Anda di halaman 1dari 6

Pengaturan Tentang Praperadilan Sebelum Adanya Putusan MK No.

65/PUU-IX/2011 dan
Pembaharuannya terhadap Hukum Pidana

Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 adalah berisi tentang pencabutan Pasal 83 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. pasal 83 ayat (2) tersebut
berisi:

“Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah putusan praperadilan yang menetapkan


tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.”

Dimana dalam pasal 1 berbunyi :

“Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79,
pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.”

Dapat diketahui pasal 83 ini berbicara mengenai banding pada tingkat praperadilan.
Praperadilan merupakan salah satu sistem dalam peradilan pidana Indonesia. Praperadilan
tidak dikenal dalam hukum acara pidana lama yang terdapat di dalam Herziene Inlandsche
Reglement (H.I.R). HIR menganut sistem inquisitoir, yaitu menempatkan tersangka atau
terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang memungkinkan terjadinya perlakuan
sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka, sehingga sejak saat pemeriksaan pertama di
hadapan penyidik, tersangka sudah apriori dianggap bersalah. Dalam KUHAP sistem yang
dianut oleh HIR tersebut diubah dengan menjadikan tersangka sebagai subjek dari pemeriksaan
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia dan memiliki kedudukan yang sama
dimuka hukum. Atau biasa disebut system accusatoir. Salah satu pengaturan dari penerapan
kedudukan yang sama di hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP adalah dengan adanya
sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau
pun tidak. Maksud dari adanya praperadilan tersebut adalah agar dalam proses penegakkan
keadilan ada perlindungan hak asasi manusia tehadap terdakwa/tersangka dalam proses
pemeriksaan, penyidikkan, dan penuntutan. Dan hal tersebut diatur dalam Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam arti lain, KUHAP merupakan perbaikkan system dari system
yang ada pada HIR dahulu.

Dasarnya setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,


penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan
adalah suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, sehingga dengan adanya praperadilan
diharapkan pemeriksaan perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku. Terdapat beberapa ketentuan mengenai praperadilan diantaranya, permohonan
praperadilan hanya dapat diajukan di pengadilan negeri oleh tersangka/terdakwa, keluarga
atau kuasanya, penyidik, penuntut umum, dan pihak ketiga yang berkepentingan. Lalu
pemeriksaan praperadilan oleh pengadilan negeri merupakan pemeriksaan pendahuluan
sebelum dilakukan pemeriksaan pokok perkara pidana. Pemeriksaan praperadilan dilakukan
secara cepat dan selambat-lambatnya dalam tujuh hari hakim sudah harus memutusnya.
Permohonan praperadilan kemudian akan gugur apabila permohonan belum diputus oleh
pengadilan namun pengadilan sudah melakukan pemeriksaan pokok pidananya.

Sebagai negara negara hukum, penegakan hukum di Indonesia sangat mengedepankan


instrumen hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Dalam hal ini, negara juga
berkewajiban untuk menjaga ketertiban, keamanan dan memberikan perlindungan bagi warga
negaranya. Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya tidak hanya untuk melindungi
warga negaranya dari kejahatan, tetapi juga melindungi dan memastikan setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Kewenangan
untuk membentuk peraturan, dalam hal ini peraturan perundang-undangan hukum pidana
terletak pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, seiring perkembangan zaman
putusam Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang cukup signifikan dalam perubahan hukum
pidana formil di Inonesia. Salah satu contoh putusan mahkamah konstitusi yang memberikan
pembaharuan pada tata cara penegakan hukum pidana di Indonesia (Hukum Pidana Formil)
adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.65/PUU-IX/2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 memiliki pengaruh yang cukup
besar terhadap perubahan hukum pidana formil di Indonesia. Dimana dengan adanya
permohonan judicial review terhadap pasal 83 ayat (2) Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena pasal
ini hanya memberikan kesempatan banding terhadap putusan praperadilan terhadap penyidik
dan penuntut umum saja. Perbedaan hak untuk mengajukan banding terhadap putusan
praperadilan ini dinilai tidak memenuhi asas persamaan di mata hukum, dimana asas ini sendiri
adalah asas yang menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang adalah sama dihadapan
hukum baik dalam hak maupun bagaimana orang itu diperlakukan. 1 Pasal 83 ayat (2) pada
dasarnya mengatur mengenai:

1. Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
2. Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Pada ayat (1) diatas disebutkan tentang ruang lingkup praperadilan untuk memeriksa
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penuntutan dan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi. Artinya, segala keputusan yang berkaitan dengan syarat sahnya
penangkapan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan atau permintaan
ganti rugi rehabilitasi, selanjutnya disebutkan dalam Pasal (2) ada “pengecualiannya” yaitu,
apabila ada putusan hakim dalam perkara praperadilan yang menetapkan “tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan” untuk itu dapat dimintakan (oleh penyidik/JPU)
Putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Sedangkan
apabila menurut penilaian hakim praperadilan, sah penghentian (yang dilakukan oleh
penyidik tersebut) menurut pertimbangan dan putusan hakim praperadilan, maka pihak
pemohon tertutup kemungkinan untuk banding sesuai bunyi Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP .

1
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di
Indonesia, Yogyakarta, Genta Publisingh, 2009, hlm. 22.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa terdapat diskriminasi yang tidak mencerminkan
tujuan dari praperadilan itu sendiri. Bahwa para pihak yanng dapat mengajukan
permohonan banding terhadap putusan praperadilan hanyalah penyidik atau jaksa
penuntut umum dan tidak memungkinkan bagi tersangka untuk mengajukannya. Berkenaan
dengan permasalahan ini, maka dirasa perlu adanya perubahan terhadap hukum pidana
formil di Indonesia khsusunya dalam pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam hal ini Mahkamah
berpendapat bahwa terhadap pengaturan tersebut untuk memberikan persamaan di
hadapan hukum (equality before the law) ada dua opsi, yakni memberikan upaya hukum
juga kepada tersangka atau menghapus upaya hukum untuk penyidik dan penuntut umum.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian mempertimbangkan
kembali bahwa Praperadilan menggunakan peradilan cepat dan dapat gugur ketika perkara
dipersidangkan. Dengan pertimbangan demikian, mahkamah konstitusi memutuskan untuk
menghapuskan banding terhadap putusan praperadilan karena dinilai lebih sesuai dengan
prinsip equality before the law dan filosofis praperadilan.

Kasus yang berkaitan dengan putusan mahkamah konstitusi yang diuraikan diatas
adalah kasus praperadilan yang diajukan oleh tersangka Budi Gunawan, dimana dalam
putusan praperadilan yang diputus oleh hakim memiliki akibat hukum yang sesuai dengan
pasal 82 ayat (3) KUHAP dan pasal 82 ayat (2) KUHAP. Dimana dalam putusan yang
dikeluarkan hakim pada tanggal 16 Februari 2015 ini, hakim menetapkan 4 hal, yaitu:

1. Menyatakan bahwa surat perintah penetapan tersangka atas Budi Gunawan tidak
sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
2. Menyatakan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh KPK atas kasus Budi Gunawan
tidak berdasar hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum
3. Menyatakan penetapan tersangka atas Budi Gunawan yang dilakukan KPK tidak sah
4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih
lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka Budi Gunawan.

Poin-poin putusan praperadilan yang dibuat hakim diatas, berhasil membuat Budi
Gunawan yang pada awalnya berstatus sebagai Tersangka menjadi memperoleh
putusan Bebas yang secara otomatis membuat KPK harus menghentikan segala hal yang
berkaitan dengan penyidikan kasus yang disangkakan pada Budi Gunawan. Sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.65/PUU-IX/2011, jika dihadapkan dengan
putusan praperadilan seperti ini, KPK sebagai penyidik dapat mengajukan banding
terhadap putusan praperadilan. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor.65/PUU-IX/2011 pemberian hak kepada penyidik dan jaksa penuntut umum
untuk melakukan banding terhadap putusan praperadilan sudah dihapuskan, maka dari
itu satu-satunya langkah hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan
peninjauan kembali, selama syarat-syarat untuk pengajuan peninjauan kembali tersebut
dapat tepenuhi.

Dampak dari adanya pembaharuan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 65/PUU-IX/2011

Pasal 83 ayat (2) KUHAP yang berbunyi "terhadap putusan pra peradilan dalam hal
sebagaimana dimaksud Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan
banding" telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon pra peradilan yang mana telah
merampas hak-hak konstitusional, serta sekaligus hak-hak asasi Pemohon. Dengan
adanya Pasal 83 ayat (2) KUHAP, Hak untuk Banding bagi Pemohon dilumpuhkan,
sedangkan Termohon/Penyidik tetap memiliki hak untuk Banding. Padahal Undang
Undang Dasar 1945 telah menjamin adanya hak untuk diperlakukan sama dihadapan
hukum dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. Maka dari itu dilakukan
pembaharuan hukum dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya Putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011 tersebut
adalah terhapusnya diskriminasi/ perbedaan hak konstitusional bagi Pemohon
praperadilan yang dirugikan atas berlakunya Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Selain itu, dalam
kasus Budi Gunawan, Putusan MK tersebut dapat menjadi kendala tersendiri bagi
Penyidik KPK maupun Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum atas
dikabulkannya gugatan pemohon Budi Gunawan. Untuk menangani kasus seperti ini,
upaya hukum yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali.
Peninjauan kembali ini diatur dalam Pasal 263 KUHAP dimana dalam ayat 2 huruf c
disebutkan bahwa “permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar, apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata”.

Anda mungkin juga menyukai