Anda di halaman 1dari 4

Nama : Qurrota A`yun

NIM : 2008306022
MK : SPI
Tugas Resume Masa Kekhalifahan Umar Bin
Khattab

Masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatthab terjadi peperangan di kawasan


Syam Raya yang terdiri dari kawasan Syiria sekarang, yang meliputi seluruh
kawasan Pantai Timur Laut Tengah, Irak, Persia (Iran) dan Mesir.
Dalam peperangan ini, kaum muslimin berhasil meraih kemenangan yang
besar. Banyak tanah hasil rampasan dikuasai oleh kaum muslimin. Hal yang unik
terjadi, bahkan dijelaskan dalam Manâqib Amir al-Mu’minîn Umar ibn Khattab
karya Ibnu Jauzi, Khalifah II Umar bin Khatthab tidak membagi-bagikan tanah
hasil rampasan tersebut kepada tentara perangnya.
Beliau mengambil kebijakan lain, yaitu membagi-bagikan kembali tanah
tersebut kepada penduduk setempat lalu menerapkan kebijakan jizyah (pajak) dan
kharraj (cukai). Harta rampasan perang juga tidak dibagikan langsung kepada kaum
muslimin dan tentara perang, melainkan dimasukkan ke Baitu al-Mâl.
Karena tindakanmya ini merupakan hal yang belum pernah dilakukan di masa
kenabian, baru mulailah muncul konflik di tubuh kekhalifahan. Ada pihak yang
setuju namun ada juga yang kontra. Menurut catatan sejarah, sahabat
Abdurrahmman bin Auf dan Bilal bin Rabah adalah yang termasuk menentang
kebijakan itu. Keduanya berpegang teguh pada teks literal lahir yang tercantum di
dalam Al-Qur’an dan berdasarkan sejarah perang Khaybar di masa Nabi.
Sementara Umar lebih memilih kepada semangat dari syariat. Jadi, terdapat
perbedaan di antara keduanya. Yang menarik adalah Sahabat Utsmân dan Ali,
keduanya menyetujui tindakan Umar tersebut.
Sebetulnya, dasar khalifah saat itu dalam menerapkan kebijakan tersebut
berpaku pada pertimbangan kemaslahatan. Adapun kepentingan umum yang lebih
besar (maslahah mu’tabarah/maslahah ‘ammah) yang harus dijaga. Beberapa pokok
persoalan yang menjadi dasar pertimbangan adalah:
1. Untuk menghindari timbulnya tuan tanah yang baru di kalangan Muslim.
Kekhawatiran khalifah adalah banyak dari tentara muslim ini berubah niat dalam
melakukan perang, yaitu dari asalnya menegakkan kalimat Allah al-ulyâ,
menjadi karena faktor keduniaan, seperti karena mencari harta rampasan, dan
lain sebagainya.
2. Untuk menghindari terjadinya konflik dan perlawanan dari pribumi yang
berhasil dikuasai, sehingga mengesankan bahwa agama Islam adalah agama
penjajah.
3. Menghindari efek politis dari kalangan yang berseberangan dan muncul dari
kaum akar rumput (grassroot). Pertikaian yang terjadi antara kedua kubu Umar
dan kubu Bilal ini terjadi selama beberapa waktu lamanya, meski pada akhirnya
kubu Umar yang tampil mendominasi.
Kedua kubu mengeluarkan segenap argumennya berdasarkan Al-Qur’an dan
al-Sunnah guna mempertahankan pendapat masing-masing. Mengapa al-Sunnah?
Karena pada waktu itu, belum dilakukan kodifikasi dan penulisan hadits. Jadi,
segala sesuatu didasarkan pada kekuatan hafalan masing-masing sahabat.
Meski dalam banyak hal, Khalifah Umar memang banyak melakukan inovasi
kebijakan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang bijaksana, jenius dan agresif.
Namun, karena kejeniusannya ini, ia dikenal sebagai tokoh kontroversial di
masanya. Karena kontroversi ini pula, kelompok Syiah ekstrem (ghullat) hingga
sekarang masih tidak mau mengakui keabsahan kekhalifahan Umar ini. Bahkan
kalangan moderatnya pun juga masih menganggap Umar sebagai telah berlaku
menyimpang keluar dari rel yang sudah digariskan oleh Nabi. Sebagai contoh
adalah kasus pelarangan nikah mut’ah.
Menurut ulama kalangan Syi’ah, seperti al-Husein al-Kasyf al-Ghithâ’,
pelarangan mut’ah oleh Umar ini dianggap sebagai yang betul-betul telah
menyimpang dari syariat. Barangkali, Umar sudah dicap sebagai yang sesat karena
pelarangannya itu. Contoh tokoh yang senada dengan al-Husein al-Kasyf al-Ghithâ
adalah Al-Bahi al-Khuly. Itulah sebabnya, menurut al-Raisûnî, kebijakan Umar ini
menjadi tidak banyak dikembangkan oleh para ulama pasca-khulafâ râsyidûn. Al-
Raisuny menyebutkan dalam karyanya yang berjudul Nadhâriyyah halaman 71,
bahwa para ulama pasca-khulafâ râsyidûn menafikan kebijakan tersebut sebagai
bagian dari hujjah maslahah mereka.
Meski penafian ini tidak serta merta seratus persen, di satu sisi mereka
menolak namun di sisi lain mereka masih menggunakan istilah-istilah yang
menyerupai apa yang diterapkan oleh Umar. Hal ini tergambar dari istilah-istilah
yang acapkali dipakai untuk menetapkan maslahah mursalah ini.
Misalnya penggunaan istilah illah, hikmah, ghardl, atau maqshûd pada saat
hendak menetapkan hukum. al-Baqilâny dan Ibnu al-Hajîb dari kalangan mazhab
Mâliki juga menerapkan kaidah yang sama dengan beberapa istilah terakhir.
Adapun satu mazhab yang secara terang-terangan menolak terhadap istilah
maqâshid syarîah. Mazhab ini dikembangkan oleh Daud al-Dhâhiry.
Oleh karena itu, sesuai dengan tokohnya, mazhabnya pun disebut dengan
mazhab al-dhahiry. Mereka berpendapat bahwa teks nash Al-Qur’an dan al-Hadîts
adalah terlalu khusus apabila dikaitkan dengan fakta kontekstual lapangan yang
dipandangnya terlalu umum.
Jadi, sifat keumuman lapangan harus dibatasi oleh teks. Semangat mazhab ini
pada dasarnya adalah benar, namun berbahaya karena akan condong pada
pergolakan tanpa henti. Penyebabnya, karena masing-masing pihak bisa mengaku
sebagai yang berhak menghakimi. Dan hal inilah yang hendak dihindari oleh syariat
kita.
DAFTAR PUSTAKA

https://tfamanasek.com/kisah-di-masa-khalifah-umar-bin-khattab/

Anda mungkin juga menyukai