Anda di halaman 1dari 14

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

ISSN - 2086-133

JURNAL DIMENSI SEJARAH


Journal homepage: www.jurnaldimensisejarahum.com

SEJARAH BANJIR DAN ALASAN PENDUDUK TETAP


TINGGAL DI SITIARJO MALANG SELATAN, 2003-2017
Muhammad Rizki Gunawan, Ronal Ridhoi.
Riskigunawan806@gmail.com, Ronal.ridhoi.fis@um.ac.id.

Abstract
Sitiarjo Village located in the south of malang regency, which has a unique
geographical conditions. This village located in the flood-prone areas because the
topoghrapy lookslike a basin and it passed by a large river. Almost every year this
area is affected by flooding, but local residents choose to keep stayed in the Sitiarjo
Village. If every years always flooding, then why don’t they move? This paper
combines historical methods with antropological approaches. By reading several
sources such as village archives, BPBD archives, photo and interview results, this
study seeks to explain the history of floods and the reasons of the residents keep
staying in Sitiarjo Villages.

Keywords
History of floods, Sitiarjo, the reason to keep staying

Abstrak
Desa Sitiarjo merupakan desa yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang, yang
memiliki kondisi geografis cukup unik. Desa ini termasuk dalam lokasi daerah rawan
banjir karena topografinya yang menyerupai cekungan dan dilewati sungai besar.
Hampir setiap tahun daerah ini terdampak banjir, namun penduduk lokal memilih untuk
tetap tinggal di Desa Sitiarjo. Jika setiap tahun terjadi banjir, lalu mengapa mereka tidak
pindah? Tulisan ini menggabungkan metode sejarah dengan pendekatan antropologis.
Dengan melakukan pembacaan terhadap beberapa sumber seperti arsip desa, arsip
BPBD, foto, dan hasil wawancara, penelitian ini berusaha untuk memaparkan sejarah
banjir dan alasan penduduk tetap tinggal di Desa Sitiarjo.

Kata kunci
Sejarah banjir, Sitiarjo, alasan tetap tinggal

*Received: 11 January 2020 *Revised: 28 March 2020


*Accepted: 5 May 2020 *Published: 25 June 2020

Pendahuluan
Desa Sitiarjo merupakan desa yang terletak di sebalah selatan Kabupaten Malang, secara
Astronomi desa ini terletak pada koordinat 8, 2280 Lintang Selatan dan 112, 4091 Bujur Timur.

Gunawan & Ronal| 25


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Adapun lokasi Desa Sitiarjo berada di kecamatan Sumbermanjing Wetan. Pada tahun 2017,
kecamatan Sumbermanjing Wetan terbagi habis menjadi 15 desa, 40 dusun, 113 RW dan 514 RT.
Dilihat dari komposisinya, Desa Sitiarjo memiliki RW dan RT paling banyak diantara desa lainya.
Terbukti jumlah RT di desa Sitiarjo yaitu sebanyak 15 RW dan 59 RT (BPS Kab Malang, 2018). Dengan
banyaknya RW dan RT secara otomatis akan menjadi daerah dengan rukun warga dan rukun
tetangga terbanyak pula.
Desa Sitiarjo dapat dikatakan memiliki sejarah desa yang panjang dari awal mula tempat ini
dihuni sampai menjadi desa yang bisa kita lihat dewasa ini. Sebagaimana seperti desa-desa lainya
desa Sitiarjo juga memiliki sejarah lokalnya sendiri, dikutip dari penelitian terdahulu A’isyah (2016)
diketahui bahwasannya awal mulanya desa ini di babad alas (membuka hutan) oleh tokoh Kristen
dari Wonorejo Bantur Malang, yaitu Kyai Truna Semitra disekitar sungai lembah Panguluran yang
sebelumnya meminta izin terlebih dahulu kepada pemerintahan Hindia Belanda di Batavia pada
tahun 1893. Pada tahun 1895, izin telah diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda, namun baru
sampai ke tangan penduduk desa Sitiarjo pada tahun 1897.
Namun demikian, daerah Sitiarjo termasuk salah satu desa di kabupaten Malang yang
berada di kawasan rawan banjir, seperti dikutip dari (RPJMD, Kab Malang 2016-2020) bahwa salah
satu wilayah potensi bencana banjir dan longsor berada di desa Sitirjo dan desa Tambak Sari
Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Dengan demikian sebagai daerah rawan banjir pastinya banjir
yang pernah terjadi di daerah Sitiarjo bukan hanya satu kali terjadi dan bahkan bisa terjadi berkali-
kali, sebagaimana diakhir-akhir ini banjir yang terjadi pada tahun 2013 di desa Sitiarjo mengakibatkan
sekitar 2 unit rumah rusak sedang, bencana tersebut diakibatkan oleh intensitas hujan yang tinggi
(BPBD Kab Malang, 2013). Begitupun pada tahun 2016 banjir di desa Sitiarjo mengakibatkan sekitar
176 unit rumah terendam, bencana tersebut diakibatkan oleh intensitas hujan yang tinggi sehingga
sungai Panguluran meluap hingga ke pemukiman warga dan menggenangi areal pertanian (BPBD
Kab Malang, 2016). Adapun banjir yang paling parah terjadi pada tahun 2017 mengakibatkan sekitar
541 rumah terdampak genangan banjir di 4 dusun, bencana tersebut diakibatkan oleh hujan deras
dengan waktu lama sehingga mengakibatkan sungai Panguluran meluap (BPBD Kab Malang, 2017).
Sebagaiamana data yang tercantum di atas membuktikan adanya banjir di desa Sitiarjo
tidak hanya terjadi satu kali bahkan bisa berkali-kali dan dalam siklus 4 tahunan – 3 tahunan – bahkan
bisa jadi 1 tahunan seperti yang terjadi pada banjir tahun 2016 dan 2017. Oleh sebab itu banjir yang
terjadi akhir-akhir ini bukanlah banjir yang pertama dan yang terakhir, bisa jadi jauh sebelumnya
pernah terjadi banjir serupa baik yang tercatat maupun tidak tercatat. Dari fenomena benacana
banjir di Sitiarjo inilah membuat peneliti tertarik untuk menulis kajian sejarah banjir desa Sitiarjo.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan warga yang sudah berumur 70
tahun ke atas memberikan hasil bahwa banjir yang terjadi sudah sejak dari beliau kecil jadi sekitar
tahun 1960 pernah terjadi banjir bandang di desa ini yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
di daerah perbukitan sehingga air kiriman itu membuat sungai Panguluran meluap ke pemukiman
warga dan menggenagi areal pertanian.
Ditinjau dari sejarah banjir desa Sitiarjo dan siklus terjadinya banjir, menjadikan masyarakat
sadar akan dampak bahaya dan kerugian akibat banjir baik berupa fisik maupun nonfisik. Bahaya
banjir berupa nonfisisk yakni kehilangan nyawa, terkontaminasinya lingkungan yang
membahayakan kesehatan, keindahan, dan kenyamanan serta terganggunya aktifitas sosial-
ekonomi (Yusuf, 2005). Sedangkan kerusakan fisik seperti kerusakan bangunan, kerusakan sarana
dan prasarana dan kerusakan ekosistem. Seperti yang tercatat pada data BPBD Kab Malang 2017
banjir di desa Sitiarjo mengakibatkan sekitar 541 rumah terdampak genangan banjir di 4 dusun dan
menggenangi areal pertanian. Adanya dampak banjir ini pastinya telah merugikan masyarakat baik
secara fisik maupun nonfisik. Oleh sebab itu sebagai desa rawan bencana banjir masyarakat Sitiarjo
mau tidak mau harus memilih antara tetap tinggal atau pindah ke tempat yang lebih baik. Dari
Permasalahan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji tentang alasan masyarakat tetap
tinggal di daerah rawan bencana.

Gunawan & Ronal| 26


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Berdasarkan latar belakang di atas tulisan ini berupaya menjelaskan daerah rawan banjir
desa Sitiarjo dalam kajian sejarah dan alasan mengapa masyarakat tidak mau berpindah tempat
permukiman. Tulisan ini berusaha untuk membuktikan bahwa penduduk lokal mampu bertahan
menghadapi bahaya yang ditimbulkan dari bencana banjir bandang.

Metode
Penelitian ini mengombinasikan metode sejarah dengan pendekatan antropologis.
Metode sejarah digunakan untuk menganalisis secara kronologis peristiwa banjir bandang di
daerah Sitiarjo yang telah terjadi sejak awal abad ke-20. Selain itu juga untuk mengetahui berbagai
penyebab banjir sejak periode tersebut hingga tahun 2017. Sedangkan pendekatan antropologis
digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal terhadap peristiwa banjir dan dampak
banjir bagi kehidupan mereka. Tidak hanya itu, pendekatan antropologis dengan melakukan
wawancara mendalam terhadap korban terdampak dilakukan untuk mengetahui alasan-alasan
kenapa masyarakat lokal tetap tinggal di daerah rawan bencana ini dan tidak mau berpindah ke
tempat lain. Penelitian ini didasarkan pada dua jenis sumber. Pertama, peneliti menggunakan
sumber utama yang berupa arsip potensi desa, arsip BPS Kabupaten Malang, koleksi arsip Yusak
Khrismanto (Ketua PMI Desa Sitiarjo), berita online, foto-foto, dan sumber wawancara dari
beberapa masyarakat terdampak banjir.

Sitiarjo dalam Lintasan Historis


Desa Sitiarjo merupakan desa yang terletak di sebalah selatan Kabupaten Malang, secara
Astronomi desa ini terletak pada koordinat 8, 2280 Lintang Selatan dan 112, 4091 Bujur Timur,
adapun lokasi desa Sitiarjo berada di kecamatan Sumbermanjing Wetan (BPS Kab. Malang 2018).
Desa Sitiarjo terletak dilembah aliran sungai Penguluran yang membelah desa Sitiarjo, lembah dari
sungai Penguluran sangat subur sehingga dimanfaatkan oleh penduduk desa sebagai lahan
pertanian persawahan. Menurut Erianto (2018) DAS Penguluran secara astronomis terletak pada 80
22’ 19’- 80 4’ 23’’ Lintang Selatan dan 1110 39’ 40’’ Bujur Timur. Sedangkan secara administrasi
DAS Penguluran meliputi tiga wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sumbermanjing Wetan,
Kecamatan Dampit, dan Kecamatan Gedangan.
Bagian Timur dan Barat desa Sitiarjo merupakan perbukitan kapur, sehingga daerah
sitiarjo merupakan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan kapur, jika dilihat dari atas maka
desa Sitiarjo seperti berada pada wilayah cekungan. Sedangkan pada hulu sungai Penguluran
berupa sungai yang tajam yang berada pada kawasan lebih tinggi dari daerah Sitiarjo, oleh
karenanya saat terjadi hujan di puncak bukit, air secara cepat bergerak turun ke arah hilir
sungai Peguluran. Desa Sitiarjo berada pada pertemuan antara anak sungai yang bermuara
ke sungai Penguluran, sedangkan pertemuan terbesar terjadi pada anak sungai Kelaka dan
Kali Bambang yang sama-sama mengalir ke sungai Penguluran di Desa Sitiarjo. Hal ini
menjadikan daerah Sitiarjo berpontensi terjadi banjir yang diakibatkan oleh konsentrasi air
yang berlebihan.
Sebagaimana seperti desa lainya desa Sitiarjo juga memiliki sejarah lokalnya sendiri,
desa Sitiarjo bisa dikatakan memiliki sejarah yang cukup panjang baik dari awal mula desa ini
dihuni sampai menjadi desa yang berkembang pesat seperti dewasa ini. Sebagaimana hasil
wawancara bersama sesepuh warga Sitiarjo mendapatkan informasi bahwa awal mulanya
desa Sitiarjo bernama pondok Dulang, dulu daerah ini semuanya masih hutan. Pondok dulang
yang dimaksud adalah daerah yang berada di palung sebelah jembatan (dusun krajan)

Gunawan & Ronal| 27


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

sekarang. Pada awalnya yang babad desa berasal dari warga pendatang kristen. dikutip dari
penelitian terdahulu A’isyah (2016) diketahui bahwasannya awal mulanya desa ini di babad alas
(membuka hutan) oleh tokoh Kristen dari Wonorejo Bantur Malang, yaitu Kyai Truna Semitra
disekitar sungai lembah Panguluran yang sebelumnya meminta izin terlebih dahulu kepada
pemerintahan Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1893. Pada tahun 1895, izin telah diturunkan
oleh pemerintah Hindia Belanda, namun baru sampai ke tangan penduduk desa Sitiarjo pada tahun
1897.
Sebagai pemukiman baru wilayah sitiarjo atau pondok dulang belum menjadi desa yang
berdiri sendiri, baik Sitiarjo di utara maupun pulungrejo di selatan waktu itu masih menjadi bagian
dari desa lain. Pondok dulang menjadi bagian dari desa gedog Turen, sedangkan Pulungrejo
menjadi bagian dari desa Pamotan, Druju. Seiring dengan berjalanya waktu dan bertambah
banyaknya penduduk maka adanya keinginan untuk mendirikan desa secara mandiri. Sehingga
pada tahun 1908 desa Sitiarjo menjadi desa secara mandiri. Nama Sitiarjo sendiri diambil dari bahasa
jawa, berikut pemenggalanya siti berarti tanah dan arjo dari kata rejo yang berarti bagus. Jadi
Sitiarjo artinya yaitu tanah yang bagus. Hal ini dapat dilihat dari tanah yang ada di desa Sitiarjo
merupakan lembah dari sungai Penguluran. Lembah ini sangat subur karena merupakan hasil dari
pengendapan material lumpur yang dibawa oleh sungai Penguluran.
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pada tahun 1908 Desa Sitiarjo sudah menjadi desa
secara mandiri dengan kepala desanya Rema Surareja. Dari tahun inilah pemerintahan Desa Sitiarjo
mulai berdiri. Sebagai pemerintahan desa yang mandiri, maka setidaknya dari tahun 1908 – 2019
sudah berkali-kali terjadi pergantian kepala desa. Sebagaimana hasil observasi lapangan dan
wawancara bersama sesepuh warga Sitiarjo, didapatkan informasi mengenai nama-nama kepala
desa yang pernah menjabat di desa Sitiarjo seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Nama-nama Kepala Desa Sitiarjo

Nama Lokasi Jabatan Keterangan


Rema Surareja Desa Kepala Desa Menjadi kepala desa pertama pada
Sitiarjo tahun 1908
Soromerto Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Ternyoh Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Witono Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Suryowadi Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Sriawan Desa Kepala Desa Menjadi kepala desa pada tahun 1962
Sitiarjo
Ruwono Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Woyo Desa Kepala Desa
Sitiarjo
Dirlin Desa Kepala Desa Pada masa pak dirlin di desa Sitiarjo
Sitiarjo sudah memiliki balai desa sendiri
Yudo Desa Kepala Desa
Sitiarjo

Gunawan & Ronal| 28


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Wilyono Desa Kepala Desa


Sitiarjo
Bortolomeus Desa Kepala Desa
Diaz Sitiarjo

Lispijanto daud Desa Kepala Desa


Sitiarjo
Mamiek Desa Kepala Desa Menjadi kepala desa terpilih saat
Misnanti Sitiarjo pilkades serentak pada tanggal 11
November 2018
(Sumber: Arsip Potensi Desa Sitiarjo)

Sejarah Banjir Desa Sitiarjo

Dalam sejarah lingkungan, banjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang
berulang (Nawiyanto, 2015; Ridhoi, 2020). Banjir terjadi akibat intensitas curah hujan yang
tingi dimana terjadi kelebihan air yang tidak tertampung oleh jaringan pengatusan suatu
wilayah (Ristya, 2012). Berpacu pada kondisi tersebut maka kelebihan air akan mempengaruhi
debit air yang tinggi yang akhirnya akan meluap dan menggenangi suatu wilayah. Sedangkan
menurut Haryani dkk, (2009) banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering
menjadi tergenang oleh air, hal tersebut diakibatkan oleh intensitas hujan yang tinggi dan
kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan dan wawancara dengan warga, banjir desa Sitiarjo diakibatkan oleh
meluapnya sungai Penguluran akibat dari intensitas hujan tinggi di daerah hulu yang
notabene daerahnya lebih tinggi dari pada Desa Sitiarjo.
Kawasan daerah rawan Banjir di suatu tempat bisa berbeda-beda tergantung dari
kondisi fisik wilayah tersebut. Menururut Isnugroho dalam Pratomo (2008), kawasan rawan
banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir
sesuai karakteristik penyebab banjir, kawasan tersebut dapat dikatagorikan menjadi empat
tipologi sebagai berikut:
Pertama, daerah pantai. Lokasi ini merupakan daerah yang rawan banjir karena derah
tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau
sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya
sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara.
Kedua, daerah dataran banjir (Floodplain Area). Daerah dataran banjir adalah daerah
di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air
menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir
baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal. Kawasan ini umumya terbentuk dari
endapan lumpur yang sangat subur sehingga merupakan daerah pengembangan
(pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan
perekonomian, perdagangan, industri, dll.
Ketiga, daerah sempadan Sungai. Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan
tetapi, di daerah perkotaan yang padat penduduk, daerah sempadan sungai sering
dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila
terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta
benda.

Gunawan & Ronal| 29


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Keempat, daerah cekungan. Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup
luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan di daerah
cekungan ini tidak terkendalii dan sistem drainase kurang memadai, daerah cekungan dapat
menjadi daerah rawan banjir.
Berdasarkan karakteristik di atas maka Sitiarjo termasuk ke dalam empat
karakteristik daerah banjir. Desa Sitiarjo sangat berpotensi akan terjadinya banjir, hal ini
dikarenakan wilayahnya yang berada pada dataran rendah yang dikelilingi oleh bukit-bukit
kapur sehingga terlihat seperti daerah cekungan (Ridhoi et al., 2020; Sayono et al., 2020).
Selain itu Desa Sitiarjo berada pada daerah aliran Sungai Penguluran. Menurut Erianto (2018)
Sungai Penguluran merupakan sungai yang berumur dewasa dengan ditunjukkan oleh aliran
sungai yang berkelok-kelok membentuk meander, sedangkan pada bagian hulu sungai
Penguluran merupakan sungai yang tajam dan bergardien tinggi. Saat terjadi hujan hal ini
dapat menyebabkan air yang ada di bagian hulu mengalir dengan cepat menuruni lereng dan
mengalir ke arah hilir sungai Penguluran, sehingga desa Sitiarjo sangat berpotensi terjadi
banjir.
Sebagai daerah rawan banjir pastinya banjir yang terjadi di desa Sitiarjo tidak hanya
terjadi satu kali bahkan bisa terjadi berulangkali baik nanti di masa depan maupun yang sudah
terjadi dimasa lalu. Sehingga perlu adanya pencarian data tentang sejarah banjir yang pernah
terjadi di desa Sitiarjo. Oleh karena itu dari hasil obsevasi lapangan dan wawancara dengan
penduduk setempat didapatkan informasi sejarah banjir di desa Sitiarjo seperti pada tabel
berikut.
Tabel 2. Periode Waktu Banjir Sitiarjo

TAHUN DAMPAK KORBAN JIWA KETERANGAN

1939 - Rumah – rumah warga


- Lahan pertanian -
- Sarana dan prasarana
1957 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
1965 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
1973 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
1985 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
1995 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
2003 - Rumah – rumah warga 2 orang meninggal Keluar dari rumah saat
- Lahan pertanian dunia di dusun puncak banjir
- Sarana dan prasarana Rowotrate

Gunawan & Ronal| 30


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

2007 - Rumah – rumah warga


- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
2010 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
2013 - Rumah – rumah warga 1 orang meninggal Korban sudah tua dan
- Lahan pertanian dunia di dusun Krajan saat kejadian keluarga
- Sarana dan prasarana Wetan sedang menghadiri
acara keagamaan
2016 - Rumah – rumah warga
- Lahan pertanian
- Sarana dan prasarana
(sumber: Koleksi Arsip Yusak Khrismanto)

Desa Sitiarjo berada pada dataran rendah yang dikelilingi oleh pegunungan kapur
sehingga dilihat dari atas seperti daerah yang berada pada cekungan dan letak desanya
dilewati oleh sungai Penguluran. Oleh sebab itu desa ini berada pada daerah rawan banjir.
Sebagai daerah rawan banjir pastinya banjir Sitiarjo sudah berulangkali terjadi, Berdasarkan
hasil observasi dan wawancara dengan sesepuh msyarakat desa Sitiarjo mendapatkan
informasi bahwasanya banjir sudah terjadi dari tahun 1939 mengakibatkan kerugian fisik
terhadap warga desa Sitiarjo diantarnya kerusakan bangunan rumah warga, rusaknya lahan
pertanian, serta kerusakan sarana dan prasarana, adapun bencana ini diakibatkan oleh
intensitas hujan yang tinggi sehingga meluapnya sungai Penguluran. Sebenarnya banjir pada
tahun 1939 bukanlah banjir yang pertama dan tertua bahkan sebelumnya sudah pernah
terjadi banjir tetapi sudah tidak bisa di ingat pada tahun berapa saja.

Gambar 1. Pasar Desa Sitiarjo Tahun 1939


(sumber: Koleksi Arsip Bapak Yusak Khrismanto)

Masyarakat Sitiarjo sedang memperbaiki pasar yang terdampak banjir pada tahun
1939 dan tentunya pada masa itu Idonesia belum merdeka sehingga daerah Sitiarjo masih
berada di masa kolonialisme Belanda. Terlihat pada gambar tersebut terdapat material banjir
berupa kayu-kayuan, bebatuan dan pepohonan tumbang yang terbawa arus banjir. Memang
pada waktu tidak terdapat korban jiwa pada banjir 1939, tetapi berdampak terhadap

Gunawan & Ronal| 31


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

kerusakan rumah-rumah penduduk, lahan pertanian, dan pasar, hal ini tentunya dalam sekian
lama akan berdampak terhadap aktivitas sehari-hari warga baik dalam segi ekonomi, sosial,
dan kesehatan. Dilihat dari kondisi tersebut maka nenek moyang masyarakat Sitiarjo sudah
lama terbiasa dengan adanya bencana banjir yang terjadi pada daerah mereka.

Gambar 2. Jembatan Desa Sitiarjo Tahun 1939


(sumber: Koleksi Arsip Bapak Yusak Khrismanto)

Banjir tahun 1939 juga berdampak terhadap rusaknya jembatan yang lokasinya
berada pada aliran sungai Penguluran. Terlihat pada gambar di atas masyarakat desa Sitiarjo
sedang memperbaiki jembatan yang rusak akibat bencana banjir. Dengan rusaknya jembatan
tentu akan meresahkan masyarakat Sitiarjo dan berdampak terhadap aktivitas keseharian
warga. Mengingat bahwasanya jembatan merupakan jalan alternatif yang mempermudah
masyarakat untuk menyebrangi sungai atau rintangan seperti jurang. Oleh karenanya dapat
kita lihat betapa sigapnya masyarakat Sitiarjo pada tahun 1939 berkumpul untuk
memperbaiki jembatan agar berfungsi secara normal.
Banjir besar terjadi secara preodik pada tahun-tahun selanjutnya yakni pada tahun
1957 – 1965 – 1973 – 1985 – 1995. Pada tahun-tahun tersebut banjir yang terjadi di desa Sitiarjo
memiliki siklus cukup lama sekitar 8 tahunan, 10 tahuan dan bahkan sampai 12 tahunan. Banjir
pada tahun tersebut memang tidak ada korban jiwa dan hanya mengakibatkan kerusakan
pada rumah penduduk dan lahan pertanian. Banjir ini diakibatkan oleh intensitas hujan yang
tinggi sehingga mengakibatkan air sungai Penguluran meluap dan menggenagi rumah warga.
Memasuki akhir abad 20 sekitar tahun 1996 – 1997 terjadi perubahan alih fungsi lahan besar-
besaran di wiliyah hulu sungai. Hal ini berdampak terhadap siklus banjir di desa Sitiarjo
menjadi memendek.
Alih fungsi lahan besar-besaran di wilayah hulu sungai mengakibatkan siklus banjir
yang awalnya cukup lama sekitar 8 sampai 12 tahunan menjadi memendek sekitar 4 tahun, 3
tahun, bahkan sampai 1 tahun. Banji besar ini terjadi secara periodik pada tahun 2003 – 2007
– 2010 – 2013 – 2016 – 2017. Alih fungsi lahan di daerah hulu sungai sekitar tahun 1996 – 1997
yang notabeni daerahnya lebih tinggi daripada desa Sitiarjo secara langsung akan berdampak
terhadap waktu terjadinya banjir dan tingginya genangan air banjir. Hal ini dapat dilihat dari

Gunawan & Ronal| 32


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

banjir besar pada tahun berikutnya. Tahun 2003 banjir besar melanda desa Sitiarjo yang
mengakibatkan 2 orang meninggal dunia di dusun Rowotrate, dikarenakan korban keluar dari
rumah saat puncak banjir dan berdampak terhadap rusaknya rumah penduduk serta
rusaknya areal pertanian. Tidak lama setelah kejadian bencana ini tiga tahun berikutnya
secara berturut-turut dari tahun 2007 – 2010 – 2013 terjadi banjir besar di desa Sitiarjo.

Tabel 3. Banjir Desa Sitiarjo Tahun 2013, 2016, 2017

Hari/TGL/PKL Lokasi Jenis Bencana Dampak Keterangan

Kamis, 24 Ds Banjiir dan 2 unit rumah BPBD


Januari 2013, Sumbermanjing Tanah Longsor rusak sedang,melakukan
14.00 WIB Wetan jalan Propinsi
Assesment
Ds. Klepu rusak berat, BPBD
Ds Jalan menyalurkan
Harjokuncaran Kabupaten bantuan
Ds Sitiarjo rusak berat sembako
Minggu, 9 Desa Sitiarjo Banjir 170 unit rumah
BPBD
Oktober 2016, terendam Melakukan
17. 30 Assesment
Kerja bakti
dengan
masyarakat
Rabu, 18 Desa Sitiarjo Banjir 541 Rumah BPBD
Oktober 2017 terdampak melakukan
genangan assesment
banjir Pendistribusian
bantuan kepada
korban
terdampak
berupa paket
sembako
(sumber: Arsip BPBD Kabupaten Malang tahun 2013, 2016, 2017)

Alih fungsi lahan besar-besaran di daerah hulu ternyata sangat berdampak terhadap
laju cepat turunya air dari hulu ke hilir, sehingga berakibat terhadap tinggi rendahnya banjir
dan yang paling tampak yaitu Siklus banjir yang semakin memendek. Hal ini pernah tercatat
oleh BPBD Kabupaten Malang yakni banjir yang terjadi pada kamis, 24 Januari 2013 yang
mengakibatkan 2 unit rumah rusak sedang, padahal tiga tahun sebelumnya pada tahun 2010
pernah terjadi banjir besar yang menggenagi rumah warga dan areal pertanian. Adapun siklus
banjir paling pendek yaitu dengan siklus 1 tahun pernah terjadi pada banjir besar tahun 2016
– 2017. Pada tahun 2016 banjir mengakibatkan 170 unit rumah terendam dan banjir tahun
2017 mengakibatkan sekitar 541 unit rumah terendam, kejadian kedua bencana ini
diakibatkan oleh intensitas hujan tinggi, baik daerah hulu perbukitan dan daerah lokal sitiarjo
yang mengakibatkan meluapnya sungai Penguluran.

Gunawan & Ronal| 33


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Kala Banjir Melanda, Mengapa Tidak Pindah?


Daerah Sitiarjo merpakan salah satu wilayah berpotensi rawan banjir yang ada di
Kabupaten Malang, seperti dikutip dari (RPJMD, Kab Malang 2016-2020) bahwa salah satu wilayah
potensi bencana banjir dan longsor berada di desa Sitirjo dan desa Tambak Sari Kecamatan
Sumbermanjing Wetan. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut harus memiliki cara
tersendiri dalam menghadapi bencana. Selain itu, Dilihat dari komposisinya, Desa Sitiarjo memiliki
RW dan RT paling banyak diantara desa lainya. Terbukti jumlah RT di desa Sitiarjo yaitu sebanyak 15
RW dan 59 RT (BPS Kab Malang, 2018). Dengan banyaknya RW dan RT secara otomatis akan
menjadi daerah dengan rukun warga dan rukun tetangga terbanyak pula. Oleh sebab itu, sebagai
daerah rawan banjir maka masyarakat desa Sitiarjo bersama-sama akan melakukan upaya adaptasi
untuk mengurangi resiko terdampak bencana banjir.
Kondisi banjir di daerah Sitiarjo diakibatkan oleh meluapnya sungai Penguluran sehingga
air menggenagi rumah warga serta lahan pertanian dan sarana – prasarana. Menurut Yusuf (2005)
banjir akan disebut sebagai bahaya, apabila banjir tersebut sudah mengganggu aktivitas manusia
dan bahaya banjir bukan hanya fonomena fisik, tetapi juga merupakan fenomena sosial-ekonomi.
Sebagai contoh, data BPBD Kab Malang tahun 2017 banjir besar yang terjadi di desa Sitiarjo
mengakibatkan sekitar 541 rumah terdampak genangan banjir di 4 dusun. Terhambatnya aktivitas
manusia dalam beberapa waktu dikarenakan banjir akan berdampak terhadap kondisi ekonomi-
sosial masyarakat Sitiarjo. Apalagi kejadian banjir di desa Sitiarjo ini sudah berulangkali terjadi,
tentunya bencana banjir sangat mengganggu masyarakat desa Sitiarjo.
Penyebab banjir di suatu tempat berbeda-beda. Menurut Utami, dkk (2015) faktor-faktor
penyebab terjadinya banjir dapat dilihat dari kondisi alam (letak geografis wilayah, kondisi
topografi, geometri sungai dan sedimentasi), peristiwa alam (curah hujan dan lamanya hujan,
pasang, arus balik dari sungai utama, pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan
aliran lahar dingin), dan akibat aktivitas manusia (pembudidayaan daerah dataran banjir). Adapun
daerah Desa Sitiarjo berada pada dataran rendah yang dikelilingi oleh pegunungan kapur
sehingga dilihat dari atas seperti daerah yang berada pada cekungan dan letak desanya
dilewati oleh sungai Penguluran. Oleh sebab itu desa ini berada pada daerah rawan banjir.
Masyarakat secara langsug akan menghadapi dampak bahaya banjir, baik dampak secara fisik
maupun nonfisik. Seperti yang terekam pada banjir besar yang terjadi pada tahun 2013 yang
berdampak kepada 925 kepala keluarga dan 2787 jiwa di desa Sitiarjo.

Gambar 3. Pasar Desa Sitiarjo saat Banjir 2013


(sumber: Koleksi Arsip Bapak Yusak Khrismanto)

Gunawan & Ronal| 34


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Banjir juga berdampak secara fisik yaitu rusaknya rumah penduduk, pasar, jalanan,
dan lahan pertanian. Bahaya banjir ini akan dirasakan oleh masyarakat desa Sitiarjo, sehingga
hanya ada dua pilihan bagi masyarakat menetap atau pindah ke wilayah yang aman. Seperti
yang kita ketahui biasanya seseoarang lebih memilih tempat tinggal yang jauh dari resiko
terjadinya bencana baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia.
Namun masih ada masyarakat yang memilih tetap tinggal di daerah rawan bencana baik
tinggal di kawasan sungai yang berpotensi banjir maupun yang tinggal di lereng gunung
aktif. Seperti yang terjadi pada masyarakat desa Sitiarjo yang lebih memilih menetap dari
pada pindah.
Kondisi desa rawan banjir dan mengakibatkan kerusakan maka seharusnya
masyarakat desa Sitiarjo tidak betah menghadapi banjir yang berulang-kali terjadi. Apalagi
berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara pada warga desa Sitiarjo mendapatkan
hasil bahwa banjir secara periodik mulai terjadi dari tahun 1939 – 1957 – 1965 – 1973 – 1985 –
1995 – 2003 – 2007 – 2010 – 2013 – 2016 – 2017. Namun masyarakat masih tetap saja bertahan
di kawasan banjir tersebut. sebagai contoh bahwa daerah ini merupakan daerah serius yang
mengalami dampak banjir dapat dilihat pada tabel jumlah KK yang terkena dampak banjir
pada tahun 2013 dibawah ini.
Tabel 4. Data terdampak banjir tahun 2013

NO NAMA DESA DUSUN RW/RT JUMLAH KK DAMPAK


LAIN
1 Sitiarjo Krajan Kulon 14/ 26 29 91
Krajan Kulon 14/ 29 32 84
Krajan Kulon 14/30 30 84
Krajan Kulon 14/ 58 37 115
Krajan Kulon 11/ 41 8 28
Krajan Kulon 7/37 18 53
Krajan Kulon 7/39 21 59
Krajan Tengah 5/23 13 41
Krajan Tengah 5/24 68 232
Krajan Tengah 5/25 27 88
Krajan Tengah 10/20 1 4
Krajan Tengah 10/21 12 39
Krajan Tengah 15/18 47 148
Krajan Tengah 15/19 21 69
Krajan Tengah 15/56 24 82
Krajan Wetan 2/7 38 116
Krajan Wetan 2/8 32 83
Krajan Wetan 2/9 32 101
Krajan Wetan 2/10 67 190
Krajan Wetan 3/12 54 153
Krajan Wetan 3/13 32 96
Krajan Wetan 3/14 42 130
Krajan Wetan 3/55 42 116
Rowotrate 8/45 43 109

Gunawan & Ronal| 35


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Rowotrate 8/46 47 143


Rowotrate 9/47 41 119
Rowotrate 9/48 36 114
2 Sidodadi Umbulrejo Rt. 30 30 KK
Rt. 14a 50 KK
Rt. 14b 35 KK
3 Gajahrejo Bajulmati Rt. 49 6 KK
Rt. 41 25 KK
(sumber: Koleksi Arsip Bapak Yusak Khrismanto)

Banjir yang terjadi pada tahun 2013 tersebut berdampak terhadap 925 kepala
keluarga dan 2787 jiwa di desa Sitiarjo, besarnya banjir juga berdampak terhadap kepada desa
sebelah yaitu dusun Umbulrejo, desa Sidodadi Kecamatan Gedangan sekitar 118 kepala
keluarga dan dusun Bajulmati, desa Gajah Rejo, Kecamatan Gedangan sekitar 31 keluarga.
Sehingga dari data diatas dapat disimpulkan bahwasanya desa Sitiarjo merupakan desa yang
mengalami dampak genangan banjir terparah dari luapan sungai Penguluran dan banjir ini
sudah berulang-kali terjadi. Oleh karena itu alasan apa yang membuat masyarakat memilih
untuk tinggal di kawasan rawan bencana banjir.
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara langsung dengan penduduk
lokal di Desa Sitiarjo memperoleh hasil, bahwa mereka memilih tinggal di daearah rawan
banjir desa Sitiarjo disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, aspek berkah setelah banjir. Bagi setiap orang banjir merupakan petaka
yang mau tidak mau harus dihadapi saat mengalami secara langsung dampak terkena banjir.
Menurut Yusuf (2005) ada tiga kerugian akibat banjir, kerugian langsung, kerugian tidak
langsung, dan kerugian yang sulit diperkirakan. Kerugian langsung merupakan kerugian uang
atau moneter, sedangkan kerugian tidak langsung mencangkup biaya evakuasi, relokasi,
kehilangan gaji atau upah, kehilangan produksi dan kehilagan penjualan. Adapun kerugian
banjir yang sulit diperkirakan yaitu kerugian banjir yang tidak bisa diukur dengan terminologi
moneter. Saat terjadinya banjir masyarakat desa Sitiarjo akan menghadapi kerugian, baik
kerugian secara langsung maupaun tidak langsung. Namun alasan masyarakat tetap tinggal
sangatlah unik yaitu adanya berkah setelah banjir. Bagi masyarakat desa Sitiarjo banjir
merupakan berkah dari tuhan yang maha esa, hal tersebut dikarenakan setelah banjir selesai
tanah yang ada di desa Sitiarjo mengalami tingkat kesuburan yang tinggi (Wawancara dengan
Harineaman, 9 Agustus 2019). Tanah subur ini dimanfaatkan oleh warga sebagai lahan
pertanian persawahan.
Kedua, aspek tanah warisan. Desa Sitiarjo memiliki sejarah yang panjang baik dari
awal mula desa ini di buka sampai menjadi desa yang bisa kita lihat dewasa ini. Rata-rata tanah
yang mereka miliki diperoleh dari warisan pendahulunya. Apalagi mereka sudah lama tinggal
pastinya mereka memiliki kenangan masa lalau yang tidak ingin mereka lupakan walaupun
harus berhadapan dengan banjir besar. Secara singkat mereka tidak ingin meninggalkan
warisan tanah dari pendahulunya dan juga mereka sudah memiliki rumah sendiri jadi jika
pindah mereka kawatir merek memulainya dari nol baik untuk membeli tanah lagi dan
mendirikan rumah lagi.

Gunawan & Ronal| 36


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Ketiga, aspek pekerjaan. Desa Sitiarjo rata-rata masyarakatnya merupakan petani dan
pedagang sehingga kebanyakan dari mereka memiliki lahan pertaniah sendiri di wilayah
Sitiarjo. Banjir memang berdampak terhadap rusaknya areal prtanian warga. Tapi setelah
banjir selesai lahan pertanian ini menjadi subur dikarenakan hasil dari pengendapan material
lumpur yang dibawa oleh aliran sungai Penguluran. Selain itu rata-rata masyarakat Sitiarjo
tidak melanjutkan sekolah ke studi yang lebih tinggi atau perkuliahan. Sehingga alasan
mereka tidak pindah dikarenakan mereka takut kehilangan pekerjaan yang notabeni mereka
lulusan SD, SMP dan SLTA. Sepengakuan warga dusun Rowotrate pernah mengatakan
bahwa pemerintah sebenernya pernah mengajukan program pemindahan warga dusun
Rowotrate ke tempat yang lebih aman akan bahaya resiko bencana. Namun mereka menolak
dikarenakan mereka tidak ingin memulai lagi dari nol, tidak punya rumah, tanah, dan yang
terpenting adalah takutnya tidak memiliki pekerjaan, mengingat kebanyakan dari mereka
merupakan petani yang memiliki tanah di wilayah desa Sitiarjo jadi bisa saja mereka
kehilangan pekerjaan jika pindah tempat.
Keempat, aspek ikatan sosial. Desa Sitiarjo dapat dikatakan seperti miniaturnya
negara Indonesia. Hal ini dikarenakan desa ini memiliki keragaman agama dan budaya. Rata-
rata masyarakat Sitiarjo beragama Kristen dan sebagaian beragama lain. meskipun demikian
Masjid juga ada di desa Sitiarjo, hampir tidak pernah tercatat adanya konflik antar agama di
daerah ini. Mereka semua berkeinginan untuk hidup bersama dan susah bersama. Kerukunan
antar tetangga sangatlah erat, dapat kita lihat pada data BPS Kab Malang (2018) Desa Sitiarjo
memiliki RW dan RT paling banyak diantara desa lainya. Terbukti jumlah RT di desa Sitiarjo yaitu
sebanyak 15 RW dan 59. Dengan banyaknya RW dan RT secara otomatis akan menjadi daerah
dengan rukun warga dan rukun tetangga terbanyak pula. Oleh sebab itu salah satu alasan mereka
tetap ingin tinggal di desa Sitiarjo dikarenakan adanya ikatan sosial yang harmonis anatar umat
beragama dan keinginan untuk saling membantu antar tetangga saat terjadi bencana banjir.

Kesimpulan
Peristiwa banjir di Sitiarjo sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Berbagai
kerusakan dan kerugian telah ditimbulkan, mulai dari kerusakan rumah tinggal, kerugian meteril,
hingga korban nyawa. Namun, penduduk lokal memilih untuk tetap tinggal di desa tersebut. Hal ini
disebabkan oleh kepercayaan akan adanya berkah setalah banjir melanda yaitu kesuburan
tanahnya. Penduduk juga tidak ingin meninggalkan tanah warisan dari pendahulunya yang
susah payah membukan permukiman di daerah ini. Selain itu juga takut kehilangan perkejaan
jika keluar dari Desa Sitiarjo dan adanya ikatan yang harmonis antar umat beragama sehingga
ketika dilanda banjir mereka akan saling merangkul satu sama lain untuk mempertahankan
nyawa dan harta benda mereka.

Daftar Rujukan
Buku dan Jurnal
A’isyah, Siti. 2016. Kabut di Ujung Pelangi: Identitas dan Potensi Konflik Keagamaan di Sitiarjo
Malang. Jurnal Himah, Vol. XII, No. 1.
Erianto, N.D. 2018. Analisis Kawasan Genangan Banjir Menggunakan Metode HEC RAS di Das
Penguluran Hilir Kabupaten Malang. Skripsi SI Geografi Fakultas Ilmu Sosial UM.

Gunawan & Ronal| 37


ARTICLE IN PRESS
Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 25-38 DOI: 10.17977/um020v1i12020p25

Haryani, N.S., et. al. 2012. Model Bahaya Banjir Menggunakan Data Pengindraan Jauh di
Kabupaten Sampang. Jurnal Pengindraan Jauh dan Pengelolahan Citra Digital Vol. 9 No.
1 Juni 2012. Bandung: LAPAN.
Pratomo, Agus Joko. 2008. Analisis Kerentanan Banjir di Daerah Aliran Sungai Sengkarang
Kabupaten Pekalongan Provensi Jawa Tengah dengan Bantuan Sistem Informasi
Geografi. Skripsi. Surabaya: Fakultas Geografi Universitas Muhammadiah Surabaya.
Rahmat, P.S. 2009. Penelitian Kualitatif. Dalam Jurnal Equilibrium, Vol. 5 No. 9 (hlm. 1-8)
Januari-Juni 2009. Malang: Universitas Brawijaya.
Ristya, 2012. Kerentanan Wilayah Terhadap Banjir di Sebagian Cekungan Bandung. Skripsi S1
Departemen Geografi FMIPA UI.
Utami, & Naumar. 2015. Kajian Kerentanan Kawasan Berpotensi Banjir Bandang dan Mitigasi
Bencana pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Kuranji Kota Padang.
Yusuf, Yasin. 2005. Anatomi Banjir Kota Pantai: Perspektif Geografi. Surakarta: Pustaka Cakra
Surakarta.
Nawiyanto. (2015). GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA MASA. Paramita.
Ridhoi, R. (2020). Potensi Edutourism di Pesisir Selatan Malang, Jawa Timur (N. A. D. Restanti
(ed.); 1st ed.). Naila Pustaka.
Ridhoi, R., Anggraeni, R. M., Bahtiar, M., Ayundasari, L., & Marsudi. (2020). The Development
of Sendang Biru Beach in Malang Regency Through Marine Edutourism.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.200214.028
Sayono, J., Ayundasari, L., Ridhoi, R., & Irawan, L. Y. (2020). Socio-Economic Impact In-Out
Migration Phenomenon in Southeastern Malang in 19 th -20 th. IOP Conf. Series: Earth
and Environmental Science, 485(012023), 1–10. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/485/1/012023

Arsip dan Dokumen


Badan Pusat Statistik Kabupaten malang. 2018. Sumbermanjing Wetan dalam angka 2018.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Malang. 2013.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Malang. 2016.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Malang. 2017.
Dokumen Pribadi Bapak Yusak.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang. 2016 – 2021.

Narasumber
Bapak Yusak (47 tahun), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.
Embah Reso (90 tahun), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.
Drisuko (88 tahun), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.
Bambang (55 tahun), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.
Harineaman (80 tahun), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.
Sugiono (50 tahun ), wawancara pada tanggal 9 Agustus 2019.

Gunawan & Ronal| 38

Anda mungkin juga menyukai