Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA Januari 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

Persiapan Pre Operatif Selama Pandemi Covid-19

Disusun Oleh:

Nurfadila
(N 111 18 063)

Pembimbing :
dr. Muh. Ikhlas, M.Kes., Sp.B., FICS

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU

2021
BAB I
PENDAHULUAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-
2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Pada 31 Desember 2019, WHO China
Country Office di Kota Wuhan melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui
penyebabnya. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian
mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru
yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2. Sejak dilaporkan, Penambahan jumlah
kasus COVID-19 berlangsung dengan cepat dan penyebaran telah meluas ke
negara-negara lain di seluruh dunia. Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO
menetapkan COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang
Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International Concern
(KKMMD/PHEIC).(1)

Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret


2020 atau sekitar 4 bulan setelah kasus pertama di Cina. Kasus pertama di
Indonesia pada bulan Maret 2020 sebanyak 2 kasus dan setelahnya pada tanggal 6
Maret ditemukan kembali 2 kasus. Kasus COVID-19 hingga kini terus bertambah.
Saat awal penambahan kasus sebanyak ratusan dan hingga kini penambahan kasus
menjadi ribuan. Pada tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196
kasus, meninggal 22.138 kasus, dan sembuh 611.097. Provinsi dengan kasus
COVID-19 terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kasus
paling banyak terjadi pada rentang usia 45 - 54 tahun dan paling sedikit terjadi
pada usia 0 - 5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan
usia 55 - 64 tahun. Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa dokter yang
dilaporkan terinfeksi.(1,2)
Rasio kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia termasuk
tertinggi dibandinghkan di negara lain. 1,36 % kematian tenaga kesehatan
Indonesia karena COVID-19 (101 orang) dibanding dengan total kematian
terkonfirmasi COVID-19 per 31 Agustus 2020 (7417 orang). Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan “MEDICAL SAFETY AND
PROTECTION” bagi tenaga medis (dalam hal ini dokter anggota IDI) agar tetap
dapat melakukan pelayanan kesehatan tetapi terlindungi dan terjamin
keselamatannya sebagai upaya untuk meminimalisir risiko tertular virus COVID-
19 ini.(1)

Pembedahan yang menjadi salah satu layanan dari sistem kesehatan


dengan prosedur “emergency” dan “elektive” menjadi aspek penting yang harus
diperhatikan. Kamar operasi juga dapat menjadi area berisiko tinggi untuk
transmisi infeksi saluran pernapasan. Selain itu, pasien asymtomatic carier yang
akan dilakukan pembedahan dapat berpotensi menularkan virus selama masa
inkubasi. Suatu penelitian retrospektif di China yang meneliti 34 pasien
asimtomatik berusia 34-83 tahun yang dilakukan operasi elektif di awal pandemi,
menjadi bergejala COVID-19 pasca operasi dan terkonfirmasi positif setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorim kuantiantatif RT-PCR. Sebanyak 44,1%
pasien membutuhkan perawatan ICU paska operasi dengan mortalitas sebesar
20,5% karena ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Gejala COVID-19
berkembang sangat cepat (rata-rata hari ke- 2-6) paska operasi. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa pembedahan mungkin dapat mempercepat dan memperparah
progresivitas penyakit ini.(3)

Pasien dengan penyakit COVID-19 dengan atau tanpa gejala, bisa jadi
datang ke tempat pelayanan ahli bedah, baik di IGD dalam kasus gawat darurat,
poliklinik rawat jalan, ruang perawatan, atau di kamar operasi. Banyak prosedur
pemeriksaan untuk diagnostik, maupun tindakan yang dilakukan seorang ahli
bedah, yang bersifat kontak langsung atau berhubungan dengan jarak dekat
dengan pasien. Hal ini menyebabkan seorang dokter spesialis bedah menjadi
tenaga medis yang mempunyai risiko tinggi tertular COVID-19.(4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Covid-19


SARS-CoV-2 adalah virus RNA enveloped yang berdiameter 50-200
nm. Meskipun secara genetik 85% mirip dengan SARS-CoV, yang
merupakan penyebab epidemi SARS pada tahun 2003, SARS-CoV-2 adalah
corona virus dengan jenis yang berbeda. Pada Tabel 1 dapat disebutkan
penyakit ini diberi nama Coronavirus disease 2019 (COVID-19),
penyebabnya oleh SARS-CoV-2 yang berasal dari kelelawar. Dimana rute
transmisi utama melalui droplet dan kontak aerosol, secara menyeluruh
berpotensi transmisi secara faecal oral. Periode inkubasi ini adalah 14 hari
dan memiliki case fatality rate (CFR) sebesar 0,25-3%.(5)

Tabel 1. Covid-19(5)
2.2 Patofisiologi Penularan Covid-19
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan
14 hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh
di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret
yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai
dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14
hari setelah onset gejala. Sebuah studi melaporkan bahwa 12,6%
menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode
presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau
kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat
kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko
penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk
terjadi penularan.(1)
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan
bahwa COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala
(simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet
merupakan partikel berisi air dengan diameter >5 - 10 μm. Penularan droplet
terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan
seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin)
sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan
permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh
karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan
atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop
atau termometer). Transmisi melalui udara dapat terjadi dalam keadaan
khusus misalnya prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol
seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian
pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien
ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif
non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Meskipun demikian,
transmisi melalui udara masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.(1)

2.3 Definisi Kasus dan Derajat Penyakit Covid-19


A. Definisi Kasus Covid-19
Definisi operasional pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional
kasus COVID-19 yaitu kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi,
kontak erat.(2)
1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut: (2)
a. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah
satu kriteria epidemiologis:
Kriteria Klinis:
 Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam* dan batuk; ATAU
 Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut:
demam/riwayat demam*, batuk, kelelahan (fatigue), sakit
kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/ pilek/ hidung
tersumbat*, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah*, diare,
penurunan kesadaran(2)
DAN
Kriteria Epidemiologis:
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi
penularan**; ATAU
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat tinggal atau bepergian di negara/wilayah Indonesia
yang melaporkan transmisi lokal***; ATAU
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan
medis, dan non-medis, serta petugas yang melaksanakan
kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
b. Seseorang dengan ISPA Berat****,
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria
epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif****
2. Kasus Probable
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut: (2)
a. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki riwayat
kontak erat dengan kasus probable; ATAU terkonfirmasi; ATAU
berkaitan dengan cluster COVID-19*****
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah
COVID-19******
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan
indra penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra
perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN
memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable atau
terkonfirmasi, atau berkaitan dengan cluster COVID-19*****
3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 dengan
kriteria sebagai berikut: (2)
a. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
b. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN
memenuhi kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek
(kriteria A atau B)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen
SARS-CoV-2 positif DAN Memiliki riwayat kontak erat dengan
kasus probable ATAU terkonfirmasi.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2: (2)
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau
konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain: (2)
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit
atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi
(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus
probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai
standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan
epidemiologi setempat. (2)
B. Derajat Penyakit Covid-19
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa
gejala, ringan, sedang, berat dan kritis. (2)
1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala. (2)
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa
hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue,
anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti
sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan
muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang
muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan.
Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan,
delirium, dan tidak ada demam. (2)
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda
pneumonia berat termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU
Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk
atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan
tidak ada tanda pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit ; usia 1–5 tahun,
≥40x/menit ; usia >5 tahun, ≥30x/menit. (2)
4. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari:
frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 <
93% pada udara ruangan. (2)
ATAU
Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau
kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2<93% ;
 distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan
dinding dada yang sangat berat);
 tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun,
≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit. (2)
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan syok sepsis. (2)

2.4 Persiapan Pre Operatif Covid-19


Menyikapi masa pandemi ini, beberapa asosiasi Bedah dunia
menyepakati guideline untuk pembedahan yang dapat diterapkan di tiap
negara. Adapun yang menjadi inti dari guideline ini adalah:(3)
1. Pasien akut merupakan prioritas utama. Kemungkinan COVID-19 harus
disingkirkan dengan anamnesis riwayat, tes COVID-19, CT toraks (dalam
24 jam terakhir) atau minimal foto toraks.
Pada pemeriksaan foto toraks kelaianan yang paling sering ditemukan
adalah airspace opacities berupa konsolidasi dan ground-glass opacity
(GGO). Sebagian besar menunjukkan distribusi bilateral, perifer, dan
lebih banyak di bagian bawah sedangkan gambaran parenkim abnormal
dan efusi pleura jarang ditemukan (Gambar 1 dan 2).(6)

Gambar 1. Gambaran ground-glass opacity (panah putih) dan


linear opacity (panah hitam) (6)

Gambar 2. Gambaran konsolidasi (garis panah) dengan


COVID-19 gejala berat(6)

Contoh foto torax pasien suspek Covid-19 sebagai berikut : (6)


Gambar 3. Gambaran foto toraks pada pasien COVID-19(6)

Pada gambar diatas terlihat foto toraks pasien pada tahap awal penyakit
secara keseluruhan adalah normal dan ada sedikit gambaran konsolidasi
yang samar di lobus bawah (gambar 3.a). Lalu pada tahap akhir penyakit
menunjukkan gambaran ARDS seperti pan-lobar pattern, konsolidasi
multipel, gangguan struktur paru yang membutuhkan alat bantu
endotrakeal (gambar 3.b). (6)

Gambar 4. Gambaran foto toraks laki-laki 50 tahun dengan COVID-19(6)

Pada Gambar diatas tidak ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan foto


toraks, namun dua hari kemudian ditemukan bayangan patch lokal di paru
kiri (Gambar 4 a dan b). (6)
2. Semua pasien yang direncanakan untuk operasi elektif harus dievaluasi
COVID-19 dan mendapat persetujuan untuk risiko operasi yang lebih
besar. Pertimbangkan stoma dibandingkan anastomosis untuk
mengurangi perawatan kritis paska operasi.
3. Penggunaan APD lengkap untuk laparotomi.
4. Laparoskopi sebaiknya tidak dikerjakan karena berisiko pembentukan
aerosol dan infeksi. Pertimbangkan laparoskopi hanya pada kasus
individu tertentu dimana keuntungan klinis kepada pasien lebih besar dari
risiko transmisi virus.
5. Dalam ruang operasi hendaknya jumlah staf dibatasi dan menggunakan
APD lengkap. Evakuasi asap diatermi / sumber energi lain.
6. Situasi risiko pembedahan termasuk penggunaan pelindung mata pada
pasien batuk ataupun pemasangan NGT sebagai salah satu prosedur yang
berisiko. Hanya endoskopi emergensi yang dapat dilakukan. Prosedur
Upper Gastrointestinal memiliki risiko tinggi aerosolisasi dan wajib
menggunakan APD lengkap. (3)

Persiapan pre-operatif bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dan


prosedur yang beresiko tinggi, serta mengoptimalkan kondisi pasien jika
diperlukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama persiapan pre-operatif
adalah sebagai berikut :(5)
1. Identifikasi pasien suspek
Semua pasien yang memenuhi syarat untuk intervensi bedah harus
diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok sesuai dengan kemungkinan
memiliki infeksi 2019-nCoV (yaitu, orang yang tidak terinfeksi, pembawa
asimtomatik / carrier, dan pasien bergejala). Harus ada riwayat pra-
penerimaan mengenai kondisi umum pasien, adanya pernapasan aktif atau
baru-baru ini gejala gastrointestinal, anosmia, riwayat perjalanan terakhir
ke negara endemik dalam 14 hari terakhir, atau riwayat kontak dengan
orang yang berisiko mengalami infeksi oleh nCov-2019 harus dievaluasi
dengan benar.(7)
Meskipun kasus yang suspek (suspected) dan terkonfirmasi
(confirmed) secara ideal harus diidentifikasi sebelum penilaian anestesi,
ahli anestesi harus tetap mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi,
terutama dalam kondisi klinik (Tabel 2). Jika pasien dianggap beresiko
tinggi, maka dibutuhkan diskusi dengan ahli bedah tentang urgensi
operasi, dan tunda jika memungkinkan. Tim pengendalian infeksi perlu
dilibatkan sejak dini pada kasus suspek. Rapid test perlu dipertimbangkan
untuk mengonfirmasi diagnosis untuk memandu tindakan pengendalian
infeksi jika waktu memungkinkan. Jika diagnosis telah ditetapkan,
langkah selanjutnya adalah berkoordinasi dengan tim pengendalian
infeksi untuk tujuan isolasi.(5)

Tabel 2. Parameter Klinik Covid-19(5)


Salah satu contoh rekomendasi, jika operasi urgent / emergensi
dengan gejala klinis pneumonia yang jelas atau rapid test (+), pasien
diperlakukan PDP dengan penggunaan APD level 3. Namun pasien jika
tanpa gejala pneumonia yang jelas dan rapid test (-), operasi dijalankan
dengan APD level 2 dan anestesi regional jika memungkinkan. APD level
2 terdiri atas APD level 1 (baju khusus kerja, masker bedah 3 ply, gloves,
head cap) ditambah dengan masker N95, pelindung mata, surgical cap,
dan gown. APD level 3 yakni APD level 2 ditambah face shields, apron,
gown coverall,double/triple gloves, dan boots. Berkaca dari penelitian
retrospektif di Wuhan, mungkin dapat dipertimbangkan untuk
mengisolasi pasien selama 14 hari sebelum operasi elektif dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan COVID-19.(1)
2. Identifikasi prosedur risiko tinggi
Perlu dilakukan identifikasi prosedur di ruang operasi yang beresiko
tinggi terhadap tindakan pemicu aerosol yang memerlukan tindakan
pencegahan airbone. Prosedur bedah yang dapat menyebabkan pemicu
aerosol termasuk bronkoskopi rigid, trakeostomi dan operasi yang
melibatkan drilling kecepatan tinggi. Terlepas dari intubasi dan ekstubasi,
prosedur anestesi yang dapat menyebabkan generasi aerosol termasuk
Non Invasive Ventilator NIV, ventilasi manual dan intubasi sadar fibre-
optic. (5)
Selain pedoman kerja, sangat perlu untuk memperhatikan kelayakan
ruang operasi. Sirkulasi udara di ruang operasi menjadi perhatian krusial
guna meminimalisir risiko infeksi. Negara seperti Singapura telah
mendesain ruang operasinya dengan memiliki area bertekanan negatif
yang di desain untuk pasien dengan terkonfirmasi (atau kecurigaan)
COVID-19. Ruang/ koridor penerimaan (anteroom) dan ruang induksi
anestesi memiliki atmosfer tekanan negatif. Sedangkan kamar operasi,
ruang persiapan dan ruang scrub memiliki atmosfer bertekanan positif.(3)

3. Optimalisasi pasien terkonfirmasi Covid-19


Untuk pasien terkonfirmasi Covid-19, penilaian praoperasi harus
fokus pada mengoptimalkan kondisi pernapasan pasien : (5)
 Menilai jalan napas dengan cermat dan merancang rencana jalan
napas.
 Menentukan tingkat keparahan gangguan pernapasan. Perhatikan
kebutuhan oksigen, x-foto dada, gas darah arteri.
 Mencari tanda kegagalan organ, terutama tanda-tanda syok, gagal
hepar, gagal ginjal.
 Tinjau antivirus saat ini untuk menghindari interaksi obat dengan
obat anestesi. Menentukan disposisi pasca operasi pasien,
termasuk kebutuhan akan dukungan perawatan intensif. (5)

Menurut pedoman standar perlindungan dokter di era Covid-19, hal-hal


yang harus diperhatikan di Ruang Prosedur/Tindakan Operasi yaitu :(1)
 Alur satu pintu (pintu yang sama antara petugas medis dan pasien).
 Sebelum masuk dokter memakai APD lengkap sesuai dengan SPO
kamar operasi dengan dokter spesialis anestesiologi, penata/perawat
anestesi dan operator memakai masker N95.
 Pasien masuk kamar operasi sudah memakai masker bedah.
 Jika pasien yang dioperasi terkonfirmasi pasien COVID-19, maka
dokter menggunakan APD sesuai dengan APD penanganan pasien
COVID-19 di ruang isolasi.
 Ketika intubasi bila memungkinkan menggunakan blade disposable,
bila tidak ada, dapat menggunakan blade biasa dengan selalu
membersihkan atau mendesinfektan alat setelah digunakan dari pasien
satu ke pasien selanjutnya. Teknik intubasi dilakukan dengan Rapid
Sequence Intubation (RSI). Teknik ini dilakukan dengan durasi
kurang 3 menit. (1)
Tabel 3. Alat pelindung diri berdasarkan tipe prosedur dan lokasi RS(1)
Tabel 4. Manajemen darurat dan peri-operatif pasien Covid-19(8)

Gambar 5. APD level 1(9)


Gambar 6. APD level 2(9)

Gambar 7. APD level 3(9)


PROSEDUR MELAKUKAN TINDAKAN(4)
a. Menunda tindakan elektif, kecuali tindakan yang tidak dapat ditunda.
b. Daftar tindakan bedah yang tidak dapat ditunda untuk dijadikan acuan,
misalnya :
 Abses di Bidang Bedah
 Obstruksi Saluran Cerna dan Saluran Nafas
 Fraktur Maksilofasial
 Perdarahan Yang Sangat Hebat
 Trauma Abdomen dan Thorax
 Peradangan Organ Abdomen
 Nyeri Perut Hebat
 Kebocoran Organ Abdomen
c. Dalam melaksanakan tindakan yang tidak dapat ditunda, baik di dalam
maupun di luar kamar operasi, WAJIB memakai APD.
d. Alat Perlindungan Diri:
 Penutup kepala/nurse cap.
 Masker N95.
 Google.
 Pelindung wajah.
 Gaun level 2 atau level 3
 Sarung tangan ganda.
 Shoe cover.
e. Dalam hal ketiadaan APD, maka dokter spesialis bedah dapat
membatalkan tindakan yang akan dilakukan.
f. Tindakan hanya dikerjakan oleh 1 (satu) orang dokter dan 1 (satu) tenaga
medis.
g. Sebelum melakukan tindakan, harap diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Alur satu pintu (pintu yang sama antara petugas medis dengan
pasien).
 Pasien masuk OK dengan memakai masker N95.
 Tindakan dilakukan di ruangan isolasi atau ruangan khusus pada
suspek dan konfirmasi COVID-19.
 Pada pasien biasa, ruangan berventilasi cukup yaitu sarana yang
dilengkapi ventilasi mekanik, minimal terjadi 6 sampai 12 kali
pertukaran udara setiap jam dan setidaknya 160 liter/detik/pasien
di sarana dengan ventilasi alamiah.
 Lakukan anamnesis skrining COVID-19 bila positif lakukan
sesuai prosedur yang berlaku.
h. Gunakan closed suction.
i. Membatasi jumlah orang yang berada di ruang operasi sesuai jumlah
minimum yang diperlukan untuk memberikan perawatan pasien.
j. Sebelum masuk ke ruang operasi, pastikan instrumen operasi telah
tersedia dan lengkap.
k. Gunakan penutup sekali pakai untuk melindungi peralatan lain yang ada
di ruang operasi untuk mencegah kontaminasi droplet.
l. Semua peralatan operasi yang telah digunakan harus menjalani prosedur
dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur yang berlaku.
m. Setelah tindakan selesai, lepaskan lapisan terluar sarung tangan untuk
mencegah kontaminasi ke tempat lain.
n. Lakukan pelepasan APD sesuai prosedur (hingga mandi) dengan sangat
teliti dan hatihati.
o. Setelah melepas APD, cuci tangan kembali sebelum menyentuh bagian
tubuh lainnya.
p. Terdapat satu ruangan khusus untuk ganti baju dan mandi sebelum keluar
area operasi. (4)
Gambar 2. Algoritma tindakan pencegahan covid-19 untuk tim
operasi(10)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
2. Persiapan pre-operatif bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dan
prosedur yang beresiko tinggi, serta mengoptimalkan kondisi pasien
jika diperlukan.
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama persiapan pre-operatif adalah
sebagai berikut :
 Identifikasi pasien suspek
 Identifikasi prosedur risiko tinggi
 Optimalisasi pasien terkonfirmasi Covid-19

B. Saran
Pembaca dalam hal ini tenaga medis dapat memperoleh informasi
tentang persiapan pre operatif selama pandemi agar dapat melakukan
tindakan yang tepat dan sesuai dengan protokol kesehatan rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Puspitasari DA, Rinawati DW, Hasibuan DRK, Sofiana DNA, Satria
DAB, dkk. PEDOMAN STANDAR PERLINDUNGAN DOKTER DI
ERA COVID-19. TIM MITIGASI DOKTER DALAM PANDEMI
COVID-19 PB IDI. Agustus 2020;92.

2. Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo W, Susilo A,


dkk. PEDOMAN TATALAKSANA COVID-19. Edisi 3. Jakarta :
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Perhimpunan Dokter Anestesiologi
dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI). Desember 2020 :149.

3. Wetan NGAAMY, Novianti PA. Strategi Pembedahan di Era Pandemi


COVID-19. JBN J Bedah Nas. 13 April 2020;4(1):11.

4. Sahudi, Sudarsa W. PANDUAN PELAYANAN BEDAH UMUM


MENGHADAPI COVID-19 DI INDONESIA. Jakarta : PABI. April
2020 : 29

5. Istanto W, Tua EM. Manajemen Perioperatif pada Pasien COVID-19.


Medica Hosp J Clin Med. 28 Agustus 2020;7(1A):214–25.

6. Yanti B, Hayatun U. Peran pemeriksaan radiologis pada diagnosis


Coronavirus disease 2019. J Kedokt Syiah Kuala. 1 April 2020 [dikutip 24
Januari 2021];20(1) .
Tersedia pada: http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/18300

7. Al-Balas M, Al-Balas HI, Al-Balas H. Surgery during the COVID-19


pandemic: A comprehensive overview and perioperative care. Am J Surg.
Juni 2020;219(6):903–6.
8. Yazmin GT, Felipe V, Lopez-Hernandez MN, Esteban ARG.
Considerations for the Emergency and Perioperative Management of
Patients with COVID-19. 2020 :9.

9. Adisasmito W, Monardo D, Wibowo B, dkk. Standar Alat Pelindung Diri


(APD) untuk Penanganan COVID-19 di Indonesia. Revisi 3. Jakarta :
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Agustus 2020.

10. Forrester JD, Nassar AK, Maggio PM, Hawn MT. Precautions for
Operating Room Team Members During the COVID-19 Pandemic. J Am
Coll Surg. Juni 2020;230(6):1098–101.

Anda mungkin juga menyukai