Bab Ii Tinjauan Pustaka
Bab Ii Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
Penyakit arteri koroner atau Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyempitan atau
penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah
melambat, jantung tak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya
mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri koroner
tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan pada otot jantung
CAD juga merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah
yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke
adalah suatu perasaan takut (fear) dan rasa khawatir, dimana rasa takut merupakan suatu
respons emosi normal terhadap ancaman yang nyata sedangkan rasa khawatir adalah antisipasi
terhadap ancaman yang akan datang yang tidak jelas. Rasa takut dikaitkan dengan keterjagaan
otonom yaitu penting untuk fight/flight, pikiran tentang bahaya yang mengancam dan perilaku
melarikan diri (menyelamatkan diri), sedangkan rasa khawatir dikaitkan dengan ketegangan
otot, kewaspadaan terhadap bahaya yang akan datang dan perilaku menghindar (Kaplan dkk,
Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor menurut DSM V adalah terdapat 5 (atau
lebih) gejala dalam waktu 2 minggu di antaranya mood depresi, menurunnya minat atau rasa
7
senang terhadap semua hal, berat badan meningkat atau menurun, insomnia atau hipersomnia,
agitasi atau retardasi psikomotor, letih atau tidak ada tenaga, perasaan tidak berharga,
menurunnya kemampuan berpikir dan kosentrasi, dan berulangnya pikiran tentang kematian
2.2 Etiologi
pengerasan pada dinding arteri. Aterosklerosis ditandai dengan adanya penimbunan lemak,
kolesterol, di lapisan intima arteri. Timbunan ini dinamakan ateroma atau plak. Walaupun
pengetahuan tentang kejadian etiologi tidak lengkap, namun jelas bahwa tidak ada faktor
tunggal yang bertanggung jawab untuk perkembangan aterosklerosis. Ada beberapa faktor
resiko yang mengakibatkan terjadinya CAD (Hemingway & Marmot, 2015) yaitu:
Yaitu faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah, yang meliputi:
1. Usia
laki biasanya risiko meningkat setelah umur 45 tahun sedangkan pada wanita umur 55
tahun.
2. Jenis Kelamin
Aterosklerosis 3 kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Wanita agaknya
relatif lebih kebal terhadap penyakit ini karena dilindungi oleh hormon estrogen, namun
3. Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis dibanding orang kulit putih.
aterosklerosis prematur.
Yaitu faktor risiko yang dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan
1. Hiperlipidemia
Adalah peningkatan lipid serum, yang meliputi: Kolesterol > 200 mg/dl, Trigliserida >
2. Hipertensi
Adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik. Hipertensi terjadi jika
kompensasi untuk meningkatkan kontraksi. Ventrikel semakin lama tidak mampu lagi
mengkompensasi tekanan darah yang terlalu tinggi hingga akhirnya terjadi dilatasi dan
3. Merokok.
oksigen. Akibatnya suplai darah untuk jantung berkurang karena telah didominasi oleh
karbondioksida. Sedangkan nikotin yang ada dalam darah akan merangsang pelepasan
darah ke jantung berkurang. Merokok juga dapat meningkatkan adhesi trombosit yang
4. Diabetes Mellitus
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan agregasi trombosit. Hal ini akan memicu
terbentuknya trombus. Pasien Diabetes Mellitus juga berarti mengalami kelainan dalam
5. Obesitas
Obesitas adalah jika berat badan lebih dari 30% berat badan standar. Obesitas akan
6. Inaktifitas Fisik
Inaktifitas fisik akan meningkatkan risiko aterosklerosis. Dengan latihan fisik akan
Stres akan merangsang Hiperaktivitas HPA yang dapat mempercepat terjadinya CAD.
2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, depresi mengenai hampir tujuh belas juta penduduk tiap tahun.
Biaya pengobatan depresi baik langsung maupun tidak langsung, yaitu sekitar 43 milyar dolar
per tahun. Biaya tersebut bertambah besar, karena depresi sering berkomorbiditas dengan
penyakit fisik lain, salah satunya adalah CAD. Sekitar 20-45% penderita CAD menderita
Di Indonesia tahun 2013, prevalensi CAD 20,9%, dikatakan laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan (Riskesdas, 2013). Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 57,4% penderita pasca-infark miokard akut (IMA) dengan
kepribadian tipe A menderita depresi. Proporsi gangguan depresi tertinggi ditemukan pada
kasus IMA derajat berat dan sangat berat. Selain itu, juga terdapat hubungan positif antara
Sekitar 15-27% pasien dengan penyakit jantung (termasuk di dalamnya pasien dengan
CAD) menderita sindrom depresi mayor. Jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan
dengan populasi umum yang hanya sekitar 4%-5%. Sebagian besar pasien mengalami gejala
subsindromal, sehingga sering tidak dikenali oleh petugas kesehatan dan tidak mendapatkan
penanganan yang baik. Depresi dapat timbul sebagai reaksi sementara terhadap adanya
penyakit jantung, namun tidak jarang juga bersifat kronis dan rekuren. Suatu studi menemukan
bahwa diantara pasien yang menderita sindrom arteri koroner akut yang datang ke rumah sakit
dengan gejala depresi mayor, 94% telah mengalami depresi lebih dari satu bulan, 61% telah
mengalami depresi lebih dari enam bulan dan lebih dari separuh pernah mengalami episode
depresi mayor sebelumnya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa depresi merupakan salah
satu faktor risiko independen untuk berkembangnya suatu CAD (Linden dkk, 2013;
Pasien dengan sindrom depresi mayor memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami serangan infark miokard baik yang bersifat fatal maupun tidak fatal, serta
mengalami kematian mendadak dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita depresi.
Sebuah studi meta-analisis terhadap 28 studi longitudinal yang melibatkan hampir 80.000
pasien menyimpulkan bahwa mood depresi secara signifikan meningkatkan risiko timbulnya
beragam penyakit kardiovaskuler, dan pasien yang secara klinis telah terdiagnosis menderita
gangguan depresi mayor memiliki risiko yang paling besar untuk mengalami penyakit
Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, depresi juga merupakan salah satu faktor
risiko independen selain merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan Diabetes Mellitus. Depresi
meningkatkan risiko terjadinya CAD yang fatal sebanyak 4 kali lipat, pasca terjadinya suatu
episode angina tak stabil (Roest dkk, 2014; Roland dkk, 2012; Strike & Steptoe, 2014).
pasien dengan riwayat infark miokard, pasien setelah operasi Coronary Artery Bypass Graft
dengan CAD yang stabil (Kidd dkk, 2016; Pignay dkk, 2014). Studi ini menyimpulkan bahwa
pasien yang menunjukkan gejala depresi dua kali lebih rentan untuk mengalami kematian
dalam 2 tahun masa follow-up. Bahkan pada pasien yang telah menjalani operasi CABG,
adanya gejala depresi dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya graft atherosclerosis
dan berkurangnya diameter minimum lumen saphenous vein graft dalam 4-5 tahun masa
Prevalensi gangguan cemas pada populasi dengan penyakit jantung cukup tinggi, yakni
antara 28% sampai 44% pada kelompok usia yang lebih muda. Pada kelompok usia yang lebih
tua, prevalensi gangguan cemas diperkirakan antara 14% sampai 24%. Pasien dengan CAD
yang stabil memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
umum, dengan prevalensi antara 16% sampai 42%. Baik depresi maupun gangguan cemas yang
terjadi pasca sindrom arteri koroner akut sering tidak disadari dan tidak mendapatkan
penanganan dari petugas kesehatan di lini pertama unit pelayanan jantung. Hal ini dapat
menurunkan kualitas hidup penderita, mengingat buruknya dampak kedua kondisi tersebut
2.4. Patofisiologi
Hubungan antara stres, kecemasan, dan depresi pada penyakit arteri koroner dapat
pelepasan katekolamin dan HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar
adrenal. Pada stres psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel
NK. Hubungan antara stres akut, SNS dan leukosit (Gambar 2.1). Pada stres kronik, aktivitas
HPA aksis mungkin berkurang, merangsang lelah dan peningkatan aktivasi inflamasi yang
Acute Stress
Release of Granulocytes
(neutrophils, eosinophils, Increase and monocyte
basophils) circulation (T&B
lymphocytes)
Lebih jauh, stimulasi reseptor Beta adrenergik merangsang perubahan ekspresi molekul
sel adhesi (Gambar.2.2). Di bawah stres psikologi rendah, CD62L sel NK dengan L-selectin
(CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan reseptor molekul adhesi.
Di bawah stres psikologi tinggi, L-selectin dari sel NK tidak berperan menggerakkan dan CD62
sel NK akan ditahan di dalam tepi genangan pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh
darah. Malahan, CD62 sel NK tanpa L-selectin akan dimobilisasi. Konsentrasi dari molekul
adhesi seperti ICAM 1 dan CD11a akan meningkat jika stres psikologi tinggi. Peningkatan
penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya menghasilkan sitokin
proinflamasi, seperti Tumor Necrosis Factor alfa (TNF alfa), Interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang
menstimulasi makrofag dan sel endotel pembuluh darah dan memperkuat terjadinya proses
inflamasi. Pada akhirnya ini akan merangsang kondisi dini aterosklerosis dimana makrofag dan
Pembentukan thrombus lokal membangkitkan serotonin, tromboxan A2, dan thrombin, yang
dengan ruptur dari plak. Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) merangsang otot
polos dan sel endothelial mengelilingi plak arteri koroner, menghasilkan lebih banyak sitokin
proinflamasi dan lebih memicu ekspresi molekul adhesi. CRP diprediksi menyebabkan
gangguan ACS, tidak hanya tergantung beratnya aterosklerosis, dan dihubungkan secara
signifikan dengan gagal jantung kongesti (CHF) (Glassman & Shapiro, 2014; Sargawo, 2011).
Stress loneliness
hange
Symphatetic Heart rate, bloodpressure,
Cortisol
nervous system plasma catecholamine
B Adrenoceptors
Myocardial infarction
2.4.2. Stres merangsang CAD melalui perubahan pada monosit dan sitokin
(Gambar 2.3) Peran limfosit dan sitokin dalam perkembangan CAD di bawah stres akut.
Status sosioekonomi rendah mungkin meningkatkan risiko CAD melalui inflamasi sedang dan
aktivasi imun. Status sosioekonomi rendah dihubungkan dengan jumlah total sel Natural Killer
(NK) dan limfosit T dan B lebih tinggi di dalam sirkulasi. Selama stres psikologi akut,
persentase sirkulasi sel NK dan sel T sitotoksik CD8 meningkat, sedangkan sel NK dan sel T
CD4 sirkulasi yang mengekspresikan L-selectin berkurang. Stres psikologi akut mengurangi
respon proliferasi mitogen, utamanya fitohemaglutinin (Sargawo, 2011; Heather dkk, 2015).
Owen dan Steptoe mempelajari hubungan antara sel NK, dengan kepekaan stres sitokin
proinflamasi, dan denyut jantung manusia. Peningkatan jumlah sel NK mengikuti stres
dihubungkan secara positif dengan respon denyut jantung dan perbedaan individu dalam respon
stres jantung pengendali simpatis dihubungkan dengan NK dan respon sitokin proinflamasi ke
stres psikologi. Dibawah ini dijelaskan dengan gambar tentang hubungan antara sel NK,
mononuclear ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Peningkatan ekspresi gen
IL-1B dihubungkan secara positif dengan denyut jantung dan kepekaan tekanan darah sistol.
Sitokin juga mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Sitokin
ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos melalui rangsangan faktor
pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner. Ekspresi jangka pendek dari stres
mengaktivasi sitokin pada jantung mungkin menjadi sebuah respon adaptif terhadap stres,
sebaliknya ekspresi jangka pendek dari molekul ini mungkin sesungguhnya maladaptif dengan
menyebabkan kelainan kardiovaskuler pada orang tua. Sebagai contoh, IL-6 dihubungkan
secara signifikan dengan CAD, stroke dan gagal jantung kongesti Congestive Heart Failure
(CHF) adalah sebuah penyebab kuat yang independen meningkatkan kematian pada CAD yang
tidak stabil. Selain itu TNF alfa juga menunjukkan sebuah hubungan signifikan dengan CAD.
Sitokin seperti IL-6 dan TNF alfa mungkin menjadi predictor yang kuat untuk terjadinya
insiden kardiovaskuler daripada protein fase akut seperti CRP ( Sargawo, 2011; Sullivan
dkk,2013 ).
(Gambar 2.4) Stres psikologi akut meningkatkan faktor hemostasis seperti faktor Von
Willebrand. Keadaan sosial buruk dan faktor psikososial, akan meningkatkan konsentrasi
protein fase akut seperti plasma fibrinogen dan ini meningkatkan risiko CAD. Orang yang
menyendiri dan tidak punya keluarga menunjukkan terjadinya respon fibrinogen yang
meningkat karena stres. Stresor psikososial kronik meningkatkan faktor hemostatik keduanya
(faktor VII) dan protein fase akut (fibrinogen). Fibrinogen meningkatkan aterosklerosis dengan
(Endothelial-derived growth factor), merangsang proliferasi sel otot polos, peningkatan plasma
dan viskositas darah. Stres akut dan kronis mungkin mengaktivasi kaskade koagulasi dan
merangsang pembentukan thrombus dan Miocard Infark (MI). Ada bukti kuat dari studi
epidemiologi dan meta-analisis yang tingkatannya lebih tinggi dari protein fase akut seperti
CRP dan fibrinogen kemungkinan sebagai penyebab kematian pada penyakit kardiovaskuler,
selain itu juga dihubungkan dengan status sosioekonomi rendah. Stres psikologi dihubungkan
Prothrombin
Acute stress
willebrand factor
Acute Thrombin
stress
Chronic
Fibrinogen
stress
Job strain
low
fibrin
Atherosclerosis
Gambar 2.4. Hubungan antara stres akut dengan koagulasi (Sargawo, 2011)
vasokonstriksi, peningkatan denyut jantung dan aktivitas platelet yang dapat merusak sistem
kardiovaskuler. Pada pasien depresi terjadi peningkatan HPA yang ditandai dengan tingginya
kadar corticotropin-releasing factor (CRF) dalam cairan cerebrospinal. Selain itu, respons
adrenocorticotropin hormone (ACTH) terhadap CRF berkurang. Terdapat pula
hiperkortisolemia, pelebaran kelenjar adrenal, dan hipofisis. Hal ini juga bisa terjadi pada
pasien CAD yang mengalami depresi sehingga memperburuk prognosis CAD (Heather dkk,
Gangguan irama jantung dikaitkan dengan buruknya prognosis CAD. Sebagian besar
kematian mendadak pada pasien CAD disebabkan aritmia ventrikel. Pasien CAD dengan
depresi lebih sering memperlihatkan episode takikardi ventrikel dibandingkan dengan mereka
yang tidak depresi. Sekitar 30% penderita depresi dikaitkan dengan penurunan sensitivitas
barorefleks. Pasien depresi mayor mengalami peningkatan aktivitas sistem SA dan disregulasi
aksis HPA, kombinasi kedua hal ini dapat meningkatkan aktivitas simpatis dan menurunkan
aktivitas parasimpatis. Kedua keadaan ini dapat pula meningkatkan risiko terjadinya aritmia
fatal pada pasien depresi pasca-infark jantung. Berdasarkan data ini disimpulkan bahwa depresi
memberikan dampak buruk terhadap prognosis CAD dengan mempengaruhi irama jantung
c. Inflamasi
Interleukin (IL)-1, IL-2, dan Tumor Necrosis Factor(TNF)-α. Kemudian makrofag dan sel T
menginvasi pembuluh darah dan makin mengaktivasi sitokin. Selain itu, terjadi pula
peningkatan pelepasan growth factor, akibatnya sel otot polos intima berproliferasi dan
terbentuk plak aterosklerosis. Degradasi matriks plak menyebabkan terjadinya trombus yang
dapat menyumbat pembuluh darah. Pasien depresi yang berkomorbiditas dengan CAD maupun
yang tidak, memperlihatkan peningkatan kadar plasma marker inflamatori. Depresi dikaitkan
dengan peningkatan IL-1. Stresor juga meningkatkan sekresi IL-6 melalui mekanisme HPA
aksis dan reseptor β-adrenergik. Sebaliknya, inflamasi dapat pula menyebabkan depresi. Ada
kemungkinan IL-1 dan sitokin lain dapat mempengaruhi onset dan progresivitas depresi, yaitu
melalui efek sistemik bukan melalui kerusakan endotel lokal. Pasien yang diobati dengan IL-1
cenderung mengalami depresi, seperti anoreksia dan menarik diri secara sosial, tetapi data yang
mendukung pendapat ini sangat sedikit. Tidak bisa ditentukan apakah inflamasi terjadi akibat
depresi atau berkontribusi dalam patogenesis depresi (Heather dkk, 2015; Sullivan dkk, 2013;
d. Hiperkoagulabilitas
platelet dan fibrinolisis yang berperan dalam patogenesis dan prognosis CAD. Apabila
dinding pembuluh darah menambah progresifnya CAD. Begitu pula, peningkatan faktor
koagulasi lain seperti faktor VII, VIII, dan fibrinogen menyebabkan sindrom koronaria, seperti
angina tak stabil, infark miokard, dan kematian jantung mendadak. Antikoagulansia dan
fibrinolitik berperan dalam pengobatan sindrom koroner akut atau kronik. Kadar fibrinogen
dikaitkan dengan depresi. Individu depresi memperlihatkan peningkatan fibrinogen dan faktor
VIIc. Hubungan antara faktor koagulansia dengan depresi dimediasi oleh aksis HPA dan
hiperaktivitas SA. Kedua faktor ini merangsang koagulasi darah. Hiperkortisol menyebabkan
peningkatan faktor VIII dan faktor Von Willebrand, serta penurunan aktivitas fibrinolitik.
Pasien depresi yang tidak mendapat pengobatan menunjukkan peningkatan aktivitas platelet
lebih tinggi 40% bila dibandingkan kontrol normal; derajat aktivitasnya sama dengan pasien
memperlihatkan penurunan agregasi platelet ketika berespon dengan serotonin. Oleh karena
itu, serotonin berperan pada aktivitas platelet pada pasien depresi. Sertraline dan metabolitnya
menghambat aktivitas platelet. Pasien CAD dengan depresi yang menggunakan sertraline
mendapat perbaikan berupa revaskularisasi. Aktivitas platelet lebih rendah pada pasien
pengguna sertraline. Paroxetine pada pasien depresi dengan CAD juga bermanfaat menurunkan
aktivitas platelet yang signifikan setelah enam minggu. Sebaliknya, dengan nortriptilin tidak
memberikan efek serupa (Heather dkk, 2015; Sullivan dkk, 2013; Shively dkk, 2012).
e. Efek perilaku
Selain efek fisiologis, depresi terkait dengan pencegahan sekunder yang buruk di antara
pasien iskemia akut. Pasien pasca-infark miokard yang depresi, dibandingkan dengan pasien
infark miokard yang tidak depresi, lebih sulit dikontrol diet rendah lemak, pengurangan
kolesterol, berolahraga, berhenti merokok, atau mengurangi stres kehidupan, sehingga hal
tersebut meningkatkan risiko kematian pada pasien jantung (Suls dkk, 2015)
Gejala depresi seperti lelah dan mudah perasa adalah penyebab rekuren CAD. Pasien
CAD yang depresi seperti malas adalah secara sederhana dihubungkan dengan penyemprotan
fraksi ventrikel kiri lebih rendah sehingga memperburuk prognosis CAD. Penelitian
aterosklerosis dan dihubungkan dengan risiko memperburuk kondisi CAD. Pada sebuah studi,
gejala depresi dikaitkan dengan pengaktifan kembali virus laten dan inflamasi pembuluh darah
koroner. Perbedaan antara grup tekanan dan grup kontrol dengan memperhatikan level serum
IgG Anti Chlamydia pneumonia secara dekat mencapai signifikan. Perlu studi lebih jauh untuk
menjelajah efek stres, kecemasan dan depresi yang lama menghasilkan aktivasi Chlamydia
pneumonia, yang mungkin memperburuk kondisi CAD (Frasure & Lesperance, 2014; Carney
dkk, 2015).
Perubahan imunologi ini akan memperburuk kondisi CAD dengan meningkatnya ekspresi
molekul adhesi sel endotel dan level serum dari protein fase akut dan faktor hemostasis. Hal
itu dinilai bahwa inflamasi pembuluh darah adalah pusat aterosklerosis dan bahwa limfosit T,
monosit dan sitokin inflamasi semuanya dilibatkan. Stres psikologi kronik mungkin juga
alkohol, memakan makanan tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik, sehingga hal ini bisa
memperburuk kondisi CAD (Frasure & Lesperance, 2014; Carney dkk, 2015).
kekebalan melalui penanggulangan stres dan mengurangi risiko stres psikososial pada pasien
CAD. Kesehatan psikologi dapat membantu mengenali hubungan ini, karena sangat penting
membantu orang mengatasi stres melalui intervensi seperti terapi kognitif, latihan relaksasi dan
modifikasi tingkah laku. Penelitian pada stres dan penanggulangannya mengindikasikan ada
dukungan sosial) yang berguna dalam respon untuk meningkatkan fungsi psikososial,
kesehatan fisik dan kualitas hidup (Frasure & Lesperance, 2014; Carney dkk, 2015).
Garis dasar pada level CRP memperkirakan insiden terjadinya kardiovaskuler. Tes CRP
mungkin memegang peran utama dalam penilaian global risiko kardiovaskuler. Monitoring
CRP yang tinggi mungkin juga dapat dipakai sebagai metode baru untuk mengukur respon
terapi antidepresan. Pengukuran level serum IL-1 dan IL-6 mungkin bisa dipakai untuk
mengenali pasien stres atau cemas dimana hal ini dapat dipakai sebagai strategi untuk
fungsi imun dan CAD. Beberapa pertanyaan sisa tidak terjawab: (i) seluas apakah stressor akut
berakibat mendirikan simulasi laboratorium peristiwa stres kehidupan nyata yang lebih kronis
dan apakah reaktivitas kekebalan laboratorium adalah sebuah penanda penting untuk penyakit
yang didatangkan stres? (ii) Kelelahan yang terjadi sebelum peristiwa koroner akut mungkin
merupakan bentuk lain dari reaksi inflamasi (Glassman & Shapiro, 2014)
perasaan kelelahan atau jika ada perasaan kelelahan akan memperkuat terjadinya inflamasi.
(iii) studi prospektif dari pasien stres diperlukan untuk mengukur luas kesatuan penanda
inflamasi karena hal ini penting untuk memperkirakan prognosis CAD. Efek peningkatan terapi
inflamasi ini, seharusnya dievaluasi lebih jauh pada hasil percobaan. Sehingga dapat
dikembangkan jika menurunnya marker inflamasi ini akan memperburuk kondisi CAD
Onset Diagnosis suatu penyakit akan mempengaruhi pasien secara psikologis. Hal ini
juga terjadi pada pasien yang telah didiagnosis secara pasti menderita CAD. Pasien
membutuhkan adaptasi dalam kesiapan menerima penyakit CAD yang diderita (Tami dkk,
2012). Kesiapan pasien berkaitan erat dengan terjadinya gangguan stres, kecemasan dan
depresi. Beratnya stresor ditentukan oleh banyak faktor: lamanya stresor, derajat stresor,
banyaknya stresor, lingkungan, stresor bisa reversibel serta kepribadian seseorang (Kandou,
2010). Salah satu yang mempengaruhi beratnya stresor adalah lama stresor yang berkaitan
dengan saat pertama kali ditegakkan diagnosis pasien. Najaf dkk, dalam penelitiannya
menemukan onset diagnosis CAD akan mempengaruhi stres, kecemasan dan depresi pada
pasien. Onset diagnosis CAD lebih dari 6 bulan ditemukan lebih banyak mengalami kecemasan
penyesuaian tidak melebihi 6 bulan. Jika gejala ganguan psikologis pada seseorang yang
mengalami stressor masih berlanjut melebihi waktu 6 bulan bisa ditegakkan diagnosis
penyakitnya sesuai dengan gejalanya yang masih muncul. Jika gejala cemas yang masih ada
bisa ditegakkan diagnosis gangguan cemas, jika gejala depresi yang masih ada bisa ditegakkan
diagnosis depresi.
2.5. Penatalaksanaan
Kecemasan, stres dan depresi berdampak buruk terhadap CAD. Mortalitas meningkat
pada pasien cemas dan depresi yang mengalami CAD. Oleh karena itu, kecemasan dan depresi
pada CAD harus segera dikenali dan diobati. Obat antidepresan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) efektif mengobati cemas dan depresi pada CAD, tapi antidepresan trisiklik
(TCA) tidak dianjurkan. Selain itu, psikoterapi sangat diperlukan untuk memberikan
Obat TCA meningkatkan denyut jantung sekitar 11%, menginduksi hipotensi ortostatik
(sehingga pasien bisa jatuh dan patah tulang), dan memperlambat hantaran jantung.
Pemanjangan interval QT, PR, dan QRS yang berpotensi memblok jantung baik primer,
sekunder, maupun tersier dapat terjadi. Peningkatan denyut jantung dan pemanjangan QT
meningkatkan risiko kematian mendadak pada pasien depresi dengan atau tanpa CAD karena
fibrilasi ventrikel. Ambang fibrilasi ventrikel turun dengan peningkatan input simpatis dan
ventrikel. Obat TCA mempunyai efek antiaritmia yang signifikan karena profil
Mortalitas akibat overdosis TCA dikaitkan dengan efek antiaritmia. Penggunaan TCA bersama
diuretik, vasodilator, dan benzodiazepine dapat sangat berlebihan menurunkan tekanan darah.
memperlambat hantaran jantung. Karenanya, penggunaan TCA untuk pengobatan cemas dan
Obat golongan SSRI efektif mengobati kecemasan dan depresi yang berkomorbiditas
dengan CAD, karena obat ini jarang sekali menyebabkan efek samping kardiovaskuler. Karena
SSRI juga merupakan antiplatelet yang signifikan, mortalitas dapat berkurang. Pasien depresi
mengalami disregulasi sistem SA dilihat dengan tingginya kadar plasma epinefrin. Peningkatan
trombus juga meningkat. Pasien cemas dan depresi pada CAD menunjukkan peningkatan
agregasi platelet dibandingkan kontrol tidak mengalami cemas dan depresi. Obat SSRI
platelet pada pasien cemas dan depresi dengan CAD. Efek antiplatelet dapat mengurangi risiko
iskemia. Obat SSRI tidak memperlambat hantaran jantung dan tidak menyebabkan hipotensi
ortostatik. Denyut jantung mungkin sedikit turun (1-3 kali per menit), tetapi klinis tidak
bermakna. Kematian akibat TCA sering terjadi, sedangkan akibat SSRI sangat jarang atau
hampir tidak ada. Beberapa penelitian secara konsisten melaporkan TCA menurunkan denyut
jantung dan meningkatkan interval QT, sebaliknya SSRI tidak. Karena efektivitasnya yang
tinggi dan efek sampingnya yang ringan serta efek terhadap jantung relatif ringan, penelitian
SSRI untuk pasien cemas dan depresi dengan penyakit jantung cukup banyak dilakukan.
Sertraline dan citalopram merupakan terapi antidepresan lini pertama untuk pasien cemas dan
depresi dengan CAD. Pasien cemas dan depresi rekuren yang sebelumnya memiliki respons
dengan antidepresan lain dapat melanjutkan konsumsi obat tersebut, kecuali jika kini
farmakoterapi hendak dimulai, pasien perlu diobservasi selama dua bulan pertama dan
dilakukan monitor risiko bunuh dirinya secara teratur, memastikan kepatuhan pengobatan, dan
Obat jantung dapat menimbulkan depresi atau efek psikiatrik lain. Penggunaan obat di
bawah ini berpotensi menimbulkan efek psikiatrik, antara lain (Musselman dkk, 2015):
2. Beta bloker, efek yang sering yaitu depresi. Mimpi menakutkan atau manifestasi
psikotik merupakan efek samping yang jarang. Obat beta bloker terbaru seperti atenolol
5. Klonidin, efek samping obat ini sama dengan obat di atas tetapi lebih ringan.
10. Statin dulu diduga menyebabkan kecemasan, depresi atau bahkan bunuh diri. Akan
tetapi, penggunaan jangka panjang statin justru menunjukkan psikologi yang sehat,
walaupun mungkin disebabkan perubahan gaya hidup atau efek dari rendahnya
kolesterol.
2.5.4. Psikoterapi
Untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi angka kekambuhan, psikoterapi
sangat berperan. Salah satu psikoterapi adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi
ini jangka pendek, terstruktur, biasanya berorientasi terhadap problem saat ini dan bersifat
individu. Kerjasama antara pasien dan terapis sangat diperlukan. Tujuan CBT adalah untuk
mengubah cara berpikir, menghilangkan sindrom kecemasan dan depresi, dan mencegah
kekambuhan. Hal ini dapat dicapai dengan cara membantu pasien mengidentifikasi kondisi
negatif, mencarikan alternatif, membuat skema menjadi lebih fleksibel, mencari perilaku baru
yang lebih adaptif. Kognisi negatif dapat meliputi ide yang salah tentang diri sendiri, dunia,
dan masa depan. Terapis harus dapat membawa pasien kepada fase penerimaan. Persepsi diri
sebagai orang yang mempunyai defek, tidak adekuat, dan tidak berharga harus dihilangkan.
Sikapnya yang melihat dunia sebagai tempat yang tidak lagi menyenangkan, hukuman, dan
kegagalan masa depan harus diubah. Dalam suatu penelitian, setidaknya diperlukan 12 dari 16
sesi CBT selama 12 minggu untuk mencapai remisi pada kecemasan dan depresi (Musselman
dkk, 2015).
CBT lebih diutamakan jika terdapat kondisi berikut: 1) kecemasan; 2) depresi ; 3) tidak
ditemukan ciri psikotik; 4) terdapat respons positif terhadap CBT pada terapi episode depresi
obat saja tidak efektif; 8) terdapat faktor psikososial yang rumit. Sebaliknya, terapi
kronik atau berulang; 3) terdapat ciri psikotik; 4) terdapat respons positif terhadap terapi
sebelumnya; 5) terdapat riwayat depresi herediter; 6) pasien tidak dapat mengikuti psikoterapi
hubungan keluarga dan perkawinan, fungsi sosial, dan pekerjaan. Selain itu, psikoterapi dapat
mengubah skema negatif pasien serta mampu memperbaiki gaya hidup. Melalui psikoterapi
suportif, motivasi untuk rehabilitasi dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, penatalaksanaan
Latihan aerobik dan rehabilitasi jantung dapat mengurangi gejala kecemasan, depresi
dan memperbaiki fungsi kardiovaskuler. Kecemasan dan depresi dapat menghalangi partisipasi
dalam rehabilitasi jantung dan program latihan, pasien cemas dan depresi dibantu mengatasi
rintangan ini dengan menawarkan dorongan dan kontak berkelanjutan. Bantuan pasangan atau
anggota keluarga dan teman diperlukan untuk memicu kepatuhan. Pemberian latihan harus
didasarkan pada status jantung dan toleransi latihan setiap individu. Uji latihan (30 menit terus
menerus berjalan/jogging untuk mencapai target denyut jantung, 3 kali per minggu selama 16
minggu) pada pasien cemas dan depresi menemukan bahwa latihan reguler sama efektifnya
seperti sertralin. Pada pemantauan enam bulan setelah akhir penelitian, ditemukan perbaikan
kecemasan dan depresi pasien di kelompok latihan yang bertahan lebih panjang daripada yang
menerima antidepresan. Selain itu, program rehabilitasi jantung dapat memberikan dukungan
sosial yang dapat sangat membantu pasien dengan stres psikologis (Musselman dkk, 2015).
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan sub divisi dari psikiatri yang
berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan
spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri
dengan disiplin ilmu lainnya yaitu: Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah untuk
yang mengalami keluhan CAD. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran
komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation
Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal
interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Musselman dkk, 2015).
Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) adalah alat untuk mengukur stres,
kecemasan dan depresi yang dikeluarkan oleh Psychology Foundation Australia. Kuesioner
yang digunakan adalah DASS 42 versi translasi ke bahasa Indonesia oleh Damanik E.
Instrumen ini terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,
psikologi dan perilaku. Pada kuesioner ini terdapat masing-masing 14 pertanyaan untuk
menilai adanya stres, kecemasan dan depresi. Nilai stres, kecemasan, dan depresi ditentukan
oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing kriteria. Komponen DASS
untuk stres ditunjukkan oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.
Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41.
Sedangkan depresi diukur oleh komponen 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42
(Lovibond & Lovibond, 1995; Crawford & Henry, 2003; Masdar dkk, 2016).
Masing-masing pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor ≤14, ≤7, dan ≤9 secara
berturut untuk masing-masing kategori stres, kecemasan maupun depresi dinyatakan sebagai
adanya stres, kecemasan dan depresi sebaliknya jika skor >9, >7, dan >14 dinyatakan
mengalami stres, kecemasan atau depresi tanpa membedakan derajatnya untuk mempercepat
sekaligus yaitu mengukur stres, kecemasan dan depresi. Instrumen ini telah melalui uji
reliabilitas dan validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91. (Lovibond &