Anda di halaman 1dari 33

IKHLAS, TAWAKAL, SYUKUR

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlak yang diampu oleh:

Dr. Udin Supriadi, M.Pd.


Ganjar Eka Subakti, M.Pd.

MAKALAH

Disusun oleh:

Halfira Rahmah 1800373


Lutfiah Firdaus 1806967
Miftahul Hamdi 1808361
Yogi Mardani 1804224

ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan ke kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pencipta dan
pemelihara alam semesta dengan segala isinya. Karena berkat ridha dan karunia-Nya tugas
ini dapat terselasaikan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan untuk memenuhi salah
satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Akhlak yang diampu oleh Bapak Dr. Udin Supriadi,
M.Pd dan Ganjar Eka Subakti, M.Pd.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Udin Supriadi, M.Pd. dan
Ganjar Eka Subakti, M.Pd. selaku dosen Pendidikan Akhlak yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberi dukungan serta berpartisipasi dalam penyelesaian tugas makalah ini.
Dalam makalah ini, kami sangat menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan
dalam penugasan mata kuliah Pendidikan Akhlak. Karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran maupun kritik yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, September 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4


A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 5
D. Sistematika Penulisan Makalah ........................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A. Ikhlas .................................................................................................................................... 6
B. Tawakal ................................................................................................................................ 8
C. Syukur ................................................................................................................................ 21
D. Hikmah Ikhlas, Tawakal dan Syukur ................................................................................. 27
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 31
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 31
B. Saran .................................................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 32

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak merupakan salah satu komponen terpenting yang harus diterapkan
dalam kehidupan manusia terutama di kehidupan sehari-hari. Dari akhlak lah
perilaku manusia dapat dibedakan antara yang baik dan yang buruk. Karena itulah
pendidikan akhlak penting untuk dipelajari agar kita dapat menentukan batas antara
baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin. Di dalam akhlak dikenal istilah ikhlas, syukur
dan tawakal
Ikhlas adalah beramal dan berjihad mencari ridha allah, tanpa
mempertimbangkan harta, pangkat, status, popularitas, kemajuan atau
kemunduran, supaya dia dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan amal dan
kerendahan akhlaknya serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT.
Pentingnya perilaku ikhlas dalam kehidupan sehari-hari yaitu membuat segala
perbuatan yang dijalankan oleh seseorang tersebut bernilai ibadah di sisi Allah
SWT.
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada yang
selain dari Allah dan menyerahkan segala sesuatu hanya kepadaNya. Seseorang
sangat membutuhkan perilaku tawakal, karena dengan adanya sikap tawakal maka
seseorang tidak akan berputus asa ketika mengerjakan atau melakukan suatu usaha
yang hasilnya tidak sesuai dengan harapannya.
Syukur adalah berterima kasih kepada Allah SWT dan pengakuan yang
tulus atas nikmat dan karuniaNya melalui ucapan, sikap dan perbuatan. Kemudian
dalam kehidupan , manusia itu pentig berperilaku syukur, karena orang yang
beriman senantiasa bersyukur.
Penjelasan akhlak diatas kami susun lebih jelas dalam bentuk sebuah
makalah. Di samping untuk menambah wawasan kami sebagai penulis makalah ini,
kami berharap segenap pembaca lainnya mampu menjadikan makalah ini sebagai
ilmu rujukan dalam kehidupan bermasyarakat.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana yang dimaksud dengan Ikhlas?
2. Bagaimana yang dimaksud Syukur?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan Tawakal?
4. Bagaimana hikmah dari akhlak Ikhlas, Syukur dan Tawakal?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Ikhlas
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Syukur
3. Untuk mengetahui penjelasan tentang Tawakal
4. Untuk mengetahui hikmah-hikmah dari akhlak Ikhlas, Syukur dan
Tawakal

D. Sistematika Penulisan Makalah


Makalah ini disusun dengan memuat hal-hal seperti: cover, kata pengantar,
daftar isi, bab I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, dan sistematika penulisan makalah. Bab II yang terdiri dari
beberapa sub judul yang membahas tentang ikhlas, syukur dan tawakal. Bab III
penutup yang terdiri dari dua sub judul yaitu kesimpulan yang memuat ringkasan
akhir dari hal-hal yang dibahas pada bab II, dan saran yang memuat saran dari
penyusun makalah agar pembaca dapat memperbanyak referensi. Serta bagian
terakhir daftar pustaka.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Ikhlas menurut bahasa arab yaitu ‫ خالص‬yang mempunyai pengertian tanqiyah asy-
syai wa tahdzibuhu (mengosongkan sesuatu dan membersihkannya). (Faris, 1991)
Ikhlas merupakan bentuk masdar dari kata ‫ اخلص يخلص اخالص‬yang secara bahasa berarti
yang tulus, yang jujur, yang murni, yang bersih, dan yang jernih (shafa) , naja wa
salima (selamat), washala (sampai), dan (memisahkan diri), atau berarti perbaikan
dan pembersihan sesuatu. (Zakaria A. a.-H.-F., 1986) Secara etimologi, kata ikhlas
dapat berarti membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik
berupa materi ataupun immateri). Sedangkan secara terminologi, ikhlas mempunyai
pengertian kejujuran hamba dalam keyakinan atau akidah dan perbuatan yang hanya
ditujukan kepada Allah.
Lalu ada definisi ikhlas menurut beberapa ulama, yaitu :
a) Menurut pendapat Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa ikhlas mempunyai
arti pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang, pemurnian amal
dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian ucapan
dari kata-kata yang tidak berguna, dan pemurnian budi pekerti dengan mengikuti
apa yang dikehendaki oleh Tuhan. (lChizanah, 2011)
b) Menurut al-Qusyairi, ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan
semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk
mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa
ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau maknamakna
lain selain pendekatan diri pada Allah. Bisa juga di artikan penjernihan perbuatan
dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh
pribadi. (an-Nasaburi)
c) Al-Ghazali menyatakan bahwa amal yang sakit adalah amal yang dilakukakan
karena mengharap imbalan surga. Bahkan menurut hakikatnya, bahwa tidak

6
dikehendaki dengan amal itu selain wajah Allah Swt. Dan itu adalah isyarat
kepada keikhlasan orang-orang yang benar (al-siddiqiin), yaitu keikhlasan
mutlak. (Al-Ghazali, 1989)
d) Muhammad `Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah Swt.
dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya
dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan
diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat
selain dari-Nya sebagai pelindung. (Ridla, 1947)

2. Ikhlas Dalam Al-Qur’an


Di dalam Al Qur’an, kata ikhlas disebutkan sebanyak 31 kali pada 30 ayat
dalam 18 surat. Tetapi, ikhlas yang memiliki arti secara hakikat ada pada dua ayat
berikut :

a) Q.S Al-An’am : 162


َ ْ َّ
‫ّلِل َر ِب ٱل ََٰعل ِم َين‬ َ َ َ ‫ص ََلتى َو ُن ُسكى َو َم ْح َي‬
َ َّ ُ
ِ ِ ‫اى وم َما ِتى‬ ِ ِ ‫ق ْل ِإن‬
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
b) Q.S Ar-Rad ayat 22
َ ْ َ َ َّ ََ َ ‫َو َّالذ‬
‫الصَل َة َوأ ْن َف ُقوا ِم َّما َر َزق َن ُاه ْم ِس ًّرا َو َعَل ِن َية َو َي ْد َر ُءو َن‬ َ
‫ص َب ُروا ْاب ِتغ َاء َو ْج ِه َرِب ِه ْم َوأق ُاموا‬
َ ‫ين‬
ِ
َّ ‫السي َئ َة ُأ ََٰولئ َك َل ُه ْم ُع ْق َبى‬
‫الد ِار‬ َّ ‫ب ْال َح َس َن ِة‬
ِ ِ ِ
Artinya: “dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada
mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan
kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”

3. Tingkatan Ikhlas
Ikhlas merupakan suatu kesucian hati yang dilakukan oleh seorang hamba dalam
melakukan segala sesuatu dan menekadkannya dalam hati bahwa itu dimaksudkan
untuk dan hanya Allah SWT. Dengan meneguhkan perasaan dan bertanggung jawab

7
sepenuhnya atas apa yang dimaksudkan dalam definisi ikhlas tersebut. Ikhlas pun
terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a) Ikhlas Awam, yaitu dalam beribadah kepada Allah, karena dilandasi perasaan rasa
takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala.
b) Ikhlas Khawas, yaitu beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan
supaya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak
ia mendapatkan sesuatu dari Allah SWT.
c) Ikhlas Khawas al-Khawas yaitu beribadah kepada Allah karena atas kesadaran
yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya
Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya.

B. Tawakal
1. Pengertian Tawakkal
Kata tawakkal berasal dari bahasa Arab at-tawakkul yang dibentuk dari kata ‫وكل‬
yang berarti mewakilkan atau menyerahkan diri. Kata tawakkal juga dapat dimaknai
menyerahkan segala perkara, ihktiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt
serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah untuk mendapatkan manfaat atau
menolak yang mudarat. (DEPDIKNAS, 2003)

Tawakal dan yang seakar dengannya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 70 kali
dalam 31 surah, di antaranya surah Ali Imran ayat 159 dan 173, an-Nisa ayat 81, Hud
ayat 123, al-Furqan ayat 58, an-Naml ayat 79 dan lain sebagainya. (Baqy, 1980)
Secara terminologis berbagai definisi tawakal dikemukakan oleh ulama’. Definisi
tersebut antara lain:
a) Ibnu Rajab al-Hambali mengemukakan, tawakkal adalah bersandarnya hati
dengan sebenarnya kepada Allah Ta‟ala dalam memperoleh kemaslahatan dan
menolak mudharat dari urusan dunia dan akherat secara keseluruhan (Dumaiji.
2015: 16).
b) Ibnu Qoyyim al-Jauzi mengatakan bahwa tawakal merupakan amalan dan
ubudiyah (penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada
Allah, tsiqah terhadapNya, berlindung hanya kepadaNya dan ridha atas sesuatu
yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya

8
segala kecukupan bagi dirinya dengan tetap melaksanakan faktor-faktor yang
mengarahkannya pada Sesutu yang dicarinya serta usaha keras untuk dapat
memperolehnya. (al-Jauziyah, 1972)
c) Imam al-Ghazali mendefinisikan bahwa tawakal adalah menyandarkan diri
kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam
kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa dan hati yang tenang.
(Muhammad I. a.-G., 1995)
d) Yusuf al-Qardhawi juga menjelaskan bahwa tawakal adalah memohon
pertolongan, sedangkan penyerahan diri secara totalitas adalah satu bentuk
ibadah. (al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, 2004)
Dari berbagai macam definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasannya tawakal
merupakan manifestasi keyakinan di dalam hati yang memberi motivasi kepada
manusia dengan kuat untuk menggantungkan harapan kepada Allah SWT dan
menjadi ukuran tingginya iman seseorang kepada Allah SWT. Di samping Islam
mendidik umatnya untuk berusaha, Islam juga mendidik umatnya untuk bergantung
dan berharap kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali ’Imran
ayat 122:
ْ ْ َ َّ َ َ َ َ ُ ُّ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ٓ َّ
‫ٱّلِل فل َي َت َو َّك ِل ٱْلُ ْؤ ِم ُنو َن‬ َ ْ
ِ ‫ِإذ ه َّمت طا ِئفت ِان ِمنكم أن تفشَل وٱّلِل و ِليهما ۗ وعلى‬

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, Padahal Allah
adalah penolong bagi kedua golongan itu. karena itu hendaklah kepada Allah saja
orangorang mukmin bertawakal.”

2. Tawakkal dalam Al-Qur’an

Tawakal dan yang seakar dengannya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 70 kali
dalam 31 surah, di antaranya surah Ali Imran ayat 159 dan 173, an-Nisa ayat 81, Hud
ayat 123, al-Furqan ayat 58, an-Naml ayat 79 dan lain sebagainya. (Baqy, 1980).
Berikut rincian kata tawakal dan yang seakar dengannya dalam al-Qur’an:

9
10
11
12
13
14
Pada makalah ini saya tidak akan memaparkan seluruh surat di atas melainkan
hanya beberapa saja terkhusus mengenai perintah untuk tawakkal dan
pelaksanaannya. Allah memerintahkan untuk bertawakal hanya kepadaNya semata,
dan Allah melarang untuk menjadikan wakil selainNya. Sebagaimana dalam
alQur‟an telah banyak perintah Allah untuk bertawakal kepadaNya, Allah berfirman;

ْ ْ َ َّ َ َ َ َ ُ ُّ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ٓ َّ
‫ٱّلِل فل َي َت َو َّك ِل ٱْلُ ْؤ ِم ُنو َن‬ َ ْ
ِ ‫ِإذ ه َّمت طا ِئفت ِان ِمنكم أن تفشَل وٱّلِل و ِليهما ۗ وعلى‬
Artinya: Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena takut, padahal
Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada
Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. Ali Imran, 3: 122).

َّ ‫َو َت َو َّك ْل َع َلى ْٱل َعزيز‬


‫ٱلر ِح ِيم‬ ِ ِ
Artinya: “Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang”. (QS. Asy-Su’ara, 26: 217).

َ
‫وب ِع َب ِاد ِهۦ خ ِبيرا‬
ُُ َََ ْ َ ْ َ َ ُ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ َّ َ َ َ
ِ ‫وتوكل على ٱلح ِى ٱل ِذى َل يموت وس ِبح ِبحم ِد ِهۦ ۚ وكف َٰى ِب ِهۦ ِبذن‬
Artinya: “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya”. (QS. Al-Furqon, 25: 58).

ْ ْ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ۟ ُّ َ َ ْ َ ْ َ َ ًّ َ َ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ
‫ٱس َتغ ِف ْر‬‫ٱّلِل ِلنت لهم ۖ ولو كنت فظا غ ِليظ ٱلقل ِب َلنفضوا ِمن حوِلك ۖ فٱعف عنهم و‬ ِ ‫ف ِبما رحم ٍة ِمن‬
ُْ َّ َ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ
َ َّ ‫ٱّلِل ۚ إ َّن‬
‫ٱّلِل ُي ِح ُّب ٱْل َت َو ِك ِل َين‬ ِ ِ ‫لهم وش ِاورهم ِفى ٱْلم ِر ۖ ف ِإذا عزمت فتوكل على‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.

15
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali
Imron, 3:159).

3. Macam-Macam Tawakkal

Dilihat dari pengertian etimologis, yang mana pengertian tawakal adalah


menyerahkan atau mewakilkan, tawakal dapat dibagi menjadi dua macam, yakni
tawakal kepada Allah SWT dan tawakal kepada selain Allah.

a) Tawakal kepada Allah ta’ala

Sesuai dengan objeknya tawakal kepada Allah terbagi menjadi empat


macam, di antaranya adalah:
Pertama, tawakal kepada Allah SWT dalam keadaan diri yang istiqamah
serta dituntun dengan petunjuk Allah, serta bertauhid kepada Allah secara
murni, dan konsisten terhadap agama Allah baik secara lahir maupun batin tanpa
berusaha untuk memberikan pengaruh kepada orang-orang lain. Dalam artian
sikap tawakal hanya bertujuan memperbaiki dirinya sendiri tanpa melihat
kepada orang lain.
Kedua, tawakal kepada Allah SWT dalam istiqamah sebagaimana di atas,
dengan tambahan tawakal kepada Allah SWT dalam upaya penegakan agama
Allah di muka bumi, menanggulangi kehancuran, melawan bid’ah, berjihad
menghadapi orang-orang kafir dan munafik, perhatian kepada maslahat kaum
Muslimin, amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan pengaruh kepada orang lain
sehingga mereka hanya menyembah Allah saja. Hal yang demikian ini adalah
tawakal yang ada pada diri para nabi dan tawakal para pewarisnya, yaitu para
ulama yang akan datang setelah mereka. Ini adalah tawakal yang paling agung
dan paling bermanfaat. (Ad-Dumaiji, 2006)
Al-Allamah Ibnu Sa’di Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa
tawakal para Rasul SAW adalah tawakal yang paling tinggi tingkatan dan
derajatnya. Yaitu tawakal kepada Allah dalam menegakkan dan membela
agamaNya, memberikan petunjuk kepada hambaNya dan menghilangkan

16
belitan kesesatan dari mereka. Inilah tawakal yang paling sempurna.
(Abdurrahman An-Nashir As-Sa’di, 1988)
Ketiga, tawakal kepada Allah dalam rangka seorang hamba ingin
mendapatkan berbagai hajat dan bagian duniawi atau dalam rangka menghindari
berbagai hal yang tidak diharapkan dan berbagai musibah duniawi.
Sebagaimana orang yang bertawakal untuk mendapatkan rezeki, kesehatan, istri,
anak, suatu kemenangan atas musuhnya atau lainnya. Dengan demikian, ia akan
mendapatkan terbatas pada apa yang ia bertawakal deminya di dunia dan tidak
akan mendapatkan apa-apa berkenaan dengan itu di akhirat. Kecuali, jika ia
berniat meminta bantuan dengan hal itu untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla.
Keempat, tawakal kepada Allah dalam rangka mendapatkan sesuatu yang
haram hukumnya atau menolak apa-apa yang diperintahkan. Ada pula orang
yang bertawakal kepada Allah dalam rangka mendapatkan dosa dan kekejian
“sesungguhnya orang-orang yang memiliki tuntutan sedemikian itu pada
umumnya tidak akan mendapatkannya melainkan dengan meminta pertolongan
kepada Allah dengan tawakal mereka kepadaNya. Bahkan terkadang tawakal
mereka lebih kokoh dari pada tawakal kebanyakan ahli ketaatan. Oleh sebab itu,
mereka mendapati dirinya berada dalam kebinasaan dan kehancuran dengan
tetap saja bersandar kepada Allah agar Dia menyelamatkan dan menyampaikan
kepada keberhasilan dan menggapai berbagai tuntutan. (al-Jauziyah, 1972)

b) Tawakal kepada selain Allah


Sebagaimana orang-orang yang bertawakal kepada orangorang yang telah
mati dan para thaghut dalam rangka menyampaikan harapan tuntutannya berupa
pemeliharaan, penjagaan, rezeki dan syafa’at. Perbuatan seperti itu merupakan
kesyirikan besar. Semua perkara yang semacam itu dan sejenisnya yang dapat
mengatasi hanya Allah SWT semata, tidak ada yang mampu mengatasi
selainNya. (Ad-Dumaiji, 2006)

Tawakal yang seperti di atas tersebut dinamakan tawakal rahasia, karena


tawakal yang begitu tidak pernah ada melainkan pada orang yang berkeyakinan

17
bahwa mayit itu memiliki hak untuk bersikap secara rahasia kepada alam
semesta ini, serta tidak ada bedanya antara seoarang Nabi, wali, thaghut atau
musuh Allah SWT.
Tawakal kepada selain Allah berkenaan dengan perkara-perkara yang
dimampui dan akan berhasil sesuai dugaannya. Hal yang demikian seperti
tawakal berkenaan dengan sebab-sebab yang real dan biasa, dan perbuatan
semacam itu merupakan syirik kecil. Sebagaimana seseorang yang bertawakal
kepada seorang amir atau sultan dalam hal-hal yang dijadikan oleh Allah
ditangannya sebagai rezeki atau penolakan suatu yang menyakitkan dan
semacam itu. Ini adalah syirik tersembunyi. Oleh sebab itu dikatakan,
“menoleh kepada sebab-sebab adalah syirik dalam tauhid disebabkan kekuatan
keterikatan dan bersandarnya hati kepadanya.
Perkara yang demikian itu karena hati tidak akan bertawakal melainkan
kepada siapa yang ia berharap kepadanya. Barang siapa yang menaruh
pengahrapan pada kekuatan, amal, ilmu, kondisi, kawan, kerabat, guru, raja
atau hartanya dengan tidak memperhatikan Allah lagi. Maka pada sikap yang
demikian itu terdapat suatu macam tawakal kepada sebab tersebut. Siapa saja
yang menaruh pengharapan kepada makhluk atau tawakal kepadanya,
menyebabkan kegagalan terhadap perkiraannya karena yang demikian itu
adalah kesyirikan. (al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju Keberhasilan dan
Kebahagiaan Hakiki) Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj
ayat 31.

َ َّ َ َ ٓ َّ َ َّ َ َ َّ َ َ َ َّ ْ ْ ُ َ َ َ ْ ْ َ َّ ‫ُح َن َف ٓا َء‬
‫ٱلس َما ِء ف َت ْخط ُف ُه ٱلط ْي ُر أ ْو َت ْه ِوى‬ ِ ‫ّلِل غي َر ُمش ِر ِكين ِب ِهۦ ۚ ومن يش ِرك ِب‬
‫ٱّلِل فكأنما خر ِمن‬ ِ ِ
‫يق‬ َ َ َ ُ ‫به‬
ٍ ‫ٱلريح ِفى مك ٍان س ِح‬
ِ ِِ

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.


Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-
olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke
tempat yang jauh.”

18
c) Mewakilkan yang dibolehkan

Mewakilkan yang dibolehkan. Yaitu ia menyerahkan suatu urusan kepada


seseorang yang mampu dikerjakannya, dengan demikian orang yang
menyerahkan urusan itu (bertawakal) dapat tercapai beberapa keinginannya.
Mewakilkan di sini berarti menyerahkan untuk dijaga, seperti ungkapan, “aku
mewakilkan kepada Fulan”, berarti aku menyerahkan urusan itu kepada Fulan
untuk dijaga dengan baik. Mewakilkan menurut syari’at seseorang menyerahkan
urusannya kepada orang lain untuk menggantikan kedudukannya secara mutlak
atau pun terikat. Mewakilkan dengan maksud seperti ini diperbolehkan menurut
alQur’an, hadis dan Ijma’. (Ad-Dumaiji, 2006)

4. Tingkatan Tawakkal

Tawakal memiliki tingkatan-tingkatan menurut kadar keimanan, tekad dan cinta


orang yang bertawakal tersebut, di antaranya adalah:
Pertama, mengenal Rabb berupa sifat-sifatNya, kekuasaanNya, kekayaanNya,
kemandirianNya, berakhirnya segala perkara kepada ilmuNya dan kemunculannya
karena masyi’ah (kehendak) dan kodratnya. Mengenal Allah ini merupakan tangga
pertama yang padanya seorang hamba meletakkan telapak kakinya dalam
bertawakal.
Kedua, menetapkan sebab dan akibat. Ketiga, mengokohkan hati pada pijakan
“tauhid tawakal” (mengesakan Allah dalam bertawakal). Keempat, bersandarnya
hati dan ketergantungannya serta ketentramannya kepada Allah. Tanda seseorang
telah mencapai tingkatan ini ialah bahwa ia tidak peduli dengan datang atau perginya
kehidupan duniawi. Hatinya tidak bergetar atau berdebar saat meninggalkan apa
yang dicintainya dan menghadapi apa yang dibencinya dari kehidupan duniawi.
Karena ketergantungannya kepada Allah telah membentengi dirinya dari rasa takut
dan berharap pada kehidupan duniawi. (Abu Thalib al-Makki, 2017)
Kelima, baik sangka kepada Allah SWT. Sejauh mana kadar sangka baiknya dan
pengharapannya kepada Allah, maka sejauh itu pula kadar ketawakalan kepadaNya.
Keenam, menyerahkan hati kepadaNya, membawa seluruh pengaduan kepadaNya,

19
dan tidak menentangnya. Apabila seorang hamba bertawakal dengan tawakal
tersebu, maka tawakal itu akan mewariskan kepadanya suatu pengetahuan bahwa dia
tidak memiliki kemampuan sebelum melakukan usaha, dan ia akan kembali dalam
keadaan tidak aman dari makar Allah.
Ketujuh, melimpahkan wewenang (perkara) kepada Allah (tafwidh). Ini adalah
ruh dan hakikat tawakal, yaitu melimpahkan seluruh urusannya kepaada Allah
dengan kesadaran, bukan dalam keadaan terpaksa. Orang yang melimpahkan
urusannya kepada Allah, tidak lain karena ia berkeinginan agar Allah memutuskan
apa yang terbaik baginya dalam kehidupannya maupun sesudah mati kelak. Apabila
yang diputuskan untuknya berbeda dengan apa yang disangkanya sebagai yang
terbaik, maka ia tetap ridha kepadaNya karena ia tahu bahwa ia lebih baik baginya,
meskipun segi kemaslahatannya tidak tampak di hadapannya. (Abu Thalib al-Makki,
2017)
Di dalam bukunya Drs. Supiana dan M. Karman menjelaskan tingkatan tawakkal:
1. Tingkat Bidayah (pemula), yaitu pada tingkatan hati yang selalu merasa tentram
terhadap apa yang telah dijanjikan Allah
2. Tingkatan Mutawasittah (pertengahan) yaitu yaitu tingkatan hati yang selalu
merasa cukup menyerahkan segala urusan kepadaAllah karena yakin bahwa Allah
mengetahui keadaan dirinya
3. Tingkatan nihayah (terakhir) yaitu tawakkal pada tingkat yang terjadi penyerahan
diri seseorang pada ridha atau merasa lapang menerima segala ketetapan Allah.
Tawakkal ini menyerahkan sebulat-bulatnya kepada Allah. (Karman, 2001)

5. Manfaat Bertawakkal

Buah yang dapat dipetik oleh orang yang bertawakkal setelah berhasil
mewujukan maqam kedudukan yang sangat tinggi dan mulia ini. Hal terpenting
diantaranya adalah:
a) Mewujudkan iman
b) Ketenangan jiwa dan rehat hati
c) Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakkal
d) Sebab terkuat dalam mendatangkan manfaat dan menolak berbagai mudlarat.

20
e) Mewariskan cinta Allah kepada sang hamba
f) Mewariskan kekuatan hati, keberanian, keteguhan dan menantang para musuh.
g) Mewariskan kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan
h) Mewariskan rizeki, rasa ridha dan memelihara dari kekuasaan syetan
i) Sebab masuk surga tanpa hisab dan azab.

6. Contoh Perilaku Tawakkal

Orang yang bertawakkal kepada Allah akan berperilaku sebagai berikut:


a) Selalu bersyukur apabila mendapat nikmat dan bersabar jika belum atau tidak
tercapai apa yang diinginkannya.
b) Tidak pernah berkeluh kesah dan gelisah.
c) Tidak meninggalkan usaha dan ikhtiar untuk mencapai sesuatu
d) Menyerahkan dirinya atas semua keputusan kepada Allah SWT setelah
melakukan usaha dan ikhtiar secara sempurna.
e) Menerima segala ketentuan Allah dengana ridha terhadap diri dan keadaannya.
f) Berusaha memperoleh suatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.
(Supriyanto, 2010)
Dan sebagai tanda tawakkal kita kepada Allah, kita yakin bahwa segala sesuatu
yang datang dari diri kita, adalah yang terbaik bagi diri kita. Tiada keraguan
sedikitpun didalam hati, apabila mempunyai perasaan untuk menghindarinya, segala
sesuatu yang menimpa kita. Meskipun hal tersebut terasa pahit dan pedih bagi kita,
jika hal itu datangnya dari Allah, tentunya hal itu yang terbaik bagi kita. Inilah bentuk
tawakkal yang sesungguhnya.

C. Syukur
1. Pengertian Syukur

Kata syukur yang sudah menjadi bagian dari kosa kata dalam bahasa
Indonesia, berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa asalnya, syukur ditulis dengan
syukr (‫)شكر‬yang merupakan bentuk masdar. Kata kerja (fi'il)nya adalah syakara
(madi), dan yasykuru (mudari'). Di samping itu, ada pula kata syukur (‫) شكور‬yang

21
dua kali disebut dalam al-Qur'an,yakni dalam surah al-Furqan/25: 62 dan surah al-
Insan/76:9.

Syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima
kasih kepada Allah swt, dan untunglah (meyatakan perasaan lega, senang dan
sebagainya). Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas
apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur
adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kekufuran adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berartimenggunakannya
pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-
nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah (Shihab, 1996, hal. 216).

Imam Ghazali menjelaskan bahwa syukur tersusun atas tiga perkara,


yakni:

a) Ilmu
Yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya, serta meyakini bahwa
semua nikmat berasal dari Allah swt dan yang lain hanya sebagai perantara untuk
sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah swt dan tidak akan muncul
keinginan memuji yang lain. Sedangkan gerak lidah dalam memuji-Nya hanya
sebagai tanda keyakinan.
b) Hal (kondisi spiritual)
Yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa yang tentram.
Membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang memberi nikmat, dalam
bentuk ketundukan, kepatuhan. Mensyukuri nikmat bukan hanya dengan
menyenangi nikmat tersebut melainkan juga dengan mencintai yang memberi
nikmat yaitu Allah swt.
c) Amal perbuatan
Ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan, yaitu hati yang
berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur
dengan pujian kepada Allah swt dan anggota badan yang menggunakan nikmat-
nikmat Allah swt dengan melaksanakanperintah Allah swt dan menjauhi
larangan-Nya.

22
Al Kharraz yang dikutip oleh Amir An-Najjar mengatakan syukur itu terbagi
menjadi tiga bagian yaitu:

1) Syukur dengan hati adalah mengetahui bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari
Allah swt bukan selain dari-Nya.
2) Syukur dengan lisan adalah dengan mengucapkan al-Hamdulillah dan memuji-
Nya.
3) Syukur dengan jasmani adalah dengan tidak mempergunakan setiap anggota
badan dalam kemaksiatan tetapi untuk ketaatan kepada-Nya. Termasuk juga
mempergunakan apa yang diberikan oleh Allah swt berupa kenikmatan dunia
untuk menambah ketaatan kepada-Nya bukan untuk kebatilan.
Muhammad Quraish Shihab menyebutkan bahwa syukur mencakup tiga sisi yaitu:

a) Syukur dengan hati yakni menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh
semata-mata karena anugerah dan kemurahan dari ilahi, yang akan mengantarkan
diri untuk menerima dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan
betapapun kecilnya nikmat tersebut.
b) Syukur dengan lidah yakni mengakui anugerah dengan mengucapkan alhamdulillah
serta memuji-Nya.
c) Syukur dengan perbuatan yakni memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai
tujuan penganugerahannya serta menuntut penerima nikmat untuk merenungkan
tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah swt.

2. Konsep Dasar Syukur dalam Al-Qur’an

a) Surat Al-Baqarah ayat 152


Yang berbunyai ”Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat
kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu”
Pada ayat ini, mengandung perintah untuk mengingat Allah swt melalui
dzikir, hamdalah, tasbih dan membaca al-Qur’an dengan penuh penghayatan,
perenungan, serta pemikiran yang mendalam sehingga menyadari kebesaran,
kekuasaan, dan keesaan Allah swt. Menjauhi larangan yang Allah swt tetapkan,
sehingga Allah swt akan membuka pintu kebaikan.

23
Ayat ini juga mengandung perintah untuk bersyukur kepada Allah swt atas
nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan dengan cara mengelola dan memanfaatkan
semua nikmat sesuai dengan masing-masing fungsinya, kemudian memanjatkan
pujian pada Allah swt dengan lisan dan hati, serta tidak mengingkari semua
anugerah tersebut dengan cara mempergunakannya ke jalan yang bertentangan
dengan syari’at dan sunatullah.
Ayat ini merupakan peringatan kepada umat manusia agar tidak
terperosok seperti umat terdahulu yang telah mengingkari nikmat-nikmat Allah
swt dengan tidak menggunakan akal dan indra untuk merenungkan dan
memikirkan untuk apa nikmat-nikmat tersebut serta bagaimana cara
penggunaaanya, sehingga Allah swt mencabut nikmat tersebut sebagai hukuman
dan pelajaran bagi mereka (Al-Maragi, 1993, hal. 30-32).
b) Surat Ibrahim ayat 7
Yang berbunyi “dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan
‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka pasti azab-Ku
sangat berat’.”

3. Macam-Macam Syukur

Dalam kitab Ihya Ulumudin Imam Ghazali menguraikan bahwa syukur itu
tersusun dalam tiga hal yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan . Ilmunya adalah dengan
menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Dzat yang Maha
Pemberi kenikmatan. Keadaannya ialah menyatakan kegembiraan yang timbulnya
sebab memperoleh kenikmatan tadi, sedang amalannya ialah menunaikan sesuatu yang
sudah pasti menjadi tujuan serta dicintai oleh Dzat yang memberi kenikmatan itu untuk
dilaksanakan.

Syukur ada tiga macam yaitu :

a) Syukur dengan Hati


Syukur dengan hati, yaitu mengerti bahwa segala nikmat itu dari Allah. Sesuai
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 53 yang artinya “Dan apa saja nikmat

24
yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa
oleh kemudharatan, maka hanya kepadaNyalah kamu meminta pertolongan”.
b) Syukur dengan Lisan
Syukur dengan lisan adalah dengan cara memperbanyak pujian kepada-Nya
dan selalu memperbaharui nikmat yang diterimanya. Maksudnya adalah dengan
banyak Mengucap hamdallah karena langkah pertama dan utama dalam
bersyukur. Lafadz alhamdulillah termasuk yang paling baik diucapkan secara
lisan. Nabi bersabda, “Ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan (amal
kebaikan).” Firman Allah SWT dalam Surat Adh-Dhuha Ayat 11 yang berbunyi
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”
c) Syukur dengan Angota badan
Maksudnya membalas kenikmatan sesuai dengan haknya. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan perbuatan ketaatan dan menggunakan kenikmatan
tersebut untuk taat kepada Allah dan tidak untuk memaksiati Allah. Diantara
bentuknya adalah memberikan banyak kebaikan kepada orang lain. Bersyukur
sangat dituntut dilakukan dalam keseharian. perilaku yang baik, santun, jujur,
ramah tamah adalah bagian dari rasa syukur itu sendiri.

4. Manfaat Syukur

Sayyid Quthb yang dikutip oleh Ahmad Yani, menyatakan empat manfaat
ber-syukur (Yani, 2007, hal. 251-252), yakni:

a) Menyucikan Jiwa Ber-syukur dapat menjaga kesucian jiwa, sebab menjadikan


orang dekat dan terhindar dari sifat buruk, seperti sombong atas apa yang
diperolehnya.
b) Mendorong jiwa untuk beramal saleh Ber-syukur yang harus ditunjukkan dengan
amal saleh membuat seseorang selalu terdorong untuk memanfaatkan apa yang
diperolehnya untuk berbagi kebaikan. Semakin banyak kenikmatan yang
diperoleh semakin banyak pula amal saleh yang dilakukan.
c) Menjadikan orang lain ridha dengan ber-syukur, apa yang diperolehnya akan
berguna bagi orang lain dan membuat orang lain ridha20 kepadanya. Karena
menyadari bahwa nikmat yang diperoleh tidak harus dinikmati sendiri tapi juga

25
harus dinikmati oleh orang lain sehingga hubungan dengan orang lain pun
menjadi baik.
d) Memperbaiki dan memperlancar interaksi sosial Dalam kehidupan
bermasyarakat, hubungan yang baik dan lancar merupakan hal yang amat penting.
Hanya orang yang ber-syukur yang bisa melakukan upaya memperbaiki dan
memperlancar hubungan sosial karena tidak ingin menikmati sendiri apa yang
telah diperolehnya.

5. Cara-Cara Menyatakan Syukur

Menurut Abu Bakar Abdullah bin Muhammad, berikut cara-cara menyatakan


syukur (Muhammad A. B., 1992, hal. 26-29) diantaranya yaitu :

a) Bertasbih
b) Berdzikir
c) Ucapkan hamdalah dan istigfar
d) Berdoa
e) Melalui anggota badan

6. Penghalang Syukur

Ada lima hal yang menjadi penghalang syukur, diantaranya yaitu :

a) Hati yang sempit


Hati yang sempit adalah hati yang disetir oleh hawa nafsu yang selalu
mendewakan materi dan dipenuhi perasaan-perasaan negatif. Maka, bila
kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan maksud keinginan hati akan muncul
rasa kecewa, marah, bahkan meragukan keadilan Allah swt, sehingga rasa syukur
semakin tertekan dan semakin berat untuk berkembang.
b) Mudah mengeluh
Keluhan cenderung akan melahirkan pikiran-pikiran dan sifat-sifat negatif
dalam diri seseorang yang nantiya akan menjadi penghalang bagi dirinya untuk
ber-syukur.
c) Memandang remeh terhadap nikmat Allah swt

26
Meremehkan nikmat yang telah dianugerahkan Allah swt akan menjadikan
penghalang tumbuhnya rasa syukur pada diri seseorang.
d) Enggan berbagi
Sifat enggan berbagi atau kikir merupakan mental yang selalu merasa bahwa
apa yang dimiliki masih sedikit sehingga ketika dibagikan kepada sesama akan
muncul kekhawatiran tindakan tersebut akan menjatuhkan dirinya pada
kemiskinan.
e) Mudah putus asa
Mudah putus asa ketika menjalani proses perjuangan, membuat seseorang jadi
enggan ber-syukur karena menjadikan rintangan serta penghalang sebagai
kambing hitam untuk sebuah kegagalan, dan akhirnya berhenti berjuang dan
menyalahkan nasib atas kegagalan yang diterima.
Kemudian terdapat tiga penghalang syukur yang disebutkan oleh Muhammad
Syafi’ie el-Bantanie, yakni sebagai berikut:

a) Cinta dunia
Cinta dunia akan membuat diri kita akan selalu merasa kurang dan tidak puas
pada apa yang dimiliki dan menjadikan serakah serta lupa diri, lupa untuk ber-
syukur dengan apa yang dimiliki.
b) Bakhil
Orang yang bakhil akan menahan hartanya dan enggan mendermakan
hartanya. Bakhil akan menjauhkan seseorang dari sikap syukur, bahkan
mendatangkan azab Allah di dunia dan di akhirat.
c) Hasud
Sifat Hasud merupakan cerminan rasa tidak puas terhadap apa yang telah
dikaruniakan Allah, karena itu hasud menjauhkan seseorang dari syukur.

D. Hikmah Ikhlas, Tawakal dan Syukur


1. Hikmah Ikhlas
a) Syarat Utama Diterimanya Ibadah

27
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadah ku, hidup ku, dan mati ku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS Al Bayyinah : 5).Allah tidak menghitung
seberapa banyak atau seberapa sering hamba Nya beramal, melainkan dari
seberapa dalam keihklasannya.
b) Ditakuti Oleh Syetan
“Aku (syetan) akan menyesatkan kecuali hamba hamba Mu (Allah) yang ikhlas”.
(QS Al Hijr : 40). Jelas dari ayat Al Qur’an tersebut bahwa orang yang berhati
ikhlas tidak mampu digoda oleh syetan sehingga senantiasa berada ada jalan
yang lurus.
c) Pokok (dasar) Dari Amal Perbuatan
Amal perbuatan dilakukan dengan fisik yang terlihat dan dengan hati yang hanya
diketahui oleh Allah. Ikhlas berada di dalam hati manusia, jika memiliki pokok
(dasar) yang baik maka imbalan baik pula yang akan diterima dan sebaliknya
seperti ungkapan ulama Ibnu Qayim berikut “Amalan hati ialah pokok dan
amalan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna.” (Badai’ul Fawaaid
3/224).
d) Mendapat Kelapangan Hati
Diantara keutamaan ikhlas adalah memiliki kelapangan dalam hatinya yang
merupakan salah satu cara meningkatkan akhlak, ia tidak menjadikan dunia
sebagai tujuan, melainkan berbuat kebaikan untuk mencari bekal di kehidupan
akherat nanti sehingga ia sama sekali tidak bertujuan untuk mendapat sanjungan
dari manusia. “Barang siapa menjadikan akherat sebagai tujuannya maka Allah
akan menjadikan kekayaan dalam hatinya”. (HR At Tirmidzi).
e) Selamat Dari Neraka
“Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang orang yang paling
merugi perbuatannya yaitu orang orang yang telah sia sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik
baiknya”. (QS Al Kahfi : 103-104).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang senantiasa menghitung amal
perbuatan mereka dan menganggap telah memiliki bekal yang banyak untuk
kehidupan di akherat telah melakukan perbuatan yang sia sia sebab menunjukkan

28
bahwa dia tidak ikhlas dan membanggakan kebaikannya, lain halnya dengan
orang yang ikhlas, dia tidak akan menghitung berapa banyak yang dia lakukan
melainkan senantiasa merasa kurang dan memperbaiki diri serta niat dalam
hatinya sehingga akan dijauhkan oleh Allah dari api neraka.
f) Bersih Dari Hawa Nafsu Duniawi
Ikhlas membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi yang terlihat maupun yang
tersembunyi, membersihkan diri dari godaan syetan dan segala unsur penyakit
hati seperti riya’, rakus, sombong dalam islam, gila harta atau pangkat, dll sebab
ia hanya melakukan ibadah dengan ketaatannya kepada Allah, ingin selamat
dunia akherat.
g) Jauh Dari Munafik
Orang yang ikhlas tidak akan riya’ dalam berbuat amal kebaikan, riya dalam
islam merupakan ciri ciri orang munafik dan sifat orang munafik, dia akan
senantiasa berbuat baik dalam keadan sendiri maupun bersama orang banyak,
senantiasa memperbaiki diri untuk terus beramal karena yakin Allah melihat
setiap amal baik dan buruk nya sekecil apapun.
h) Doa Akan Diijabah (Dikabulkan)
“Setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan”. (HR Muslim 1907).
Maksud dari hadist tersebut ialah orang yang ikhlas memohon sesuatu karena
mengharap kebaikan dari Allah akan mendapat kebaikan (dikabulkan doa nya)
sesuai niatnya tersebut.

2. Hikmah Tawakal
Orang yang bertawakal kepada Allah SWT. Akan senantiasa mempertimbangkan dan
merencanakan setiap pekerjaannya diserahkan kepada kehendak Allah SWT. Oleh
karena itu, orang yang bertawakal akan memperoleh banyak hikamah, di antaranya:
a) Setiap urusan akan terencana dengan baik dan matang
b) Mendapatkan ketenangan hati
c) Bersikap optimis
d) Menyadari keagungan Allah dan keterbatasan usaha manusia

29
3. Hikmah Syukur
Perlu dikemukakan di sini bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah,
melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam bahasa Indonesia, syukur
kepada sesama manusia ini disebut terima kasih. Islam memerintahkan umatnya
untuk membalas kebaikan orang lain dengan berterima kasih atau bersyukur. Bahkan
dinyatakan bahwa keengganan untuk bersyukur kepada manusia berarti keengganan
untuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda: “Berangsiapa tidak bersyukur kepada
manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR: Ahmad dan atTirmizi dari
Abi Sa'id).
Dalam kaitannya dengan syukur kepada Allah, manfaatnya akan kembali kepada
pelakunya, bukan kepada Allah sebagai pemberi nikmat. Kebesaran dan kekuasaan
Allah tidak akan bertambah lantaran syukur manusia. Demikian pula sebaliknya,
kerugian akibat perilaku kufur tidak merugikan Allah. Kebesaran dan kekuasaan-
Nya tidak akan berkurang lantaran ingkarnya manusia terhadap nikmat yang telah
Dia berikan.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhlak terpuji yaitu tingkah laku yang merupakan tanda kesempurnaan iman
seseorang kepada Allah. Akhlak yang terpuji dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula.
Ada berbagai macam akhlak terpuji, baik terpuji kepada Allah, kepada alam, kepada
sesama manusia, dan kepada diri sendiri. Di antaranya yaitu Ikhlas, Tawakal dan Syukur.
Ikhlas adalah beramal dan berjihad mencari ridha allah, tanpa
mempertimbangkan harta, pangkat, status, popularitas, kemajuan atau kemunduran,
supaya dia dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan amal dan kerendahan akhlaknya
serta dapat berhubungan langsung dengan Allah SWT. Tawakkal berarti sikap pasrah dan
menyerah terhadap hasil suatu pekerjaan atau usaha dengan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Ikhtiar diartikan berusaha karena pada hakikatnya orang yang
berusaha berarti memilih. Sabar berarti tahan menderita sesuatu, tidak lekas marah, tidak
lekas patah hati, dan tidak lekas putus asa. Bersyukur adalah berterima kasih kepada
Allah atas karunia yang dianugerahkan kepada dirinya.

B. Saran
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak ditemukan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada pembaca yang hendak
mengkaji tema serupa, agar memperbanyak referensi dalam pengolahan informasi.
Penulis juga menyarankan agar pengkajian terhadap ikhlas, tawakal dan syukur tidak
hanya bersifat deskirptif, namun alangkah lebih baik jika kajian dilakukan secara analitik
sehingga dapat diperoleh pelajaran-pelajaran yang lebih mendalam untuk
diimplementasikan di kehidupan sehari-hari

31
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman An-Nashir As-Sa’di. (1988). Taisir Al-Karim Al-Rahman fii Tafsiri Kalam
AlManan. Jeddah: Dar Al-Madani.
Abu Thalib al-Makki, A. H.-G. (2017). Belajar Berjiwa Besar, Tuntas Memahami Cara Hidup
Sabar, Syukur dan Tawakal . Depok: Pijar Nalar Indonesia.
Ad-Dumaiji, A. b. (2006). At-Tawakal Alallah Ta’ala. Jakarta: PT Darul Falah.
al-Jauziyah, I. Q. (1972). Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.
Kairo: Maktabah as-Salafiyah.
Al-Maragi, A. M. (1993). Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
al-Qardhawi, Y. (2004). Tawakal Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan Hakiki. Al-
Mawardi Prima: Jakarta.
al-Qardhawi, Y. (n.d.). Tawakal Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan Hakiki. Jakarta:
Al-Mawardi Prima.
Baqy, M. F. (1980). Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr.
DEPDIKNAS. (2003). Ensiklopedi Islam , Juz 5. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Karman, D. S. (2001). Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya,.
Muhammad Fu’ad Abdul. (1994). al-Mu’jam al-Mufahras li Alfid al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr
.
Muhammad, A. B. (1992). Syukur Membawa Nikmat. Solo: CV. Pustaka Mantiq.
Muhammad, I. a.-G. (1995). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Personal Umat.
Bandung: Mizan.
Supriyanto. (2010). Tawakkal Bukan Pasrah. Jakarta: QultumMedia.
Yani, A. (2007). Be Excellent: Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al Qalam.

32
33

Anda mungkin juga menyukai