Anda di halaman 1dari 27

AGAMA DAN SISTEM KEPERCAYAAN

Materi Perkuliahan DDIS 19 Oktober 2020

Dosen Pengampu:

Drs. RMT Nurhasan Affand B., Ph.D.


Dr. Windy Dermawan, S.IP., M.Si.
Dr. Gilang Nuralam, S.IP., M.Sc.
Fuad Azmi, S.IP., MAIR

Dibuat Oleh:

KELOMPOK 22

Zalfaa Arza Fawwaz - Kapok 170210200014


Fuad Hilmani - Wakapok 170210200062
Yusuf Iskandar - Pembaca 170210200046
Astricta Amalia Putri 170210200050
Reva Salsabila 170210200073

Program Studi Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjajaran
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Pada era kontemporer seperti sekarang ini, kehadiran agama dan


kepercayaan di dalam masyarakat semakin blur, tidak terkecuali dengan masyarakat
Indonesia. Padahal, Indonesia sebagai sebuah negara yang berdasar kepada prinsip
ketuhanan seperti yang tercantum pada sila pertama dasar negara kita yaitu
Pancasila. Artinya, Indonesia menghargai hak beragama dan memberikan jaminan
kebebasan beragama kepada rakyatnya. Maka dari itu, kajian-kajian yang
membahas mengenai agama dan kepercayaan perlu untuk terus dikembangkan.
Para pemeluk agama meyakini agama adalah persoalan keyakinan yang mampu
untuk mewujudkan kemaslahatan, baik di dunia maupun akhirat. Seperti yang
diketahui bersama, topik mengenai agama adalah salah satu topik yang sensitif
karena masing-masing pemeluk agama percaya bahwa agama yang mereka anut
adalah yang paling benar dan lurus.

Perdebatan mengenai agama tidak berhenti sampai situ saja, kerap kali
agama dikaitkan dengan urusan moralitas. Mereka yang beragama kerap kali
dianggap memiliki moral yang baik juga. Argumen ini tidak jarang menuai
pertanyaan di masyarakat seperti “Apakah dapat dipastikan mereka yang beragama
pasti bermoral baik, bagaimana dengan sebaliknya?”. Berangkat dari perbedaan
kepercayaan dan anggapan mengenai agama dan konsep-konsep lainnya yang
berhubungan dengan agama, tidak jarang menimbulkan bentrok antar satu sama
lainnya. Bahkan, terkadang aturan agama bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Hal ini bisa terlihat dari peletakan posisi hukum negara terhadap hukum
agama yang menjadi salah satu permasalahan bagi Indonesia di masa awal
kemerdekaan. Maka dari itu, untuk memperjelas konsep-konsep di atas, makalah
ini hadir untuk memberikan pemaparan mengenai agama, moralitas, dan hukum
dengan tambahan bagaimana studi Hubungan Internasional melihat ketiga konsep
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Agama
2.1.1 Pengertian Agama
Pada dasarnya agama adalah suatu sistem atau pandangan yang
mengatur sistem kepercayaan manusia terhadap tuhannya, agama juga
berhubungan dengan tata kaidah budaya dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan.1 Agama biasanya
memiliki simbol-simbol, mitologi, dan sejarah yang menjelaskan makna
kehidupan mulai dari asal-usul kehidupan tersebut. Secara etimologi kata
agama berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘tradisi’. Kata lain yang
berhubungan dengan agama adalah ‘religion’ yang berasal dari bahasa latin
religio dimana mengakar pada kata kerja re-ligare yang memiliki arti
‘mengikat kembali, yang dimana dalam religi berarti mengikatkan dirinya
kepada Tuhan. Menurut Max Muller kata ‘religion’ pertamanya digunakan
untuk arti ‘takut akan dewa-dewa atau Tuhan’, lalu kemudian Cicero
menurunkan arti nya menjadi ‘ketekunan’. Terdapat beberapa ahli yang
mengartikan atau mendefinisikan apa itu agama, beberapa ahli tersebut
yaitu:

1. Emile Durkheim : agama merupakan suatu sistem terpadu dimana


didalamnya terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal-hal yang suci.
2. Anthony F.C: ia mengartikan bahwa agama sebagai suatu perangkat
upacara yang diberi rasionalisasi melewati mitos dan menggerakan
kekuatan supernatural dengan adanya maksud untuk mencapai
terjadinya perubahan keadaan pada manusia dan semesta.
3. Luckmann: berpendapat bahwa agama adalah kemampuan organisme
manusia untuk mengangkat alam biologisnya melalui pembentukan

1
Kenneth Shouler, The Everything World’s Religion Book, (United State: Adam Media
Corporations, 2010), hlm 1.
alam-alam makna yang objektif, dimana memiliki daya ikat moral dan
serba meliputi.
4. Persons & Bellah : ia mengatakan bahwa agama lah tingkat paling
tinggi dan paling umum dari budaya manusia.
5. H. Moenawar Chill: mendefinisikan bahwa agama adalah adanya
keterlibatan tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan
supranatural sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
6. Dr. M. Drikarya: mengatakan bahwa agama merupakan adanya suatu
kekuatan supranatural yang menciptakan dan mengatur alam dan
seisinya.
7. Hendro Puspito: agama merupakan suatu sistem nilai yang mengatur
hubungan alam semesta dan manusia yang memiliki kaitan dengan
keyakinan.
8. Jappy Pellokid: ia mendefinisikan bahwa agama adalah kepercayaan
akan adanya tuhan yang maha esa beserta hukum hukumnya.
9. Tadjab: dalam bukunya Perbandingan Pendidikan (1994), ia
mengatakan bahwa agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan hidup yang teratur dan mendatangkan keselamatan dan
kesejahteraan hidup manusia. 2
10. A.M. Saefuddin: ia menyatakan bahwa agama merupakan kebutuhan
manusia yang paling mendasar yang bersifat universal. Oleh sebab itu,
agama merupakan kesadaran spiritual yang didalamnya terdapat
kenyataan diluar kenyataan yang namfak ini, yaitu manusia selalu
mengharap bimbingannya, belas kasihannya, dan belaiannya, yang tidak
bisa diingkari walaupun oleh manusia yang mengingkari agama itu
sekalipun.
11. Sutan Takdir. A.: dalam bukunya (1992) ia mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem kelakukan dan perhubungan manusia dengan

2
Tajdab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994). hlm 37.
rahasia kekuasaan dan kegaiban yang sangat luas, yang mana memberi
arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.
12. Sidi Gazalba: dan yang terakhir ada Sidi Gazalba dimana dalam
bukunya Asas Agama Islam (1975) menyebutkan bahwa agama adalah
kecenderungan rohani manusia yang berhubungan dengan alam
semesta.

2.1.2 Unsur-Unsur Agama


Menurut Leight, Keller, dan Calhoun yang dikutip dari Wikipedia
bahwa agama memiliki beberapa unsur pokok, yaitu: Kepercayaan Agama,
dimana kita melihat bahwa suatu prinsip itu benar tanpa adanya rasa ragu.
Simbol Agama, sebagai identitas agama yang dianut oleh umatnya. Praktik
Keagamaan, yaitu hubungan yang vertikal antara Tuhan dengan manusia
dan hubungan horizontal antara umat beragama sesuai dengan ajaran
agamanya. Pengalaman Keagamaan, ialah berbagai pengalaman yang
pernah dirasakan atau dialami oleh penganutnya secara pribadi. Yang
terakhir Umat Beraga, yaitu penganut agamanya masing-masing. Lebih
gampangnya unsur-unsur pokok tersebut dapat di tuliskan seperti: Manusia,
Penghambaan, Tuhan, Simbol, dan Praktik Keagamaan.

2.1.3 Agama Dalam Ilmu Sosial


Sebagai salah satu hal yang sensitif, agama secara tradisional telah
ditangani dengan baik oleh ilmuwan sosial. Dalam bukunya The Warcraft
Civilization (2010), William membahas tentang agama, salah satunya
agama dalam ilmu sosial. Ia lalu mempertimbangkan empat teori berikut,
yaitu Supernatural Theory, Societal Theory, Exchange Theory, dan
Cognitive Theory yang selanjutnya akan dibahas sedikit dibawah ini. 3

1. Supernatural Theory: dalam teori ini dikatakan bahwa ‘ilahi’ benar ada
dan agama adalah berasal dari tindakan mereka terhadap jiwa manusia.

3
William Bainbridge, The Warcraft Civilization: Social Science in a Virtual World, (The MIT
Press,2012), hlm. 56.
2. Societal Theory: teori ini bisa disebut teori kemasyarakatan agama,
dimana dalam teori ini berarti cerminan masyarakat yang berfungsi
untuk menopang kelembagaan, persatuan komunitas dan nilai-nilai
bersama.
3. Exchange Theory: dalam teori ini manusia berinteraksi satu sama lain
untuk mendapat imbalan dan menghindari ‘tagihan’, dalam hal ini juga
didasarka pada saling percaya yang dibangun secara sosial. Di teori ini
juga akan membuat mereka mendorong satu sama lain untuk percaya
bahwa adanya pertukaran ‘ilahi’.
4. Cognotive Theory: teori ini menyebut bahwa otak manusia berevolusi
untuk memfasilitasi interaksi sosial menghadapi ‘predator’ atau
‘mangsa’, dimana pasti secara alami mengasumsikan bahwa fenomena
kompleks dihasilkan dari tindakan makhluk yang sadar, sehingga secara
bersamaan mendukung kepercayaan pada dewa-dewa.

2.1.4 Fungsi Agama Dalam Masyarakat


Pada dasarnya masyarakat adalah gabungan antar individu yang
terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Tentu dalam bermasyarakat
diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Norma
merupakan s-\uatu aturan atau ketentuan yang mengikat dalam masyarakat,
dimana norma sendiri sebagai panduan, tatanan, dan pengendalian tingkah
laku yang sesuai. Norma juga bisa dikaitkan dengan fungsi agama dalam
bermasyarakat. Agama sebagai anutan dalam masyarakat, berfungsi juga
sebagai pedoman yang dijadikan sumber untuk mengatur norma-norma
kehidupan. Fungsi agama dalam masyarakat antara lain:

1. Fungsi Edukatif: para penganut agama yang menganut agamanya


masing-masing berpendapat bahwa ajaran yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Karena ajaran agama
berfungsi menyuruh dan melarang, kedua unsur itu memiliki latar
belakang untuk membimbing agar pribadi penganutnya menjadi lebih
baik menurut ajaran agama masing-masing.
2. Fungsi Sosial Kontrol: para penganut agama yang menganut ajarannya
masing-masing, pasti akan terikat secara batin kepada tuntutan ajaran
tersebut. Oleh penganutnya ajaran agama tersebut dianggap sebagai
sosial kontrol untuk individu maupun kelompok.
3. Fungsi Penyelamat: keselamatan yang diberikan oleh agama kepada
penganutnya meliputi dua hal keselamatan dunia dan akhirat, dalam
menempuh keselamatan itu agama mengajarkan kepada umatnya
pengenalan pada hal yang sakratl berupa keimanan kepada tuhan.
4. Fungsi Pendamaian: melalui tuntutan agama seseorang yang bersalah
atau berdosa dapat mencapai kedamaian. Rasa berdosa dan bersalah
tersebut dapat hilang dari batinnya jika seseorang telah bertobat,
pencusian, atau penebus dosa.
5. Fungsi Kreatif: ajaran agama mendorong para penganutnya produktif
bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain juga. Para
penganut agama bukan hanya dituntut untuk bekerja dalam pola yang
sama, tetapi dituntut untuk melakukan perubahan dan penemuan baru.
6. Fungsi Sublimatif: ajaran agama menyetujui atau ‘mensucikan’ segala
usaha manusia bukan hanya urusan akhirat tetapi duniawi juga. Segala
usaha manusia selagi tidak bertentangan dengan ajaran agama bisa
dilakukan atas niat tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah
7. Fungsi Transformatif: ajaran agama dapat mengubah kepribadian
seseorang menjadi kepribadian yang baru sesuai agama atau ajaran yang
dianutnya. Kehidupan baru yang berdasarkan agama yang dianutnya
kadang mampu merubah kesetiannya terhadap adat atau norma
kehidupan sebelumnya.

2.2 Moralitas

2.2.1 Pengertian Moralitas


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan pernah lepas dengan
nilai dan norma yang mengatur tingkah laku agar dapat diterima dalam
masyarakatnya masing-masing. Tidak hanya itu, manusia juga harus
memerhatikan moralitas untuk menilai suatu tindakan, baik tindakan diri
sendiri maupun orang lain. Moralitas memiliki kata dasar moral yang
umumnya didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral sendiri
berasal dari bahasa latin ‘mos’ (mores) yang berarti kebiasaan atau adat.
Ketika suatu kebiasaan dalam masyarakat berubah dan tidak hanya
dianggap sebagai cara perilaku saja, kebiasaan tersebut akan disebut sebagai
‘mores’. Hal ini berdasarkan kepada tingkatan norma yang dibedakan
berdasarkan kekuatan pengikatnya, yaitu sebagai berikut. 4

1) Cara (usage)
2) Kebiasaan (folkways)
3) Tata Kelakuan (mores)
4) Adat Istiadat (custom)

Moral diartikan dengan aturan kesusilaan yang juga sering


disamakan dengan etika karena asal katanya ‘mores’ dari bahasa Latin
memiliki kesamaan dengan bahasa Yunani ‘ethos’ yang sama-sama
berhubungan dengan kebiasaan atau adat. Di samping itu, moral tidak dapat
dilepaskan dengan moralitas yang merupakan keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk suatu perbuatan. Namun, moralitas
bukanlah kumpulan dari aturan-aturan atau norma-norma yang ada, tetapi
perspektif manusia dalam memandang sesuatu. Moralitas dapat juga
dikatakan sebagai kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, moralitas mencakup
pengertian tentang baik, buruknya perbuatan manusia. Maka dari itu,
persoalan moral merupakan persoalan yang tidak akan pernah selesai untuk
ditelaah.5 Moralitas juga memiliki kata dasar dari bahasa Latin, yaitu
‘moralis’ yang memiliki arti yang sama dengan moral, tetapi nadanya lebih

4
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 172
5
Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Jakarta: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 197
abstrak. Adapun definisi moral/moralitas dari berbagai ahli, diantaranya
yaitu:

1. Kaelan: Moral adalah suatu ajaran wejangan-wejangan, patokan-


patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupn tertulis tentang
bagaiaman harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
2. Kohlberg: Moralitas bukanlah suatu koleksi dari aturan-aturan, norma-
norma atau kelakuan-kelakuan tertentu tetapi merupakan perspektif atau
cara pandang tertentu.
3. Baron: Moral adalah hal-hal yangberhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar.
4. Amin Abdulah: Moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang
bersifat normatif (mengatur/mengikat) yang sudah ikut serta bersama
kita seiring dengan umur yang kita jalani.
5. Immanuel Kant: Moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk. Apa yang
baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan sama sekali.
Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan,
jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu
saja atau baik secara mutlak.
6. Bertens: Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk.
7. Sumaryono: Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi sehingga
perbuatan itu disebut benar atau salah, baik atau jahat.
8. Franz Magnis Suseno: Moralitas adalah keseluruhan norma-norma,
nilai-nilai dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Moralitas
adalah sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah.
9. Emile Durkheim: Moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma
mengenai kaidah yang menentukan tingkah laku kita. Kaidah-kaidah
tersebut menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi
tertentu.
10. Elizabeth B. Hurlock: Moral adalah suatu kebiasaan, tata cara, dan adat
dari suatu peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota
suatu budaya dalam masyarakat.

2.2.2 Jenis Moral


Moral dapat terbagi kedalam dua jenis berdasarkan darimana moral
itu berasal, yang diantaranya:
1. Moral Murni adalah moral yang terdapat dalam setiap manusia sebagai
bentuk anugrah dari Tuhan. Pada dasarnya, Tuhan memberikan moral
yang baik pada setiap manusia, tetapi bentuk perbuatan dapat berubah
karena adanya suatu situasi (saat masuk ke moral terapan).
2. Moral Terapan adalah ajaran yang didapat dari berbagai ilmu, seperti
ajaran adat, agama, filosofis, ataupun ilmu lainnya yang berkaitan
dengan kehidupan manusia sesua lingkungan tempat tinggal.
Dikarenakan moral terapan merupakan hasil dari proses berpikir
manusia, terdapat moral baik dan moral buruk

2.2.3 Unsur-Unsur Moralitas


Selain menjadi bagian dari moralitas, menurut Durkheim, unsur-
unsur berikut merupakan tujuan dari moralitas, yaitu:
1. Semangat Disiplin: meliputi tindakan yang konsisten, perilaku yang
dapat diandalkan, dan menghormati norma sosial dan otoritas. Dengan
hal ini, seseorang tidak perlu khawatir dengan setiap situasi yang
muncul karena sudah terancangnya solusi.
2. Keterikatan pada Kelompok Sosial: bagi Durkheim, moralitas
merupakan kegiatan sosial atau interpersonal. Tindakan egois atau
mementingkan sendiri bukanlah bagian dari moral. Maka dari itu,
moralitas mengharuskan individu untuk terhubung dalam kelompok.
Hal ini juga dapat mewujudkan identitas sosial dan altruisme.
3. Otonomi (menentukan nasib sendiri): memiliki arti bahwa walaupun
indiidu terikat pada kelompok, setiap pilihan tidak harus mengacu
kepada kelompok tersebut. Ini karena manusia memiliki hak untuk
mengambil keputusan oleh dirinya sendiri.
2.2.4 Fungsi Moralitas
Moral pada hakikatnya untuk menilai apa yang benar dan pantas
pada masyarakat tertentu dan berhubungan dengan proses sosialisasi
individu. Jika tidak bermoral, manusia akan disebut “amoral” dan
dipandang tidak sanggup untuk bersosialisasi, bahkan tidak pantas
dipandang sebagai manusia. Berikut beberapa fungsi moralitas yang
menjadi alasan betapa pentingnya moral itu sendiri:
1. Menjamin terwujudnya harkat dan martabat pribadi seseorang dan
kemanusiaan.
2. Memotivasi manusia agar bersikap dan bertindak dengan penuh
kebaikan dan kebajikan yang dilandasi moral.
3. Menjaga keharmonisan hubungan sosial antar manusia.
4. Memberikan wawasan tentang konsekuensi dalam kehidupan agar
manusia dapat berpikir sebelum bertindak.
5. Memberikan landasan kesabaran pada diri sendiri agar tidak mudah
terhasut dalam nafsu yang mengancam harkat dan martabat pribadi.
2.2.5 Macam-Macam Moralitas
Poespoprodjo menyebutkan terdapat beberapa macam moralitas,
diantaranya:
1. Moralitas Objektif adalah moralitas dengan melihat perbuatan menusia
apa adanya. Contohnya, perbuatan membunuh merupakan perbuatan
yang buruk apapun alasan dibalik perbuatan tersebut.
2. Moralitas Subjektif adalah moralitas dengan melihat pelaku dari
perbuatan tersebut, sehingga penilaian akan terpengaruh oleh latar
belakang pelaku. Contohnya, jika ada seseorang yang mencuri tetapi
untuk kebutuhan mendesak keluarganya, akan ada kemungkinan untuk
pelaku dibebaskan
3. Moralitas Intrinsik adalah moralitas yang menentukan perbuatan baik
atau buruk terlepas dari pengaruh hukum positif yang berlaku.
Contohnya, seseorang bekerja harus diberi gaji karena sudah menjadi
haknya.
4. Moralitas Ekstrinsik adalah moralitas yang menentukan perbuatan baik
atau buruk berdasarkan hukum positif yang berlaku. Contohnya,
membunuh adalah perbuatan buruk (tindakan kriminal) dan pelaku
harus diberi sanksi.
Berbeda dengan Poespoprodjo, Immanuel Kant menyebutkan
bahwa moralitas dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Moralitas Heteronom adalah sikap dimana kewajiban ditaati dan
dilaksanakan bukan karena keinginan sendiri, tetapi karena adanya
sesuatu yang berasal dari luar kehendak pelaku.
2. Moralitas Otonom adalah sikap dimana manusia sadar akan kewajiban
diaati karena diyakinibernilai baik, bukan karena adanya pengaruh dari
pihak luar pelaku.
2.2.6 Teori Perkembangan Moral
Menurut Lawrence Kohlberg, perbuatan moral bukanlah hasil
sosialisasi atau pelajaran diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan norma kebudayaan. Dalam penelitiannya, ia
mengungkapkan bahwa adanya tingkat dan tahapan perkembangan moral 6,
diantaranya:
1. Tingkat Pra-amoral (0-6 Tahun), pada tingkat ini disebut pula dengan
tahap 0 dimana perbedaan antara baik dan buruk belum didasarkan
atasnorma-noram yang ada.
2. Tingkat Prakonvensional, pada tingkat ini individu akan mengaitkan
aturan-aturan yang ada dengan akibat yang akan dihadapi atas perbuatan
yang dilakukan. Terdapat dua tahapan pada tingkat ini, yaitu:
a. Tahap 1 disebut juga sebagai masa Punishment and Obedience
Orientation dimana individu patuh kepada kekuasaan dan
berusaha menghindari hukuman.

6
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 75-85
b. Tahap 2 disebut sebagai masa Instrumental Relativist
Orientation atau Hedonistic Orientation dimana perbuatan
individu akan dianggap benar ketika perbuatannya
menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain, sehingga
hubungan antar individu bersifat timbal balik.
3. Tingkat Konvensional, pada tingkat ini individu akan menghiraukan
akibat dari suatu tindakan, tetapi perhatian berfokus kepada tujuan atau
maksud dari sebuah perbuatan. Pada tingkat ini terdaopat dua tahapan
atau masa pada, yaitu:
a. Tahap 3 disebut dengan masa Interpersonal Concordance atau
Good Boy/Good Girl Orientation. Pada masa ini individu akan
menganggap bahwa perbuatan bermoral adalah perbuatan yang
diakui dan diterima oleh orang lain sehingga individu akan
sangat berusaha untuk dapat dianggap bermoral.
b. Tahap 4 disebut dengan masa Law and Order Orientation ini
mengarah kepada otoritas, pemenuhan aturan atau norma, dan
upaya untuk memelihara tertib sosial.
4. Tingkat Pascakonvensional, pada tingkat ini, individu akan berusaha
untuk menentukan norma dan prinsip moral tanpa mengaitkan dengan
otoritas kelompok maupun individu. Sehingga, hidup seorang individu
sudah sepenuhnay bertanggungjawab kepada diri sendiri. Pada tingkat
ini mencakup dua masa perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap 5 disebut dengan masa Social Contract dan merupakan
masa dengan kematan moral yang cukup tinggi. Pada masa ini,
individu dapat melihat benar dan salah suatu hal yang berkaitan
dengan norma berlaku dan pendapat pribadi individu.
b. Tahap 6 disebut dengan masa tertinggi atau masa Orientation of
Universal Ethical Principles, moral lebih dibatasi oleh
kesadaran individu dengan dilandasi prinsip-prinsip etis.
2.2.7 Moralitas dalam Hubungan Internasional
Salah satu teori klasik yang mendominasi dalam Hubungan
Internasional adalah teori realisme. Asumsi dasar dari realisme adalah
pandangan pesimis terhadap sifat manusia dan meyakini bahwa hubungan
internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional
pada akhirnya diselesaikan melalui perang7. Realisme juga berpikir bahwa
kedamaian tidak akan pernah tercapai selama negara-negara masih
memperebutkan kekuasaan, dimana itu adalah agenda utama dalam politik
internasional.
Negara sebagai aktor utama dalam pandangan realisme memiliki
kepentingannya masing-masing dan untuk mencapai kepentingan tersebut
mereka memerlukan kekuasaan. Namun, ketika cara mendapatkan
kekuasaan (power) menyangkut kekerasan, terlebih terhadap negara lain
maka negara tersebut sudah menyingkirkan aspek moralitas dalam tindakan
mereka. Salah satu contohnya adalah agresi militer. Tindakan ini bukan lagi
melanggar moralitas, tetapi juga melanggar batas teritorial suatu negara
yang seharusnya dihormati oleh seluruh negara lainnya.
Dalam teori realisme juga menganggap bahwa hubungan antar
negara adalah dalam kondisi anarki, dimana tidak ada kekuasaan diatas
kekuasaan lainnya. Negara akan saling bersaing dalam kekuasaan agar tidak
ada yang me’raja’i dan terjadinya keseimbangan kekuasaan. Akibatnya,
negara-negara tersebut cenderung mengabaikan isu-isu nasional tentang
kesejahteraan atau Hak Asasi Manusia. Sehingga dapat dibilang bahwa
realisme tidak menganggap moralitas sebagai aspek penting dalam teorinya.
Walaupun mungkin topik dari agama dan Hubungan Internasional
tidak saling berhubungan, tetapi jika dilihat dari beberapa pandangan
mungkin ini bisa menjadi suatu dasar yang mengikat. Seperti yang kita
ketahui sejatinya manusia dimanapun mereka berada, harus memiliki sikap
yang dapat berpangku pada norma-norma dasar yang ada misalnya

7
Robert Jackson & Georg Sarensen, Introduction to International Relations (New York: Oxford
University Press Inc., 2013), hlm. 112.
kejujuran, kesopanan, dan ber-tatakrama yang baiik. Beberapa perilaku
tersebut dapat kita masukan kedalam konteks Hubungan Internasional.
Salah satu contohnya adalah seseorang yang bekerja sebagai duta
besar Indonesia untuk Amerika, lalu ia akan melakukan rapat atau siding-
sidang di forum Internasional. Karena ia bekerja untuk negara Indonesia dan
untuk rakyat-rakyat Indonesia sendiri, tentunya ia sebagai pribadi harus
memiliki norma-norma dasar yang ada. Entah itu suatu tatakrama yang ia
punya atau pun yang lainnya. Sikap yang ia lakukan juga tidak semata-mata
dapat terjadi, pasti ada hal mendasar terlebih dahulu untuk membuat
seseorang dapat memiliki hal tersebut. Contohnya karena adanya agama,
agama sendiri bisa menjadi tonggak utama dalam membangun sikap dan
pribadi nya dalam kehidupan. Aturan dan kaidah dari agama yang
dianutnya, dan yang mengikat sedari kecil, mungkin akan ia tanamkan
sampai menjadi dewasa dan bekerja. Sifat dan sikap yang diajarkan agama
juga bisa menjadi modal awal agar orang yang bekerja untuk Indonesia
dalam forum Internasional dapat melakkan pekerjaan nya dengan amanah
dan jujur.

2.3 Hukum
2.3.1 Pengertian Hukum
Secara garis besar definisi hukum adalah kumpulan dari sebuah
peraturan yang mengatur tingkah laku manusia di dalam lingkungan
masyarakat dan terdapat sanksi yang bermacam-macam bagi para
pelanggarnya. Selain itu, hukum juga mempunyai sifat memaksa, mengikat,
dan mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan
masyarakat, serta masyarakat dengan masyarakat. Namun disamping itu,
banyak definisi dari hukum yang telah dikemukakan oleh para ahli. Adapun
definisi hukum menurut Prof. Dr. P. Brost, ia mengatakan bahwa hukum
adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di
dalam masyarakat, yang pelaksaannya dapat di paksakan dan bertujuan
mendapatkan tata atau keadilan.8 Menurutnya, definisi hukum tersebut
dapat digolongkan ke dalam definisi hukum bersifat Dogmatik serta
Normatif, karena pada definisi ini terdapat pengertian bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan bagi perbuatan manusia, yang pelaksanaanya dapat
di paksakan, dan hal ini merupakan salah satu ciri dari hukum positif, dan
hukum positif bersifat Dogmatik-Normatif. Pendapat ini hanya memandang
hukum sebagai seperangkat aturan dan kaedah sehingga dapat di
tindaklanjuti dengan dasar Hukum Positif, karena di luar hukum positif
tidak ada hukum.
Kemudian adapun definisi hukum menurut Immanuel Kant, ia
mengatakan bahwa Hukum adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas
dari orang yang satu untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas
dari orang lain, dengan mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.9 Melihat
dari definisi hukum tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi
tersebut termasuk dalam definisi hukum bersifat Non Dogmatis, karena
pengertian hukum di atas tidak hanya memandang hukum sebagai aturan
semata, tapi pengertian hukum di atas juga memandang hukum sebagai
keseluruhan syarat untuk berkehendak bebas dan dapat menyesuaikan diri
sehingga pendapat ini lebih mengacu kepada definisi hukum bersifat Non
Dogmatis yang tidak dapat ditindaklanjuti, hal ini disebabkan oleh tidak
adanya perintah dan larangan yang tegas dan memaksa beserta sanksinya
karena di luar hukum positif tidak ada hukum.
Selanjutnya adapun definisi hukum menurut Thomas Hobbes yang
menyatakan bahwa Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya
kepada orang lain.10 Menurutnya, definisi hukum diatas tergolong dalam
definisi hukum bersifat Dogmatik-Normatif, karena maksud paham ini
menganggap hukum sebagai perintah dari pemerintah sebagai pejabat

8
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 27.
9
Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 22.
10
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 10.
berwenang dan memaksakan perintahnya, artinya perintah dari orang yang
memiliki kekuasaan dapat di paksakan, dan pendapat ini lebih mengacu
kepada definisi hukum Dogmatik-Normatif karena ada unsur hukum positif
di dalamnya. Pendapat ini juga melihat bentuk hukum sebagai kaidah
belaka.
Dan masih banyak lagi definisi-definisi yang dikemukakan oleh para
ahli mengenai hukum itu sendiri. Misalnya, seperti definisi hukum menurut
Prof. Mr. E. M. Meyers yang menyatakan bahwa Hukum adalah semua
aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada
tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi
penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.11 Kemudian adapun
definisi hukum menurut Stammler yang menyatakan bahwa hukum adalah
suatu struktur tertentu yang memberi bentuk pada tujuan-tujuan manusia
yang menggerakkan manusia untuk bertindak.12 Tidak lupa, definisi yang
memiliki sifat sejenis yaitu menurut Wirjono Prodjodikoro yang
menyatakan bahwa Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat.13 Kemudian,
terdapat definisi hukum menurut John Austin yang mengemukakan bahwa
Hukum adalah peraturan yang di adakan untuk memberi bimbingan kepada
makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.14
Melihat dari keempat definisi diatas yang telah dikemukakan oleh
Meyers, Stammler, Wirjono, dan John Austin, dapat ditarik kesimpulan
bahwa keempat definisi tersebut memiliki sifat yang sama yaitu Non
Dogmatis. Hal ini dikarenakan secara garis besar pendapat-pendapat
tersebut pendapat ini tidak memiliki kejelasan mengenai perintah dan
larangan serta sifatnya yang tegas dan memaksa dan ini jelas mengandung
paham Sosiologis. Paham sosiologis sendiri dapat diartikan sebagai paham

11
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm.
36.
12
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 263.
13
Riduan Syahrani, Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hlm. 21.
14
Salim, Perkembangan dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 22.
yang memiliki motif penelanjangan, maksudnya berusaha mengetahui apa
yang berada di balik kenyataan sosial yang diterima oleh banyak orang.
Paham ini dibuktikan dengan adanya pendapat bahwa hukum adalah
peraturan yang di adakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang
berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. Pendapat dari
keempat ahli tersebut juga tidak memisahkan secara tegas antara hukum dan
moral, serta tidak menganggap hukum sebagai seharusnya dilakukan.
Terakhir, terdapat pendapat mengenai definisi hukum dari J.C.T
Simorangkir dan Woerjono Sastro Pranoto yang mengatakan bahwa hukum
adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang di buat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat di ambilnya tindakan hukuman.15

2.3.2 Fungsi Hukum


Cara kerja hukum sendiri yaitu dengan pemberian suatu konsekuensi
tertentu terhadap perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang
dalam lingkungan masyarakat. Maka dari itu, hukum perlu dijabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara garis besar fungsi hukum yaitu menertibkan dan
mengatur pergaulan dalam lingkungan masyarakat serta memberikan solusi
terhadap masalah-masalah yang timbul tersebut.
Terdapat banyak pandangan dari para ahli mengenai fungsi hukum
itu sendiri, diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman, yaitu pengawasan atau pengendalian sosial (social control),
penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan rekayasa sosial (social
engineering).16
Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmadja, seperti dikutip oleh
Soerjono Soekanto, ia mengatakan bahwa di Indonesia fungsi hukum di

15
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 21.
16
Lawrence M. Friedman, Law and Society an Introduction, (New Jersey: Prentice Hall), hlm. 11-
12.
dalam pembangunan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini
didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban dalam pembangunan
merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping
itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah
kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan
tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di
samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.17
Selanjutnya, adapun menurut Peters sebagaimana yang dikutip oleh
Ronny Hanitiyo Soemitro, ia menyatakan fungsi hukum itu terdapat tiga
perspektif. Pertama, yaitu perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tujuan
ini disebut tujuan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the
policemen view of the law). Kedua, perspektif social engineering merupakan
tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (the official perspective of the
law) dan karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh
pejabat/penguasa dengan hukum. Kemudian yang terakhir perspektif
emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan
dari bawah terhadap hukum (the bottom's up view of the law) dan dapat pula
disebut perspektif konsumen (the consumer's perspective of the law).18
Paparan terakhir ialah fungsi hukum menurut B. Taneko, yang
mengatakan secara esensial bahwa sistem mengandung peraturan perilaku
yang benar, dan setiap warga masyarakat membatasi beberapa perilaku
sebagai penyimpangan, dan setiap masyarakat mempunyai ide-ide tentang
perilaku yang baik dan buruk. Semua masyarakat akan mengambil langkah-
langkah untuk mendorong ke arah perilaku yang baik, dan memberikan
sanksi negatif bagi perilaku yang buruk.19 Berdasarkan apa yang sudah
dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi hukum sejatinya

17
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982),
hlm. 9.
18
Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 10-
11.
19
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993) hlm. 37-38.
sebagai suatu sarana yang bersifat memaksa dengan tujuan untuk menjaga
serta melindungi kehidupan di lingkungan masyarakat.

2.3.3 Unsur Hukum


Terdapat unsur-unsur dari hukum, menurut Zinsheimer hukum
dibagi menjadi 3 bagian yaitu hukum normatif, hukum ideal, dan hukum
wajar. Hukum normatif sendiri berarti hukum yang tampak dan hukum yang
tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan tetapi diindahkan oleh
masyarakat karena keyakinan, peraturan hidup itu sudah sewajarnya wajib
ditaati. Kemudian, hukum ideal merupakan hukum yang dicita-citakan,
artinya hukum ini pada hakikatnya berakar pada perasaan murni manusia
dari segala bangsa. Hukum inilah yang dapat memenuhi perasaan keadilan
semua bangsa di seluruh dunia. Hukum ini yang benar-benar objektif. Dan
yang terakhir, hukum wajar adalah hukum seperti yang terjadi dan tampak
seharihari. Tidak jarang hukum yang tampak sehari-hari menyimpang dari
hukum normatif (tercantum dalam perundang-undangan) karena tidak
diambil oleh alat-alat kekuasaan pemerintah, pelanggaran tersebut oleh
masyarakat yang bersangkutan lambat laun dianggap biasa (misalnya,
kendaraan pada malam hari tanpa lampu, mengendarai sepeda motor tanpa
memakai helm pada malam hari).20
Melihat dari hal tersebut, unsur-unsur hukum ini bersumber dari apa
yang terjadi di lingkungan masyarakat. Masing-masingnya memiliki makna
yang berbeda sebagaimana tampak dalam unsur-unsur hukum (gegevens
van het recht) yang sudah dijelaskan di atas.
2.3.4 Fungsi dan Tujuan Hukum
Selanjutnya, melihat apa yang sudah dipaparkan diatas, hukum
menurut fungsinya secara garis besar untuk melayani kebutuhan elementer
bagi kelangsungan kehidupan sosial, misalnya mempertahankan
kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan penyimpangan.
Singkatnya hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan kontrol.

20
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 28.
Dengan demikian, terdapat tujuan hukum menurut Satjipto Rahardjo yaitu
untuk menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.21 Surojo Wignjodipuro
pernah mengatakan, bahwa tujuan hukum adalah menjamin kepastian dalam
perhubungan kemasyarakatan.22
Kemudian, adapun tujuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo,
ia mengatakan bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.23
Demikian juga Soejono mengatakan, bahwa hukum yang diadakan atau
dibentuk membawa misi tertentu, yaitu keinsafan masyarakat yang
dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan pengubah agar
terciptanya kedamaian dan ketenteraman masyarakat.24 Adapun Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang menjelaskan, bahwa tujuan
hukum adalah kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban
ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi.25 Melihat dari paparan
yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam lingkungan
masyarakat demi kebaikan dan ketenteraman bersama.
2.3.5 Hukum dalam Hubungan Internasional
Hukum Internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas
entitas berskala internasional yang terdapat hubungan dengan masyarakat
internasional. Hukum Internasional sendiri adalah keseluruhan kaedah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
antara negara dengan negara dan negara dengan subyek hukum lain bukan
negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. Hubungan
internasional yang merupakan hubungan antar negara, pada dasarnya adalah
“hubungan hukum” yang mengarikan bahwa dalam hubungan internasional

21
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, n.d.), hlm. 65.
22
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 104.
23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm.
71.
24
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 37.
25
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni), hlm.
87.
telah melahirkan hak dan kewajiban antar subyek hukum (negara) yang
saling berhubungan. Hubungan Internasional merupakan hubungan antar
negara atau antar individu dari negara yang berbeda-beda, baik berupa
hubungan politis, budaya, dan ekonomi. hubungan internasional
mempunyai tujuan untuk meningkatkan persahabatan, dan kerjasama
bilateral, regional, dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai
dengan kepentingan dan kemampuan nasional. Untuk menciptakan
perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera, negara kita harus tetap
melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Fungsi hukum internasional, yaitu sebagai suatu sistem, hukum
internasional merupakan sistem hukum yang otonom, mandiri dari politik
internasional. Tetapi fungsi utamanya adalah yaitu untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan komunitas internasional termasuk sistem negara yang
otentik. Dan secara khusus Koskenniemi menyimpulkan bahwa fungsi dari
hukum internasional adalah menegaskan tugasnya sebagai suatu tehnik
formal yang relative mandiri (as a relatively autonomous formal technique),
juga sebagai suatu instrument untuk meningkatkan klaim khusus dan
agenda-agenda dalam kaitannya dengan perjuangan politik.dan yang
terakhir hukum internasional dan lembaganya memiliki maksud dan tujuan
serta fungsi untuk memelihara terwujudnya gagasan tentang adanya
keseimbangan kepentingan, the idea of the harmony of interests. Hadirnya
suatu kesepakatan yang berada di bawah kesepakatan antara negara-negara
yang sedang berbeda kepentingan. Maka untuk mencapai semua tujuan di
tiap negara, hukum internasional memiliki peran dalam hubungan
internasional meliputi:

1. Pertama, hukum internasional dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk


memelihara perdamaian, dan mengabaikan atas segala bentuk peraturan
yang tidak menyukai berbagai peraturan-peraturan terkait dengan
kebijakan tinggi (a high policy) yakni berkaitan dengan isu perdamaian
atau perang. Permasalahan yang terjadi antara satu negara dengan
negara yang lain atau satu negara dengan dan banyak negara akan dapat
menimbulkan konflik dan pertentangan, baik dalam kaitannya dengan
hak suatu negara atau banyak negara, maupun dengan kebiasaan seorang
kepala negara, diplomat atau duta besar. Semua subjek ini mempunyai
hak dan kewajiban masing-masing, yang dalam pelaksanaannya harus
mengikuti permainanan internasional dan mengikuti aturan yang telah
disepakati secara bersama atau secara internasional. Suatu negara yang
telah membina hubungan kerja dengan negara lain, haruslah mempunyai
korps diplomatik pada negara yang bersangkutan. Seorang diplomat
harus tunduk pada hukum diplomatik yang telah ditentukan secara
internasional.
2. Kedua, hukum internasional berfungsi untuk kantor-kantor asing dan
praktek para pengacara internasional yang kesehariannya menerapkan
dan mempertimbangkan penyelesaian dengan peraturan hukum-hukum
internasional yang terkait dengan berbagai ikhwal dan kasus yang
bertautan. kasus misalnya, tentang tuntutan kompensasi orang-orang
asing yang terkena kecelakaan, peristiwa tentang deportasi terhadap
orang-orang asing, ektradisi, pesosalan nasional atau kewarga negaraan,
atau tindakan dan hak ekstra- teritorialitas dalam suatu negara, suatu
penafsrian atas peraturan suatu perjanjian yang kompleks.
3. Ketiga, hukum international juga bertujuan untuk melakukan penilaian
terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional, sebagai hasil dan
akibat dari peperangan atau konflik atau karena agresi militer, atau
ketidak mampuan suatu negara untuk mencegah timbulnya problem
apidemik, sebagai persoalan pelucutan senjata, terrosime intenasional
dan pelanggaran dalam praktek konflik militer konvesnsinal dan konflik
militer non-internasional.
Melihat fungsi hukum internasional dikaitkan dengan teori
kebijakan (policy) dan kepentingan, maka ada dua aspek yang penting
dalam melihat maksud dan tujuan dengan menggunakan istilah kebijakan
dalam hukum internasional.
1. Pertama, hukum internasional berkaitan dengan istilah kebijakan
(sebagai tujuan) yang harus dilihat dalam hukum itu sendiri. Setiap
kebijakan-kebijakan ditujukan secara umum pada perdamaian,
keamanan, kerjasama (peace, security and co-operation) atau pada
hal lebih spesifik lagi.
2. Kedua, maksud dan tujuan dari hukum internasional dapat dilihat
dari kebijakan, yang menekankan pentingnya komunitas
internasional (international community). Keberadaan kebijakan,
sebagai suatu hukum khusus dalam komunitas internasional,
terutama dalam situasi kekhususan yang memerlukan adanya
pengujian.

2.4 Hubungan Agama, Moralitas, dan Hukum

Seperti paparan di atas, moralitas suatu masyarakat dapat bersumber atau


berdasar pada nalar sosial, pikirat praktis untuk tidak menyakiti individu/pihak lain,
serta dengan logika atau akal sehat. Dengan kata lain, secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa tanpa agama pun manusia bisa berkembang menjadi makhluk-
makhluk moralis. Bahkan di era kontenporer ini tidak jarang muncul ungkapan-
ungkapan yang menyiratkan akan ketidakterhubungan agama dan moralitas.
Mereka yang berpendapat demikian mengacu pada penilaian moralitas didasaran
dari nalar sosial. Pandangan-pandangan dikotomik akan kedua konsep ini banyak
ditentang oleh mereka yang percaya bahwa kedua konsep tersebut saling
berhubungan satu sama lainnya. Berbeda dengan moral yang berhubungan dengan
diri manusia yang bersangkutan, hukum hanya terbatas pada tingkah laku lahiriah
saja. Pada dasarnya, kedua hal tersebut, baik lahiriah maupun batiniah menjadi
bahasan yang penting dalam agama. Dengan kata lain, ketiga konsep tersebut saling
berkesinambungan antara yang satu dengan yang lainnya.
BAB III
PENUTUP

Banyaknya pertanyaan akan eksistensi manusia dalam kehidupan menjadi


salah satu penyebab dari kemunculan agama dan sisten kepercayaan dalam
masyarakat. Para ahli berlomba-lomba untuk mendefinisikan konsep tersebut,
namun secara garis besar agama dapat diartikan sebagai suatu sistem atau
pandangan yang mengatur sistem kepercayaan manusia terhadap tuhannya, agama
juga berhubungan dengan tata kaidah budaya dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Agama juga memiliki unsur-
unsur tersendiri yang menjadikannya sebagai sebuah konsep yang utuh. Kajian
mengenai agama juga ikut dibahas dalam Ilmu Sosial, termasuk studi Hubungan
Internasional.
Kehadiran agama ini kerap dikaitkan dengan konsep moralitas di
masyarakat. Meskipun banyak dipertanyakan mengenai hubungan keduanya, tidak
dapat dipungkiri bahwa keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Moralitas
sendiri dapat didefinisikan sebagai kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, moralitas
mencakup pengertian tentang baik, buruknya perbuatan manusia. Sama seperti
agama, moralitas memiliki unsur-unsur penyusun di dalamnya yang membuat
konsep ini memiliki fungsi tersendiri dalam masyarakat. Kajian mengenai moralitas
juga dapat dilihat dari perspektif Hubungan Internasional.
Selain moralitas, agama dan kepercayaan juga sering dikaitkan dengan
hukum. Seacara garis besar hukum sendiri dapat diartikan sebagai kumpulan dari
sebuah peraturan yang mengatur tingkah laku manusia di dalam lingkungan
masyarakat dan terdapat sanksi yang bermacam-macam bagi para pelanggarnya.
Tidak jarang antara agama dan hukum negara saling bertentangan satu sama
lainnya, hal ini juga tidak jarang dirasakan di Indonesia sebagai negara yang
memiliki jutaan kepala dengan berbagai macam latar belakang agama di dalamnya.
Tidak dapat dielakkan juga bahwa terdapat kesulitan tersendiri untuk menghadirkan
sistem hukum yang tidak bias, terlebih lagi dengan kondisi masyarakat yang
heterogen seperti Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T., & Leeden, A. v. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologi


Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Alisjahbana, S. T. (1992). Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan
Masa depan Umat Manusia. Jakarta: Dian Rakyat.
Arrasjid, C. (2000). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Asikin, Z. (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Bainbridge, W. S. (2012). The Warcraft Civilization: Social Science in Virtual
World. The MIT Press.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Friedman, L. M. (1977). Law and Society an Introduction. New Jersey: Prentice
Hall.
Gazaba, S. (1975). Asas Agama Islam: pembahasan ilmu dan filsafat tentang rukun
islam, ihsan, ikhlas, dan taqwa. Jakarta: Bulan Bintang.
Jackson, R., & Sorensen, G. (2013). Introduction to International Relations. New
York: Oxford University Press.
Kansil. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kant, I. (2017). Critique of Pure Reason. (S. Abdullah, Trans.) Yogyakarta:
Indoliterasi.
Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koskenniemi, M. (2003). What is International Law For? (M. D. Evans, Ed.)
International Law, 89-114.
Mertokusumo, S. (1999). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Muhwan, W. (2012). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Poespoprodjo, W. (1999). Filsafat Moral. Bandung: Pustaka Grafika.
Purbacaraka, P., & Soekanto, S. (1982). Perihal Kaedah Hukum. Bandung: Alumni.
Rahardjo, S. (1991). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, S. (n.d.). Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Salim. (2009). Perkembangan dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Shouler, K. (2010). The Everything World’s Religion Book: Explore the beliefs,
traditions, and cultures of ancient and modern religions. Massachusetts:
Adams Media Corpotations.
Soejono. (1996). Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Soekanto, S. (1982). Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers.
Soekanto, S. (1995). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Soemitro, R. H. (1985). Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Soeroso. (1992). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Solomon, R. C. (1987). Ethics: A Brief Introduction. (A. Karo-Karo, Trans.)
Jakarta: Erlangga.
Starke, J. (1989). Introduction to International Law (10th ed.). London: Butterwoth.
Sumaryono. (1995). Etika Profesi Hukum: Norma-Norma bagi Penegak Hukum.
Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, F. M. (1997). 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad Ke-19.
Yogyakarta: Kanisius.
Syahrani, R. (1991). Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Kartini.
Syarifin, P. (1998). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Tadjab. (1994). Perbandingan Pendidikan. Surabaya: Karya Abditama.
Taneko, S. B. (1993). Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Utrecht, E., & Saleh, M. (1997). Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Wignjodipuro, S. (1982). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai