Anda di halaman 1dari 25

SISTEM HUKUM INDONESIA

KEGIATAN BELAJAR 1

Sejarah Hukum Dunia

A. PENGERTIAN SEJARAH HUKUM

Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya,

sedangkan sejarah hukum merupakan satu aspek tertentu dari hal itu, yakni

hukum. Peristiwa yang terjadi dalam cakupan yang luas, pada akhirnya juga

berlaku pada cakupan bagian, sehingga maksud dan tujuan sejarah hukum

mau tidak mau akhirnya adalah menentukan dalil-dalil atau hukum-hukum

perkembangan kemasyarakatan. Tujuan akhir sejarah hukum yakni

menunjang dan bermuara di dalam penulisan sejarah secara integral tidak

boleh melenyapkan tujuan parsiil yang spesifik dan perlu ada dari disiplin ini,

yakni penemuan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan dari

perkembangan hukum

Bentuk-bentuk perwujudan yang timbul secara berurutan satu sesudah

yang lain dapat diuraikan sesuai dengan tertib kronologis, namun keterkaitan

yang satu dengan yang lain tidak dilihat dalam sebuah prespektif kronologis

linier, melainkan dalam terang perimbangan terhadap suatu gagasan absolut.

Walaupun berdasar titik tolak yang demikian, tidak banyak yang didapat oleh

sejarah hukum seperti yang diinginkan.

Pandangan-pandangan idealistis-spiritualistis sangat menguasai wujud

hukum sampai pada abad ke XIX. Hal tersebut dapat kita lihat pada Plato

yang menganggap ide memiliki derajat kenyataan yang lebih baik dari pada

materi. Begitu juga dengan Aristoteles yang membedakan antara "keadilan

alam" dan "keadilan perundang-undangan." Pada abad pertengahan, hukum


alam memperoleh kesan keagamaan yakni ius naturale dari Thomas Aquino

yang sesungguhnya berakar pada akal atau daya berpikir dengan tidak sama

sesungguhnya merupakan ungkapan yang paling mengena dari keyakinan

sekali bertentangan dengan kepercayaan dan keimanan, bahkan

tersebut.

Walaupun sejarah hukum lebih tua usianya dari sosiologi hukum, namu

muda karena terjadinya disebabkan oleh aliran hukum historis dari Savign

cabang hukum ini masih merupakan cabang ilmu pengetahuan yang agak

Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenamya tidak lain adalah

kronologis.

sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari jaman dahulu yang disusun secara

Seorang hakim dapat memutus sengketa hukum yang dasar hukumnya

terdapat dalam hukum yang berlaku sebelum dikodifikasi, dalam hal ini

diperlukan karena harus mengetahui hukum yang dulu berlaku, kecuali ia

sendiri ahli dalam bidang ini. Uraian yang terjadi dalam bidang ini selama

període 1913-1935 terdapat dalam "Tijdschrift voor Rechtsgeschiedenis”,

jilid XV dan XVI disertai dengan pengantar singkat dari A.S. de Blecourt.

Pandangan tentang sejarah hukum lambat laun mulai berubah mengikuti

perkembangan zaman yang kian waktu kian berkembang. Hukum sebagai

gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus, dalam

hal ini apapun yang tumbuh, adalah stabil walaupun ia berubah.

B. HUKUM ALAM

Apabila kita mengikuti sejarah Hukum Alam, maka Hukum Alam

merupakan konsep yang mancakup banyak teori di dalamnya mengikuti

sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang


mutlak

beserta kegagalan-kegagalannya di dunia ini. Dari dulu hingga sekarang ide

tentang Hukum Alam ini selalu muncul sebagai manifestasi dari usaha

manusia yang merindukan adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum

positif.

Menurut W.Friedmann, dalam sejarah Hukum Alam telah menjalankan

dan melayani bermacam-macam fungsi, antara lain :

1. Berfungsi sebagai instrumen utama untuk merubah sistem hukum

Romawi kuno menjadi suatu sistem Hukum Internasional.

2. Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi

kebebasan individu yang berhadapan dengan Absolutisme.

Ajaran Hukum Alam telah digunakan sebagai sarana dalam pertentangan

antara pihak gereja dengan para kaisar-kaisar Jerman pada abad

pertengahan

4. Validitas Hukum Internasional telah ditanamkan atas dasar ajaran

Hukum Alam.

5. Prinsip Hukum Alam dijadikan sebagai alat oleh para Hakim di Amerika

pada saat mereka memberikan penafsiran terhadap konstitusi mereka

dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan

yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.

Anggapan mengenai Hukum Alam:

1. Merupakan ideal yang menuntun perkembangan hukum dan

pelaksanaannya.

2. Suatu dasar dalam hukum yang bersifat normal, yang menjaga agar
jangan sampai terjadi perpecahan antara yang satu dengan yang lain.

3. Suatu metode yang digunakan untuk menemukan hukum yang sempuma

4. Isi hukum yang sempurna, dideduksikan melalui akal.

5. Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

C. HUKUM ROMAWI

Sejarah hukum Romawi di zaman kuno berlangsung selama 12 abad,

yaitu dari abad VII SM (sebelum masehi=before christ (BC)), periode

kerajaan sampai abad VI, era Kaisar Justinianus, sampai abad xy

berlangsung kerajaan Romawi Timur atau Byzantium. Di Barat hukum

Romawi mengenal periode kebangkitan kembali sejak abad XII (era resepsi);

sampai saat ini hal itu menggunakan pengaruhnya terhadap semua tatanan

hukum romanistis-germanistis.

Hukum yang kemudian menjiwai sebagian terbesar hukum-hukum di

negara Eropa, terhimpun dengan baik dalam apa yang disebut Corpus luris

Civilis, yang dikerjakan pada sekitar abad ke VI masehi sebagai karya besar

dari seorang raja yang bernama Justianus yang memerintah antara 524 s.d.

565 M. Kodifikasi Justinianus yang terkenal itu terdiri dari empat bagian,

(Ansori Ahmad: 1986; 15) yaitu:

1. Institutiones, yang memuat tentang berbagai pengertian maupun

mengenai lembaga-lembaga yang terdapat dalam hukum Romawi serta

merupakan kumpulan dari Undang-undang yang ada.

2. Pandecta, yaitu memuat himpunan pendapat para ahli hukum Romawi

yang terkenal.

3. Codex, yaitu memuat himpunan undang-undang yang dibukukan atas

perintah Kaisar Romawi.


4. Novelles, yaitu memuat himpunan penjelasan maupun komentar terhadap

Codex

Lenyapnya kerajaan Romawi tidak melenyapkan hukum-hukum yang

diciptakan pada zaman kerajaan tersebut dan merupakan peninggalan yang

sangat berharga bagi dunia di bidang hukum. Hukum Romawi ini mampu bertuhan untuk beratus-ratus
tahun bahkan beribu-ribu tahun lamanya dalam

suatu wilayah yang sangat luas, bahkan berpengaruh sangat besar bagi

daerah-daerah sekitarnya.

Pada abad ke XI Masehi, di Italia Utara didirikan perguruan-perguruan

tinggi hukum, dan dalam kurikulumnya juga diajarkan hukum Romawi.

Perguruan tinggi yang mahasiswanya berasal dari berbagai negara di Eropa,

membawa pulang hukum Romawi ke negaranya masing-masing, schingga

hukum Romawi tetap ada dan terus berkembang di berbagai negara di

seluruh pelosok Eropa. Hal lain yang mendukung perkembangan hukum

Romawi tersebut adalah hukum tersebut ditulis dalam bahasa Latin yang

merupakan bahasa resmi beberapa kerajaan-kerajaan besar di Eropa.

D. HUKUM ANGLO SAXON

Adalah suatu istilah yang digunakan dalam Hukum Perdata Internasional

(HPI) tentang Ketertiban Umum atau sering kita kenal dengan Public Policy.

Dari istilah ini sudah dapat kita lihat segi politis (policy) ini dikedepankan

dalam konsep Anglo saxson. Sementara itu, para Hakim di Common Law

System/Eropa kontinental telah sampai pada pertanyaan apakah ganti rugi

yang dibebankan kepada orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

itu, adalah untuk kepentingan individu yang dirugikan semata-mata atau juga

untuk kepentingan masyarakat umum secara keseluruhan. Yang terakhir ini

bersumber dari asumsi bahwa orang lain tidak akan mengulangi perbuatan
yang merugikan tersebut manakala ia mengetahui beban kerugian yang akan

dijatuhkan kepadanya. Di dalam Hukum Anglo saxson ini mengenal asas

Teritorial yang menerangkan mengenai batas wilayah suatu negara.

E. HUKUM CIVIL

Pengertiannya adalah bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

. Pasal ini

melahirkan pengertian yang luas dari perbuatan melanggar hukum dan

undang-undang, tetapi juga melanggar norma-norma yang hidup dalam

masyarakatDi dalam Civil Law System inilah yang mendorong Hakim melahirkan

berbagai penafsiran tentang perbuatan apa saja yang dianggap melanggar

hukum sehingga mendatangkan kerugian bagi orang lain.

Penafsiran perbuatan melawan hukum di dalam Civil Law ini dan

keputusan-keputusan Tort di Common Law yang bermuara juga ke berbagal

Undang-undang yang lebih memberikan kepastian.


KEGIATAN BELAJAR 2

Sejarah Hukum di Indonesia

epublik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sehari

setelah proklamasi, Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia

yang pertama disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI). Sebelum orang-orang Belanda datang pada tahun 1996, Hukum yang

berlaku di daerah-daerah di Indonesia adalah hukum yang tidak tertulis, atau

sering disebut dengan Hukum Adat.

Hukum-hukum

yang

ada di Indonesia antara lain:

1. Hukum Adat.

2. Hukum Islam.

3. Hukum Perdata Barat.

A. HUKUM ADAT

Sejarah hukum Adat di Indonesia di mulai sejak zaman Malaio

Polinesia, yaitu zaman dimana nenek moyang bangsa Indonesia tersebar

mengarungi lautan di antara pulau Madagaskar di sebelah Barat pulau

Taiwan dan kepulauan Hawai di sebelah Utara, sampai pulau Paska di

sebelah Timur. Pada zaman ini, segala sesuatunya bersumber pada pusat

kesaktian, magi dan animisme. Sampai dewasa ini di dalam upacara-upacara

adat alam kesaktian itu masih nampak pengaruhnya. J. Mallinckroodt

memberitakan bahwa hukum adat Kalimantan itu berdasarkan kepada

kepercayaan asli kepada benda halus yang disebut magi. (Hilman


Hadikusuma, 1978; 17).

Zaman berikutnya adalah zaman Hindu, di Indonesia yang berlaku

selama 15 abad dan selama masa itu Indonesia memiliki kebudayaan yang

tinggi, dikarenakan terjadinya bentuk negara dan berkembangnya

perekonomian. Tetapi perlu mendapat perhatian bahwa pengaruh agama

Hindu ini hanya meresap di Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah-

daerah bagian timur dapat dikatakan lemah atau tidak nampak. Pada bagian

ini zaman Malaio Polinesia lebih besar berpengaruh.

Pada zaman Hindu ini, tercatat pada abad ke-6 dengan rajanya yang

disebut Kaudinya memiliki 136 desa, memiliki pemerintahan yang memiliki

pegawai tinggi dengan sebutan "Tu-ka-ya-na" dan pegawai rendah disebutdengan "Tu-ka-si-na," dengan
hukum pidana yang berlaku adalah

tangan bagi kejahatan pembunuhan atau pencurian dan diikat dengan rantai

untuk perbuatan zina.

Masa Ćriwijaya dan kaum Cailendra pada abad ke-7 sampai dengan kong

meliputi daerah jajahan Jawa, Sumatera, Malaya sampai Kamboja

, tetapi

tidak banyak tercatat hukum adat yang dipergunakan pada masa itu, tetapi

diperkirakan Hukum Budha berpengaruh atas jalannya pemerintahan di

pusat-pusat pemerintahan, sedangkan di pedalaman tetap berlaku hukum ada

zaman Malaio Polinesia. (Hilman Hadikusuma, 1978; 18).

Buchori mengemukakan bahwa salah satu dari unsur kebudayaan India

yang diambil oleh masyarakat atau pemerintahan pada zaman itu adalah

bentuk kerajaan yang "patrimonial," dengan unsur kerajaan yang tujuh

(sapta) yaitu raja, wilayah kerajaan, birokrasi, rakyat, perbendaharaan negara.

angkatan bersenjata dan negara-negara sahabat.


Pada abad ke-10, kerajaan Mataram (kuno) yang meliputi wilayah Jawa

Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (saat ini di Grobogan)

dan rajanya Balitung, membawahi 28 "kabupaten," yang diawasi oleh

pejabat tinggi sebagai menteri di bawah pimpinan seorang Perdana Menteri

Selain itu raja memerintah di samping Rakryah Hino (putra mahkota).

Selanjutnya, pada beberapa masa kerajaan seperti zaman Airlangga

(1010), tidak tercatat perkembangan hukum adat, kecuali pada masa itu sudah

ada menteri raja yang berkepala Garuda, berbagai macam pajak dan

penghasilan yang harus dibayar kepada raja. Zaman Singasari (antara tahun

1222 sampai dengan 1292) negara yang didirikan oleh Ken Arok, sudub

mulai berkembang tatanan pemerintahan, terutama setelah Singasari dipimpin

oleh Kartanegara. Pada masa ini sudah ada tata hukum berupa “Sapta

Menteri dengan Mahkamah "Sapta Upapati" dengan tiga orang pamega

yaitu Tirwan, Mandamuri dan Manghuri.

Zaman Majapahit

, ketika kerajaan negara itu dipimpin oleh Hayam

Wuruk (1350-1389) dan Patih Mangkubumi Majapahit Gajah Mada, terdapat

pembagian pemerintahan yang jelas, seperti pembagian penjaga pusat

kedudukan pemerintahan dan mahkota yang disebut Darmaputra dan penjaja

keamanan dan kehormatan negara yang disebut dengan Bhayangkara. Prabu

Hayam Wuruk adalah Ketua sidang mahkota (Sapta-prabu), sidang yang

mengurus urusan rumah tangga keraton dan anggota keluarga prahu

mengatur soal-soal perkawinan, peralihan mahkota, kedudukan mahkota dan

ketentaraan negara. Sang Prabu memerintah Negara dengan empat badan pemerintahan yang

terdiri dari "Mari Karrini," Panca ring Wilwatikta," Dharmajaksa" dan


Sapta Papparti." Memiliki tiga Maha Menteri atau Matri Katrini, yaitu

Manteri Hino, Manteri Sirikan dan Manteri Halu. Panca ring Wilwatika

merupakan departemen-departemen yang terdiri dari "Rakryan" yang empat

dan seorang "Mahapatih Mahapatih dijabat oleh Gajah mada, dan yang

menyangkut politik negara dibicarakan dan dilaksanakan oleh Panen ring

Wikvatikta dan Matri Katrini. Dharmajaksa adalah jabatan keagamaan yang

terdiri dari Kepala Agama Budha dan Kepala Agama Syiwa Sapta Pappati

atau Upupati terdiri dari Pamegar Agama Syiwa dan dua petugas agama

Budha dengan tugas utama di bidang keagamaan. Kedudukan Hakim

langsung di bawah Sang Prabu Di Dalam memutus perkara didasarkan pada

hukum adat setempat dengan mengindahkan hukum adat yang tertulis dari

negara

Pada masa Majapahit ini, dikenal tiga kitab hukum, yaitu Kutaramanawa

yang bersendikan kitab Kutarapatra, dan Manawasyatra. Keputusan

pengadilan atau javasong atau Jaapatra memiliki arti yang luas pada masa

itu, karena saat itu tidak dikenal pembagian kekuasaan Trias Politika dari

Locke Xosresque, sehingga keputusan tersebut juga menyangkut atau ada

andil dari pemerintahan umum.

Masa berikutnya adalah masuk dan berkembangnya Islam. Dimulai pada

abad ke 12 di Aceh Timur terdapat dua negara kecil yaitu Pasai (Samudra

Aca Pasai) (berdiri tahun 1128) dan Perlak (Peureulak) (berdiri tahun 1028).

Berkembangnya Islam di Aceh tidak dengan serta merta terserap dalam

masyarakat sampai ke pedalaman, bahkan Sultan Mallkul Saleh (wafat 1297)

pada awalnya merupakan pimpinan persekutuan hukum adat di hulu sungai

Peusangan. Pengaruh itu sempat sampai ke Tapanuli, Minangkabau dan


Bengkulu, tetapi tidak di tanah Batak yang dikuasai oleh Sy Singamangaraja

(Hilman Hadikusuma, 1978:31).

Di daerah Minangkabau, yaitu pada tahun 1913. penguasa Aceh di

Pariaman, maka nagari-nagari dalam Laras Koto Piliang dan Laras Bodi

Chaniago mengatur pemerintahan persekutuan hukum adatnya dengan sistem

orang empat jenis" yaitu Penghulu, Malin (ulama), Mantl dan Dubalang. Di

kekuasaan Pagaruyung, Adityawarman, sebagal memimpin,

memerintah hanya berdasarkan hukum adat tanpa ada kedudukan ulama

sebagai Malin. Tetapi setelah masuknya Islam maka masyarakat Minang

tidak hanya hidup berdasarkan hukum adat tetap juga berdasarkan hukum

masaSyariat yang disebut "suluh nan terang," hukum adat bersendi pada halur dan

patut, sedangkan hukurn Syariat bersendi pada kitab Allah.

Masuk dan berpengaruhnya hukum Islam di Minangkabau tidak

membawa pengaruh pada kedudukan "rumah gadang," yaitu rumah adat yang

mempunyai 3 sampai dengan 15 ruang lebih, dikemudikan oleh ibu dengan

bantuan saudara lelaki ibu sebagai "mamak" yang ikut bertanggung jawab

atas rumah dan isinya Anak lelaki tidak mempunyai ruang di dalam rumah

gadang itu, jika ia sudah dewasa maka ia harus keluar dari rumah, karena

yang berhak adalah anak perempuan

Pada masyarakat Batak, hanya suku Mandailing dan Angkola yang

menerima Islam, sedangkan suku lainnya tetap menghormati si

Singamangaraja. Di kemudan hari, agama Kristen dapat menembus daerah

pedalaman Batak. Islam dan Kristen pada kenyataannya hanya mengisi sisi

kerohanian orang Batak. Hal itu terbukti dengan tidak berubahnya struktur

masyarakat dan hukum adatnya. Sampai sekarang yang kita lihat hanya pada
acara perkawinan nampak unsur agama, sedangkan pada bidang perdata dan

tata masyarakat masih tetap berpedoman pada tradisi dari zaman Hindu-

Malaio Polinesia (Hilman Hadikusuma, 1978; 38).

Dalarn struktur kekerabatan Batak tidak nampak unsur Islam dan

Kristen, seperti garis keturunan lelaki (patrilineal) bersendikan tiga unsur

yang disebuk dengan dongan sebutuha," "hula-hula," " dan "boru." Badan

pemerintahan adat tradisional dalam masyarakat Batak terdiri dari orang

pertama adalah Marga Tanah yang disebut "Raja Parjolo' (Toba Balige),

"Raja Doli" (Samosir) atau "Raja Panusunan" (Tapanuli Selatan). Orang

kedua adalah dari Boru Marga yang di Tapanuli Tengah disebut "Raja

Imboru" atau "Bayo bayo na godang" di Tapanuli Selatan. Orang ketiga

adalah wakil dari Marga Rakyat yang disebut "Natoras."

Di Samatera Selatan, sampai masa kekuasaan Arya Damar (1456 s.d.

1474) agama Islam belum begitu meluas di daerah pedalaman. Lebih-lebih di

daerah pegunungan. Pada masa pemerintahan Ratu Senuhan Seding (1630)

Hukumn Adat mulai dibukakan dalam aksara Arab Melayu yang kemudian

terkenal dengan "Undang-undang Sibur Cahaya" Hukum adat dalam bentuk

Terculis ini mulai dipengaruhi oleh Hukum Islam, dengan adanya ketentuan

ketentuan terdang kedudukan kaum (pejabat) agama yang terdiri dari

udine hatib), "Bilal," "Merbut" dan "Penghulu," dengan tugas-tugas

mengurus soal kwarin, pegat (cerai), puasa, fitrah, zakat

, tempat ibadah,

kelahiran kematian, keramat, pengajian dan pemeliharaan anak yatim.Pada umumnya Hukum Adat yang
berlaku di lingkungan masyarakat di

Indonesia masa itu didasarkan pada pedoman hidup yang berlandaskan iman

dan takwa kepada Tuhan Yang maha Esa, percaya pada hukum karma dan
ancaman kesaktian, hidup saling percaya mempercayai sesama manusia, rasa

kekeluargaan-kerukunan dan keselarasan sebagai sendi ketertiban dan

keadilan dimana segala sesuatunya ditempatkan di atas kepentingan

kebendaan dan pribadi. (Hilman Hadikusuma, 1978; 63).

Pelaksanaan Hukum Adat berjalan atas dasar musyawarah dan mufakat,

harga menghargai dan hormat menghormati antara satu sama lain. Barang

siapa melanggar hukum, maka ia dihukum termasuk kerabatnya ikut

bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya. Bentuk hukuman

hanya berupa celaan atau penyingkiran dari pergaulan, pengusiran atau

pembuangan, denda atau pengampuan. Hukum adat tidak mengenal hukum

penjara, kurungan atau tutupan, siksaan badan, pukulan atau perantaian,

karena anggapan hidup tidak ada manusia yang tidak akan bertaubat.

Hukum adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan

penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum di antara manusia, yang

bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat

dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah

mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik

bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan, tetapi

diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Dimana

ada masyarakat, di situ ada hukum (adat). (Iman Sudiyat, 1978; 33). Pada

hukum adat memiliki empat sifat yang merupakan suatu kesatuan, yaitu sifat

religio-magis, sifat komun (commuun); sifat kontant (tunai); dan sifat konkret

(visual)

Soekarto berpendapat bahwa jika kita mengeluarkan pertanyaan, hukum

apakah menurut kebenaran, keadaan, yang bahagian terbesar terdapat dalam


hukum adat Indonesia, jawabannya adalah: Hukum melayu-polinesia yang

ali itu dengan di sana-sini sebagai bahagian yang sangat kecil, hukum

agama (Surojo Wignyodipuro, 1973; 18).

B. HUKUM ISLAM

Sejarah hukum Islam telah menempuh suatu perjalanan yang parjang,

yaitu dimulai sejak masa Muhammad SAW yang pada periode Negura

Madinah mengemban dua tugas yaitu sebagai Rasulullah SAW dan sebagaiKepala Negara Madinah
(Tahir Azhary: 1992, 12-13). Hukum Islam tumbu

dimanifestasikan dalam bentuk aliran aliran pemikiran yang terkenal dengan

mazhab-mazhabnya, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali

Azhary: 1992; 32).

Dalam melakukan pendekatan pada sejarah Islam, dapat dilakukan

Quran, Sunnah Rasul, doktrin para sahabat dan ulama pada masa klasik, 0)

melalui dua cara, yaitu (1) pendekatan Islami yang menggunakan data A

pendekatan sosio-historis yang tidak merujuk pada Al Quran dan Sunna

Rasul serta doktrin para sahabat dan ulama tetapi menggunakan fenomena

sosial dan perkembangan masyarakat muslim. Kedua pendekatan

mengakibatkan perbedaan dari hasil penelitian

Perbedaan tersebut tampak dari hasil kapan Hukum Islam lahir. Pan

sarjana Muslim yang menggunakan pendekatan Islami menyimpulkan bahwa

hukum Islam lahir sejak masa Nabi Muhammad SAW, karena selama periode

(Negara) Madinah Al Quran yang diturunkan ketika itu mengandung ayat-

ayat hukum, politik, sosial dan aspek-aspek kemasyarakatan lainnya. Berbeda

dengan periode Mekkah sebagai periode pertama turunnya Al Quran, ayal

ayat yang diturunkan aspek-aspek keimanan dan akhlak.

Kalangan sarjana Barat mengasumsikan bahwa Hukum Islam lahir


setelah masa Rasulullah dan para sahabat. Asumsi itu didasarkan pada

perkembangan hukum Islam bukan dilakukan oleh Nabi beserta sahabatnya

tetapi para Qadhi yang ditunjuk oleh para Gubernur pada masa dinasti

Amawiya (Umayyah). Para Qadhi telah mentransformasikan praktek-praktek

administrasi yang populer pada masa itu ke dalam hukum Islam (Faisa

Ananda Arfa, 1995; 52-53). Hukum Islam adalah hasil rekayasa para Qadki

pada masa Amawiya tersebut. Asumsi yang dikemukakan oleh Joseph

Scahcht tersebut mendapat tantangan dari sejumlah pakar baik dari Muslim

sendiri maupun pakar Non-Muslim, antara lain MM Al Asmani, Wael N

Hallaq dan S.D. Goiten (Faisar Ananda Arfa, 1995; 52-53).

Sejarah hukum Islam pada hakikatnya tidak mungkin lepas dari proses

awal kelahiran hukum Islam itu bergandengan dengan sejarah Al Quran dan

Sunnah Rasul termasuk sejarah Rasulullah SAW dan para sahabatnya

Hukum Islam tidak mungkin dilepaskan dari fakta sejarah Muhammad SAW

sebagai Rasulullah dan sebagai Kepala Negara Madinah. Bukti-bukti sejumal

menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah bapak sejarah hukum Islamterutama melalui tradisi Nabi
(Sunah) dalam mengembangkan hukum Islam.

Tahir Azhan. 1993, 34)

Dalam Al Quran ada ketentuan bahwa bagi orang Islam pada dasarnya

diperintahkan untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya (Al Quran S.4: 59; S. 24:

5 Orang Islam tidak dibenarkan untuk mengambil pilihan lain kalau

mata Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas

(Al Quran S 33 : 30). Memilih hukum lain selain hukum yang telah

ditetapkan oleh Allah, dianggap zalim, kafir, dan fasik (Al Quran S.S: 44, 45,

47). Oleh sebab itu dari segi ajaran Islam sendiri tanpa dikaitkan dengan

hukum lain dalam masyarakat, maka berlaku prinsip bahwa bagi orang Islam
berlaku hukum Islam Orang Islam diperintahkan taat kepada Hukum Islam

(Al Quran S4:59, S.24: S1, 52). (lejtianto: 1990, 9).

Hukum Islam pada dasarnya sudah terkodifikasi (bila pengertiannya

adalah hukum tertulis) sejak pembukaan Al Quran. Setidaknya ayat-ayat

hamat yang terdapat dalam Al Qur'an telah terwujud dalam bentuk

tulisan, yang kemudian lahir kompilasi hadits dan penulisan fikih. Kodifikasi

tersebut berasal dari ide Napoleon dengan Code Napoleon-nya. Turki pada

tahun 1876 telah merampungkan Code Majallah yang materinya berasal dari

Mazhab Hanafi Mesir mengikuti hukum Barat sejak 1875, yang isinya antara

lain adalah code penal, commercial dan maritime. Hukum sipil diambil dari

hukum Perancis. tetapi Code Civil Mesir (1949) bukanlah merupakan

pengambilalihan Code Napoleon secara keseluruhan, tetapi merupakan

kombinasi hukum-hukum sipil yang ada, code contemporer dan asas-asas

Syari'ah (hukum Islam). Pasal 1 Code Sipil Mesir 1949 ini menyatakan

bahwa mengenai hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam code ini

pengadilan harus mengikuti hukum Adat, asas-asas hukum Islam dan asas-

asas kepatutan dan keadilan (H.M Rasjidi, 1976:27-28).

Sebelum Belanda menguasai Indonesia (Nusantara) pada waktu itu,

Islam telah ada dan mempengaruhi bentuk dan perilaku masyarakat dan tata

hukum yang ada. Misalnya Al Ahkam Al Sulthaniyah mempengaruhi

pembentukan unit-unit masyarakat di Aceh, di bidang pemahaman dan

pengamalan ketatanegaraan Islam mempunyai kebijaksanaan dalam

menerapkan aturan Islam di dalam kehidupan bermasyarakat, ialah dengan

kebijaksanaan Tavrik, Taklif dan Tarbig.

Tasyrit
, adalah kebijaksanaan pengundangan suatu hukum Allah dan

Rasul sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Bila masyarakat belum

malang untuk menerima suatu ketentuan hukum maka dibuat ketentuanhukum yang ringan, kemudian
meningkat sesuai dengan pemahaman

masyarakat pada aturan tersebut. Contoh dari penerapan tasyrik dalam Islam

adalah dalam hal minuman keras, Wahyu pertama menyebutkan bahwa

minuman keras itu ada manfaatnya dan ada dosanya, tetapi dosanya lebih

besar (Q.S.: 2:219). Dalam perkembangannya, ketika kesadaran hukum para

sahabat meningkat, turun wahyu kedua yang menyebutkan bahwa kalau akan

mengerjakan shalat jangan minum-minuman keras (Q.S. 4: 43) Wahyu

ketiga turun, ketika tingkat pemahaman hukum pada sahabat semakin

meningkat, yaitu yang menyebutkan bahwa berjudi dan minuman keras

adalah perbuatan syaitan, maka Jauhilah (Q.S. 5: 90, 91).

Kebijaksanaan taklif merupakan kebijaksanaan dalam penerapan suatu

ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subyek hukum) dengan

melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia itu; melihat pada

kemampuan fisik dan rohani (sudah dewasa), mempunyai kebebasan dan

mempunyal akal sehat, di samping mempunyai kondisi pribadi yang sangat

khusus ada padanya. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan taklif, hukum

suatu perbuatan bagi seseorang dapat berbeda dengan hukum perbuatan bagi

orang lain. Contohnya adalah mencuri Ketentuan hukum bagi pencuri laki-

laki dan perempuan adalah dipotong tangan (Q.S. S: 38). tetapi dalam

penerapannya dilihat situasi dan kondisi orang tersebut. Bila temyata

pencurian tersebut benar-benar semata-mata untuk makan, maka tangan

pencuri tidak dipotong, bahkan waktu Khalifah Umar bin Khattab harus

menerapkan hukum bagi pencuri tersebut, pencuri dilepas bahkan diberi


makan. Penerapan hukum Islam dalam masyarakat manusia memerlukan

kesadaran manusia dari segi batin dan imannya.

Penastan Hukum Islam bagi orang Islam, menurut Al Quran (S.4: 59,

SU: 5: S24: 51-52, S33:36), digantungkan pada kesadaran hukum dan cita-

cita moral kesadaran hati nuraninya. Bagi pribadi manusia muslim, tiap saat

dipanggil untuk menaati hukum Islam (Al Quran S.1: 5; 8.24:51)). Penaatan

Hukum Islam bagi pribadi muslim sangat dikaitkan dengan kesadaran dan

ketaatan agama pribadi muslim tersebut.

Hukum Islam sebagal tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas

produduk dan rakyat Indonesia, adalah hukum yang telah hidup di

Lyatokat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada

dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan

de pengembangannya. Ketika Belanda mulai mengenai sebagian pulau-

polo di Nusantara, mereka menganal paham kenyataan dalam masyarakatbahwa orang Islam menaati
Hukum Islam; bagi orang Islam berlaku hukum

Islam, atau Belanda menyebutnya dengan theorie Receptio in Complexu.

Setelah tiga abad lebih berkuasa, Belanda ingin memantapkan penjajahannya

dan berusaha menjauhkan Hukum Islam dari masyarakat Islam dengan

ditimbulkan dan diterapkannya Theorie Receptie. Teori ini dikembangkan

oleh Snouck Hurgronye yang didukung oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar

Ban. Setelah Indonesia Merdeka, Prof Dr. Hazairin mengembangkan theorie

receptie exit, yang kemudian diikuti oleh H. Sayuti Thalib yang

mengembangkan theorie receptio a contrario.

C hukum perdata barat

1. Penggunaan Istilah Hukum Perdala Baral

Hukum Perdata sering dinamakan Hukum Perdata BW karena yang


dimaksudkan di sini adalah hukum perdata yang bersumber dari BW

Burgelijk Wetboek), yakni suatu Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

dibuat oleh pemerintah Belanda untuk bangsa Belanda sendiri, yang

kemudian berdasarkan asas konkordansi serta dengan penyesuaian

seperlunya dengan keadaan di Hindia Belanda, diberlakukan di Hindia

Belanda (Ansori Ahmad: 1986; 3)

Penggunaan kata "Barat" pada hukum perdata barat untuk membedakan

penggunaan hukum perdata Adat bagi golongan Bumiputera (Indonesia asli)

dan penggunaan hukum perdata barat bagi golongan orang Eropa,

Pembedaan ini merupakan politik kolonial dalam memberlakukan hukum di

Hindia Belanda.

Dalam praktek sehari-hari yang dipergunakan adalah Hukum Perdata

untuk Hukum Perdata yang berdasarkan BW dan Hukum Adat untuk Hukum

Perdata yang berdasarkan Adat (di dalam hukum adat termasuk di dalamnya

hukum perdata-nya)

2. Terbentuknya BW di Belanda

Hingga abad pertengahan, di Belanda hukum belum terkodifikasi dan

Bersentralisasi. Negara Belanda pada saat itu berbentuk Republik Serikat.

sehingga keadaan hukum di negara itu terpecah-pecah sesuai dengan keadaan

provinsi-provinsi yang ade di seluruh Belanda. Masing-masing "provinsiberdaulat penuh sendiri-sendiri


atas wilayahnya, dan masing-masing

mempunyai peraturan sendiri-sendiri pula

. Hal tersebut menyebabkan belum

ada suatu peraturan hukum yang berlaku untuk seluruh wilayah dan

akibatnya adalah kepastian hukum atau rechtzakerheid sukar diperoleh.

(Ansori Ahmad: 1986; 11)


Hukum yang berlaku untuk masing-masing "provinsi" sangat beragam,

seperti hukum romawi, hukum german, hukum gereja dan peraturan dari

"provinsi" itu sendiri. Pada saat yang sama, beberapa ahli hukum di Belanda

merasakan perlunya ada suatu hukum yang sama di seluruh Belanda dan

terkodifikasi secara baik. Tahun 1796 dimulailah kodifikasi di bidang hukum

perdata, yang dipelopori oleh lembaga Nasional Vergadering (Sidang

Perwakilan Nasional). Untuk keperluan itu, maka disusunlah suatu panitia ad

hoc, walau pada akhirnya belum berhasil.

Tahun 1814, Kemper seorang guru besar di bidang hukum mengusulkan

kepada pemerintahnya agar membuat kodifikasi sendiri yang memuat

kumpulan hukum Belanda kuno: meliputi hukum Romawi, German dan

hukum Kanonik (gereja). Rancangan Kemper kemudian menjadi dasar atau

landasan kerja bagi komisi yang dibentuk oleh pemerintah yang dikenal

dengan Rancangan 1816. (Ansori Ahmad: 1986; 12)

Rancangan tersebut memuat 4000 pasal (dua kali BW yang kita kenal

saat ini), tetapi ketika diajukan kepada sarjana hukum Belgia (pada saat itu

Belanda dan Belgia disatukan), rancangan tersebut ditolak karena terlalu luas

dan terlalu rinci, dan panitia mengusulkan agar hukum yang sebelumnya

sudah ada dan berlaku, yaitu code Napoleon, tetap diberlakukan sebagai

dasar.

Pada tahun 1838 berdasarkan staatsblaad No. 12/1838, diundangkan

beberapa wetboek secara bersamaan, yaitu Wyk (Wetboek van Koophandel =

Kitab Undang-undang Hukum Dagang), BRv (Burgerlijke-Rechtsvordering

Hukum Acara Perdata), SV (Straafvordering

= Hukum Acara Pidana) dan


BW (Burgelijke Wetboek = Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Pengaruh hukum Romawi

Hukum Romawi masuk ke Belanda sekitar abad ke XIII dan mampu

bertahan untuk berabad-abad lamanya sebelum pada akhirnya timbul

keinginan masyarakat untuk menghargai hukum dan bahasanya sendiri, yaitu

bahasa Belanda Belum terkodifikasinya hukum di Belanda pada abad ke

Yll sampai pada tahap-tahap penyusunan kodifikasi hukum di Belanda,tentunya sebagian dari bahannya
berasal dari hukum Romawi di samping

hukum German dan hukum Kanonik.

b. Pengaruh hukum Perancis

Kodifikasi hukum yang pertama di Perancis dilakukan oleh Raja

Lodwijk ke XV pada sekitar 1715 M, tetapi tidak berhasil. Pada saat itu di

Perancis berlaku dua jenis hukum, yaitu hukum Perancis kuno dan hukum

Romawi. Pada tahun 1800, Napoleon Bonaparte diangkat menjadi konsul

pertama di Perancis, dan usaha kodifikasi kembali dilakukan oleh sebuah

komisi. Hasilnya adalah pada tahun 1804 kodifikasi tersebut disahkan dengan

nama Code Civil De Francais

Code Civil ini sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi, walaupun

hukum asli bangsa Perancis, hukum Kanonik juga memberi andil yang besar.

Code Civil yang terdiri dari tiga buku berisi:

1) Buku I, memuat tentang hukum perorangan dan hukum kekeluargaan

2) Buku II, memuat tentang hukum benda, hak milik, hak menikmati hasil,

hak memakai dan mendiami, hak servitut atau hak pakai.

3) Buku III, memuat tentang hukum waris, hukum perikatan, hukum harta

perkawinan, hak gadai, daluwarsa dan hal-hal lain yang tidak diatur pada
buku I dan II

Pada saat Napoleon dinobatkan menjadi kaisar bangsa Perancis, Code

Civil de Francais yang baru saja diberlakukan mengalami perubahan, dan

pada tahun 1807 code civil yang baru diberlakukan dan diberi nama code

Napoleon

Ketika Belanda dikuasai oleh Perancis maka code Napoleon

"dimodifikasi" sehingga dapat diterapkan di Belanda. Pada tahun 1808,

Werboek Napoleon in Gerigt Voor Het Koningkrijk (Kitab Undang-undang

Napoleon yang disesuaikan dengan kerajaan Belanda) disahkan yang berisi

code Napoleon yang diberlakukan di Perancis dan disesuaikan dengan

kondisi di Belanda. Tetapi Wetboek ini tidak dapat bertahan lama karena

kondisi pada saat itu adalah Belanda di bawah kekuasaan Perancis, sehingga

apa yang berlaku di Perancis berlaku pula di Belanda, sehingga code

Napoleon di Perancis diberlakukan pula di Belanda dan mendesak

werboek

yang dibuat khusus untuk Belanda.

Setelah Belanda lepas dari Perancis, code Napoleon tidak segera diganti

tetapi tetap diterapkan dengan penyesuaian di sana-sini sesuai dengankebutuhan Belanda. Meskipun
kemudian BW kembali dirumuskan, tetapi

sebagian besar isinya adalah Code Civil Perancis, yang berarti pula

dipengaruhi hukum Romawi yang terkenal itu. BW Belanda tersebut

kemudian diberlakukan di Hindia Belanda sampai sekarang, yang berarti

sangat dipengaruhi hukum Romawi, hukum Perancis, dan hukum Agama

atau gereja

3. Berlakunya BW di Indonesia

a
BW Belanda dan asas konkordansi

Di Belanda, BW berlaku sejak 1 Oktober 1838 berdasarkan Dekrit

Belando 10 April 1838 yang dimuat dalam Staatsblad No. 12/1838. Pada saat

itu, Belanda memiliki negara jajahan, yaitu Hindia Belanda, sehingga mulai

dipikirkan bagaimana memberlakukan BW tersebut di Hindia Belanda.

Pada tahun 1847, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal Hindia

Belanda, BW yang pada beberapa bagian disesuaikan dan ditambah tersebut

diberlakukan di Hindia Belanda pada tanggal 1 Mei 1848.

Pemberlakuannya didasarkan pada asas konkordansi atau Concordantie

beginsel yang tercantum pada Pasal 131 Indische Sattsregeling (IS) yang

berisi aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari 187 pasal,

dan mulai berlaku sejak Januari 1926 berdasarkan staatblad 1925-577. Pasal

131 IS tersebut sebagai dasar berlakunya BW dan WvK di Hindia Belanda.

BW hanya berlaku untuk:

Orang Eropa yang meliputi:

a) Orang Belanda

b) Orang yang berasal dari Eropa.

c) Orang Jepang

d) Orang Amerika, Kanada, Afrika Selatan, dan Australia berikut anak

mereka.

2) Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka

yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen

3) Orang Bumiputra keturunan Eropa.

Dengan demikian kepentingan orang-orang Eropa menjadi terjamin,

karena hukum Eropa merupakan hukum yang tertulis yang lebih menjamin
adanya kepastian hukum daripada hukum adat yang merupakan hukum yang

dipakai oleh golongan Bumiputra.b. Sistem hukum di Hindia Belanda

Sebagai suatu jajahan, tentu saja sistem hukum yang berlaku di Hindia

Belanda sesuai dengan kepentingan dan selera dari penjajah itu sendiri.

Dalam melaksanakan hukum disesuaikan dengan kepentingan politik

pemerintahan pada masa itu, sehingga mulai 1 Januari 1920 berdasarkan Stb.

1919 No. 621, Pasal 131 IS memuat ketentuan antara lain:

1) Hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata,

hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang atau

dikodifikasi (ayat 1).

2) Terhadap golongan Eropa, harus diberlakukan perundang-undangan

yang ada di negeri Belanda dalam bidang hukum perdata dan hukum

dagang (ayat 2 sub a). Ayat ini sering disebut sebagai ayat yang memuat

asas konkordansi.

3) Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing ketentuan perundangan

Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang dapat

diberlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya (ayat 2 sub b).

4) Orang Indonesia asli dan Timur Asing diperbolehkan menundukkan

dirinya kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian

maupun seluruhnya (ayat 4).

5) Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur

Asing tetap berlaku sepanjang belum ditulis dalam undang-undang (ayat

6).

Dari isi pasal-pasal tersebut nampaknya ada politik memecah belah dari

Pemerintah Hindia Belanda, yakni


1) Membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumiputra dan

Timur Asing yang ada di Hindia Belanda.

2) Membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan: Eropa, Bumiputra

dan Timur Asing

Dengan adanya ketentuan seperti itu maka di bidang hukum perdata

terdapat dualisme hukum, yaitu hukum perdata barat untuk orang-orang barat

dan hukum (perdata) adat untuk orang Bumiputra,

Perubahan-perubahan terhadap BW

Setiap perubahan terhadap BW di Belanda maka BW yang berlaku di

Hindia Belanda juga mengalami perubahan walaupun tidak seketika Haltersebut disebabkan oleh
jauhnya jarak dan juga adanya penyesuaian dengan

kondisi masing-masing yang berbeda. Adakalanya terjadi perubahan BW di

Belanda tetapi BW di Hindia Belanda tidak dapat diubah karena perbedaan

kondisi, begitu pula sebaliknya.

BW di Hindia Belanda masih dapat dikatakan utuh seperti pada saat

diberlakukan karena sedikit sekali mengalami perubahan, dan ketika

Indonesia merdeka, maka asas konkordansi tidak berlaku lagi, sehingga

perubahan-perubahan yang terjadi di Belanda tidak akan pernah lagi diikuti

oleh BW yang masih berlaku di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai