Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN KASUS

FARMAKOTERAPI TERAPAN

HIPERTENSI DAN DISLIPIDEMIA

Oleh :

MIFTAH SAIFUL ‘ARIFIN (182211101081)


FADHILA ISMA HUWAIDA (182211101082)
NOVA MUNIKASARI (182211101083)
FIRDAUSI ZAHRAH (182211101084)
DIAN SA’IDAH (182211101085)
ERSELLA A. NURAMITA (182211101086)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2019
HIPERTENSI

1. Definisi
Hipertensi merupakan suatu keadaan patologis dimana kondisi pembuluh darah
mengalami peningkatan secara terus menerus yang ditandai dengan tekanan darah
sistolik yang mencapai >140 mmHg dan tekanan darah diastolik >90 mmHg (WHO,
2013). Tekanan darah sistolik (TDS) yaitu nilai yang diperoleh selama jantung
berkontraksi, sedangkan tekanan darah diastolik (TDD) merupakan nilai yang diperoleh
ketika jantung berelaksasi diantara dua kontraksi.

2. Patofisiologi
Hipertensi dapat disebabkan oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder)
atau dari penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi
sekunder (<10% dari kasus) biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (CKD)
atau penyakit renovaskular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
sekunder yaitu sindrom Cushing, koarktasi aorta, obstruktif apnea tidur,
hiperparatiroidisme, pheochromocytoma, aldosteronisme primer, dan hipertiroidisme.
Selain itu hipertensi sekunder juga dapat terjadi disebabkan oleh efek samping obat-
obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti kortikosteroid, estrogen,
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin, sibutramine, siklospurin,
takrolimus, erithropoietin, dan venlafaxine (DiPiro et al, 2015).
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan hipertensi primer meliputi:
a. Kelainan humoral yang melibatkan sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS),
hormon natriuretik, atau resistensi insulin dan hiperinsulinemia
b. Gangguan pada SSP, serabut saraf otonom, reseptor adrenergik, atau baroreseptor
c. Kelainan pada proses autoregulasi ginjal atau jaringan untuk ekskresi natrium
volume plasma, dan penyempitan arteriolar
d. Kekurangan sintesis zat vasodilatasi dalam endotelium vaskular (prostasiklin,
bradikinin, dan nitrat oksida) atau zat vasokonstrik berlebih (angiotensin II,
endothelin I)
e. Asupan natrium tinggi atau kekurangan kalsium dalam makanan.
3. Klasifikasi
Pengukuran tekanan darah merupakan satu hal yang sangat utama dalam
penegakan diagnosis hipertensi. Adanya klasifikasi ini akan membantu tenaga medis
dalam rencana terapi yang akan diberikan. Klasifikasi ini ditentukan berdasarkan
tekanan sistolik dan diastolik pasien. Berikut ini klasifikasi hipertensi menurut JNC 7
untuk pasien dewasa (usia > 18 tahun). Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori
penyakit, namun pasien dengan prehipertensi memiliki potensi untuk tekanan darahnya
meningkat menjadi hipertensi. Pada tingkatan prehipertensi ini pasien tidak
memerlukan terapi obat antihipertensi, namun cukup dengan terapi non farmakologis.
Sedangkan untuk hipertensi stage 1 dan stage 2 pasien harus diberi terapi menggunakan
obat antihipertensi.

Krisis hipertensi adalah situasi klinis dimana nilai tekanan darah sangat tinggi,
biasanya >180/120 mmHg. Kategori ini termasuk dalam hipertensi darurat atau
hipertensi urgensi dimana hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah secara
ekstrim dengan atau tanpa adanya cedera organ target (DiPiro et al, 2008).
4. Penatalaksanaan Hipertensi

DISLIPIDEMIA
1. Definisi
Dislipidemia merupakan keadaan kadar lipid yang abnormal pada plasma ditandai
dengan peningkatan kadar kolestrol total, LDL, trigliserida dan penurunan HDL.
Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total
(<200mg/dL), kolesterol LDL (<100mg/dL), kenaikan kadar trigliserida (<150 mg/dL)
serta penurunan kadar HDL (>40mg/dL). Dislipidemia terbagi atas dua, dislipidemia
primer dan dislipidemia sekunder (DiPiro et al., 2015)
2. Patofisiologi
Trigliserida, kolestrol, dan fosfolipid diangkut dalam darah sebagai kompleks lipid
dan lipoprotein. Lipid dalam darah diangkut dengan 2 cara yaitu melalui jalur eksogen
dan endogen. Jalur eksogen yaitu trigliserida dan kolesterol dalam usus halus akan
diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam
lemak bebas, sedangkan kolesterol diserap sebagai kolestrol bebas. Dalam usus halus
kemudian asam lemak bebas diserap kembali menjadi trigliserida, sedangkan kolesterol
menjadi kolesterol ester kembali. Keduanya bersama dengan fosfolipid dan alipoprotein
akan membentuk kilomikron (Jim, 2013). Jalur endogen yaitu trigliserida dan kolesterol
yang di sintesis di dalam hati mengalami hidrolisis dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase
yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil (DiPiro
et al., 2009).

3. Klasifikasi
a. Primer
Dislipidemia yang disebabkan karena kelainan yang disebabkan karena kelainan
penyakit genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan kelainan kadar lipid dalam
darah.
b. Sekunder
Dislipidemia yang disebabkan oleh suatu keadaan seperti hiperkolestrolemia yang
diakibatkan oleh hipotiroidisme, sindrom nefrotik, kehamilan, dan penyakit hati
obstruktif. Hipertrigliserida disebabkan oleh diabetes mellitus, konsumsi alkohol,
gagal ginjal kronik, infark miokard, dan kehamilan (Asuhan keperawatan
dislipidemia).
STUDI KASUS

Tn. YM usia 52 tahun masuk IGD rumah sakit X, dengan keluhan kepala pusing dan
penglihatan kabur (mata kanan-kiri) 2-3 hari ini, kencing berbusa sudah 1 minggu. Pasien
mual-muntah, sesak nafas dan nyeri dada pagi ini. Pasien mengaku tidak udema. Pasien
memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol karena masalah biaya dan hanya minum ramuan
herbal. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit DM dan hiperlipidemia, tetapi pasien
mengaku pernah mengalami serangan jantung dan di rawat di puskesmas 3 tahun yang lalu.
Tanda-tanda vital pasien saat MRS : TD 210/150 mmHg, HR 105 x/menit, RR 18 x/menit,
SO2 92%.
Data laboratorium pasien saat MRS : Na 147 mEq/L, K 3,6 mEq/L, Cl 104 mEq/L, Ca
7,2 mEq/L, Glukosa acak 115 mg/dL, BUN 88 mg/dL, SCr 8,83 mg/dL, Hb 10,5 mg/dL,
HCT 30, WBC 11,14, PLT 186, CK 3,755 unit/L, Troponin-I 0,55 ng/mL, Kolesterol total
310 mg/dL, Trigliserida 257 mg/dL, LDL 100 mg/dL proteinuri (++), hematuria (+),
bakteriuri (-).
Diagnosis pasien: Krisis Hipertensi + GGA+ dislipidemia
Terapi Hipertensi saat MRS (ICU):
H 1 (14.00) : Labetalol 10 mg (iv) > 14.30 TD 190/145 mmHg > 14.50 TD 205/145 mmHg
H 1 (16.00) : Nitroprusid drip 0,25 mcg/kg/menit > 16.10 TD 202/150 mmHg
H 1 (16.30) : Nitroprusid drip 0,5 mcg/kg/menit > 16.45 TD 206/145 mmHg
H 1(16.50) : Nitroprusid drip 0,75 mcg/kg/menit > 17.10 TD 197/150 mmHg > 17.35 TD
200/149 mmHg > 17.57 TD 198/150 mmHg
H1 (18.00) : Nitroprusid drip 1,5 mcg/kg/menit > 18.15 TD 189/145 mmHg > 18.35 TD
185/142 mmHg
Terapi lain saat MRS :
Ranitidin (iv) 2x50 mg
Simvastatin (po) 1x10 mg
Furosemid (iv) 1x40 mg
Ceftriaxon (iv) 1x1 gram
Timolol tetes mata 0,5% 2x1 tetes mata kanan-kiri
Data Base Pasien (Subjective)
Usia 52 tahun
Keluhan 1. Kepala pusing dan penglihatan kabur (mata kanan-kiri) 2-3 hari
2. Kencing berbusa sudah 1 minggu
3. Mual, muntah, sesak nafas, dan nyeri dada
Riwayat penyakit Hipertensi dan serangan jantung
Riwayat obat Herbal
Catatan lain Hipertensi tidak terkontrol karena kendala biaya
Alergi obat -
Hasil Pengamatan pada Pasien (Objective)
Tanda vital saat MRS Data Pasien Rentang Normal
TD 210/150 mmHg <120/80 mmHg
HR 105 x/menit < 100x/menit (dipiro 2015)
RR 18 x/menit 14-20 x/menit
SO2 92% 95% atau lebih
Data Laboratorium Data Pasien Rentang Normal
saat MRS Na 147 meq/L 135-144 meq/L
K 3,6 meq/L 3,6-4,8 meq/L
Cl 104 meq/L 98-106 mmol/L
Ca 7,2 meq/L 8,8-10,4 mg/dL
Glukosa acak 115 mg/dL <140 mg/dL
BUN 88 mg/dL 8-20 mg/dL
SCr 8,83 mg/dL 0,7-1,3 mg/dL
Hb 10,5 mg/dL 14-17 g/dL
HCT 30 4-54%
WBC 11,14 4500-10000 sel/mm3
PLT 186 150.000-390.000 L/mm3
CK 3,755 unit/L 30-170 U/L
Troponin-I 0,55 ng/mL 0-0,5 ng/mL
Kolesterol total 310 mg/dL 150-199 mg/dL
Trigliserida 257 mg/dL <250 mg/dL
LDL 100 mg/d < 130 mg/dl
Proteinuri (++) (-)
Hematuria (+) (-)
Bakteriuri (-) (-)
Assessment
Problem
Subjective Objective Terapi obat Assessment (DRP) Plan Evaluasi
medic
Krisis Kepala TD 210/150 1. Labetalol 10 1. Furosemide dapat 1. Direkomendasikan untuk Monitoring :
hipertensi pusing, mmHg mg (i.v) menyebabkan hipokalemia menghentikan terapi furosemide tekanan darah,
penglihatan HR 105 kali 2. Nitroprusid sebesar 14-60% (Medscape, jika tekanan darah sudah dan fungsi ginjal
kabur, sesak permenit drip 0,25; 0,5; 2019) terkendali
nafas, dan 0,75; 1,5 2. Direkomendasikan pada dokter
nyeri dada mcg/kg/mnt untuk menggunakan obat
3. Furosemid golongan ACEi untuk terapi
1x40 mg rawat jalan
(i.v) 3. Terapi non-farmakologi diet
garam, mengkonsumsi makanan
4. Timolol yang mengandung kalium, dan
tetes mata memperbaiki gaya hidup
0,5% bdd
ods Tujuan terapi TD <130/80 mmHg
(JNC 7)

Mual dan Ranitidin 2x50


muntah mg (i.v)
Dislipidemia 1. Kolesterol Simvastatin - 1. Melanjutkan penggunaan terapi Monitoring :
total 310 1x10 mg (p.o) simvastatin 1x10 mg pada malam kolesterol
mg/dL hari sebelum tidur.
2. Trigliserida 2. mengurangi konsumsi makanan
257 mg/dL berminyak
3. LDL 100
mg/dL Tujuan terapi
Kadar kolesterol total <200
mg/dL
Tg : <150 mg/dL
Ldl :<100 mg/dL
Gagal Ginjal Kencing 1. BUN 88 Ceftiriaxone Pengobatan tanpa indikasi Direkomendasikan untuk
Akut berbusa mg/dL (iv) 1x1 gram menghentikan penggunaan
selama 2. SCr 8,83 ceftriaxone
seminggu mg/dL
3. CK 3,75
unit/L
4. Proteinuri
a (++)
5. Hematuria
(+)
6. Hb
7. WBC
Pembahasan :
Tuan YM berusia 52 tahun, masuk IGD Rumah Sakit X, dengan keluhan kepala
pusing dan penglihatan kabur (mata kanan-kiri) selama 2-3 hari sebelumnya. Hasil
pemeriksaan tanda vital diperoleh Tekanan Darah (TD) 210/150 mmHg, HR 105x/menit, RR
18x/menit, dan SO2 92%. Berdasarkan keluhan dan tanda vital tersebut, pasien didiagnosis
penyakit Krisis Hipertensi. Menurut Dipiro et al., (2015) tekanan darah yang melebihi
180/120 mmHg dikategorikan sebagai Krisis Hipertensi.
Keluhan pasien berupa penglihatan kabur dimungkinkan karena adanya
pembengkakan di daerah syaraf mata akibat tekanan pada otak meningkat, keluhan tersebut
disebut dengan papilledema. Umunya papilledema mengindikasikan krisis hipertensi yang
pengobatannya harus dilakukan segera (DiPiro et al., 2015). Sedangkan keluhan kepala
pusing merupakan gejala umum yang terjadi pada pasien penyakit hipertensi (Depkes RI,
2006).
Pasien diberi obat labetalol 10 mg secara intravena pada hari pertama masuk rumah
sakit. Pemberian obat labetalol sudah tepat karena merupakan pilihan terapi untuk penyakit
krisis hipertensi. Namun tekanan darah pasien malah meningkat saat diukur pada jam 14.50
(205/145 mmHg) yang mulanya sudah menurun pada jam 14.30 (190/145 mmHg).
Selanjutnya terapi dilanjutkan dengan pemberian natrium nitroprusid dengan dosis awal 0,25
mcg/kg/menit kemudian ditingkatkan secara bertahap hinga 1,5 mcg/kg/menit. Pemberian
nitroprusid sudah tepat indikasi untuk mengobati krisis hipertensi. Terapi ini diberikan
kurang lebih selama 3 hari dan hindari penghentian terapi secara mendadak dengan alasan
penurunan tekanan darah yang tidak signifikan. Pemantauan tekanan darah tetap dilakukan
selama 72-96 jam dan pemberian obat secara oral sebaiknya dilakukan setelah tekanan darah
sudah terkendali.
Terapi labetalol dan natrium nitropusid diberikan karena dapat menurunkan tekanan
darah secara terkendali. Setelah tekanan darah terkendali dapat diberikan obat antihipertensi
golongan ACEI. Salah satu obat yang dapat menjadi pilihan dari golongan ACEI adalah
Captopril dengan dosis 25 mg sehari sekali diminum pada pagi hari (PIONAS, 2019; DiPiro
et al., 2015). Selain obat-obatan tersebut, pasien juga diberikan furosemid dan ranitidine
secara intravena. Selain untuk menurunkan tekanan darah, furosemide juga dapat mengurangi
pembengkakan pada mata (papilledema) serta diberikan timolol tetes mata 0,5% untuk
mengatasi keluhan penglihatan kabur. Ranitidine diberikan untuk mengurangi mual muntah
yang merupakan efek samping dari natrium nitroprusid.
Selain terapi farmakologi, terpi non-farmakologi juga diberikan. Pasien disarankan
untuk melakukan perubahan gaya hidup dengan mengonsumsi makanan yang mengandung
kalium, pembatasan konsumsi natrium yang idealnya 1,5 g/hari (3,8 g / hari natrium klorida)
dan aktivitas fisik aerobik yang teratur.
Pasien tetap dimonitoring tekanan darah hingga mencapai tujuan terapi yaitu tekanan
darah kurang dari 130/80 mmHg dan fungsi ginjal (Dipiro et al., 2015).Berdasarkan diagnosa
dokter, Tn. YM juga mengalami dislipidemia. Hal ini didukung dengan adanya data
laboratorium yang menyatakan bahwa kadar kolesterol total 310 mg/dL, trigliserida 257
mg/dL, LDL 100 mg/dL. Dislipidemia diakibatkan oleh adanya abnormalitas peningkatan
kolesterol, trigliserida, LDL, dan penurunan HDL (DiPiro et al., 2015). Pengobatan
dislipidemia yang dipilih merupakan golongan statin. Statin dapat memberikan efek yang
bermakna dengan mereduksi konsentrasi kolesterol LDL sebesar minimum 50% sehingga
obat ini menjadi pilihan pertama baik untuk mereduksi risiko kardiovaskular maupun
menurunkan TG pada HTG yang moderat (Perki, 2017). Statin bekerja dengan menghambat
reduksi HMG-CoA yaitu enzim yang berperan pada sintesis kolesterol sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam darah.
Salah satu faktor resiko terjadinya gagal ginjal akut (GGA) yaitu dimungkinkan
karena adanya dislipidemia dan hipertensi yang sedang diderita oleh Tn. YM. Tingginya
tekanan darah akan menyebabkan timbulnya kerusakan dinding pembuluh glomerulus dan hal
ini secara progresif dapat mengurangi jumlah nefron yang berfungsi aktif. Karena terdapat
penurunan jumlah nefron yang aktif, maka nefron lain yang mempertahankan fungsi ginjal
akan bekerja lebih keras dibanding biasanya. Jika kondisi ini terjadi terus menerus maka
nefron mengalami kerusakan sehingga ginjal akan kehilangan kemampuannya dalam
menyaring darah.
Pada kasus ini selain untuk menurunkan tekanan darah, furosemide juga bermanfaat
untuk mengurangi volume cairan berlebih dalam tubuh pada pasien gagal ginjal, gagal
jantung, dan gangguan hati. Furosemide bekerja dengan menghambat reabsorbsi elektrolit
pada tubulus serta meningkatkan ekskresi air. Furosemide memiliki onset kerja yang cepat
dengan durasi yang pendek sehingga baik digunakan untuk pasien dengan disfungsi ginjal.
Proteinuria (++) dan hematuria (+) dapat diindikasikan sebagai gangguan ginjal yang dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dimana dapat memicu timbulnya bakteri.
Namun data lab menyebutkan bahwa pemeriksaan bakteriuri negatif sehingga diartikan
bahwa tidak terjadi infeksi pada ginjal pasien, oleh karena itu penggunaan ceftriaxone
dianggap sebagai DRP pengobatan tanpa indikasi. Proteinuri bernilai positif juga memicu
terjadinya kelainan pada urin, yaitu timbulnya buih ketika buang air kecil. Proteinuri yang
berlebih dapat diterapi dengan obat hipertensi golongan ACEI dimana ACEI dapat
menurunkan proteinuri bekerja dengan memodifikasi tekanan kapiler dan glomerular
permselectivity (Prabu dan Hamzah, 2015).

Daftar Pustaka
Chernecky CC & Berger BJ. 2008. Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition.
Saunders : Elsevier

Chobanian, A.V., George, L.B., Henry, R.B., William, C.C., Lee, A.G., et al. 2004. Seventh
Report Of The Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And
Treatment of High Blood Pressure. Journal Of The American Heart Association. 42:
1206-1252

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Depkes

DiPiro, J.T., Barbara, G.W., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M. dan Michael, L.P. 2008.
Pharmacotherapy A pathophysiologic Approach Seventh Edition. New York:
McGraw-Hill

DiPiro, C.V., Barbara, G.W., Terry, L.S., dan DiPiro, J.T. 2015. Pharmacotherapy Handbook
Ninth Edition. New York: McGraw-Hill

Jim, E.L. 2013. Metabolisme Lipoprotein. Jurnal Biomedik. Vol 3 no 3 hal 149-156

Noerhadi, M. 2008. Hipertensi dan Pengaruhnya Terhadap Organ-Organ Tubuh. Medikora.


Vol 4 no 2

PERKI. 2017. Panduan Tatalaksana Dislipidemia 2017. Perhimpunan Dokter Spesialis


Kardiovaskular Indonesia

Prabu, O. dan Hamzah, S. 2015. Penggunaan ACE Inhibitor untuk Mengurangi Proteinuria
pada Sindrom Nefrotik. eJKI. Vol 3 no 2

WHO. 2013. About Cardiovascular Disease. World Health Organization

Anda mungkin juga menyukai