Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS

Regional Anastesi Dengan Teknik SAB Pada Kasus Sectio Caesaria G1P0A0

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:

dr. Michael Budi Aviantoro, Sp.An

Disusun Oleh:

Arifin Nugroho

20174011053

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama                    : Ny. Rn
   Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang
Pekerjaan        : Ibu Rumah Tangga
Masuk RS   : 4 Mei 2018
Diagnosis            : G1P0A0

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Datang dari rumah menuju RSUD Tidar Kota Magelang unit Kebidanan
Budi Rahayu kurang lebih pukul 15.30. pasien dengan G1P0A0, hamil
aterm, kala 1 fase laten, kenceng- kenceng belum teratur, lendir darah
dirasa keluar jam 13.00. Air ketuban belum dirasa keluar.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G1P0A0 saat ini akan dilakukan SC dan IUD
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal 

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum          : Baik

2
Kesadaran                   : Compos mentis
Vital Sign                  
TD = 126/73 mmHg
N = 88 x/menit
RR = 24 x/menit
T = 36,80C
Status Generalisata
a. Kulit
Warna coklat sawo matang, tidak tampak ikterik, tidak tampak
pucat, tidak hipo atau hiper pigmentasi, tidak tampak tanda
peradangan.
b. Kepala :
Bentuk kepala : mesochepal, simetris, tidak ditemukan deformitas.
Muka : tidak terdapat luka maupun jejas.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Mulut : bibir simetris, tidak tampak pucat dan kering, gigi
lengkap.
Leher : jvp tidak meningkat, tidak teraba benjolan
c. THORAX :

Pulmo

INSPEKSI PARU DEPAN PARU BELAKANG


Simetris Simetris
Barrel chest (-) Barrel chest (-)
ICS melebar (-) ICS melebar (-)

PALPASI
Simetris (+/+), Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-), Nyeri tekan (-/-),

PERKUSI
 KANAN Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax

3
 KIRI Sonor di semua Sonor di semua
lapangan thorax lapangan thorax
AUSKULTASI PARU DEPAN PARU BELAKANG
Vesikuler Vesikuler

Cor :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
• Batas atas jantung : ICS
II parasternalis sinistra.
• Batas pinggang jantung :
ICS III parasternalis sinistra.
• Batas kanan bawah
jantung : ICS V sternalis dextra.
• Batas kiri bawah
jantung : ICS IV 1-2 cm ke arah medial midclavicula kiri.
- Auskultasi :
• Suara jantung murni: SI,
SII (normal) reguler
• Suara jantung tambahan
bising diastolik (-)
d. Ekstremitas
Ekstremitas atas: Bentuk normal anatomis, deformitas (-), edem (-).
Ekstremitas bawah: Palmar eritem (-), odem (-), akral dingin (-).
Status obstetri
a. Abdomen
- Leopold I : teraba bagian lunak
- Leopold II : teraba bagian punggung di perut kanan, seperti papan
- Leopold III : terabaa bagian bulat, keras melenting (kepala)
- Leopold IV : letak kepala
b. Tinggi fundus uteri (TFU) : 27 cm

4
c. His : (positif) 23x /10 menit selama 30 detik
d. Denyut Jantung Janin (DJJ) : 12:12:12 (144 x /menit)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hemoglobin : 11.9 g/dl (11.7 – 15.5)
Leukosit : 12.4 103 / µL (4.5 - 12.5)
Eosinofil : 0.15 % (2.00 – 4.00)
Basofil : 0.20 % (0 - 1.00)
Netrofil : 68 % (50 - 70)
Limfosit : 12.30 % (25 - 40)
Monosit : 4.70 % (2 - 8)
Hematokrit : 36 (35 - 47)
Eritrosit : 4.3. 106/ µL (3.8 - 5.2)
Trombosit : 193. 103 / µ (150 - 400)
MCV : 83 fL (80 - 100)
MCH : 29 pg (26 - 34)
MCHC : 35 g/dl (32 - 36)
PT : 9.7 detik
APTT : 22.7 detik
Ureum :5
Creatinin : 0.30
HbSAg : negative

E. DIAGNOSIS KERJA
 G1P0A0 dengan status fisik ASA I
 Rencana Regional anestesi dengan teknik SAB

F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi

5
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Diagnosis Pra Bedah : G1P0A0
3. Diagnosis pasca Bedah : Post SC dan IUD
4. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
5. Teknik : SAB
6. Mulai Anestesi : 5 Mei 2018, pukul 08.40
7. Mulai Operasi : 5 Mei 2018, pukul 08.50
8. Premedikasi : Sotatic 10 mg, Ketorolac 30 mg
9. Induksi : Bupivacain 12,5 mg, Morphine 0,25 mg
10. Pemeliharaan : O2 3 liter per menit, Oxytosin, Metergin
11. Jenis Cairan : Asering
12. Kebutuhan cairan selama Operasi
Maintenance Operasi : 2cc/kgBB/jam 2 x 72 = 144 cc
Pengganti Puasa : 8 x maintenance  8 x 144 = 1.152 cc
Stress Operasi : operasi berat 8cc/kgBB/jam  8 x 72 = 576 cc
Keb. Cairan jam I : (50% kebutuhan puasa) + MO + SO
(50% x 1152) + 288 + 576 = 1.440 cc
13. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi
 Pasien dilakukan anestesi pada tanggal 5 Mei 2018 pada jam 08.40
dan operasi dimulai jam 08.50
 Pasien dipasang alat pantau untuk mengawasi tanda vital dan
saturasi oksigen.
 Dilakukan premedikasi dengan memasukkan Sotatic 10 mg dan
Ketorolac 30 mg.
 Maintenance diberikan O2 3 lpm kemudian dilakukan kontrol pada
tanda vital dan saturasi oksigen setiap 3 menit.
 Selama anastesi berlangsung TD berkisar 110/60 mmHg – 140/90
mmHg dan nadi berkisar 98 - 120 kali/menit.

6
 Selama operasi cairan masuk asering 500 ml
 Lama anestesi 40 menit
 Lama operasi 20 menit.
14. Selesai operasi : 9.30 WIB
15. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Asering 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Dexketoprofen 100 mg
Anti muntah : Inj. Sotatic 10 mg
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
coba minum makan perlahan.
G. POST OPERASI
1. Asering dengan dexketoprofen 100 mg di tambah sotatic 10 mg 20 tpm
2. Pengawasan KU dan VS menggunakan monitor
3. Pengecekan HB 8 jam post op

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan mel
alui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).

Etiologi dan patofisiologi :


Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri 
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. 

SC  merupakan  tindakan  untuk  melahirkan  bayi  dengan  berat  di  atas 
500  gr  dengan  sayatan  pada  dinding  uterus  yang  masih  utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia
jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah
gawatjanin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan
mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang
pengetahuan. 

Akibat  kurang  informasi  dan  dari  aspek  fisiologis  yaitu  produk 


oxsitosin  yang  tidak  adekuat  akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya
sedikit, luka dari insisi akan menjadi post deentris bagi kuman . Oleh karena itu
perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah
salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman. Sebelum
dilakukan operas pasien perludilakukan anestesi bisa bersifat regional dan umum. 

Tehnik Penatalaksanaan Sectio Caesaria:


1. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
2. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda

8
3. Bedah Caesar Ekstraperitoneal
4. Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)
Komplikasi :
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :

1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas 
dibagi menjadi:
i) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari.
ii) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan per
ut sedikit kembung.
iii) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan
cabangcabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasikomplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolis
me paru yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berik
utnya bisa terjadi ruptur uteri.

Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal

B. Anestesi regional
1. Definisi Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls syaraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.

2. Pembagian Anestesi Regional


a. Blok sentral (blok neuroaksial), meliputi blok spinal, epidural dan kaudal
b. Blok perifer (blok saraf) misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, blok saraf, dan regional intravena

3. Obat analgetik local dan regional

Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut:

9
a. Senyawa ester

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain,
benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.

b. Senyawa amida

Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan


prilokain.

Absorbsi obat:

- Absorbsi melewati mukosa, tapi tidak dapat melewati kulit yang utuh,
harus disuntik kejaringan subkutis.
- Obat vasokonstriktor yang ditambahkan pada larutan analgetik lokal
memperlambat absorbsi sistemik dengan akibat memperpanjang masa
kerja dan mempertinggi dosis maksimum.
- Mempengaruhi semua sel tubuh, dengan pedileksi khusus memblokir
hantaran saraf sensorik
- Kecepatan detoksikasi tergantung jenis obat berlangsung dengan
pertolongan enzim dalam darah dan hat. Sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bahan-bahan degradasi dan sebagian dalam bentuk asal melalui
ginjal (urin)
- Untuk daerah yang diperdahari oleh arteri buntu (end artery) seperti jari
dan penis dilarang menambah vasokonstriktor. Penambahan
vasokonstriktor hanya dilakukan untuk daerah tanpa arteri buntu umumnya
digunakan adrenalin deng
- an konsentrasi 1:200 000.

10
4. Komplikasi obat anestesi local
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik,
sehingga untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya.
Komplikasi dapat bersifat lokal atau sistemik
a. Komplikasi local
- Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.
- Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis
dan antisepsis.
- Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor
yang disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.
b. Komplikasi sistemik
- Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan
kardiovaskuler.
- Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah
berupa perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak
berupa depresi.
- Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan
depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.

5. Persiapan anestesi regional


Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena untuk
mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.

6. Keuntungan anestesi regional


- Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.

11
- Relatif aman untung pasien yg tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
- Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
- Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
- Perawatan post operasi lebih ringan.

7. Kerugian anestesi regional


- Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
- Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
- Sulit diterapkan pada anak-anak.
- Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
- Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

BLOK SENTRAL
Spinal dan Epidural Anestesi
Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi) akan menyebabkan
blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis,
konsentrasi dan volume obat anestesi lokal).

Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara


keduanya.

12
1. Anestesi spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam
ruang subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan


menembus kutis  subkutis  lig. Supraspinosum  lig. Interspinosum
 lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.

13
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh
cairan serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan
pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan
pada bayi L3.

Indikasi Anestesi Spinal

1. Bedah ekstremitas bawah.


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum
4. Bedah obstetri ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah

Kontra Indikasi Anestesi Spinal

Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam


penggunaan anestesi spinal

Kontra indikasi absolut:

14
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi
antikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif:

a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )


b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
h. Nyeri punggung kronis.

Persiapan anestesi spinal

Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah


disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :

1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Peralatan anestesi spinal

15
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter
denyut dan EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (Quincke-


Babcock)

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan


pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau


duduk dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus
mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya
L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol

16
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.

Keuntungan anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural :

 Obat anestesi lokal lebih sedikit

17
 Onset lebih singkat
 Level anestesi lebih pasti
 Teknik lebih mudah

18
BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien dengan diagnosis G1P0A0 dilakukan anestesi regional dengan


teknik SAB. Sebelum dilakukan pembedahan pasien diberikan premedikasi sotatic
10 mg mg yang berfungsi sebagai antiemesis dan ketorolac dengan dosis 30 mg
sebagai agen analgetik

Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan anestesi spinal dengan


Bupivacain 12,5 mg dan morfin 0,25 mg pada L 3-4. Selama operasi, semua
tanda- tanda vital dipantau mulai dari tekanan darah, saturasi O2, dan nadi.
Pembedahan berlangsung kurang lebih 20 menit, tanda vital dan saturasi baik
selama operasi. Sebelum dan selama pembedahan pasien dilakukan pemantauan
kebutuhan cairan. Cairan yang digunakan adalah Asering.

Pada saat pasien sudah berada di recovery room (RR) oksigenasi dengan
O2 tetap diberikan, kemudian dilakukan pemantauan fungsi vital. Tekanan darah
108/69 mmHg, nadi 90x/menit, O2 3L/menit dengan saturasi 100%.

19
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien G1P0A0 usia 19 tahun hamil datang ke RSUD Tidar Kota
Magelang unit Kebidanan Budi Rahayu. Dilakukan tindakan Sectio cesrea pada
tanggal 5 Mei 2018 di kamar operasi RSUD Tidar Kota Magelang unit Kebidanan
Budi Rahayu. Teknik anestesi menggunakan anestesi regional dengan teknik SAB
yang merupakan teknik anestesi yang sederhana dan cukup efektif

Anestesi dengan menggunakan bupivacaine spinal 12,5 mg dan morfin


0,25 mg, untuk maintenance dengan oksigen 3 Liter/ menit. Untuk mengatasi
nyeri digunakan ketorolac 30 mg dan sotatic 10 mg sebagai antiemesis. Perawatan
post operatif dilakukan di bangsal dan dengan diawasi vital sign dan tanda- tanda
perdarahan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departement Farmakologi dan


Terapeutik Ed 5 farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru ; 2007
2. Mangku G,dkk. Buku ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan
pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks ; 2010
3. Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. ANAESTHESIA
AND INTENSIVE CARE MEDICINE 9:4. Diunduh dari :
http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-
anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf
4. Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta

5. Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor), Kapita Selekta


Kedokteran, Cetakan keenam 2007 : Media Aesculapius – FK UI
http//ascf.en.enzl.com/ACM619_multi_functional_anasthesia_machine
6. Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi dan
Terapi Intensif Edisi 3. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;
2007
7. Collage of anaesthesiologist Academy of Medicine Malaysia. Total
Intravenous Anaesthesiologist using target controlled infusion. A pocket
reference 1st edition. 2012.
8. Rodriguez M, Moreno J, Hasbun J. RAS in pregnancy and preeclampsia and
eclampsia. Int J Hypertens. 2012;1155.
9. Dennis AT, Solnordal CB. Acute pulmonary oedema in pregnant women.
Anaesthesia. 2012;67:646-59.

21

Anda mungkin juga menyukai