Dosen Pengampu:
Dibuat Oleh:
KELOMPOK 22
Perdebatan mengenai agama tidak berhenti sampai situ saja, kerap kali
agama dikaitkan dengan urusan moralitas. Mereka yang beragama kerap kali
dianggap memiliki moral yang baik juga. Argumen ini tidak jarang menuai
pertanyaan di masyarakat seperti “Apakah dapat dipastikan mereka yang beragama
pasti bermoral baik, bagaimana dengan sebaliknya?”. Berangkat dari perbedaan
kepercayaan dan anggapan mengenai agama dan konsep-konsep lainnya yang
berhubungan dengan agama, tidak jarang menimbulkan bentrok antar satu sama
lainnya. Bahkan, terkadang aturan agama bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Hal ini bisa terlihat dari peletakan posisi hukum negara terhadap hukum
agama yang menjadi salah satu permasalahan bagi Indonesia di masa awal
kemerdekaan. Maka dari itu, untuk memperjelas konsep-konsep di atas, makalah
ini hadir untuk memberikan pemaparan mengenai agama, moralitas, dan hukum
dengan tambahan bagaimana studi Hubungan Internasional melihat ketiga konsep
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Agama
2.1.1 Pengertian Agama
Pada dasarnya agama adalah suatu sistem atau pandangan yang
mengatur sistem kepercayaan manusia terhadap tuhannya, agama juga
berhubungan dengan tata kaidah budaya dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan.1 Agama biasanya
memiliki simbol-simbol, mitologi, dan sejarah yang menjelaskan makna
kehidupan mulai dari asal-usul kehidupan tersebut. Secara etimologi kata
agama berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘tradisi’. Kata lain yang
berhubungan dengan agama adalah ‘religion’ yang berasal dari bahasa latin
religio dimana mengakar pada kata kerja re-ligare yang memiliki arti
‘mengikat kembali, yang dimana dalam religi berarti mengikatkan dirinya
kepada Tuhan. Menurut Max Muller kata ‘religion’ pertamanya digunakan
untuk arti ‘takut akan dewa-dewa atau Tuhan’, lalu kemudian Cicero
menurunkan arti nya menjadi ‘ketekunan’. Terdapat beberapa ahli yang
mengartikan atau mendefinisikan apa itu agama, beberapa ahli tersebut
yaitu:
1
Kenneth Shouler, The Everything World’s Religion Book, (United State: Adam Media
Corporations, 2010), hlm 1.
alam-alam makna yang objektif, dimana memiliki daya ikat moral dan
serba meliputi.
4. Persons & Bellah : ia mengatakan bahwa agama lah tingkat paling
tinggi dan paling umum dari budaya manusia.
5. H. Moenawar Chill: mendefinisikan bahwa agama adalah adanya
keterlibatan tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan
supranatural sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
6. Dr. M. Drikarya: mengatakan bahwa agama merupakan adanya suatu
kekuatan supranatural yang menciptakan dan mengatur alam dan
seisinya.
7. Hendro Puspito: agama merupakan suatu sistem nilai yang mengatur
hubungan alam semesta dan manusia yang memiliki kaitan dengan
keyakinan.
8. Jappy Pellokid: ia mendefinisikan bahwa agama adalah kepercayaan
akan adanya tuhan yang maha esa beserta hukum hukumnya.
9. Tadjab: dalam bukunya Perbandingan Pendidikan (1994), ia
mengatakan bahwa agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan hidup yang teratur dan mendatangkan keselamatan dan
kesejahteraan hidup manusia. 2
10. A.M. Saefuddin: ia menyatakan bahwa agama merupakan kebutuhan
manusia yang paling mendasar yang bersifat universal. Oleh sebab itu,
agama merupakan kesadaran spiritual yang didalamnya terdapat
kenyataan diluar kenyataan yang namfak ini, yaitu manusia selalu
mengharap bimbingannya, belas kasihannya, dan belaiannya, yang tidak
bisa diingkari walaupun oleh manusia yang mengingkari agama itu
sekalipun.
11. Sutan Takdir. A.: dalam bukunya (1992) ia mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem kelakukan dan perhubungan manusia dengan
2
Tajdab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994). hlm 37.
rahasia kekuasaan dan kegaiban yang sangat luas, yang mana memberi
arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.
12. Sidi Gazalba: dan yang terakhir ada Sidi Gazalba dimana dalam
bukunya Asas Agama Islam (1975) menyebutkan bahwa agama adalah
kecenderungan rohani manusia yang berhubungan dengan alam
semesta.
1. Supernatural Theory: dalam teori ini dikatakan bahwa ‘ilahi’ benar ada
dan agama adalah berasal dari tindakan mereka terhadap jiwa manusia.
3
William Bainbridge, The Warcraft Civilization: Social Science in a Virtual World, (The MIT
Press,2012), hlm. 56.
2. Societal Theory: teori ini bisa disebut teori kemasyarakatan agama,
dimana dalam teori ini berarti cerminan masyarakat yang berfungsi
untuk menopang kelembagaan, persatuan komunitas dan nilai-nilai
bersama.
3. Exchange Theory: dalam teori ini manusia berinteraksi satu sama lain
untuk mendapat imbalan dan menghindari ‘tagihan’, dalam hal ini juga
didasarka pada saling percaya yang dibangun secara sosial. Di teori ini
juga akan membuat mereka mendorong satu sama lain untuk percaya
bahwa adanya pertukaran ‘ilahi’.
4. Cognotive Theory: teori ini menyebut bahwa otak manusia berevolusi
untuk memfasilitasi interaksi sosial menghadapi ‘predator’ atau
‘mangsa’, dimana pasti secara alami mengasumsikan bahwa fenomena
kompleks dihasilkan dari tindakan makhluk yang sadar, sehingga secara
bersamaan mendukung kepercayaan pada dewa-dewa.
2.2 Moralitas
1) Cara (usage)
2) Kebiasaan (folkways)
3) Tata Kelakuan (mores)
4) Adat Istiadat (custom)
4
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 172
5
Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Jakarta: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 197
abstrak. Adapun definisi moral/moralitas dari berbagai ahli, diantaranya
yaitu:
6
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 75-85
b. Tahap 2 disebut sebagai masa Instrumental Relativist
Orientation atau Hedonistic Orientation dimana perbuatan
individu akan dianggap benar ketika perbuatannya
menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain, sehingga
hubungan antar individu bersifat timbal balik.
3. Tingkat Konvensional, pada tingkat ini individu akan menghiraukan
akibat dari suatu tindakan, tetapi perhatian berfokus kepada tujuan atau
maksud dari sebuah perbuatan. Pada tingkat ini terdaopat dua tahapan
atau masa pada, yaitu:
a. Tahap 3 disebut dengan masa Interpersonal Concordance atau
Good Boy/Good Girl Orientation. Pada masa ini individu akan
menganggap bahwa perbuatan bermoral adalah perbuatan yang
diakui dan diterima oleh orang lain sehingga individu akan
sangat berusaha untuk dapat dianggap bermoral.
b. Tahap 4 disebut dengan masa Law and Order Orientation ini
mengarah kepada otoritas, pemenuhan aturan atau norma, dan
upaya untuk memelihara tertib sosial.
4. Tingkat Pascakonvensional, pada tingkat ini, individu akan berusaha
untuk menentukan norma dan prinsip moral tanpa mengaitkan dengan
otoritas kelompok maupun individu. Sehingga, hidup seorang individu
sudah sepenuhnay bertanggungjawab kepada diri sendiri. Pada tingkat
ini mencakup dua masa perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap 5 disebut dengan masa Social Contract dan merupakan
masa dengan kematan moral yang cukup tinggi. Pada masa ini,
individu dapat melihat benar dan salah suatu hal yang berkaitan
dengan norma berlaku dan pendapat pribadi individu.
b. Tahap 6 disebut dengan masa tertinggi atau masa Orientation of
Universal Ethical Principles, moral lebih dibatasi oleh
kesadaran individu dengan dilandasi prinsip-prinsip etis.
2.2.7 Moralitas dalam Hubungan Internasional
Salah satu teori klasik yang mendominasi dalam Hubungan
Internasional adalah teori realisme. Asumsi dasar dari realisme adalah
pandangan pesimis terhadap sifat manusia dan meyakini bahwa hubungan
internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional
pada akhirnya diselesaikan melalui perang7. Realisme juga berpikir bahwa
kedamaian tidak akan pernah tercapai selama negara-negara masih
memperebutkan kekuasaan, dimana itu adalah agenda utama dalam politik
internasional.
Negara sebagai aktor utama dalam pandangan realisme memiliki
kepentingannya masing-masing dan untuk mencapai kepentingan tersebut
mereka memerlukan kekuasaan. Namun, ketika cara mendapatkan
kekuasaan (power) menyangkut kekerasan, terlebih terhadap negara lain
maka negara tersebut sudah menyingkirkan aspek moralitas dalam tindakan
mereka. Salah satu contohnya adalah agresi militer. Tindakan ini bukan lagi
melanggar moralitas, tetapi juga melanggar batas teritorial suatu negara
yang seharusnya dihormati oleh seluruh negara lainnya.
Dalam teori realisme juga menganggap bahwa hubungan antar
negara adalah dalam kondisi anarki, dimana tidak ada kekuasaan diatas
kekuasaan lainnya. Negara akan saling bersaing dalam kekuasaan agar tidak
ada yang me’raja’i dan terjadinya keseimbangan kekuasaan. Akibatnya,
negara-negara tersebut cenderung mengabaikan isu-isu nasional tentang
kesejahteraan atau Hak Asasi Manusia. Sehingga dapat dibilang bahwa
realisme tidak menganggap moralitas sebagai aspek penting dalam teorinya.
Walaupun mungkin topik dari agama dan Hubungan Internasional
tidak saling berhubungan, tetapi jika dilihat dari beberapa pandangan
mungkin ini bisa menjadi suatu dasar yang mengikat. Seperti yang kita
ketahui sejatinya manusia dimanapun mereka berada, harus memiliki sikap
yang dapat berpangku pada norma-norma dasar yang ada misalnya
7
Robert Jackson & Georg Sarensen, Introduction to International Relations (New York: Oxford
University Press Inc., 2013), hlm. 112.
kejujuran, kesopanan, dan ber-tatakrama yang baiik. Beberapa perilaku
tersebut dapat kita masukan kedalam konteks Hubungan Internasional.
Salah satu contohnya adalah seseorang yang bekerja sebagai duta
besar Indonesia untuk Amerika, lalu ia akan melakukan rapat atau siding-
sidang di forum Internasional. Karena ia bekerja untuk negara Indonesia dan
untuk rakyat-rakyat Indonesia sendiri, tentunya ia sebagai pribadi harus
memiliki norma-norma dasar yang ada. Entah itu suatu tatakrama yang ia
punya atau pun yang lainnya. Sikap yang ia lakukan juga tidak semata-mata
dapat terjadi, pasti ada hal mendasar terlebih dahulu untuk membuat
seseorang dapat memiliki hal tersebut. Contohnya karena adanya agama,
agama sendiri bisa menjadi tonggak utama dalam membangun sikap dan
pribadi nya dalam kehidupan. Aturan dan kaidah dari agama yang
dianutnya, dan yang mengikat sedari kecil, mungkin akan ia tanamkan
sampai menjadi dewasa dan bekerja. Sifat dan sikap yang diajarkan agama
juga bisa menjadi modal awal agar orang yang bekerja untuk Indonesia
dalam forum Internasional dapat melakkan pekerjaan nya dengan amanah
dan jujur.
2.3 Hukum
2.3.1 Pengertian Hukum
Secara garis besar definisi hukum adalah kumpulan dari sebuah
peraturan yang mengatur tingkah laku manusia di dalam lingkungan
masyarakat dan terdapat sanksi yang bermacam-macam bagi para
pelanggarnya. Selain itu, hukum juga mempunyai sifat memaksa, mengikat,
dan mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan
masyarakat, serta masyarakat dengan masyarakat. Namun disamping itu,
banyak definisi dari hukum yang telah dikemukakan oleh para ahli. Adapun
definisi hukum menurut Prof. Dr. P. Brost, ia mengatakan bahwa hukum
adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di
dalam masyarakat, yang pelaksaannya dapat di paksakan dan bertujuan
mendapatkan tata atau keadilan.8 Menurutnya, definisi hukum tersebut
dapat digolongkan ke dalam definisi hukum bersifat Dogmatik serta
Normatif, karena pada definisi ini terdapat pengertian bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan bagi perbuatan manusia, yang pelaksanaanya dapat
di paksakan, dan hal ini merupakan salah satu ciri dari hukum positif, dan
hukum positif bersifat Dogmatik-Normatif. Pendapat ini hanya memandang
hukum sebagai seperangkat aturan dan kaedah sehingga dapat di
tindaklanjuti dengan dasar Hukum Positif, karena di luar hukum positif
tidak ada hukum.
Kemudian adapun definisi hukum menurut Immanuel Kant, ia
mengatakan bahwa Hukum adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas
dari orang yang satu untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas
dari orang lain, dengan mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.9 Melihat
dari definisi hukum tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi
tersebut termasuk dalam definisi hukum bersifat Non Dogmatis, karena
pengertian hukum di atas tidak hanya memandang hukum sebagai aturan
semata, tapi pengertian hukum di atas juga memandang hukum sebagai
keseluruhan syarat untuk berkehendak bebas dan dapat menyesuaikan diri
sehingga pendapat ini lebih mengacu kepada definisi hukum bersifat Non
Dogmatis yang tidak dapat ditindaklanjuti, hal ini disebabkan oleh tidak
adanya perintah dan larangan yang tegas dan memaksa beserta sanksinya
karena di luar hukum positif tidak ada hukum.
Selanjutnya adapun definisi hukum menurut Thomas Hobbes yang
menyatakan bahwa Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya
kepada orang lain.10 Menurutnya, definisi hukum diatas tergolong dalam
definisi hukum bersifat Dogmatik-Normatif, karena maksud paham ini
menganggap hukum sebagai perintah dari pemerintah sebagai pejabat
8
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 27.
9
Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 22.
10
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 10.
berwenang dan memaksakan perintahnya, artinya perintah dari orang yang
memiliki kekuasaan dapat di paksakan, dan pendapat ini lebih mengacu
kepada definisi hukum Dogmatik-Normatif karena ada unsur hukum positif
di dalamnya. Pendapat ini juga melihat bentuk hukum sebagai kaidah
belaka.
Dan masih banyak lagi definisi-definisi yang dikemukakan oleh para
ahli mengenai hukum itu sendiri. Misalnya, seperti definisi hukum menurut
Prof. Mr. E. M. Meyers yang menyatakan bahwa Hukum adalah semua
aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi
penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.11 Kemudian adapun
definisi hukum menurut Stammler yang menyatakan bahwa hukum adalah
suatu struktur tertentu yang memberi bentuk pada tujuan-tujuan manusia
yang menggerakkan manusia untuk bertindak.12 Tidak lupa, definisi yang
memiliki sifat sejenis yaitu menurut Wirjono Prodjodikoro yang
menyatakan bahwa Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat.13 Kemudian,
terdapat definisi hukum menurut John Austin yang mengemukakan bahwa
Hukum adalah peraturan yang di adakan untuk memberi bimbingan kepada
makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.14
Melihat dari keempat definisi diatas yang telah dikemukakan oleh
Meyers, Stammler, Wirjono, dan John Austin, dapat ditarik kesimpulan
bahwa keempat definisi tersebut memiliki sifat yang sama yaitu Non
Dogmatis. Hal ini dikarenakan secara garis besar pendapat-pendapat
tersebut pendapat ini tidak memiliki kejelasan mengenai perintah dan
larangan serta sifatnya yang tegas dan memaksa dan ini jelas mengandung
paham Sosiologis. Paham sosiologis sendiri dapat diartikan sebagai paham
11
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm.
36.
12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 263.
13
Riduan Syahrani, Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hlm. 21.
14
Salim, Perkembangan dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 22.
yang memiliki motif penelanjangan, maksudnya berusaha mengetahui apa
yang berada di balik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang.
Paham ini dibuktikan dengan adanya pendapat bahwa hukum adalah
peraturan yang di adakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang
berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. Pendapat dari
keempat ahli tersebut juga tidak memisahkan secara tegas antara hukum dan
moral, serta tidak menganggap hukum sebagai seharusnya dilakukan.
Terakhir, terdapat pendapat mengenai definisi hukum dari J.C.T
Simorangkir dan Woerjono Sastro Pranoto yang mengatakan bahwa hukum
adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang di buat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat di ambilnya tindakan hukuman.15
15
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 21.
16
Lawrence M. Friedman, Law and Society an Introduction, (New Jersey: Prentice Hall), hlm. 11-
12.
dalam pembangunan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini
didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban dalam pembangunan
merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping
itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah
kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan
tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di
samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.17
Selanjutnya, adapun menurut Peters sebagaimana yang dikutip oleh
Ronny Hanitiyo Soemitro, ia menyatakan fungsi hukum itu terdapat tiga
perspektif. Pertama, yaitu perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tujuan
ini disebut tujuan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the
policemen view of the law). Kedua, perspektif social engineering merupakan
tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (the official perspective of the
law) dan karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh
pejabat/penguasa dengan hukum. Kemudian yang terakhir perspektif
emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan
dari bawah terhadap hukum (the bottom's up view of the law) dan dapat pula
disebut perspektif konsumen (the consumer's perspective of the law).18
Paparan terakhir ialah fungsi hukum menurut B. Taneko, yang
mengatakan secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan perilaku
yang benar, dan setiap warga masyarakat membatasi beberapa perilaku
sebagai penyimpangan, dan setiap masyarakat mempunyai ide-ide tentang
perilaku yang baik dan buruk. Semua masyarakat akan mengambil langkah-
langkah untuk mendorong ke arah perilaku yang baik, dan memberikan
sanksi negatif bagi perilaku yang buruk.19 Berdasarkan apa yang sudah
dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi hukum sejatinya
17
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982),
hlm. 9.
18
Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 10-
11.
19
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993) hlm. 37-38.
sebagai suatu sarana yang bersifat memaksa dengan tujuan untuk menjaga
serta melindungi kehidupan di lingkungan masyarakat.
20
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 28.
Dengan demikian, terdapat tujuan hukum menurut Satjipto Rahardjo yaitu
untuk menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.21 Surojo Wignjodipuro
pernah mengatakan, bahwa tujuan hukum adalah menjamin kepastian dalam
perhubungan kemasyarakatan.22
Kemudian, adapun tujuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo,
ia mengatakan bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.23
Demikian juga Soejono mengatakan, bahwa hukum yang diadakan atau
dibentuk membawa misi tertentu, yaitu keinsafan masyarakat yang
dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan pengubah agar
terciptanya kedamaian dan ketenteraman masyarakat.24 Adapun Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang menjelaskan, bahwa tujuan
hukum adalah kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban
ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi.25 Melihat dari paparan
yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam lingkungan
masyarakat demi kebaikan dan ketenteraman bersama.
2.3.5 Hukum dalam Hubungan Internasional
Hukum Internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas
entitas berskala internasional yang terdapat hubungan dengan masyarakat
internasional. Hukum Internasional sendiri adalah keseluruhan kaedah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
antara negara dengan negara dan negara dengan subyek hukum lain bukan
negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Hubungan
internasional yang merupakan hubungan antar negara, pada dasarnya adalah
“hubungan hukum” yang mengarikan bahwa dalam hubungan internasional
21
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, n.d.), hlm. 65.
22
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 104.
23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm.
71.
24
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 37.
25
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni), hlm.
87.
telah melahirkan hak dan kewajiban antar subyek hukum (negara) yang
saling berhubungan. Hubungan Internasional merupakan hubungan antar
negara atau antar individu dari negara yang berbeda-beda, baik berupa
hubungan politis, budaya, dan ekonomi. hubungan internasional
mempunyai tujuan untuk meningkatkan persahabatan, dan kerjasama
bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai
dengan kepentingan dan kemampuan nasional. Untuk menciptakan
perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera, negara kita harus tetap
melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Fungsi hukum internasional, yaitu sebagai suatu sistem, hukum
internasional merupakan sistem hukum yang otonom, mandiri dari politik
internasional. Tetapi fungsi utamanya adalah yaitu untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan komunitas internasional termasuk sistem negara yang
otentik. Dan secara khusus Koskenniemi menyimpulkan bahwa fungsi dari
hukum internasional adalah menegaskan tugasnya sebagai suatu tehnik
formal yang relative mandiri (as a relatively autonomous formal technique),
juga sebagai suatu instrument untuk meningkatkan klaim khusus dan
agenda-agenda dalam kaitannya dengan perjuangan politik.dan yang
terakhir hukum internasional dan lembaganya memiliki maksud dan tujuan
serta fungsi untuk memelihara terwujudnya gagasan tentang adanya
keseimbangan kepentingan, the idea of the harmony of interests. Hadirnya
suatu kesepakatan yang berada di bawah kesepakatan antara negara-negara
yang sedang berbeda kepentingan. Maka untuk mencapai semua tujuan di
tiap negara, hukum internasional memiliki peran dalam hubungan
internasional meliputi: