Anda di halaman 1dari 99

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI PATOLOGI ANATOMI

LABORATORIUM PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Oleh:
Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM. 190130100111057
PPDH Gelombang VI 2019/2020 Kelompok 1

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FELINE IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS

Oleh
Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM. 190130100111057
Kelompok 1 / Gelombang VI

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

ROTASI PATOLOGI ANATOMI


yang dilaksanakan Di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FELINE IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS

Malang, 7 September – 2 Oktober 2020

Oleh

Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH


NIM. 190130100111057

Menyetujui,

Kordinator Pembimbing dan Penguji


Rotasi Patologi Anatomi Rotasi Patologi Anatomi

drh. Albiruni Haryo, M. Sc drh. Andreas Bandang H., MVSc


NIK. 20160791 0923 1001 NIP. 19911123201903 1 011

Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter Hewan
Universitas Brawijaya

drh. Nofan Rickyawan, M. Sc


NIP. 19851116201803 1 001

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan rotasi patologi anatomi yang
berjudul “Feline Idiopathic Pulmonary Fibrosis”. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih terutama kepada :
1. Drh. Dyah Ayu Oktaviane AP., M. Biotech selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang selalu memberikan dukungan
untuk kemajuan FKH UB.
2. Drh. Nofan Rickyawan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Hewan Universitas Brawijaya yang telah memberikan kemudahan dalam
kelancaran kegiatan koasisten ini.
3. Drh. Andreas Bandang H., MVSc sebagai dosen pembimbing sekaligus dosen
penguji yang bersedia meluangkan waktu dan dengan kesabarannya telah
memberi bimbingan dan motivasi dalam penulisan laporan ini.
4. Drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P. M. Biotech, Drh. Fajar Shodiq Permata, M.
Biotech dan Drh. Albiruni Haryo, M. Sc yang telah memberi bimbingan
selama kegiatan rotasi berlangsung.
5. Teman-teman kelompok 1 gelombang 6 yang selalu memberi semangat dan
membantu menyelesaikan penulisan laporan ini
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan serta ketulusan yang telah diberikan. Semoga laporan ini bermanfaat
bagi kita semua.

Malang, Desember 2021

Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH

iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
FELINE IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS ................................... 1
1. Gambaran Umum ..................................................................... 1
2. Gejala Klinis............................................................................. 1
3. Riwayat klinis .......................................................................... 1
4. Daftar permasalahan................................................................. 2
5. Sistem organ terpapar............................................................... 2
6. Teknik bedah bangkai .............................................................. 2
7. Deskripsi morfologi makroskopis ............................................ 3
8. Deskripsi histopatologis ........................................................... 3
9. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................... 4
10. Diagnosis morfologi dan Banding ........................................... 4
11. Patogenesis ............................................................................... 4
12. Diskusi ..................................................................................... 5
Daftar Pustaka ................................................................................................ 6

iv
DAFTAR GAMBAR
Judul Halaman
Dekskripsi Morfologi Makroskopis Paru-paru ................................................ 3
Deskripsi Histopatologis Paru-paru ................................................................. 3
Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................... 4
Skema Patogenesis ........................................................................................... 5

v
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

FELINE IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS


Diambil dari : Guedes, P. E. B., dos Anjos Cordeiro, J. M., Said, R. A.,
Fernandes, L. A., Munhoz, A. D., Figueiredo, M. A. F., & Silva, F. L. 2019. Case
Report Feline Idiopathic Pulmonary Fibrosis. Acta Scientiae Veterinariae, 47.

1. Gambaran Umum
Fibrosis idiopatik paru-paru merupakan satu penyakit interstitial paru-paru
yang mempengaruhi manusia dan hewan. Pada manusia perubahan spesifik terkait
dengan pneumonia interstitial dan karakteristik ini mirip dengan yang dijelaskan
yaitu fibrosis idiopatik paru-paru pada kucing. Menurut Cohn et all (2004) pada
temuan mikroskopis dari fibrosis interstitial dengan adanya temuan fibroblast,
miofibroblas, metaplasia epitelium dengan hyperplasia pneumosit tipe II, dan
metaplasia atau hiperplasia otot polos. Pada pneumonia interstitial pada manusia
dan fibrosis idiopatik paru-paru pada kucing memiliki kekurangan akibat
etiopatogenesisnya. Selain itu penayakit ini menunjukkan gejala klinis yang
bermacam-macam, respon buruk terhadap terapi, dan memiliki angka kematian
yang tinggi.
2. Gejala Klinis
Fibrosis idiopatik paru-paru menyerang pada kucing yang berumur rata-rata
delapan tahun dan tidak ada kecenderungan spesifik terhadap ras tertentu dan jenis
kelamin (Evola et all., 2014). Karena sifatnya yang progresif dan tidak adanya
spesifik pengobatan, kondisi memiliki prognosis yang tidak menguntungkan, dan
diagnosis biasanya ditentukan ketika dilakukan postmortem. Menurut Clecrx et all
(2018) ditandai dengan kelelahan, dyspnea restriktif, batuk, suara crackles pada
auskulltasi paru-paru.
3. Riwayat Klinis

1
Seekor kucing betina domestik berumur 10 tahun dengan berat badan 3,9 kg
dibawa ke Rumah Sakit Hewan Universitas Santa Cruz. Kucing tersebut
menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan gangguan pernafasan. Gejala klinis
pertama kali muncul adalah tiga bulan lalu sebelum perawatan klinik. Gejala
klinis yang muncul adalah kucing mengalami dypsnea parah ketika malam hari.
Berkembangnya gejala klinis tersebut menunjukkan ketidaknyamanan bernafas
yang ditandai dengan sikapa apatis, anorexia, dan penurunan berat badan kucing.
Kucing merupakan kucing indoor. Sebelumnya kucing tidak pernah mengalami
sakit ataupun menggunakan obat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu 37oC,
dehidrasi 9%, hewan mengalami tachypnea, dyspnea parah. Auskultasi paru-paru
terdengar krepitasi halus (crackles). Tidak ada perubahan auskultasi pada jantung.
4. Daftar Permasalahan
Daftar permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Dypsnea
2. Anoreksia
3. Dehidrasi
4. Tachypnea
5. Suara crackles pada auskultasi paru-paru
5. Sistem Organ yang Terpapar
Sistem organ yang terpapar adalah :
1. Sistem pernafasan
6. Teknik Bedah Bangkai
Teknik bedah bangkai yaitu dengan kucing diposisikan sebelah kiri.
Penekropsi berada berdiri dibagian perut untuk melakukan nekropsi. Dilakukan
sayatan pada garis tengah di sternum dan rentangkan simpisis mandibular.
Perpanjang sayatan dari sternum ke caudal sampai daerah selangkangan diatas
umbilicus, kelenjar susu atau bagian luar alat kelamin jantan. Buat sayatan dikulit
dari dorsal kearah garis tengah sampai bagian telinga. Potong bagian rahang atas,
pegang lidah potong dan lepas dari bagian ramus. Potong tulang rusuk dengan
gunting tulang rusuk untuk megekspos bagian thorax dan potong bagian
diafragma untuk mengekspos abdomen. Ketika sudah terekspos perhatikan organ

2
dibagian thorax dan abdomen. Koleksi organ bagian thorax seperti trachea dan
paru-paru (Strafuss, 1987).
7. Dekskripsi Morfologi Makroskopis
Pada pemeriksaan postmortem setelah nekropsi diamati makroskopis dari
paru-paru yaitu paru-paru memilki konsistensi yang kokoh dan permukaannya
tidak beraturan dengan menunjukkan area multifokal penebalan seperti plak. Area
yang mengalami peninggian dengan karakteristik yang sesuai dengan emphysema
alveolar yang jelas pada tepi lobus paru –paru.

8. Deskripsi Histopatologis
Sampel paru-paru difiksasi dalam larutan formalin 10% untuk analisa
histopatologis dengan pewarnaan Hemaktosilin-Eosin. Secara mikroskopis area
luas dengan penebalan septa alveolar dengan hyperplasia pneumosit tipe II dan
hyperplasia intents dari jaringan otot polos atau hipertrofi dinding alveolar
(Gambar A). Selain itu fibroplasia juga terjadi di interstitium yang berkaitan
dengan infiltrasi dari inflamasi limfositik multifikal (Gambar B).

(Pewarnaan HE, Perbesaran 10x) (Pewarnaan HE, Perbesaran 40x)

3
9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
dan gambaran radiography x-ray thorax. Pada pemeriksaan darah lengkap
dilakukan pengambilan darah sebanyak 2 ml melalui vena jugularis dan disimpan
dalam tabung EDTA. Posisi yang diambil untuk radiografi thorax adalah posisi
dorsoventral dan left lateral. Pada kedua posisi tersebut menunjukkan adanya
pulmonary pattern campuran yang ditandai dengan dilatasi bronkhial
(bronchiectasis), menebalnya dinding bronkhiolar, dan beberapa bentukan
interstitial yang tidak terstruktur di area paru-paru.

10. Diagnosis Morfologi dan Banding


Diagnosa morfologi dari kasus ini adalah Feline Idiopatic Pulmonary
Fibrosis yang didukung dengan pemeriksaan darah lengkap, foto radiography
thorax, pemeriksaan patologi, dan pemeriksaan histopatologi. Adapun diagnosa
banding meliputi Feline Infectious Bronchopneumonia, Pulmonary dengan
Infiltrasi Eosinophils (PIE) dan Bullous Emphysema.
11. Patogenesis
Patogenesis tidak diketahui namun kecurigaan terhadap agen alergi
merupakan penyebab dari beberapa kasus. Beberapa contoh obat seperti
amiodarone dan bleomycine serta toksin (paraquet) bisa menyebabkan lesi yang
serupa tetapi yang terakhir sering berakibat fatal (Van, 2006). Amiodarone
merupakan salah satu penyebab terjadinya fibrosis paru-paru baik secara langsung
(akibat efek sitotoksik) maupun tidak langsung (reaksi imunologis). Adapun
skema patogenesis amiodarone sebagai berikut (Darisan et all.,2013):

4
Amiodarone

Primer metabolik di hati

Paru-paru

Respon Inflamasi

Cedera Parenkim
Paru

Fibrosis

Gambar skema patogenesis toksisitas paru akibat amiodaron


12. Diskusi
• Mekanisme pathogenesis dari fibrosis yaitu terjadi paparan alergen
yang menyebabkan sel epitel terapoptosis. Alergen mengeluarkan
mediator proinflamasi berupa TNF-α dan IL-1β yang memperburuk
cedera sel parenkim. Selain itu mediator inflamasi ini juga
mengaktivasi produksi sitokin TGF-β1 yang diproduksi oleh
makrofag digunakan untuk menstimulasi sintesis komponen matriks
seluler yang menginduksi diferensiasi fibroblast menjadi
myofibroblast yang mensekresikan kolagen. Akumulasi abnormal dari
kolagen dapat menyebabkan kerusakan jaringan disekitar jaringan
yang meradang atau rusak sehingga menyebabkan terbentuknya
jaringan parut. Epitel yang rusak juga melepaskan berbagai faktor
kemotaktik yang memanggil monosit dan neutrofil ke lokasi
kerusakan jaringan. Monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag
yang memfagositkan bekuan fibrin dan puing-puing seluler. Neutrofil

5
juga dipanggil dengan cepat setelah cedera dalam pengangkatan
puing-puing jaringan dan membunuh bakteri yang menyerang.
Apabila makrofag dan neutrofil tidak cepat dihilangkan, fase
selanjutnya dapat memperburuk respon inflamasi dimana akan
merusak jaringan yang akan menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (Wynn and Ramalingan, 2012).
• Perbedaan difus, fokal dan multifokal. Difus merupakan bentuk
penyebaran inflamasi yang menyebar di seluruh tempat dan polanya
tidak terbatas tegas, biasanya digunakan untuk gambaran
makroskopis. Fokal merupakan bentuk penyebaran inflamasi pada
satu tempat. Multifokal merupakan bentuk penyebaran inflamasi
dibeberapa tempat namu pola nya jelas dan tegas.
13. Referensi
Clercx, C., Fastrès, A., & Roels, E. 2018. Idiopathic pulmonary fibrosis in West
Highland white terriers: an update. The Veterinary Journal, 242, 53-58.
Cohn, L. A., Norris, C. R., Hawkins, E. C., Dye, J. A., Johnson, C. A., &
Williams, K. J. 2004. Identification and characterization of an idiopathic
pulmonary fibrosis‐like condition in cats. Journal of veterinary internal
medicine, 18(5), 632-641.
Darisan, K. N., Zaini, J., & Yuniadi, Y. 2013. Amiodarone and its Pulmonal
Toxicity. Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol, 34(2).
Evola M.G., Edmondson E.F., Reichle J.K., Biller D.S., Mitchell C.W. & Valdés-
Martínez A. 2013. Radiographic and histopathologic characteristics of
pulmonary fibrosis in nine cats. Veterinary Radiology Ultrasound. 55(2):
133-140.
Strafuss, A. C. 1987. Necropsy. Procedures and basic diagnostic methods for
practicing veterinarians. Charles C. Thomas.
Van Israël, N. 2006. Common lower airway diseases in the dog and cat. UK Vet
Companion Animal, 11(3), 51-58.
Wynn, T. A., & Ramalingam, T. R. 2012. Mechanisms of fibrosis: therapeutic
translation for fibrotic disease. Nature medicine, 18(7), 1028.

6
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
Yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA

“ Suspect Parosteal Osteoma Pada Iguana”

Oleh:

Addin Naufalisa F. 190130100111072 Intan Kirana I. 190130100111034


Andi Citra S. 190130100111024 M. Lubbabul Azhar 190130100111041
Anris Alfani P. 190130100111001 Olenka Putri W. 190130100111093
Arinda Fauzia I. 190130100111089 Praynaksaka A. D. 190130100111076
Dinul Hamdi 190130100111027 Puan Nurrahmah 190130100111025
Dyah Kusumaning W. 190130100111057 Rida Damayanti 190130100111021
Endang Rosidayanti 190130100111087 Ristia Mahfuzah 190130100111046
Ernita Widyasari 190130100111056 Veronika Julie V. 190130100111066

PPDH Kelompok 1 / Gelombang VI Semester Ganjil TA. 2019/2020

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIBERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami rahmat dan hidayahNya kepada kami semua sehingga kami PPDH gelombang
6 kelompok 1 dapat menyelsaikan tugas kelompok Rotasi Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya tentang “Parosteal Osteoma
pada Green Iguana”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam
nabi kita Muhammad SAW serta kebaikan senantiasa tercurahkan kepada keluarga
dan sahabat Rasulullah SAW.

Selama penyusunan tugas ini banyak melibatkan pihak sehingga kami


mengucapkan terima kasih kepada anggota kelompok 1 PPDH gelombang 6 atas
kerjasama dan kebersamaan dalam mengerjakan tugas serta dokter – dokter
pembimbing Rotasi Patologi Anatomi yang selalu memberikan saran dan motivasi
kepada kami. Akhir kata kami mengucapkan semoga dengan segala bantuan dan
kebaikan dari semua pihak dapat dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh
Allah SWT. Kami menyadari bahwa tugas yang kami tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu kami berharap kritikan dan saran yang dapat
membangun dalam penyusunan tugas ini dan bermanfaat bagi banyak pihak
khususnya bagi yang membaca tugas ini.

Malang, 28 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat .............................................................................................................. 2
BAB II STUDY KASUS ................................................................................................... 3
2.1 Sinyalemen ......................................................................................................... 3
2.2 Anamnesa........................................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 3
2.4 Problem List ...................................................................................................... 3
2.5 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 3
2.6 Gambaran Mikroskopis ................................................................................... 4
2.7 Diagnosa Banding ............................................................................................. 5
2.8 Diagnosa ............................................................................................................. 8
2.9 Teknik Reseksi .................................................................................................. 8
2.10 Teknik Nekropsi pada Green Iguana ............................................................ 10
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 12
3.1 Hasil.................................................................................................................. 12
3.1.1 Analisa Histopatologi .............................................................................. 12
3.1.2 Skema Patofisiologis ............................................................................... 13
3.1.3 Patogenesa ............................................................................................... 14
3.2 Pembahasan ..................................................................................................... 16
BAB IV PENUTUP ......................................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 22
4.2 Saran ................................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 23

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hewan eksotik saat ini mulai banyak diminati masyarakat untuk
dijadikannya hewan peliharaan diantaranya yakni reptil. Reptil adalah hewan
vertebrata yang terdiri dari ular, kadal cacing, kadal, buaya, caiman, kura-kura,
penyu dan tuatara. Adapun sekitar 7900 spesies reptil hidup sampai saat ini
yang mendiami berbagai tipe habitat beriklim sedang dan tropis termasuk
padang pasir, hutan, lahan basah air tawar, hutan bakau dan laut terbuka
(Klappenbach, 2013). Salah satu jenis reptil yang dijadikan sebagai hewan
peliharaan yakni kadal, dikarenakan perawatannya yang relatif mudah. Jenis
kadal yang banyak dipelihara masyarakat adalah iguana hijau (Iguana iguana)
(Nurjunitar, 2016).
Iguana hijau termasuk dalam anggota famili Iguanidae yang tergolong reptil
herbivora memiliki tubuh besar dan merupakan hewan semi-arboreal sampai
arboreal (Nurjunitar, 2016). Iguana hijau memiliki ekor yang relatif panjang
(hingga tiga kali panjang tubuh) dan gelambir permanen. Spesies iguana
memiliki satu atau lebih sisik besar di bawah gendang telinga dan jengger yang
besar di area nuchal serta puncak punggung belakang. Jantan dan betina
memiliki satu baris pori-pori femoralis di bawah paha. Kaki iguana relatif
pendek tetapi kuat dan memiliki cakar yang tajam sebagai alat penggali dan
pemanjat (Vosjoli et al., 2012).
Pengetahuan masyarakat mengenai reptil, khususnya Iguana iguana masih
terbatas dimana kurangnya pengetahuan menyebabkan berbagai masalah
dalam pemeliharaan iguana sebagai hewan kesayangan. Penyakit pada iguana
dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi kandang kurang baik,
kualitas pakan, pemberian pakan kurang, air minum kotor atau kurang, kurang
nutrisi, tertular penyakit dari hewan lain, hingga perubahan cuaca (Vosjoli et
al., 2012).
Deteksi suatu penyakit dapat dilakukan dengan mempelajari ilmu patologi
yang bertujuan mengidentifikasi penyebab suatu penyakit dan sebagai salah
satu program dalam pencegahan suatu penyakit. Pembuatan preparat dan
menganalisanya merupakan salah satu metode dalam ilmu patologi yang

1
digunakan untuk mengetahui struktur organ, jaringan dan sel dari spesimen
organ yang diduga mengalami abnormalitas. Pemeriksaan ini diharapkan dapat
menunjang diagnosa untuk mengidentifikasi penyakit salah satunya pada reptil
khususnya iguana. Sehingga Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH) FKH UB diharapkan mampu mengidentifiksasi dan melakukan
peneguhan diagnosa melalui perubahan makroskopik maupun mikroskopik sel,
jaringan dan organ.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada Rotasi Patologi Anatomi Veteriner Pendidikan
Profesi Dokter Hewan (PPDH) FKH UB ini adalah:
1. Bagaimana cara mengidentifikasi perubahan atau keadaan patologis pada
organ atau jaringan iguana secara makroskopis dan mikroskopis?
2. Bagaimana cara menentukan diagnosa berdasarkan perubahan patologi
pada organ atau jaringan iguana?
1.3 Tujuan
Tujuan pada Rotasi Patologi Anatomi Veteriner Veteriner Pendidikan
Profesi Dokter Hewan (PPDH) FKH UB ini adalah:
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi perubahan atau keadaan patologis
pada organ atau jaringan iguana secara makroskopis dan mikroskopis.
2. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa berdasarkan perubahan patologi
pada organ atau jaringan iguana.
1.4 Manfaat
Manfaat dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi
patologi anatomi adalah mengetahui teknik nekropsi hewan yang tepat dan
memberikan pengetahuan kepada calon dokter hewan tentang cara
mendiagnosa suatu penyakit dengan benar, khususnya penyakit pada unggas
melalui uji diagnostik laboratorium dengan ilmu patologi secara makroskopis
maupun mikroskopis.

2
BAB II STUDY KASUS
2.1 Sinyalemen
Jenis hewan : Iguana
Ras : Green Iguana

2.2 Anamnesa
Iguana biasa diberikan pakan roti dan kadang – kadang sayur. Empat bulan
sebelumnya, dikandangkan bersama iguana jantan dan menunjukkan perilaku
yang agresif.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang didapatkan adalah status dehidrasi 7% pada iguana,
mata sedikit cekung dan terdapat massa keras pada bagian sinister mandibular.

2.4 Problem List


1. Dehidrasi
2. Mata sedikit cekung
3. Massa keras pada bagian sinister mandibula
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Reptil cenderung tidak begitu memperlihatkan tanda-tanda penyakitnya.
Oleh karena itu, untuk mendiagnosa kasus iguana diperlukan pengambilan
sampel darah untuk pemeriksaan sitologi, Complete Blood Count (CBC), dan
biokimia (serum). Sampel darah pada iguana dapat dikoleksi di ventral vena
coccygeal. Pemeriksaan sitologi, Complete Blood Count (CBC), dan biokimia
dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit apabila ditemukan adanya
kelainan (Perez, 2012).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiografi,
FNA, dan histopatologi. Diagnostik pencitraan seperti radiografi merupakan
salah satu pemeriksaan penunjang yang penting untuk membantu dalam
diagnosis kasus pada hewan. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran
secara visual jika terdapat kelainan pada tubuh hewan. Apabila ditemukan
tumor pada tulang, pemeriksaan ini dapat membantu dalam mengamati
perubahan situs tumor, ukuran tumor, perubahan kortikal, dan karakteristik
tumor (Toledo et al, 2017).

3
FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) adalah prosedur yang relatif
atraumatik, ekonomis hemat waktu, tanpa persiapan khusus dengan angka
morbiditas terhadap pasien yang lebih rendah. Fine Needle Aspiration Biopsy
juga memiliki akurasi yang tinggi pada metastasis tulang yang disebabkan oleh
karsinoma (100%) dan multiple myeloma, karena kedua jenis tumor ini bersifat
homogen (Mahyudin, 2017).
Pemeriksaan histopatologi dapat menunjukkan abnormalitas pada jaringan
tubuh. Menurut Gold et al (2018), gambaran histologis adalah kunci untuk
membedakan jenis tumor dengan tumor lain yang juga dapat terbentuk di
permukaan tulang. Menurut Suehara (2004), secara umum temuan
histopatologi dan morfologi dapat menyebabkan kesalahan klasifikasi pada
kasus osteosarcoma apabila tidak ditunjang dengan pemeriksaan penunjang
lainnya. Sel tumor terlihat seperti lesi spikulasi di tulang kortikal, maka
diferensial diagnosis harus mencangkup beberapa jenis lain dari osteosarcoma.

2.6 Gambaran Mikroskopis


Gambaran mikroskopis yang diberikan untuk kasus ini adalah sebgai berikut:

Gambaran sitologi massa submandibular

Gambaran Histopatology massa submandibular

4
Gambaran histopatologi dari massa submandibular

2.7 Diagnosa Banding


Diagnosa banding yang diambil dari problem list adanya massa keras pada
bagian sinister mandibular antara lain adalah metabolic bone disease atau
osteodystrophy, abses, osteosarcoma, osteosarcoma parosteal,
chondrosarcoma, dan osteochondrosarcoma.
 Metabolic Bone Disease
Metabolic Bone Disease atau osteodystrophy disebabkan karenanya
kurangnya asupan kalsium atau vitamin D di dalam pakan. Metabolic
bone disease pada iguana ditandai dengan adanya pembengkakan
didaerah mandibula atau kaki (Messonnier, 1995). Penampakan
sitologi dari metabolic bone disease (Gambar 2.1) yaitu osteoclast
memiliki banyak inti (Aughey and Fredic, 2001).

Gambar 2.1 Metabolic Bone Disease di Iguana (Aughey and Fredic, 2001).

 Abses

5
 Osteosarcoma
Osteosarkoma adalah tumor ganas pada tulang yang berasal dari sel
mesenkimal yang memproduksi tulang dan matriks osteoid.
Penampakan sitologi osteosarcoma (Gambar 2.2) akan terlihat adanya
massa tulang massif berupa osteoid (ditandai dengan adanya koloni
yang tersebar mirip dengan bakteri yang ditemukan di sel-sela massa
tulang), adanya trabeculae lamellar dengan ruang yang longgar yang
diselimuti oleh basophil dan sel pipih, ditemukan osteoblast dibagian
bawah massa tulang (oseteoid), sekelompok sel berbentuk bulat hingga
spindle dengan kromatin yang tertanam dalam matriks seluler yang
berwarna merah muda (Amat et al., 2019).

Gambar 2.2 (A) dan (B) Osteosarcoma pada Anjing (Burton, 2018)

 Osteosarcoma parosteal
Menurut Santini-Araujo et al., (2016), osteosarcoma parosteal
merupakan massa bulat atau oval juxtacortical padat yang melekat pada
korteks dibawahnya, tidak ada reaksi periosteal yang terbentuk dengan
baik, temuan khas radiolusen antara korteks dan tumor seringkali
ditemukan selain pada tempat perlekatannya, pada pemeriksaan CT-

6
MRI dapat menunjukkan area litik, biasanya dipermukaan yang
berhubungan dengan kartilago neoplastic, terkadang ditemukan adanya
penebalan dibawah tumor, serta pada kasus lanjut ditemukan kerusakan
kortikal dan invasi moduler.
 Chondrosarcoma
Chondrosarcoma adalah sel tumor malignant (tumor ganas) karena
adanya proliferasi chondroblast (Schmidt et al., 2017). Penampakan
sitologi ditandai dengan adanya bentukan bitnik-bintik tipis, eosinofilik
tampak cerah dan adanya matrix ekstraseluler (chondroid) (Barger and
Amy, 2017).

Gambar 2.3 (A) dan (B) Chondrosarcoma pada Anjing (Djik et al., 2007).

 Osteochondrosarcoma
Menurut Santini-Araujo et al.,(2016), CHS intrameduler
konvensional adalah tumor yang biasanya berukuran lebih dari 5 cm
yang terletak di rongga meduler tulang. Biasanya, rongga meduler
melebar. CHS degradasi rendah hingga menengah memiliki permukaan
potongan abu-abu-putih hingga abu-abu kebiruan dan batas berlobus,
biasanya memiliki konsistensi yang kuat tetapi mungkin lembut,

7
berlendir, atau seperti agar-agar atau bahkan mungkin memiliki
permukaan potongan yang berpasir dengan kalsifikasi belang-belang.
Area scalloping endosteal dan penebalan periosteum terlihat pada
tulang panjang. CHS bermutu tinggi berwarna abu-abu-putih dan
berdaging, dengan perubahan miksoid, perdarahan, atau nekrosis.
Tumor biasanya meluas dari rongga meduler ke jaringan lunak yang
berdekatan dengan infiltrasi dan penghancuran tulang kortikal dan
periosteum.
2.8 Diagnosa
Berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan lanjutan dalam kasus ini iguana
didiagnosa sebagai Suspect Parosteal Osteoma (tumor sel mesenkim). Iguana
tersebut dalam keadaan dehidrasi 7% (Moderat), mata sedikit cekung, terdapat
massa keras pada bagian sinister mandibula. Pemeriksaan lebih lanjut
menunjukkan bahwa terdapat massa keras di daerah mandibular kiri.
Pengambilan sampel FNA dari jaringan dan sampel darah juga dilakukan
sebelum pengangkatan massa tumor. Sampel digunakan untuk pemeriksaan
sitologi dan hasil menunjukkan terdapat beberapa gugus sel yang berbentuk
bulat hingga bentuk kumparan dengan kromatin kasar yang terdapat dalam
matriks merah muda yang menunjukkan adanya tumor sel mesenkim (Gambar
3.1).
Setelah dilakukan pengangkatan tumor, dilakukan pengambilan sampel
untuk pemeriksaan histopatologi. Hasil menunjukkan bahwa terdapat massa
padat (bony mass/osteoid) dengan karakteristik menyerupai koloni bakteri,
beberapa sirkuler (Gambar 3.2 (A)). Struktur menyerupai trabekula lamelar
tampak dengan sisi luar terdapat sel basofilik dan pipih (Gambar 3.2 (B)).
Langkah diagnosa ini sesuai dengan Ettinger et. al (2017), bahwa untuk hewan
dengan suspek tumor perlu dilakukan langkah signalment, pemeriksaan klinis,
radiografi regional, dan biopsi untuk pemeriksaan lanjutan. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biokimia darah.

2.9 Teknik Reseksi


Menurut Che-Amat et al., (2019), iguana yang mengalami parosteal
osteoma dianjurkan untuk dilakukan operasi pengangkatan tumor sel

8
mesenkim dengan perawatan pasca operasi yang memadai. Operasi
pengangkatan tumor biasanya menggunakan teknik reseksi dan teknik
nekropsi. Berikut merupakan teknik reseksi tumor mandibular pada anjing dan
kucing menurut (Birchard, 1996) yang kemungkinan teknik ini dapat
digunakan pada reptile, dengan langkah yang dilakukan sebagai berikut:
 Hewan di posisikan lateral, di berikan speculum oral untuk menjaga rongga
mulut tetap terbuka.
 Area mandibular yang akan dilakukan reseksi di bersihkan dengan
chlorhexidine
 Di insisi beberapa muskulus yang terdapat pada mandibular antara lain
muskulus masseter, muskulus geniohyoid, muskulus mylohyoid, dan
muskulus pterigoid (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Teknik menguakan muskulus pada mandibular (Birchard, 1990).


 Setelah muskulus terkuak, maka telihat os mandibula, dan tulang penyusun
mandibular lainnya
 Tulang dilakukan osteotome atau pemotongan dengan gergaji (Gambar
2.5).
 Setelah tulang terpotong, maka tulang ditarik kea rah lateral dari bagian
tumor yang terdeteksi.

9
Gambar 2.5. Perlakuan Osteotome (Birchard, 1990)
 Dilakukan pengangkatan tumor dengan cara, memotong atau mengambil
bagian tumor dan mandibular dengan jarak ±3cm dari bagian sekeliling
tumor
 Setelah tumor diangkat, maka dimasukkan pada formalin 10% untuk
perlakukan diagnose laboratorium lanjutan.
 Dilakukan penjahitan mandibular dengan tipe jahitan simple interrupted
atau continuous dengan benang absorbable (Birchard, 1990).

2.10 Teknik Nekropsi pada Green Iguana


Pada kasus tumor sel mesenkim tidak digunakan teknik nekropsi, menurut
Shannon, (2013), teknik nekropsi pada iguana adalah sebagai berikut:
 Eutanasi dengan cara captive bolt pada os. frontalis atau dengan
menambhakan bahan kimia Sodium pentobarbital
 Posisikan left lateral atau right lateral
 Buat insisi pada bagian garis tengah tubuh, dimulai dari bagian kloaka
hingga lengan depan seperti yang terlihat pada Gambar 2.6.
 Bagian kulit dikuakan dan dilakukan pemotongan pada os thorax agar
terlihat bagian organ rongga thorax dan abdomen.
 Setelah rongga terbuka dilakukan pemeriksaan pada setiap organ, pada
rongga thorax dikeluarkan bagian hepar, cor, dan pulmo secara terpisah

10
Gambar 2.6 Lokasi insisi saat nekropsi pada Iguana (Shannon, 2013)

Gambar 2.7 Organ - organ dikeluarkan dari rongga abdomen (Shannon,


2013)
 Bagian rongga abomen dikeluarkan system pencernaan, limpa, dan blader
tarik hingga organ genital pada cavum pelvic seperti yang terlihat pada
Gambar 2.7.
 Setelah organ pada thorax dan abdomen selesai diperiksa persatuan organ,
maka setelah itu dilakukan preparasi otak dengan membuka os frontalis.

11
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Analisa Histopatologi
Pada kasus Iguana dilakukan pemeriksaan miroskopis yaitu sitologi
dan histopatologi. Pada pemeriksaan sitologi ditemukan adanya sel spindel
dengan struktur kromatin kasar dan berwarna pink pada matriks seluler.
sel spindle dengan kromatin yang kasar mengindikasi adanya
Mesenchymal Cell Tumour (Gambar 3.1). Menurut Singh (2018), sel
spindel atau sel tumor spindel merupakan bagian dari jaringan ikat dalam
tubuh yang berasal dari sel mesenkim. Pemeriksaan sitologi pada sel
spindel normal akan terlihat bentuk sel memanjang dengan inti sel
fusiform atau ovoid. Sel spindel dapat ditemukan di jaringan tubuh seperti
kolagen, kartilago, tulang, atau lemak. Sel tumor spindel terjadi akibat
reaktif dari lesi jaringan yang kemudian menjadi tumor baik jinak (benign)
ataupun ganas (malignant).

Gambar 3.1. Sel spindel pada massa submandibular


Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan massa basofilik pada
submandibular (Gambar 3.2 (A)). Selain itu, ditemukan adanya kongesti
dan temuan massa eosinofilik homogen dengan lapisan basofilik (Gambar
3.2 (B)). Menurut Che-Amat et.al (2019), massa pada tulang ditandai
dengan penyebaran koloni bakteri-like dengan struktur sirkular. Massa
eosinofilik dikarakteristikan dengan bentukan lamellar trabecular-like
dengan adanya sel pipih dan lapisan basofilik. Secara histopatologi, sel
tumor mesenkimal ditandai dengan adanya osteoblast dengan warna sel
kemerahan pada lapisan bawah dari massa tulang.

12
Tumor jinak pada tulang atau disebut osteoma biasanya terletak
dibagian dalam periosteum dan lapisan cancellous. Secara mikroskopis,
adanya infiltrasi osteoblast dan osteoclast. Sedangkan lapisan
intertrabekular banyak mengandung jaringan fibrosa, adiposit, dan
jaringan hematopoietic (Zachary, 2017).
A B

Gambar 3.2 Massa tulang pada submandibular (A); Massa eosinofilik


homogen dengan lapisan basofilik ( ) dan sel pipih ( ) (B).

3.1.2 Skema Patofisiologis

13
3.1.3 Patogenesa
Parosteal osteoma merupakan jenis neoplasia yang tumbuh pada
pemukaan sebuah tulang yang terdiri dari jaring-jaringan yang mudah
dibedakan seperti fibrous, osseous dan pada beberapa kasus meliputi
cartilaginous. Teminologi “parosteal” digunakan oleh para ahli patologis
karena pada jenis neoplasia tersebut ditemukan ketiga tipe jaringan
mesenkimal yang disebutkan diatas. Osteoma sendiri merupakan lesi
osteogenik benign yang terkarakterisasi oleh adanya proliferasi tulang
trabecular dan atau tulang kompak. Menurut Longo et al., (2011), osteoma
adalah tumor jinak yang menyerang jaringan tulang dari proliferasi tulang
kompak atau concellous ataupun kombinasi keduannya. Osteoma terdiri
dari tiga jenis central, peripheral dan ekstra-skletal. Sentral osteoma timbul
dari endosteum, peripheral osteoma timbul dari periosteum dan
extraskeletal soft tissue osteoma biasanya berkembang dalam otot. Osteoma
dapat timbul pada daerah sinus paranasal, tulang tengkorak dan tulang
wajah, termasuk maksila dan mandibular (Pogre et al, 2006).
Patogenesis osteoma tidak diketahui. Banyak pendapat
menyebutkan bahwa osteoma berkembang sebagai suatu neoplasia dan
pendapat lain menyebutkan bahwa osteoma merupakan suatu hematoma.
Mekanisme reaksional, infeksi ataupun trauma dicurigai merupakan
penyebab dari osteoma. Menurut pendapat Thoma dan Goldman, osteoma
tumbuh spontan dan diakibatkan oleh trauma dan bukan karena inflamasi.
Menurut pendapat ini, trauma minor yang dialami pasien dapat
mengakibatkan hematoma subperiosteal sehingga menarik otot, keadaan ini
dapat memicu terbentuknya lesi (Horikawa and Fernando, 2012). Banyak
kasus dilaporkan pada manusia dan hewan dimana osteoma tersebut
ditemukan pada tulang craniofacial, khususnya pada sinus paranasal dan
mandibula. Pada banyak kasus di manusia, sebagian besar penyebab
osteoma yaitu adanya familial adenomatous polyposis atau Gardner’s
syndorme yang diakibatkan mutasi genetik turunan yang dominan pada
APC (Adenomatous Polyposis Coli) gen supresor tumor. Namun belum ada
penelitian lebih lanjut pada hewan mengenai penyebab pasti dari osteoma
(Meuten, 2017).

14
Terdapat dua sistem seluler yang dapat mempengaruhi produksi dari
sel-sel spesifik pada tulang, yaitu sistem hematopoietik dan stromal
fibroblastik. Berikut sel-sel yang berpengaruh pada kejadian neoplasia
tulang:
a) Sel Osteoprogenitor
Merupakan sel-sel osteogenesis independent berupa stem sel dari sistem
stromal fibroblastik. Memiliki kemampuan untuk menyusun kembali
karakteristik microenvironment hematopoietic pada tulang. Sel
osteoprogenitor merupakam sumber dari chondroblast dan osteoblast
serta fibroblast pada tulang. Kondisi genetik dicurigai dapat
menyebabkan pertumubhan kartilago dari mesenkim terkondensasi
sehingga menimbulkan banyak sel-sel baru pada kartilago
b) Osteoblast
Osteoblas memproduksi dan memineralisasi matriks tulang yang
disebut osteoid.
c) Osteosit
Osteosit terbentuk dari sebagian osteoblast pada osteoid yang kemudian
termineralisasi. Osteosit berkontribusi dalam pembentukan lubang pada
tulang dengan cara menyerap sel-sel tulang saat osteoklas sampai di
lakuna.
d) Osteoklast
Merupakan produk dari stem sel hematopoietic. Osteoklast ditemukan
pada permukaan tulang atau dekat dengan permukaan tulang yang
kemudia terserap sehingga menyebabkan tonjolan pada tulang.
e) Matriks Tulang
Fraksi organik pada jaringan tulang yang dapat disebut matriks tulang
atau dikenal juga sebagai osteoid, terdiri atas protein kolagen and non-
kolagen. Serat kolagen pada matriks tulang disekresikan pada bentukan
prekursor pada osteoblast.
f) Mineral Tulang
Matriks tulang yang termineralisasi hingga 90%, air akan tergantikan
oleh matriks tulang (Jubb et al, 1993).

15
3.2 Pembahasan
Seekor iguana dengan ras green iguana biasa diberikan pakan roti dan
terkadang diberi pakan sayur. Empat bulan sebelumnya dikandangkan bersama
dengan iguana jantan dan dan menunjukkan perilaku agresif. Temuan klinis
yang diamati yaitu status dehidrasi 7%, mata sedikit cekung, dan terdapat
massa keras pada bagian sinister mandibular. Massa keras di mandibula bisa
disebabkan karena adanya kanker atau tumor. Istilah tumor ini digunakan untuk
menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang tidak normal. Menurut
Brooker (2001), pertumbuhan tumor dapat digolongkan sebagai ganas
(malignant) atau jinak (benign).
Diagnosa banding dari adanya massa tersebut antara lain adalah metabolic
bone disease atau osteodystrophy, abses, osteosarcoma, osteosarcoma
parosteal, chondrosarcoma. Metabolic Bone Disease atau osteodystrophy
disebabkan karenanya kurangnya asupan kalsium atau vitamin D di dalam
pakan. Metabolic bone disease pada iguana ditandai dengan adanya
pembengkakan didaerah mandibula atau kaki (Messonnier, 1995).
Penampakan sitologi dari metabolic bone disease yaitu osteoclast memiliki
banyak inti (Aughey and Fredic, 2001). Osteosarkoma adalah tumor ganas
pada tulang yang berasal dari sel mesenkimal yang memproduksi tulang dan
matriks osteoid. Penampakan sitologi akan terlihat adanya massa tulang massif
berupa osteoid (ditandai dengan adanya koloni yang tersebar mirip dengan
bakteri yang ditemukan di sel-sel massa tulang), adanya trabeculae lamellar
dengan ruang yang longgar yang diselimuti oleh basophil dan sel pipih,
ditemukan osteoblast dibagian bawah massa tulang (oseteoid), sekelompok sel
berbentuk bulat hingga spindle dengan kromatin yang tertanam dalam matriks
seluler yang berwarna merah muda (Amat et al., 2019). Chondrosarcoma
adalah sel tumor malignant (tumor ganas) karena adanya proliferasi
chondroblast (Schmidt et al., 2017). Penampakan sitologi ditandai dengan
adanya bentukan bitnik-bintik tipis, eosinofilik tampak cerah dan adanya
matrix ekstraseluler (chondroid) (Barger and Amy, 2017).

16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebelum pengangkatan massa
tumor yaitu pemeriksaan sitologi, Complete Blood Count (CBC), dan biokimia
(serum). Kemudian, dapat dilakukan juga pemeriksaan radiografi (X-ray), Fine
Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dan histopatologi (Che-mat et al., 2019).
Menurut Gold et al., (2018), gambaran histologis adalah kunci untuk
membedakan jenis tumor dengan tumor lain yang juga dapat terbentuk di
permukaan tulang. Sedangkan biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosa
terhadap adanya tumor dan infeksi, fine needle aspiration biopsy dilakukan
dengan menggunakan jarum secara perkutan pada daerah patologis kemudian
dilakukan aspirasi. Tusukan perkutan dilakukan beberapa kali dengan arah
yang berbeda dengan tujuan mendapatkan spesimen yang adekuat.
Hasil pemeriksaan sitologi menunjukkan adanya sel spindel dengan struktur
kromatin kasar dan berwarna pink pada matriks seluler. sel spindel dengan
kromatin yang kasar mengindikasi adanya sel tumor mesenkim (Gambar 3.1).
Sel mesenkim berbentuk lonjong hingga berbentuk spindel. Rentang bentuk
nucleus yaitu dari bulat hingga oval. Sel tersebut cenderung lebih kecil dari sel
epitel. Sel mesenkimal di kulit dan jaringan subkutan berasal dari fibroblas di
jaringan ikat, adiposit, sel otot, tulang atau tulang rawan, serta pembuluh darah.
Sel mesenkimal di kulit dan jaringan subkutan berasal dari fibroblas di jaringan
ikat, adiposit, sel otot, tulang atau tulang rawan, serta pembuluh darah. (Fisher,
2014).

Gambar 3.1 Sitologi massa submandibular


Langkah diagnosa ini sesuai dengan Ettinger et. al (2017), bahwa untuk
hewan dengan suspek tumor perlu dilakukan langkah signalment, pemeriksaan
klinis, radiografi regional, dan biopsi untuk pemeriksaan lanjutan. Selain itu

17
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk kasus ini dapat berupa
pemeriksaan darah lengkap dan biokimia darah. Berdasarkan temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang, maka diagnosa pada iguana tersebut yaitu suspect
tumor sel mesenkim (osteoma).
Osteoma sendiri merupakan lesi osteogenik benign yang terkarakterisasi
oleh adanya proliferasi tulang trabecular dan atau tulang kompak. Menurut
Longo et al., (2011), osteoma adalah tumor jinak yang menyerang jaringan
tulang dari proliferasi tulang kompak atau concellous ataupun kombinasi
keduannya. Osteoma terdiri dari tiga jenis central, peripheral dan ekstra-skletal.
Sentral osteoma timbul dari endosteum, peripheral osteoma timbul dari
periosteum dan extraskeletal soft tissue osteoma biasanya berkembang dalam
otot. Osteoma dapat timbul pada daerah sinus paranasal, tulang tengkorak dan
tulang wajah, termasuk maksila dan mandibular (Pogre et al., 2006).
Osteoma mempunyai corak variasi radiologik dan histologik yang luas.
Sebagian tumor tumbuh pada permukaan tulang, sedangkan yang lain terbatas
pada kavum meduler. Beberapa muncul dari tulang normal (de novo
osterosarcoma), sedangkan yang lain timbul dari penyakit Paget atau setelah
radiasi (osteosarcoma sekunder). Umumnya tumor ini merupakan lesi soliter,
namun walaupun jarang pernah dilaporkan kasus dengan osteosarcoma
multifokal. Tumor ini dapat juga secara primer terjadi ekstraskeletal. Keadaan
ini sangat jarang ditemukan dan yang dilaporkan kurang dari 50 kasus.
Penanganan osteosarkoma dilakukan melalui pendekatan dari banyak segi,
termasuk kemoterapi dengan asumsi bahwa semua kasus mempunyai
metastasis pada waktu didiagnosis dan kemudian diikuti dengan operasi (Loho
2014).
Pengambilan sampel tumor dapat dilakukan menggunakan metode reseksi,
yang tujuan dari reseksi sub-mandibula ini adalah untuk mengurangi rasa sakit
dari iguana dan meningkatkan kesejahteraannya. Hasil pemeriksaan klinis dan
histopatologi menunjukkan bahwa massa sub-mandibula merupakan tumor sel
mesenkim. Sedikit yang diketahui tentang perilaku tumor ini pada kadal,
namun Hernandez-Divers dan Garner, (2003), melaporkan bahwa tumor
memiliki karakteristik yang sama seperti yang ditemukan pada anjing dan

18
kuncing. Beberapa tumor mesenkim telah dilaporkan pada reptile dan beberapa
merupakan tumor tulang rawan atau jaringan tulang yang termasuk
chondrosarcoma, osteosarcoma, dan osteochondroma yang sebagian besar
ditemukan pada spesies iguana. Neoplasma lain yang ditemukan pada reptile
seperti iguana, chelonian dan ular termasuk fibro-sarcoma atau fibroma dan
lipoma serta limfoma atau limfomatoid sebagai neoplasma yang paling
dominan pada kadal dan ular (Jacobson et al., 1981; Garner et al., 2004).
Menurut Che-Amat et al., 2019, contoh gambaran makroskopis pada
iguana yang terdapat adanya massa di bagian tepi jaringan, terlihat bahwa
massa memiliki permukaan yang keras dan halus dengan diameter sebesar 4
cm x 3 cm (Gambar 3.2). Berdasarkan pemeriksaan klinis, osteoma sebagai
salah satu hamartoma (pertumbuhan jaringan tubuh tidak ganas), bukan
neoplasma sejati yang merupakan lesi jinak yang pertumbuhannya lambat dan
tumbuhnya pada permukaan tulang dan tidak mengandung tulang rawan.
Paling banyak di dapat pada tulang tengkorak dan sinus paranasal.

Gambar 3.2 Temuan makroskopis reseksi tumor (Che-Amat et al., 2019).

Hasil pemeriksaan histopatologi pada massa hasil reseksi tumor ditemukan


massa basofilik pada submandibular (Gambar 3.3). Selain itu, ditemukan
adanya kongesti dan temuan massa eosinofilik homogen dengan lapisan
basofilik (Gambar 3.4). Menurut Che-Amat et.al (2019), massa pada tulang
ditandai dengan penyebaran koloni bakteri-like dengan struktur sirkular. Massa
eosinofilik dikarakteristikan dengan bentukan lamellar trabecular-like dengan
adanya sel pipih dan lapisan basofilik. Secarra histopatologi, sel tumor

19
mesenkimal ditandai dengan adanya osteoblast dengan warna sel kemerahan
pada lapisan bawah dari massa tulang.

Gambar 3.3 Histopatologi massa submandibular

Gambar 3.4 Histopatologi dari massa submandibular

Dilaporkan bahwa sebagian besar tumor yang biasa ditemukan pada


mamalia terutama tumor jinak yang muncul dari elemen mesenkim yang
berhubungan dengan tulang (Hall et al., 2007). Menurut survey yang dilakukan
oleh Dietz et al. (2015) dari 2001 hingga 2013, 13 dari 385 kasus klinis yang
masuk ke klinik veteriner pada reptile adalah tumor tulang. Selain itu, tumor
tulang jinak serta tulang rawan ganas dan tumor tulang yang dilaporkan dalam
penelitian tersebut sebagian besar ditemukan di sekitar area kepala dan tungkai
dari berbagai spesies kadal atau iguana. Namun, neoplasia tulang jinak pada
dasarnya adalah tumor langka pada reptile. Hernandez-Diverz (2003)
melaporkan beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan prevalensi tumor
yang timbul pada reptile. Faktor-faktor tersebut termasuk umur, imunosupresi,
paparan stress kronis seperti suhu, makanan, racun, radiasi, trauma atau
peradangan kronis. Dalam laporan kasus klinis ini, 4 bulan yang lalu iguana
dikandangkan ersama dengan iguana jantan lainnya dan menunjukkan perilaku
yang agresif.

20
Pada terapi tumor, manajemen memiliki peranan yang sangat penting
dalam pemulihan dan penyembuhan pasien. Reseksi bedah adalah metode yang
direkomendasikan dan paling sesuai untuk massa fokus yang marginnya tidak
diketahui. Hernandez-Divers dan Garner (2003), melaporkan bahwa reseksi
bedah dilakukan pada 14/38 (37%) kadal sebelum diagnosis. Keberhasilan
prosedur pembedahan bergantung pada kemampuan dokter untuk memasukkan
prinsip standard pembedahan onkologi dan teknik pembedahan reptilian.
Alternatifnya, penggunaan terapi laser yang tidak terlalu traumatis dapat
dilakukan. Terapi radiasi dan terapi intralesi telah digunakan pada ular dengan
hasil yang menjanjikan (Done and Mader, 1996; Langan et al., 2001;
Hernandez-Divers, 2003).
Pilihan medis yang tersedia adalah kemoterapi. Namun, berbeda dengan
spesies hewan kecil, kemoterapi tidak umum digunakan untuk mengobati
neoplasia pada reptile kecuali ular karena sebagian besar agen kemoterapi
harus diberikan berulang kali melalui intravena dan ini sangat sulit untuk
dilakukan pada spesies iguana (Straw et al., 1996; Orcutt, 2000; Hernandez-
Divers, 2003). Dalam tatalaksana kasus klinis ini, diagnosis dicapai
berdasarkan temuan pemeriksaan klinis, sitologi dan histopatologi tumor yang
dipotong. Selain itu, pilihan pengobatan terbaik yang diadopsi adalah operasi
pengangkatan massa superfisial dengan perawatan pasca operasi yang
memadai dan ini menunjukkan hasil yang sangat baik dari kasus klinis yang
telah dilaporkan.

21
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kasus ini didiagnosa sebagai Suspect parosteal osteoma pada iguana
berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan lanjutan yang terdapat massa
di submandibular yang merupakan tumor sel masenkim. Jenis tumor sel
mesenkim ini jarang terjadi pada reptile dikarenakan tumor ganas lebih
sering dilaporkan pada iguna dibandingkan dengan tumor jinak mesenkim.

4.2 Saran
Disarankan untuk melakukan diagnostik lebih lanjut sebagai
evaluasi dalam memastikan jenis tumor jinak.

22
DAFTAR PUSTAKA
Amat, A., Asinamai, A.B., Faez, F.A. et al. (2019). Parosteal Osteoma in a Green
Iguana: A Veterinary Case Report of Medical and Surgical Management.
Journal of Animal Health and Production Volume 7.

Aughey, E. and Fredric, L.F. (2001). Comparative Veterinary Histology With


Clinical Correlates. Manson Publishing.

Barger, A.M. and Amy, L.M. (2017). Small Animal Cytologic Diagnosis. CRC
Press.

Birchard S, Carothers M: Aggressive surgery in the management of oral neoplasia.


Vet Clin North Am Small Anim Pract 20(4):1117–1139, 1990.

Burton, A.G. (2018). Clinical Atlas of Small Animal Cytology. Wiley Blackwell.

Che-mat, A., Bitrus, A.A., Jesse, F. F. A., Chung, E. L. T., Losheni, S., Sabri, M.
Y., Zakaria, M. A., Haron, N. A., Muhamad, A. S., Affandi, S. A., Abba, Y.,
Peter, I. D., Wa-Nor, F., Hambali, I. U., Paul, B. T. 2019. Parosteal Osteoma in a
Green Iguana: A Veterinary Case Report of Medical and Surgical
Management. Journal of Animal Health and Production. ISSN 2308-2801.

Dijk, J.E., Gruys., Mouwen. 2007. Color Atlas of Veterinary Pathology Second
Edition. Saunders Elsevier

Ettinger, J. Stephen, Edward C. Feldman, Ettine Cote. 2017. Textbook of Veterinary


Internal medicine (Eight Edition). St. Louis, Missouri.

Gold, R., Oliveira, F., Pool, R. 2018. Zygomatic Arch Parosteal Osteosarcoma in
Dog and a Cat. Department of Veterinary Pathobiology, College of Veterinary
Medicine Texas A&M University, USA.

Horikawa, Fernando K. Peripheral osteoma of the maxillofacial region: a study of


10 cases. BrazJ Otorhinolaryngol. 2012; 78(5): 38 – 43

Jubb, KVF., Kennedy, Peter C., Palmer, Nigel. 1993. Pathology of Domestic
Animal: Fourth Edition, Volume 1. Academic Press, Inc. Harcourt Brace
Jovanovich, Publishers.

23
Klappenbach L. 2013. Reptiles. http://animals.about.com/od/reptiles/p/
reptiles.htm. Diakses pada tanggal 26 september 2020.
Messonnier, S. (1995). Exotic Pets: A Vetrinary Guide for Owners. Republic of
Texas Press.

Meuten, Donald J.2017. Tumors in Domestic Animals: Fifth Edition. College of


Veterinary Medicine, North Carolina State University. Wiley BlackWell:
USA.

Nurjuanitar, A.V. 2016. Analisis Perubahan Struktur Anatomi dan Histologi Ginjal
Iguana Hijau (Iguana iguana) Setelah Pemberian Pakan Bayam Merah
(Amaranthus tricolor L.). [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Hasanuddin.
Olvi L.G., Lembo G.M., Santini-Araujo E., Kalil R.K. (2020) Parosteal
Osteoma. In: Santini-Araujo E., Kalil R., Bertoni F., Park YK. (eds)
Tumors and Tumor-Like Lesions of Bone. Springer, Cham.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-28315-5_10.
Perez, J. J. 2012. Hematologic Evaluation of Reptile: A Diagnostic Mainstay.
Veterinary Technician.

Pogre M, Schmidt B, Robertson C. Clinical Pathology Odontogenic and


Nonodontogenic Tumors of the Jaws 2006: 516.

Schmidt, R.E. and Drury, R.R. (2017). Metastatic Chondrosarcoma in a Corn


Snake (Pantherophis guttatus). Journal of Herpetological Medicine and
Surgery Volume 22 No. 3-4

Shannon Martinson, Bsc, DVM, Mvsc, DACVP. 2013. Reptil Phatology Necropsy
Techniques And Common Diseases. Diagnostic Services, Atlantic Veterinary
College.

Singh, E. 2018. Spindle Cell Tumours of The Head and Neck- A Taxonomic Review. Journal
of Clinical and Diagnostic Research. Vol 12 (12): ZE19- ZE27.

Suehara, Y., Yazawa, Y., Hitachi, K., and Yazawa, M. 2004. Periosteal
osteosarcoma with secondary bone marrow involvement: a case report. J Orthop
Sci. 9, 646- 649.

24
Su Ji Kim, Hee Jin Park, So Yeon Lee. 2017. Juxtacortical Osteoma of the
Metatarsal Bone: A Case Report. Journal of the Korean Society of
Radiology, 10.3348/jksr.2017.77.6.421, 77, 6, (421).

Toledo, G. N dan Moreira, R. R. 2017. Canine Periosteal Osteosarcoma. Journal


of Veteriary Healthcare. ISSN: 2575-1212.

Vosjoli, P.D., Susan, D., Roger, K., David, B. 2012. The Green Iguana Manual. 3rd
Edition. Advance Vivarium System, p5-8.

Zachary, J.F. 2017. Pathologic Basis of Veterinary Disease Sixth Edition. Elsevier
Inc.

25
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
Yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

“Pathology of carbon monoxide poisoning


in two cats”

Oleh:

DINUL HAMDI 190130100111027


ERNITA WIDYASARI 190130100111056
DYAH KUSUMANING WARDHANI 190130100111057
ENDANG ROSIDAYANTI 190130100111087
Kelompok 1 / Gelombang VI

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIBERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

PATOLOGI DARI DUA KUCING YANG KERACUNAN


KARBON MONOKSIDA

Diambil dari: Arya Sobhakumari, Robert H. Poppenga, J. Brad Pasevento, Francisco A. Uzal.
(2018). Pathology of Carbon Monoxide Poisoning in Two Cats. Case Report in
BMC Veterinary Research, 2018.

A. Riwayat Klinis
Kucing ras Singapura (Singapura brown ticked cats) dewasa berjumlah dua ekor ( jantan
dan betina steril) ditemukan mati di sebuah rumah bersama kedua pemiliknya yang juga telah
meninggal. Kedua karkas kucing memiliki status nutrisi yang baik dan mengalami dekomposisi
sedang. Beberapa abnormalitas tampak pada kedua kucing, diantaranya yaitu cairan aquous
berwarna merah muda hingga merah cerah, kemerahan pada permukaan kulit abdomen dan
permukaan telinga bagian dalam, warna merah cerah pada otot skelet, terjadi kongesti dan
perubahan warna menjadi merah cerah pada cairan serosa abdomen, kongesti dan edema pada
paru-paru, hidrothoraks dan hidroperikardium sedang.
Pengambilan sampel dilakukan pada organ viscera kedua kucing serta organ otak untuk
dilakukan pewarnaan HE dan secara khusus pewarnaan Von Kossa dilakukan pada organ
jantung. Temuan lain yaitu terlihat perubahan warna pada cairan formalin yang digunakan
untuk koleksi sampel.
Analisa mikroskopik terhadap sampel pada kedua kucing menunjukkan hasil yang
sama. yaitu kongesti difus paru-paru, edema interstisial dan alveolar, dan tampak basofilia
multifokal pada kardiomiosit. Pemeriksaan sampel jantung yang diwarnai dengan Von Kossa
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

B. Daftar Permasalahan
Daftar permasalahan yang muncul adalah:

1. Perubahan warna merah cerah pada kulit di abdomen


2. Perubahan warna merah cerah pada permukaan bagian dalam pinna telinga
3. Musculo skeletal berwarna merah cerah
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

C. Sistem Organ Terpapar


Sistem organ yang terpapar adalah

1. Sistem Integumen (Kulit)


2. Sistem Pernapasan (Paru- paru)
3. Sistem Musculoskeletal
4. Jantung, dan, Otak (Korteks, Korpus strianum, thalamus, midbrain, cerebellum, dan
medula)

D. Teknik Bedah Bangkai


Tehnik bedah bangkai pada kucing adalah pertama dilakukan persiapan alat dan bahan
yang dibutuhkan saat nekropsi seperti gunting, blade, bone cutting forceps, gergaji,
formaldehyde 10%, glove dan masker. Sebelum dilakukan tahap nekropsi dilakukan
pengamatan terhadap tubuh bagian luar kucing. Kemudian diletakkan dengan rebah lateral pada
meja nekropsi. Lipatan ketiak disayat hingga persendian di axilla dan scapula terlepas. Lipatan
paha disayat hingga os femur pada persendian coxo-femoral terlepas dari acetabulumnya.
Keadaan subkutis diperiksa dengan menguakkan jaringan ikat longgar subkutis kea rah kanan
dan kiri tubuh. Keadaan yang diamati diantaranya kelembaban, perlemakan, keadaan
limfoglandula perifer, pada perubahan warna dan ukuran serta adanya eksudasi atau tidak.
Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan cara otot perut digunting pada linea alba
kemudian pada batas costae ke arah kanan dan kiri. Pemeriksaan tekanan negatif rongga dada
dilakukan dengan cara melubangi otot intercostalis dengan tusukan pisau. Diafragma digunting
di dekat perlekatannya dengan costae. Costae dipotong pada perbatasan tulang rawan dan tulang
keras. Setelah pembukaan rongga abdomen maka diperiksa bagian situs viserum untuk melihat
adanya cairan, perubahan posisi organ, valvulus, perlekatan organ antara usus dengan usus atau
usus dengan peritoneum. Selain itu periksa juga keadaan situs viserum rongga dada apakah
terdapat akumulasi cairan, perubahan posisi organ, hernia diafragmatika, perlekatan organ
antara pleura costalis atau pleura pulmonum dengan perikardium. Jika ada cairan dan
jumlahnya cukup banyak diukur. Organ tubuh rongga dada dikeluarkan dengan menyayat otot
yang bertaut pada os Mandibula hingga lidah dapat ditarik ke arah ventral. Lidah bersama
dengan esofagus dan trachea diangkat lalu sayat alat penggantung sehingga paru-paru dan
jantung bisa dikeluarkan dari rongga dada. Perbatasan esofagus dan lambung dipotong setelah
sebelumnya dilakukan ikatan ganda. Jantung dan pembuluh darah (aorta serta a. pulmonum)
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

dipisahkan dari pertautannya dengan paru-paru. Laring, trakhea, dan bronchus diperiksa dengan
menggunting bagian tersebut pada bagian dimana cincin tulang rawan terbuka lalu
pengguntingannya dilanjutkan hingga cabang-cabang bronkhus. Pengamatan PA dilakukan
terhadap isi lumen dan keadaan mukosa. Paru-paru diperiksa dengan menginspeksi adanya
perubahan warna, penggembungan, pengempisan, ada atau tidaknya bungkul. Palpasi
selanjutnya dilakukan untuk memeriksa kepadatan konsistensi, adanya krepitasi yang
berlebihan, dan dapat terabanya bungkul ataupun pasir padat pada permukaan organ. Insisi
dapat dilakukan pada bagian yang diduga berisi darah, cairan berbusa, nanah, ataupun benda
asing. Paru-paru juga diuji apung apakah akan tenggelam atau tidak untuk memeriksa kejadian
pneumonia. Sebelum jantung diperiksa, keadaan perikardium dan epikardium dilihat
keadaannya. Jantung diperiksa dengan menyayat ventrikel jantung pada dinding sejajar sulcus
longitudinalis kanan dan kiri. Selain itu inspeksi dilakukan untuk melihat adanya perubahan
warna pada perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium. Perubahan bentuk
diamati apabila terdapat kemungkinan adanya chicken fat clot, penebalan atau penipisan
dinding jantung dan juga penebalan pada katup bikuspidalis, trikuspidalis, dan semilunaris.
Palpasi pada daerah dinding jantung untuk memastikan dinding tersebut melembek atau
mengeras. Insisi perlu dilakukan untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada dinding
ventrikel.

Saluran pencernaan diperiksa mulai dari rongga mulut untuk melihat keadaan gigi, gusi,
dan mukosa pipi. Pemeriksaan dilanjutkan ke esofagus, lambung, dan usus terhadap lumen dan
keadaan mukosanya. Lambung sebelumnya digunting terlebih dahulu pada kurvatura mayor
sedangkan usus sebelumnya digunting terlebih dahulu di dekat alat penggantungnya.
Penyumbatan pada saluran empedu mungkin dapat terjadi, untuk memeriksanya dilakukan
penekanan pada kantung empedu dan muara saluran empedu pada duodenum lalu diamati. Hati
diperiksa secara inspeksi untuk melihat adanya perubahan warna, pola lobulasi yang jelas serta
perubahan bentuk. Palpasi dilakukan selanjutnya apabila ditemukan kemungkinan adanya
perubahan konsistensi pada organ tersebut. Selain itu insisi juga dilakukan untuk melihat
adanya perubahan warna pada bidang sayatan dan pengeluaran darah setelah dilakukan
penyayatan. Sedangkan pankreas diperiksa dengan cara inspeksi untuk melihat adanya
perubahan warna dan bentuk lalu dipalpasi untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi
serta insisi dilakukan untuk melihat adanya perubahan warna pada bidang sayatan. Limpa
diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna, bentuk, dan keadaan pada tiap tepi
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

organ beserta kapsulanya. Palpasi pada limpa dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan
konsistensi yang terjadi. Insisi dilakukan sejajar dengan hilus. Permukaan bidang sayatan
diusap untuk melihat adakah pulpa merah yang terikut. Organ urinari diperiksa dengan
mengenali posisi ureter yang menghubungkan ginjal dengan vesika urinaria. Pengeluaran uretra
dilakukan dengan menggergaji os pubis di sebelah kanan dan kiri dari symphisis pelvis. Ginjal
diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna sesudah kapsula dibuka dan bentuk
permukaannya. Palpasi pada ginjal dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi
yang terjadi. Insisi dilakukan untuk melihat perubahan warna dan batas pada korteks dan
medulla serta memeriksa adanya batu ginjal pada pyelum. Sedangkan untuk vesika urinaria
dilakukan pemeriksaan adakah penyumbatan uretra dengan menekannya lalu diamati
pengeluaran urin melalui uretra. Dinding vesika digunting lalu dilakukan pengamatan terhadap
isi dan permukaan mukosa. Pemeriksaan ureter dan uretra dilakukan jika ditemukan adanya
indikasi penyumbatan pada saluran tersebut. Rongga otak dibuka dengan membersihkan tulang
tengkorak dari otot dan kulit yang melekat. Tulang tengkorak digergaji dengan pola garis
melingkar tepat di belakang mata, di atas telinga, dan menuju lumen occipitale. Tulang yang
telah digergaji dicungkil dengan menggunakan pahat dan palu.

E. Deskripsi Morfologi Makroskopik


Dua ekor kucing yang telah di nekropsi memiliki kondisi nutrisi yang bagus dan
mengalami proses pembusukan yang sedang ketika dilakukan postmortem. Pada isi abdomen
kucing A hampir kosong namun ± 2 ml berisikan cairan mucus dan pada kucing B terdapat ±
50 ml kibble yang telah tercerna. Dari kedua kucing tersebut muncul kelainan abnormalitas
yang mencolok yaitu terjadi perubahan warna pink cerah-merah dari cairan yang encer (Terlihat
mencolok pada kucing A), perubahan warna merah cerah multifokal terjadi di kulit bagian
abdomen (Gambar 1) dan permukaan bagain dalam pinnae telinga (Gambar 2), musculo skeletal
berwarna merah cerah, terjadi kongesti dan perubahan warna merah cerah dari serosa
abdominal, paru-paru tersumbat dan mengalami edematosa, terjadi hydrothorax ringan dan
hidroperikardium. Secara khusus tidak ada gambaran abnormalitas pada pengamatan salah satu
otak kucing.
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

Gambar 1. Perubahan warna menjadi merah cerah pada kulit abdomen


(kiri) dan permukaan kulit telinga bagian dalam (kanan).

F. Deskripsi Histopatologis
Setelah dilakukan nekropsi, jaringan difiksasi pada larutan formalin selama 2 minggu
untuk mempertahankan perubahan warna mirip seperti warna setelah koleksi sampel dilakukan
(Gambar 3). Sample jaringan dari organ kedua kucing termasuk otak dilakukan proses
pewarnaan HE dengan perbesaran 250X. Lesi pada kucing secara mikroskopis seperti diffuse
dari kongesti paru-paru, edema interstitial dan alveolar, dan banyaknya basophilia multifokal
dari kardiomiosit (Gambar 4).

Gambar 2. Perubahan warna menjadi merah cerah pada cairan formalin


(kiri) dan temuan basofilia multifokal pada kardiomiosit (kanan).
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

Bagian organ hepar dilakukan pewarnaan dengan Vos Kossa untuk menyelidiki
kemungkinan deposit kalsium dan asam hemaktosilin phospotungstic (PTHA) untuk melihat
struktur miokardiosis dan hasilnya biasa saja tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Bagian musculo skeletal dilakukan analisa untuk mengetahui analisa sianida dengan
metode distilasi. Sianida dijaringan diubah menjadi gas hydrogen yang diklorinasi dan diubah
menjadi zat yang berwarna. Daya serap tersebut diukur menggunakan spektofotometri pada 578
nm dan dihitung dalam kurva standar dan tidak terdeteksi pada musculo kucing.
Karena tes sianida negative dilakukan pemeriksaan sampel darah postmortem yang
untuk menganalisis kandungan karbondioksida dengan sebuah alat modifikasi yaitu Comopac®
electrochemicalgasmeter. Darah yang sudah dicampurkan dengan natrium klorida dalam glass
vial yang diletakkan agar sesuai ke monitor portable CO (Thermo Scientific) dan diukur selama
5 menit. Pengukuran Hb dilakukan dengan metode azidemethemoglobin menggunakan sistem
HemoCue Hb® 201. Hasil darah yang telah diperiksa kadar COHb dilaporkan saturasinya
untuk kucing A sekitar 57% dan kucing B 41%.

G. Diagnosis Morfologi dan Banding


Dalam kasus ini diagnosa dugaan keracunan CO di ambil berdasarkan riwayat klinis,
temuan makroskopis dan gambaran mikroskopis. Perubahan makros dan mikros pada kucing
yang keracunan CO belum pernah dilaporkan. Namun pada manusia dan hewan lain yang
keracunan CO mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan otot menjadi merah cerah, warna
merah ceri pada darah dan otak, perubahan terkait dengan anoxia, termasuk nekrosis di korteks
dan white matter dari belahan otak. Namun perubahan ini tidak dianggap patognomonis dan
konfirmasi harus dilakukan berdasarkan deteksi tingkat racun COHb dalam darah pasien.
Adapun diagnosa banding selain keracunan CO adalah keracunan sianida dan penumpuka
akibat deposit kalsium serta asam hemaktosilin phospotungstic (PTHA).

H. Patogenesis
CO atau karbon monoksida merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
bersifat mengiritasi yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar. COHb pada individu yang
keracunan gas karbon monoksida akan mengurangi kapasitas oksigen dalam hemoglobin dan
menimbulkan hipoksia. Toksisitas akut akibat CO akan mengikat CO pada heme protein yang
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

dapat mengganggu respirasi seluler dan generasi radikal bebas dengan cara mengganggu
metabolisme oksidatif. Belum terdapat studi yang menginterpretasikan konsentrasi COHb yang
dapat menyebabkan kematian pada kucing yang keracunan CO. Maka dari itu pada kasus ini
penyebab kematian yang memungkinkan yaitu akibat adanya peningkatan CO pada jaringan,
menyebabkan hipoksia yang berasal dari adanya kompetisi antara CO dan O2 dalam berikatan
dengan hemoprotein.

Edema pulmonum yaitu kondisi dimana adanya akumulasi cairan interstitial dan alveolus yang
berlebih. Penyebab edema pulmonum pada kasus ini yaitu akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru karena inhalasi zat toksik, mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara
cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli dan mengakibatkan hipoksia. Pada
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru akan mengaktifasi neutrofil yang
akan melekat pada sel endotel dan melepas radikal bebas dan mediator inflamasi pada jaringan.
Akibatnya alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan mengandung
banyak neutrofil dan sel-sel inflamasi lainnya (Mulyadi, 2007).

I. Skema Patogenesis
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)

J. Referensi
Mulyadi. 2007. Hipoksia pada Sirkulasi Pulmonal. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 7
Nomor 2 Agustus 2007.

Published 2017, Warnock by SPi Global, Pondicherry, India.

Sobhakumari, A., Poppenga, Robert H., Pasavento, Brad., and Uzal, Francisco A. 2018.
Pathology of Carbon Monoxide Poisoning In Two Cats. BioMed Central. School of
Veterinary Medicine, University of California.

Small Animal Necropsy Part I. https://www.youtube.com/watch?v=wNXK26j1j-I

Small Animal Necropsy Part II. https://www.youtube.com/watch?v=lQtRZlnPXTc

Small Animal Necropsy Part III. https://www.youtube.com/watch?v=125neNe5RK0

Wiley, J and Sons. 2017. Necropsy Gide for Dogs, Cats, and Small Mammals. Edition First
TUGAS RESUME CASE REPORT

ROTASI PPDH PATOLOGI ANATOMI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA

“LIPOSARKOMA MYXOID PADA ANJING”

Oleh:

Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH


NIM. 190130100111057
Gelombang/ Kelompok : 6/1

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
RESUME CASE REPORT LIPOSARKOMA MYXOID PADA ANJING

Liposarkoma merupakan neoplasia yang langka pada hewan peliharaan


yang berasal dari sel mesenkim. Pada anjing sering menyerang jaringan subkutan
dan dapat berkembang ke rongga perut. Jenis anjing yang sering diamati
mengalami liposarkoma adalah jenis anjing Sheepdog Shetland. Liposarkoma
myxoid dibedakan dari sel tumor spindle lainnya yaitu seperti myxoma,
mycosarcoma, myxoid perifer dan fibrosarcoma. Liposarkoma bersifat local
invasif, agresif dan jarang bermetastasis, namun ada beberapa laporan dapat
bermestatasis di organ paru-paru, hati, limpa dan tulang baik manusia ataupun
hewan.
Seekor anjing jantan dewasa, umur tidak diketahui, anjing mixbreed,
dibawa ke dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Universidade Estadual de
Loundrina di Brasil selatan untuk evaluasi massa pada kaki belakang kiri bagian
lateral paha. Pemilik melaporkan bahwa baru terlihat massa tersebut ketika hewan
tersebut dikeluarkan. Pada pemeriksaan klinis terdapat massa yang besar, lonjong,
keras serta diikuti rasa nyeri. Ukuran massa 23 x 24 cm terletak pada lateral
bagian proximal kaki belakang kiri (paha) yang merupakan perpanjangan dari os
ischium pada rongga pelvis. Pada daerah ini menunjukkan edema yang luas sapai
ujung bagian distal, dengan tubuh yang pincang. Hewan kelebihan berat badan,
tertekan dan lemah.
Dilakukan uji hematologi darah yang menunjukkan adanya leukositosis
dan neutrifilia. Pada uji serum menunjukkan peningkatan alkali phopatase.
Analisa sitoogi menggunakan aspirasi jarum pada massa menunjukkan tumor
mesenkim ganas denga neutrofilik sebagai proses peradangan. Gambaran
radiografi dengan posisi lateral pada thorax menunjukkan bentukan bronkial dan
interstitial dengan pola campuran dan adanya struktur radioopaq dibagian jantung
yang berkaitan dengan jaringan lunak yang berukuran 5 x 3 cm yang
mengindikasi terjadinya metastasis. Radiografi pada femur kiri menunjukan
gambaran yang radioopag yang menyebar dan tidak teratur yang berhubungan
dengan jaringan lunak berukuran 25 x 12 cm.
Treatment hewan tersebut diberikan Tramadol® 3 mg/kg melalui subcutan
dan kemudian di pulangkan dan diberikan obat anti-inflamasi selama 10 hari. Dua
minggu setelah konsultasi awal, anjing tersebut dating dengan pembengkakan
yang progresif, nyeri dan edema dibeberapa anggota tubuh. Karena kurangnya
respon terhadap treatment dan prognosisnya buruk maka diputuskan anjing ini
dieutanasia untuk dilakukan nekropsi.
Pada gambaran makroskopis menunjukkan massa yang besar yang terletak
di dua pertiga bagian proximal kaki belakang kiri (paha) yang meluas hingga
bagian distal pubis dengan diameter ukuran 25 cm. Edema terlihat berdekatan
dengan area daerah oragan genetalia. Pada proses pemotongan, subkutan terdapat
edema difus dan mengeluarkan cairan transparan. Massa tampak multilobulasi,
bercampur dengan jaringan fibrotik halus, warnanya putih keabu-abuan,
mengkilat dan seperti berminyak (Gambar 1A). Pada bagian yang dipotong,
tersebar daerah yang lembut yang berwarna kekuningan mengandung mukoid
dengan area nekrotik yang diamati dengan area yang terjadi pendarahan (Gambar
1B). Massa tersebut melekat erat pada otot fasia dibagian bawah paha.
Pemeriksaan lain pada aorgan menunjukan adanya hernia pada diagfragma,
omentum yang meluntir di rongga dada bersama usus kecil dan hepar yang
nampak permukaan tidak beraturan dan batasnya membulat.

Gambar 1A dan B. Gambaran Makroskopis

Pada pemeriksaan histopatologi dilakukan pengambilan sampel jaringan


pada massa yang kemudian difiksasi larutan formalin buffer netral 10 % dan di
potong dengan ketebalan 4µm dan diwarnai dengan pewarnaan hemaktosilin eosin
(HE). Pada hasil mikroskopis menunjukkan adanya sejumlah sel neoplastik yang
heterogen dengan sejumlah sel lipoblas yang menonjol pada fase diferensiasi yang
berbeda. Luas daerah tersebut bercampur dengan adiposit yang berdiferensiasi di
stroma miksoid yang menonnjol. Pewarnaan HE. Perbesaran 10x (Gambar 1C).
Terdapat Giant cell dengan pleomorfik yang signifikan adiposit bercampur dalam
matriks kolagen yang jarang. Pewarnaan HE. Perbesaran 40x (Gambar 1D).
Terjadi replikasi bagian tumor yang berdiferensiasi diwarnai dengan pewarnaan
Alcian Blue. Perbesaran 10x (Gambar 1E). LPS dengan sel neoplastik
menunjukkan kuatnya imunnoreactivity dari sitoplasma. Dengan pewarnaan DAB.
Perbesaran 40x (Gambar 1F).

Gambar 1C,D,E, dan F. Gambaran Mikroskopis

Adapun kesimpulan dari evaluasi penyakit tersebut adalaha massa pada


bagian daerah distal panggul mengindikasi semua jaringan nekrotik tidak dapat
diangkat melalui pembedahan. Tumor sepenuhnya tidak dapat diangkat
kemungkinan dapat juga bermetastasis. Selain itu prognosis yang buruk ditinjau
dari lokasi, invasi, perluasan massa dan adanya nekrosis. Evaluasi histopalogi
penting untuk diagnosa definitif dan klasifikasi liposarkoma.
Referensi
Green, K. T., Regazoli, É., da Silva, E. O., Hilst, C. L. S., & Di Santis, G. W.
2013. Case study: Myxoid Liposarcoma In A Dog. Online Journal of
Veterinary Research, 17(5), 218-226.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Senin Tanggal 07 September 2020


Patologi dari Urolithiasis (Gout Visceral) pada Ayam Layer

Penyakit ginjal sudah cukup umum yaitu dengan presentase 29,6 % untuk
hewan unggas. Adapun wabah yang pernah terjadi ditahun 2011 dan 2012 terkait
penyakit asam urat ini menyebabkan tingkat mortalitas dari unggas sebesar 40%.
Tingginya tingkat produksi protein dapat memicu terjadinya meningkatanya
produksi asam urat. Urolithiasis pada unggas juga disebut penyakit asam urat
(Gout) akibat dari kerusakan ginjal karena bebrapa faktor yaitu infeksi penyakit,
akibat gizi, konsumsi racun atau kombinasi dari banyak faktor. Pada bulan
oktober 2018 terjadi kematian seekor ayam layer memiliki gejala klinis penurunan
nafsu makan dan minum, terlihat lesu, bulu kusut, penurunan berat badan dan
kotoran abnormal. Setelah dilakukan postmortem bangkai ayam telihat kurus
kering dan dehidrasi. Pada gambaran makroskopis menunjukkan adanya
perbesaran pada hati, usus, jantung dan kantung udara akibat pengendapan dari
kapur putih. Secara mikroskopis bagian ginjal menunjukkan adanya pendarahan,
degeratif dan nekrotik dari perubahan tubulus, dan deposit yang berbentuk kristal
jarum menggantikan jaringan parenkim disekelilingnya karena pengaruh dari
inflamasi granulomatosa yang intens. Gout merupakan penyakit metabolic yang
menyebabkan hiperurisemia dan pengendapan asam urat di berbagai organ
jaringan. Lesi kasar dari endapan kapur diberbagai organ dan hasil histopatologi
dari ginjal menunjukkan lesi yang berat.

Gambaran Makroskopis Gambaran Mikroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Selasa Tanggal 08 September 2020


Terjadinya Mikosis Sitemik pada Ayam Broiler

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Aspergillus sps.


Saluran pernafasan merupakan rute utama infeksi Aspergillus pada unggas. Spora
dari jamur yang kecil terjebak dalam rongga hidung, trakea, paru-paru dan dapat
mencapai kantung udara. Selain infeksi langsung di kantung udara penyebaran
juga melalui hifa yang dikenal sebagai jaringan dan angio-invasif. Adapun
makrofag di saluran pernafasan sampai melalui interstitium ke dalam darah dan
limfatik hingga organ lain dan menyebabkan mikosis sistemik. Pada ayam broiler
yang mati bagian paru-paru ditemukan suspect terhadap jamur. Setelah dilakukan
postmortem terlihat gambaran makroskopis adanya lesi kasar dan nodul berwarna
keabu-abuan sampai dengan putih dengan variasi diameter 2-3 cm dijantung,
paru-paru, thorax, dan dinding kantung udara dan ginjal mengalami perbesaran 2
kali lipat dari normalnya. Secara mikroskopis terdapat nekrosis dengan infiltrasi
sel inflamasi dan hifa jamur serta beberapa bagian terdapat granuloma dengan
nekrosis caseosa, sel epiteloid dan giant cell.

Gambaran Makroskopis

Gambaran Mikroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Rabu Tanggal 09 September 2020


Evaluasi dan Histopatologi dari Runting Stunting Syndrom di Peternakan Ayam
Broiler

Runting Stunting Syndrom (RRS) merupakan suatu sindrom dimana suatu


unggas dalam satu kawanan tampak lebih kecil karena pertumbuhan yang
tertunda. Adapun akibat dari sindrom ini dikarenakan adanya berkurangnya
tingkat layak huni, tingkat konversi pakan yang buruk, penurunan berat badan
dan penyakit sekunder. Tanda gejala klinis dapat diamtai di anak ayam umur 6-12
hari dan dapat bertahan sampai umur 3 minggu. Adapun gejala klinis yang terlihat
anak ayam ukuran kecil, bobot badan berkurang, pucat, kotor, basah, diare,
pertumbuhan bulu yang buruk dan mungkin terjadi distensi abdomen. Pada kasus
ini dilakukan pengambilan sampel pada 30 unggas yang didiagnosis terkait
kondisi tersebut. Pada makroskopis yang dapat diamati adalah lesi kasar meliputi
bagian timus yang mengalami atrofi, proventrikulus membesar, atrofi hati dan
pancreas. Usus agak pucat dibagian tertentu tembus cahaya dan tipis. Secara
mikroskopis terjadi nekrosis dari kelenjar Bruner’s dengan adanya debris sel
nekrosis. Pada pancreas terdapat degenarasi dan atropi sela cinar pancreas.

Gambaran Mikroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Kamis Tanggal 10 September 2020


Deteksi Protozoa Darah yang Menginfeksi Ayam Ras Pedaging di Peternakan
desa Tanjung Gunung, Kabupaten Jombang

Peternakan ayam merupakan salah satu peternakan unggas yang


meningkatkan komoditas ekonomi masyarakat Indonesia. Penyakit protozoa darah
yang biasanya menyerang ayam pada lingkungan dekat sungai, rawa, kolam dan
sawah adalah Leucocytozoonosis. Gejala klinis yang ditunjukkan ayam adalah
lemah, lesu, kurus dan penurunan nafsu makan. Angka kerugian akibat
Leucocytozoonosis adalah tingkat kematian mencapai 7-50% pada ayam dewasa.
Pemeriksaan menggunakan 50 ayam dan dilakukan teknik berupa ulasan darah.
Darah diambil pada bagian vena brachialis di sayap menggunakan spuit 3 ml
kemudian sampel darah ditampung dalam botol EDTA yang berisi antikoagulan.
Kemudian sampel darah diletakkan di glass object dan diberikan pewarnaan
Giemsa. Pada hasil mikroskopis terdapat gametosit dari Leucocytozoon caulleryi
dengan ciri-ciri berbentuk bulat, membentuk fusi dengan sel induk semang dan
tidak ada pemanjangan dari sitoplasma sel dari induk semang. Eritrosit mengalami
desrosi akibat dari ukuran parasite yang lebih besar dan inti eritrosit berada ditepi
parasite. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya Leucocytozoonosis perlu
dilakukan sanitasi kandang dan lingkungan sekitar untuk menekan populasi vector
penyebar penyakit.

Gambaran Mikroskopis Perbesaran 1000x


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Jum’at Tanggal 11 September 2020


Infeksi Poxvirus pada Koloni Merpati (Columba livia)

Merpati merupakan salah satu hewan yang jarang digunakan untuk


penelitian. Pada jurnal ini menjelaskan bahwa status kesehatan merpati perlu juga
diperhatikan karena paparan satwa liar dan lingkungan yang tidak memadai.
Penyakit yang umum ditemukan pada merpati adalah trauma, ektoparasit, dan
pododermatitis. Pada burung merpati liar sporadis pada kasus infeksi
papilomavirus dan poxvirus menyebabkan penyakit ini cepat berkembang akibat
dari virus DNA. Hewan yang paling sering tertular adalah ayam, kalkun dan
merpati. Poxvirus menyebar melalui vector serangga, virus berada pada pakan dan
air yang terkontaminasi, dan langsung melalui udara. Lesi yang muncul pada
kulit merpati berbentuk kering (crust), dengan papula kecil yang berkembang
menjadi tebal sehingga mirip dengan kutil dan keropeng didaerah yang tidak
berbulu. Lokasi yang umum adalah kelopak mata, sekitar paruh dan tungkai. Pada
gambaran mikroskopis lesi kulit menunjukkan serocellular crust dan koloni
bakteri superficial (A), sdangkan pada gambar B terlihat lesi kulit serocellular
crust, mengalami peradangan, dan hyperplasia reaktif.

Gambaran Makroskopis Gambaran Mikroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Senin Tanggal 14 September 2020


Kanker Intracranial Primary pada Anjing : Klinik patologi dan Gambaran
Komperative dari Glioma, Meningioma, dan Tumor Plexus Koroid

Anjing merupakan salah satu spesies selain mamalia yang sering


menunjukkan gejala tumor otak secara spontan. Pada anjing, tumor otak primer
yang ditemukan adalah Meningioma 50%, Glioma 35% dan Tumor Plexus Koroid
± 7 %. Tumor otak pada anjing dapat terjadi disemua jenis anjing dan semua
umur, namun biasanaya tumor terjadi pada anjing yang sudah tua. Pada anjing ras
besar hubungan berat badan dan usia secara signifikan meningkatkan resiko
meningioma dan tumor plexus koroid. Adapun patofisiologis dan gejala klinis
yang terjadi adalah lesi massa intrakrania pada otak menekan jaringan otak dan
menyebabkan edema peritumoral, peradangan syaraf, hidrocefalus obstruktif, dan
pendarahan intracranial yang menyebabkan disfungis kerja otak. Untuk jenis
tumor yang tumbuh lambat seperti meningioma, tekanan intracranial akibat
volume mekanisme regulasi dari homeostatis dapat tetap meskipun volume terkait
tumot yang besar terhadap efek massa yang signifikan, namun peningkatan
progresif dalam volume tumor, mekanisme dar autoregulasi akhirnya kewalahan
dan terjadilah intracranial hipertensi (ICH). Kerusakan akut dapat diamai pada
hewan dengan ICH dan tumor otak akibat dari edema vasogenik, hidrocefalus
obstruktif, ischemia atau pendarahan otak, otak herniasi, atau kombinasi dari
mekanisme tersebut. Kejang merupakan manifestasi klinis yang paling umum
terjadi pada neoplasia intrakaranial yang diamati pada ± 50% anjing dengan tumor
pronsencephlic. Disfungis vestibular central adalah gejalan klinis yang paling
umum muncul terkait tumor otak yang berasal dari ekor batang otak. Anjing
dengan tumor otak mungkin juga menunjukkan gejala klinis nonspesifik seperti
kelesuan, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan. Diagnosa untuk
tumor intracranial adalah dengan menggunakan hematologi darah lengkap, profil
kimia dan urinalisis pada anjing yang tua serta ketika dilakukan pemeriksaan fisik.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Diagnostik lain juga dapat digunakan untuk pemeriksaan yang lebih lanjut seperti
biopsy otak, CT-Scan, MRI, dan analisis CFS.
Pada Glioma gambaran patologi yang terlihat adalah oligodendroglicoma
dari putih berbatas tegas sampai massa coklat yang berdaging dan lunak ke yang
lebih infiltrative ke neuroparenkin. Gelatin biasanya diproduksi karena mucin
yang tinggi. Biasanya ditemukan secara intraventrikular, multifocal didaalam
system syaraf pusat, atau menyebar di leptomeninges baik sebagai massa primer
atau penyebaran metastasis (Gambar B). Gambaran nekrosis, pseudopaliserada
terjadi peningkatan aktivitas mitosis atau fitur nyata keganasan. (Gambar D).

Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Glioma

Meningioma memiliki gambaran patologi berupa sel tutup arachnoid


menutupi lapisan tengah meninges sehingga kepadatan dari sel arachnoid
menurun di sistem syaraf pusat. Bentuk makrosnya, cenderung tegas,
multilobulasi, massa abu-abu putih yang terekan dan infiltrasi yang bervariasi
(Gambar B). Subtipe histologis yang paling umum adalah meningotelial yang
dibentuk oleh lembaran sel meningiotelial sering tergambarkan dengan lingkaran
samar. Sel biasanya memilki sitoplasma yang banyak, bulat besar hingga bulat
telur, inti dengan pola kromatin terbuka tunggal, dan nucleus menonjol (Gambar
D).
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Meningioma

Tumor Plexus Koroid memiliki gambaran patologis makros berupa tumor


berdaging dengan karakteristik tertentu penampilan ada batu halus yang berwarna
abu-abu sampai kecoklatan pada bagiannya, dan yang secara bervariasi
menyerang parenkim yang berdekatan (Gambar B). Secara mikroskopis tumor
biasanay berbentuk papiler atau daun yang didukung oleh stroma fibrovaskuller
padat. Sel disusun dalam trabekula sederhana hingga berlapis-lapis dengan pola
kromatin variable daan biasanya tunggal, dan nukleousnya tidak jelas (Gambar
D).

Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Tumor Plexus Koroid


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Selasa Tanggal 15 September 2020


Nekropsi Ikan liar Berdasarkan Penilaian Kesehatan

Aktivitas manusia memiliki banyak efek merugikan bagi lingkungan


akuatik salah satunya adalah kontaminasi dari bahan kimia oleh tempat industry.
Campuran bahan kimia ini memiliki pengaruh terhadap berbagai strees yang
berkaitan dengan pathogen, parasite, dan kualitas air yang buruk. Stress
lingkungan dapat mempengaruhi penyakit menular secara langsung dengan
meningkatkan jumlah agen infeksi, meningkatkan pathogen oportunistik, atau
menekan respon imun tubuh. Adapun metode yang telah digunakan dalam studi
individu dan program pemantauan untuk menilai melalui dokumentasi dan
evaluasi kelainan yang terlihat. Penilaian hanya berdasarkan kelainan eksternal
berupa proporsi individu dengan penyakit, kerusakan sirip, tumor dan kelainan
kerangka merupakan metode Indeks Biotik Intergritas (IBI). Sedangkan penilaian
serupa disebut DELT (deformitas, erosi, lesi dan tumor) telah digunakan untuk
mengevaluasi kesehatan ikan. Namun metode tersebut hanya dapat mendeteksi
kelainan eksternal bukan lesi internal. Penilaian berbasis nekropsi mencakup
pengamatan eksternal dan internal. Indeks hepatosomatik (berat hati / total berat
badan) juga digunakan sebagai indicator kesehatan. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa hati yang mengalami hipertrofi terjadi karena paparan
kontaminan yang dimetabolisme di hati. Indeks gonadosomatik (berat gonad /
berat badan total) merupakan indeks kondisi lain untuk organ reproduksi.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisa adalah mengumpulkan
data biometric (panjang, berat, berat hati, berat gonad). Darah untuk analisis
plasma / serum, mendokumentasikan kelainan yang terlihat baik secara eksternal
ataupun internal, mengawetkan potongan organ untuk analisa mikroskopis,
mengumpulkan analisis usia dan histopatologi organ untuk melihat mikroskopis
perubahan jaringan berdasarkan jenis kelamin, usisa, tempat dan pengambilan
periode sampel. Pada saat mengoleksi ikan gunakan jarring kemudian letakkan
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

ikan hidup di tempat yang berisi air sumur. Kemudian dilakukan nekropsi ikan
dimana perlu diperhatikan adalah kenakan sarung tangan ketika akan menekropsi.
Selanjunya melakukan euthanasia sampai gerakan operculum berhenti dan ikan
mengalami ketidak seimbangan, timbang ikan, ukur panjang ikan, ukur total dari
panjang moncong mulut sampai ekor, hitung factor kondisi reproduksi. Dapatkan
sampel darah di vena coccygea dengan jarum 22 atau 23 G pada spuit berukuran 1
atau 5 mL, masukkan jarum di anterior ke area ekor bawah gurat sisi ( Gambar 1A
dan 1B). Masukkan darah yang telah diambil di tabung penampung, dilakukan
apusan darah, sisa darah di sentrifugasi 15 menit untuk mengendapkan sel,

Gambar 1A dan 1B

Gambar 2

Lakukan nekropsi penilaian kesehatan terhadap ikan yaitu dengan


menjelaskan lesi dan kelainan. Dokumentasi kelainan eksternal termasuk lesi pada
permukaan tubuh dan sirip (Gambar 2) mata dan insang (Gambar 3) dan lain-lain.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Gambar 3

Buka rongga perut (Gambar 4A) menggunakan gunting dengan cara


memotong dari daerah anus ke operculum lalu melepas kulit untuk mengekspos
organ dalam. Langkah selanjutnya adalah mengambil hati dengan memutuskan
arteri hepatica dan jaringan ikat ujung anterior. Potong hati-hati dengan
percabangan diusus dan lemak adipose serta jangan menusuk kantong empedu.
Hitung indeks hepatosomatik dan indeks gonadosomatik.

Gambar 4

Jaringan yang akan digunakan untuk patologi mikroskopis difiksasi dalam


10 % neutral buffered formalin dan Z-fix. Potong jaringan berukran <2 cm dan
tebal < 5 mm untuk fiksasi yan tepat. Tempatkan potongan yang memiliki
kelainan eksternal kedalam wadah fiksasi. Potong minimal 5 potong hati setebal
3-4 mm dari berbagai daerah kemudian dimasukkan ke wadah fiksasi. Tempatkan
satu gonad utuh dan seluruh organ dalam wadah fiksasi untuk selanjutnya di buat
histopalogi.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Rabu Tanggal 16 September 2020


Bartonella spp. Sebagai Kemungkinan Penyebab atau Kofaktor dari Feline
Endomyocarditis Left Ventricular Endocardial Fibrosis Complex

Feline endomyocarditis dan left ventricular endocardial fibrosis termasuk


dalam kompleks lesi ventrikel kiri yang sangat penting. Komplek penyakit ini
sering terdeteksi melalui resistant pengobatan gagal jantung, tromboemboli, atau
kematian kardiovaskuler. Gambaran makros dan mikros ditandai dengan adanya
endomiokartditis, fibroplasia dan fibrosis endokard. Pada kucing yang terkena
endocardium ventrikel kiri mengalami penebalan, permukaan abu-abu menjadi
putih, dan beberapa kasus terjadi pendarahan endokard. Adanya jaringan parut
pada ventrikel kiri menonjol yang menghubungkan dinding dengan septum
interventrikular, sering terjadi obstruksi rongga tengah, atau obliterasi apical
parsial dari ventrikel kiri oleh jaringan parut. Peradangan endomyocardium sering
melibatkan septum basal interventrikular, tetapi juga dapat terjadi dilokasi lain.
Endomyocarditis terdiri dari infiltrate dari infiltrasi berupa neutrophil, limfosit, sel
plasma dan makrogfag dengan atau tanpa jaringan granulasi. Fibrosis miokard
umumnya melibatkan endocardium ventrikel kiri dan fibrosis endokard bersamaan
tidak menonjol. Bartonella spp. Adalah bakteri gram negative bersifat intraseluler
yang dapat menginfeksi manusia dan hewan. Infeksi bakteri tersebut dapat terjadi
tanpa manifestasi klinis yang jelas terlihat. Pada kucing yang memiliki
miokarditis telah dibuktikan setelah percobaan Bartonella spp. yang berasal dari
kutu atau inokulasi jarum. Endokarditis dikaitkan dengan Bartonella spp. sebagai
bakteri lain yang menginfeksi aorta dan katup mitral. Gambaran makroskopis
pada 4 ruang rongga jantung pada pasien endomyocarditis left ventricular
endocardial fibrosis complex terlihat parah, hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan
ringan dari ventrikel kanan. Ada penebalan endokard yang berhubungan dengan
fibrosis ventrikel kiri dari tengah ke apical. Daerah miokardium terlihat adanya
bintik-bintik dan perubahan warna putih. Atrium kiri membesar dengan difusi dari
fibrosis endokard. Katup atrioventrikular kiri agak menebal (Gambar 4).
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Gambar 4 Gambaran Makroskopis

Pada gambaran mikroskopis bagian kiri ventrikel mengalami hipertrofi


dan endocardium secara luas terdapat banyak eosinofilik pucat, bahan homogen
(fibrosis) sesuai dengan gambaran makroskopis (Gambar 5).

Gambar 5 Gambaran Mikroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Kamis Tanggal 17 September 2020


Pengamatan Lesi Postmortem Pasca Menetasnya Tukik Loggerhead Sea Turtles
(Caretta Caretta) Program Dari Head Start

Program Head start merupakan suatu program ex-situ yang terdiri dari
pemeliharaan penangkaran tukik untuk menghindari tingkat kematian yang tinggi.
Keberhasilan dari program ini tidak selalu terjamin karena factor seperti penyakit,
laju pertumbuhan rendah, dan anomali perilaku dapat membahayakan pasca tukik
sebelum dilepaskan liar. Telah dilaporkan kasus kematian 91% untuk Loggerhead
yang berbanding dengan rata rata tingkat mortalitas 5% -32% untuk Kemp’s
Ridley turtles. Infeksi tersebut dapat terjadi akibat bakteri dan jamur. Dalam jurnal
ini melaporkan gambaran makroskopis dan mikroskopis lesi yang ditemukan pada
78 ekor tukik pasca menetas yang mati selama dipenangkaran Cape Verde di
pulau Canary. Gambaran makros dilaporkan dan sampel jaringan dimasukkan
dalam parafin blok. Potongan sampel (4 mm) diberikan pewarna hemaktosilin
eosin (HE) dan juga dilakukan pewarnaan lain untuk bakteri, jamur dan protozoa.
Kemudian dilakukan analisis data menggunakan SPPS.
Lesi yang diamati adalah lesi dermatitis. Distribusi lesi multifokal dengan
beberapa lesi dengan ukuran 1-5 mm terutama di kaki dan kepala. Lesi kulit
ditandai dengan ulserasi di epidermis dan dermis dengan infiltrasi heterofil dan
bakteri gram negatif dengan diameter 0,5 -1 mm (Gambar 1). Terjadi mikosis
epidermal superfisial (Gambar 2) dan terdapat bakteri gram positif dan jamur
didalam lapisan kornifikasi. Selain itu purulent dan fibronekrosis rhinitis penyakit
yang paling umum ditemui pada lesi pernafasan. Di kebanyakan kasus terdapat
material pengkejuan di dalam saluran hidung (Gambar 3). Secara mikroskopis
dari epitel pernafasan terdapat purulent dan nekrotik di saluran. Plak difteri terdiri
dari bahan fibrinous dan nekrotik, bersama–sama dengan reaksi inflamasi
heterofilik yang parah di lapisan yang mendasari (Gambar 4). Berdasarkan studi
yang dilakukan lesi yang sering terjadi pada Loggerhead adalah lesi pada
dermatitis dan lesi yang terjadi di pernafasan yang disebabkan oleh bakteri.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1

NEKROPSI PADA IKAN NILA

A. RIWAYAT KLINIS
Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) berasal dari kolam SMAN 4 Bojonegoro
diambil pada tanggal 14 Sepetember. Berdasarkan pengukuran berat badan ikan
adala 37 gram. Nila tersebut memiliki morfologi bercak lesi bewarna hitam
dibagian facia dexter, operculum, dorsal, dan caudal ekor. Kondisi air kolam tidak
begitu jernih. Kemudian dilakukan aklimatisasi selama 3 hari di kolam dirumah
dengan pergantian air sekali dalam 3 hari dan ikan mengalami penurunan nafsu
makan. Nekropsi dilakukan pada tanggal 17 September 2020.

Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) (Dokumentasi Pribadi, 2020)


B. DAFTAR PERMASALAHAN
Daftar Permasalahn yang muncul antara lain sebagai berikut :
a) Lesi bewarna hitam pada facia dexter, operculum, dorsal, sirip
punggung dan cauda ekor tubuh ikan.
b) Hepar berwarna merah pucat dan bentuk hati berumbai
C. SISTEM YANG TERPAPAR
Sistem yang terpapar antara lain sebagai berikut :
a) Sistem Integumen
b) Sistem Eksresi
D. TEKNIK BEDAH BANGKAI
Dalam kasus ini teknik bedah bangkai merujuk pada NWFHS Laboratory
Procedure Manual dimana untuk mengidentifikasi eksterior tubuh ikan dengan
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1
menggunakan cara Scrapping kulit dan sampel tersebut dilakukan uji inokulasi
bakteri. Setelah dilakukan identifikasi tersebut ikan didesinfeksi menggunakan
alcohol 70% dan diposisikan rebah lateral. Nekropsi dilakukan membuat sayatan
dari arah dari kloaka ke linea lateralis kemudian dilanjutkan sayatan kearah
cranial sampai daerah operculum, kemudian diambil dan dikuakkan bagian daging
sayatan untuk mengeskpos organ dalam visceral. Selanjutnya diamati topografi
dari organ visceral dan diambil beberapa organ seperti hepar. Koleksi organ yang
mengalami perubahan patologis di pot organ yang berisi formalin 10%.

Teknik Bedah Nekropsi (Dokumentasi Pribadi, 2020)


E. DESKRIPSI MORFOLOGI MAKROSKOPIK
a) Sistem Organ Integumen
Berdasarkan temuan klinis pada kulit mengalami lesi berwarna hitam pada
bagian fascia dexter, dorsal, operculum serta bagian caudal ekor tubuh ikan
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1

Lesi pada bagian facscia dexter, dorsal dan caudal ekor ikan Nila Merah (Dokumentasi
Pribadi, 2020)

b) Sistem Eksresi
Berdasarkan temuan organ yang mengalami perubahan patologi adalah organ
hepar dimana warna organ tersebut tampak merah pucat dan strukturnya
berbentuk rumbai.

Hepar pada Ikan Nila Merah yang dinekropsi (Dokumentasi Pribadi, 2020)

F. DESKRIPSI HISTOPATOLOGIS
Proses pembuatan preparat histologi dimulai dengan proses pengiriman
sampel ke laboratorium. Kemudian dilakukan pemotongan jaringan, fiksasi
jaringan, pembuatan blok paraffin dan pewarnaan. Proses fiksasi merupakan tahap
pertama pada proses pembuatan histopatologi. Fiksasi bertujuan untuk menjaga
sel dan komponen jaringan agar berada dalam keadaan “life-like state”
(Musyarifah dan Agus, 2018). Larutan fiksatif yang dipakai adalah formalin 10%
minimal 24 jam. Setelah itu dilakukam denaturasi pada sampel dengan cara
trimming 1 x 1 kemudian dimasukkan ke dalan tissue cassette, kemudian dicuci
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1
dengan air mengalir 30 menit. Sampel dimasukkan dalam alcohol bertigkat
alcohol 70%, 80%, 90% dan 95%, ethanol absolut I, II, III masing-masing selama
1 jam. Kemudian dilakukan clearing yaitu sampel pasca dimasukkan ethanol
absolut III dimasukkan ke dalam xylol I, II, III masing-masing 20 menit hingga
tampak transparan, kemudian sampel dimasukkan ke paraffin cair untuk dibuat
paraffin blok.

Larutan Dehidrasi dan Clearing untuk Proses Histopatologi (Dokumentasi Pribadi, 2020)

Menurut Riauwaty (2012) struktur hati ikan yang normal adalah


menunjukkan hepatosit terlihat jelas, inti bulat letaknya centralis dan sinusoid
tampak jelas. Vena centralis sebagai pusat lobus tampak berbentuk bulat dan
kosong. Menurut Zulaiha dkk (2016) menjelaskan bahwa gambaran histologi pada
hepar mengalami kerusakan antara lain degenerasi melemak (Dm), haemoraghi
(H), hypertrofi (Ht), dan nekrosis (N). Sesuai dengan gambaran makroskopis
diduga ikan mengalami penyakit akibat bakteri Aeromonas hydrophila yang
sering menyeran ikan air tawar salah satunya ikan nila.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1

Gambaran Mikroskopis Hepar (Zulaiha dkk, 2016)


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LAIN
Pemeriksaan diagnostik lain untuk menunjang deteksi penyakit adalah
menggunakan kultur bakteri pada agar yang dilakukan dengan cara usap organ
yang mengalami perubahan patologis pada agar kemudian diinkubasi selama 24
jam. Selanjutnya dilakukan uji biokimia berupa uji pewarnaan gram, katalase,
oksidase, motilitas dan uji lainnya.
H. DIAGNOSIS MORFOLOGI BANDING
Diagnosa morfologi dari penyakit ini adalah inflamasi kulit dan hepar.
Diagnosa bandingnya adalah karena infeksi dari Aeromonas hydrophila.
I. PATOGENESIS
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram negative yang bersifat
pathogen yang biasanya menyerang ikan air tawar diperairan tropis
(Rahmaningsih, 2012). Penyakit dapat menimbulkan tingkat kematian yang tinggi
yaitu sekitar 80-100% dalam kurun waktu 1-2 minggu (Lukistiowati dan
Kurniasih, 2012). Gejala yang timbul oleh penyakit ini seperti kehilangan nafsu
makan, luka pada permukaaan tubuh, pendarahan pada insang, perut membesar
berisi cairan, pembengkakan dan kerusakan pada jaringan hati, ginjal dan limfa
(Austin, 1993). Menurut Dini (2010) adapun faktor yang memunculkan infeksi
adalah karena kontaminasi dari peralatan, perubahan suhu dan lingkungan yang
kurang memadai.
Berdasarkan hasil histopatologi hepar yag terinfeksi bakteri Aeromonas
hydrophila akan mengalami hypertrofi sel, degenerasi melemak karena
penumpukan lemak sehingga menimbulkan kerusakan inti sel dan mengecilnya
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1
jaringan sel hati. Selanjutnya terjadi nekrosis yaitu hilangnya struktur jaringan dan
tidak dapat kembali seperti semula, sel akan mati. Hemoraghi terjadi akibat
indikasi dari keluarnya darah dari pembuluh darah sehingga tampak adanya
hemoraghi pada lapisan mukosa pada organ tubuh.
J. SKEMA PATOGENESIS

Ikan Terinfeksi Terdapat Lesi Bakteri terbawa oleh


Bakteri Aeromonas Merah hingga darah menyerang
hydrophila Hitam di badan Hepar

Hepar mengalami degenerasi Hepar berwarna


melemak, hypertrofi sel, Merah Pucat dan
haemoraghi dan nekrosis bentuknya berumbai

K. REFERENSI
Zulaiha, Z., Riauwaty, M., & Syawal, H. 2016. Histopathology of Liver and
Gut of Pangasius Hypopthalmus That Were Feed with Curcumin Extract
(Curcuma Domestica) and Were Infected with Aeromonas Hydrophila.
Doctoral dissertation, Riau University.
Juanda, S. J., & Edo, S. I. 2018. Histopatologi Insang, Hati Dan Usus Ikan
Lele (Clarias gariepinus) Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (Gill,
Liver and Gut’s Histopathology of Catfish (Clarias gariepinus) in Kota
Kupang, East West Nusa). Saintek Perikanan: Indonesian Journal of
Fisheries Science and Technology, 14(1), 23-29.
Wulandari, T., Indrawati, A., & Pasaribu, F. H. 2019. Isolasi dan Identifikasi
Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele (Clarias gariepinus) Pertambakan
Muara Jambi, Provinsi Jambi. Jurnal Medik Veteriner, 2(2), 89-95.
Musyarifah, Z., & Agus, S. 2018. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan
Histopatologik. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 443-453.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Senin Tanggal 21 September 2020


Patologi Dari Ternak Sapi Yang Di Intoksifikasi Dengan Tanah Yang
Mengandung Bibit Ricinus communis

Ricinus communis merupakan tumbuhan yang beracun yaitu risinin dan


risin. Risinin adalah alkaloid yang mempengaruhi sistem syaraf, menyebabkan
kejang, mengambat reseptor postsypnatic di otak, melepaskan glutamate.
Sedangkan risin disebut toksoalbumin dimana mempengaruhi sebagian besar
saluran pencernaan karena pengaruh lektin. Keracunan terhadap tanaman ini
tergolong rendah, namun telah dilaporkan beberapa telah dialami hewan termasuk
anjing, unggas, unggas liar, babi, kuda, domba, kambing dan sapi. Tanda klinis
hewan yang keracunan tanaman Ricinus communis adalah lesu, hipersalivasi,
diare, dehidrasi, midriasis, menggertakkan gigi, hipotermia, kolik, stasis ruminal
dan selalu berbaring. Temuan makroskopis terjadi gastroenteritis, hemoraghi
multi sistemik dan nekrosis dan edema paru-paru. Pada bagian ruminal mucosa
terdapat edema (Gambar 1). Terdapat hemoraghi pada lumen colon (Gambar 2).
Adapun temuan mikroskopis yang dapat diamati adalah terjadinya nekrosis pada
rumen (Gambar 3). Berdasarkan penelitian gambaran makroskopis dan
mikroskopis akibat keracunan hanya terjadi di bagian small intestine, kolon dan
submukosa pada kolon dan terjadi infiltrasi inflamasi ringan dari limfosit,
makrofag dan sedikit neutrophil dan terjadi edema di abomasum dan small
intestine dari sapi.

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Selasa Tanggal 22 September 2020


Patologi Dan Patogenesis Dari Infeksi Penyakit Africa Swine Fever pada Babi

Africa Swine Fever (ASF) merupakan penyakit menular pada babi. ASF
merupakan virus DNA yang besar, kompleks dan terselubung. Berasal dari family
Asfarviridae. ASF terdiri dari 50 protein structural yang dapat mengasilkan 150
protein dalam sel yang terinfeksi, banyak diantaranya bersifat imunogenik. Sel
target utama dari ASFV ini adalah monosit atau magrofag pada babi domestic dan
liar. ASFV dapat bereplikasi ke beberapa tipe sel seperti sel hepatosit, sel epitel
tubulus ginjal, neutrophil dan sel endotel. Replikasi dari ASFV dan respon imun
tubuh membuat host menunjukkan gejala klinis dan patologi yang berbeda pada
spesies babi. ASF merupakan penyakit pada babi yang terpenting saat ini karena
sulitnya pencegahan dan pengendalian karena belum ada vaksinnya. ASF
dikategorikan menjadi jenis perakut, akut, dan subakut dan kronis. Yang akan
dibahas adalah gambaran makroskopis dan mikrokopis pada ASF yang bersifat
akut. Bentuk klinis ini disebabkan oleh virulensi yang tinggi. Adapun tanda klinis
yang terjadi adalah demam tinggi dengan suhu 40-42oC, lesu, anoreksia, dan tidak
aktif. Hewan yang terkena terdapat sianosis sentripetal dan dapat ditemukan
ditelinga, moncong, tungkai, perut, ekor, dan area perineal. Lesi kulit yang terjadi
adalah pendarahan petechie dan ecchymosis (Gambar A,B,C,D,E,F). Tanda
klinis lain bias ditandai dengan epistaksis, muntah dan diare.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada pemeriksaan makroskopis babi yang terkena ASFV terdapat


splenomegaly hemoraghik dengan limpa yang sangat besar berwarna gelap dan
rapuh menempati rongga sebagian besar di dalam rongga perut (Gambar A,B),
Lesi selanjutnya adalah linfadenitis hemoraghik multifocal. Getah bening terdapat
pendarahan multifocal (Gambar D). Kelenjar getah bening yang terkena adalah
gastrohepatik (Gambar E) ginjal (Gambar F), dan kelenjar getah bening
ileocaecal (Gambar G) dan mesenterika (Gambar H). Pendarahan juga bias
terjadi di organ lain seperti usus besar, usus halus, epikardium jantung, atau
kandung kemih.

Pada pemeriksaan mikroskopis ASFV bereplikasi di dalam sitoplasma


bukan di inti sel. Makrofag-monosit yang terinfeksi tampak bengkak dengan
margin kromatin inti dan menunjukkan badan inklusi juxtanuclear intrasitoplasma
yang dapat dikenali dengan warnanya yang pucat saat diberikan pewarna biru
toluidine (Gambar A).
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Rabu Tanggal 23 September 2020


Patologi Infeksi Pox Virus (Cacar) Secara Spontan Domba Dan Kambing Di
Wilayah Jammu India

Cacar pada domba dan kambing disebabkan oleh Sheeppoxvirus (SPPV).


Adapun gejala klinis dari virus ini adalah pada fase akut hewan demam dalam
beberapa hari pertama kira-kira 5-6 hari dan berkembangnya dengan lesi kulit dan
untuk fase yang tidak terlalu parah penyembuhannya dapat dilakukan 5-6 minggu.
Pada domba yang mengalami penyakit ini akan menunjukkan peningkatan suhu
tubuh ( 104- 105,6oF) dengan adanya discharge pada ocular dan konjuntivitis
(Gambar 1A). Hidung mengeluarkan eksudat yang berlebihan terkait rhinitis yang
berbentuk crust diatas lubang nasal (Gambar 1B). Terlihat tanda-tanda sesak nafas
karena dyspnea. Domba lesu, anoreksia dan menjadi kurus berkepanjangan.
Sering terjadi di system pernafasan. Pada kambing adapun gejala klinis yang
timbul adalah meningkatnya suhu tubuh (104- 105,8oF), anoreksia, depresi dan
ruminasi yang tertunda, konjungtivitis purulent dan bleparitis (Gambar 1C).
eksudat mukopurulen terbentuk kerak diatas lubang hidung dan mulut (Gambar
D).

Gambar 1
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Adapun cutaneous lesi dari capripox di domba (Gambar 2) terjadi macula


eritrematosa (A), Papula (B), Nodul (C), Encrust Scab (D), Lesi Pock dipangkal
ekor, perineum, vulva dan dubur (E). Lesi keropeng pada kelenjar susu dan
putting (F), lesi keropeng didaerah abdomen dan daerah inguinal (G).

Gambar 2

Pada kambing terlihat cutaneus lesi dari capripox (Gambar 3) terjadi


papula (A), peninggian dan nodul melingkar (B), Encrusted scab (C), Lesi bopeng
melingkar, memborok dan mengkerut (D), lesi bercak dipangkal ekor, perineum,
vulva dan anus. Lesi keropeng pada kelenjar susu dan putting (F), lesi keropeng
didaerah abdomen dan daerah inguinal (G).

Gambar 3
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada temuan makros ketika post mortem dibagian paru-paru domba


(Gambar 4). Spesimen yang disimpan dalam formalin menunjukkan macula
keputih abu-abuan nodul atau plak diseluruh permukaan paru-paru (A), Pleuritis
fibrosa parah pada permukaan paru-paru dengan area konsolidasi multifocal dan
lesi maculo-papular (B).

Gambar 4

Pada kambing gambaran makros dari pernafasan (Gambar 5). Bagian


hidung dengan lesi ulseratif dan nekrotik mukosa berisi inti keju (A), Papula
multifocal putih keabu-abuan dan nodul dipermukaan paru-paru (B). Subnodul
dipleura berisi inti keju (C), Fibrosis subpleuradisekitar nodul paru-paru (D).

Gambar 5
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada gambaran mikroskopik paru-paru dari domba dan kambing yang


terkena capripox (Gambar 6). Komposit photomicrographs lesi nodular di seekor
kambing yang menggambarkan pleuritis dengan ciri pleura menebal, edema dan
infiltrasi sel mononuclear. Alveoli pada lobules terpengaruhi degenerasi dengan
adanya bahan amorf (tanda panah) dan dikelilingi septa interlobular yang
menyebar (Menggunakan pewarnaan DIA, 100X) (Gambar A). Komposit
photomicrographs dari lobules yang terkena menunjukkan massif dan fibrosis
ekstensif menggantikan fungsi normal jaringan (Menggunakan pewarnaan HE,
100X) (Gambar B).

Gambar 6
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Absen Hari Kamis Tanggal 24 September 2020


Hands On Teknik Nekropsi Mencit

Riwayat Hewan
Mencit berasal dari pasar hewan Splendid malang. Mencit didapatkan pada
tanggal 13 September 2020. Mencit di aklimatisasi selama ± seminggu dalam kandang.
Mencit di nekropsi pada tanggal 23 September 2020. Berat mencit 59 gram dan berwarna
putih dengan mata merah.

Teknik Nekropsi
1. Mencit dieutanasia menggunakan metode dislokasi leher
2. Mencit direbahkan dorsal (Gambar 1)
3. Incisi bagian linea mediana abdominalis dari caudal ke cranial hingga ventral
mandibular (Gambar 2)
4. Incisi linea alba dari caudal ke cranial hingga processus xypoideus (Gambar 3)
5. Incisis kearah lateral dexter dan sinister ekspos organ visceral abdominalis
(Gambar 4)

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

6. Potong Costochondral antara costae dan vertebrae thorachalis


7. Angkat costae kearah cranial ekspod organ thorax
8. Preparir organ dari thorachalis ke abdominalis ditarik kearah caudal (Gambar 5)
9. Taruh organ vicera di nampan dan diamati perubahan patologisnya (Gambar 6)
Organ bagian abdomen dan organ bagian thorax
10. Koleksi organ diletakkan dalam Formaldehid 4% (Gambar 7)

Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Absen Hari Jum’at Tanggal 25 September 2020


Hands On Teknik Fiksasi Organ dan Perlakuan Sampel Pada Mencit

Riwayat Sampel
Sampel yang digunakan adalah bagian paru-paru dari mencit yang
dinekropsi pada tanggal 23 September 2020.

Teknik Fiksasi Organ


Organ yang telah dikoleksi di fiksasi dalam larutan Formaldehid 4%
minimal selama 24 jam untuk selanjutnya dilakukan histoteknik.

Teknik Perlakuan Sampel


Pada teknik perlakuan sampel yang dilakukan adalah proses dehidrasi dan
clearing dimana merupakan sebagian prosedur histoteknik. Adapun prosesnya
sebagai berikut :
1. Sampel organ yang telah berada di formaldehid 4% diambil
2. Trimming 1x1 dimasukkan ke dalam tissue cassette
3. Sampel tissue cassete dicuci menggunakan air mengalir selama 30 menit
4. Sampel dimasukkan ke dalam ethanol 70%, 80%, 90% dan 100% selama
kurang lebih 1 jam (semakin lama semakin bagus). (Gambar 1)
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

5. Sampel dari ethanol 100% dimasukkan ke dalam xylol I, II, III selama
masing-masing 20 menit (Gambar 2)
6. Sampel dimasukkan ke paraffin cair I, II, III Pada incubator dengan suhu
58-60oC.

Gambar 1 (Proses Dehidrasi)

Gambar 2 (Proses Clearing)


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Senin Tanggal 28 September 2020


Aspek Epidemiologi dan Patologis Kardiomiopati Pada Kucing di Brazil Selatan

Kardiomiopati merupakan penyakit jantung pada kucing yang progresif


yang terpenting dikarenakan penyebab banyak kematian pada kucing.
Kardiomiopati merupakan perubahan miokardium struktur dan fungsionalnya dari
otot jantung. Kardiomiopati dibedakan menjadi 3 yaitu hipertrofik, dilatasi, dan
rektritif. Hipertrofi miokard tidak diketahui tapi etiologinya, karakter autosom
genetic dicurigai merupakan penyebabnya. Pada jenis dilatasi ditandai dengan
dilatasi empat ruangan jantung. Pada jenis restriktif adanya pembatasan pengisian
ventrikel dan distensi akibat ke sejumlah besar jaringan ikat fibrosa. Seekor
kucing di brazil yang telah di nekropsi dilaporkan memiliki riwayat medis gagal
ginjal kronis, gangguan endokrin, hipertensi, miokarditis dan neoplasma. Pada
temuan gambaran makroskopis hepar kucing dengan hipertrofi miokard sangat
membesar, karena penebalan miokardium terutama ventrikel kiri dan septum
intraventrikular dengan pengurangan ruangan di ventrikel kiri (Gambar 1A).
Adnya multifukal didaerah keputihan yang menyatu dimiokardium terutama di
ventrikel kiri. Lesi ditandai dengan berbagai derajat hipertrofi myofiber,
proliferasi dari myocardial interstitial multifocal dengan jaringan ikat fibrosa
(Gambar 1B dan 1C). Temuan dilakukan dengan teknik imunhistokia bagian
miokardium ventral kiri dengan hipertrofi, kelainan dan fibrosis multifocal
interstitial bercak biru (Gambar 1D).

Gambar 1
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Selasa Tanggal 29 September 2020


Aspek Epidemiologis Dan Patologis Dari Osteosarcoma Ekstra-Skeletal Pada
Anjing

Osteosarkoma ekstra skeletal adalah neoplasma pada jaringan lunak yang


ditandai dengan proliferasi sel mesenkim yang ganas sehingga terbentuk tulang
matriks tanpa keterlibatan periostenum atau jaringan tulang. Tumor ini biasanya
terjadi dimanusia, anjing dan kucing. Tempat dimana bagian tersebut diserang
biasanya adalah bagian kelenjar susu, limpa, hati, kulit, jaringan subkutan, organ
intestinal dan saluran kemih. Osteosarcoma ekstra skeletal bersifat ganas dan
bermetastasis. Metastasis biasanya diamati di kelenjar getah bening dan hati.
Laporan nekropsi osteosarcoma ekstra skeletal belum dapat dikonfirmasi
menggunakan pemeriksaaan radiografi dan gambaran makros namun dapat
dikonfirmasi pada pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hemaktosilin
eosin dengan proses pemotongan tebal jaringan 3µm yang difiksasi didalam
formalin. Pada gambaran makroskopis osteosarcoma ekstra skeletal berbentuk
nodul besar atau massa dengan diameter ukuran 2,5 hingga 35 cm dipermukaan
yang di potong berwarna putih, konsistensinya keras, dan terjadi pendarahan
multifokal (Gambar 1A-D).

Gambar 1. Gambaran Makroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada gambaran mikroskopis terjadi proliferasi pada sel mesenkim yang


ganas, menunjukkan diferensiasi osteoblast, serta sejumlah matriks kondroid dan
tulang yang bervariasi trabekula (Gambar 2A-D). Sel neoplastik berbentuk
spindle dengan batas sel yang tidak jelas, sedikit sitoplasma, inti memanjang dan
nucleus menonjol. Pada beberapa kasus giant cell berinti banyak secara multifocal
(Gambar 2A). Sel neoplastic dibatasi oleh jaringan ikat fibrosadalam sebuah
kasus pada osteosarcoma dalam limpa (Gambar 2B). Emboli neoplastic yang
diamati didalam pembuluh darah dalam osteosarcoma kelenjar susu (Gambar
2C). Metastasis kelenjar getah bening (Gambar 2D).

Gambar 2. Gambaran Mikroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Rabu Tanggal 30 September 2020


Penilaian Histopatologi Amiloidosis Hepar Pada Bebek

Amiloidosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan pengendapan


protein bahan di interstimnum diberbagai organ jaringan tubuh. Patogenesis
amyloidosis pada burung belum dijelaskan masih ada presdiposisi tertentuseperti
peradangan kronis dan infeksi penyebab peningkatan yang nyata dalam serum
amiloid A, prekusor amyloid A yang diproduksi oleh hepatosit yang
menyebabkan amyloidosis berkembang secara spontan di bebek. Pemeriksaan
post mortem dilakukan pada hepar bebek yang mengalami amyloidosis. Sampel
jaringan difiksasi dalam formalin 10% dengan jangka waktu 48 jam dan dilakukan
pewarnaan hemaktosilin eosin. Pada gambaran makroskopis hepar berwarna
merah pucat mengalami hepatomegali berat (Gambar 5). Pada gambaran
mikroskopis amyloido hati yang parah ditandai eosionofilik pada parenkim hati
(Gambar 6). Amiloidosis parah noda amyloid berwarna merah dalam darah
(Gambar 7). Kapsul menebal dan parenkim menguning dipotong pada bagian
hati (Gambar 8).

Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hepar Bebek


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Kamis Tanggal 01 Oktober 2020


Klinik-Aspek Patologi Karsinoma Hepatoselular pada Sapi

Karsinoma hepatoselular merupakan suatu penyakit yang paling banyak


pada ruminansia berupa neoplasma hati. Karsinoma hepatoselular mempunyai tiga
bentuk yaitu masif, nodular dan menyebar dengan laporan hewan spesies yang
berbeda. Meski belum sepenuhnya dijelaskan karsinoma hepatoselular telah
dikaitkan dengan karsinogen seperti aflatoksin dan nitrosamine. Adapun gejala
non spesifik yang terjadi adalah berat badan berkurang secara progresif,
anoreksia, selanjutkan akan mengalami hepatomegali dan ascites. Selanjtnya
dilakukan proses nekropsi dimana akan mendapatkan gambaran makroskopis dan
gambaran mikroskopis yang selanjutnya digunakan sebagai peneguhan diagnosa.
Pada gambaran makroskopis bagian hepar seluruhnya bergranuloma, organ tidak
mengkilau, tepi organ menonjol dan erosi, dan terdapat pengendapan fibrin
dipermukaan yang menunjukkan disfungsinya hati. Selain itu pada bagian kelenjar
getah bening dan paru-paru terdapat nodul dan area kecil adhesi antara hepar dan
rongga perut (Gambar 1A). Terdapat massa fokal ekstensif dengan diameter 30
cm dihepar dan banyak nodul (Gambar 1B). Permukaan nodul tidak beraturan,
berwarna kekuningan putih dan crackling pada potongan (Gambar 1C dan 1D).
Sampel dimasukkan fiksasi formaldehid 10% kemudian dilakukan pewarnaan
menggunakan hemaktosilin eosin.

Gambar 1. Gambaran Makroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada pemeriksaan mikroskopis nodul menunjuukan massa tumor yang


terdiri dari hepatosit sel dengan inti bulat, kromatin terfragmentasi jelas dengan
nucleus, sitoplasma diskrit sampai sedang, dan eosinofilik tampak pucat (Gambar
2A). Sel-selnya berkisar dalam bentuk untaian dalam kelompok yang dibatasi oleh
pita jaringan ikat dengan mitosis yang sering sebagai konsekuensi dari kompresi
berbagai nodul pada area nekrosis dan pendarahan di parenkim hati (Gambar
2B).

Gambar 2. Gambaran Mikroskopis


Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Resume Absen Hari Jum’at Tanggal 02 Oktober 2020


Perbedaan Patoboilogi Organ Pada Ayam Akibat Kematian Dari Septicemia

Perkembangan industry perunggasan masih terhalang beberapa faktor


yaitu diantaranya adalah penyakit-penyakit yang disebebakan oleh agen infeksius
yang merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian pada unggas. Hal
tersebut dipengaruhi oleh padatan unggas dalam kandang, kurang memadainya
biosekuri sehingga unggas rentan terkena penyakit infeksius. Bakteri septicemia
pada unggas merupakan bakteri yang menyebabkan kematian dan kerugian yang
besar pada industri perunggasan. Adapun bakteri penyebab septicemia adalah
bakteri Escherichia coli, Pasteurella multocida, Salmonella spp., Staphylococcos
aureus, Avibacterium paragallinarum, Ornithobacterium rhinotracheale,
Gallibacterium anatis dan lain-lain. Bakteri menyebar melalui darah dari
pernafasan, gastrointestinal, urogenital ke berbagai internal organ yang
menyebabkn septicemia yang ditandai dengan lesi diberbagai organ. Pada
pemeriksaan makroskopis terdapat tracheatis, kantung udara menebal dengan
pengendapan eksudat fibrosa, kongesti, edema, hemoraghi dengan deposisi fibrin
dengan pleura dipermukaan paru-paru yang mengalami pneumonia, pericarditis
dengan fibrinous eksudat, kongesti epikardial dan hemoraghi pada hepar.
Pembesaran hepar dengan kongesti, hemoraghi dan perihepatitis dengan deposit
fibrinous yang ketebalannya bervariasi. Limpa membengkak karena kongesti,
hemoraghi dan eksudat fibrinous dipermukaan, ginjal mengalami kongesti dan
hemoraghi. Peritonitis dan bursa mengalami atrofi dari fabrecius (Gambar 1-3).

Gambar Makroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada gambaran mikroskopis yang diamati adalah paru-paru, hepar, jantung


dan limpa. Pada paru-paru terlihat kongesti pada kapiler udara dan arteriol,
hemoraghi di interlobular septa dan parabronchi. Beberapa parabronchi juga telah
diisi oleh protein eosinofilik bahan seperti fibrin (edema). Pewarnaan HE
perbesaran 40x.

Paru-paru
Pada hepar menunjukkan adanya seroritis fibrino heterofilik atau
capsulitis. Dengan karakteristik kapsul menebal pada permukaan hati dilapisi oleh
lapisan eksudat fibrin disertai infiltrasi sel heterofil. Pewarnaan HE perbesaran
400x.

Hepar
Pada jantung mengalami pericarditis dan epikarditis dengan akumulasi
eksudat fibroseluler. Pembuluh darah di epicardium menunjukkan kongesti.
Pewarnaan HE perbesaran 100x.

Jantung
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

Pada limpa menunjukkan nerosis fibrosis dan hemoraghi di parenkim.


Pewarnaan HE perbesaran 100x.

Limpa

Pada ginjal menunjukkan penebalan dan ekspansi kapsul ginjal karena


infiltrasi fibrinoheterofilik dari serosa. Pembuluh darah dikapsula terhambat.
Nekrosis tubuler di subkapsula luas dan infiltrasi penggunaan diff daerah kortikal
ginjal subkapsular oleh sel limfositik juga kongesti dan hemoraghi di parenkim
terlihat. Pewarnaan HE perbesaran 40x.

Ginjal
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

HANDS ON AYAM BROILER


Riwayat Hewan
Ayam yang digunakan adalah ayam broiler yang berumur sekitar ± 2
mingguan yang berasal dari peternak ayam disekitar rumah pada tanggal 23
September 2020. Ayam dinekropsi pada tanggal 24 September 2020. Berat ayam
360 gram dan ayam berwarna putih.

Teknik Nekropsi
Adapun teknik nekropsi yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Ayam dieutanasia dengan cara emboli udara diotak
2. Ayam direbahkan rebah dorsal (Gambar 1)
3. Incisi bagian linea mediana abdominalis dari caudal ke cranial hingga
ventral mandibular (Gambar 2)
4. Incisi linea alba dari caudal ke cranial hingga processus xypoideus
(Gambar 3)
5. Ambil airsac dan dikoleksi
6. Incisis kearah lateral dexter dan sinister ekspos organ visceral abdominalis
7. Dipotong bagian costocondral antara costae dan vertebrae thorachalis dan os
clavicula (Gambar 4)
8. Angkat costae dan musculus pectoralis kearah cranial ekspos organ thorax
9. Diamati topografi organ vicera baik di thorax atau abdomen (Gambar 5)
10. Preparir organ dari thorachalis ke abdominalis ditarik kearah caudal
11. Taruh organ vicera di nampan dan diamati perubahan patologisnya
(Gambar 6)
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

12. Koleksi sampel organ dalam pot organ yang berisikan formaldehyde 4%

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3

Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6


Teknik Fiksasi
Organ yang dikoleksi diletakkan pada pot koleksi dengan difiksasi
formaldehyde 4% minimal 24 jam untuk diproses selanjutnya pembuatan preparat
dengan pewarnaan hemaktosilin-eosin.

Menurut Musyarifah (2018) fiksasi merupakan suatu tahapan awal dalam


pengolahan jaringan yang merupakan proses yang krusial agar dapat membuat
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

slaid sediaan histopatologi yang layak untuk dibaca dan agen fiksatif yang paling
sering digunakan adalah formalin 10%. Fiksasi memiliki tujuan yaitu dapat
menstabilkan sel dan jaringan agar dapat melindungi dari kekakuan pada saat
proses pengolahan dan teknik pewarnaan selanjutnya.
Teknik Perlakuan Sampel
Adapun teknik perlakuan sampel yang dilakukan pada nekropsi ayam
adalah sebagai berikut :
1. Sampel organ yang telah berada di formaldehid 4% diambil
2. Trimming 1x1 dimasukkan ke dalam tissue cassette
3. Sampel tissue cassete dicuci menggunakan air mengalir selama 30 menit
4. Sampel dimasukkan ke dalam alcohol 70%, 80%, 90% dan 95% selama
kurang lebih 1 jam (semakin lama semakin bagus). (Gambar 1)
5. Sampel dari ethanol 95% dimasukkan ke dalam xylol I, II, III selama
masing-masing 20 menit (Gambar 2)
6. Sampel dimasukkan ke paraffin cair I, II, III Pada incubator dengan suhu
58-60oC.

Gambar 1 Proses Dehidrasi

Gambar 2 Proses Clearing

Menurut Safratilofa (2017) Pembuatan preparat histologi dilakukan


tahapan sebagai berikut :
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6

1. Sampel yang akan diuji, sampel direndam dalam larutan BN 10 % selama


24 jam.
2. Dehidrasi dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan 100% (tahap I) dan
100 (tahap II) masing-masing selama 2 jam.
3. Clearing dengan alkohol dan xilol (xilol I, xilol II dan xilol III) masing-
masing 30 menit.
4. infiltrasi dalam larutan paraffin cair (58° C) dan didiamkan hingga
mengeras. Agar lebih keras lagi jaringan yang berada dalam paraffin
dimasukkan kedalam refrigerator.
5. Embedding (blocking), dilakukan pemotongan jaringan (5 μm), hasil
potongan direndam dalam air hangat dengan suhu ±53° C dan ditata diatas
gelas objek.
6. Deparafinisasi dengan alkohol 100%, 95%, 90%, 80%, 70% dan 50%,
masing-masing 2 menit dan dicuci dengan air kran selama 2 menit
7. Pewarnaan dengan hematoksilin selama 10 menit dan dicuci dengan air
kra selama1 menit, selanjutnya pewarnaan dengan Eosin selama 3 menit
dan dicuc dengan air kran seama 1 menit.
8. Rehidrasi dengan alkohol 50% I, 50% II, 70%, 85%, 90%, dan 100%
masing-masing 2 menit selanjutnya dengan Xylol I dan xylol II masing-
masing 2 menit.
9. Sediaan ditetesi dengan perekat Permount TM kemudian ditutup dengan
cover glass.
10. Setelah perekat mengering jaringan preparat diamati dibawah mikroskop
untuk melihat kerusakan-kerusakan yang terjadi pada masing-masing
organ.
Referensi
Musyarifah, Z., & Agus, S. 2018. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan
Histopatologik. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 443-453.
Safratilofa, S. 2017. Histopatologi Hati Dan Ginjal Ikan Patin (Pangasionodon
hypopthalmus) Yang Diinjeksi Bakteri Aeromonas hydrophila.
Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 2(2), 83-88.

Anda mungkin juga menyukai