Anda di halaman 1dari 12

Makna Din, Tamadun, dan Islam

Sebelum dapat melangkah kepada pembahasan konsep ilmu dalam Islam – yang dalam hal ini
tentunya kita hadapkan dengan konsep sains peradaban Barat modern yang dominan saat ini
– kita perlu mengajukan sejumlah pertanyaan terlebih dahulu. Apakah Islam itu? Apakah ia
hanya sekadar agama ritual atau sistem peradaban yang mencakup pandangan hidup yang
khas terhadap ilmu dan alam? Dapatkah kita menghadapkan Islam dengan Barat modern pada
tataran peradaban? Barulah setelah persoalan-persoalan itu terjawab, kita dapat menjejak
topik tentang konsep ilmu dalam menurut pandangan hidup Islam. Hal ini penting untuk
diperjelas terutama bagi pembaca yang masih memiliki asumsi dasar bahwa Islam hanyalah
agama ritual atau hasil proses sejarah sebagaimana agama-agama lainnya.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, fakta sejarah membuktikan bahwa Islam bukan hanya
agama dalam pengertian yang sempit seperti pengertian agama menurut sains Barat modern,
tapi secara inheren – dan juga secara perkembangan historisnya – merupakan peradaban yang
bermartabat yang kaya akan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad
lamanya, bersikap toleran dan mengayomi peradaban lain. Oleh karena itu, menghadapkan
Islam sebagai agama dengan Barat modern sebagai peradaban merupakan tindakan yang
tidak adil. Hal itu karena agama dalam pengertian semacam itu cenderung dipahami hanya
sebagai salah satu elemen peradaban yang sewaktu-waktu dapat dipinggirkan dari urusan
publik. Islam berbeda dari semua agama yang lain, karena ia adalah Din sekaligus Tamadun.1

Menurut Naquib al-Attas, istilah din pada Din Islam, yang biasanya dipahami serta diartikan
sebagai agama, sesungguhnya tidak memiliki makna dan maksud yang sama dengan konsep
agama (religion) seperti ditafsirkan dan dipahami dalam sejarah keagamaan Barat atau
agama-agama lain yang bukan Islam. Dengan begitu, istilah agama dalam bahasan Melayu
dan Indonesia yang digunakan pada konteks Islam semestinya dimaksudkan serta dipahami
dengan makna dam maksud istilah din (serapan dari bahasa Arab ad-dīn), termasuk segala
kandungan makna dalam istilah-istilah yang satu akar kata dengannya.2

Kata din berasal dari akar kata Arab dal-ya-nun3 yang menurunkan kata kerja dāna (‫ )دان‬yang
berarti berhutang atau meminjam.4 Pihak yang memberi hutang disebut sebagai dā’in atau

1
Zarkasyi, 2
2
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 3
3
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 4
4
Hans Wehr, 4th edition, 352
mudīn, sementara penerima hutang dinamakan madīn. 5 Seseorang uang berhutang tentu
secara sadar menaklukkan, mengikatkan, atau menyerahkan dirinya kepada hukum, aturan,
atau perundangan yang berkenaan dengan persoalan hutang-piutang itu, termasuk segenap
syarat dan ketentuan yang berlaku. Hal itu karena pengutang dan pemberi hutang telah
menyetujui suatu perjanjian dan amanah dalam membayar-balik atau mengembalikan hutang
itu sesuai aturan.6

Hutang, tugas, beban, atau tanggung jawab untuk melaksanakan ketentuan perhutangan
seperti itu disebut dengan daynun atau duyūn. Keadaan berhutang atau terbebani kewajiban
hutang-piutang itu dinamakan madyūn atau madyūniyah. 7 Dalam keadaan berhutang,
mengikat perjanjian, atau terbebani kewajiban mengembalikan tersebut, timbullah keterkaitan
dengan penghakiman, pertimbangan, atau penilaian terhadap segala sesuatu demi tercapainya
keputusan yang wajar terhadap hutang-piutang itu, yang disebut daynūnah. Sementara itu,
putusan atau jatuhan hukum dan pertimbangan atau penilaian yang dikenakan yang
mengakibatkan keputusan itu diistilahkan sebagai idānah.8

Hubungan yang sistemis dengan segala tata-tertibnya dalam persoalan hutang-piutang


tersebut, hanya dapat dijalankan dalam suatu susunan kehidupan masyarakat dengan tata
perniagaan atau perdagangan tertentu, seperti pada kota-kota atau bandar-bandar yang disebut
sebagai mudūn atau madā’in. Kota, bandar, atau suatu komunitas insan yang memiliki
karakteristik kehidupan adabi yang sistemis itu sebagai unit tunggal dinamakan sebagai
madīnah. Di dalam entitas kemasyarakatan seperti itu, aturan hukum ditegakkan dengan
segala penilaian dan pertimbangan berdasarkan perundang-undangan yang disusun dan
dijalankan oleh otoritas tertentu, yang dicakup oleh istilah dayyān. Sifat Allah sebagai Sang
Pemberi Penghakiman, Perhitungan, Hisab, atau Penilaian disebut sebagai ad-Dayyān.9

Kata madīnah yang bertalian dengan istilah dīn itu, berkaitan erat dengan kata kerja maddana
yang bermakna membina, mendirikan, dan membangun suatu kota atau komunitas; juga
menaikkan taraf hidup ke tingkat yang beradab, menghaluskan budi pekerti, menimbulkan
sifat insan sejati, dan menjadi beradab. Masyarakat dengan tata kehidupan yang luhur dan
beradab itu diperikan sebagai masyarakat madanī. Kata benda infinitif dari proses
membangun dan menjadi beradab itu disebut tamdīn. Sementara itu, hasil dari proses

5
Hans Wehr, 353
6
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 5-6
7
Hans Wehr, 353
8
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 6; lihat juga Hans Wehr, 353
9
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 6; lihat juga Hans Wehr, 353
perbaikan kehidupan kemasyarakatan itu merupakan suatu keadaan kehidupan insan yang
bermasyarakat dan mencapai taraf kehalusan tata-susila dan kebudayaan yang luhur bagi
seluruh masyarakatnya, yang tidak lain merupakan suatu peradaban, yang dicakup maknanya
dalam istilah tamaddun.10 Kata tamaddun lalu diserap ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia
menjadi istilah tamadun yang bersinonim dengan peradaban, sementara kata madanī diserap
menjadi kata sifat dari masyarakat madani.

Ringkasnya, kata din mencakup makna suatu sistem tata pemikiran, keilmuan, perbuatan,
peribadatan, dan kehidupan yang membawa manusia menyadari keadaan berhutang dan
ketundukan dirinya kepada kuasa Tuhan, yang membuatnya melakukan penilaian,
pertimbangan, serta pengambilan hukum dan keputusan sesuai panduan yang diberikan oleh-
Nya yang merupakan petunjuk hidup terbaik dan sesuai dengan fitrah manusia itu,
sedemikian rupa sehingga akan menghasilkan suatu tatanan kehidupan insan dan masyarakat
yang luhur, beradab, dan madani, suatu peradaban yang khas, yaitu tamadun Islam.11

Dengan demikian, Islam bukan hanya sebatas agama ritual, melainkan suatu tatanan din dan
tamadun yang merupakan sistem peradaban dengan pandangan hidup (worldview) yang khas,
termasuk pula pandangan terhadap ilmu, alam, dan Tuhan (al-ʿAlīm), yang memiliki
perbedaan mendasar dengan pandangan peradaban Barat modern maupun agama-agama lain.
Dengan Islam itu dimaknai sebagai din sekaligus tamadun yang memiliki pandangan
terhadap realitas fisik dan non-fisik yang distingtif dari peradaban Barat, konsep ilmu dalam
Islam tentunya akan memiliki paradigma yang berbeda dari sains Barat modern. Topik itu
akan menjadi penyelidikan berikutnya.

10
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 8; lihat juga Hans Wehr, 1055
11
Al-Attas, Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, 5; lihat juga Zarkasyi, 4-9
Konsep Ilmu dalam Islam

Dengan syarat penerimaan atas konsep bahwa ilmu pengetahuan itu tidak netral atau tidak
bebas nilai, maka kita perlu pula meninjau konsep ilmu dalam pandangan hidup Islam,
meskipun hanya secara sekilas mengingat detailnya di luar kemampuan tulisan ini.
Sebagaimana telah dibahas, ilmu pengetahuan kontemporer, termasuk sains di dalamnya,
telah dibaratkan (westernized) dalam arti telah menjadi sekuler.12 Sekularisasi dan
westernisasi ilmu tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan di dunia
Islam. Solusi atas hal itu adalah Islamisasi sains, yang dalam pelaksanaannya, memerlukan
pemahaman atas konsep ilmu dalam pandangan hidup Islam sebagai bekalnya.

Ilmu merupakan serapan dari kata bahasa Arab ʿilm, yang merupakan turunan dari kata kerja
ʿalima, yang bermakna mengetahui. Ilmu dapat mengandung makna yang beragam seperti
maʿrifah (pengenalan), syuʿūr (kesadaran), tadzakkur (pengingat), dirāyah dan riwāyah
(perkenalan, pengetahuan, narasi), ḥikmah (kearifan), ʿalāmah (lambang), simah (tanda),
yakni suatu pemisah antara dua tempat seperti sesuatu yang dipancangkan di jalan (rambu-
rambu) untuk menuntun orang. Dengan begitu, ilmu dapat berasal dari pengetahuan
berdasarkan dalīl (bukti), baik bukti yang menukil wahyu dengan metode yang benar (an-naql
al-muṣaddaq), maupun bukti berdasarkan penyelidikan ilmiah (al-baḥts al-muḥaqqaq).13

Berdasarkan cakupan itu, dapat diketahui bahwa Islam juga menganggap wahyu sebagai
sumber ilmu di samping penelitian ilmiah. Hal itu tentu berbeda dengan peradaban Barat
modern yang menempatkan penyelidikan rasional dan empiris sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Meskipun epistemologi ilmu Islam dengan sains Barat memiliki kemiripan
sebagai pengetahuan yang sistematis, bukan sembarang pengetahuan atau opini, sains Barat
telah mengalami pergeseran makna menjadi pengetahuan sistematis yang hanya berasal dari
observasi dan percobaan empiris serta kajian logis, yang mengarah kepada tabiat naturalistis
(sains berlandaskan naturalisme).14

Selain itu, ontologi ilmu menurut Islam mengakui keabsahan objek-objek fisik sekaligus
entitas-entitas metafisik, sementara sains Barat modern hanya mengakui objek-objek fisik-
empiris. Disiplin ilmu tentang Tuhan, ruh, dan alam gaib dalam Islam dianggap sama
ilmiahnya dengan kajian-kajian tentang materi. Posisi metafisika, teologi, kosmologi, dan
12
Handrianto, 22
13
Handrianto, 28
14
Handrianto, 31
filsafat dianggap sama tingginya dengan fisika dan matematika.15 Bahkan, sejumlah
cendekiawan Muslim klasik seperti al-Kindi menganggap bahwa metafisika, yang terutama
berisi sains tentang Tuhan (al-ʿilm al-Ilāhī, al-ʿilm al-waḥdāniyyah, dan al-ʿilm ar-
rubūbiyyah), merupakan cabang ilmu, seni berpikir (ṣināʿah), dan falsafah tertinggi.16

Ilmu dengan sifat integralistiknya yang khas dalam Islam itu juga diakui oleh Naquib al-
Attas. Menurutnya, semua pengetahuan – yang kemudian menjadi bangunan sistem ilmu –
berasal dari Tuhan. Pembagian yang dilakukan terhadap ilmu itu lebih kepada suatu upaya
untuk memudahkan mempelajarinya serta mengambil spesialisasi, tanpa meninggalkan
bagian yang pokok darinya. Karena manusia memiliki realitas lahir sekaligus realitas rohani,
pokok ilmu yang mesti dipelajarinya itu terdiri dari dua hal, yaitu yang lebih diketahui awam
sebagai “ilmu agama” dan “ilmu umum”.17

Dalam bahasa al-Attas, “ilmu agama”, atau ilmu yang berasal dari Allah melalui wahyu serta
studi dan pengamalannya, disebut sebagai ilmu fardu ain (wajib dipelajari secara perorangan)
dan merupakan makanan dan kehidupan bagi ruh. Kategori itu terdiri atas ilmu Quran sebagai
“the knowledge par excellence”, Sunah (perkataan, model perbuatan, dan persetujuan diam
Nabi Muhammad SAW), Syariah (fikih, hukum, dan tatanan yang diwahyukan), Iman
(akidah, teologi, dan semacamnya), Hikmah (kebijaksanaan, falsafah, kosmologi Islam, dan
sejenisnya), Makrifat (pengetahuan tentang tabir spiritual, tasawuf, metafisika Islam, dan
sejenisnya), bahasa Arab, dan Ilmu Laduni.18

Sementara itu, “ilmu umum”, yang diperoleh lewat pengalaman dan observasi, dinamakan
sebagai ilmu fardu kifayah (wajib dipelajari secara kolektif) dan merupakan provisi yang
dengannya manusia dapat mencukupi dirinya di dunia dalam pengejarannya menuju akhir
pragmatis.19 Kategori ini mencakup ilmu alam, ilmu kemanusiaan, ilmu terapan, teknologi,
perbandingan agama, ilmu sosial dan kebudayaan, dan sejarah.20 Terminologi yang digunakan
oleh al-Attas untuk kategori ini adalah “knowledge of sciences” (ʿulūm). Cabang-cabang
ilmu ini bersifat diskursif dan deduktif, serta merujuk pada nilai-nilai pragmatis.21

Pada masa lalu, al-Ghazali juga mengelompokkan ilmu ke dalam kategori fardu ain dan fardu
kifayah. Ilmu fardu ain melingkupi setiap ilmu yang perlu diketahui dan diamalkan oleh
15
Handrianto, 32
16
Al-Kindi, hal 103-104
17
Al-Attas, Islam and Secularism, 144
18
Al-Attas, Islam and Secularism, 143-146; lihat juga Handrianto, 39
19
Al-Attas, Islam and Secularism, 144
20
Handrianto, 40
21
Al-Attas, Islam and Secularism, 146
setiap orang Islam yang balig, seperti dasar akidah, baca-tulis Quran, tata cara ibadah sehari-
hari, dan lain-lain. Sementara itu, ilmu fardu kifayah mencakup ilmu yang bermanfaat bagi
peradaban Islam, sehingga perlu diketahui oleh sebagian dari umat, tetapi tidak semua orang
mampu menguasai keseluruhan ilmu itu. Ilmu fardu kifayah ini mencakup ilmu syariah
(bersumber dari wahyu) dan non-syariah (bersumber dari akal dan pengalaman). Ilmu syariah
yang fardu kifayah termasuk tafsir, hadis, usul fikih, tarbiah, dan sejenisnya; sedangkan ilmu
non-syariah yang fardu kifayah di antaranya seperti kedokteran, ekonomi, matematika, dan
sebagainya.22

Sementara itu, sains Barat modern yang meragukan status ontologis objek non-fisik
(metafisika) hanya memasukkan bidang-bidang ilmu yang empiris saja. Oleh karena itu,
klasifikasi pengetahuan menurut sains Barat hanya berdasarkan objek pengetahuan fisik saja,
seperti pembagian sains alam (natural science) dengan sains sosial (social science) dan
humaniora (bahasa, budaya, dan seni), sains murni (pure science, zuivere wetenshcap)
dengan sains terapan (applied science, toegespaste of practische wetenschap, angewandte,
wissenschaft), liberal arts dengan science, dan sebagainya.23

Dengan jarak status ontologis dan klasifikasi semacam itu, terlihat jelas kontras ilmu dalam
pandangan Islam dan sains Barat modern. Islam memprioritaskan unsur spiritualitas tanpa
sama sekali melupakan unsur fisik, berbeda dengan sains Barat modern yang melulu
materialistis. Islam mendasarkan segala upaya intelektual pada Tuhan dan wahyu, termasuk
perintah untuk tafakur alam yang banyak bertebaran dalam Quran, sedangkan peradaban
Barat cenderung ateis, atau minimal naturalis, yang membuang semua hal supranatural dan
supernatural jauh-jauh ke luar jendela tinjauannya.24 Selain itu, ilmu Islam menuntut adanya
kemanfaatan bagi umat dan peradaban, sementara sains Barat cenderung melakukan
pencarian untuk pencarian itu sendiri.25

Sebagaimana landasan ontologi dan klasifikasi tersebut, metode ilmiah dalam Islam pun
memadukan penyelidikan metafisik dengan fisik, wahyu dengan akal dan eksperimen. Hal itu
distingtif jika dibandingkan dengan sains Barat modern yang hanya memberi ruang bagi
penyelidikan logis dan empiris. Sementara itu, selain metode observasi dan eksperimen

22
Handrianto, 38
23
Handrianto, 37
24
Handrianto, 36
25
Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, []
(tajribī), ilmuwan Islam juga dapat menggunakan metode logis (burhani) dan metode intuitif
(ʿirfanī), sehingga mampu melihat makna Ilahi dibalik suatu tatanan alam.26

Dengan demikian, hal yang paling penting bukanlah sekadar detail cakupan ontologi dan
klasifikasi ilmu tersebut, melainkan suatu kesimpulan bahwa pandangan Islam tentang ilmu
begitu integralistik, sehingga “sains Islam” mestilah sains yang integralistik. Kategori-
kategori ilmu yang diberikan tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan ilmu wahyu dengan
ilmu nalar dan eksperimen, tetapi justru untuk memosisikan kelompok-kelompok ilmu itu
dalam kerangka yang satu menurut adab Islam, yaitu agar keilmuan berdasarkan nalar dan
eksperimen itu dibimbing dan dipandang melalui kacamata pandangan hidup Islam,
sebagaimana diajarkan oleh ilmu-ilmu yang bersumber wahyu.

Selanjutnya, dampak buruk dari berbagai pandangan hidup Barat dalam sains modern itu
perlu diatasi dengan melakukan naturalisasi sains Barat modern ke dalam struktur keilmuan
peradaban Islam. Proses naturalisasi itu dapat disebut juga sebagai Islamisasi sains. Target
naturalisasi itu adalah sains Barat kontemporer yang cenderung sekuler, materialis, naturalis,
ateis, dan tragis. Tujuan prosesnya adalah suatu bentuk “sains Islam” yang maju dan tetap
berakar pada nilai-nilai pokok pandangan hidup Islam, sebagaimana tertuang dalam Quran
dan Sunah. Naturalisasi atau Islamisasi sains tersebut akan diuraikan pada tulisan berikutnya,
sementara di akhir bagian ini, akan ditinjau sekilas mengenai istilah “sains Islam”.

Sebagian Muslim kontemporer mungkin merasa aneh dan mempertanyakan legitimasi istilah
“sains Islam” tersebut, karena mereka menganggap bahwa hanya ada satu sains yang
universal, baik dalam problem maupun bentuk-bentuknya, sebagaimana juga tidak ada sains
Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen. Mereka juga berargumen bahwa para ilmuwan dunia
Islam era klasik tidak pernah menggunakan istilah itu. Terdapat setidaknya dua argumen
untuk menjawab kesangsian semacam ini.

Pertama, sebagaimana telah dibahas, ilmu pengetahuan itu tidaklah netral, karena ia diwarnai
oleh pandangan-pandangan mendasar dari peradaban atau kebudayaan yang
mengembangkannya. Peradaban Yunani misalnya, mengumpulkan berbagai macam
pengetahuan serta informasi ilmiah dan filosofis dari berbagai wilayah, khususnya di sekitar
Mediterania, Mesir, dan Syam, lalu menaturalisasinya ke dalam corak pemikiran Yunani
yang rasionalis, dan lahirlah apa yang disebut saat ini sebagai filsafat dan sains Yunani,
meskipun mungkin orang Yunani sendiri tidak menyebutnya demikian.

26
Handrianto, 40
Selama ini, orang secara umum tidak pernah mempermasalahkan terminologi “sains dan
filsafat Yunani” yang disematkan pada warisan Helen itu, karena memang keilmuan mereka
memiliki corak yang distingtif dan bahkan doktrin yang khas, seperti ajaran tentang
kekekalan alam semesta. Hal itu sebagaimana pula tidak ada yang mempermasalahkan istilah
sains dan filsafat Cina Kuno, India Kuno, Mesir Kuno, Persia Kuno, Romawi Kuno, ataupun
Mesopotamia Kuno. Lantas mengapakah orang mesti mempermasalahkan adanya sains Islam
hanya dengan alasan bahwa tidak ada sains Hindu, Yahudi, Budha, atau Kristen?

Di sinilah dapat dilihat inti permasalahannya, yaitu bahwa mereka menganggap Islam sebagai
sekadar agama. Padahal, Islam itu adalah din sekaligus tamadun, sebagaimana telah dibahas,
sehingga jelas ia dapat memiliki sains dan filsafat tersendiri seperti peradaban Yunani. Jika
pun Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, dan berbagai agama lain tidak memiliki sains – bahkan
juga filsafat – itu karena mereka hanyalah agama, yang biasa dipahami oleh manusia
kontemporer sebagai sekadar sistem kepercayaan dan ritual. Maka, tidak pernah ada
peradaban Hindu dan Budha, yang ada adalah peradaban India Kuno dan Cina Kuno; tidak
pernah ada peradaban Kristen, yang ada adalah peradaban Romawi dan Barat.

Peradaban dari berbagai kerajaan atau negara yang beragama Hindu, Budha, Yahudi, dan
Kristen itu tidak disebut sebagai peradaban agamanya, tetapi sebagai peradaban bangsanya.
Hal itu berbeda dengan peradaban yang lahir dari Islam di dunia kaum Muslim, dari
Damaskus hingga Cordoba, dari Baghdad hingga Granada, dari Marakes hingga Samarkan,
dari Toledo hingga Mataram, dari Istanbul hingga Kairo, dari Mekah dan Madinah hingga
Agra dan Lahore, dari Andalusia hingga Andalas di Sumatra, dari Mataram hingga Turkistan,
baik di masa Khulafa Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Andalusia, Muwahidun, Syafawi,
Mamluk, Mughal, Turki Seljuk, Turki Osman, dan lain-lain, semuanya adalah peradaban
Islam. Dalam pada itu, Islam memiliki kapasitas untuk berdiri sebagai peradaban yang
memiliki sains dan falsafah tersendiri. Sains Islam adalah sains daripada peradaban Islam.

Ketika sains (ḥikmah) dan filsafat (falsafah) Yunani dinaturalisasi ke dalam peradaban Islam,
sejumlah saintis dan filsuf dunia Islam pun mengoreksinya dan melakukan Islamisasi
terhadap corak dan doktrin keilmuan mereka. Hal itu seperti al-Kindi yang menggunakan
sintesis dari prinsip dan metode filsafat Aristoteles dan Neo-platonis untuk mengajukan
struktur sains dan falsafahnya sendiri yang menitikberatkan pada pembuktian kefanaan alam
semesta dan terbatasnya ruang dan waktu.27 Meskipun al-Kindi tidak menggunakan
terminologi “filsafat Islam”, ia tetaplah melakukan naturalisasi atau Islamisasi atas sains dan
27
Perlu kutipan [] Al-Kindi, []; lihat juga George Atiyeh, []; lihat juga Tonny Abboud, []
filsafat Yunani, bahkan mengajukan suatu padanan terminologi berupa ḥikmah dan falsafah
yang memiliki corak tersendiri.28

Argumen kedua, tantangan intelektual dan pemikiran yang dihadapi umat Islam terkait
dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa lalu dan kini berbeda. Jika ilmuwan
Muslim masa lalu tidak pernah menggunakan istilah “sains Islam” untuk merujuk pada sains
dan teknologi dalam peradaban mereka sendiri, itu karena kebutuhan atas distingsi yang
demikian belum muncul. Istilah definitif “Islami” diperlukan tatkala kita harus membedakan
antara segala sesuatu yang dipandang sesuai dengan Islam dan yang dipandang tidak sesuai
dengan Islam. Hal ini berlaku terutama jika ketidakmampuan dalam melakukan pembedaan
itu dapat menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam pikiran umat yang berdampak
negatif terhadap pemahaman dan pengamalan Islam mereka, termasuk keseluruhan peradaban
Islam. Sains Barat modern termasuk dalam hal dengan urgensi distingsi itu.29

Di masa klasik, para ilmuwan Muslim tidak menghadapi tantangan signifikan dari sains-sains
“tak Islami” yang memaksa mereka untuk melakukan pembedaan tersebut. Sains dan filsafat
yang menjadi kiblat pengetahuan dunia zaman itu dikembangkan sendiri oleh para ilmuwan
Islam dari hasil naturalisasi sains dan filsafat kuno yang dilakukan sebelumnya, terutama dari
peradaban Yunani, Persia, India, dan Mesir. Melalui naturalisasi atau Islamisasi itu, sains-
sains kuno yang mereka warisi dan sains-sains yang mereka kembangkan zaman itu pun
sesuai dengan perspektif Islam tentang tauhid.

Hal itu seperti al-Kindi yang menaturalisasikan kerangka sains Aristoteles dan Neo-platonis,
sebagai arus utama pemikiran Yunani, ke dalam alam pandang Islam melalui argumen
aritmetikanya tentang pembuktian kefanaan alam semesta dan berhingganya ruang dan
waktu, pembelaannya terhadap teori penciptaan dari ketiadaan, serta gagasannya tentang
keragaman realitas yang dapat dipandang sebagai satu kesatuan realitas yang berasal dari
sumber yang satu (hubungan waḥdah bil-ḥaqīqah dan waḥdah bil-majāz), Sang Esa Sejati.30
Tak kurang, al-Ghazali pun – sebagai kritikus utama atas Aristoteles – mengakui adanya
kebaikan dan spirit monoteisme dalam pemikiran Aristoteles, meskipun menggarisbawahi
kecacatan dalam kekufuran mereka akan akhirat.31

28
Perlu kutipan [] History of Muslim Philosophy
29
Handrianto, 146
30
Perlu kutipan [] Al-Kindi, []; lihat juga George Atiyeh, []; lihat juga Tonny Abboud, []
31
Handrianto, 147
Selain itu, para ilmuwan Islam sadar bahwa tidak ada tandingan bagi sains-sains yang mereka
kembangkan, karena mereka adalah pemuka intelektual dan penghasil sekaligus pelopor
kemajuan sains zaman itu. Secara praktis, sains kontemporer adalah sains milik mereka
sendiri. Sains mereka yang Islami menjadi sains universal dan global di zamannya, hingga
menjadi kiblat studi pula bagi orang-orang Eropa. Sains dan teknologi yang dikembangkan
dalam ruang kultural peradaban Islam di masa itu secara alami mengalami Islamisasi. Hal itu
jelas berbeda dengan zaman modern, atau pos-modern, di mana sains Barat modern secara
gamblang memiliki sifat dan karakteristik filosofis yang sama dengan Sains Islam.32

Dalam hal tertentu, seperti soal-soal yang berkaitan dengan sifat dan peran metodologi ilmiah
serta sifat rasional dan logis dari bahasa wacana ilmiah serta pengaturan berbagai institusi
keilmuan, sains modern memang dapat dipandang sebagai kelanjutan dari tradisi keilmuan
Islam di Abad Pertengahan itu. Namun, dalam hal-hal lainnya seperti relevansi metafisika
dan etika spiritual dengan kegiatan menuntut ilmu, sains Barat modern secara sadar
memutuskan untuk meninggalkan jalan sains Islam demi menempuh jalan sekuler yang akan
membuat sains benar-benar mandiri dan terpisah dari agama. Ringkasnya, sains Barat modern
sebagian meneruskan dan sebagian lagi berbeda dari sains Islam.33

Dengan demikian, guna memperbaiki berbagai kerusakan yang sudah terlanjur ditimbulkan
oleh sains Barat itu dalam aspek pemikiran, kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan,
tumbuhlah urgensi dari penggalian “sains Islam” itu. Konsep sains Islam itu pada gilirannya
akan membawa kita pada upaya implementasi Islamisasi sains, sebagai suatu alternatif
keadaban yang sah atas modernitas Barat, yang telah menunjukkan defisit serius pada level
global, yang merebak melintasi batas negara, budaya, dan agama.34 Para peneliti telah
mengemukakan setidaknya tiga makna sains Islam.

Pertama, sains Islam merupakan disiplin ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan sains dan
teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi
di dunia Barat. Pengertian ini menjadikan sains Islam sebagai salah satu cabang dari Sejarah
Sains (History of Science) yang lebih luas. Secara sederhana, pengertian ini memandang
sains Islam sebagai sejarah sains dalam budaya, masyarakat, dan peradaban Islam; lebih
berupa praktik dan hasil empiris daripada teori konseptual. Dikutip Handrianto, Adi Setia
mencontohkan kategori ini dengan tulisan tentang sejarah sains Islam seperti Islamic Science

32
Handrianto, 147
33
Handrianto, 147
34
Wan Daud, 5
and the Making of the European Renaissance karya George Saliba, Islamic Science and
Engineering dari Donald R. Hill, dan lain-lain. Makna ini dapat dengan mudah diterapkan di
dunia pendidikan karena bisa menempel pada beragam sub pelajaran/kuliah, khususnya
sejarah atau sejarah sains. Bahan ajar kategori ini banyak tersedia dan berotoritas, baik karya
sarjana Muslim maupun Barat.35

Pengertian kedua berkaitan dengan pokok bahasan dari sub-disiplin dalam Filsafat Islam
yang berperan untuk memaparkan dan menjernihkan istilah prinsip-prinsip metodologis dan
filosofis kontemporer yang objektif yang telah memandu atau menopang penuaian sains
dalam peradaban Islam. Makna ini menjadikan sains Islam bagian dari filsafat dan filsafat
ilmu secara umum, dan lebih berpusat pada aspek-aspek konseptual atau intelektual daripada
aspek-aspek empiris, praktis, atau arti faktual dari sains Islam. Tulisan-tulisan dalam kategori
ini termasuk Islam and the Philosophy of Science dari al-Attas, Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines karya Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam tulisan
Franz Rosenthal, dan masih banyak lagi.36

Makna kedua ini relatif mudah diimplementasikan ke dalam mata pelajaran / kuliah, bahkan
kurikulum, jika terdapat kehendak yang baik dari otoritas pendidikan, baik di level sekolah,
kampus, pemerintahan, dan penyusun perundang-undangan. Bahan rujukan materi sains
Islam dalam kategori ini juga mudah dijumpai, baik berupa buku, jurnal, maupun bentuk
digital. Materi ini dapat berdiri sendiri sebagai bidang filsafat sains dan pendidikan Islam atau
disematkan dalam berbagai cabang keilmuan lain, terutama di perguruan tinggi pada tingkat
pascasarjana.37

Pengertian ketiga dari sains Islam berkenaan dengan aksiologi. Pokok bahasan disiplin-
disiplin kategori ini berperan untuk merumuskan konsep-konsep sains Islam sebagai program
kreatif jangka panjang yang dilakukan sebagai penerapan sistemis nilai etis dan kognitif pada
sains dan teknologi di dunia kontemporer. Perumusan-ulang ini, agar dapat wujud, akan
sangat memerlukan sosok ilmuwan Muslim dengan ketajaman pikiran yang tinggi dan
kontemplatif (bukan sekadar teknis) untuk bekerja ke arah integrasi kritis upaya-upaya
saintifik ke kerangka kerja konseptual dari worldview of Islam, dan penjabaran serentak atas
implikasi kognitif, metodologis, dan aksiologis atas integrasi tersebut untuk riset saintifik
empiris di masa kini dan masa depan.38
35
Handrianto, 47-48
36
Handrianto, 48-49
37
Handrianto, 49
38
Handrianto, 50
Menurut Adi Setia, kebanyakan sarjana dan peneliti, ketika mereka berbicara tentang sains
Islam, memang telah banyak yang mengacu pada aspek empiris, filosofis, atau keduanya.
Namun, masih sedikit atau bahkan belum ada yang mencoba mempelajari sains Islam secara
sistematik sekaligus programatik, yaitu dengan sebuah program riset sistemis yang secara
berkesinambungan dan secara kreatif memperkaya dan mengartikulasi-ulang sepanjang
sejarahnya oleh ijtihad intelekto-saintifik dari satu generasi sarjana ke generasi sarjana
berikutnya, yang setiap generasi menanggapi tuntutan dan tantangan kurun mereka.39

Definisi-ulang programatik atas sains Islam akan mengalihkannya menjadi cakupan


‘paradigma’ atau ‘program riset’ baru yang mengandung implikasi empiris dan metodologis
yang sama sekaku baru (dan dengan demikian, penemuan yang sama sekali baru) guna
memanifestasi-ulang alam-pandang Islami dalam peri-kehidupan perorangan dan masyarakat
melalui visi dan praktik sains dan teknologi Islami yang non-Barat dan otentik yang pertama
dan utama diarahkan pada identifikasi dan pemecahan permasalahan dan pemenuhan
kebutuhan umat yang sesungguhnya. Penerapan sains Islam pada makna ketiga ini memang
tidak mudah karena sampai sekarang, kajian pada bidang ini belum banyak. Riset, penelitian,
kajian empiris, dan induktif untuk sains Islam di zaman modern ini masih sedikit dan belum
dilembagakan.40

Demikian pula buku ini disusun, yaitu untuk sedapat mungkin turut menyumbangkan gagasan
segar dalam proses Islamisasi sains Barat kontemporer menuju suatu pembangunan sains
Islam dalam cabang-cabang keilmuan yang terkait dengan transportasi. Tentu upaya ini
diharapkan dapat mengarah kepada cakupan dari tiga makna sains Islam di atas, atau setidak-
tidaknya diterapkan pada cakupan masalah paradigma dan filosofis dari kajian transportasi
kontemporer yang diarahkan sedemikian rupa sehingga kembali kepada pangkuan pandangan
hidup Islam. Uraian strategi Islamisasi sains transportasi itu diberikan pada bagian
berikutnya.

39
Handrianto, 49
40
Handrianto, 50

Anda mungkin juga menyukai