LABORATORIUM PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh:
Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM. 190130100111057
PPDH Gelombang VI 2019/2020 Kelompok 1
Oleh
Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM. 190130100111057
Kelompok 1 / Gelombang VI
i
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh
Menyetujui,
Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter Hewan
Universitas Brawijaya
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan rotasi patologi anatomi yang
berjudul “Feline Idiopathic Pulmonary Fibrosis”. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih terutama kepada :
1. Drh. Dyah Ayu Oktaviane AP., M. Biotech selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang selalu memberikan dukungan
untuk kemajuan FKH UB.
2. Drh. Nofan Rickyawan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Hewan Universitas Brawijaya yang telah memberikan kemudahan dalam
kelancaran kegiatan koasisten ini.
3. Drh. Andreas Bandang H., MVSc sebagai dosen pembimbing sekaligus dosen
penguji yang bersedia meluangkan waktu dan dengan kesabarannya telah
memberi bimbingan dan motivasi dalam penulisan laporan ini.
4. Drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P. M. Biotech, Drh. Fajar Shodiq Permata, M.
Biotech dan Drh. Albiruni Haryo, M. Sc yang telah memberi bimbingan
selama kegiatan rotasi berlangsung.
5. Teman-teman kelompok 1 gelombang 6 yang selalu memberi semangat dan
membantu menyelesaikan penulisan laporan ini
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan serta ketulusan yang telah diberikan. Semoga laporan ini bermanfaat
bagi kita semua.
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
FELINE IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS ................................... 1
1. Gambaran Umum ..................................................................... 1
2. Gejala Klinis............................................................................. 1
3. Riwayat klinis .......................................................................... 1
4. Daftar permasalahan................................................................. 2
5. Sistem organ terpapar............................................................... 2
6. Teknik bedah bangkai .............................................................. 2
7. Deskripsi morfologi makroskopis ............................................ 3
8. Deskripsi histopatologis ........................................................... 3
9. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................... 4
10. Diagnosis morfologi dan Banding ........................................... 4
11. Patogenesis ............................................................................... 4
12. Diskusi ..................................................................................... 5
Daftar Pustaka ................................................................................................ 6
iv
DAFTAR GAMBAR
Judul Halaman
Dekskripsi Morfologi Makroskopis Paru-paru ................................................ 3
Deskripsi Histopatologis Paru-paru ................................................................. 3
Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................... 4
Skema Patogenesis ........................................................................................... 5
v
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
1. Gambaran Umum
Fibrosis idiopatik paru-paru merupakan satu penyakit interstitial paru-paru
yang mempengaruhi manusia dan hewan. Pada manusia perubahan spesifik terkait
dengan pneumonia interstitial dan karakteristik ini mirip dengan yang dijelaskan
yaitu fibrosis idiopatik paru-paru pada kucing. Menurut Cohn et all (2004) pada
temuan mikroskopis dari fibrosis interstitial dengan adanya temuan fibroblast,
miofibroblas, metaplasia epitelium dengan hyperplasia pneumosit tipe II, dan
metaplasia atau hiperplasia otot polos. Pada pneumonia interstitial pada manusia
dan fibrosis idiopatik paru-paru pada kucing memiliki kekurangan akibat
etiopatogenesisnya. Selain itu penayakit ini menunjukkan gejala klinis yang
bermacam-macam, respon buruk terhadap terapi, dan memiliki angka kematian
yang tinggi.
2. Gejala Klinis
Fibrosis idiopatik paru-paru menyerang pada kucing yang berumur rata-rata
delapan tahun dan tidak ada kecenderungan spesifik terhadap ras tertentu dan jenis
kelamin (Evola et all., 2014). Karena sifatnya yang progresif dan tidak adanya
spesifik pengobatan, kondisi memiliki prognosis yang tidak menguntungkan, dan
diagnosis biasanya ditentukan ketika dilakukan postmortem. Menurut Clecrx et all
(2018) ditandai dengan kelelahan, dyspnea restriktif, batuk, suara crackles pada
auskulltasi paru-paru.
3. Riwayat Klinis
1
Seekor kucing betina domestik berumur 10 tahun dengan berat badan 3,9 kg
dibawa ke Rumah Sakit Hewan Universitas Santa Cruz. Kucing tersebut
menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan gangguan pernafasan. Gejala klinis
pertama kali muncul adalah tiga bulan lalu sebelum perawatan klinik. Gejala
klinis yang muncul adalah kucing mengalami dypsnea parah ketika malam hari.
Berkembangnya gejala klinis tersebut menunjukkan ketidaknyamanan bernafas
yang ditandai dengan sikapa apatis, anorexia, dan penurunan berat badan kucing.
Kucing merupakan kucing indoor. Sebelumnya kucing tidak pernah mengalami
sakit ataupun menggunakan obat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu 37oC,
dehidrasi 9%, hewan mengalami tachypnea, dyspnea parah. Auskultasi paru-paru
terdengar krepitasi halus (crackles). Tidak ada perubahan auskultasi pada jantung.
4. Daftar Permasalahan
Daftar permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Dypsnea
2. Anoreksia
3. Dehidrasi
4. Tachypnea
5. Suara crackles pada auskultasi paru-paru
5. Sistem Organ yang Terpapar
Sistem organ yang terpapar adalah :
1. Sistem pernafasan
6. Teknik Bedah Bangkai
Teknik bedah bangkai yaitu dengan kucing diposisikan sebelah kiri.
Penekropsi berada berdiri dibagian perut untuk melakukan nekropsi. Dilakukan
sayatan pada garis tengah di sternum dan rentangkan simpisis mandibular.
Perpanjang sayatan dari sternum ke caudal sampai daerah selangkangan diatas
umbilicus, kelenjar susu atau bagian luar alat kelamin jantan. Buat sayatan dikulit
dari dorsal kearah garis tengah sampai bagian telinga. Potong bagian rahang atas,
pegang lidah potong dan lepas dari bagian ramus. Potong tulang rusuk dengan
gunting tulang rusuk untuk megekspos bagian thorax dan potong bagian
diafragma untuk mengekspos abdomen. Ketika sudah terekspos perhatikan organ
2
dibagian thorax dan abdomen. Koleksi organ bagian thorax seperti trachea dan
paru-paru (Strafuss, 1987).
7. Dekskripsi Morfologi Makroskopis
Pada pemeriksaan postmortem setelah nekropsi diamati makroskopis dari
paru-paru yaitu paru-paru memilki konsistensi yang kokoh dan permukaannya
tidak beraturan dengan menunjukkan area multifokal penebalan seperti plak. Area
yang mengalami peninggian dengan karakteristik yang sesuai dengan emphysema
alveolar yang jelas pada tepi lobus paru –paru.
8. Deskripsi Histopatologis
Sampel paru-paru difiksasi dalam larutan formalin 10% untuk analisa
histopatologis dengan pewarnaan Hemaktosilin-Eosin. Secara mikroskopis area
luas dengan penebalan septa alveolar dengan hyperplasia pneumosit tipe II dan
hyperplasia intents dari jaringan otot polos atau hipertrofi dinding alveolar
(Gambar A). Selain itu fibroplasia juga terjadi di interstitium yang berkaitan
dengan infiltrasi dari inflamasi limfositik multifikal (Gambar B).
3
9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
dan gambaran radiography x-ray thorax. Pada pemeriksaan darah lengkap
dilakukan pengambilan darah sebanyak 2 ml melalui vena jugularis dan disimpan
dalam tabung EDTA. Posisi yang diambil untuk radiografi thorax adalah posisi
dorsoventral dan left lateral. Pada kedua posisi tersebut menunjukkan adanya
pulmonary pattern campuran yang ditandai dengan dilatasi bronkhial
(bronchiectasis), menebalnya dinding bronkhiolar, dan beberapa bentukan
interstitial yang tidak terstruktur di area paru-paru.
4
Amiodarone
Paru-paru
Respon Inflamasi
Cedera Parenkim
Paru
Fibrosis
5
juga dipanggil dengan cepat setelah cedera dalam pengangkatan
puing-puing jaringan dan membunuh bakteri yang menyerang.
Apabila makrofag dan neutrofil tidak cepat dihilangkan, fase
selanjutnya dapat memperburuk respon inflamasi dimana akan
merusak jaringan yang akan menyebabkan terbentuknya jaringan
parut (Wynn and Ramalingan, 2012).
• Perbedaan difus, fokal dan multifokal. Difus merupakan bentuk
penyebaran inflamasi yang menyebar di seluruh tempat dan polanya
tidak terbatas tegas, biasanya digunakan untuk gambaran
makroskopis. Fokal merupakan bentuk penyebaran inflamasi pada
satu tempat. Multifokal merupakan bentuk penyebaran inflamasi
dibeberapa tempat namu pola nya jelas dan tegas.
13. Referensi
Clercx, C., Fastrès, A., & Roels, E. 2018. Idiopathic pulmonary fibrosis in West
Highland white terriers: an update. The Veterinary Journal, 242, 53-58.
Cohn, L. A., Norris, C. R., Hawkins, E. C., Dye, J. A., Johnson, C. A., &
Williams, K. J. 2004. Identification and characterization of an idiopathic
pulmonary fibrosis‐like condition in cats. Journal of veterinary internal
medicine, 18(5), 632-641.
Darisan, K. N., Zaini, J., & Yuniadi, Y. 2013. Amiodarone and its Pulmonal
Toxicity. Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol, 34(2).
Evola M.G., Edmondson E.F., Reichle J.K., Biller D.S., Mitchell C.W. & Valdés-
Martínez A. 2013. Radiographic and histopathologic characteristics of
pulmonary fibrosis in nine cats. Veterinary Radiology Ultrasound. 55(2):
133-140.
Strafuss, A. C. 1987. Necropsy. Procedures and basic diagnostic methods for
practicing veterinarians. Charles C. Thomas.
Van Israël, N. 2006. Common lower airway diseases in the dog and cat. UK Vet
Companion Animal, 11(3), 51-58.
Wynn, T. A., & Ramalingam, T. R. 2012. Mechanisms of fibrosis: therapeutic
translation for fibrotic disease. Nature medicine, 18(7), 1028.
6
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
Yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami rahmat dan hidayahNya kepada kami semua sehingga kami PPDH gelombang
6 kelompok 1 dapat menyelsaikan tugas kelompok Rotasi Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya tentang “Parosteal Osteoma
pada Green Iguana”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam
nabi kita Muhammad SAW serta kebaikan senantiasa tercurahkan kepada keluarga
dan sahabat Rasulullah SAW.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hewan eksotik saat ini mulai banyak diminati masyarakat untuk
dijadikannya hewan peliharaan diantaranya yakni reptil. Reptil adalah hewan
vertebrata yang terdiri dari ular, kadal cacing, kadal, buaya, caiman, kura-kura,
penyu dan tuatara. Adapun sekitar 7900 spesies reptil hidup sampai saat ini
yang mendiami berbagai tipe habitat beriklim sedang dan tropis termasuk
padang pasir, hutan, lahan basah air tawar, hutan bakau dan laut terbuka
(Klappenbach, 2013). Salah satu jenis reptil yang dijadikan sebagai hewan
peliharaan yakni kadal, dikarenakan perawatannya yang relatif mudah. Jenis
kadal yang banyak dipelihara masyarakat adalah iguana hijau (Iguana iguana)
(Nurjunitar, 2016).
Iguana hijau termasuk dalam anggota famili Iguanidae yang tergolong reptil
herbivora memiliki tubuh besar dan merupakan hewan semi-arboreal sampai
arboreal (Nurjunitar, 2016). Iguana hijau memiliki ekor yang relatif panjang
(hingga tiga kali panjang tubuh) dan gelambir permanen. Spesies iguana
memiliki satu atau lebih sisik besar di bawah gendang telinga dan jengger yang
besar di area nuchal serta puncak punggung belakang. Jantan dan betina
memiliki satu baris pori-pori femoralis di bawah paha. Kaki iguana relatif
pendek tetapi kuat dan memiliki cakar yang tajam sebagai alat penggali dan
pemanjat (Vosjoli et al., 2012).
Pengetahuan masyarakat mengenai reptil, khususnya Iguana iguana masih
terbatas dimana kurangnya pengetahuan menyebabkan berbagai masalah
dalam pemeliharaan iguana sebagai hewan kesayangan. Penyakit pada iguana
dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi kandang kurang baik,
kualitas pakan, pemberian pakan kurang, air minum kotor atau kurang, kurang
nutrisi, tertular penyakit dari hewan lain, hingga perubahan cuaca (Vosjoli et
al., 2012).
Deteksi suatu penyakit dapat dilakukan dengan mempelajari ilmu patologi
yang bertujuan mengidentifikasi penyebab suatu penyakit dan sebagai salah
satu program dalam pencegahan suatu penyakit. Pembuatan preparat dan
menganalisanya merupakan salah satu metode dalam ilmu patologi yang
1
digunakan untuk mengetahui struktur organ, jaringan dan sel dari spesimen
organ yang diduga mengalami abnormalitas. Pemeriksaan ini diharapkan dapat
menunjang diagnosa untuk mengidentifikasi penyakit salah satunya pada reptil
khususnya iguana. Sehingga Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH) FKH UB diharapkan mampu mengidentifiksasi dan melakukan
peneguhan diagnosa melalui perubahan makroskopik maupun mikroskopik sel,
jaringan dan organ.
2
BAB II STUDY KASUS
2.1 Sinyalemen
Jenis hewan : Iguana
Ras : Green Iguana
2.2 Anamnesa
Iguana biasa diberikan pakan roti dan kadang – kadang sayur. Empat bulan
sebelumnya, dikandangkan bersama iguana jantan dan menunjukkan perilaku
yang agresif.
3
FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) adalah prosedur yang relatif
atraumatik, ekonomis hemat waktu, tanpa persiapan khusus dengan angka
morbiditas terhadap pasien yang lebih rendah. Fine Needle Aspiration Biopsy
juga memiliki akurasi yang tinggi pada metastasis tulang yang disebabkan oleh
karsinoma (100%) dan multiple myeloma, karena kedua jenis tumor ini bersifat
homogen (Mahyudin, 2017).
Pemeriksaan histopatologi dapat menunjukkan abnormalitas pada jaringan
tubuh. Menurut Gold et al (2018), gambaran histologis adalah kunci untuk
membedakan jenis tumor dengan tumor lain yang juga dapat terbentuk di
permukaan tulang. Menurut Suehara (2004), secara umum temuan
histopatologi dan morfologi dapat menyebabkan kesalahan klasifikasi pada
kasus osteosarcoma apabila tidak ditunjang dengan pemeriksaan penunjang
lainnya. Sel tumor terlihat seperti lesi spikulasi di tulang kortikal, maka
diferensial diagnosis harus mencangkup beberapa jenis lain dari osteosarcoma.
4
Gambaran histopatologi dari massa submandibular
Gambar 2.1 Metabolic Bone Disease di Iguana (Aughey and Fredic, 2001).
Abses
5
Osteosarcoma
Osteosarkoma adalah tumor ganas pada tulang yang berasal dari sel
mesenkimal yang memproduksi tulang dan matriks osteoid.
Penampakan sitologi osteosarcoma (Gambar 2.2) akan terlihat adanya
massa tulang massif berupa osteoid (ditandai dengan adanya koloni
yang tersebar mirip dengan bakteri yang ditemukan di sel-sela massa
tulang), adanya trabeculae lamellar dengan ruang yang longgar yang
diselimuti oleh basophil dan sel pipih, ditemukan osteoblast dibagian
bawah massa tulang (oseteoid), sekelompok sel berbentuk bulat hingga
spindle dengan kromatin yang tertanam dalam matriks seluler yang
berwarna merah muda (Amat et al., 2019).
Gambar 2.2 (A) dan (B) Osteosarcoma pada Anjing (Burton, 2018)
Osteosarcoma parosteal
Menurut Santini-Araujo et al., (2016), osteosarcoma parosteal
merupakan massa bulat atau oval juxtacortical padat yang melekat pada
korteks dibawahnya, tidak ada reaksi periosteal yang terbentuk dengan
baik, temuan khas radiolusen antara korteks dan tumor seringkali
ditemukan selain pada tempat perlekatannya, pada pemeriksaan CT-
6
MRI dapat menunjukkan area litik, biasanya dipermukaan yang
berhubungan dengan kartilago neoplastic, terkadang ditemukan adanya
penebalan dibawah tumor, serta pada kasus lanjut ditemukan kerusakan
kortikal dan invasi moduler.
Chondrosarcoma
Chondrosarcoma adalah sel tumor malignant (tumor ganas) karena
adanya proliferasi chondroblast (Schmidt et al., 2017). Penampakan
sitologi ditandai dengan adanya bentukan bitnik-bintik tipis, eosinofilik
tampak cerah dan adanya matrix ekstraseluler (chondroid) (Barger and
Amy, 2017).
Gambar 2.3 (A) dan (B) Chondrosarcoma pada Anjing (Djik et al., 2007).
Osteochondrosarcoma
Menurut Santini-Araujo et al.,(2016), CHS intrameduler
konvensional adalah tumor yang biasanya berukuran lebih dari 5 cm
yang terletak di rongga meduler tulang. Biasanya, rongga meduler
melebar. CHS degradasi rendah hingga menengah memiliki permukaan
potongan abu-abu-putih hingga abu-abu kebiruan dan batas berlobus,
biasanya memiliki konsistensi yang kuat tetapi mungkin lembut,
7
berlendir, atau seperti agar-agar atau bahkan mungkin memiliki
permukaan potongan yang berpasir dengan kalsifikasi belang-belang.
Area scalloping endosteal dan penebalan periosteum terlihat pada
tulang panjang. CHS bermutu tinggi berwarna abu-abu-putih dan
berdaging, dengan perubahan miksoid, perdarahan, atau nekrosis.
Tumor biasanya meluas dari rongga meduler ke jaringan lunak yang
berdekatan dengan infiltrasi dan penghancuran tulang kortikal dan
periosteum.
2.8 Diagnosa
Berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan lanjutan dalam kasus ini iguana
didiagnosa sebagai Suspect Parosteal Osteoma (tumor sel mesenkim). Iguana
tersebut dalam keadaan dehidrasi 7% (Moderat), mata sedikit cekung, terdapat
massa keras pada bagian sinister mandibula. Pemeriksaan lebih lanjut
menunjukkan bahwa terdapat massa keras di daerah mandibular kiri.
Pengambilan sampel FNA dari jaringan dan sampel darah juga dilakukan
sebelum pengangkatan massa tumor. Sampel digunakan untuk pemeriksaan
sitologi dan hasil menunjukkan terdapat beberapa gugus sel yang berbentuk
bulat hingga bentuk kumparan dengan kromatin kasar yang terdapat dalam
matriks merah muda yang menunjukkan adanya tumor sel mesenkim (Gambar
3.1).
Setelah dilakukan pengangkatan tumor, dilakukan pengambilan sampel
untuk pemeriksaan histopatologi. Hasil menunjukkan bahwa terdapat massa
padat (bony mass/osteoid) dengan karakteristik menyerupai koloni bakteri,
beberapa sirkuler (Gambar 3.2 (A)). Struktur menyerupai trabekula lamelar
tampak dengan sisi luar terdapat sel basofilik dan pipih (Gambar 3.2 (B)).
Langkah diagnosa ini sesuai dengan Ettinger et. al (2017), bahwa untuk hewan
dengan suspek tumor perlu dilakukan langkah signalment, pemeriksaan klinis,
radiografi regional, dan biopsi untuk pemeriksaan lanjutan. Selain itu perlu
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biokimia darah.
8
mesenkim dengan perawatan pasca operasi yang memadai. Operasi
pengangkatan tumor biasanya menggunakan teknik reseksi dan teknik
nekropsi. Berikut merupakan teknik reseksi tumor mandibular pada anjing dan
kucing menurut (Birchard, 1996) yang kemungkinan teknik ini dapat
digunakan pada reptile, dengan langkah yang dilakukan sebagai berikut:
Hewan di posisikan lateral, di berikan speculum oral untuk menjaga rongga
mulut tetap terbuka.
Area mandibular yang akan dilakukan reseksi di bersihkan dengan
chlorhexidine
Di insisi beberapa muskulus yang terdapat pada mandibular antara lain
muskulus masseter, muskulus geniohyoid, muskulus mylohyoid, dan
muskulus pterigoid (Gambar 2.4).
9
Gambar 2.5. Perlakuan Osteotome (Birchard, 1990)
Dilakukan pengangkatan tumor dengan cara, memotong atau mengambil
bagian tumor dan mandibular dengan jarak ±3cm dari bagian sekeliling
tumor
Setelah tumor diangkat, maka dimasukkan pada formalin 10% untuk
perlakukan diagnose laboratorium lanjutan.
Dilakukan penjahitan mandibular dengan tipe jahitan simple interrupted
atau continuous dengan benang absorbable (Birchard, 1990).
10
Gambar 2.6 Lokasi insisi saat nekropsi pada Iguana (Shannon, 2013)
11
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Analisa Histopatologi
Pada kasus Iguana dilakukan pemeriksaan miroskopis yaitu sitologi
dan histopatologi. Pada pemeriksaan sitologi ditemukan adanya sel spindel
dengan struktur kromatin kasar dan berwarna pink pada matriks seluler.
sel spindle dengan kromatin yang kasar mengindikasi adanya
Mesenchymal Cell Tumour (Gambar 3.1). Menurut Singh (2018), sel
spindel atau sel tumor spindel merupakan bagian dari jaringan ikat dalam
tubuh yang berasal dari sel mesenkim. Pemeriksaan sitologi pada sel
spindel normal akan terlihat bentuk sel memanjang dengan inti sel
fusiform atau ovoid. Sel spindel dapat ditemukan di jaringan tubuh seperti
kolagen, kartilago, tulang, atau lemak. Sel tumor spindel terjadi akibat
reaktif dari lesi jaringan yang kemudian menjadi tumor baik jinak (benign)
ataupun ganas (malignant).
12
Tumor jinak pada tulang atau disebut osteoma biasanya terletak
dibagian dalam periosteum dan lapisan cancellous. Secara mikroskopis,
adanya infiltrasi osteoblast dan osteoclast. Sedangkan lapisan
intertrabekular banyak mengandung jaringan fibrosa, adiposit, dan
jaringan hematopoietic (Zachary, 2017).
A B
13
3.1.3 Patogenesa
Parosteal osteoma merupakan jenis neoplasia yang tumbuh pada
pemukaan sebuah tulang yang terdiri dari jaring-jaringan yang mudah
dibedakan seperti fibrous, osseous dan pada beberapa kasus meliputi
cartilaginous. Teminologi “parosteal” digunakan oleh para ahli patologis
karena pada jenis neoplasia tersebut ditemukan ketiga tipe jaringan
mesenkimal yang disebutkan diatas. Osteoma sendiri merupakan lesi
osteogenik benign yang terkarakterisasi oleh adanya proliferasi tulang
trabecular dan atau tulang kompak. Menurut Longo et al., (2011), osteoma
adalah tumor jinak yang menyerang jaringan tulang dari proliferasi tulang
kompak atau concellous ataupun kombinasi keduannya. Osteoma terdiri
dari tiga jenis central, peripheral dan ekstra-skletal. Sentral osteoma timbul
dari endosteum, peripheral osteoma timbul dari periosteum dan
extraskeletal soft tissue osteoma biasanya berkembang dalam otot. Osteoma
dapat timbul pada daerah sinus paranasal, tulang tengkorak dan tulang
wajah, termasuk maksila dan mandibular (Pogre et al, 2006).
Patogenesis osteoma tidak diketahui. Banyak pendapat
menyebutkan bahwa osteoma berkembang sebagai suatu neoplasia dan
pendapat lain menyebutkan bahwa osteoma merupakan suatu hematoma.
Mekanisme reaksional, infeksi ataupun trauma dicurigai merupakan
penyebab dari osteoma. Menurut pendapat Thoma dan Goldman, osteoma
tumbuh spontan dan diakibatkan oleh trauma dan bukan karena inflamasi.
Menurut pendapat ini, trauma minor yang dialami pasien dapat
mengakibatkan hematoma subperiosteal sehingga menarik otot, keadaan ini
dapat memicu terbentuknya lesi (Horikawa and Fernando, 2012). Banyak
kasus dilaporkan pada manusia dan hewan dimana osteoma tersebut
ditemukan pada tulang craniofacial, khususnya pada sinus paranasal dan
mandibula. Pada banyak kasus di manusia, sebagian besar penyebab
osteoma yaitu adanya familial adenomatous polyposis atau Gardner’s
syndorme yang diakibatkan mutasi genetik turunan yang dominan pada
APC (Adenomatous Polyposis Coli) gen supresor tumor. Namun belum ada
penelitian lebih lanjut pada hewan mengenai penyebab pasti dari osteoma
(Meuten, 2017).
14
Terdapat dua sistem seluler yang dapat mempengaruhi produksi dari
sel-sel spesifik pada tulang, yaitu sistem hematopoietik dan stromal
fibroblastik. Berikut sel-sel yang berpengaruh pada kejadian neoplasia
tulang:
a) Sel Osteoprogenitor
Merupakan sel-sel osteogenesis independent berupa stem sel dari sistem
stromal fibroblastik. Memiliki kemampuan untuk menyusun kembali
karakteristik microenvironment hematopoietic pada tulang. Sel
osteoprogenitor merupakam sumber dari chondroblast dan osteoblast
serta fibroblast pada tulang. Kondisi genetik dicurigai dapat
menyebabkan pertumubhan kartilago dari mesenkim terkondensasi
sehingga menimbulkan banyak sel-sel baru pada kartilago
b) Osteoblast
Osteoblas memproduksi dan memineralisasi matriks tulang yang
disebut osteoid.
c) Osteosit
Osteosit terbentuk dari sebagian osteoblast pada osteoid yang kemudian
termineralisasi. Osteosit berkontribusi dalam pembentukan lubang pada
tulang dengan cara menyerap sel-sel tulang saat osteoklas sampai di
lakuna.
d) Osteoklast
Merupakan produk dari stem sel hematopoietic. Osteoklast ditemukan
pada permukaan tulang atau dekat dengan permukaan tulang yang
kemudia terserap sehingga menyebabkan tonjolan pada tulang.
e) Matriks Tulang
Fraksi organik pada jaringan tulang yang dapat disebut matriks tulang
atau dikenal juga sebagai osteoid, terdiri atas protein kolagen and non-
kolagen. Serat kolagen pada matriks tulang disekresikan pada bentukan
prekursor pada osteoblast.
f) Mineral Tulang
Matriks tulang yang termineralisasi hingga 90%, air akan tergantikan
oleh matriks tulang (Jubb et al, 1993).
15
3.2 Pembahasan
Seekor iguana dengan ras green iguana biasa diberikan pakan roti dan
terkadang diberi pakan sayur. Empat bulan sebelumnya dikandangkan bersama
dengan iguana jantan dan dan menunjukkan perilaku agresif. Temuan klinis
yang diamati yaitu status dehidrasi 7%, mata sedikit cekung, dan terdapat
massa keras pada bagian sinister mandibular. Massa keras di mandibula bisa
disebabkan karena adanya kanker atau tumor. Istilah tumor ini digunakan untuk
menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang tidak normal. Menurut
Brooker (2001), pertumbuhan tumor dapat digolongkan sebagai ganas
(malignant) atau jinak (benign).
Diagnosa banding dari adanya massa tersebut antara lain adalah metabolic
bone disease atau osteodystrophy, abses, osteosarcoma, osteosarcoma
parosteal, chondrosarcoma. Metabolic Bone Disease atau osteodystrophy
disebabkan karenanya kurangnya asupan kalsium atau vitamin D di dalam
pakan. Metabolic bone disease pada iguana ditandai dengan adanya
pembengkakan didaerah mandibula atau kaki (Messonnier, 1995).
Penampakan sitologi dari metabolic bone disease yaitu osteoclast memiliki
banyak inti (Aughey and Fredic, 2001). Osteosarkoma adalah tumor ganas
pada tulang yang berasal dari sel mesenkimal yang memproduksi tulang dan
matriks osteoid. Penampakan sitologi akan terlihat adanya massa tulang massif
berupa osteoid (ditandai dengan adanya koloni yang tersebar mirip dengan
bakteri yang ditemukan di sel-sel massa tulang), adanya trabeculae lamellar
dengan ruang yang longgar yang diselimuti oleh basophil dan sel pipih,
ditemukan osteoblast dibagian bawah massa tulang (oseteoid), sekelompok sel
berbentuk bulat hingga spindle dengan kromatin yang tertanam dalam matriks
seluler yang berwarna merah muda (Amat et al., 2019). Chondrosarcoma
adalah sel tumor malignant (tumor ganas) karena adanya proliferasi
chondroblast (Schmidt et al., 2017). Penampakan sitologi ditandai dengan
adanya bentukan bitnik-bintik tipis, eosinofilik tampak cerah dan adanya
matrix ekstraseluler (chondroid) (Barger and Amy, 2017).
16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebelum pengangkatan massa
tumor yaitu pemeriksaan sitologi, Complete Blood Count (CBC), dan biokimia
(serum). Kemudian, dapat dilakukan juga pemeriksaan radiografi (X-ray), Fine
Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dan histopatologi (Che-mat et al., 2019).
Menurut Gold et al., (2018), gambaran histologis adalah kunci untuk
membedakan jenis tumor dengan tumor lain yang juga dapat terbentuk di
permukaan tulang. Sedangkan biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosa
terhadap adanya tumor dan infeksi, fine needle aspiration biopsy dilakukan
dengan menggunakan jarum secara perkutan pada daerah patologis kemudian
dilakukan aspirasi. Tusukan perkutan dilakukan beberapa kali dengan arah
yang berbeda dengan tujuan mendapatkan spesimen yang adekuat.
Hasil pemeriksaan sitologi menunjukkan adanya sel spindel dengan struktur
kromatin kasar dan berwarna pink pada matriks seluler. sel spindel dengan
kromatin yang kasar mengindikasi adanya sel tumor mesenkim (Gambar 3.1).
Sel mesenkim berbentuk lonjong hingga berbentuk spindel. Rentang bentuk
nucleus yaitu dari bulat hingga oval. Sel tersebut cenderung lebih kecil dari sel
epitel. Sel mesenkimal di kulit dan jaringan subkutan berasal dari fibroblas di
jaringan ikat, adiposit, sel otot, tulang atau tulang rawan, serta pembuluh darah.
Sel mesenkimal di kulit dan jaringan subkutan berasal dari fibroblas di jaringan
ikat, adiposit, sel otot, tulang atau tulang rawan, serta pembuluh darah. (Fisher,
2014).
17
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk kasus ini dapat berupa
pemeriksaan darah lengkap dan biokimia darah. Berdasarkan temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang, maka diagnosa pada iguana tersebut yaitu suspect
tumor sel mesenkim (osteoma).
Osteoma sendiri merupakan lesi osteogenik benign yang terkarakterisasi
oleh adanya proliferasi tulang trabecular dan atau tulang kompak. Menurut
Longo et al., (2011), osteoma adalah tumor jinak yang menyerang jaringan
tulang dari proliferasi tulang kompak atau concellous ataupun kombinasi
keduannya. Osteoma terdiri dari tiga jenis central, peripheral dan ekstra-skletal.
Sentral osteoma timbul dari endosteum, peripheral osteoma timbul dari
periosteum dan extraskeletal soft tissue osteoma biasanya berkembang dalam
otot. Osteoma dapat timbul pada daerah sinus paranasal, tulang tengkorak dan
tulang wajah, termasuk maksila dan mandibular (Pogre et al., 2006).
Osteoma mempunyai corak variasi radiologik dan histologik yang luas.
Sebagian tumor tumbuh pada permukaan tulang, sedangkan yang lain terbatas
pada kavum meduler. Beberapa muncul dari tulang normal (de novo
osterosarcoma), sedangkan yang lain timbul dari penyakit Paget atau setelah
radiasi (osteosarcoma sekunder). Umumnya tumor ini merupakan lesi soliter,
namun walaupun jarang pernah dilaporkan kasus dengan osteosarcoma
multifokal. Tumor ini dapat juga secara primer terjadi ekstraskeletal. Keadaan
ini sangat jarang ditemukan dan yang dilaporkan kurang dari 50 kasus.
Penanganan osteosarkoma dilakukan melalui pendekatan dari banyak segi,
termasuk kemoterapi dengan asumsi bahwa semua kasus mempunyai
metastasis pada waktu didiagnosis dan kemudian diikuti dengan operasi (Loho
2014).
Pengambilan sampel tumor dapat dilakukan menggunakan metode reseksi,
yang tujuan dari reseksi sub-mandibula ini adalah untuk mengurangi rasa sakit
dari iguana dan meningkatkan kesejahteraannya. Hasil pemeriksaan klinis dan
histopatologi menunjukkan bahwa massa sub-mandibula merupakan tumor sel
mesenkim. Sedikit yang diketahui tentang perilaku tumor ini pada kadal,
namun Hernandez-Divers dan Garner, (2003), melaporkan bahwa tumor
memiliki karakteristik yang sama seperti yang ditemukan pada anjing dan
18
kuncing. Beberapa tumor mesenkim telah dilaporkan pada reptile dan beberapa
merupakan tumor tulang rawan atau jaringan tulang yang termasuk
chondrosarcoma, osteosarcoma, dan osteochondroma yang sebagian besar
ditemukan pada spesies iguana. Neoplasma lain yang ditemukan pada reptile
seperti iguana, chelonian dan ular termasuk fibro-sarcoma atau fibroma dan
lipoma serta limfoma atau limfomatoid sebagai neoplasma yang paling
dominan pada kadal dan ular (Jacobson et al., 1981; Garner et al., 2004).
Menurut Che-Amat et al., 2019, contoh gambaran makroskopis pada
iguana yang terdapat adanya massa di bagian tepi jaringan, terlihat bahwa
massa memiliki permukaan yang keras dan halus dengan diameter sebesar 4
cm x 3 cm (Gambar 3.2). Berdasarkan pemeriksaan klinis, osteoma sebagai
salah satu hamartoma (pertumbuhan jaringan tubuh tidak ganas), bukan
neoplasma sejati yang merupakan lesi jinak yang pertumbuhannya lambat dan
tumbuhnya pada permukaan tulang dan tidak mengandung tulang rawan.
Paling banyak di dapat pada tulang tengkorak dan sinus paranasal.
19
mesenkimal ditandai dengan adanya osteoblast dengan warna sel kemerahan
pada lapisan bawah dari massa tulang.
20
Pada terapi tumor, manajemen memiliki peranan yang sangat penting
dalam pemulihan dan penyembuhan pasien. Reseksi bedah adalah metode yang
direkomendasikan dan paling sesuai untuk massa fokus yang marginnya tidak
diketahui. Hernandez-Divers dan Garner (2003), melaporkan bahwa reseksi
bedah dilakukan pada 14/38 (37%) kadal sebelum diagnosis. Keberhasilan
prosedur pembedahan bergantung pada kemampuan dokter untuk memasukkan
prinsip standard pembedahan onkologi dan teknik pembedahan reptilian.
Alternatifnya, penggunaan terapi laser yang tidak terlalu traumatis dapat
dilakukan. Terapi radiasi dan terapi intralesi telah digunakan pada ular dengan
hasil yang menjanjikan (Done and Mader, 1996; Langan et al., 2001;
Hernandez-Divers, 2003).
Pilihan medis yang tersedia adalah kemoterapi. Namun, berbeda dengan
spesies hewan kecil, kemoterapi tidak umum digunakan untuk mengobati
neoplasia pada reptile kecuali ular karena sebagian besar agen kemoterapi
harus diberikan berulang kali melalui intravena dan ini sangat sulit untuk
dilakukan pada spesies iguana (Straw et al., 1996; Orcutt, 2000; Hernandez-
Divers, 2003). Dalam tatalaksana kasus klinis ini, diagnosis dicapai
berdasarkan temuan pemeriksaan klinis, sitologi dan histopatologi tumor yang
dipotong. Selain itu, pilihan pengobatan terbaik yang diadopsi adalah operasi
pengangkatan massa superfisial dengan perawatan pasca operasi yang
memadai dan ini menunjukkan hasil yang sangat baik dari kasus klinis yang
telah dilaporkan.
21
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kasus ini didiagnosa sebagai Suspect parosteal osteoma pada iguana
berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan lanjutan yang terdapat massa
di submandibular yang merupakan tumor sel masenkim. Jenis tumor sel
mesenkim ini jarang terjadi pada reptile dikarenakan tumor ganas lebih
sering dilaporkan pada iguna dibandingkan dengan tumor jinak mesenkim.
4.2 Saran
Disarankan untuk melakukan diagnostik lebih lanjut sebagai
evaluasi dalam memastikan jenis tumor jinak.
22
DAFTAR PUSTAKA
Amat, A., Asinamai, A.B., Faez, F.A. et al. (2019). Parosteal Osteoma in a Green
Iguana: A Veterinary Case Report of Medical and Surgical Management.
Journal of Animal Health and Production Volume 7.
Barger, A.M. and Amy, L.M. (2017). Small Animal Cytologic Diagnosis. CRC
Press.
Burton, A.G. (2018). Clinical Atlas of Small Animal Cytology. Wiley Blackwell.
Che-mat, A., Bitrus, A.A., Jesse, F. F. A., Chung, E. L. T., Losheni, S., Sabri, M.
Y., Zakaria, M. A., Haron, N. A., Muhamad, A. S., Affandi, S. A., Abba, Y.,
Peter, I. D., Wa-Nor, F., Hambali, I. U., Paul, B. T. 2019. Parosteal Osteoma in a
Green Iguana: A Veterinary Case Report of Medical and Surgical
Management. Journal of Animal Health and Production. ISSN 2308-2801.
Dijk, J.E., Gruys., Mouwen. 2007. Color Atlas of Veterinary Pathology Second
Edition. Saunders Elsevier
Gold, R., Oliveira, F., Pool, R. 2018. Zygomatic Arch Parosteal Osteosarcoma in
Dog and a Cat. Department of Veterinary Pathobiology, College of Veterinary
Medicine Texas A&M University, USA.
Jubb, KVF., Kennedy, Peter C., Palmer, Nigel. 1993. Pathology of Domestic
Animal: Fourth Edition, Volume 1. Academic Press, Inc. Harcourt Brace
Jovanovich, Publishers.
23
Klappenbach L. 2013. Reptiles. http://animals.about.com/od/reptiles/p/
reptiles.htm. Diakses pada tanggal 26 september 2020.
Messonnier, S. (1995). Exotic Pets: A Vetrinary Guide for Owners. Republic of
Texas Press.
Nurjuanitar, A.V. 2016. Analisis Perubahan Struktur Anatomi dan Histologi Ginjal
Iguana Hijau (Iguana iguana) Setelah Pemberian Pakan Bayam Merah
(Amaranthus tricolor L.). [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Hasanuddin.
Olvi L.G., Lembo G.M., Santini-Araujo E., Kalil R.K. (2020) Parosteal
Osteoma. In: Santini-Araujo E., Kalil R., Bertoni F., Park YK. (eds)
Tumors and Tumor-Like Lesions of Bone. Springer, Cham.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-28315-5_10.
Perez, J. J. 2012. Hematologic Evaluation of Reptile: A Diagnostic Mainstay.
Veterinary Technician.
Shannon Martinson, Bsc, DVM, Mvsc, DACVP. 2013. Reptil Phatology Necropsy
Techniques And Common Diseases. Diagnostic Services, Atlantic Veterinary
College.
Singh, E. 2018. Spindle Cell Tumours of The Head and Neck- A Taxonomic Review. Journal
of Clinical and Diagnostic Research. Vol 12 (12): ZE19- ZE27.
Suehara, Y., Yazawa, Y., Hitachi, K., and Yazawa, M. 2004. Periosteal
osteosarcoma with secondary bone marrow involvement: a case report. J Orthop
Sci. 9, 646- 649.
24
Su Ji Kim, Hee Jin Park, So Yeon Lee. 2017. Juxtacortical Osteoma of the
Metatarsal Bone: A Case Report. Journal of the Korean Society of
Radiology, 10.3348/jksr.2017.77.6.421, 77, 6, (421).
Vosjoli, P.D., Susan, D., Roger, K., David, B. 2012. The Green Iguana Manual. 3rd
Edition. Advance Vivarium System, p5-8.
Zachary, J.F. 2017. Pathologic Basis of Veterinary Disease Sixth Edition. Elsevier
Inc.
25
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI PATOLOGI ANATOMI
Yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Oleh:
Diambil dari: Arya Sobhakumari, Robert H. Poppenga, J. Brad Pasevento, Francisco A. Uzal.
(2018). Pathology of Carbon Monoxide Poisoning in Two Cats. Case Report in
BMC Veterinary Research, 2018.
A. Riwayat Klinis
Kucing ras Singapura (Singapura brown ticked cats) dewasa berjumlah dua ekor ( jantan
dan betina steril) ditemukan mati di sebuah rumah bersama kedua pemiliknya yang juga telah
meninggal. Kedua karkas kucing memiliki status nutrisi yang baik dan mengalami dekomposisi
sedang. Beberapa abnormalitas tampak pada kedua kucing, diantaranya yaitu cairan aquous
berwarna merah muda hingga merah cerah, kemerahan pada permukaan kulit abdomen dan
permukaan telinga bagian dalam, warna merah cerah pada otot skelet, terjadi kongesti dan
perubahan warna menjadi merah cerah pada cairan serosa abdomen, kongesti dan edema pada
paru-paru, hidrothoraks dan hidroperikardium sedang.
Pengambilan sampel dilakukan pada organ viscera kedua kucing serta organ otak untuk
dilakukan pewarnaan HE dan secara khusus pewarnaan Von Kossa dilakukan pada organ
jantung. Temuan lain yaitu terlihat perubahan warna pada cairan formalin yang digunakan
untuk koleksi sampel.
Analisa mikroskopik terhadap sampel pada kedua kucing menunjukkan hasil yang
sama. yaitu kongesti difus paru-paru, edema interstisial dan alveolar, dan tampak basofilia
multifokal pada kardiomiosit. Pemeriksaan sampel jantung yang diwarnai dengan Von Kossa
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
B. Daftar Permasalahan
Daftar permasalahan yang muncul adalah:
dipisahkan dari pertautannya dengan paru-paru. Laring, trakhea, dan bronchus diperiksa dengan
menggunting bagian tersebut pada bagian dimana cincin tulang rawan terbuka lalu
pengguntingannya dilanjutkan hingga cabang-cabang bronkhus. Pengamatan PA dilakukan
terhadap isi lumen dan keadaan mukosa. Paru-paru diperiksa dengan menginspeksi adanya
perubahan warna, penggembungan, pengempisan, ada atau tidaknya bungkul. Palpasi
selanjutnya dilakukan untuk memeriksa kepadatan konsistensi, adanya krepitasi yang
berlebihan, dan dapat terabanya bungkul ataupun pasir padat pada permukaan organ. Insisi
dapat dilakukan pada bagian yang diduga berisi darah, cairan berbusa, nanah, ataupun benda
asing. Paru-paru juga diuji apung apakah akan tenggelam atau tidak untuk memeriksa kejadian
pneumonia. Sebelum jantung diperiksa, keadaan perikardium dan epikardium dilihat
keadaannya. Jantung diperiksa dengan menyayat ventrikel jantung pada dinding sejajar sulcus
longitudinalis kanan dan kiri. Selain itu inspeksi dilakukan untuk melihat adanya perubahan
warna pada perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium. Perubahan bentuk
diamati apabila terdapat kemungkinan adanya chicken fat clot, penebalan atau penipisan
dinding jantung dan juga penebalan pada katup bikuspidalis, trikuspidalis, dan semilunaris.
Palpasi pada daerah dinding jantung untuk memastikan dinding tersebut melembek atau
mengeras. Insisi perlu dilakukan untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada dinding
ventrikel.
Saluran pencernaan diperiksa mulai dari rongga mulut untuk melihat keadaan gigi, gusi,
dan mukosa pipi. Pemeriksaan dilanjutkan ke esofagus, lambung, dan usus terhadap lumen dan
keadaan mukosanya. Lambung sebelumnya digunting terlebih dahulu pada kurvatura mayor
sedangkan usus sebelumnya digunting terlebih dahulu di dekat alat penggantungnya.
Penyumbatan pada saluran empedu mungkin dapat terjadi, untuk memeriksanya dilakukan
penekanan pada kantung empedu dan muara saluran empedu pada duodenum lalu diamati. Hati
diperiksa secara inspeksi untuk melihat adanya perubahan warna, pola lobulasi yang jelas serta
perubahan bentuk. Palpasi dilakukan selanjutnya apabila ditemukan kemungkinan adanya
perubahan konsistensi pada organ tersebut. Selain itu insisi juga dilakukan untuk melihat
adanya perubahan warna pada bidang sayatan dan pengeluaran darah setelah dilakukan
penyayatan. Sedangkan pankreas diperiksa dengan cara inspeksi untuk melihat adanya
perubahan warna dan bentuk lalu dipalpasi untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi
serta insisi dilakukan untuk melihat adanya perubahan warna pada bidang sayatan. Limpa
diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna, bentuk, dan keadaan pada tiap tepi
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)
organ beserta kapsulanya. Palpasi pada limpa dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan
konsistensi yang terjadi. Insisi dilakukan sejajar dengan hilus. Permukaan bidang sayatan
diusap untuk melihat adakah pulpa merah yang terikut. Organ urinari diperiksa dengan
mengenali posisi ureter yang menghubungkan ginjal dengan vesika urinaria. Pengeluaran uretra
dilakukan dengan menggergaji os pubis di sebelah kanan dan kiri dari symphisis pelvis. Ginjal
diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna sesudah kapsula dibuka dan bentuk
permukaannya. Palpasi pada ginjal dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi
yang terjadi. Insisi dilakukan untuk melihat perubahan warna dan batas pada korteks dan
medulla serta memeriksa adanya batu ginjal pada pyelum. Sedangkan untuk vesika urinaria
dilakukan pemeriksaan adakah penyumbatan uretra dengan menekannya lalu diamati
pengeluaran urin melalui uretra. Dinding vesika digunting lalu dilakukan pengamatan terhadap
isi dan permukaan mukosa. Pemeriksaan ureter dan uretra dilakukan jika ditemukan adanya
indikasi penyumbatan pada saluran tersebut. Rongga otak dibuka dengan membersihkan tulang
tengkorak dari otot dan kulit yang melekat. Tulang tengkorak digergaji dengan pola garis
melingkar tepat di belakang mata, di atas telinga, dan menuju lumen occipitale. Tulang yang
telah digergaji dicungkil dengan menggunakan pahat dan palu.
F. Deskripsi Histopatologis
Setelah dilakukan nekropsi, jaringan difiksasi pada larutan formalin selama 2 minggu
untuk mempertahankan perubahan warna mirip seperti warna setelah koleksi sampel dilakukan
(Gambar 3). Sample jaringan dari organ kedua kucing termasuk otak dilakukan proses
pewarnaan HE dengan perbesaran 250X. Lesi pada kucing secara mikroskopis seperti diffuse
dari kongesti paru-paru, edema interstitial dan alveolar, dan banyaknya basophilia multifokal
dari kardiomiosit (Gambar 4).
Bagian organ hepar dilakukan pewarnaan dengan Vos Kossa untuk menyelidiki
kemungkinan deposit kalsium dan asam hemaktosilin phospotungstic (PTHA) untuk melihat
struktur miokardiosis dan hasilnya biasa saja tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Bagian musculo skeletal dilakukan analisa untuk mengetahui analisa sianida dengan
metode distilasi. Sianida dijaringan diubah menjadi gas hydrogen yang diklorinasi dan diubah
menjadi zat yang berwarna. Daya serap tersebut diukur menggunakan spektofotometri pada 578
nm dan dihitung dalam kurva standar dan tidak terdeteksi pada musculo kucing.
Karena tes sianida negative dilakukan pemeriksaan sampel darah postmortem yang
untuk menganalisis kandungan karbondioksida dengan sebuah alat modifikasi yaitu Comopac®
electrochemicalgasmeter. Darah yang sudah dicampurkan dengan natrium klorida dalam glass
vial yang diletakkan agar sesuai ke monitor portable CO (Thermo Scientific) dan diukur selama
5 menit. Pengukuran Hb dilakukan dengan metode azidemethemoglobin menggunakan sistem
HemoCue Hb® 201. Hasil darah yang telah diperiksa kadar COHb dilaporkan saturasinya
untuk kucing A sekitar 57% dan kucing B 41%.
H. Patogenesis
CO atau karbon monoksida merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
bersifat mengiritasi yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar. COHb pada individu yang
keracunan gas karbon monoksida akan mengurangi kapasitas oksigen dalam hemoglobin dan
menimbulkan hipoksia. Toksisitas akut akibat CO akan mengikat CO pada heme protein yang
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)
dapat mengganggu respirasi seluler dan generasi radikal bebas dengan cara mengganggu
metabolisme oksidatif. Belum terdapat studi yang menginterpretasikan konsentrasi COHb yang
dapat menyebabkan kematian pada kucing yang keracunan CO. Maka dari itu pada kasus ini
penyebab kematian yang memungkinkan yaitu akibat adanya peningkatan CO pada jaringan,
menyebabkan hipoksia yang berasal dari adanya kompetisi antara CO dan O2 dalam berikatan
dengan hemoprotein.
Edema pulmonum yaitu kondisi dimana adanya akumulasi cairan interstitial dan alveolus yang
berlebih. Penyebab edema pulmonum pada kasus ini yaitu akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru karena inhalasi zat toksik, mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara
cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli dan mengakibatkan hipoksia. Pada
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru akan mengaktifasi neutrofil yang
akan melekat pada sel endotel dan melepas radikal bebas dan mediator inflamasi pada jaringan.
Akibatnya alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan mengandung
banyak neutrofil dan sel-sel inflamasi lainnya (Mulyadi, 2007).
I. Skema Patogenesis
Dinul Hamdi (190130100111027) Gelombang 6 Kelompok 1
Ernita Widyasari (190130100111056)
Dyah Kusumaning Wardhani (190130100111057)
Endang Rosidayanti (190130100111087)
J. Referensi
Mulyadi. 2007. Hipoksia pada Sirkulasi Pulmonal. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 7
Nomor 2 Agustus 2007.
Sobhakumari, A., Poppenga, Robert H., Pasavento, Brad., and Uzal, Francisco A. 2018.
Pathology of Carbon Monoxide Poisoning In Two Cats. BioMed Central. School of
Veterinary Medicine, University of California.
Wiley, J and Sons. 2017. Necropsy Gide for Dogs, Cats, and Small Mammals. Edition First
TUGAS RESUME CASE REPORT
Oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
RESUME CASE REPORT LIPOSARKOMA MYXOID PADA ANJING
Penyakit ginjal sudah cukup umum yaitu dengan presentase 29,6 % untuk
hewan unggas. Adapun wabah yang pernah terjadi ditahun 2011 dan 2012 terkait
penyakit asam urat ini menyebabkan tingkat mortalitas dari unggas sebesar 40%.
Tingginya tingkat produksi protein dapat memicu terjadinya meningkatanya
produksi asam urat. Urolithiasis pada unggas juga disebut penyakit asam urat
(Gout) akibat dari kerusakan ginjal karena bebrapa faktor yaitu infeksi penyakit,
akibat gizi, konsumsi racun atau kombinasi dari banyak faktor. Pada bulan
oktober 2018 terjadi kematian seekor ayam layer memiliki gejala klinis penurunan
nafsu makan dan minum, terlihat lesu, bulu kusut, penurunan berat badan dan
kotoran abnormal. Setelah dilakukan postmortem bangkai ayam telihat kurus
kering dan dehidrasi. Pada gambaran makroskopis menunjukkan adanya
perbesaran pada hati, usus, jantung dan kantung udara akibat pengendapan dari
kapur putih. Secara mikroskopis bagian ginjal menunjukkan adanya pendarahan,
degeratif dan nekrotik dari perubahan tubulus, dan deposit yang berbentuk kristal
jarum menggantikan jaringan parenkim disekelilingnya karena pengaruh dari
inflamasi granulomatosa yang intens. Gout merupakan penyakit metabolic yang
menyebabkan hiperurisemia dan pengendapan asam urat di berbagai organ
jaringan. Lesi kasar dari endapan kapur diberbagai organ dan hasil histopatologi
dari ginjal menunjukkan lesi yang berat.
Gambaran Makroskopis
Gambaran Mikroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambaran Mikroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Diagnostik lain juga dapat digunakan untuk pemeriksaan yang lebih lanjut seperti
biopsy otak, CT-Scan, MRI, dan analisis CFS.
Pada Glioma gambaran patologi yang terlihat adalah oligodendroglicoma
dari putih berbatas tegas sampai massa coklat yang berdaging dan lunak ke yang
lebih infiltrative ke neuroparenkin. Gelatin biasanya diproduksi karena mucin
yang tinggi. Biasanya ditemukan secara intraventrikular, multifocal didaalam
system syaraf pusat, atau menyebar di leptomeninges baik sebagai massa primer
atau penyebaran metastasis (Gambar B). Gambaran nekrosis, pseudopaliserada
terjadi peningkatan aktivitas mitosis atau fitur nyata keganasan. (Gambar D).
ikan hidup di tempat yang berisi air sumur. Kemudian dilakukan nekropsi ikan
dimana perlu diperhatikan adalah kenakan sarung tangan ketika akan menekropsi.
Selanjunya melakukan euthanasia sampai gerakan operculum berhenti dan ikan
mengalami ketidak seimbangan, timbang ikan, ukur panjang ikan, ukur total dari
panjang moncong mulut sampai ekor, hitung factor kondisi reproduksi. Dapatkan
sampel darah di vena coccygea dengan jarum 22 atau 23 G pada spuit berukuran 1
atau 5 mL, masukkan jarum di anterior ke area ekor bawah gurat sisi ( Gambar 1A
dan 1B). Masukkan darah yang telah diambil di tabung penampung, dilakukan
apusan darah, sisa darah di sentrifugasi 15 menit untuk mengendapkan sel,
Gambar 1A dan 1B
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Program Head start merupakan suatu program ex-situ yang terdiri dari
pemeliharaan penangkaran tukik untuk menghindari tingkat kematian yang tinggi.
Keberhasilan dari program ini tidak selalu terjamin karena factor seperti penyakit,
laju pertumbuhan rendah, dan anomali perilaku dapat membahayakan pasca tukik
sebelum dilepaskan liar. Telah dilaporkan kasus kematian 91% untuk Loggerhead
yang berbanding dengan rata rata tingkat mortalitas 5% -32% untuk Kemp’s
Ridley turtles. Infeksi tersebut dapat terjadi akibat bakteri dan jamur. Dalam jurnal
ini melaporkan gambaran makroskopis dan mikroskopis lesi yang ditemukan pada
78 ekor tukik pasca menetas yang mati selama dipenangkaran Cape Verde di
pulau Canary. Gambaran makros dilaporkan dan sampel jaringan dimasukkan
dalam parafin blok. Potongan sampel (4 mm) diberikan pewarna hemaktosilin
eosin (HE) dan juga dilakukan pewarnaan lain untuk bakteri, jamur dan protozoa.
Kemudian dilakukan analisis data menggunakan SPPS.
Lesi yang diamati adalah lesi dermatitis. Distribusi lesi multifokal dengan
beberapa lesi dengan ukuran 1-5 mm terutama di kaki dan kepala. Lesi kulit
ditandai dengan ulserasi di epidermis dan dermis dengan infiltrasi heterofil dan
bakteri gram negatif dengan diameter 0,5 -1 mm (Gambar 1). Terjadi mikosis
epidermal superfisial (Gambar 2) dan terdapat bakteri gram positif dan jamur
didalam lapisan kornifikasi. Selain itu purulent dan fibronekrosis rhinitis penyakit
yang paling umum ditemui pada lesi pernafasan. Di kebanyakan kasus terdapat
material pengkejuan di dalam saluran hidung (Gambar 3). Secara mikroskopis
dari epitel pernafasan terdapat purulent dan nekrotik di saluran. Plak difteri terdiri
dari bahan fibrinous dan nekrotik, bersama–sama dengan reaksi inflamasi
heterofilik yang parah di lapisan yang mendasari (Gambar 4). Berdasarkan studi
yang dilakukan lesi yang sering terjadi pada Loggerhead adalah lesi pada
dermatitis dan lesi yang terjadi di pernafasan yang disebabkan oleh bakteri.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1
A. RIWAYAT KLINIS
Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) berasal dari kolam SMAN 4 Bojonegoro
diambil pada tanggal 14 Sepetember. Berdasarkan pengukuran berat badan ikan
adala 37 gram. Nila tersebut memiliki morfologi bercak lesi bewarna hitam
dibagian facia dexter, operculum, dorsal, dan caudal ekor. Kondisi air kolam tidak
begitu jernih. Kemudian dilakukan aklimatisasi selama 3 hari di kolam dirumah
dengan pergantian air sekali dalam 3 hari dan ikan mengalami penurunan nafsu
makan. Nekropsi dilakukan pada tanggal 17 September 2020.
Lesi pada bagian facscia dexter, dorsal dan caudal ekor ikan Nila Merah (Dokumentasi
Pribadi, 2020)
b) Sistem Eksresi
Berdasarkan temuan organ yang mengalami perubahan patologi adalah organ
hepar dimana warna organ tersebut tampak merah pucat dan strukturnya
berbentuk rumbai.
Hepar pada Ikan Nila Merah yang dinekropsi (Dokumentasi Pribadi, 2020)
F. DESKRIPSI HISTOPATOLOGIS
Proses pembuatan preparat histologi dimulai dengan proses pengiriman
sampel ke laboratorium. Kemudian dilakukan pemotongan jaringan, fiksasi
jaringan, pembuatan blok paraffin dan pewarnaan. Proses fiksasi merupakan tahap
pertama pada proses pembuatan histopatologi. Fiksasi bertujuan untuk menjaga
sel dan komponen jaringan agar berada dalam keadaan “life-like state”
(Musyarifah dan Agus, 2018). Larutan fiksatif yang dipakai adalah formalin 10%
minimal 24 jam. Setelah itu dilakukam denaturasi pada sampel dengan cara
trimming 1 x 1 kemudian dimasukkan ke dalan tissue cassette, kemudian dicuci
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Gelombang : 6
Kelompok : 1
dengan air mengalir 30 menit. Sampel dimasukkan dalam alcohol bertigkat
alcohol 70%, 80%, 90% dan 95%, ethanol absolut I, II, III masing-masing selama
1 jam. Kemudian dilakukan clearing yaitu sampel pasca dimasukkan ethanol
absolut III dimasukkan ke dalam xylol I, II, III masing-masing 20 menit hingga
tampak transparan, kemudian sampel dimasukkan ke paraffin cair untuk dibuat
paraffin blok.
Larutan Dehidrasi dan Clearing untuk Proses Histopatologi (Dokumentasi Pribadi, 2020)
K. REFERENSI
Zulaiha, Z., Riauwaty, M., & Syawal, H. 2016. Histopathology of Liver and
Gut of Pangasius Hypopthalmus That Were Feed with Curcumin Extract
(Curcuma Domestica) and Were Infected with Aeromonas Hydrophila.
Doctoral dissertation, Riau University.
Juanda, S. J., & Edo, S. I. 2018. Histopatologi Insang, Hati Dan Usus Ikan
Lele (Clarias gariepinus) Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (Gill,
Liver and Gut’s Histopathology of Catfish (Clarias gariepinus) in Kota
Kupang, East West Nusa). Saintek Perikanan: Indonesian Journal of
Fisheries Science and Technology, 14(1), 23-29.
Wulandari, T., Indrawati, A., & Pasaribu, F. H. 2019. Isolasi dan Identifikasi
Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele (Clarias gariepinus) Pertambakan
Muara Jambi, Provinsi Jambi. Jurnal Medik Veteriner, 2(2), 89-95.
Musyarifah, Z., & Agus, S. 2018. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan
Histopatologik. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 443-453.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Africa Swine Fever (ASF) merupakan penyakit menular pada babi. ASF
merupakan virus DNA yang besar, kompleks dan terselubung. Berasal dari family
Asfarviridae. ASF terdiri dari 50 protein structural yang dapat mengasilkan 150
protein dalam sel yang terinfeksi, banyak diantaranya bersifat imunogenik. Sel
target utama dari ASFV ini adalah monosit atau magrofag pada babi domestic dan
liar. ASFV dapat bereplikasi ke beberapa tipe sel seperti sel hepatosit, sel epitel
tubulus ginjal, neutrophil dan sel endotel. Replikasi dari ASFV dan respon imun
tubuh membuat host menunjukkan gejala klinis dan patologi yang berbeda pada
spesies babi. ASF merupakan penyakit pada babi yang terpenting saat ini karena
sulitnya pencegahan dan pengendalian karena belum ada vaksinnya. ASF
dikategorikan menjadi jenis perakut, akut, dan subakut dan kronis. Yang akan
dibahas adalah gambaran makroskopis dan mikrokopis pada ASF yang bersifat
akut. Bentuk klinis ini disebabkan oleh virulensi yang tinggi. Adapun tanda klinis
yang terjadi adalah demam tinggi dengan suhu 40-42oC, lesu, anoreksia, dan tidak
aktif. Hewan yang terkena terdapat sianosis sentripetal dan dapat ditemukan
ditelinga, moncong, tungkai, perut, ekor, dan area perineal. Lesi kulit yang terjadi
adalah pendarahan petechie dan ecchymosis (Gambar A,B,C,D,E,F). Tanda
klinis lain bias ditandai dengan epistaksis, muntah dan diare.
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar 1
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar 2
Gambar 3
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar 4
Gambar 5
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar 6
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Riwayat Hewan
Mencit berasal dari pasar hewan Splendid malang. Mencit didapatkan pada
tanggal 13 September 2020. Mencit di aklimatisasi selama ± seminggu dalam kandang.
Mencit di nekropsi pada tanggal 23 September 2020. Berat mencit 59 gram dan berwarna
putih dengan mata merah.
Teknik Nekropsi
1. Mencit dieutanasia menggunakan metode dislokasi leher
2. Mencit direbahkan dorsal (Gambar 1)
3. Incisi bagian linea mediana abdominalis dari caudal ke cranial hingga ventral
mandibular (Gambar 2)
4. Incisi linea alba dari caudal ke cranial hingga processus xypoideus (Gambar 3)
5. Incisis kearah lateral dexter dan sinister ekspos organ visceral abdominalis
(Gambar 4)
Riwayat Sampel
Sampel yang digunakan adalah bagian paru-paru dari mencit yang
dinekropsi pada tanggal 23 September 2020.
5. Sampel dari ethanol 100% dimasukkan ke dalam xylol I, II, III selama
masing-masing 20 menit (Gambar 2)
6. Sampel dimasukkan ke paraffin cair I, II, III Pada incubator dengan suhu
58-60oC.
Gambar 1
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Gambar Makroskopis
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Paru-paru
Pada hepar menunjukkan adanya seroritis fibrino heterofilik atau
capsulitis. Dengan karakteristik kapsul menebal pada permukaan hati dilapisi oleh
lapisan eksudat fibrin disertai infiltrasi sel heterofil. Pewarnaan HE perbesaran
400x.
Hepar
Pada jantung mengalami pericarditis dan epikarditis dengan akumulasi
eksudat fibroseluler. Pembuluh darah di epicardium menunjukkan kongesti.
Pewarnaan HE perbesaran 100x.
Jantung
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Limpa
Ginjal
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
Teknik Nekropsi
Adapun teknik nekropsi yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Ayam dieutanasia dengan cara emboli udara diotak
2. Ayam direbahkan rebah dorsal (Gambar 1)
3. Incisi bagian linea mediana abdominalis dari caudal ke cranial hingga
ventral mandibular (Gambar 2)
4. Incisi linea alba dari caudal ke cranial hingga processus xypoideus
(Gambar 3)
5. Ambil airsac dan dikoleksi
6. Incisis kearah lateral dexter dan sinister ekspos organ visceral abdominalis
7. Dipotong bagian costocondral antara costae dan vertebrae thorachalis dan os
clavicula (Gambar 4)
8. Angkat costae dan musculus pectoralis kearah cranial ekspos organ thorax
9. Diamati topografi organ vicera baik di thorax atau abdomen (Gambar 5)
10. Preparir organ dari thorachalis ke abdominalis ditarik kearah caudal
11. Taruh organ vicera di nampan dan diamati perubahan patologisnya
(Gambar 6)
Nama : Dyah Kusumaning Wardhani, S.KH
NIM : 190130100111057
Kelompok / Gelombang : 1/ 6
12. Koleksi sampel organ dalam pot organ yang berisikan formaldehyde 4%
slaid sediaan histopatologi yang layak untuk dibaca dan agen fiksatif yang paling
sering digunakan adalah formalin 10%. Fiksasi memiliki tujuan yaitu dapat
menstabilkan sel dan jaringan agar dapat melindungi dari kekakuan pada saat
proses pengolahan dan teknik pewarnaan selanjutnya.
Teknik Perlakuan Sampel
Adapun teknik perlakuan sampel yang dilakukan pada nekropsi ayam
adalah sebagai berikut :
1. Sampel organ yang telah berada di formaldehid 4% diambil
2. Trimming 1x1 dimasukkan ke dalam tissue cassette
3. Sampel tissue cassete dicuci menggunakan air mengalir selama 30 menit
4. Sampel dimasukkan ke dalam alcohol 70%, 80%, 90% dan 95% selama
kurang lebih 1 jam (semakin lama semakin bagus). (Gambar 1)
5. Sampel dari ethanol 95% dimasukkan ke dalam xylol I, II, III selama
masing-masing 20 menit (Gambar 2)
6. Sampel dimasukkan ke paraffin cair I, II, III Pada incubator dengan suhu
58-60oC.