Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung (Congestive Heart Failure)

1. Definisi

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang kompleks terjadi akibat

kerusakan strukur atau fungsi jantung sehingga kemampuan pengisian dan

pemompaan ventrikel manjadi terganggu. Prinsip penatalaksanaan gagal jantung

meliputi mengurangi beban tekanan, mengurangi kontraktilitas dan mengurangi

beban volume. Tujuan pengendalian volume tubuh adalah tercapainya

keseimbangan komposisi cairan tubuh pada keadaan homeostasis. Pengendalian

cairan tubuh dapat dilakukan dengan penimbangan berat badan yang rutin,

penilaian status volume cairan tubuh, pembatasan asupan air dan natrium, dan

pemberian diuretic.

Gejala klinis kompleks yang sering, ditandai dengan kelainan struktural

atau disfungsi jantung yang merusak kemampuan ventrikel kiri (LV) untuk

mengisi atau memompa darah, terutama saat aktifitas fisik (NHFA , 2011).

Perawatan gagal jantung terjadi pada beberapa keadaan, dengan berbagai

terapi dan umumnya melibatkan pasien (Milfred-Laforest et al., 2013).


.

2. Patofisiologi

7
8

Gambar 1. Patofisiologi CHF

CHF berawal dari disfungsi jantung kiri yang disebabkan beban

tekanan berlebihan sehingga kebutuhan metabolik meningkat. Peningkatan

kebutuhan metabolik menyebabkan volume overload yang abnormal pada

jantung, cardiac output menurun sehingga menyebabkan beban pada atrium

karena tekanan meningkat. Hal ini menyebabkan hambatan vena pulmonari yang

kemudian membuat bendungan pada paru-paru dan mengakibatkan edema paru.

Beban ventrikel kanan (V.Ka) bertambah menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan

(V.Ka) sehingga mengakibatkan gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dan

kiri ini disebut dengan CHF. Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan

beberapa kompleks mekanisme kompensasi dalam upaya untuk mempertahankan

Cardiac output dan oksigenasi organ vital. Hal ini termasuk peningkatan simpatik,
9

aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), natrium dan retensi air

dan neurohormonal adaptasi, yang menyebabkan jantung remodeling (dilatasi

ventrikular, hipertrofi jantung dan perubahan bentuk lumen ventrikel kiri (Dipiro,

2015).

CHF/ Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan

satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung

sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme

tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan

hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi

jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan

tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap

jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk

meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah

perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari

mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh

ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.

Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump

function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa

keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai

pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula

terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda

gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat

CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan

sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang


10

kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan

darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan

curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan

volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme

kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu

akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan

meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini

tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi

dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal

jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi

sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume

ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum

Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner)

selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu kekakuan

ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung

kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural,

dan disritmia ventrikel refrakter.Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner

sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang

akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan

sistem konduksi kelistrikan jantung.Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan

penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung

mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun.

WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan

fungsi mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan


11

seperti emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah

disebutkan diatas.

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan

kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah

jantung normal. Konsep curah jantung Cardiac output paling baik dijelaskan

dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi

jantung X volume sekuncup. ( Stroke Volume)

Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan

mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila

mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai,

maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk

mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama

kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan

curah jantung normal masih dapat dipertahankan.

Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi

tergantung pada tiga faktor yaitu:

1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi

jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh

panjangnya

regangan serabut jantung.

2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada

tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan

kadar kalsium.

3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk


12

memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan

arteriole.

3. Etiologi

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,

disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari

penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner,

hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran

darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan

asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya

mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit

miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena

kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan

kontraktilitas menu

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya

mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara

langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun


13

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang

sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme

biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung

(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah

(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),

peningkatan mendadak afterload.

6) Faktor sistemik

Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam

perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju

metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan

curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan

anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis

respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan

kontraktilitas jantung.

Menurut Alldredge et al,. (2013), penyebab CHF/gagal jantung

terdiri atas :

1. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomipati) dapat disebabkan

Iskemik koroner, Infark miokard, regurgitasi, konsumsi alkohol,

kekurangan gizi, deplesi kalsium dan kalium, induksi obat, idiopatik. Juga

dapat disebabkan hipertensi, stenosis aorta dan volume overload.

2. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark miokard,

hipertensi, stenosis aorta dan regurgitasi, perikarditis, pembesaran septum

ventrikel kiri.
14

3. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid.

4. Faktor Resiko

Di Indonesia prevalensi penyakit jantung dari tahun ke tahun terus

meningkat. Merokok, obesitas, kadar kolesterol, tekanan darah tinggi, kurang

aktifitas, diabetes melitus dan stress merupakan faktor resiko utama CHF/

gagal jantung. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa reaksi

peradangan (inflamasi) dari penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi

faktor

5. Klasifikasi

American College of Cardiology Foundation/ American Heart

Association (ACCF/AHA) dan NewYork Association (NYHA) memberikan

informasi tentang klasifikasi atau tingkatan dari gagal jantung. ACCF / AHA

menekankan pada perkembangan penyakit seorang pasien gagal jantung yang

digunakan untuk menggambarkan individu dan populasi, sedangkan NYHA

menekankan pada gejala fungsional penyakit gagal jantung.

Klasifikasi gagal jantung menurut Klasifikasi fungsional NYHA. Tingkatan

gagal jantung berdasarkan struktur berdasarkan gejala dan aktifitas fisik

dan kerusakan otot Jantung


A Memiliki resiko tinggi untuk I Tidak terdapat batasan dalam

berkembang menjadi gagal melakukan aktifitas fisik. Aktifitas

jantung. Tidak terdapat fisik sehari-hari tidak menimbulkan


15

gangguan struktural atau kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

fungsional jantung, tidak

terdapat tanda atau gejala


B Telah terbentuk penyakit II Terdapat batasan aktifitas ringan.

struktur jantung yang Tidak terdapat keluhan saat istirahat,

berhubungan dengan namun aktifitas fisik sehari-hari

perkembangan gagal jantung, menimbulkan kelelahan, palpitasi

tidak terdapat tanda atau atau sesak nafas.

gejala
C Gagal jantung yang III Terdapat batasan aktifitas bermakna.

simptomatik berhubungan Tidak terdapat keluhan saat istirahat,

dengan penyakit struktural tetapi aktifitas fisik ringan

jantung yang mendasari menyebabkan kelelahan, palpitasi

atau sesak
D Gagal jantung refrakter IV Tidak dapat melakukan aktifitas fisik

yang membutuhkan intervensi tanpa keluhan. Terdapat gejala saat

khusus istirahat. Keluhan meningkat saat

melakukan aktifitas

Tabel 2. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung ACCF/AHA dan


Klasifikasi Fungsional NYHA

6. Manifestasi Klinis Chf/Gagal Jantung

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,

beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang

terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan

penampilan jantung.
16

Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal

dyspnea.

2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual,

muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.

3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk

sampai delirium.

7. KOMPLIKASI CHF/ GAGAL JANTUNG

1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam

atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik

tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian

warfarin.

2)Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa

menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan

denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).

3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan

dosis ditinggikan.

4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden

cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil

diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin

turut mempunyai peranan.

8. Gejala Gagal Jantung (CHF)

Menurut NHFA (2011) gejala yang dapat terjadi pada pasien


17

dengan

CHF sebagai berikut :

a. Sesak nafas saat beraktifitas muncul pada sebagian besar pasien, awalnya sesak

dengan aktifitas berat, tetapi kemudian berkembang pada tingkat berjalan dan

akhirnya saat istirahat.

b. Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk tidur.

Hal ini menunjukkan bahwa gejala lebih cenderung disebabkan oleh CHF/

gagal jantung tetapi terjadi pada tahap berikutnya.

a. Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) juga menunjukkan bahwa gejala lebih

cenderung disebabkan oleh CHF/ gagal jangtung, tetapi sebagian besar pasien

dengan CHF/ gagal jantung tidak memiliki PND.

b.Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari. Pasien

mendapatkan kesalahan terapi untuk asma, bronkitis atau batuk yang

diinduksi ACEi.

c. Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat, tetapi umum pada kondisi

yang lain.

d. Pusing atau palpitasi dapat menginduksi aritmia.

9. Diagnosis

Menurut Dipiro (2013) diagnosis CHF/ gagal jantung sebagai berikut :

Pertimbangkan diagnosis HF pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas.

Sebuah riwayat dan pemeriksaan fisik dengan pengujian laboratorium yang sesuai

adalah penting dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan HF.

Tes laboratorium untuk mengidentifikasi gangguan yang dapat


18

menyebabkan atau memperburuk gagal jantung termasuk menghitung sel darah

lengkap, elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), ginjal, hati, dan tes

fungsi tiroid, urinalisis, profil lipid, dan A1C. B-type natriuretic peptide (BNP)

umumnya akan lebih besar dari 100 pg / mL.

Hipertrofi ventrikel dapat ditunjukkan pada rontgen dada atau

elektrokardiogram (EKG). Rontgen dada juga bisa menunjukkan efusi pleura

atau edema paru. Echocardiogram dapat mengidentifikasi kelainan perikardium,

miokardium, atau katup jantung dan mengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri

(LEVF) untuk menentukan apakah terdapat disfungsi sistolik dan diastolik.

10. Tatalaksana Terapi Chf/ Gagal Jantung

Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:

1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.

2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan Bahan bahan

farmakologis.

3)Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet

dan istirahat
19

A. Algoritma Terapi Gambar2.Pengelolaan gagal jantung


20

Intervensi terapetik dalam setiap tahap ditujukan untuk memodifikasi faktor

resiko (stage A), mengobati struktural penyakit jantung (stage B), dan

mengurangi morbiditas dan mortalitas (stage C dan D).

Pasien gagal jantung stage A belum mengalami kerusakan jantung atau

gejala gagal jantung, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantng. Pasien yang

memiliki riwayat keluarga tekanan darah tinggi (hipertensi), diabetes, atau

masalah jantung harus memperhatikan kesehatan jantung. Pasien yang memiliki

faktor resiko tersebut, perlu mengontrol tekanan darah, mengontrol kadar gula

darah, diet tinggi lemak, membatasi rokok dan alkohol.

Pasien gagal jantung stage B telah mengalami kerusakan struktural jantung

namun belum menunjukkan gejala penyakit gagal jantung. Pada stage ini terapi

yang diberikan adalah Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dan akan dilakukan pemantauan ketat

tekanan darah.

Pasien gagal jantung stage C mengalami gejala seperti disfungsi jantung.

Kelelahan saat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan atau membungkuk.

Sesak nafas dan kelelahan akan terjadi saat beraktifitas. Pada stage ini, diet

rendah natrium, menghentikan rokok dan alkohol merupakan bagian dari terapi.

Pasien gagal jantung stage D, membutuhkan intervensi khusus. Gejala

muncul saat istirahat dan sulit disembuhkan meskipun dengan terapi maksimal.

Mempertimbangkan terapi khusus, termasuk seperti terapi continous IV inotropik


21

positif, transplantasi jantung, atau perawatan rumah sakit (Dipiro, 2015).

B. Terapi non farmakologi

Menurut National Heart Foundation of Australia (NHFA )2011, terapi non-

farmakologi gagal jantung sebagai berikut :

1. Aktifitas fisik

Aktivitas fisik secara teratur sekarang sangat disarankan untuk pasien dengan

CHF. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan kapasitas individu seperti berjalan,

bersepeda, angkat besi ringan dan latihan peregagan. Pasien dapat berjalan dirumah

selama 10-30 menit perhari, 5-7 hari perminggu.

2. Nutrisi

Pasien yang kelebihan berat badan meningkatkan kerja jantung baik selama

aktifitas fisik dan kehidupan sehari-hari. Penurunan berat badan dapat meningkatkan

toleransi aktifitas fisik dan kualitas hidup, dianjurkan pada pasien yang melebihi

kisaran berat badan normal.

Asupan lemak jenuh harus dibatasi pada semua pasien, terutama yang menderita

jantung koroner. Diet tinggi serat dianjurkan untuk menghindari mengejan yang dapat

menimbulkan angina, sesak atau aritmia.

Pasien gagal jantung dengan gejala ringan dianjurkan mengurangi asupan

garam sampai 3 gram perhari untuk mengontrol volume cairan ekstraseluler. Pasien

dengan gejala sedang sampai berat dianjurkan membatasi asupan garam 2 gram

perhari. Pasien yang menderita gagal jantung akibat alkohol harus menghindari

alkohol untuk memperlambat perkembangan penyakit dan meningkatkan fungsi


22

ventrikel kiri (LV). Asupan alkohol tidak melebihi 10-20 gram sehari. Pasien dengan

gejala ringan sampai sedang, asupan alkohol dapat meningkatkan prognosis.

C. Terapi Farmakologi

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II

dan mengerahkan efek biologis yang meningkatkan gejala, mengurangi rawat

inap, dan memperpanjang kelangsungan hidup. ACE inhibitor

direkomendasikan untuk semua pasien dengan gagal jantung dengan penurunan

fungsi sistolik. Efek samping utama ACE inhibitor adalah batuk (hingga

20%), gejala hipotensi dan disfungsi ginjal .

2. Diuretik

Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan penyumbatan

(paru dan edema perifer) atau dilatasi jantung (Alldredge et al., 2013). Diuretik

merupakan satu-satunya obat yang digunakan pada terapi gagal jantung yang dapat

mengatasi retensi cairan gagal jantung. Penggunaan diuretik yang tepat merupakan

kunci keberhasilan obat lain yang digunakan pada gagal jantung. Penggunaan

diuretik dosis rendah yang tidak tepat mengakibatkan retensi cairan dan

penggunaan diuretik dosis tinggi menyebabkan kontraksi volume yang dapat

meningkatkan resiko hipotensi dan insufisiensi ginjal (Yancy et al, 2013).

Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium klorida pada

tempat tertentu di tubulus ginjal. Loop diuretik (bumetanid, furosemid dan

torsemid) bekerja di lengkung henle, sedangkan tiazid, metolazon, dan diuretik


23

hemat kalium bekerja pada tubulus distal. Loop diuretik paling banyak digunakan

pada pasien gagal jantung (Yancy et al, 2013).

3. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan mengeblok reseptor

angiotensin II subtipe I (AT1). ARB tidak merangsang munculnya bradikinin dan

tidak terkait efek samping batuk kering yang muncul pada ACE inhibitor.

Pengeblokan reseptor AT1 secara langsung memungkinkan stimulasi reseptor AT2,

menyebabkan vasodilatasi dan penghambatan remodeling ventrikel (Dipiro, 2015).

Angiotensin II reseptor antagonis atau ARB dapat memberikan morbiditas

dan mortalitas pada pasien gagal jantung yang menerima ACE inhibitor, namun

tidak dapat digunakan pada gagal jantung setelah infark miokard akut.

Hiperkalemia pada penggunaan ARB perlu dimonitoring seperti pada penggunaan

ACE inhibitor (NHFA, 2011).

4. Angiotensin Aldosteron

Antagonis aldosteron digolongkan sebagai diuretik hemat kalium, namun

antagonis aldosteron juga memiliki efek baik tersendiri dalam menjaga

keseimbangan Na+. Spironolacton dan eplerenon mengeblok reseptor

mineralokortikoid, tempat target aldosteron. Antagonis aldosteron mengahambat

reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium di ginjal.

Antagonis aldosteron harus digunakan dengan hati-hati, dilakukan

pemantauan ketat fungsi ginjal dan konsentasi potasium. Antagonis aldosteron


24

harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal, memburuknya fungsi ginjal,

pada kalium tinggi hingga normal atau riwayat hiperkalemia berat. Spironolakton

juga berinteraksi dengan androgen dan reseptor progesteron yang dapat

menyebabkan ginekomastia, impotensi dan ketidakteraturan menstruasi pada

beberapa pasien (Dipiro, 2015).

5. Beta Bloker

Beta bloker merupakan antagonis yang mengaktifkan sistem simpatis,

secara signifikan terbukti bermanfaat dalam jangka panjang pada gagal jantung

yang berat. Penambahan beta-bloker pada terapi konvensional dikaitkan dengan

dampak yang signifikan pada morbiditas dan mortalitas. Beta-bloker mengurangi

perkembangan CHF pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel jika diberikan

awal periode pasca infark miokard (NHFA, 2011). Beta-bloker dapat

memperlambat perkembangan penyakit, mengurangi rawat inap dan

mengurangi angka kematian pada pasien gagal jantung sistolik (Dipiro, 2015).

6. Digoksin

Digoksin melemahkan aktivasi sistem saraf simpatik yang berlebihan pada

pasien gagal jantung, mungkin dengan mengurangi aliran simpatis pusat dan

meningkatkan fungsi baroreseptor yang terganggu ( Dipiro, 2009).

Digoksin menginduksi diuresis pada pasien dengan HF yang Mengalami

retensi cairan. Mekanisme multiple digoksin :

a. vasodilatasi dan peningkatan CO dapat meningkatkan hemodinamik injal;

b. menghambat reabsorpsi tubular natrium, dari ginjal Na+ -K+-ATPase dan


25

c. meningkatkan sekresi atrial natriuretic peptide (Rahimtoola, 2004).

7. Nitrate dan Hidralazin

Nitrat, misalnya isosorbid dinitrat (ISDN) dan hidralazin melengkapi

tindakan hemodinamik. Nitrat terutama venodilator, menurunkan preload.

Hidralazin adalah vasodilator arteri langsung yang mengurangi resistensi vaskuler

sistemik (SVR) dan meningkatkan stroke volume dan cardiac output.

a. Drug Related Problems (DRPs)

DRP adalah istilah penting dalam pelayanan farmasi. Istilah lain

digunakan untuk konsep yang sama, seperti kesalahan pengobatan. Kesalahan merujuk

pada proses yang dapat menyebabkan masalah. DRP dapat berasal ketika meresepkan,

mengeluarkan, mengambil atau pemberian obat-obatan.

D. Intervensi keperawatan :

a. Manajemen aktivitas dan istirahat

Pasien perlu beristirahat baik secara fisik maupun emosional. Istirahat

dapat mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung dan

menurunkan tekanan darah. Istirahat juga dapat mengurangi kerja otot

pernapasan dan penggunaan oksigen. Keuntungan dari latihan fisik adalah :

1. Melatih tubuh sesuai dengan kapasitasnya dengan tidak menimbulkan efek

samping.

2. Membuktikan sistem kardiovaskuler bekerja dengan efisien.


26

3. Mempertahankan postur tubuh.

4. Membantu mengatur berat badan.

5. Membantu untuk hidup lebih baik dan menekan stres.

Setiap aktivitas latihan harus dilakukan secara bertahap dari aktivitas

ringan sampai berat dengan diikuti fase istirahat. Pasien sebaiknya melakukan

monitor terhadap respon tubuhnya terhadap aktivitas terutama yang berkaitan

dengan tanda dan gejala gagal jantung. Hal ini dikarenakan memberi

kesempatan oksigen untuk metabolisme di dalam tubuh.

Kegiatan aktivitas fisik harus sangat diperhatikan karena harus sesuai

dengan keadaan fungsional jantungnya. Pada gagal jantung yang berat (kelas

fungsional I), kegiatan fisiknya harus sangat dibatasi bahkan dilarang sama

sekali. Pada gagal jantung kelas fungsional II dan III

kegiatan fisik yang sangat ringan dan teratur dapat membantu

memperbaiki kondisi dan dilakukan dengan pengawasan tenaga medis. Efek

perbaikan dari aktivitas fisik berupa perbaikan sirkulasi darah perifer,

peningkatan kapasitas aerobik, memperlambat aktivitas metabolik, menurunkan

tonus simpatis dan meningkatkan tonus parasimpatis.

b. Manajemen stress

Pasien yang cemas dan stres tidak akan dapat beristirahat

dengan cukup. Stres emosional mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri


27

meningkat dan denyut jantung cepat. Berikan kenyamanan fisik dan

menghindari situasi yang menyebabkan kecemasan dan agitasi dapat membantu

pasien untuk rileks. Perawat memberikan kenyamanan secara fisik dan

psikologis, melibatkan keluarga dan berkomunikasi secara pelan, tenang,

percaya diri dan mempertahankan kontak mata. Pasien diajarkan cara

mengurangi dan mencegah cemas dengan teknik relaksasi, dan istirahat yang

cukup. Kecemasan yang terjadi pada kebanyakan pasien gagal jantung

dikarenakan mereka mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang

adekuat sehingga mereka cenderung sesak nafas dan gelisah.Pada pasien gagal

jantung kongestif, cemas dan perilaku koping yang kurang baik akan dapat

memperparah kondisi pasien seperti pasien akan gelisah yang berlebihan

sampai berteriak-teriak, sesak nafas, tekanan darah meningkat, denyut nadi

cepat dan tidak patuh dalam pengobatan sehingga penyakitnya tidak kunjung

sembuh. Selain itu pasien mengalami gangguan dalam istirahat, terkadang

terjadi halusinasi

c. Memperbaiki perfusi jaringan

Penurunan perfusi jaringan pada pasien gagal jantung adalah

sebagai akibat dari tingkat sirkulasi oksigen yang tidak adekuat dan stagnasi

darah di jaringan perifer. Lakukan latihan harian ringan sesuai yang dapat

ditoleransi pasien. Latihan ringan dapat memperbaiki aliran darah ke jaringan

perifer. Oksigenasi yang adekuat dan diuresis yang sesuai juga dapat
28

memperbaiki perfusi jaringan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Myers et. al (2009), dengan judul ’pengaruh latihan terhadap pemulihan laju

jantung pada pasien gagal jantung kronik’ disimpulkan bahwa latihan

menghasilkan pemulihan laju jantung (heart rate recovery) yang lebih cepat

pada pasien gagal jantung.

Olahraga atau latihan fisik telah terbukti bermanfaat bagi kesehatan,

termasuk dalam meningkatkan kerja berbagai fungsi organ tubuh, dan jantung

merupakan salah satu di antaranya. ''Dengan melakukan olahraga secara teratur

kita dapat mengontrol faktor risiko penyakit jantung,''.

Manfaat olahraga atau latihan fisik saat ini bisa didapat melalui

berbagai cara. Bahkan, mengungkapkan bahwa berkebun atau jalan santai

merupakan cara terbaik mengurangi risiko akibat kurang olahraga. Bahkan,

terapi yang wajib dijalani para pasien yang telah menjalani operasi jantung

adalah olahraga. Hal itu bisa dilihat dari aktivitas yang dilakukan pasien di

bagian rehabilitasi di rumah sakit. Kini, Bagi mereka-mereka yang sudah

pernah dinyatakan oleh dokter menderita gagal jantung kronik jangan ragu

untuk memulai latihan fisik berskala sedang misalnya bersepeda sedikitnya

30 menit dalam sehari untuk membantu memperbaiki kerusakan yang

telah terjadi.

d. Manajemen cairan

Pengawasan atau kontrol natrium dan retensi cairan dapat

meningkatkan kerja jantung. Pembatasan intake cairan pada gagal jantung


29

ringan sampai sedang tidak terlalu dipikirkan. Pada gagal jantung berat,

diperlukan pembatasan cairan sampai 1000 sampai 1500 ml/hari, karena

intake cairan yang berlebihan dapat menurunkan konsentrasi natrium pada

cairan tubuh sehingga dapat terjadi low salt syndrome (hiponatremia).

Pembatasan cairan juga bermanfaat dalam pengurangan gejala, karena pasien

dengan CHF/gagal jantung mengalami penurunan kemampuan untuk

mengeluarkan air dari dalam tubuh. Hiponatremia yang berat pada suatu

episode gagal jantung kongestif dapat menimbulkan kematian. Hiponatremia

sering terjadi pada pasien CHF/gagal jantung karena pengaruh kelebihan

hormon neuroendokrin. Aktivasi dari renin- angiotensin-aldosteron karena

perfusi ginjal menurun meningkatkan retensi natrium dan air.

e. Manajemen nutrisi

Tujuan manajemen nutrisi pada pasien gagal jantung adalah untuk

mengurangi natrium dan retensi cairan. Pembatasan natrium ditujukan untuk

mencegah, mengatur atau mengurangi edema.Banyak pasien dengan gagal

jantung hanya membatasi garam pada makanannya berkisar 3 gram sehari atau

1000 – 2000 miligram natrium. Garam itu tidak 100% mengandung natrium,

tetapi setiap 1 gram garam mengandung 393 mg natrium. Nutrisi pada gagal

jantung berkaitan dengan kadar kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada

penderita gagal jantung akan menyebabkan kerusakan dan pengerasan pada

pembuluh darah sehingga beban jantung yang sudah mengalami Pasien

dengan gagal jantung agar dapat belajar dan mengerti sehingga dapat mengatur

aktivitas dan istirahat sesuai respons individual. Tujuan penyuluhan pada pasien
30

gagal jantung adalah agar pasien dapat mengerti dan memahami bagaimana

upaya untuk memperlambat perkembangan penyakit dan perkembangan gagal

jantung. Jelaskan pada pasien untuk taat dengan diet rendah garam dan

pembatasan cairan, cara menghitung denyut nadi, menimbang berat badan,

aktivitas dan latihan secara bertahap serta perlunya istirahat secara adekuat.

Hal-hal lain yang perlu disampaikan kepada klien adalah minum obat secara

teratur dan sesuai resep dokter, melaporkan dengan segera apabila ada gejala

dan tanda kekambuhan gagal jantung dan kontrol kepada dokter secara teratur.

A. Tinjauan Umum Kekambuhan.

1. Defenisi kekambuhan

Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang

sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali

(Andri, 2009). Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stres dapat memicu

pada orang-orang yang mudah terkena depresi, dimana dapat ditemukan bahwa

orang-orang yang mengalami kekambuhan lebih besar kemungkinannya

daripada orang-orang yang tidak mengalami kejadian-kejadian buruk dalam

kehidupan mereka. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami

kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 70% pada tahun kedua (yosep,

2010). kekambuahn biasanya terjadi karena adanya kejadian-keadian buruk

sebelum mereka kambuh (Wiramihardja, 2009).

E. Kekambuhan Pasien Gagal Jantung


31

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit dan gagal jantung dapat

terkontrol, maka pasien diupayakan secara bertahap untuk kembali ke aktivitas

seperti sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup seharí-hari

harus direncanakan untuk meminimalkan timbulnya gejala yang diakibatkan

kelelahan, dan setiap aktivitas yang dapat menimbulkan gejala harus dihindari

atau dilakukan adaptasi. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan

hubungan interpersonal harus dilakukan. Pasien harus dibantu untuk

mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk

menyelesaikannya. Pasien datang ke klinik atau rumah sakit biasanya

diakibatkan adanya kekambuhan episode gagal jantung. Kebanyakan

kekambuhan gagal jantung dan dirawat kembali di rumah sakit terjadi karena

pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya karena

ketidakmampuan secara ekonomi. Pasien sering kembali melaksanakan terapi

pengobatan yang kurang tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi

tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan tidak dapat

mengenali gejala kekambuhan (Smeltzer dan Bare, 2012).

Menurut Dharma (2009), yang harus dilakukan untuk membantu

penyembuhan gagal jantung adalah menghindari makanan yang terlalu banyak

garam dan makanan-makanan bergaram lainnya seperti sayuran atau sup

kalengan, pizza dan keripik. Makanan-makanan tersebut dapat menyebabkan

retensi cairan dalam tubuh. Jagalah agar tekanan darah selalu terkontrol.

Tekanan darah tinggi memberikan beban berlebihan pada jantung dan lama
32

kelamaan berakibat pada lemahnya jantung.

Menurut Harmilah (2011) di dalam skripsinya disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara ketaatan berobat klien gagal jantung

kongestif dengan rawat inap ulang, yaitu sebanyak 5,88% responden tidak taat

berobat tidak taat berobat dan mengalami rawat inap ulang. Sedangkan

penelitian yang dilakukan Subroto (2012) dalam skripsinya disimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara faktor ketaatan diet, ketaatan berobat

dan intake cairan dengan rehospitalisasi klien dekompensasi kordis.

Menurut Philbin dan DiSalvo (2014), faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi pasien dirawat ulang di rumah sakit adalah :

1.Riwayat sebelum masuk rumah sakit dan lama dirawat di rumah sakit.

Semakin lama dirawat di rumah sakit menunjukkan tingkat keparahan atau

kompleksitas dari penyakit tersebut.

2. Hipertensi,

Hipertensi memberikan kontribusi dalam morbiditas pasien CHF, dengan

meningkatkan after load jantung. Hipertensi merupakan faktor risiko didalam

perkembangan gagal jantung, karena hipertensi menyebabkan perkembangan

hipertrofi ventrikel kiri dan perkembangan penyakit jantung koroner.Risiko

relatif gagal jantung pada pasien dengan hipertensi adalah 1,4 dibandingkan

dengan populasi umum. Hipertensi merupakan prediktor kelangsungan hidup

pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Kaplan dan Rose, 2009).

Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,


33

termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan

disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko

terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu

aritmia atrial maupun aritmia ventrikel (Mariyono dan Santoso, 2009).

3. Usia : semakin tua usia p asien CHF, maka diprediksi semakin tinggi

terhadap rawat ulangdi rumah sakit. Gagal jantung merupakan penyebab paling

banyak dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Peningkatan tersebut

berkaitan erat dengan semakin bertambahnya usia seseorang.

Menurut Rahman di dalam Farid (2016), orang dengan usia lanjut

mengalami perubahan anatomis, fisiologis dan patologi anatomis. Perubahan

anatomis yang dimaksud adalah terjadinya penebalan dinding ventrikel kiri,

meski tekanan darah relatif normal. Begitupun fibrosis dan kalsifikasi katup

jantung terutama pada anulus mitral dan katup aorta. Selain itu terdapat

pengurangan jumlah sel pada nodus sinoatrial (SA Node) yang menyebabkan

hantaran listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang

tersisa ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20

tahun lalu. Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral

dan perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta

kehilangan jaringan elastik. Meski seringkali terdapat aterosklerosis pada

manula, secara normal pembuluh darah akan mengalami penurunan debit

aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh, terdapat

pula perubahan arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di arteri koroner
34

kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan dan posterior di

atas usia 60 tahun.

Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya

usia adalah perubahan pada fungsi sistolik ventrikel. Sebagai pemompa utama

aliran darah sistemik, perubahan sistolik ventrikel akan sangat mempengaruhi

keadaan umum pasien. Parameter utama yang terlihat ialah detak jantung,

preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal

kardiovaskular. Oleh karenanya, orang-orang tua menjadi mudah deg-degan.

Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi

bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik

menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan

lemah jantung. Awalnya, efek ini diduga terjadi akibat efek blokade reseptor β-

adrenergik, namun setelah diberi β-agonis ternyata tidak memberikan perbaikan

efek. Di lain sisi, terjadi perubahan kerja diastolik terutama pada pengisian

awal diastolik lantaran otot-otot jantung sudah mengalami penurunan kerja.

Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk melakukan pengisian

diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium, sebagaimana sangat sering

dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan dengan diastolik, akibat

ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal, akan terjadi penurunan

komplians ventrikel ketika menerima darah yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan exercise. Hasilnya,

akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala
35

klinis utama pasien lansia. Secara umum, yang sering terjadi dan memberikan

efek nyata secara klinis ialah gangguan fungsi diastolik. Adapun perubahan

patologi anatomis pada penyakit jantung degeneratif umumnya berupa

degeneratif dan atrofi. Perubahan ini dapat mengenai semua lapisan jantung

terutama endokard, miokard, dan pembuluh darah. Umumnya perubahan

patologi anatomis merupakan perubahan mendasar yang menyebabkan

perubahan makroskopis, meskipun tidak berhubungan langsung dengan

fisiologis. Seperti halnya di organ-organ lain, akan terjadi akumulasi pigmen

lipofuksin di dalam sel-sel otot jantung sehingga otot berwarna coklat dan

disebut brown atrophy. Begitu juga terjadi degenerasi amiloid alias amiloidosis,

biasa disebut senile cardiac amiloidosis. Perubahan demikian yang cukup luas

dan akan dapat mengganggu faal pompa jantung. Terdapat pula kalsifikasi pada

tempat- tempat tertentu, terutama mengenai lapisan dalam jantung dan aorta.

Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah sentral dan

perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding pembuluh

darah besar dan degenerasi mukoid terutama mengenai daun katup jantung,

menyebabkan seringnya terjadi kelainan aliran jantung dan pembuluh darah.

Akibat perubahan anatomis pada otot-otot dan katup- katup jantung

menyebabkan pertambahan sel-sel jaringan ikat (fibrosis) menggantikan sel

yang mengalami degenerasi, terutama mengenai lapisan endokard termasuk

daun katup. Tidak heran, akibat berbagai perubahan- perubahan mikroskopis

seperti tersebut di atas, keseluruhan kerja jantung menjadi rusak.


36

4. Jenis Kelamin,

Menurut Grossman dan Brown (2009), pasien gagal jantung kongestif

dengan jenis kelamin laki-laki prevalensinya lebih besar daripada perempuan

pada usia 40-75 tahun.

Menurut Hsich (2009) yang dikutip dari Journal of the American

College of Cardiology, edisi 4 April 2009, bahwa faktor-faktor risiko dalam

perkembangan gagal jantung dan prognosis pasien memperlihatkan perbedaan

antara laki-laki dan perempuan. Hipertensi dan penyakit vaskula menjadi

penyebab utama gagal jantung pada wanita. Pada pria penyebab mendasarnya

adalah coronary artery disease (CAD). Wanita dengan gagal jantung,

cenderung memiliki kualitias hidup lebih rendah daripada pria, dalam hal ini

dikaitkan dengan aktivitas fisik. Begitu juga bila dilihat saat diagnosis dimana

nilai "normal" natriuretic peptide otak pada wanita lebih besar dibanding pria.

Dan nilai abnormal dengan BNP > 500 pg/ml bisa menjadi sebuah prediktor

kematian yang lebih kuat pada wanita gagal jantung dibanding pria. Natriuretic

peptide otak merupakan sebuah biomarker yang digunakan dengan frekuensi

lebih untuk mengindetifikasi pasien dengan gejala-gejala gagal jantung dan

menstratifikasi pasien dengan risiko tersebut.

5. Dukungan keluarga dan sosial,

Dukungan keluarga dan sosial dapat menurunkan kemungkinan

terjadinya rawat ulang pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Faktor-

faktor sosial juga telah terbukti penting sebagai prediktor morbiditas dan
37

mortalitas pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Pentingnya dukungan

sosial telah dikonfirmasi oleh sebuah studi baru-baru ini bahwa tidak adanya

dukungan emosional yang kuat, dapat meningkatkan mortalitas dan tingkat

kekambuhan dengan CHF/gagal jantung.

Menurut Niven (2012) bahwa dukungan keluarga dapat

membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan

dukungan emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan

pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-

aspek yang lebih positif. Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal

jantung kongestif yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan

pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdo’a sesuai dengan keyakinan

masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan

melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan

ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan

melakukan mekanisme koping yang adaptif.

6. Perawatan tindak lanjut di rumah.

Semakin minim perawatan tindak lanjut maka semakin tinggi

kemungkinan terjadinya kekambuhann

7. Kunjungan ke klinik secara rutin,

Kunjungan ke klinik secara rutin dapat meningkatkan kepatuhan pasien

CHF/gagal jantung, terutama dalam perawatan medis.Sedangkan menurut Peg


38

Bradke (2009), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekambuhan pada

pasien gagal jantung kongestif adalah kurangnya pendidikan kesehatan

tentang bagaimana perawatan diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang

tidak tepat, kurangnya komunikasi dari pemberi pelayanan kesehatan (care

giver), kurangnya perencanaan tindak lanjut saat pasien pulang dari rumah

sakit.

F. Kepatuhan Terhadap Program Terapi

Kepatuhan (compliance), juga dikenal sebagai ketaatan (adherence)

adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang

mengobatinya. Pada umumnya, sekitar sepertiga dari semua pasien patuh pada

pengobatan (Kaplan dan Sadock, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dari Bohachick, Burke, Sereika, Murali,

dan Jacob (2012), tentang kepatuhan terhadap terapi medis pada pasien gagal

jantung, terdapat 71% patuh dengan terapi medis, dan 19% kurang patuh

dengan terapi medis.

Hasil penelitian Wal et al (2016), kepatuhan responden terhadap terapi

medis terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan terapi medis, 50-60% patuh

dan sisanya kurang patuh. Menurut Wal et al (2016), ketidakpatuhan

meningkatkan mortalitas, morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Kepatuhan

adalah tanggung jawab pasien sendiri untuk mengikuti program terapi medis.

Kepatuhan adalah fenomena multidimensi yang saling berinteraksi, saling


39

berhubungan dan saling mempengaruhi diantara beberapa faktor. Faktor-faktor

tersebut adalah faktor pasien, kondisi atau keadaan, terapi, pelayanan

kesehatan dan sosial ekonomi. Dari faktor-faktor tersebut, faktor pasien adalah

yang paling besar pengaruhnya.

Filosofi yang mendasari kepatuhan adalah penyakit itu dapat

dikendalikan (dikontrol) jika pasien mematuhi tindakan atau terapi yang telah

ditentukan. Komponen penting untuk mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi

dan mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien gagal jantung kongestif

adalah pendidikan pasien, kolaborasi dengan tim pelayanan kesehatan dan

dukungan psikososial. ekonomi dan pendidikan.

Menurut Smeltzer dan Bare (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kepatuhan pasien dalam mengikuti program terapi adalah:

1. Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio

2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit.

3. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping

yang tidak menyenangkan.

4. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,

penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau

budaya dan biaya/finansial.

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2013), faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap program terapi adalah :

1. Pengetahuan,
40

Pengetahuan (knowladge), merupakan hasil dari tahu, dan terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk

tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

2. Tingkat ekonomi,

Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan

dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang

kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak

mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi.

Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan

digunakan oleh klien.

3. Sikap,

Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup

dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu merupakan kesiapan atau

kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

4. Usia,

Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan,

masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita yang dalam usia produktif

merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan

hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga.


41

5. Dukungan keluarga,

Didalam melaksanakan program terapi, klien tidak bisa melakukannya

sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi selama pelaksanaan program

terapi. Dalam hal pengaturan diet, pembatasan cairan, obat- obatan, dan

pengecekan laboratorium juga memerlukan keluarga untuk mencapai target.

6. Jarak dari pusat pelayanan,

Mereka yang tinggal di daerah yang belum ada fasilitas pelayanan

kesehatan tentu saja akan lebih sulit dan memerlukan biaya lebih besar untuk

mencapai lokasi.

7. Nilai dan keyakinan,

Nilai-nilai dan keyakinan individu dalam mengambil suatu keputusan,

dalam hal ini untuk mendapatkan kesehatan yang optimal merupakan

keyakinan dasar yang digunakan oleh individu untuk memotivasi dirinya

selama menjalani terapi. Individuyang pada awalnya sudah memiliki cara

pandang yang negatif, tidak memiliki keyakinan untuk hidup lebih baik

cenderung tidak menjalani terapi dengan sungguh- sungguh, bahkan sering

absen atau tidak mau datang lagi untuk menjalani terapi.

Anda mungkin juga menyukai