Anda di halaman 1dari 18

Transportasi, Perjalanan Haji, dan Film Le Grand Voyage

Ditinjau dari Perspektif Quran Surah Ḥajj [22]: 27-29


Oleh M Miftahul Firdaus

Transportasi, tidak dapat dipungkiri, adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia
dan pembangunan suatu negara dan peradaban. Hal itu karena bagi perkumpulan manusia,
negara, dan peradaban, banyak aktivitas yang dilakukan dalam pembangunan dan
perkembangannya yang membutuhkan perpindahan dan pengangkutan, baik itu manusia
maupun barang, yang menjadi inti transportasi. Bagi peradaban Islam pun, transportasi
memiliki nilai tersendiri, bahkan terkait langsung dengan salah satu ibadah terpentingnya,
perjalanan haji. Dalam pada itu, diperlukan tradisi keilmuan tersendiri dalam menggali
khazanah Islam tentang transportasi.

Dengan masih sedikitnya sumber mengenai hal ini, penelitian yang masif mesti digalakkan,
yang pada akhirnya bertujuan untuk merumuskan paradigma peradaban Islam dalam
pembangunan transportasi. Tentulah cakupan yang demikian dalam, luas, dan berjangka
panjang tidak sanggup untuk dijangkau oleh penulis pada saat dan dalam tulisan ini. Risalah
singkat ini hanyalah sebagai awalan yang diharapkan dilanjutkan secara konsisten sehingga
di kemudian hari mampu melahirkan bidang kajian tersendiri. Untuk mengawali studi tentang
transportasi dalam perspektif Islam itu, baiklah kiranya jika kita pertama-tama menggalinya
dalam Quran, sebagai salah satu sumber utama keilmuan Islam.

Ayat-ayat Tentang Transportasi dan Surah Ḥajj [22]: 27-29

Dalam Quran, terdapat sejumlah ayat yang berhubungan dengan transportasi. Di antara ayat-
ayat tersebut ialah al-Baqarah[2]: 164, 239; al-Anʿām[6]: 38, 142; Hūd[11]: 41; al-Ḥijr[15]:
14; an-Naḥl[16]: 5-8, 79; al-Isrā’[17]: 66-69; al-Kahfi[18]: 71, 79; Ṭāha[20]: 53; Ḥajj[22]:
27-29, 31; al-ʿAnkabūt[29]: 65; Saba’[34]: 2; Yāsīn[36]: 41-42; az-Zukhruf[43]: 12-14; al-
Jātsiyah[45]: 12-13; al-Qamar[54]: 11; ar-Raḥmān[55]: 24, 33; al-Ḥadīd[57]: 4; an-
Naba’[78]: 19; aṭ-Ṭāriq[86]: 1, 11. Mungkin juga masih terdapat ayat-ayat lain yang terlewat
dari perhatian penulis, insya-Allah akan diselidiki kemudian. Dalam kesempatan ini, penulis
akan memfokuskan pembahasan pada surah Ḥajj[22]: 27-29, karena aspek transportasi dalam
ayat tersebut berhubungan langsung dengan haji sebagai salah satu ibadah paling mendasar
dalam Islam. Aspek transportasi pada ayat tersebut akan dihubungkan dengan aspek umum
perjalanan haji, sebagai suatu fenomena perjalanan global, dan dikaitkan dengan sebuah film
berjudul “Le Grand Voyage” (LGV) yang memuat sampai batas tertentu, fenomena sosial
terkait perjalanan haji melalui jalur transportasi darat.

Quran surah Ḥajj[22]: 27-29 itu beserta terjemahan dasar yang umum diberikan dalam
interpretasi Quran bahasa Indonesia susunan Kementerian Agama Republik Indonesia adalah
sebagai berikut.

ٍ ۢ ‫ ٍر يَأْتِينَ ِمن ُكلِّ فَجٍّ َع ِمي‬cۢ ‫ضا ِم‬


‫ق‬ َ ‫اس بِ ْٱل َحجِّ يَأْتُو‬
َ ِّ‫ك ِر َجااًۭل َو َعلَ ٰى ُكل‬ ِ َّ‫َوأَ ِّذن فِى ٱلن‬
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari
segenap penjuru yang jauh. [27]

‫ا‬ccَ‫وْ ا ِم ْنه‬ccُ‫ام فَ ُكل‬c ٍ ٰ‫ َمنَافِ َع لَهُ ْم َويَ ْذ ُكرُوا ا ْس َم هّٰللا ِ فِ ْٓي اَي ٍَّام َّم ْعلُوْ م‬c‫لِّيَ ْشهَ ُدوْ ا‬
ِ ۚ c‫ت ع َٰلى َما َرزَ قَهُ ْم ِّم ۢ ْن بَ ِه ْي َم ِة ااْل َ ْن َع‬
‫س ْالفَقِي َْر‬َ cِ‫ ْالبَ ۤا ِٕٕى‬c‫ط ِع ُموا‬ ْ َ‫َوا‬

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka
menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang
diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya
dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
[28]

ِ ‫ت ْال َعتِي‬
‫ْق‬ ِ ‫ بِ ْالبَ ْي‬c‫ثُ َّم ْليَ ْقضُوْ ا تَفَثَهُ ْم َو ْليُوْ فُوْ ا نُ ُذوْ َرهُ ْم َو ْليَطَّ َّوفُوْ ا‬

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka,


menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan tawaf sekeliling rumah tua
(Baitullah). [29]

Terdapat beberapa kata kunci yang hendak penulis garisbawahi pada ayat-ayat tersebut, yaitu
adzdzin (‫“ )أَ ِّذن‬serulah”, ḍāmir (‫)ضا ِم ۢ ٍر‬ ٍ ۢ ‫“ )فَجٍّ َع ِمي‬penjuru
َ “unta yang kurus”, dan fajj ʿamīq (‫ق‬
yang jauh” pada ayat 26; manāfiʿ (‫“ ) َمنَافِ َع‬manfaat-manfaat”, ayyām maʿlūmāt (‫ت‬ ٍ ٰ‫)اَي ٍَّام َّم ْعلُوْ م‬
“hari-hari tertentu”, bahīmah al-anʿām (‫“ )بَ ِه ْي َم ِة ااْل َ ْن َع ۚ ِام‬binatang ternak”, dan kulū minhā wa
ْ َ‫“ )فَ ُكلُوْ ا ِم ْنهَا َوا‬makanlah sebagiannya dan beri makanlah” pada ayat 27; serta il-
aṭʿimū (‫ط ِع ُموا‬
ْ “hendaklah menghilangkan kotoran mereka”, il-yūfū
ُ ‫)ليَ ْق‬
yaqḍū tafatsahum (‫وْ ا تَفَثَهُ ْم‬ccc‫ض‬
ْ “hendaklah menyempurnakan nazar-mereka mereka”, dan al-bayt
nudzūrahum (‫)ليُوْ فُوْ ا نُ ُذوْ َرهُ ْم‬
ِ ‫ت ْال َعتِي‬
al-ʿatīq (‫ْق‬ ْ “rumah tua” pada ayat 29.
ِ ‫)البَ ْي‬

Aspek Sistemis-Manajerial dari Transportasi

Pertama kata ḍāmir berasal dari kata kerja ḍamara (‫مر‬cc‫ )ض‬yang berarti menjadi kurus,
berdaging ringan, meramping, mengecil di bagian perut karena kekurusan, menjadi kurus dan
lemah, mengering, menyingkat, menekan, atau berkontraksi. Kata itu berhubungan dengan
ḍammara, muḍammir, taḍmir, dan iḍmara yang bertalian makna dengan perbuatan
menyiapkan tunggangan (umumnya kuda) yang ramping (sehingga kencang dan lincah) oleh
pihak yang menyiapkannya dalam suatu balapan atau ekspedisi militer; atau juga tindakan
memberi makan dengan jumlah yang hampir tidak cukup sehingga yang diberi makan masih
bisa bertahan, tetapi menjadi kurus setelah sebelumnya gemuk, dengan menghabiskan
cadangan makanannya untuk menutupi kekurangan makanan yang diberikan.1

Kata iḍmara itu juga berkaitan dengan suatu metode perawatan khusus hewan tunggangan di
mana sang pemilik memberi makan hewan itu dengan makanan ternak sehingga dia menjadi
gemuk, dan kemudian menguranginya menjadi jumlah yang hampir tidak cukup untuk
menopangnya, yang dilakukan selama empat puluh hari; atau dengan cara membebani hewan
itu, meletakkan semacam rumah-rumahan di punggungnya, agar dia bisa berkeringat di
bawahnya, sehingga demikian kehilangan kelemahannya, dan daging atau ototnya menjadi
kokoh; dan kemudian menaikkan seorang anak atau pemuda ke punggungnya, untuk
membuatnya lari, tetapi tidak terlalu cepat, yang diistilahkan sebagai ʿamaq (‫)عمق‬, di mana
dengan melakukan itu, sang pemilik hewan tidak lagi menjadi takut kalau hewan itu akan
kehilangan nafasnya saat berlari atau tumbang saat lari cepat.2

Kata iḍmara itu juga bertalian dengan tindakan memutuskan, membulatkan tekad, atau
menyembunyikan sesuatu. Tindakan menyembunyikan dalam makna kata itu berkaitan
dengan penyembunyian kata, maksud, dan sejenisnya dalam hati, pikiran, simbol, atau kata
ganti. Frasa iḍmara ḍarf al-ḥarf (‫رف‬cc‫رف الح‬cc‫مر ض‬cc‫ )اض‬berarti menekan vokal dalam huruf
terakhir sehingga tidak berbunyi. Maknanya juga terkait dengan menghilangnya seseorang
karena bepergian ke tempat yang jauh atau karena kematian, seperti tergambar dalam frasa
iḍmarahu al-bilād (‫ )اضمره البالد‬dan īdmaratahu al-arḍ (‫“ )اضمرته األرض‬layaknya dia tertelan

1
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon, (London: Williams and Norgate, 1863), hal. 1803, kolom 1
2
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ... , hal. 1803, kolom 1
bumi”. Dengan begitu, kata iḍmara berarti pula menghilang, menjauh, atau menempuh
perjalanan yang jauh (istaqṣā).3

Suatu properti yang dipredikatkan dengan makna turunannya berarti hilang dan tak pernah
kembali, yaitu berkaitan dengan kerugian atau kebangkrutan, seperti tertuang dalam frasa māl
ḍimār (‫مار‬ccc‫ال ض‬ccc‫)م‬. Sebuah hutang yang tak mampu dibayar, tak tentu periodenya,
pembayarannya tertunda oleh kredit masa depan, atau penjualan di atas kredit di mana
pembayarannya ditunda sampai batas tertentu disebut dayn ḍimār (‫)دين ضمار‬. Sementara kata
dāmir sendiri secara sederhana diterjemahkan sebagai hewan tunggangan (biasanya kuda atau
unta) yang kurus, kecil di bagian perutnya, atau ramping akibat diberi perlakuan atau
persiapan dengan pembatasan jumlah makanan, peruntukkan balapan dan lari militer,
pelatihan keras, atau perjalanan jauh yang memayahkan yang seakan-akan tertelan bumi, atau
seperti kafilah dagang yang sering merugi.4

Jika dihubungkan dengan transportasi dari perjalanan haji, makna ḍāmir bertalian dengan
unta atau kuda yang menjadi kurus dan payah akibat jauhnya perjalanan darat dan minimnya
makanan, mobil atau kendaraan modern lain yang mogok atau menjadi tidak prima lagi atau
kehabisan bahan bakar akibat jauhnya perjalanan, layanan perjalanan berbiaya rendah (low
cost carrier), biro perjalanan atau jasa transportasi yang merugi dalam menyelenggarakan
kegiatan bisnisnya, dan kafilah dagang atau jamaah haji yang merugi atau kehabisan bekal di
tengah jalan sehingga kelanjutan perjalanannya menjadi tidak jelas jika ia tidak segera
mencari penghasilan atau tambahan bekal. Makna-makna tersebut akan terlihat hubungannya
secara lebih baik setelah kita mengaitkannya dengan beberapa kata kunci lain.

Hamka dalam Tafsir al-Azhar Jilid 6 juga menghubungkan kata ḍāmir dengan beberapa
makna tersebut.

Yang dekat-dekat tentu bisa berjalan kaki. Yang jauh-jauh tentu dengan kendaraan.
Alat perhubungan di zaman Nabi Ibrahim untuk yang jauh, ialah dengan unta, sampai
unta itu dinamai orang bahtera padang pasir. Sampai sekitar tahun 1925, perhubungan
di Jazirah Arab, Barat dan Timur, Utara dan Selatannya ialah unta, dalam ayat ini,
unta untuk berjalan jauh yang sampai nyanyuk dari payahnya perjalanan disebut
ḍāmir. Ini menimbulkan kesimpulan bahwa yang disuruh datang ke sana itu ialah
tiap-tiap manusia yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa! Kian lama kian
meluaslah seruan ini ke serata-rata dunia. Sehingga datang ke sana tidak saja lagi
3
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 1803, kolom 2
4
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 1803, kolom 2-3
dengan unta yang telah kurus dan nyanyuk dari jauhnya perjalanan, bahkan datang
dari pelosok dunia dengan kapal udara yang lebih cepat dari suara.5

Dengan demikian, kata ḍāmir itu merujuk pada suatu kondisi yang menjadi akibat dari
kepayahan dan jauhnya perjalanan (fajj ʿamīq). Kepayahan itu dapat meliputi kepayahan
biologis, fisik, mekanik, finansial, atau macam-macam kepayahan lain, yang berkembang
seiring mode dan bisnis transportasi atau perhubungan setiap zaman. Perjalanan yang penuh
kepayahan itu lebih lanjut diakibatkan oleh jauhnya jarak, akibat datangnya pihak yang
berhaji dari setiap penjuru dunia yang jauh (fajj ʿamīq) padahal yang berhaji zaman Nabi
Ibrahim itu masih terbatas sejauh umatnya yang beriman saja, yang menandakan suatu nubuat
masa depan bahwa risalah tauhid ini akan diterima di berbagai penjuru dunia yang luas, yang
sebelumnya tidak terbayangkan.

Karena jauhnya jarak itu pula, di ayat ini disiratkan pula suatu embrio pemahaman tentang
pentingnya persiapan perjalanan yang baik, yang jika dikembangkan akan dapat mencakup
suatu dorongan perbaikan manajemen maskapai perhubungan, apalagi jika dihubungkan
dengan kata kunci ayyām maʿlūmāt. Dalam konteks ini, yang dibicarakan memanglah seakan
hanya bentangan transportasi darat saja, dan memanglah rentang perhubungan haji yang
terbesar itu di jalur darat pada Afro-Eurasia, tapi tidaklah terbatas sampai itu jika kita
hubungan pula dengan kata kunci lain, manāfiʿ. Kata kunci manāfiʿ itu pula tercantum dalam
ayat-ayat lain yang berkenaan dengan transportasi, sehingga perlu kita bahas secara sekilas
jua.

Hubungan Transportasi, Perjalanan, dan Perniagaan

Kata manāfiʿ itu merupakan jamak dari manfaʿah (‫)منفعة‬, yang berasal dari kata kerja nafaʿa (
‫ )نفع‬yang berarti menguntungkan, memberikan kegunaan, berguna, memenuhi kepentingan,
atau menyediakan bagi sesuatu. Sementara itu, kata manfaʿah bermakna penyebab atau cara
yang mendatangkan keadaan baik, keuntungan, utilitas, kegunaan, faedah, keberuntungan,
kemujuran, laba, pemenuhan kebutuhan, dan maslahat. 6 Manfaat di sini dapat mencakup
bermacam hal, tapi yang hendak penulis tekankan adalah manfaat perdagangan. Hamka
dalam tafsirnya yang mengutip sejumlah tafsir yang lain juga mengemukakan hal yang sama.

5
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, (Singapura: Pustaka Nasional, 1982), hal. 4688
6
Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 2833
Pada pangkal ayat ini dijelaskan bahwa sesampai di tempat yang mulia itu kita dapat
menyaksikan hal-hal yang ada manfaatnya. Manfaat itu banyak, berbagai ragam.
Ahli-ahli tafsir menjelaskan setengah dari manfaat itu ialah perdagangan. Tegasnya,
kalau ada membawa perniagaan, pergilah terlebih dulu menjualnya, moga-moga dapat
laba yang besar. Atau memiliki barang yang dapat dibeli buat dijual lagi di tempat
lain.7

Kedekatan makna manfaat itu pada ranah perdagangan atau perekonomian juga terlihat jika
kita meninjau penggunaan lain dari kata kerja dengan akar yang sama, bimā yanfaʿ (‫)بما ينفع‬,
yang dimuat oleh ayat lain yang berkaitan dengan transportasi, al-Baqarah[2]: 164.

‫اس‬َ َّ‫ ُع الن‬cَ‫ك الَّتِ ْي تَجْ ِريْ فِى ْالبَحْ ِر بِ َما يَ ْنف‬ ِ ‫ار َو ْالفُ ْل‬
ِ َ‫ف الَّ ْي ِل َوالنَّه‬
cِ ‫اختِاَل‬ ْ ‫ض َو‬ِ ْ‫ت َوااْل َر‬ ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬ِ ‫اِ َّن فِ ْي َخ ْل‬
ْ ‫لِّ د َۤابَّ ٍة ۖ َّوت‬cc‫ا ِم ْن ُك‬ccَ‫ث فِ ْيه‬ ‫هّٰللا‬
‫ْف‬
cِ ‫ ِري‬c‫َص‬ َّ َ‫ َوب‬c‫ا‬cَ‫ َد َموْ تِه‬c‫ض بَ ْع‬ َ ْ‫ ِه ااْل َر‬cِ‫َو َمٓا اَ ْن َز َل ُ ِمنَ ال َّس َم ۤا ِء ِم ْن َّم ۤا ٍء فَاَحْ يَا ب‬
ٍ ‫ض اَل ٰ ٰي‬ ۤ
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّ ْعقِلُوْ ن‬ ِ ْ‫ب ْال ُم َس َّخ ِر بَ ْينَ ال َّس َما ِء َوااْل َر‬ ِ ‫ح َوال َّس َحا‬ ِ ‫ال ِّر ٰي‬
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal
yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang
diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah
mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan
perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu)
sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.

Pada ayat di atas, kata manfaat itu dipredikatkan pada barang-barang muatan kapal laut yang
berlayar yang akan berguna bagi manusia. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dari arus
perdagangan sejak dulu hingga kini, yang banyak di antaranya diangkut melalui muatan
kapal, bahwa manfaat utama yang dimaksud ayat ini adalah keuntungan perniagaan, sebagai
rahmat Allah yang mesti disyukuri manusia. Dengan begitu pula, manfaat perdagangan itu
dengan sendirinya berkaitan erat dengan adanya jalur-jalur transportasi, baik darat pada surah
22 sebelumnya maupun laut pada surah 2 di atas.

Hal yang dapat ditarik darinya adalah, bahwa jalur transportasi itu akan terbentuk jika ada
jalur perniagaan di antara tempat-tempat yang dihubungkan itu. Hal itu karena dengan adanya
perniagaan, perpindahan orang dan barang yang masif akan terjadi secara konsisten,
memenuhi suatu ambang jumlah tertentu yang memungkinkan jasa transportasi itu untuk
mencapai impas dan terus beroperasi, atau bahkan mendapatkan untung. Kita mesti

7
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, ... hal. 4688
mencamkan bahwa transportasi sekalipun adalah suatu usaha, yang tentunya memerlukan
ongkos operasional, baik untuk membayar awak-pegawai, bahan bakar, makanan hewan
pengangkut, biaya perawatan alat transportasi, biaya administrasi, dan lain-lain. Ongkos-
ongkos semacam itu terutama dibiayai dari pembayaran penumpang dan pengangkutan
barang, menyisakan sejumlah laba.

Jika jumlah penumpang dan barang yang diangkut sehari-hari operasionalnya secara
kumulatif kurang dari batas tertentu, usaha transportasi itu akan rugi, dan pada gilirannya
tidak bertahan. Dengan begitu, agar usaha transportasi itu tetap beroperasi, mesti ada arus
orang dan barang yang cukup, sementara arus orang dan barang yang cukup itu ada pada
jalur-jalur perniagaan yang ramai. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa industri transportasi
itu pada jumlah permintaan, dan jumlah permintaan itu paling besar dipengaruhi oleh laju
perniagaan barang dan perpindahan orang yang ada. Analisis terhadap arus perpindahan itu
merupakan suatu yang sangat mendasar dalam bisnis transportasi modern, dan itu telah
diindikasikan oleh ayat Quran ini empat belas abad lampau.

Keterkaitan transportasi dan perjalanan haji dengan perniagaan tersebut juga diamini oleh
Hamka dalam hubungannya dengan ayat lain, yaitu surah [2]: 198. Hamka membahasnya
dalam menunjukkan bolehnya jamaah haji untuk melakukan perniagaan atau sepanjang
perjalanan mereka untuk memperoleh tambahan bekal perjalanan, terutama jika mereka
memiliki bekal yang terbatas, sebelum mereka mencapai miqat zamani, sehingga mereka
mampu bertahan hidup sampai perjalanan haji selesai dan kembali ke tanah air masing-
masing. Hamka menyatakan:

Dari kedua ayat ini kita mendapat kesan, bahwa sebelum “hari-hari tertentu” atau
sebelum berbondong turun dari Arafah, waktu buat urusan yang lain, buat berniaga,
buat mencari keuntungan masih ada. Sebab orang sampai di Makkah bukanlah tepat
pada “hari-hari tertentu” itu, melainkan beberapa hari lebih dahulu. Hari-hari yang
terlarang itu tidaklah ada salahnya jika digunakan mencari keuntungan yang halal.

...

Berkata Ibnu Abbas, pada permulaan perintah haji dalam Islam. Orang sibuk berjual-
beli di Mina dan Arafat dan pasar Dzil Majaz dan di musim haji. Maka timbullah
takut mereka meneruskan kebiasaan itu di dalam melakukan ihram. Tiba-tiba turunlah
ayat itu (198 Surat al-Baqarah), yang menyatakan tidak ada salahnya bahwa kamu
mengusahakan karunia daripada Tuhan kamu pada musim haji. Hadis ini dirawikan
oleh Bukhari Muslim dan an-Nasa’i.

Abu Amamah at-Taimi menceritakan bahwa dia pernah minta fatwa kepada Abdullah
bin Umar bahwa pekerjaannya ialah mempersewakan kendaraan kepada orang-orang
naik haji. Ada orang yang mengatakan kepadanya, bahwa hajinya tidak sah! Sebab
kerjanya hanya mempersewakan kendaraan.

Lalu Ibnu Umar bertanya: “Bukankah engkau berihram dan membaca ‘Labbaika’?
Bukankah engkau tawaf sesudah turut berbondong dari Arafah? Bukankah engkau
pun turut melontar ketiga jumrah?” Abu Amamah menjawab: “Semua itu aku
kerjakan!” Maka berkatalah Ibnu Umar: “Kalau semua itu sudah engkau kerjakan,
engkau sudah haji!” Dan kata Ibnu Umar selanjutnya: “Telah ada pula orang bertanya
semacam pertanyaanmu ini kepada Nabi SAW. Lalu beliau jawab: ‘Engkau sudah
haji’.” Hadis ini dirawikan oleh Abu Daud dan Said bin Manshur.

Seorang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Saya bekerja pada rombongan orang-orang
yang hendak naik haji itu, lalu saya pun mengambil kesempatan mengerjakan manasik
haji. Apakah haji saya itu diterima Tuhan?” Ibnu Abbas menjawab: “Pasti diterima.”

...

Kesimpulan kata: adalah paham yang tidak pada tempatnya orang berkata
bahwa naik haji tidak boleh dicampur dengan berniaga.8

Kesan Ayat Tentang Seasonality Analysis pada Sistem Transportasi

Kesan demikian itu akan semakin kuat jika kita menghubungkan konsep manfaat itu dengan
kata kunci lainnya, ayyām maʿlūmāt. Konsep hari-hari tertentu itu memang secara khusus
berlaku pada ibadah yang disyariatkan pada hari-hari dan bulan tertentu, sehingga
memunculkan kekhususan penjadwalan perjalanan yang dilakukan, menyesuaikan dengan
jangka waktu yang diperlukan oleh masing-masing mode transportasi dan rangkaian aktivitas
yang mengikuti. Jika dikaitkan dengan bisnis transportasi secara umum, hal ini mengajarkan
kepada pembacanya suatu konsep perhubungan yang musiman (seasonality). Perjalanan
kebanyakan manusia dan sebagian barang memang bersifat musiman, sepi pada saat-saat

8
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, ... hal. 4688-4691
tertentu, ramai pada waktu-waktu yang lain, dan di antaranya terdapat peak season, saat arus
orang dan barang sedang puncak-puncaknya.

Analisis musim perjalanan (seasonality analysis) ini juga menjadi elemen fundamental dari
pembangunan sistem transportasi yang berkelanjutan. Bisnis transportasi mesti dapat
mengatur penjadwalan operasionalnya sesuai periode-periode arus perjalanan, termasuk hal-
hal yang terkait dengan yield harga dan kelas layanan (rentang harga tiket dan jumlah kursi
setiap kelas harga penumpang antara kelas ekonomi, bisnis, dan eksekutif), pengaturan waktu
kerja karyawan, pemberian promo, dan sebagainya yang turut berhubungan dengan natur
seasonality dari perhubungan. Hal itu penting mengingat tidak sepanjang tahun suatu usaha
transportasi bisa memperoleh untung. Keuntungan pada masa puncak harus dapat diatur
untuk menutupi kerugian pada masa sepi.

Kesan Ayat Tentang Aspek Manajerial Lain dari Sistem Transportasi

Keterkaitan antara transportasi haji dengan perniagaan itu semakin kuat jika kita
menghubungkan pembahasan dengan kata kunci berikutnya, fajj ʿamīq (penjuru yang jauh).
Sebagaimana di bahas sebelumnya, kepayahan dalam perjalanan itu terutama diakibatkan
oleh jauhnya jarak yang ditempuh, sehingga menghabiskan bekal, menguruskan hewan
tunggangan, mengurangi level kondisi kendaraan, melelahkan fisik, meningkatkan ongkos
operasional, dan sebagainya. Oleh karena itu, jarak perjalanan haji maupun perjalanan lain,
mengharuskan penyedia layanan transportasi untuk memperhatikan sejumlah aspek yang
terkait dengannya, seperti penggunaan armada yang tepat (fleet analysis), pemilihan rute
yang baik (route analysis), pengaturan ongkos (cost analysis), penjagaan standar keselamatan
(minimum safety analysis), pengaturan jam kerja awak transportasi (flight time analysis),
ketersediaan fasilitas perawatan armada di tengah rute (maintenance, repair, and overhaul
availability), ketersediaan fasilitas kenyamanan penumpang (rest area, toilet umum), dan
lain-lain, yang juga menjadi aspek mendasar dari sistem transportasi.

Hal itu semakin mengukuhkan betapa ajaibnya ayat-ayat yang pendek tersebut mampu
merangkum secara mendalam pandangan-pandangan yang luas dan maju tentang transportasi
dan perjalanan. Ini belum lagi jika kita membahas kata kunci fajj ʿamīq tersebut dalam
lapangan sosio-ekonomi yang berkaitan dengan geopolitik. Beragamnya arah kedatangan
jamaah haji atau penumpang secara umum dan titik pendaratan pada miqat-miqat yang
berlainan, memunculkan pula variasi rute-rute perhubungan yang masing-masing
memerlukan regulasi tersendiri, baik dalam hal penyediaan fasilitas penunjang, keamanan,
dan lain-lain. Hal yang demikian itu dapat kita ambil contohnya pada pembangunan sumur-
sumur (fasilitas air yang esensial bagi penumpang) oleh para khalifah di masa lalu, yang pada
masa kini dapat kita setarakan dengan pembangunan rest area, toilet, dan fasilitas
semacamnya.

Dalam konteks hubungan dan keamanan internasional pun, pandangan ayat-ayat tersebut
mempunyai ruang tersendiri, yang dapat dimaknai sebagai kaitan penting antara
perkembangan transportasi dan perdagangan internasional dengan aspek kestabilan dan
keamanan di jalur-jalur yang dilewatinya. Penguasaan jalur itu oleh Pemerintah sendiri atau
pemerintahan kaum lain yang dapat diajak bermitra menjadi penting demi menjamin
perhubungan tersebut. Di sinilah regulasi internasional dan geopolitik global berperan
penting, sebagaimana pula diamini oleh Hamka dalam tafsirnya.

Di samping itu, menurut yang tersebut dalam sejarah, sebelum jatuhnya kerajaan-
kerajaan Islam di Andalusia di akhir abad ke-15 Masehi, kafilah haji itu adalah
merangkap kafilah perniagaan. Rombongan-rombongan haji dari Dunia Islam sebelah
Barat, membawa barang-barang dari Barat yang diperlukan di Timur, berpangkal dari
kota-kota besar Andalusia, Cordova, Granada, Sevilla, Mercia, dan lain-lain, lalu
berkumpul di pelabuhan Malaga. Dari sana menyeberang ke pantai Agadir di Afrika
Utara. Di sana menggabung lagi calon-calon haji dari Tunisia, Talemsan (Aljazair),
Marrakesh (Maroko) untuk meneruskan melalui Mesir, terus ke Jazirah Arab, kadang-
kadang sampai beribu orang.

Yang dari Timur pun demikian pula. Perniagaan dari Isfahan, Syraz, Ghazaah,
Samarkan dan lain-lain berkafilah-kafilah pula membawa hasil dari Tuhan. Makkah
adalah tempat pertemuan dan pertukaran kepentingan. Permaidani yang indah-indah
dari Syiras, sutera dari Kashmir, bahkan rempah-rempah dari kepulauan Indonesia,
termasuk kapur wangi dari barus pulau Sumatera, yang telah dikenal sejak 2000 tahun
yang lalu sebagai barang mewah, sedang adanya hanya di Sumatera. Demikian juga
setanggi dari Makassar, pulau Sulawesi. Sistem chagu (cek) sudah terpakai waktu itu,
dengan secarik kertas kecil seorang saudagar di pelabuhan Malaga minta serahkan
sekian dinar uangnya kepada langganannya di Basrah dalam perjalanan wakil itu ke
ّ ‫( ص‬shak).
Makkah. Bahkan kalimat cheque itu ialah dari bahasa Arab ‫ك‬
Ibnu Bathuthah yang datang melawat ke negeri kita di tahun 1345-1346 menerangkan
bahwa kapal-kapal dagang Sultan al-Malikus Zhahir berlayar jauh sampai ke benua
Cina. Tentu sampai juga ke pelabuhan-pelabuhan sebelah Barat: Malabar, Sailan dan
lain-lain untuk bukti bahwa pihak kita pun turut aktif berdagang yang ada kaitannya
dengan haji itu. Dan Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang menaklukkan
Malaka tahun 1519, setelah penaklukan itu berkirim surat kepada rajanya di Lisabon,
mempersembahkan dengan segala kebesaran hati bahwa dengan ditaklukkan Malaka
jalan ke Makkah sudah ditutup, supaya hancurlah hubungan di antara negeri-negeri
orang Islam itu. Dengan demikian terbukti bahwa hubungan Tanah Arab dengan
kepulauan kita ini bukan semata-mata karena pergi haji, melainkan juga hubungan
ekonomi. Sir Thomas Arnold dalam bukunya “The Preacing of lslam” (Dakwah
kepada Islam) mengatakan bahwa sebelum datang Portugis, tampuk perniagaan ke
sebelah timur ini beratus tahun di tangan orang Arab. Setelah Portugis datang baru
pindah ke tangan mereka.

Kabarnya konon, di zaman Sultan Agung Mataram, hubungan perniagaan Jawa


merangkap naik haji ini masih ada. Tetapi di zaman putranya Amangkurat I
kekuasaan lautan sudah jatuh ke tangan Belanda. sejak itu kalau orang Indonesia naik
haji hanya semata-mata naik haji. Tidak ada lagi yang berniaga besar. Dapat naik haji
saja sudah syukur. Dan ada yang berniaga kecil-kecilan disalahkan oleh kawannya.9

Aspek Promosi dari Transportasi

Hubungan transportasi, perjalanan haji, perjalanan secara umum, perekonomian, dan


geopolitik tersebut akan semakin dalam jika kita menelaah maksud dari kata kunci adzdzin
dan bahīmah al-anʿām. Menurut Hamka, kata adzdzin itu berarti perintah untuk menyeru,
satu akar dengan kata azan, yaitu agar Nabi Ibrahim AS memproklamasikan kepada manusia
agar menjalankan haji, sementara Nabi Muhammad SAW menjalankan perintah
menghidupkan kembali syariat pendahulu beliau itu dan membersihkannya dari campuran
cara-cara jahiliah, lalu ditambahkannya beberapa manasik.10 Dengan demikian, berhaji itu
mesti dipromosikan, dan kegiatan mempromosikan jasa-jasa angkutan haji yang jujur dan
bertanggung jawab termasuklah ke dalam bagian dari ibadah penyeruan itu.

9
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, ... hal. 4690-4691
10
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, ... hal. 4688
Dalam pada itu, pengelola dan regulator bisnis haji dan umrah memiliki semacam tanggung
jawab rohani dalam terlaksananya cita-cita jamaah sampai ke Tanah Suci. Amanah penyeruan
(promosi) dan penyediaan fasilitas itu mesti dijalankan sesuai syarak dan tidak boleh
berkhianat, karena ia termasuk dalam perintah ayat ini. Jika pun ditarik pada transportasi dan
perjalanan secara umum, dapatlah diperikan bahwa perjalanan manusia itu memerlukan suatu
motif, dan motif itu mesti didorong oleh seruan, sehingga dalam bisnis transportasi, promosi
merupakan suatu hal yang esensial. Dalam kasus haji, Allah sendirilah yang “melakukan
promosi”, mengundang kaum beriman untuk berhaji, dengan menanamkan kerinduan pada
Tanah Suci dalam sanubari mereka.

Sementara itu, dalam transportasi dan perjalanan yang lain, manusia mesti pula berusaha
mempromosikan usaha itu, sepanjang jasa transportasi dan perjalanan yang ia tawarkan tidak
melanggar syarak. Tanpa promosi yang baik, usaha transportasi dan perjalanan serta berbagai
usaha lain yang terkait dengannya kan kekurangan pemasukan dan sulit menjadi
berkelanjutan. Dalam hal ini pula, usaha transportasi dan perjalanan berikut promosinya
mestilah diatur dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga ia tidak mendorong
target pasarnya jatuh ke dalam hal-hal yang melanggar syarak. Dari sini, dapat pula
diturunkan konsep wisata halal, wisata religi, transportasi halal, dan sebagainya.

Aspek Investasi dan Permodalan Transportasi

Pengoperasian bisnis transportasi yang berkaitan dengan aspek perdagangan, perekonomian,


dan geopolitik serta dirancang melalui serangkaian analisis seasonality, fleet, route, cost,
safety, yield price, dan lain-lain itu, agar berjalan baik, mestilah ditopang oleh pengelolaan
modal dan investasi yang baik. Demikian pula pihak penumpang yang berhaji atau
melakukan perjalanan juga memerlukan tabungan untuk ongkos perjalanannya. Di sinilah
kaitan dengan kata kunci bahīmah al-anʿām itu menjadi penting. Untuk memperpendek
pembahasan, langsunglah dapat kita posisikan binatang ternak itu sebagai tabungan atau
sumber penghasilan yang hidup, tumbuh, dan berkembang, sehingga ia selayaknya dipandang
sebagai suatu investasi.

Bagi pihak penumpang (yang berhaji), hal itu dapat dimaknai sebagai upaya mengumpulkan
dana dari sumber penghasilannya, baik itu gaji, laba perniagaan, penjualan hasil bumi, dan
sebagainya, yang secara periodik ditabungnya untuk mengongkosi perjalanan haji dalam
jangka waktu tertentu. Sementara bagi pelaku bisnis transportasi, “binatang ternak” itu
merupakan modal dan investasi yang ia tanamkan dalam bisnis transportasinya, meliputi
pengadaan armada pesawat, kapal, atau mobil; peningkatan kualitas awak armada; perbaikan
sistem pelayanan; hingga ekspansi bisnis. Hal itu sebagaimana pula pada ayat lain yang
menyebutkan bahwa sebagian hewan ternak itu dimaksudkan untuk tunggangan manusia,
yaitu bahwa armada transportasi itu sendiri mestilah dimaksudkan sebagai suatu investasi.

Aspek Sosial dari Transportasi

Hal yang lebih penting adalah, keberadaan semua itu mesti diperhitungkan dan dieksekusi
secara matang, serta mesti disadari bahwa seluruhnya merupakan karunia Allah, baik berupa
kesanggupan mengadakan perjalanan bagi pihak penumpang, maupun perkembangan modal
usaha bagi penyedia layanan transportasi. Dengan demikian, kesadaran akan adanya modal
dan investasi dalam usaha transportasi semacam itu, mesti mendatangkan suatu girah untuk
memberikan manfaat sosial pada pihak-pihak yang membutuhkan, terutama yang berada di
sekitar jaringan bisnis transportasi itu, seperti kaum fakir-miskin, yatim, lembaga pendidikan,
lembaga kesehatan masyarakat, dan lain-lain. Hal itu merupakan tanggung jawab setelah ia
mendapatkan keuntungan yang wajar (fa-kulū minhā wa aṭʿimū al-bā’is al-faqīr), yang
akhirnya berkaitan dengan kata kunci lainnya.

Aspek Moral & Spiritual dari Perjalanan dan Transportasi

Sekarang, setelah semua aspek material dan sosial tersebut kita tinjau, perlulah jua kita
menelaah kata-kata kunci berikutnya yang lebih sepenuhnya berhubungan dengan bagian
moral-spiritual dari ibadah haji itu, dan mungkin juga semua perjalanan secara umum. Ketiga
kata kunci terakhir itu ialah il-yaqḍū tafatsahum, il-yūfū nudzūrahum, dan al-bayt al-ʿatīq
pada ayat 29. Untuk ini pulalah kita akan meninjau suatu bentuk gambaran realitas moral-
spiritual daripada orang-orang yang melakukan perjalanan itu, salah satunya lewat yang coba
diungkapkan oleh sebuah film tentang perjalanan haji, Le Grand Voyage.

Agar kita tidak lagi berpanjang-panjang, penulis hendak mengutip saja maksud dari ketiga
kata kunci itu menurut makna yang digali oleh Hamka. Frasa “hendaklah mereka
menghilangkan kotoran mereka” menurut Hamka ialah proses untuk membersihkan kotoran
yang melekat di badan sesudah ihram haji selesai dengan tahalul. Hal itu menurutnya karena
mungkin selama berihram, banyak kotoran dari padang pasir yang melekat di badan, juga
karena keringat dan terik matahari. Proses pembersihan diri itu selaras dengan tahalul atau
pencukuran rambut itu. Sementara itu, pemenuhan nazar dilakukan pula pada atau setelah
proses haji itu dengan menunaikan nazar-nazar pribadi atau kewajiban membayar dam
(hadyu), yang seluruh rangkaiannya disempurnakan pula oleh tuntunan tawaf di sekeliling
rumah tua.11 Jadi menurut Hamka, ketiga frasa itu lebih berhubungan dengan prosesi syariat
haji itu sendiri.

Meski begitu, dapat pula kita memandang ketiga frasa itu lebih kepada ranah batin, karena
memang haji juga memiliki aspek rohani yang mendalam, yakni mengingatkan manusia
untuk menempuh perjalanan kembali ke “rumah tua” sebagai Baitullah (rumah Allah) yang
melambangkan sentral dari semua perputaran hidup. Untuk menuju kembali kepada Dzāt
Yang Maha Suci itulah setiap yang berhaji perlu menyucikan jiwanya dalam perjalanan itu,
sehingga pembersihan kotoran itu dapat diartikan sebagai penyucian nafs manusia, sementara
nazar yang belum ditunaikan juga dianggap sebagai beban dunia yang masih memberatkan
langkah perjalanan, sehingga semestinya ditunaikan menjelang pelaksanaan haji itu.
Demikian pula, nazar itu juga dapat diartikan sebagai tekad untuk menyempurnakan
perjalanan haji itu sampai akhir.

Pandangan yang demikian itu dikarenakan pembersihan diri dan pembulatan tekad untuk
menunaikan perjalanan haji sampai akhir adalah hal yang esensial dalam menjaga perjalanan
haji seseorang tetap sah dan diterima sesuai syarak serta bernilai ibadah. Hal itu terkait
dengan adanya sejumlah larangan dalam berhaji yang mesti dijauhi saat mengenakan ihram,
seperti larangan berkata kotor, larangan berburu, dan berbagai larangan lain yang sulit untuk
dijauhi kecuali jika jamaah haji itu membersihkan dan menjaga hatinya, serta membulatkan
tekad untuk menyempurnakan manasiknya sampai akhir. Di sinilah pengalaman moral dan
spiritual memberi kesan paling penting dalam diri jamaah haji.

Kesan moral dan spiritual dalam perjalanan seperti itu, dapat pula ditarik secara umum pada
segenap perjalanan yang lain, termasuk yang tidak dikategorikan perjalanan untuk ibadah
maḥḍah. Dalam konsep Islam, suatu perjalanan dapat bernilai ibadah jika perjalanan itu
memiliki tujuan baik dan selama perjalanannya, pihak yang bepergian itu tidak melaksanakan
hal-hal yang dilarang syariat. Di sinilah dapat bekerja suatu prinsip, bahwa dalam suatu
perjalanan yang bertendensi memiliki suatu durasi, selalu ada kesempatan untuk menengok

11
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar Jilid 6, ... hal. 4692
realitas kehidupan dan menimbulkan tafakur pada diri mereka yang bepergian, sementara
dalam tafakur itu, terdapatlah suatu nilai kebaikan.

Tentang Film Le Grand Voyage

Dengan demikian, dapat digeneralisasi bahwa setiap perjalanan manusia, termasuk perjalanan
haji, dapat dimaknai sebagai suatu pengalaman intrinsik dalam menemukan jati-diri, suatu
kesempatan untuk berkontemplasi dan merefleksikan realitas dengan pemahaman atas diri
sendiri, suatu jeda untuk menggali narasi identitas pribadi yang pada akhirnya akan
berkontribusi pada memori kolektif. Pada titik inilah, pengalaman perjalanan itu memiliki arti
penting tersendiri dalam konsep Islam, sehingga kita mendapati banyak ayat Quran yang
memerintahkan manusia untuk mengadakan perjalanan dan bertafakur. Konsep seperti ini
pula yang coba digambarkan oleh film Le Grand Voyage (2004) itu12, yang bersesuaian pula
dengan latar ceritanya, yaitu perjalanan haji dari Marseille ke Mekkah dengan mobil lewat
Italia, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Suriah, dan Jordan.13

Dalam film besutan Ismael Ferroukhi itu, dikisahkan sorang pemuda bernama Reda yang
diminta oleh ayahnya, seorang pria tua Perancis imigran asal Maroko, untuk mengantarnya
pergi haji menggunakan mobil. Di sinilah kita melihat gap antara Reda, yang mewakili Beur
atau generasi anak imigran yang lahir dan/atau besar di Perancis, yang mengalami banyak
pertentangan identitas dalam dirinya antara akar agama Islam dan budaya Magrib
menghadapi kehidupan yang sekuler di Perancis, dengan ayahnya yang masih memegang erat
agama dan identitas kulturalnya itu. Tajuk utama dari film itu memang dapat dibaca sebagai
suatu penghadapan antara yang sekuler dan yang religius dalam menempuh suatu realitas
perjalanan haji yang sama.14

Jarak yang dingin antara anak yang sekuler dan ayah yang religius itulah yang digarisbawahi
oleh film itu, dan kemudian digambarkan mengalami pencairan melalui suatu proses
penyadaran yang unik dalam natur perjalanan haji itu, akan identitas seseorang sebagai
Muslim dan orang Magrib. Reda yang awalnya enggan mengantar ayahnya diperlihatkan
mulai menginternalisasi jati diri yang selama ini diabaikannya itu, seiring perjalanan mereka

12
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca: Reconciling the Secular and the Religious in Le grand voyage (The
Big Trip) (2004)”, Journal of Religion & Film, (Vol.20, Iss. 2, Article 41, 2016), hal. 1
13
Thibaut Schilt,“Itinerant Men, Evanescent Women: Ismael Ferroukhi’s Le Grand Voyage”, The French Review,
(Vol. 83, No. 4, March 2010), hal. 786
14
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca ..., hal. 10
menuju Mekkah melewati konflik demi konflik antara ayah dengan anak, yang bahkan
hampir membuat keduanya berpisah jalan secara permanen.15

Ayah-anak itu awalnya bahkan digambarkan selalu berbicara dalam bahasa yang berbeda
selama perjalanan, Reda berbahasa Perancis, sementara ayahnya berbicara dalam bahasa
Arab dialek Magrib. Meskipun keduanya saling memahami, tapi hal itu menggambarkan
betapa asingnya hubungan keduanya. Mereka digambarkan sering berbeda pendapat yang
menunjukkan perbedaan sikap mereka atas perjalanan itu. Reda digambarkan
menganggapnya sekadar tugas yang merepotkan dari ayahnya, dan mencoba menghibur diri
dengan memosisikan dirinya seolah sedang berwisata. Sebaliknya, ayahnya berulang kali
menekankan bahwa mereka bukan turis, mengesankan komitmen kuatnya atas perjalanan haji
itu. Konflik ayah-anak sepanjang perjalanan haji itu pada akhirnya juga menjadi semacam
pintu bagi Reda, yang sekuler dan minim pengetahuan akan Islam dan kultur Magrib, untuk
mulai membuka diri memelajari hal-hal mendasar dalam agama dan budaya yang selama ini
diabaikannya itu.

Seiring perjalanan, Reda mulai menerima sosok ayahnya sekaligus ajaran agama dan kultur
yang ia khidmati. Ia bahkan mulai menanyakan alasan Mekkah menjadi sedemikian
pentingnya sehingga ayahnya sampai harus repot-repot pergi naik mobil ke sana. Sebaliknya,
ayahnya mulai menerima Reda yang sekuler dan mengakui bahwa jarak yang terjadi antara
mereka juga karena kesalahannya yang kurang memberikan bimbingan pada Reda saat kecil.
Gap generasi dan identitas itu pada akhirnya melebur seiring keduanya memaknai perjalanan
haji itu sebagai pengalaman pembelajaran.16 Puncak konfliknya tercapai ketika ayahnya
akhirnya wafat saat berada di Mekkah sebelum ritual hajinya selesai dan Reda kembali ke
Perancis sebagai orang yang berbeda dari sebelum berangkat setelah mengurus pemakaman
ayahnya.17

Di situlah nilai perjalanan haji itu diperlihatkan oleh film tersebut sebagai suatu pendorong
kontemplasi bagi narasi identitas diri seseorang, yang lalu berkembang menjadi memori
kolektif, dan terus berpengaruh pada rekognisi diri yang dilalui melalui tahap yang sering kali
menyakitkan. Perjalanan itu digambarkan dalam film tersebut telah membawa Reda
menyadari perbedaan yang ada antara dunia, peradaban, kebudayaan, dan bahasa yang
berbeda. Dunia-dunia yang berbeda itu, betapa pun terpisahnya, masing-masing telah

15
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca ..., hal. 15
16
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca ..., hal. 16
17
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca ..., hal. 2
memberikan pengaruh dalam pendefinisian ulang pandangan hidupnya (worldview).
Perjalanan semacam itu ditunjukkan sebagai semacam jembatan yang menghubungkan
bentang yang ada antara apa yang diyakininya tentang dirinya sendiri dan apa yang
perjalanan itu perlihatkan sebagai kompleksitas realitas dirinya.18

Di situlah letaknya tiga kata kunci terakhir itu berperan. Pembersihan diri (il-yaqḍū
tafatsahum) – yang dalam film itu digambarkan sebagai kemauan untuk melihat lebih jernih
ke dalam diri sendiri menembus segala pengaruh sekularisme tempat Reda tumbuh – dan
pembulatan tekan untuk menyelesaikan nazar dalam menunaikan perjalanan haji itu (il-yūfū
nudzūrahum) – sebagaimana diperlihatkan oleh komitmen kuat ayah Reda berhaji sampai
harus wafat di Tanah Suci – pada akhirnya akan membawa sang kafilah mencapai rumah tua
(bayt al-ʿatīq) sebagai suatu ikatan yang kuat di mana segala akar diri kita berasal dan
berpusat di sekelilingnya, layaknya orang yang sedang tawaf.

Singkat kata, perjalanan apa pun, termasuk haji, sejatinya merupakan semacam pengalaman
pembelajaran, di mana setiap orang yang bepergian dihadapkan pada berbagai realitas
sebagai suatu pelajaran (ibrah) bagi mereka, sebagaimana banyak diindikasikan dalam
Quran. Sementara itu, tiga ayat yang telah kita analisis demikian padatnya merangkum segala
aspek yang kaya dan berlainan dari transportasi dan perjalanan itu, khususnya perjalanan haji,
mulai dari aspek spiritual, moral, sosio-kultural, material, hingga aspek sistemis-manajerial
dari pengelolaan sistem transportasi dan berbagai saranan penunjang perjalanan manusia dan
barang. Semua itu menutup diskusi tulisan ini, dan semoga dapat mengawali penggalian yang
lebih luas terhadap khazanah keilmuan transportasi dalam sumber-sumber Islam. Dan hanya
Allah Yang Maha Mengetahui.

Daftar Pustaka

Amrullah, Haji Abdul Malik Abdul Karim . 1982. Tafsir Al-Azhar Jilid 6. Singapura: Pustaka
Nasional PTE LTD.

Laayouni, Yahya. 2016. “From Marseille to Mecca: Reconciling the Secular and the
Religious in Le grand voyage (The Big Trip) (2004)”, Journal of Religion & Film, Vol.20,
Iss. 2, Article 41.

Lane, Edward William. 1863. Arabic-English Lexicon. London: Williams and Norgate.
18
Yahya Laayouni, “From Marseille to Mecca ..., hal. 14
Schilt, Thibaut. 2010. “Itinerant Men, Evanescent Women: Ismael Ferroukhi’s Le Grand
Voyage”, The French Review: Vol.83, No. 4.

Anda mungkin juga menyukai