ARTIKEL ASLI
ISSN 2614-0276 | E-ISSN 2614-0284
1
Residen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
2
Neurolog Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
3
Neurolog RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
ABSTRAK
Latar Belakang: Peningkatan tekanan darah umum stroke perdarahan berdasarkan hasil pemeriksaan
terjadi pada fase akut stroke dan berhubungan dengan Computed Tomography (CT)-Scan kepala.
luaran klinis yang buruk. Hasil yang bervariasi Hasil: Terdapat 69 subjek penelitian dengan proporsi
ditunjukkan oleh studi terhadap tekanan darah pada terbanyak laki laki (60,8%). Analisis bivariat
fase akut stroke sebagai prediktor luaran klinis pasien. menunjukkan nilai rerata sistolik (190,5 (±30),
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan tekanan darah p=0,00), rerata diastolik (109 (±19,6), p=0,00), rereata
pasien saat masuk rumah sakit terhadap mortalitas Mean Arterial Pressure (MAP) (136 (±21,1), p=0,00)
pasien dengan stroke perdarahan di Rumah Sakit dan median Glukosa Darah Puasa (GDP) (115 (67-
Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito. 298), p=0,032) bermakna secara statistik terhadap
Metode Penelitian: Metode penelitian menggunakan kematian pasien dengan stroke perdarahan. Uji
rancangan cohort retrospective dengan analisis multivariat menunjukkan MAP memiliki korelasi
independent sample T-Test dan Mann Whitney. Subjek positif terhadap mortalitas pasien (r=0,274: p=0,000).
penelitian adalah pasien yang dirawat di RSUP Dr. Simpulan: Nilai MAP berhubungan dengan mortalitas
Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari 2017 hingga pada pasien dengan stroke perdarahan.
Juni 2017. Subjek penelitian didiagnosis mengalami
Kata Kunci: stroke perdarahan, tekanan darah masuk rumah sakit, mortalitas
ABSTRACT
Background: Elevated blood pressure is common scan who were hospitalized patients from January 2017
during an acute stroke and is associated with to June 2017 was our study subject.
unfavorable clinical outcome. Previous studies have Result: There were 69 subjects with the largest
shown variable results regarding the prognostic value proportion is male (60.8%). In bivariate analysis,
of high blood pressure in acute stroke. systolic mean value (190.5 (±30), p=0.00), diastolic
Purpose: To investigate relation between blood mean value (109(±19.6), p=0.00), Mean Arterial
pressure admission and patient mortality due to Pressure (MAP) (136 (±21.1), p=0.00) and median
hemorrhage stroke in Dr. Sardjito Central General fasting glucose (115 (67–298), p=0.032) were
Hospital. statistically significant to hemorrhage stroke patient
Method: This study was conducted using cohort mortality. The multivariate analysis showed MAP has
retrospective design with independent sample t test and positive correlation with mortality (p=0.000 r=0.274).
Mann Whitney analysis. The hemorrhage stroke Conclusion: The MAP is related to hemorrhage stroke
patients based on head Computed Tomography (CT)- patient mortality.
Key words: hemorrhage stroke, blood pressure admission, mortality, Mean Arterial Pressure
ABSTRAK
Latar Belakang: Komplikasi neurologis pasca tindakan Hasil: Sebanyak 1.409 pasien yang menjalani prosedur
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) jarang PCI hanya 34 (2,4%) pasien yang mengalami defisit
terjadi, namun berkaitan dengan mortalitas dan neurologis dan didiagnosis sebagai stroke. Diagnosis
morbiditas tinggi. Defisit neurologis berupa gangguan terbanyak adalah stroke infark pada 33 (97,1%) pasien.
gaya berjalan dan cacat visual akibat infark lobus Sebanyak 25 (73,5%) pasien mengeluhkan gejala
oksipital dan serebelar paling sering terjadi, dan multipel sedangkan 9 (26,5%) bergejala tunggal.
terkadang tidak disadari oleh para ahli jantung. Defisit neurologis tersering adalah defisit motorik (25
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran defisit pasien) dan penurunan kesadaran (11 pasien).
neurologis yang terjadi pada pasien Sindrom Koroner Pemeriksaan Computed Tomography (CT)-scan kepala
Akut (SKA) setelah tindakan PCI di Rumah Sakit menunjukkan lesi multipel pada 21 (61,8%) pasien.
Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito. Lokasi lesi terbanyak terjadi di lobus parietalis pada 11
Metode: Studi deskriptif data rekam medis pasien SKA pasien. Sirkulasi anterior (74%) lebih banyak terlibat
yang mengalami defisit neurologis saat dan pasca dibandingkan sirkulasi posterior (26%).
prosedur PCI yang dikonsulkan ke Bagian Neurologi Simpulan: Defisit neurologis setelah tindakan PCI
RSUP Dr. Sardjito pada Januari 2016 hingga Juni bervariasi, terbanyak adalah defisit motorik dan
2017. penurunan kesadaran.
Kata Kunci: defisit neurologis, stroke, sindrom koroner akut, percutaneous coronary intervention
ABSTRACT
Background: Neurologic complication after Result: There were 34 (2.4%) out of 1,409 PCI
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) procedure procedure patients who suffered neurological deficit
are rare but associated with high rates of mortality and and diagnosed as stroke. Infarction stroke was
morbidity. Visual field defects and gait abnormalities dominant diagnosis (97%). There were 25 (73.5%)
related to occipital lobe and cerebellar infarctions patients had multiple symptoms, and only 9 (26.5%)
sometimes unrecognized by cardiologist. patients had single symptom. Motoric dysfunction was
Purpose: To know the description of neurologic deficit the most complaint symptom (25 patients) then
in Acute Coronary Syndrome (ACS) patient after decrease of consciousness (11 patients). Motoric
conducted PCI procedure at Dr Sardjito Central deficit was dominant, in 25 patients. The head
General Hospital. Computed Tomography (CT)-scan revealed multiple
Method: Descriptive study to patients’ medical lession in 21 (61.8%) patients. It mostly located at
records who were diagnosed as ACS who experienced parietal lobe (11 patients). Anterior circulation (74%)
neurologic deficit related PCI procedure and consulted was more affected than the posterior.
to Neurology Department in January 2016 to June Conclusion: Neurological deficit after PCI procedure
2017. may be vary. Motoric deficit were dominant followed
by decrease of consciousness.
Key words: neurological deficits, stroke, acute coronary syndrome, percutaneous coronary intervention
Semenjak kateterisasi jantung dan prosedur Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
Primary Percutaneous Coronary Intervention gamb i aran defisit neurologis yang terjadi pada
(PCI) ditetapkan sebagai prosedur diagnosis dan pasien SKA pasca tindakan PCI di Rumah Sakit
terapi intervensi penyakit arteri koroner, Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito.
penggunaannya meningkat secara dramatis
dalam 30 tahun terakhir. Prosedur PCI Metode Penelitian
merupakan metode untuk mencapai reperfusi Penelitian deskriptif retrospektif terhadap data
optimal pada pasien dengan Sindrom Koroner sekunder yang bersumber dari catatan medik di
Akut (SKA). Prosedur ini dianggap aman karena Instalasi Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito.
insidensi efek simpang kejadian terkait kardiak Subjek adalah pasien SKA yang dikonsulkan ke
maupun serebrovaskular mayor kurang dari 1% Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito pada bulan
dari semua prosedur kateterisasi jantung Januari 2016 hingga Juni 2017 yang mengalami
diagnostik, dan hanya berkisar 2,5% dari semua defisit neurologis pasca prosedur PCI.
tindakan PCI.1,2 Penelitian ini, memfokuskan defisit neurologis
Prosedur PCI merupakan prosedur invasif karena simptomatik, sehingga akan dilakukan
melibatkan stres mekanikal pada sistem vaskular penelusuran berdasarkan tanda dan gejala yang
arteri terkait manipulasi kateterisasi. Hal tersebut dibagi menjadi tunggal dan multipel. Begitu pula
dapat menjadi kausa mayor emboli serebral dengan gambaran hasil Computed Tomography
selama kateterisasi jantung.2 Laporan-laporan (CT)-Scan kepala akan dikelompokan menjadi
insidensi stroke pada pasien yang menjalani PCI lesi tunggal dan multipel.
berkisar antara kurang dari 1% (bertingkat dari
0,18% hingga 0,44%) pada register yang Hasil Penelitian
berbeda.2 Insidensi yang rendah menjadikan Tercatat 1.409 pasien SKA yang telah melakukan
sulitnya penilaian terhadap prediktor dan prosedur PCI dengan 34 (2,4%) pasien
implikasi klinis dari komplikasi mayor terkait mengalami defisit neurologis sehingga
PCI. 2,3 dikonsulkan ke Bagian Neurologi RSUP Dr
Prosedur PCI yang dilakukan pada kasus SKA Sardjito. Seluruh pasien tersebut didiagnosis
menyebabkan peningkatan risiko komplikasi sebagai stroke, dengan 33 (97,1%) pasien
serebrovaskuler dan komplikasi secara umum. diantaranya mengalami stroke infark, sedangkan
Komplikasi neurologis pasca prosedur PCI jarang 1 (2,9%) pasien mengalami stroke perdarahan.
terjadi namun berkaitan dengan mortalitas dan Sebanyak 26 pasien (76,4%) berjenis kelamin
morbiditas yang tinggi, serta memberi dampak laki-laki. Pasien yang berusia lanjut
yang sangat besar terhadap prognosis dan mendominasi sebanyak 21 pasien (61,8%).
kualitas hidup pasien. Kejadian stroke terkait Karakteristik defisit neurologis pasien dapat
prosedur PCI terutama terjadi pada pasien yang dilihat pada tabel 1. Pasien yang mengeluhkan
lebih tua. Mortalitas stroke peri-intervensi gejala tunggal hanya 9 orang (26,5%), sedangkan
berkisar antara 22,7-37%.2,3 yang mengeluhkan gejala multipel sebanyak 25
Sebagian besar stroke yang terjadi periprosedural orang (73,5%). Penjabaran menunjukkan keluhan
terjadi dalam 24 jam pertama pasca menjalani yang bervariasi. Gangguan motorik merupakan
prosedur PCI, namun pasien yang mengalami keluhan terbanyak pasien, sebanyak 14 pasien
emboli berukuran kecil seringkali asimptomatik mengeluhkan kelemahan anggota gerak sesisi.
dan tidak disadari oleh ahli jantung. Stroke yang Keluhan terbanyak kedua adalah penurunan
diakibatkan prosedur PCI melibatkan sirkulasi kesadaran yang dialami 11 pasien.
anterior dan posterior dengan proporsi yang Hasil pemeriksaan fisik mendapatkan defisit
sama, meskipun stroke umumnya mengenai motorik paling sering terjadi, yakni sebanyak 25
sirkulasi anterior.2 Kecenderungan lokasi stroke pasien. Defisit motorik terbagi menjadi
pasca prosedur PCI melibatkan sirkulasi posterior hemiparesis, serta paresis nervus kranialis VII,
(sirkulasi vertebrobasilar). Hal tersebut membuat IX X, dan XII. Kelemahan anggota gerak sesisi
gejala dan tanda stroke dominan pasca prosedur (hemiparesis) mendominasi keluhan kelemahan
PCI berupa defisit terkait visual serta gangguan pasien. Gejala penurunan kesadaran didapatkan
gaya berjalan yang disebabkan oleh infark di pada 11 pasien, seorang diantaranya ternyata
lobus oksipital dan serebelar.4 mengalami stroke perdarahan intraserebral yang
meluas hingga ventrikel. Delapan pasien dengan dibandingkan ukuran kecil selama prosedur PCI.
derajat kesadaran somnolen dan 2 pasien Gangguan hemodinamik serebral juga
delirium, hasil CT scan kepala menunjukkan merupakan faktor yang dapat meningkatkan
kondisi infark. risiko stroke iskemia sekunder akibat
Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan menurunnya perfusi yang mungkin disertai
sebanyak 21 (61,8%) pasien memiliki lesi otak hipoperfusi sistemik. Instabilitas hemodinamik
multipel, sedangkan 11 (32,4%) pasien telah ditunjukkan mendukung trauma iskemia
mengalami lesi otak tunggal. Dua hasil CT scan akibat kejadian emboli pada hewan coba.4
kepala tidak menunjukkan gambaran perdarahan Seorang pasien mengalami perdarahan
maupun infark. Sebanyak 31 (91,2%) pasien intraserebral yang muncul 30 menit pasca PCI
menunjukkan gambaran infark, dengan lokasi yang ditandai dengan klinis peningkatan tekanan
yang bervariasi. Lokasi terbanyak berada di lobus intrakranial seperti muntah dan penurunan
parietalis, lobus temporalis, dan ganglia basalis. kesadaran menjadi sopor. Pasien tersebut selain
Lokasi hemisferik hampir sama antara sisi kanan menjalani prosedur PCI dengan menggunakan
dan kiri, dan terdapat 9 pasien yang mengalami heparin, juga mendapatkan terapi antikoagulan
infark biparietal atau bilateral. dan antiplatelet ganda sebagai tambahan terapi,
hal inilah yang diduga menjadi faktor pendukung
Pembahasan terjadinya perdarahan intraserebral pasien.
Penelitian ini menunjukkan pasien yang Mekanisme yang mungkin mendukung
mengalami defisit neurologis setelah melakukan peningkatan risiko stroke perdarahan adalah
tindakan PCI pada Januari 2016 hingga Juni 2017 intensifnya serta pemanjangan durasi
berjumlah 34 (2,4%) pasien dari total 1409 penggunaan antikoagulan. Efek merugikan dari
pasien. Hasil ini sesuai dengan studi terdahulu penggunaan heparin tersebut ditunjukkan pada
bahwa komplikasi kejadian serebrovaskular observasi peningkatan stroke perdarahan diantara
terkait prosedur PCI sekitar 2,5%.1,2 pasien yang mendapatkan terapi standar serta
Mekanisme potensial penyebab stroke terkait penggunaan antikoagulan sebagai terapi
prosedur PCI meliputi embolisasi atheroma dari tambahan dalam kurun waktu 30 hari. 3
dinding aorta yang disebabkan trauma terkait Selain kejadian stroke, komplikasi terkait
catheter, embolisasi trombus atau udara, diseksi prosedur PCI di sistem serebrovaskular dapat
dari catheter atau manipulasi guidewire, dan berupa contrast-induced encephalopathy (CIE).
hipotensi periprosedural. Guna mendukung Diduga neurotoksisitas bahan kontras yang
hipotesis terlepasnya debris saat prosedur mengganggu osmosis sawar darah otak, terutama
kateterisasi, sebuah penelitian menggunakan alat untuk korteks oksipital berperan penting.5
transkranial Doppler menunjukkan peningkatan Kejadian tersebut tidak ditemukan di penelitian
sinyal selama perjalanan kateter di sekitar arkus ini.
aorta yang mendukung mikroembolisasi. Stroke Defisit neurologis yang ditemukan berdasarkan
yang dicetuskan catheter-induced embolization anamnesis, pemeriksaan fisik serta hasil
dari komplek aortik atheroma sering berlokasi pemeriksaan CT scan kepala sangat bervariasi.
pada aorta ascenden dan arkus aorta proksimal Keluhan kelemahan anggota gerak sesisi paling
lokasi aortosaphenous anastomotik.2,3 banyak dijumpai, dan pada pemeriksaan fisik
Plak atheroma pada arkus aorta akan didapatkan 25 pasien mengalami defisit motorik
menimbulkan risiko emboli spontan dan yang terbagi menjadi hemiparesis, serta parese
merupakan faktor risiko independen dari stroke nervus kranialis VII, IX, X, dan XII. Hal ini
rekuren, begitu juga jumlah perubahan kateter menunjukan lokasi terjadinya stroke lebih banyak
dan penggunaan kateter guide dengan kaliber di sirkulasi anterior. Hasil tersebut tidak sesuai
yang lebih besar. Faktor-faktor prosedural ini dengan penelitian sebelumnya yang meneliti
juga secara langsung meningkatkan kesempatan karakteristik lokasi stroke pasca PCI bahwa lebih
terlepasnya debris dari aorta dengan abrasi fisik dari satu setengah dari kejadian serebrovaskular
yang menginduksi embolisasi. Studi sebelumnya melibatkan sirkulasi posterior (vertebrobasilar),
menyebutkan bahwa kateter guide dengan lumen sehingga gejala yang paling menonjol adalah
ukuran lebih besar (8F dan 9F) melepaskan debris gangguan visual dan gait.
dari aorta satu setengah kali lebih banyak
Hal ini menarik karena hanya sekitar seperlima melibatkan sirkulasi anterior sebanyak 58% dan
aliran darah ke otak yang melintasi arteri di infark posterior sebanyak 54%.4,6
vertebrobasilar sedangkan dua per lima menuju
ke arteri karotis. Pada penelitian lain disebutkan Simpulan
presentasi klinis terbanyak yang didapat pada Defisit neurologis berupa gejala multipel lebih
pasien CVA tersebut adalah defisit motorik dan banyak ditemukan, dengan gejala dominan
bahasa. Defisit global yang menyertainya berupa defisit motorik dan penurunan kesadaran.
sebanyak 45% berupa penurunan kesadaran atau Gambaran CT scan kepala terbanyak berupa
penurunan status mental. Sedangkan pada infark dengan lesi multipel yang melibatkan
penelitian ini penurunan kesadaran didapatkan sirkulasi anterior.
sebanyak 32,4%.4
Berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan kepala Laporan penelitian ini diajukan dalam sesi ilmiah
menunjukkan lokasi infark terbanyak berada di presentasi poster di The Bali Neurology Update 5th
yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter
sirkulasi anterior pada 34 pasien (74%),
Spesialis Saraf Indonesia cabang Denpasar bekerja
sedangkan keterlibatan sirkulasi posterior pada sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas
12 pasien (26%). Penelitian pembanding Udayana dan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
menunjukkan keterlibatan dan lokasi infark tidak Denpasar tanggal 22-24 Sepetember 2017 di
jauh berbeda antara sisi kanan dan sisi kiri, yaitu Denpasar, Bali.
ABSTRAK
Latar Belakang: Mahasiswa dihadapkan dengan Hasil: Sebanyak 132 responden terlibat dalam studi ini
berbagai kegiatan akademik dan non akademik hingga dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 37,1% dan
terkadang menyita waktu tidur, sementara waktu tidur berjenis kelamin perempuan sebanyak 62,9%, dengan
yang cukup dibutuhkan untuk menjaga kestabilan rentang usia 18-22 tahun. Indeks kualitas tidur secara
emosi. umum memiliki korelasi positif dengan tingkat depresi
Tujuan: mengetahui hubungan antara kualitas tidur (r=0,32; p<0,001), tingkat cemas (r=0,26; p=0,002),
dengan masalah emosional (tingkat depresi, cemas, dan dan tingkat stres (r=0,36; p<0,001) mahasiswa.
stres) mahasiswa pre-klinik Program Studi Pendidikan Simpulan: Kualitas tidur secara umum berhubungan
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. signifikan dengan tingkat depresi, cemas, dan stres
Metode Penelitian: Studi cross-sectional dilakukan mahasiswa kedokteran pre-klinik di Universitas
pada mahasiswa kedokteran pre-klinik di Fakultas Udayana, Bali. Penting bagi pihak institusi maupun
Kedokteran Universitas Udayana. Responden badan kemahasiswaan guna menekankan program
melengkapi kuesioner data demografik, Pittsburgh yang mendukung kualitas tidur dan kesehatan psikis
Sleep Quality Index (PSQI), dan kuesioner Depression, mahasiswa.
Anxiety, and Stress Disorder Scale (DASS).
Background: Students are faced with various academic Result: There were 132 respondents included in this
and non-academic activities, those sometimes take study were male 37.1% and female 62.9%, age ranged
their sleeping time, meanwhile sleeping takes part in from 18 to 22 years old. General sleep quality index
keeping emotional stability of a person. correlated with depression level (r=0.32; p<0.001),
Aims: To find out the correlation between sleep quality anxiety level (r=0.26; p=0.002), and stress level
and emotional problems (depression, anxiety, and (r=0.36; p<0.001).
stress) among pre-clinical medical students in Faculty Conclusion: Sleep quality showed significant
of Medicine, Udayana University. correlation with depression, anxiety, and stress level
Method: A cross-sectional study was done to among pre-clinical medical students. It is important for
respondents. Demographic data, Pittsburgh Sleep both institution and student board to emphasize
Quality Index (PSQI), and Depression, Anxiety, and programs support the sleep quality and psychological
Stress Disorder Scale (DASS) questionnaires were health of the students.
given.
gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan Kolmogorov-Smirnov, dengan nilai signifikansi
disfungsi saat siang hari.2 Hasil penjumlahan p ditentukan sebesar 0,05. Analisis bivariat untuk
ketujuh komponen penilaian tersebut melihat hubungan antara kualitas tidur subjektif
menghasilkan sebuah skor global (global score) (skor PSQI global) dengan nilai tingkat depresi,
kualitas tidur subjektif. Skor global PSQI cemas, dan stres (skor DASS21) dilakukan
memiliki rentang nilai 0-21. Semakin tinggi skor menggunakan analisis Spearman test, karena
mengindikasikan kualitas tidur yang semakin sebaran data yang tidak normal.
buruk.
Kuesioner Depression, Anxiety, and Stress Scale- Hasil Penelitian
21 (DASS21) memiliki 3 komponen penilaian Sebanyak 150 kuesioner disebarkan kepada
yang meliputi tingkat depresi (depression), mahasiswa semester 4 PSPD FK Unud secara
kecemasan (anxiety), dan stres (stress). Masing- acak. Kuesioner yang kembali adalah 132 buah
masing komponen memiliki tujuh buah yang lengkap diisi dan siap dianalisis. Responden
pernyataan yang ditanggapi dengan skor 0-3 oleh laki-laki sebanyak 49 (37,12%) orang dan
responden. Skor tersebut mencerminkan kondisi perempuan 83 (62,88%) orang. Data usia tersebar
yang dialami responden, dengan 0 berarti “tidak secara tidak normal, dengan rentang usia 18-22
mencerminkan saya sama sekali/ saya tidak tahun dan nilai median 20 tahun.
pernah mengalami”, hingga 3 yang berarti Tabel 1 menunjukkan data karakteristik tidur
“sangat mencerminkan saya/ saya sangat sering responden yang diukur berdasarkan tujuh
mengalaminya”. Agar skor akhir yang didapat komponen PSQI. Setiap komponen
mampu sebanding dengan skor pada kuesioner dikelompokkan berdasarkan kategori yang
DASS42 yang lengkap, maka skor akhir pada berbeda-beda. Ketujuh komponen PSQI dapat
DASS21 dikalikan dua, sehingga menjadi diwakilkan oleh Global PSQI Score yang tersebar
memiliki rentang dari 0 hingga 42.10 secara tidak normal dengan rentangan nilai 1-10
Setiap responden yang terlibat sebagai subjek dan nilai median 5. Global PSQI Score
penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan menggambarkan kualitas tidur secara umum yang
dan tata cara penelitian yang akan dilakukan dikategorikan sebagai baik dan buruk. Sebanyak
secara rinci serta menandatangani informed 53,8% mahasiswa semester 4 PSPD FK Unud
consent. Setiap responden mengisi data pada memiliki kualitas tidur yang baik, dan sisanya
kuesioner secara mandiri (self-administered). Hal (46,2%) memiliki kualitas tidur yang buruk.
pertama yang harus dilengkapi responden pada Tabel 2 menunjukkan tingkat depresi, cemas, dan
kuesioner tersebut yaitu terkait karakteristik stress pada mahasiswa semester 4 PSPD FK
sosio-demografis, yang mencakup nama, umur, Unud yang dikategorikan menjadi normal,
dan jenis kelamin. Kemudian responden dapat ringan, menengah, berat, dan sangat berat
mulai mengisi kuesioner PSQI dan DASS21 yang berdasarkan kuesioner DASS. Mayoritas
telah disediakan. Responden juga dapat responden (71,2%) tidak mengalami depresi atau
menghubungi peneliti utama yang kontaknya berada pada kategori normal. Hal yang sama
tertera pada kuesioner apabila menemui kesulitan berlaku pada status stres pada mahasiswa, dimana
dalam pengisian kuesioner. Penelitian ini tidak 71,2% dalam kategori normal. Pada status cemas,
memiliki conflict of interest dengan pihak 31,1% responden mengalami cemas kategori
manapun. menengah.
Analisis data dilakukan dengan aplikasi The Analisis bivariat menggunakan Spearman
Statistical Package for the Social Sciences versi correlation test dilakukan untuk mengetahui
20 (SPSS v20). Data demografis yang meliputi korelasi antara kualitas tidur yang digambarkan
umur dan kategori jenis kelamin, dihitung dalam oleh Global PSQI Score dengan tingkat depresi,
bentuk frekuensi (%), nilai rata-rata (mean), dan cemas, dan stress yang digambarkan oleh skor
standar deviasi (SD). Skor PSQI global, yang DASS pada mahasiswa semester 4 PSPD FK
mencakup tujuh komponennya, serta nilai DASS Unud. Ditemukan bahwa Global PSQI Score
yang didapatkan juga diolah dengan berkorelasi secara positif dan signifikan terhadap
menjadikannya data kategorik dan numerik. skor depresi, cemas, dan stress dengan p > 0,05.
Normalitas data diuji dengan tes normalitas
Kualitas tidur yang buruk cenderung berpengaruh penelitian yang dilakukan oleh Postans et al. yang
secara langsung maupun tidak langsung terhadap mengindikasikan bahwa mahasiswa dengan
adanya perkembangan gangguan kesehatan kualitas tidur yang buruk dilaporkan memiliki
mental.5 Global PSQI Score terbukti secara tingkat depresi, cemas, dan stres yang lebih tinggi
signifikan memiliki korelasi positif dengan dibandingkan dengan mahasiswa dengan kualitas
tingkat depresi, cemas, dan juga stres (Tabel 3). tidur baik.14 Penelitian oleh Lemma et al. juga
Hal tersebut berarti, semakin tinggi Global PSQI menunjukkan hal serupa, tingkat depresi dan stres
Score, maka semakin tinggi skor DASS. Semakin erat berkaitan dengan kualitas tidur.1 Fawzy et al.
buruk kualitas tidur, maka semakin berat tingkat yang telah melakukan penelitian pada mahasiswa
depresi, cemas, atau stres yang diderita. Hasil kedokteran di Mesir juga sepakat bahwa terdapat
yang didapat konsisten dengan hasil dari korelasi positif yang signifikan antara tingkat
penelitian-penelitian serupa yang pernah depresi, cemas, dan stres.13
dilakukan sebelumnya.1,5,13,14 Salah satunya yaitu
Tabel 3. Korelasi Global PSQI Score dengan Skor Depresi, Cemas, dan Stres
Depresi Cemas Stres
r 0,29 0,25 0,33
Global PSQI
p 0,00* 0,01* 0,00*
* bermakna secara statistik
ABSTRAK
Stroke. Pakistan Journal of Biological Sciences. stroke patients. Neurorehabil Neural Repair. 2004
2011 (14)2: 118-112. (18):37–41.
4. Belayev L, Liu Y, Busto R, Ginsberg MD. Human 7. Palesch YY, Hill MD, Ryckborst KJ, Tamariz D,
albumin therapy of acute ischemic stroke: marked Ginsberg MD. The ALIAS pilot trial: a dose-
neuroprotective efficacy at moderate doses and escalation and safety study of albumin therapy for
with a broad therapeutic window. Stroke. 2001 acute ischemic stroke-II: neurologic outcome and
(32): 553–560 efficacy analysis. Stroke. 2006. (37): 2107–2114
5. Bielewicz1 J, Kurzepa J, Czekajska-Chehab E, 8. Cho YM, Choi IS, Bian RX, Kim JH, Han JY, Lee
Kamieniak P, Daniluk B, Bartosik-Psujek H, et al. SG. Serum albumin at admission for prediction of
Worse Neurological State During Acute Ischemic functional outcome in ischaemic stroke patients.
Strokeis Associated with a Decrease in Serum Neurol Sci. 2008 (29): 445–449
Albumin Levels. J Mol Neurosci 2016 (58): 493- 9. Dziedzic T, Slowik A, Szczudlik A. Serum
496 albumin level as a predictor of ischemic stroke
6. Jansa J, Pogacnik T, Gompertz P. An evaluation of outcome. Stroke. 2004 (35): 156–158.
the Extended Barthel Index with acute ischemic
ABSTRAK
Latar Belakang: Peningkatan infiltrasi makrofag yang Metode Penelitian: studi potong lintang terhadap
berasal dari sel monosit menyebabkan peningkatan pasien hernia nucleus pulposus lumbal berdasarkan
ekspresi sitokin proinflamasi berupa tumor necrosis pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Uji
factor-α (TNF-α), interleukin IL-1β, IL-4, IL-6, IL-8, korelasi menggunkan Uji Pearson.
dan IL-12), prostaglandin E2 (PGE2), nitrit oxide Hasil: Sebanyak 34 pasien HNP lumbal dengan subjek
(NO), serta interferon-γ (IFN-γ), dan merupakan kunci laki-laki 15 (44,1%) orang dan perempuan 19 (55,9%)
terjadinya nyeri pada degenerasi intervertebral disc orang dengan rerata usia 59 tahun (SD±13,33). Rerata
(IVD). Inflamasi dan derajat keparahan nyeri berkaitan persentase jumlah monosit 5,38% (SD±2,60, CI 4,48-
dengan peningkatan persentase jumlah monosit pada 6,29) dan rerata derajat nyeri 4,74 (SD±2,66, CI 3,81–
hitung jenis leukosit darah tepi. 5,66). Uji korelasi Pearson antara persentase jumlah
Tujuan: Untuk mengetahui korelasi antara numeric monosit dengan skor NRS adalah r = 0,955; p<0,001.
rating scale (NRS) dengan peningkatan monosit pada Simpulan: Terdapat hubungan positif persentase
pasien hernia nucleus pulposus yang dirawat di Rumah jumlah monosit dengan derajat nyeri pasien HNP
Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito. lumbal.
Kata Kunci: Hernia nucleus pulposus, lumbal, monosit, inflamasi, numeric rating scale
ABSTRACT
Key words: Hernia nucleus pulposus, monocytes, low back pain, inflammation
Hasil uji korelasi Pearson pada tabel 2 scatter plot menunjukkan korelasi positif antara
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan persentase jumlah monosit dengan skor NRS,
arah korelasi positif antara persentase jumlah sehingga disimpulkan bahwa semakin tinggi
monosit dan skor NRS. Skor kekuatan korelasi persentase jumlah monosit maka semakin tinggi
tergolong kuat (r = 0,955; p<0,001). Grafik nilai NRS.
Tabel 2. Analisis bivariat korelasi persentase jumlah monosit terhadap skor NRS
Variabel NRS
Koefisien korelasi (r) P
Persentase Monosit 0,955 <0,001
Keterangan: NRS (numeric rating scale)
pada penelitian berikutnya, jumlah sampel dapat Laporan penelitian ini diajukan dalam sesi ilmiah
diperbanyak, serta pengambilan sampel dapat presentasi poster di The Bali Neurology Update 5th
diambil dari IVD. yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia cabang Denpasar bekerja
Simpulan sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana dan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Terdapat korelasi yang positif antara persentase
Denpasar tanggal 22-24 Sepetember 2017 di
jumlah monosit dengan NRS, semakin tinggi Denpasar, Bali.
persentase jumlah monosit maka semakin tinggi
nilai NRS.
Daftar Rujukan inflammation. Trends in Immunolog. 2011.Vol.
1. Pinzon, Rizaldy. Profil Klinis Pasien Nyeri 32, (10); 470-477.
Punggung Akibat Hernia Nukelus Pulposus. Vol 6. Walter BA, Purmessur D, Lithitpanichkul M,
39. SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta. Weinberg A, Cho SK, Qurezhi SA, et al.
Indonesia. 2012. Hal 749-751. Inflammatory Kinetics and Efficacy of Anti-
2. Meucci RD, Fassa AG, Faria NMX. Prevalence of inflammatory Treatments on Human Nucleus
chronic low back pain: systematic review. Rev Pulposus Cells. Spine. 2015. July 1; 40(13): 955–
Saúde Pública. 2015. 49:73. 963.
3. Kumala P. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 7. Aycan A, Gulsen I, Arslan M, Kuyumcu F, Akyol
Jakarta. Edisi Bahasa Indonesia. 1998. hal 505 ME. Evaluation of patients operatively treated with
4. Shamji MF, Setton LA, Jarvis W, So S, Chen J, a diagnosis of lumbar disc hernia: An
Jing L, et al. Proinflammatory Cytokine epidemiological investigation. East J Med. 2017.
Expression Profile in Degenerated and Herniated 22(1): 1-4.
Human Intervertebral Disc Tissues. Arthritis & 8. Nerlich AG, Weiler C, Zipperer J, Narozny M,
rheumatism. 2010. Vol. 62, No. 7, July, pp 1974– Boos N. Immunolocalization of phagocytic cells in
1982. DOI 10.1002/art.27444. normal and degenerated intervertebral discs.
5. Ingersoll MA, Platt AM, Potteaux S, Randolph GJ. Spine. 2002;27: 2484–249
Monocyte trafficking in acute and chronic
ABSTRAK
Latar Belakang: Atrial fibrilasi (AF) meningkatkan 4- afasia global, dan hemiparesis dekstra sejak 2 jam
5 kali terjadinya stroke iskemia. Insidensi stroke terkait sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan penunjang
AF berkisar 15-20%, dengan prevalensi antara 5-10 menunjukkan normoventricular-respons atrium
kasus per 1.000 populasi usia 65 tahun ke atas. fibrilasi dan multipel infark di daerah ganglia basalis
Kasus: Kasus 1: Seorang wanita berusia 85 tahun bilateral dan substansia alba periventrikuler lateralis
menderita diabetes mellitus dengan riwayat atrial bilateral. Pasien diterapi antihipertensi, antiplatelet,
fibrilasi (AF) persisten yang tidak diobati mendadak dan neuroprotektor dan dirawat selama 10 hari.
mengalami hemiparesis dekstra dan disartria sejak 1 Diskusi: Kondisi AF sebagai faktor risiko utama stroke
jam sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan kardioembolik pada kedua pasien. Penyebaran listrik
penunjang menunjukkan normoventricular-respons ektopik menyebabkan irreguleritas kontraksi jantung
atrium fibrilasi dan infark serebri multipel di ganglia yang menghasilkan stasis darah dan terbentuknya
basalis bilateral terutama sisi kiri. Pasien diterapi trombus yang sewaktu-waktu dapat terlepas menjadi
angiotensin-receptor blocker, antiplatelet, insulin, dan emboli pada arteri serebral.
neuroprotektor dan dirawat selama 10 hari. Simpulan: Manajemen yang tepat terhadap faktor
Kasus 2: Seorang wanita berusia 87 tahun menderita risiko dapat mengurangi kejadian stroke iskemia dan
hipertensi dengan riwayat atrial fibrilasi AF persisten memperbaiki prognosis pasien.
yang tidak diobati mendadak mengalami disfagia,
Background: Atrial fibrillation (AF) increases 4-5 global aphasia, and right hemiparesis since 2 hours
times the occurrence of ischemic stroke. The incidence before admission. Further investigations showed
of AF-related stroke ranges from 15-20%, with a normoventricular-AF responses and multiple infarct in
prevalence between 5-10 cases per 1,000 population basal ganglia and lateral periventricular bilateral.
age 65 and older. Patients were treated with antihypertensives,
Case: A 85-year-old woman with diabetes mellitus and antiplatelets, neuroprotectors and hospitalized for 10
not treated persistent atrial fibrillation (AF) suddenly days.
experienced right hemiparesis and dysarthria since 1 Discussion: Atrial fibrillation as a major risk factor for
hour before admission. Further investigations showed cardiembolic stroke in both patients. Ectopic electrical
normoventricular-AF responses and multiple cerebral spread and affect heart contraction irregularity that
infarcts in the bilateral basal ganglia especially the left produces blood stasis and the formation of thrombus
side. Patients were treated with angiotensin-receptor which can be released at any time into emboli in the
blockers, antiplatelet, insulin, neuroprotectors and cerebral artery.
hospitalized for 10 days. Conclusion: Proper risk factors’ management can
Case 2: A 87-year-woman with hypertension and not reduce incidence of ischemic stroke and improve
treated persistent AF suddenly experienced dysphagia, prognosis.
ke otak berasal dari satu dari tiga mekanisme: vitamin K (NOACs) seperti inhibitor langsung
stasis darah dan pembentukan trombus dalam trombin (dabigatran) atau faktor penghambat Xa
pembesaran bilik jantung kiri; pelepasan material (rivaroxaban, apixaban atau edoxaban).4,5,8
dari permukaan katup yang abnormal (degenerasi Pasien dengan kasus pertama memiliki skor
kalsifikasi), dan pasase abnormal dari vena ke CHA2DS2-VASc 4; yakni riwayat DM, usia di
sirkulasi arterial (emboli paradoksikal).8,9 atas 75 tahun (2 poin), dan jenis kelamin
Pemeriksaan penunjang untuk melihat risiko perempuan. Pasien kedua memiliki skor
emboli akibat trombus pada LAA dapat dengan CHA2DS2-VASc 4; meliputi riwayat hipertensi,
TEE. usia di atas 75 tahun (2 poin), dan jenis kelamin
Panduan European Society of Cardiology (ESC) perempuan. Skor CHA2DS2-VASc 4
tahun 2016 merekomendasikan penggunaan skor mengindikasikan risiko insiden stroke mencapai
CHA2DS2-VASc (tabel 1) untuk memperkirakan 4%.10 Kedua pasien dapat diberikan OAC sebagai
risiko stroke pada pasien dengan AF, dan terapi profilaksis rutin stroke kardioemboli yang
memulai terapi OAC pada pria dengan skor lebih disebabkan oleh AF. Pengobatan OAC dikaitkan
dari sama dengan 1 dan wanita dengan skor lebih dengan penurunan risiko stroke iskemia pada
tinggi atau sama dengan 2 sebagai terapi pasien dengan AF, dengan pengurangan relative
profilaksis.5 Pedoman American Heart risk (RR) berkisar 33-75%.11,12
Association/ American College of Cardiology/ Insiden stroke kardioemboli lebih tinggi pada
Heart Rhythm Society (AHA/ ACC/ HRS) tahun kasus AF-RVR dibandingkan pada AF-NVR,
2014 juga merekomendasikan skor CHA2DS2- namun kemungkinan terjadi pada AF-NVR tetap
VASc untuk penilaian risiko stroke pada pasien tinggi karena skor CHA2DS2-VASc tidak
dengan AF nonvalvular.10 Skor HAS-BLED dipengaruhi oleh tipe atrium fibrilasi. Pengaruh
(tabel 1) juga dihitung pada pasien dengan AF target terapi berupa rhythm control atau
yang memiliki resiko perdarahan.8,10 Pilihan OAC pulse/rate control belum menunjukkan hasil yang
meliputi antagonis vitamin K (VKA) seperti memuaskan untuk mencegah dan mengurangi
warfarin atau OAC yang bersifat antagonis non- insiden stroke.
akibat proses atherotrombotik dengan gejala atau tidak sama sekali dalam 3 bulan, perdarahan
defisit neurologis yang lebih lambat.13,17,18 Etiologi intrakranial simtomatik yang terjadi pada 6,4%
stroke iskemia menjadi lebih sulit apabila populasi dengan kematian pada 17% populasi.
terdapat penyakit jantung dan arteri secara Studi yang melibatkan 2.775 pasien yang
bersamaan.2 Adanya riwayat penyakit jantung terdaftar dalam uji coba tPA menunjukkan hasil
(AF, infark miokard yang belum lama, riwayat bahwa terapi dalam 90 menit pertama onset
gagal jantung sebelumnya) dari anamnesis, memberikan perbaikan klinis yang signfikan
pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik rutin (EKG sebesar 2,8 kali lipat, administrasi menit ke-91
dan temuan pada penunjang neuroimaging) hingga 180 menit sebesar 1,6 kali lipat, dan menit
cukup untuk membuat diagnosis kondisi stroke ke-181 hingga 270 menit sebesar 1,4 kali lipat,
kardioemboli. sementara administrasi dari menit ke-271 sampai
Kedua pasien memiliki onset singkat dengan 360 menit tidak memberikan perbaikan. Hasil
defisit berat yang terjadi mendadak saat optimal dapat didapatkan pada golden period
melakukan aktivitas. Adanya riwayat AF dapat door-to-needle 60 menit. Disimpulkan bahwa
mengarahkan diagnosis stroke kardioemboli. semakin cepat administrasi tPA kepada pasien,
Klinis hemiparesis dekstra pada kedua kasus, dan semakin besar manfaatnya terhadap defisit
afasia global pada pasien kedua dapat neurologi.6
memberikan kemungkinan sumbatan pada arteri
cerebri media hemisfer cerebri sinistra. Dari Tabel 2. Faktor Resiko Perdarahan dalam
beberapa kepustakaan yang ada, trombus yang Penggunaan OAC6
disebabkan oleh AF seringkali menyumbat pada Faktor yang berhubungan dengan Pasien
arteri cerebri media.2,8,9,17 • Usia > 65 tahun
Diagnosis stroke iskemia ditegakkan melalui CT- • Riwayat perdarahan sebelumnya
scan kepala. Namun, stroke akut memiliki time • Riwayat stroke sebelumnya
window, yakni dimulai sejak minimal 3 jam • Anemia
pasca onset untuk munculnya hipodensitas pada • Faktor genetika
gambaran CT-scan kepala.19 Kedua kasus • Jenis kelamin perempuan
menunjukkan CT-scan kepala dilakukan segera • Hipertensi tidak terkontrol
sebelum 3 jam, sehingga gambaran infark luas • Insufisiensi renal
yang diperkirakan terjadi pada kasus • Disfungsi hepar
kardioembolik belum muncul. Target utama • Keganasan
pemeriksaan CT-scan pada pasien stroke adalah Faktor yang berhubungan dengan terapi OAC
kemampuan menyingkirkan kemungkinan stroke • Pemula dalam penggunaan OAC
perdarahan. Kedua pasien menunjukkan adanya • Ketaatan dalam konsumsi OAC
infark lama (dapat terjadi asimptomatik karena • Intensitas terapi (diukur dengan INR)
anamnesis menunjukkan pasien tidak pernah • Rentang terapeutik
mengalami stroke sebelumnya. Infark • Konsumsi vitamin K
atherotrombotik berkaitan dengan faktor resiko • Manajemen konsumsi OAC (pemantauan diri)
lain pada pasien seperti diabetes, hipertensi, usia Pengunaan obat lain yang bersamaan
tua, dan lainnya.
• Antiplatelet
Trombolisis intravena (IV) dengan tissue
• Nonsteroidal anti inflammatory drugs
plasminogen activator (tPA) seperti alteplase
• Medikasi lain yang mengganggu OAC
yang diberikan dalam tiga jam setelah onset
• Konsumsi alkohol berlebih
adalah standar utama pengobatan stroke iskemia
Keterangan: INR (International Normalized Ratio),
akut. Trombolisis IV memiliki beberapa OAC (Oral Anti-Coagulant)
keterbatasan seperti jendela waktu yang singkat,
risiko perdarahan intrakranial, efek kurang Pemberian trombolitik memiliki kriteria inklusi
maksimal pada pasien dengan kontraindikasi usia di atas 18 tahun, diagnosis stroke iskemia
relatif yang menyebabkan rendahnya angka dengan defisit neurologis yang dapat dinilai, dan
pasien yang diobati dengan trombolitik.18 Pasien onset dibawah 180 menit. Kriteria eksklusi
yang diobati dengan tPA setidaknya memiliki absolut yakni riwayat cedera kepala atau stroke
30% risiko mengalami kondisi cacat minimal dalam 3 bulan terakhir, gejala yang mengarah ke
perdarahan subaraknoid, pungsi arteri di tempat
ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita penyakit Parkinson berisiko didapatkan resting tremor, rigiditas, bradikinesia,
6 kali lebih tinggi untuk mengalami demensia hilangnya reflek postural, dan tanda Myerson positif
dibandingkan populasi normal. Parkinson’s Disease dengan stadium 4 Hoehn Yahr. Pemeriksaan
Dementia (PDD) terjadi pada stadium lanjut sebelum neurokognitif menunjukkan gangguan atensi, memori,
atau setelah munculnya gejala motorik, sedangkan visuospasial, fungsi eksekutif, dan halusinasi visual.
gangguan fungsi kognitif dan halusinasi visual terjadi Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
pada stadium awal. kepala menunjukkan atropi berat pada otak. Pasien
Kasus: Seorang wanita berusia 55 tahun dengan mengalami perbaikan klinis dengan terapi
keluhan gangguan memori yang semakin memberat farmakologis dan stimulasi kognitif.
sejak setahun lalu. Gejala fluktuatif, rekuren, menetap, Simpulan: Identifikasi dini gejala motorik, non
serta mengganggu aktivitas harian pasien. Pasien motorik, kognitif, dan neuropsikiatri terutama
mengeluh sering melihat bayangan orang atau binatang halusinasi visual pada pasien dengan penyakit
tertentu terutama di malam hari. Tidak ada gangguan Parkinson sangatlah penting guna memberikan
proses pikir atau bicara kacau. Pemeriksaan fisik tatalaksana yang tepat.
Background: The risk of dementia is 6 times higher in bradykinesia, loss of postural reflex and positive
people with Parkinson's Disease (PD). Parkinson's Myerson sign with stage 4 Hoehn Yahr.
Disease Dementia (PDD) is usually seen at an Neurocognitive examination found impairment of
advanced stage and may occur before or after the onset attention, memory, visuospasial, executive function,
of motor symptoms, meanwhile cognitive dysfunction with visual hallucinations. Head Magnetic Resonance
and visual hallucination occur in the early stage. Imaging showed severe brain atrophy. She experienced
Case: A 55-years-old woman with worsening memory improvement with pharmacological therapy and
impairment since 1 year ago. It is very fluctuating, cognitive stimulation.
recurrent, persistent so patients unable to perform her Conclusion: Early recognition of motoric, non-
daily activities. She often sees the shadow of a person motoric, cognitive, and neuropsychiatric symptoms
or particular animal especially at night. Examination mainly visual hallucination is essential to provide
revealed no distractions of thought or speech disorder. proper patient’s management.
Physical examination found resting tremor, rigidity,
psikosis halusinasi visual yang terjadi sebelum pada fungsi non motorik seperti fungsi kognitif,
terjadinya gangguan motorik (tremor, kekakuan motivasi, perhatian dan kontrol perilaku. Selain
ekstremitas dan langkah kecil-kecil). Pasien jalur dopamin, proses degeneratif juga mengenai
awalnya berobat ke psikiater karena perubahan jaras lain seperti jaras neurotransmitter
perilaku dan keluhan halusinasi visual dan noradrenalin dan serotonin. Hilangnya neuron
diberikan terapi antipsikotik. dopaminergik, serotonergik dan noradrenergik
Gejala psikotik berupa halusinasi visual akan mengakibatkan deplesi neurotransmitter
merupakan keluhan tersering pada PDD maupun dopamin, serotonin dan noradrenalin yang
DLB. Halusinasi merupakan persepsi sensoris selanjutnya mendasari timbulnya gangguan
tanpa adanya stimulus eksternal. Berbeda dengan kognitif pada PD.7
psikosis akibat penggunaan obat dopaminergik Gambaran MRI kepala pasien ini menunjukkan
ataupun delirium yang sering menyertai PD, adanya atropi serebri yang menyokong bahwa
halusinasi visual ini bersifat menetap, terjadi kerusakan neuron pada kasus demensia.
berfluktuasi, ataupun berulang. Halusinasi visual Kerusakan neuron pada PD terjadi pada area
ini tidak disertai dengan waham, bicara kacau, subkortikal dan kortikal. Degenerasi sistem
atau gejala negatif lainnya. Halusinasi yang dopaminergik mesokortikal menyebabkan deplesi
muncul biasanya berupa obyek familiar dan dopamin pada korteks frontal dari area
cenderung tidak membahayakan dengan bentuk tegmentum ventral yang menimbulkan gangguan
beragam. Sebaliknya halusinasi yang terjadi pada fungsi eksekutif. Hilangnya neuron kolinergik
demensia yang progresif akan berkembang tampak jelas pada nukleus basalis Meynert
sehingga mengancam dan membahayakan disertai dengan berkurangnya aktivitas kolinergik
menyebabkan tes realita yang terganggu, di korteks. Nukleus tersebut mengandung 90%
kepanikan, dan kecemasan pasien. Halusinasi neuron kolinergik dan merupakan proyeksi
pada DLB muncul sebelum gejala motorik kolinergik utama ke amigdala dan neokorteks.
sedangkan pada PDD muncul dalam kurun Sejalan dengan perubahan neuropatologis
setahun pasca gejala motorik.3 subkortikal, perubahan kortikal juga berperan
Pasien pada laporan kasus ini mengalami gejala pada etiologi PDD. Proses patologis α-synuclein
sindrom diseksekutif progresif dan fluktuatif ditemukan lebih banyak pada PDD dan DLB yang
dengan halusinasi visual yang disertai dengan juga memiliki gambaran patologis plak amyloid
gangguan aktivitas hidup harian. Profil gangguan seperti pada penderita Alzheimer. Gangguan
kognitif pada PD dapat dilihat dari berbagai area fungsi kognitif pada PD kemungkinan besar
kognitif yaitu atensi, fungsi eksekutif, memori akibat kombinasi beberapa faktor baik fungsional
dan visuospasial. Secara umum angka kejadian (neurotransmitter dan biokimia) maupun
gangguan kognitif pasien PD saat onset 2 dan 5 struktural (neuron dan sinapsis).8,9
tahun sebesar 2,4% dan 5,8%. Hal tersebut Terapi antiparkinson dapat mengurangi gejala-
memberikan gambaran bahwa gangguan kognitif gejala motorik melalui peningkatan ketersediaan
sebenarnya telah timbul pada stadium awal PD, dopamin. Prekursor dopamine yaitu levodopa
dan dalam banyak kasus gangguan ini merupakan terapi efektif untuk mengontrol gejala
asimtomatis, namun dapat terdeteksi dengan tes motorik pada PD. Pemberian levodopa ini
neuropsikologi.5 biasanya dikombinasikan dengan pemberian
Gejala PD baru akan muncul bila sel neuron preparat carbidopa, yang merupakan enzim
dopaminergik substansia nigra mengalami penghambat metabolisme dopamin di perifer.
kerusakan lebih dari 50%, penurunan kadar Pemberian agonis reseptor dopamine
dopamin hingga 80%, disertai pembentukan (pramipexole, ropinirole) dapat meningkatan
inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy Bodies).6 aktifitas dopamine pasca sinaps, sedangkan
Penurunan neurotransmitter dopamin penghambat oxidase-B monoamine (selegeline)
mengakibatkan gangguan pada jaras dan penghambat transferase katekolamin
dopaminergik yaitu jalur nigrostriatal, (talcapone), bekerja menghambat metabolisme
mesolimbik dan mesokortikal. Jalur nigrostriatal dopamin dan meningkatkan sinaps dopamin.
merupakan jalur dopamin yang berfungsi pada Amantadin dan agen antikolinergik seperti
sistem motorik, sedangkan jalur mesolimbik dan trihexiphenidyl juga digunakan untuk
mesokortikal merupakan jalur yang berperan mengkontrol gejala motorik. Pasien pada laporan
3