidrokarbon jenuh sehingga bila terbakar tidak mengeluarkan asap. Tetapi tidak dijelaskan
bagaimana merealisasikannya. Itulah contoh upaya menjelmakan sains Islam yang dinilai
para saintis tidak realistis dan memalukan (Hoodbhooy, 1992).

Ada metode yang ditawarkan dengan menggunakan "hati" sebagai penangkap keghaiban
untuk memperoleh premis-premis transendental. Karena metodenya bukan metode fisis,
maka hasilnya tidak dapat dianggap sebagai sains. Jadi, metode ini tidak mungkin
menghasilkan sains Islam. Lagi pula, siapakah yang dapat mengklaim bahwa premis-premis
yang digunakan benar-benar bersifat transendental sehingga menjamin "sains" yang
dihasilkan bebas dari limbah berbahaya.

Metode menggunakan "hati" serupa itu pernah dicoba oleh seorang mahasiswa ITB aktivis
masjid pada awal 1980-an. Dia bercerita kepada saya bahwa ia berkelana untuk mencari ilmu
"laduni" (maknanya ilmu dari sisi-Ku, sisi Allah) yang dia percayai bisa mengatasi segala
persoalan, termasuk masalah iptek yang rumit. Saya tidak tahu berhasil atau tidak dia mencari
ilmu non-fisik itu. Namun, awal 1990-an saya mendengar dari seorang kerabatnya dia
mengalami stres berat. Ini hanya suatu peringatan bila suatu masalah fisis didekati dengan
pendekatan non-fisis dengan harapan yang terlalu besar untuk mendapatkan problem-solving
yang ideal.

T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer

ISNET Homepage  | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan

Anda mungkin juga menyukai