Lahan Gambut Sawit
Lahan Gambut Sawit
Naskah diterima 22 November 2012; hasil evaluasi 7 Desember 2012; hasil perbaikan 14 Desember 2012
ABSTRAK
Lahan gambut yang mempunyai sifat mudah rusak, pemanfaatannya harus berpedoman pada upaya pengembangan lahan
berkelanjutan dengan konsep pembangunan yang “konstruktif-adaptif”. Pengalihan fungsi lahan gambut untuk keperluan lain
berdasarkan kesesuaian dan kemampuan lahan serta penggunaan teknologi yang sesuai harus menjadi dasar dalam pengembangan
lahan gambut ke depan. Dengan demikian, pemilihan teknologi dan komoditas yang tepat dan adanya upaya untuk menekan
kerusakan lahan hingga sekecil mungkin menjadi sangat penting. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang mampu
beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis lahan, termasuk lahan gambut. Dengan teknologi pengelolaan air yang tepat, disertai
peningkatan stabilitas bahan gambut dan serapan CO2 oleh tanaman pada kawasan pengembangan kelapa sawit, maka pemanfaatan
lahan gambut akan memberikan faedah yang besar, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang.
ABSTRACT
Peatlands with fragile properties should be used by following the guidance of sustainable land development with land
usages concept of “constructive-adaptive” development. Conversion of peatlands for other land usages based on land capability
and land suitability as well as the appropriate use of technology should be the basis for their future development. Thus, the selection
of suitable technologies and commodities with the attempts to reduce the land damage to the lowest level is very important. Oil palm
is one of the agricultural commodities that are able to adapt different types of land, including peatlands. With proper water
management and the efforts to increase peat stability and CO2 sequestration in the area of oil palm development, the use of
peatlands will provide a great benefit, not only for today but also for the future.
P
engertian lahan gambut telah didefinisikan 2. Lahan gambut yang mempunyai ketebalan
secara detail oleh Soil Survey Staff, >3m, berada di luar kawasan hutan dan
USDA (2003) dan Andriesse (1988). bukan sebagai kubah gambut serta luasan
Dalam makalah ini, pengertiannya hanya dibatasi pemanfaatannya berada di dalam satuan
berdasarkan “Hasil Rumusan Semiloka Nasional pemanfaatan lahan sesuai kebijakan
Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan di penggunaan lahan yang terkait dengan
Bogor tanggal 28 Oktober 2010”; ada dua butir perencanaan pembangunan daerah, masih
penting yang perlu disampaikan, sebagai berikut: dapat digunakan untuk keperluan lain
terutama untuk pertanian/perkebunan.
1. Lahan gambut dibatasi sebagai suatu area
yang ditutupi endapan bahan organik dengan Perbedaan cara pandang di dalam
ketebalaan >50 cm yang sebagian besar pemanfaatan lahan gambut telah berlangsung
belum terlapuk secara sempurna dan lama, yaitu sejak dimulainya Proyek Pembukaan
tertimbun dalam waktu lama serta Persawahan Pasang Surut (P4S) tahun 1969.
mempunyai kandungan C-organik >18%. Perbedaan menjadi lebih berkembang setelah
55
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
ada tuduhan bahwa lahan gambut telah menjadi Pendapat dari masyarakat yang setuju
salah satu sumber emisi karbon terbesar di menyatakan bahwa gambut tidak sepenuhnya
Indonesia. sebagai sumber utama emisi C dari hasil proses
dekomposisi bahan organik. Sebagian emisi C
Sebagai kelompok yang tidak/kurang
dari lahan gambut adalah bersumber dari: (i)
setuju menyatakan bahwa pemanfaatan lahan
gambut mempunyai dampak negatif terutama kontribusi perakaran tanaman (dari proses
respirasi akar tanaman yang pada tanah mineral-
terhadap lingkungan (dari emisi karbon/C) lebih
pun terjadi respirasi) yang besarannya terhadap
besar daripada yang positifnya untuk
fluks CO2 total dari lahan gambut berkisar antara
masyarakat. Pendapat mereka didasarkan pada
55-65% (Knorr et al., 2009), dan (ii) dari hasil
simpanan C di dalam bahan gambut yang
memiliki potensi sangat besar terjadinya emisi C. kebakaran yang tidak terkontrol. Pada dasarnya,
lahan gambut dengan pengelolaan yang baik
Hooijer et al. (2011) menduga kehilangan C rata-
rata selama kurun waktu 25 tahun terakhir (melalui best management practices) dapat
memberikan dampak positif terhadap
sebagai akibat pengembangan lahan gambut
dengan cara didrainase (berdasarkan hasil peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat, terutama dari sub-sektor
perhitungan mereka) sekitar 100 t CO2/ha/tahun,
perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut
walaupun hasil perhitungan emisi CO2 tersebut
merupakan salah satu target utama dalam
menurut penulis terlalu besar. Argumentasi
pengembangan lahan gambut di Indonesia,
mereka dalam menghitung kehilangan karbon
tersebut didasarkan pada hasil pengukuran sebagai dorongan kebutuhan yang bersumber
pada komitmen bangsa terhadap pembangunan
subsiden lahan gambut yang dianggap sebagai
kehilangan karbon organik. Padahal subsiden sosial-ekonomi melalui peningkatan produksi dan
penyediaan lapangan kerja.
adalah fungsi dari pemadatan bahan gambut
(compaction), erosi, dan dekomposisi bahan
organik. Kontribusi kehilangan karbon dari
Dinamika perubahan penggunan lahan
proses dekomposisi terhadap subsiden adalah
di wilayah pengembangan kelapa sawit
paling kecil dibanding dengan yang disebutkan
dua pertama.Oleh karena itu, masyarakat yang Pengembangan perkebunan kelapa sawit di
tidak setuju menuntut agar pemanfaatan lahan Indonesia selama 20 tahun terakhir (1990-
gambut di Indonesia harus dihentikan. 2010) dapat dilihat dalam Tabel 1. Pada tahun
56
Supiandi Sabiham dan Sukarman : Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit
2010 luas lahan gambut yang dimanfaatkan untuk kelapa sawit dan HTI. Pertama,
untuk perkebuanan kelapa sawit di Sumatera, aksesibilitas dalam lingkup nasional dan
meningkat lebih dari enam kali dibanding pada internasional, Sumatera jauh lebih baik daripada
tahun 1990, sedangkan di tanah mineral Kalimantan dan Papua. Kedua, kemungkinan
peningkatannya hanya sekitar 3,5 kali. Di lahan tanah mineral di Sumatera sudah terbatas
Kalimantan juga terjadi peningkatan cukup dibandingkan dengan yang ada di Kalimantan
signifikan namun dalam luasan yang tidak dan Papua.
sebesar seperti di Sumatera, sedangkan di Papua Dari Tabel 1 dan 2 dapat dikemukakan
peningkatan pemanfaatan lahan gambut untuk bahwa kelapa sawit merupakan salah satu
komoditas yang sama relatif lebih lambat dan
komoditas unggulan masyarakat yang dapat
dalam luasan yang lebih kecil dibanding dengan
diusahakan pada lahan gambut dalam rangka
di Sumatera dan Kalimantan.
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukti
Terkait dengan dinamika perubahan menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan
penggunaan lahan pada lahan gambut seperti kelapa sawit di lahan gambut telah memberikan
terlihat dalam Tabel 2, dapat dikemukakan sumber pendapatan yang cukup signifikan (Tabel
bahwa lahan gambut di Sumatera yang 3). Namun demikian, perlu diwaspadai bahwa
digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan
konversi lahan pertanian pangan ke perkebunan
hutan tanaman industri (HTI) sejak tahun 2000
(terutama kelapa sawit) pada tingkat petani akan
hingga 2010 meningkat tajam, disertai
menjadi lebih besar, seperti yang terjadi di
menurunnya luas lahan yang digunakan
beberapa tempat di Sumatera, apabila tidak ada
komoditas lainnya. Di Kalimantan, walaupun
kontrol yang jelas dan tegas dari pemerintah.
dalam luasan yang lebih kecil dibanding dengan
di Sumatera, peningkatan luas perkebunan Penelitian di Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten
kelapa sawit pada tahun 2010 adalah sekitar 8 Siak, Riau, dan daerah Delta Berbak, Jambi
(delapan) kali luasan pada tahun 2005. HTI pada selama periode tahun 2009-2011 menunjukkan
lahan gambut di Kalimantan hingga tahun 2010 sudah banyak lahan sawah dikonversi oleh para
tidak terlihat adanya peningkatan yang petani, termasuk oleh petani transmigran,
signifikan, sedangkan di Papua perkebunan menjadi kebun kelapa sawit (Sabiham, 2012).
kelapa sawit dan HTI tidak berkembang. Paling Alasan merubah penggunaan lahan menjadi
sedikit ada dua alasan, kenapa lahan gambut di kebun sawit terutama karena usaha padi sawah
Sumatera banyak dikonversi ke perkebunan kurang menguntungkan (Tabel 3).
Tabel 2. Dinamika perubahan penggunaan lahan (land use) pada lahan gambut di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua selama kurun waktu tahun 2000 sampai 2010*)
Sumatera Kalimantan Papua
Penggunaan lahan
2000 2005 2010 2000 2005 2010 2000 2005 2010
............................................. x 1.000 ha .............................................
Hutan 507,3 500,7 425,0 2.351,8 2.213,9 1.971,0 5.925,6 5.657,1 5.441,8
Hutan terganggu 2.501,8 2.016,6 1.662,7 1.150,7 1.172,2 1.142,8 257,7 434,2 617,9
Pertanian 1.411,1 1.210,2 1.184,0 472,5 570,0 643,3 16,6 16,8 18,4
Lahan terlantar 1.864,0 2.117,9 1.994,9 1.801,6 1.798,6 1.727.7 972,3 1.045,5 1.122,4
Kelapa sawit 703,9 1.012,0 1.396,7 19,3 38,7 307,5 - 1,3 1,7
HTI**) 82,9 215,7 416,8 2,8 5,4 6,4 10,5 10,6 10,6
Badan air/rawa 89,7 88,8 84,5 24,5 24,5 24,5 550,3 566,8 517,5
Bangunan, dan lain- 68,7 67,6 65,0 7,0 7,0 7,0 26,4 27,1 29,0
lain
*)
Dihitung dari Tropenbos International – Indonesia [2012]
**)
HTI: Hutan tanaman industri
57
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
Karakteristik lahan gambut bahan organik, dan (iii) kehilangan sebagian dari
pada perkebunan kelapa sawit air gambut. Kondisi demikian mengakibatkan
terjadinya penurunan permukaan lahan subsiden
Karakateristik lahan gambut di perkebunan
atau subsidence, walaupun penyebabnya
kelapa sawit dicirikan oleh kondisi aerobik pada
sebagian besar karena proses pemadatan bahan
ketebalan 40 sampai 70 cm bagian permukaan
lahan. Hal ini terjadi setelah dibangun saluran gambut. Besaran subsiden ini oleh Hooijer
drainase untuk menyediakan kondisi yang (Hooijer et al., 2011) telah dijadikan dasar untuk
memungkinkan bagi pertumbuhan kelapa sawit. menghitung besaran emisi karbon (C) dari lahan
gambut. Cara perhitungan tersebut sangat keliru
Permukaan air di saluran utama selalu di-
karena hanya proses dekomposisi saja yang
pertahankan pada kedalaman 60 sampai 70 cm
di bawah permukaan lahan, dengan harapan menyebabkan terjadinya emisi karbon,
muka air tanah di pertanaman sawit berkisar sedangkan faktor pemadatan dan hilangnya
antara 40 sampai 60 cm, walaupun kenyataan sebagian air gambut tidak menyebabkan emisi
di lapangan (berdasarkan hasil pengukuran karbon.
dengan Piezometer) sangat tergantung dari Karakteristik penting yang lain dari lahan
curah hujan dan kondisi lingkungan setempat gambut adalah kandungan bahan mineral (dalam
(Gambar 1). persen kadar abu). Bahan gambut dengan kadar
Kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat abu yang bervariasi (Tabel 4) mencirikan
lahan didrainase sangat berpengaruh terhadap kandungan C-organiknya (dalam persen C) juga
proses: (i) pengeringan dan pengerutan/ bervariasi. Gambut tropika pada umumnya
pemadatan bahan gambut, (ii) dekomposisi mengandung C-organik sekitar 18 sampai 55%
58
Supiandi Sabiham dan Sukarman : Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit
dengan rata-rata antara 30 sampai 45% (w/w). Dinamika C dan emisi CO2 yang terukur
Apabila mengasumsikan C-organik rata-rata dari lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit
>50% akan menghasikan perhitungan emisi
Cadangan C dalam gambut bervariasi dari
CO2 menjadi sangat tinggi dan tidak realistis, 30 sampai 70 kg C/m3 (Agus et al., 2010), atau
seperti yang telah dilakukan Hooijer (Hooijer et sekitar 300 sampai 700 t C/ha per meter
al. 2011). kedalaman gambut. Kandungan C dalam tanah
Karakteristik lahan gambut terkait dengan mineral yang terkonsentrasi pada 20 sampai 25
cm bagian permukaan tanah tidak pernah
tingkat kesuburan tanahnya adalah dicirikan oleh
melebihi 250 t/ha. Gambut di Sumatera dan
kandungan unsur hara rata-rata yang rendah Kalimantan di prediksi mempunyai cadangan C
(Tabel 4). Masalah kesuburan tanah dapat bervariasi dari 2.000 sampai 3.000 t/ha
diatasi dengan upaya pemupukan yang tepat. (Wahyunto et al., 2004; 2005), mengindikasikan
Isu tanah miskin tidak hanya pada gambut, pada bahwa gambut di dua pulau tersebut berpotensi
sebagai sumber emisi C yang sangat tinggi.
tanah mineral pun saat ini umumnya miskin.
Oleh karena itu upaya pemberian pupuk untuk Kehilangan C dapat terjadi melalui proses
tanah-tanah di Indonesia (tanah mineral dan reduksi dan oksidasi, masing-masing dalam
bentuk CH4 dan CO2. Proses ini merupakan
tanah gambut) sangat diperlukan. Kandungan
bagian dari dinamika C pada lahan gambut.
unsur hara yang rendah dapat mengakibatkan Namun, pada kawasan perkebunan kelapa sawit,
stabilitas gambut juga rendah, sehingga bahan emisi CH4 sangat kecil (IPB-BBSDLP, 2011),
gambut menjadi mudah rusak/fragile. karena pada 40 sampai 60 cm bagian
permukaan lahan berada dalam keadaan
Pada perkebunan kelapa sawit,
oksidatif. Dengan demikian emisi C dari lahan
pemupukan selalu dilakukan secara rutin. Selain gambut paling besar pada kawasan tersebut
pemupukan N, P, K tetapi juga pemberian kation adalah CO2. Sebagai sumber utama gas CO 2 dari
basa (Ca dan Mg) dan unsur mikro Cu, Zn, dan lahan gambut berasal dari hasil proses oksidasi
Fe dilakukan secara regular, yang tidak hanya asam organik. Orlov (1995) dan Stevenson
bermanfaat untuk tanaman tetapi juga (1994) melaporkan bahwa grup fungsional –
COOH dan metoksi (–OCH3) dalam asam organik
meningkatkan stabilitas bahan organik di dalam
merupakan sumber utama emisi CO2. Melalui
gambut melalui pembentukan “ikatan-komplek
proses oksidasi, bentuk –COOH menjadi bentuk
organo-kation” (interaksi derivat asam organik CO2 dan H2O; sedangkan dari –OCH3 pelepasan
dengan cation) (Mario dan Sabiham, 2002). CO2 terjadi saat perubahan –OCH3 menjadi –OH
Tabel 4. Tingkat dekomposisi gambut, kandungan unsur hara P dan K, serta kadar abu pada 40
cm lapisan atas lahan gambut di perkebunan kelapa sawit
Tingkat dekomposisi Jumlah Kadar abu a P2O5 b K2O b
Lokasi
gambut sampel (n) Av. Max Av. Tt C
Av. Tt d
Kalimantan Barat ........ % ........ ............ mg/100g ............
Kapuas Hulu Saprik – Hemik 23 2,31 2,76 9,1 50 9,2 26
Ketapang Hemik – Saprik 5 0,89 1,78 7,2 19 11,4 35
Kalimantan Tengah
Seruyan Saprik 46 2,54 4,92 12,4 50 14,8 38
Kotawaringin Barat Saprik 6 3,26 6,05 12,7 34 16,5 30
Sumber: Sabiham et al. 2012
Catatan: Max = maksimum; Av. = rataan; a) Berdasarkan metode loss on ignition; b) Diekstrak dengan HCl
25%.
c&d
) Tt = kandungan P2O5 dan K2O tertinggi yang banyak ditemukan di bagian permukaan lahan gambut.
59
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
selama proses pembentukan fenol-OH ber- Strategi pengelolaan lahan gambut untuk
langsung. perkebunan kelapa sawit
Dari hasil pengukuran konsentrasi CO2
Potensi lahan gambut
pada lahan gambut (menggunakan metoda
chamber) dengan portable gas chromatography
Di Indonesia, luas lahan gambut yang
dan perhitungan emisi CO2 yang menggunakan sesuai (bersyarat) untuk usaha pertanian saat ini
rumus USEPA (1990), diperoleh besaran emisi adalah sekitar 9 juta ha (Noor, 2010) dari luas
CO2 (Tabel 5). Pengukuran dilakukan pada 144 lahan gambut keseluruhan sekitar 15 juta ha.
titik pengamatan yang tersebar pada beberapa Sementara yang sudah dibuka dan dikembang-
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat kan baru sekitar 0,5 juta ha untuk pertanian
dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan Tabel 5 tanaman pangan yang dikelola oleh penduduk
diperoleh bahwa rata-rata emisi CO2 dari lahan lokal serta petani transmigran umum dan
gambut di beberapa perkebunan kelapa sawit spontan, dan 1,2 juta ha untuk perkebunan
bervariasi tergantung pada keadaan lokasi. (terutama kelapa sawit). Potensi yang besar ini
menjadi sangat prospektif untuk membantu
Lahan gambut di kawasan Perkebunan-1 dalam mengatasi masalah pencari kerja yang
dan -2 mengemisikan CO2 (rata-rata) sangat mencapai 116 juta jiwa dan penganggur 8,6 juta
rendah; hal ini disebabkan kandungan arang jiwa (Kompas, 4 Oktober 2010). Dari hasil
(charcoal) di dalam gambut cukup tinggi sebagai penelitian Noor (2010) diperoleh bahwa dalam
hasil kebakaran selama musim kering yang pengembangan kebun dan industri minyak
panjang (El-Nino) pada periode tahun 2007 kelapa sawit di lahan gambut dapat memberikan
sampai 2008. Arang dapat menyerap asam kesempatan kerja sebanyak 1 (satu) orang per 4
ha. Berarti untuk kegiatan on-farm dan off-farm,
organik sehingga mampu menurunkan emisi CO2
dari seluas 1,2 juta ha lahan gambut yang sudah
(Hadi et al. 2012) dengan cukup signifikan.
dikembangkan dapat menyerap 300.000 orang
Seperti di dua kawasan perkebunan tersebut di tenaga kerja.
atas, emisi CO2 di Perkebunan-6 juga relatif
Selain itu pengembangan pertanian di
rendah, hanya saja sebagai penyebabnya adalah
lahan gambut telah memberikan sumber
bahan mineral dalam gambut cukup tinggi.
pendapatan yang cukup signifikan (Tabel 3). Ini
Bahan mineral yang mengandung >3% Fe2O3 berarti bahwa manfaat dari lahan gambut sudah
sebagai sumber Fe(III), dapat berinteraksi banyak dirasakan oleh sebagian besar
dengan bahan organik membentuk ikatan masyarakat, baik masyarakat di kebun maupun
komplek yang lebih stabil, sehingga bahan di luar kebun. Sebagai tantangan ke depan
organiknya tidak mudah terdekomposisi. adalah mencari strategi pengelolaan lahan
60
Supiandi Sabiham dan Sukarman : Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit
gambut yang lebih baik agar manfaat dari lahan Selama periode tahun 2000-2006, pada
tersebut menjadi lebih besar lagi dan ber- sebagian lahan gambut di Kalimantan dan
kesinambungan. Sumatera telah terjadi beberapa kali kebakaran
yang cukup luas. Salah satu di antaranya terjadi
Permasalahan yang dihadapi pada tahun 2002 di Kalimantan Tengah (Gambar
3). Sampai saat ini, teknologi pencegahan
Akhir-akhir ini, permasalahan serius yang kebakaran sedang terus diupayakan.
dihadapi dalam pemanfaatan lahan gambut
adalah adanya isu lingkungan terkait emisi CO 2 Akhir-akhir ini masalah kehilangan
yang dianggap pengaruhnya terhadap lingkungan cadangan C dari lahan gambut sering dikaitkan
global sangat signifikan. Di Indonesia, isu dengan kegiatan alih fungsi lahan, dengan
tersebut telah dipertajam oleh laporan tentang tuduhan bahwa alih fungsi lahan ke penggunaan
emisi CO2 yang tinggi selama dua dekade untuk pertanian/perkebunan yang terjadi adalah
terakhir ini (Hooijer et al., 2011). Kondisi ter- berasal dari hutan. Sebenarnya berdasarkan
sebut telah menimbulkan adanya tekanan ter- fakta, seperti terlihat di dalam Tabel 2, dapat
hadap Pemerintah Indonesia untuk menurunkan dikemukakan bahwa perubahan pengggunaan
emisi CO2 secara nasional. Akibatnya, pihak lahan gambut ke usaha pertanian tanaman
pemerintah mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun pangan dan perkebunan lebih banyak berasal
2011 tentang Penundaan Izin Baru Pemanfaatan dari hutan yang sudah rusak/terbuka (degraded
Lahan Hutan Primer dan Lahan Gambut. Untuk
forest).
lahan gambut, penundaan ijin baru tersebut lebih
popular dikenal sebagai “Moratorium Lahan
Alternatif model pemanfaatan lahan gambut untuk
Gambut”.
perkebunan kelapa sawit
Namun demikian, menurut Tim dari
Bappenas (2011), bahwa rata-rata emisi selama Dari uraian di atas dapat dikemukakan
periode tahun 2000 sampai dengan 2006 yang bahwa pada hakikatnya lahan gambut
diduga sekitar 928 Mt CO2/tahun, yang paling memberikan kemaslahatan bagi kehidupan umat
besar bersumber dari kebakaran dan hilangnya manusia. Kemudharatan yang sering dirasakan
biomasa dan kerusakan hutan yaitu sekitar 552 sebagian masyarakat pada dasarnya akibat
Mt CO2/tahun (Gambar 2). Sisanya berasal dari kekeliruan manusia dalam memilih teknologi
hasil oksidasi bahan organik. pemanfaatan sumberdaya lahan tersebut.
61
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
Gambar 3. Kebakaran pada lahan gambut di Kalimantan Tengah yang terjadi tahun 2002
Dalam menetapkan pilihan teknologi untuk air tanah cukup berpengaruh terhadap besaran
pemanfaatan lahan gambut sering para penge- emisi CO2 yang terjadi. Dalam penelitian tersebut
lola kurang mendasarkan pada kemampuan daya yang dilakukan pada awal musim hujan, dimana
dukung (bearing capacity) dari lahan tersebut, kedalaman muka air tanah lebih dari 1 m,
sehingga hasil kegiatan menjadi kurang atau didapatkan bahwa, semakin tinggi kandungan air
bahkan menjadi tidak bermanfaat, baik manfaat dalam gambut maka emisi CO2 yang terjadi
untuk saat ini maupun masa mendatang. semakin rendah.
Kemudharatan dari lahan gambut adalah karena
Hasil yang menarik dari penelitian Tim IPB-
mudah rusak apabila keliru di dalam pengelolaan-
BBSDLP (2011) menunjukkan bahwa bahan
nya (WWF, 2008), sedangkan masyarakat yang mineral dalam gambut (kadar abu) yang
berada di daerah yang didominasi lahan gambut
mengandung Fe2O3 relatif tinggi (>3%)
berpandangan bahwa lahan tersebut merupakan mempunyai korelasi sangat nyata dengan emisi
aset yang harus diusahakan untuk kegiatan
CO2, seperti terlihat dalam Gambar 4.
produksi. Dalam kaitannya dengan dua pandang-
an tersebut, Sabiham et al. (2012) telah mengu-
sulkan beberapa skenario untuk menurunkan
emisi CO2 dengan tetap mempertahan
produktivitas lahan pada level yang optimum.
62
Supiandi Sabiham dan Sukarman : Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit
Model pemanfaatan lahan gambut untuk E = ƒ(acp, ucc)gwt, gso ..................................................... (2)
perkebunan kelapa sawit
Catatan: Mengingat jumlah pohon sawit per ha
adalah 136, maka lahan gambut yang harus dikelola
Dari tiga faktor dominan yang mampu
dengan penambahan bahan mineral hanya 136 x 20
mempengaruhi terhadap penurunan emisi CO2 m2 = 2.720 m2/ha; nilai 20 m2 adalah luas piringan
dengan mempertahankan tingkat produksi atau tanaman sawit.
pertumbuhan kelapa sawit yang optimum, maka
dapat diusulkan model pemanfaatan lahan Dari seluas 2.720 m2 yang diberi bahan
gambut yang sesuai. Oleh karena banyaknya
mineral yaitu pada piringan tanaman sawit,
CO2 yang diserap kelapa sawit tergantung pada
maka luas tanaman penutup tanah yang harus
umur tanaman, seperti terlihat di dalam Tabel 6,
dipertahankan untuk meningkatkan serapan CO 2
maka model pemanfaatan lahan gambut melalui
dalam setiap hektarnya adalah sekitar 7.280 m 2.
penuruanan emisi CO2 diusulkan sebagai berikut:
Untuk meningkatkan dan mempertahankan
E = ƒ(gwt, acp, ucc)gso ............................ (1) produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit
pada tingkat yang optimum, maka pemeliharaan
dimana :
tanaman melalui upaya pemupukan dan
E = Pengelolaan lahan gambut melalui upaya
pemberantasan hama-penyakit tanaman mutlak
penurunan emisi CO2 (t/ha/tahun)
diperlukan. Pada dasarnya kegiatan yang terakhir
gwt = Pengelolaan air melalui pengaturan
permukaan air tanah (cm) ini telah dilakukan dengan baik oleh pelaku
acp = Pengelolaan kadar abu dengan penambahan perkebunan sesuai dengan dosis dan cara
bahan mineral (mg/100g) atau dalam % pemberian yang direkomendasikan.
Tabel 6. Cadangan C pada pertanaman kelapa sawit di atas lahan gambut dan
tanah mineral pada berbagai umur tanaman
Cadangan C
No. Lahan Hutan Kelapa sawit
Primer Terganggu <6 tahun 9-12 tahun 14-15 tahun
.......................................... t C/ha ..........................................
1. Gambut 81,8 57,3 5,8 54,4 73,0
2. Tanah mineral 268,1 61,8 6,8 63,9 79,5
63
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
64
Supiandi Sabiham dan Sukarman : Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit
Hooijer , A., S. Page, J. Jauhainen, W.A. Lee, Rina, Y., Ar-Reza, dan M. Noor. 2008. Profil
X.X. Lu, A. Idris, and G. Anshari. 2011. sosial ekonomi dan kelembagaan petani
Subsidence and C loss in drainage di Dadahup, Kalimantan Tengah.
tropical peatlands: Redusing uncertainty Prosiding Seminar Nasional Padi di
and implication for CO2 emission Sukamandi, tgl 23-24 Juli 2008
reduction options. Biogeoscience
Discuss. 8:9311-9356. Sabiham, S., S.D. Tarigan, Hariyadi, I. Las, F.
Agus, Sukarman, P. Setyanto and
IPB-BBSDLP. 2011. Mitigation plan and Wahyunto. 2012. Organic carbon
mitigation action on oil palm plantation storage and Management strategies in
in peatlands of Central and West reducing carbon emission from
Kalimantan. Final Report. Collaborative peatlands. Pedologist (2012):246-254.
research between PT Smart Tbk and IPB-
BBSDLP. Sabiham, S. 2000. Kadar air kritis gambut
Kalimantan Tengah dalam kaitannya
Knorr, K.H., M.R. Oosterwoud, and C. Blodau. dengan kejadian kering tidak-balik. J.
2009. Experimental drought alters rates Tanah Trop. 11:21-30.
of soil respiration and methanogenesis
but not carbon exchange in soil of a Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil
temperate fen. Soil Biol. Biochem. Taxonomy. Ninth Edition. Natural
40:1781-1791. Resources Conservation Service. United
States Dapartment of Agricultural.
Mario, M.D. dan S. Sabiham. 2002. Penggunaan
tanah mineral yang diperkaya oleh bahan Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry.
berkadar Fe tinggi sebagai amelioran Genesis, composition, reaction. A
dalam meningkatkan produksi dan Wildey-Inter science Publ. 2nd Edition.
stabilitas gambut. J. Agroteksos 2(1): NY.
35-45.
Sukarman, Suparto, Hikmatullah, dan M. Ariani.
Noor, M. 2010. Peningkatan produktivitas lahan 2011. Identifikasi dan Karakterisasi
gambut dan perluasan lapangan kerja. Tanah Gambut Sebagai Dasar Mitigasi
pp: III-1–III.20. Dalam Prosiding Emisi Gas Rumah Kaca Di Perkebunan
Semiloka Nasional Pemanfaatan Lahan Kelapa Sawit. Laporan Penelitian
Gambut Berkelanjutan untuk Kerjasama BBSDLP dengan Kemenristek.
Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Balai Besar Penelitian dan
Pembangunan Daerah. PSP3-Dept.ITSL, Pengembangan Sumberdaya Lahan
IPB. Bogor, 28 Oktober 2010. Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Tropenbos International-Indonesia. 2012. Kajian
Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam penggunaan lahan gambut di Indonesia:
pemanfaatan lahan gambut untuk
Perkembangan pembangunan kebun
pertanian di Kalimantan. Dalam Mukhlis
kelapa sawit pada lahan gambut di
et al. (eds) Kearifan Lokal Pertanian di
Indonesia. Bahan presentasi pada
Lahan Rawa. BBSDLP-BALITTRA. Bogor.
Seminar Nasional “Lahan Gambut:
Orlov, D.S. 1995. Humic substances of soils Maslahat atau Mudharat?” yang
and general theory of humification. AA. diselenggarakan oleh FORWATAN di
Balkema Publ. USA. Jakarta, pada tgl. 15 Maret 2012.
65
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012
USEPA, United State Environmental Protection Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.
Agency. 1990. Greenhouse gas 2004. Map of peatland distribution and
measurement from agriculture. its C content in Kalimantan. Wetland
Int’l – Indonesia Programme and Wildlife
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
2005. Peatland distribution and its C
content in Sumatra and Kalimantan. WWF. 2008. Deforestation, forest degradation,
Wetland International - Indonesia biodiversity loss and CO2 emissions in
Programme and Wildlife Habitat Canada. Riau, Sumatera, Indonesia. WWF
Bogor, Indonesia. Indonesia Technical Report. www.wwf.
or.id.
66