Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B.

A. BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Teori

1. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)

Goal setting theory merupakan salah satu bagian dari teori

motivasi yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun 1978. Goal

setting theory didasarkan pada bukti yang berasumsi bahwa sasaran

(ide-ide akan masa depan; keadaan yang diinginkan) memainkan

peran penting dalam bertindak. Teori penetapan tujuan yaitu model

individual yang menginginkan untuk memiliki tujuan, memilih tujuan

dan menjadi termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan (Birnberg

dalam Mahennoko, 2011).

Menurut teori ini “salah satu dari karakteristik perilaku yang

mempunyai tujuan yang umum diamati ialah bahwa perilaku tersebut

terus berlangsung sampai perilaku itu mencapai penyelesaiannya,

sekali seseorang mulai sesuatu (seperti suatu pekerjaan, sebuah proyek

baru), ia terus mendesak sampai tujuan tercapai. Proses penetapan

tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa

sendiri/diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan (Wangmuba


dalam Ramandei, 2009). Goal setting theory menjelaskan hubungan

antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep

dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang

3
14

diharapkan organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku

kerjanya.

Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku indivisu diatur oleh

ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai

tujuan atau tingkat kerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang

individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal ini akan

mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsenkuensi

kinerjanya. Teori ini juga menjelaskan bahwa penetapan tujuan yang

menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan

pestasi kerja (kinerja), yang diikuti dengan kemampuan dan

keterampilan kerja. Berdasarkan uraian di atas, maka diasumsikan

bahwa untuk mencapai kinerja yang optimal harus ada kesesuaian

tujuan individu dan organisasi. Dengan menggunakan pendekatan

goal setting theory, kinerja pegawai yang baik dalam

menyelanggarakan pelayanan publik diidentikkan sebagai tujuannya.

2. Desentralisasi

Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga

pelimpahan wewenang dari pemerintah ke pihak swasta dalam bentuk

privatisasi (Mardiasmo, 2002). Secara teoritis dalam konteks otonomi

daerah, desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat

nyata, yaitu:
15

a. Mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas

masyarakat dalam pembangunan; Mendorong pemerataan hasil-

hasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan

memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-

masing daerah.

b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran

peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang

paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap

(Mardiasmo, 2002).

Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang dan

tanggung jawab kepada para kepala. Tingkat pendelegasian itu

menunjukkan sampai seberapa jauh top manajemen mengijinkan

manajemen level bawah untuk membuat kebijakan secara independen.

Semakin tinggi tingkat desentralisasi semakin tinggi wewenang kepala

di dalam mengambil keputusan secara otonom. Pada struktur

terdesentralisasi, manajer puncak mendelegasikan wewenang dan

tanggung jawabnya kepada manajer di bawahnya dalam pembuatan

keputusan.

Menurut Hansen dan Mowen dalam Afrida (2013), menjelaskan

desentralisasi adalah praktek pendelegasian wewenang pengambilan

keputusan kepada jenjang yang lebih rendah. Sedangkan menurut

Miah dan Mia dalam Karyanti (2010), desentralisasi dapat diartikan

adanya pelimpahan sebagian wewenang dari pejabat terhadap pejabat


16

dibawahnya untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab

terkait dengan alokasi sumber daya dan pelayanan jasa terhadap

masyarakat. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusannya dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Simamora dalam Afrida (2013), menyatakan bahwa

desentralisasi merupakan delegasi otoritas atau wewenang

pengambilan keputusan kepada jajaran manajemen yang lebih rendah

di dalam sebuah organisasi. Pada intinya, desentralisasi memindahkan

titik pengambilan keputusan ke lapisan manajerial yang paling rendah

untuk setiap keputusan yang mesti diambil. Menurut Simamora dalam

Afrida (2013), terdapat empat kunci dalam penerapan wewenang

terdesentralisasi, yaitu:

a. Delegasi, merupakan pembagian ke bawah penugasanpenugasan

pekerjaan dan kekuasaan pengambilan keputusan terkait kepada

manajermanajer di dalam sebuah organisasi,

b. Wewenang, merupakan hak untuk membuat keputusan-keputusan

yang diperlukan untuk melakukan tugas yang diemban,

c. Tanggungjawab merupakan kewajiban manajer untuk menerima

otoritas untuk mencapai hasil yang dikehendaki,

d. Akuntabilitas mengacu kepada ukuran seberapa baik pencapaian

hasil-hasil, dan hal ini dipenuhi melalui laporan kinerja berkala


17

yang
18

memperlihatkan kepada manajer yang mendelegasikan wewenang

mengenai apa yang terjadi.

Menurut Ermaya dalam Solina (2014), desentralisasi dibidang

pemerintahan diartikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintah

pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk

menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari kelompok yang

mendiami suatu wilayah. Dalam suatu struktur desentralisasi,

pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan

kebijakan secara independen, tanpa intervensi dari tingkatan

pemerintahan yang lebih tinggi. Adanya pelimpahan kewenangan

kepada pemerintah daerah tidak sebagai sesuatu yang harus ditakuti

oleh pemerintah pusat karena pembagian kewenangan tersebut tidak

akan terlepas dari koordinasi dan pengawasan pemerintah pusat.

Pemberian otonomi kepada daerah hanya sebagai salah satu usaha

untuk pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat

disetiap daerah.

Menurut Mia dan Mia dalam Karyanti (2010), indikator yang

digunakan untuk mengukur desentralisasi adalah:

a. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah keuangan

(seperti penggantian dan pengadaan peralatan kantor, dll).

b. Pengambilan keputusan terkait dengan permasalahan operasional

(seperti pembelian alat tulis kantor dll).


19

c. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelatihan dan

peningkatan mutu staff serta karyawan.

d. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pergeseran dana

yang telah dianggarkan pada suatu rekening untuk dialihkan ke

rekening yang lain.

e. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengalokasian

sumber daya manusia (seperti pemberian promosi, hukuman, dll).

3. Sistem Pengendalian Internal Pemerintah

Definisi sistem menurut Jogiyanto (2005), sistem adalah suatu

jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan,

berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk

menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu. Menururt Arens dalam

Afrida (2013), mendefinisikan pengendalian intern sebagai berikut

pengendalian intern adalah proses yang dirancang untuk menyediakan

jaminan yang layak mengenai pencapaian dari sasaran manajemen

dalam kategori sebagai berikut; (1) keandalan laporan keuangan, (2)

efektivitas dan efisiensi dari operasional dan (3) pemenuhan dengan

ketentuan hukum dan peraturan yang biasa diterapkan.

Definisi yang dikemukakan Mulyadi (2001), pengendalian

intern adalah segala sesuatu yang meliputi semua cara-cara yang

digunakan oleh pimpinan perusahaan untuk mengawasi atau


20

mengendalikan perusahaan. Dalam pengertian pengendalian intern

meliputi: Struktur organisasi, formulir-formulir dan prosedur


21

pembukuan dan laporan (administrasi), budget dan standart

pemeriksaan intern dan sebagainya.

Definisi sistem pengendalian intern menurut Peraturan

Pemerintah No. 60 Tahun 2008 yang mengatur tentang Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral

pada kegiatan dan tindakan yang dilakukan secara terus menerus oleh

pimpinan dan tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang

efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset

negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dapat disimpulkan bahwa Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah merupakan sistem pengendalian yang harus diterapkan

dalam lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam

meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan

laporan keuangan, serta dalam peningkatan kualitas laporan keuangan.

Dalam pasal 3 PP No. 60 tahun 2008 disebutkan bahwa SPIP meliputi

hal-hal sebagai berikut:

a. Lingkungan Pengendalian

Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua

komponen pengendalian interen yang lain, menyediakan disiplin

dan struktur. Lingkungan pengendalian meliputi penegakan

integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi,

kepemimpinan yang kondusif, pembentukan struktur organisasi


22

yang sesuai kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung


23

jawab yang tepat, penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat

tentang pembinaan sumber daya manusia, perwujudan peran aparat

pengawasan intern pemerintah yang efektif, dan hubungan kerja

yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

b. Penilaian Risiko

Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan

Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten baik pada tingkat

instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya instansi

pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif resiko yang

dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang

bersumber dari dalam maupun dari luar instansi. Terhadap resiko

yang telah diidentifikasi, dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya

terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah

merumuskan pendekatan manajemen resiko dan kegiatan

pengendalian resiko yang diperlukan untuk memperkecil resiko.

c. Kegiatan Pengendalian

Kegiatan pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang

membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi

Pemerintah untuk mengurangi resiko yang telah diidentifikasi


24

selama proses penilaian resiko. Kegiatan pengendalian yang

diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat berbeda dengan

yang diterapkan pada Instansi Pemerintah lain. Perbedaan


25

penerapan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan visi, misi dan

tujuan, lingkungan dan cara beroperasi, tingkat kerumitan

organisasi, sejarah dan latar belakang serta budaya, serta resiko

yang dihadapi

d. Informasi dan Komunikasi

Informasi yang berhubungan perlu diidentifikasi, ditangkap dan

dikomunikasikan dalam bentuk dan kerangka waktu yang

memungkinkan para pihak memahami tanggung jawab. Sistem

informasi menghasilkan laporan, kegiatan usaha, keuangan dan

informasi yang cukup untuk memungkinkan pelaksanaan dan

pengawasan kegiatan Instansi Pemerintah. Informasi yang

dibutuhkan tidak hanya internal namun juga eksternal. Komunikasi

yang efektif harus meluas di seluruh jajaran organisasi dimana

seluruh pihak harus menerima pesan yang jelas dari manajemen

puncak yang bertanggung jawab pada pengawasan. Semua

pegawai harus paham peran mereka dalam sistem pengendalian

interen seperti juga hubungan kerja antar individu. Mereka harus

memiliki alat yang menyebarluaskan informasi penting.

e. Pemantauan/ Monitoring

Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui

pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut


26

rekomendasi hasil audit dan review lainnya. Pemantauan

berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin,


27

supervisi, pembandingan, rekonsiliasi dan tindakan lain yang

terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan

melalui penilaian sendiri, review, dan pengujian efektivitas Sistem

Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan

intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan

menggunakan daftar uji pengendalian intern.

4. Komitmen Organisasi

Keberhasilan pengelolaan organisasi sangat ditentukan oleh

keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia. Tinggi

rendahnya komitmen karyawan terhadap organisasi tempat mereka

bekerja, sangatlah menentukan kinerja yang akan dicapai organisasi.

Dalam dunia kerja komitmen karyawan memiliki pengaruh yang

sangat penting, bahkan ada beberapa organisasi yang berani

memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk

memegang jabatan atau posisi yang ditawarkan dalam iklan lowongan

kerja. Setiap pegawai memiliki dasar dan perilaku yang berbeda

tergantung pada komitmen organisasi yang dimiliknya. Pegawai yang

memiliki komitmen tinggi akan melakukan usaha yang maksimal dan

keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya

Pegawai yang memiliki komitmen rendah akan melakukan usaha yang

tidak maksimal dengan keadaan terpaksa.


28

Menurut Robbins dan Judge dalam Kurniawan (2013), dalam

mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang


29

individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya

untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Mathis dan

Jackson dalam Kurniawan (2013), mendefinisikan komitmen

organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau

menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak

akan meninggalkan organisasinya. Menurut Aranya et.al dalam

Kurniawan (2013), mendefinisikan komitmen sebagai:

a. Keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai organisasi.

b. Kemauan untuk berusaha atau bekerja untuk

kepentingan organisasi.

c. Hasrat untuk menjaga keanggotaan organisasi.

Menurut Argyris dalam Kurniawan (2013), membagi komitmen

menjadi dua, yaitu komitmen internal dan komitmen eksternal.

Komitmen internal merupakan komitmen yang berasal dari diri

karyawan untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab dan

wewenang berdasarkan pada alasan dan motivasi yang dimiliki.

Komitmen eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja, yang muncul

karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggung

jawab yang harus diselesaikan oleh para karyawan.

Pendekatan untuk menjelaskan mengenai komitmen organisasi

oleh Shepperd dan Mathew dalam Kurniawan (2013), dikelompokkan


30

menjadi empat pendekatan, yakni:

a. Pendekatan Berdasarkan Sikap (Attitudinal Approach)


31

Komitmen menurut pendekatan ini, menunjuk pada permasalahan

keterlibatan dan loyalitas. Menurut Mowday dan Potter dalam

Kurniawan (2013), komitmen adalah identifikasi yang relatif kuat

serta keterlibatan dari individu terhadap organisasi tertentu. Ada 3

faktor yang tercakup di dalamnya, yakni:

1) Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

2) Keyakinan kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan serta

tujuan dari organisasi.

3) Penerimaan untuk melakukan usaha-usaha sesuai dengan

organisasi.

Menurut Mowday dalam Kurniawan (2013), mengemukakan

bahwa komitmen organisasi terbangun apabila masing-masing

individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan

terhadap organisasi, yang antara lain adalah:

1) Identifikasi (identification), yaitu pemahaman atau

penghayatan terhadap tujuan organisasi.

2) Keterlibatan (involvement), yaitu perasaan terlibat dalam suatu

pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaan tersebut adalah

menyenangkan.

3) Loyalitas (loyality), yaitu perasaan bahwa organisasi adalah

tempatnya bekerja dan tinggal.

Seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki


32

identifikasi terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam


33

pekerjaannya dan adanya loyalitas serta afeksi positif terhadap

organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan

organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi

dalam jangka waktu lama.

b. Pendekatan Komitmen Organisasi Multi Dimensi (The Multi

Dimensional Approach)

Menurut Allen dan Meyer dalam Kurniawan (2013), ada tiga

komponen yang mempengaruhi komitmen organisasi, sehingga

karyawan memilih tetap atau meninggalkan organisasi berdasar

norma yang dimilikinya. Tiga komponen tersebut adalah:

1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya

keinginan untuk terikat pada organisasi. Individu menetap

dalam organisasi karena keinginan sendiri. Kunci dari

komitmen ini adalah want to.

2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang

didasarkan akan kebutuhan rasional. Dengan kata lain,

komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi,

dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan

menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini

adalah kebutuhan untuk bertahan (need to).

3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan

pada norma yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan

individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Ia merasa


34

harus bertahan karena loyalitas. Kunci darikomitmen ini

adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to).

c. Pendekatan Komitmen Organisasi Normatif (The Normative

Approach)

Menurut Weiner dalam Kurniawan (2013), menyatakan bahwa

perasaan akan komitmen terhadap organisasi diawali oleh

keyakinan akan identifikasi organisasi dan digeneralisasikan

terhadap nilai-nilai loyalitas dan tanggung jawab. Menurut Weiner,

komitmen organisasi dapat dipengaruhi oleh predisposisi personal

dan intervensi organisasi. Hal ini mengandung arti bahwa

perusahaan atau organisasi dapat memilih individu yang memiliki

komitmen tinggi, dan bahwa organisasi dapat melakukan apa saja

agar karyawan atau anggotanya menjadi lebih berkomitmen.

d. Pendekatan Komitmen Organisasi Berdasarkan Perilaku

Pendekatan ini menitikberatkan pandangan bahwa

investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan, pensiun) pada

organisasi membuat mereka terikat untuk loyal terhadap organisasi

tersebut (Suliman dan Iles dalam Kurniawan, 2013). Komitmen

organisasi dapat tercipta apabila individu dalam organisasi sadar

akan hak dan kewajibannya dalam organisasi tanpa

melihat jabatan dan kedudukan, hal ini disebabkan

pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota

organisasi yang bersifat kolektif. Penelitian yang dilakukan oleh


35

Kouzes menemukan
36

bahwa kredibilitas yan tinggi akan mampu menghasilkan suatu

komitmen dan hanya dengan komitmen yang tinggi, suatu

organisasi mampu menghasilkan bisnis yang baik (Riyanto dalam

Kurniwan, 2013).

Menurut Armstong dalam Kurniawan (2013), ada 3 pilar besar

dalam komitmen. Ketiga pilar itu meliputi:

a) Adanya perasaan menjadi bagian dari organisasi (a sense of

belonging to the organization).Untuk mencapai rasa memiliki

tersebut, maka salah satu pihak dalam manajemen harus mampu

membuat anggota:

1) Mampu mengidentifikasikan dirinya terhadap organisasi.

2) Merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya/pekerjaannya

adalah berharga bagi organisasi tersebut.

3) Merasa nyaman dengan organisasi tersebut

4) Merasa mendapat dukungan yang penuh dari organisasi

dalam bentuk misi yang jelas (apa yang direncanakan untuk

dilakukan), nilai-nilai yang ada (apa yang diyakini sebagai

hal yang penting oleh manajemen) dan norma-norma yang

berlaku (cara-cara berperilaku yang bisa diterima oleh

organisasi).

b) Adanya ketertarikan atau kegairahan terhadap pekerjaan (a


37

sense of excitement in the job). Perasaan seperti ini bisa

dimunculkan dengan cara:


38

1) Mengenali faktor-faktor motivasi intrinsic dalam mengatur

desain pekerjaan (job design).

2) Kualitas kepemimpinan.

3) Kemauan dari manajer dan supervisor untuk mengenali

bahwa motivasi dan komitmen anggotanya bisa meningkat

jika ada perhatian terus menerus, memberi delegasi atas

wewenang serta memberi kesempatan serta ruang yang

cukup bagi anggota untuk menggunakan keterampilan dan

keahliannya secara maksimal.

c) Adanya rasa memiliki terhadap organisasi (ownership)

Rasa memiliki bisa muncul jika anggota merasa bahwa mereka

benar-benar diterima menjadi bagian atau kunci penting dari

organisasi.

5. Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu

kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan

visi organisasi. Secara umum, kinerja merupakan prestasi yang dapat

dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu (Bastian, 2006). Dalam

Permendagri 13 Tahun 2006, definisi kinerja adalah keluaran atau


39

hasil dari kegiatan atau program yang akan atau telah dicapai

sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan

kualitas yang terukur. Menurut pendekatan perilaku dalam

manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang

dihasilkan atau jasa yang


40

diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans dalam

Fibrianti, 2013).

Kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara

hasil kerja dengan standar yang ditetapkan (Dessler dalam Fibrianti,

2013). Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara

keseluruhan selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas

dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil

kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu telah disepakati bersama (Rivai dan Basri dalam Fibrianti,

2013).

Menurut Peraturan Kementrian Dalam Negeri Republik

Indonesia No. 13 Tahun 2006, Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah

perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran

atau barang. Sedangkan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah

merupakan pengukur keberhasilan organisasi dalam pencapaian

tujuannya, dan untuk mengetahui sejauh-mana tingkat keberhasilan

pelayanan yang dicapai. Peningkatan kinerja sektor publik merupakan

hal yang bersifat komprehensif, dimana setiap SKPD sebagai

pengguna anggaran (badan/ dinas/biro/kantor) akan menghasilkan

tingkat kinerja yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan rasa

tanggung jawab yang mereka miliki. Semakin bagus tingkat

pengelolaan keuangan oleh pengguna anggaran maka akan semakin

tinggi tingkat kinerja SKPD.


41

Menurut Mardiasmo (2002) value for money (ekonomi, efisien, dan

efektif) merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi

pemerintahan sebagai berikut:

1) Ekonomi (Economy)

Indikator ekonomi mengacu pada kegiatan yang bersumber dari

kegiatan pengadaan sumber daya dalam jumlah dan mutu yang

tepat, pada waktu yang tepat dengan biaya serendah mungkin.

2) Efisiensi (Effeciency)

Indikator efisiensi mengambarkan hubungan antara masukan

sumber daya oleh suatu unit kerja seperti staf, upah, biaya

administrasi dengan pelayanan.

3) Efektivitas (Effectiveness)

Indikator efektivitas merupakan hubungan antara outcomes dengan

outputs. Dengan kata lain pengertian efektivitas mengarah kepada

hubungan antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Efektivitas

dapa diartikan pula sebagai keberhasilan dalam mencapai tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya.

B. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang kinerja SKPD diantaranya


42

dilakukan oleh Afrida (2013), penelitian dilakukan di SKPD Pemerintah

Kota Padang, hasilnya desentralisasi dan sistem pengendalian intern

pemerintah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja manajerial

SKPD. Penelitian Fibrianti (2013), yang dilakukan pada pemerintahan


43

Kota Surabaya, hasilnya bahwa partisipasi anggaran, desentralisasi,

komitmen organisasi, dan ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif

terhadap kinerja manajerial. Putri (2013), penelitian dilakukan di

Pemerintah SKPD Kota Padang, hasilnya komiten organisasi dan sistem

pengendalian intern pemerintah berpengaruh positif terhadap kinerja

manajerial SKPD.

Penelitian Putri (2010), penelitian dilakukan di Pemerintah

Daerah Kabupaten Tegal, hasilnya komitmen organisasi dan peran

manajer pengelolaan berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial

SKPD. Indudewi (2009), penelitian dilakukan di SKPD dan BUMD Kota

Semarang, hasilnya sasaran jelas dan terukur memiliki pengaruh positif

signifikan terhadap kinerja, insentif memiliki pengaruh positif signifikan

terhadap kinerja, desentralisasi tidak signifikan terhadap kinerja,

pengukuran kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja.

C. Hipotesis

1. Pengaruh Desentralisasi terhadap Kinerja Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD)

Desentralisasi akan meningkatkan kinerja manajerial jika

pendelegasian wewenang diberikan manajemen puncak ke manajemen

bawah dalam pengambilan keputusan/kebijakan, hal ini akan

memberikan semangat kepada unit organisasi lebih rendah untuk


44

bekerja lebih baik dari sebelumnya sehingga memacu untuk

meningkatkan kinerja manajerial SKPD (Afrida, 2013). Organisasi


45

sektor publik harus dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat

dalam melayani kebutuhan masyarakat, dengan adanya dalam

pelimpahan wewenang, dalam hal ini pengambilan keputusan,

desentralisasi dapat meningkatkan kinerja organisasi sektor publik

(Williamson dkk, dalam Karyanti, 2010) menduga desentralisasi

berpengaruh terhadap kinerja organisasi.

Miah dan Mia dalam Fibrianti (2013), menyatakan bahwa

desentralisasi pengambilan keputusan memiliki implikasi pada kinerja

yang jangkauannya luas bagi organisasi secara keseluruhan.

Desentralisasi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para

manajer bertujuan untuk meningkatkan kinerja mereka dengan

mendorong mereka untuk mengembangkan kemampuan khas untuk

menangani kondisi-kondisi lokal yang tidak menentu. Struktur

organisasi memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kinerja

pada tingkat organisasi maupun tingkat sub-unit. Pengaruh itu terjadi

karena dengan desentralisasi, penetapan kebijakan yang dilakukan oleh

manajer yang lebih memahami kondisi unit yang dipimpinnya sehingga

kualitas kebijakan diharapkan menjadi lebih baik (Nazaruddin dalam

Fibrianti, 2013). Sedangkan Miah dan Mia dalam Fibrianti (2013),

menyatakan bahwa desentralisasi memungkinkan para manajer secara

efektif menangani peristiwa, bertindak tanpa menunggu dan

meningkatkan kualitas keputusan yang mendorong kinerja lebih baik.


46

Desentralisasi yang merupakan pendelegasian wewenang dari

manajemen puncak ke manajemen bawah dalam hal pengambilan

keputusan atau kebijakan, hal ini dapat memberikan semangat kepada

unit organisasi lebih rendah untuk bekerja lebih baik dari sebelumnya

sehingga memacu untuk meningkatkan kinerja manajerial SKPD.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk menguji

desentralisasi terhadap kinerja manajerial satuan kerja perangkat

daerah, maka hipotesis dalam penelitian ini:

H1: Desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

2. Pengaruh Sistem Pengendalian Internal Pemerintah terhadap

Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Dalam PP No 60 tahun 2008, kegiatan pengendalian membantu

memastikan bahwa arah pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan.

Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian

tujuan organisasi serta sesuai dengan ukuran, kompleksitas dan sifat

dari tugas dan fungsi suatu instansi pemerintah yang bersangkutan.

Kegiatan pengendalian intern terdiri atas review atas kinerja instansi

pemerintah yang bersangkutan. Untuk memperbaiki kinerja pemerintah

perlu diciptakannya sistem pengendalian intern pemerintah agar

instansi pemerintah dapat mengetahui dana publik yang digunakan oleh

pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Rosdiana dalam Afrida,


47

2013).
48

Menurut Soeseno dalam Ramandei (2009), adanya pengedalian

intern maka seluruh proses kegiatan audit, review, evaluasi,

pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap organisasi dalam

rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah

dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara

efektif dan efisiensi untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan

tata kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu diharapkan dengan

sistem pengendalian intern yang efektif akan berpengaruh terhadap

kinerja manajerial satuan kerja perangkat daerah.

Sistem Pengendalian Intern yang baik dalam suatu organisasi akan

mampu menciptakan keseluruhan proses kegiatan yang baik pula,

sehingga nantinya akan memberikan suatu keyakinan bagi organisasi

bahwa aktivitas yang dilaksanakan telah berjalan sesuai dengan tolak

ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, dan hal tersebut

akan memberikan dampak positif bagi kinerja organisasi tersebut

(Putri, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk

menguji sistem pengendalaian intern pemerintah terhadap kinerja

Satuan Kerja Perangkat Daerah, maka hipotesis dalam penelitian ini:

H2: Sistem pengendalian intern pemerintah berpengaruh positif

dan signifikan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD).
49

3. Pengaruh Komitmen Organsisasi terhadap Kinerja Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD)

Komitmen organisasi adalah komitmen yang diciptakan oleh

semua komponen-komponen individual dalam menjalankan

operasional organisasi. Komitmen tersebut dapat terwujud apabila

individu dalam organisasi, menjalankan hak dan kewajiban mereka

sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam organisasi,

karena pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua

anggota organisasi yang bersifat kolektif. Penelitian yang dilakukan

oleh Kouzes dalam Kurniawan (2013), menunjukkan bahwa

kredibilitas yang tinggi mampu menghasilkan suatu komitmen, dan

hanya dengan komitmen yang tinggi, suatu instansi pemerintahan

mampu menghasilkan kinerja yang baik. Hal ini juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan Ivano dalam Kurniawan (2013), yang

menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap

kinerja organisasi publik.

Pegawai pemerintah yang berkomitmen akan bekerja secara

maksimal karena mereka menginginkan kesukseskan organisasi tempat

dimana mereka bekerja. Pegawai pemerintah yang berkomitmen akan

memiliki pemahaman atau penghayatan terhadap tujuan organisasi,

perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaan

tersebut adalah menyenangkan, dan perasaan bahwa organisasi adalah

tempat bekerjanya dan tinggal (Wulandari, 2013).


50

Hal ini akan menyebabkan peningkatan kinerja mereka karena ada

bahwa keyakinan visi dan misi pemerintahan akan tercapai dengan

sumbangsih mereka. Keterikatan kerja yang sangat erat merupakan

suatu kondisi yang dirasakan para karyawan, sehingga menimbulkan

perilaku positif yang kuat terhadap organisasi kerja yang dimiliki.

Menurut Steer dalam Wulandari (2013), suatu bentuk ikatan kerja yang

kuat bukan bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan

hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan

memberikan segala usaha demi keberhasilan pelaksanaan tujuan

organisasi. Berarti karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi

akan melakukan segala usaha agar dapat mencapai tujuan organisasi.

Apabila tujuan organisasi tercapai maka kinerja organisasi akan

menjadi lebih baik.

Menurut Angel dan Perry dalam Kurniawan (2013) menjelaskan,

bahwa komitmen organisasi yang kuat akan mendorong para individu

untuk berusaha lebih keras dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini

didukung oleh Randall dalam Wulandari (2013), yang mengungkapkan

bahwa komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja

yang tinggi pula. Oleh sebab itu, individu yang memiliki komitmen

yang kuat dalam organisasi maka semakin besar juga usaha mereka

dalam menyelesaika tugas-tugas pekerjaanya yang akan berimbas pada

kinerja yang baik, yang akan berguna bagi organisasinya. Artinya

individu dengan komitmen organisasi yang tinggi akan


51

menghasilkan
52

kinerja yang baik demi tercapainya tujuan organisasi. Sehingga

komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan

organisasi dari pada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan

organisasi menjadi lebih baik lagi. Jadi antara komitmen organisasi

dengan kinerja terdapat pengaruh yang positif dimana kinerja yang

baik pastinya dilatar belakangi oleh komitmen yang kuat.

Komitmen organisasi yang buruk tidak menghasilkan kinerja yang

tinggi. Jadi, semakin tinggi derajat komitmen organisasi semakin tinggi

pula kinerja yang dicapainya. Kalau komitmen pegawai terhadap

organisasinya tinggi maka akan berpengaruh terhadap kinerja,

sedangkan kalau komitmennya itu rendah maka akan mengakibatkan

munculnya keinginan untuk keluar (MacKenzie dalam Kurniawan,

2013). Kinerja pegawai tidak lepas dari faktor komitmen organisasi.

Komitmen maknanya sama dengan menjalankan kewajiban,

bertanggung jawab, dan janji yang membatasi seseorang untuk

melakukan sesuatu. Pegawai dengan komitmen yang tinggi dapat

diharapkan mampu menunjukan kinerja yang optimal. Seseorang yang

bergabung dalam organisasi pada sebuah perusahaan dituntut adanya

komitmen dalam dirinya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hakim

dalam Kurniawan (2013), bahwa komitmen organisasi sangat besar

pengaruhnya terhadap kinerja seseorang. Seorang karyawan akan

bekerja secara maksimal, memanfaatkan kemampuan dan


53

ketrampilannya dengan bersemangat, manakala ia memiliki komitmen

organisasi yang tinggi.

Menurut Nouri dan Parker dalam Putri (2013), aparat yang

memiliki komitmen organisasi yang tinggi, dapat menggunakan

informasi yang dimiliki untuk membuat anggaran menjadi relatif lebih

tepat. Komitmen organisasi merupakan alat bantu psikologis dalam

menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dalam Kurniawan (2011),

menyimpulkan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang

positif terhadap kinerja pegawai. Hal ini juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan Ivano dalam Kurniawan (2013), yang menyatakan

bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk menguji

pengaruh komitmen organisasi terhadap kinerja Satuan Kerja

Perangkat Daerah, makan hipotesis dalam penilitian ini adalah:

H3: Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap

kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).


54

D. Model Penelitian

Adapun model penelitian dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Desentralisasi (X1)  Afrida (2013)

 Karyanti (2013)

H1 +  Fibrianti (2013)

Kinerja SKPD (Y)


Sistem
Pengendalian Intern
Pemerintah (X2)

H2 +
 Afrida (2013)

 Ramandei (2013)

Komitmen  Putri (2013)


Organisasi (X3)
H3 +

 Kurniawan (2013)
55

 Wulandari (2013)

 Putri (2013)

Gambar 2.1

Model

Penelitian

Anda mungkin juga menyukai