Anda di halaman 1dari 23

REFRESHING

PENILAIAN DAN PERSIAPAN ANESTESI

Pembimbing :
dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An.M.Kes.AIFO

Di Susun Oleh:

Mentari Sekar Putri

2016730130

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKAR WANGI SUKABUMI
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE 3 MEI – 10 MEI 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas refreshing mengenai “Penilaian dan Persiapan Anestesi” ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terimah kasih kepada dr. Edwin Haposan Martua,
Sp.An.M.Kes.AIFO yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas refreshing ini.
Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan
tugas refreshing ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi
penulis pada khususnya.

Jakarta, 5 Mei 2020

Mentari Sekar Putri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
2.1 Definisi dan Tujuan Penilaian Pra anestesi............................................................................3
2.2 Waktu untuk Pemeriksaan Pra operatif..................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Klinis Pra-anestesi............................................................................................4
2.4 Klasifikasi Status Fisik Pasien.............................................................................................12
2.5 Premedikasi..........................................................................................................................12
2.6 Persiapan Induksi Anestesi..................................................................................................13
2.7 Risiko terkait anestesi..........................................................................................................14
2.8 Dokumentasi........................................................................................................................15
BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an-, yang berarti “tanpa” dan aisthēsi, yang
berarti sensasi. Menurut Oliver W. Holmes (1864), Anestesi adalah istilah untuk
menunjukkan keadaan yang menggabungkan amnesia, analgesia, dan narkosis untuk
memungkinkan operasi tanpa rasa sakit. Sedangkan anestesiologi merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukan praktik atau studi anestesi dalam rangka menekankan basis
ilmiah dalam perkembangan studi spesialisasi.

Seorang ahli anestesi dalam menjalankan tugasnya memerlukan kerjasama dengan


spesialisasi lainnya, termasuk pembedahan dan subspesialisasi, penyakit dalam, pediatri,
perawatan paliatif, dan kebidanan, serta teknik pencitraan (terutama ultrasound),
farmakologi klinis, fisiologi terapan, fisiologi terapan, ilmu keselamatan, proses perbaikan,
dan teknologi biomedis. Dalam praktiknya anestesi dibutuhkan dalam banyak hal sehingga
diperlukannya persiapan yang matang sebelum melakukan tindakan anestesi.

Evolusi operasi modern terhambat tidak hanya oleh pemahaman yang buruk tentang
proses penyakit, anatomi, dan asepsis bedah tetapi juga oleh kurangnya teknik anestesi
yang dapat diandalkan dan aman. Teknik-teknik ini berkembang pertama dengan anestesi
inhalasi, diikuti oleh anestesi lokal dan regional, anestesi intravena, dan blocker
neuromuskuler. Perkembangan anestesi bedah dianggap sebagai salah satu penemuan
paling penting dalam sejarah manusia.

Teknik anestesi inhalasi pertama diperkenalkan oleh Crawford W. Long dan William
E. Clark tahun 1842 dengan menggunakan Eter pada pasiennya untuk operasi pencabutan
gigi, namun keduanya tidak mempublikasikan penemuannya. Setelah 4 tahun kemudian,
pada 16 Oktober 1846, William T.G. Morton melakukan demonstrasi pertama yang
dipublikasikan tentang anestesi umum untuk operasi bedah menggunakan eter dan seiring
dengan perkembangan zaman Teknik – Teknik anestesi lainnya mulai ditemukan dan
dikembangkan hingga saat ini.

Praktik anestesi telah berubah secara dramatis sejak zaman John Snow. Ahli anestesi
modern harus menjadi konsultan perioperatif dan pemberi perawatan kepada pasien. Secara
umum, ahli anestesi bertanggung jawab atas hampir semua aspek "non-pemotongan" dari
perawatan medis pasien dalam periode perioperatif langsung. Doktrin bahwa seorang ahli
bedah yang memegang tanggung jawab untuk setiap aspek perawatan perioperatif pasien
(termasuk anestesi), tidak lagi menjadi gagasan yang valid ketika seorang ahli anestesi
hadir. Dokter bedah dan ahli anestesi harus berfungsi bersama sebagai tim yang efektif, dan
keduanya pada akhirnya bertanggung jawab kepada pasien daripada satu sama lain.
2

Praktik anestesi modern tidak terbatas pada membuat pasien tidak peka terhadap rasa
sakit. Ahli anestesi memantau, menenangkan, dan memberikan anestesi umum atau
regional di luar ruang operasi untuk berbagai prosedur pencitraan, endoskopi, terapi
elektrokonvulsif, dan kateterisasi jantung. Ahli anestesi juga secara aktif terlibat dalam
administrasi dan arahan medis dari banyak fasilitas bedah rawat jalan, ruang ruang operasi,
unit perawatan intensif, dan departemen terapi pernapasan.

Keamanan dalam tindakan anestesia (anaesthesia safety) merupakan suatu masalah


penting yang harus diperhatikan secara serius sejak saat pra operatif hingga pasca operatif.
Mengutamakan keamanan tindakan anesthesia juga merupakan salah satu cara untuk
mengutamakan keselamatan pasien (patient safety). Menurut Institute of Medicine,
keselamatan pasien didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Secara umum,
accidental injury disebabkan karena kesalahan yang meliputi kegagalan suatu perencanaan
atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuan. Tujuan patient safety ialah
untuk mengurangi risiko cedera pada pasien akibat struktur dan proses pelayanan
kesehatan. Dalam menegakkan patient safety maka perlu adanya anesthesia safety,
melakukan penilaian dan persiapan sebelum melakukan tindakan anestesi merupakan salah
satu cara untuk mencegah terjadinya hal yang membahayakan pasien dan mengurangi
risiko cedera pada pasien.

Berdasarkan American Society Of Anesthesiologist penilaian dan persiapan sebelum


tindakan anestesi (Preanesthesia evaluation) merupakan proses penilaian klinis yang
dilakukan sebelum perawatan anestesi untuk operasi ataupun tindakan non-bedah lainnya.
Evaluasi preanesthesia terdiri dari berbagai sumber yang mungkin termasuk catatan medis
pasien, wawancara, pemeriksaan fisik, dan temuan dari pemeriksaan penunjang atau
pemeriksaan lab dan evaluasi medis. Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai
pemeriksaan – pemeriksaan yang dilakukan dalam penilaian dan persiapan sebelum
tindakan anestesi.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Tujuan Penilaian Pra anestesi


Penilaian dan persiapan sebelum tindakan anestesi (Preanesthesia evaluation)
merupakan proses penilaian klinis yang dilakukan sebelum perawatan anestesi untuk
operasi ataupun tindakan non-bedah lainnya. Evaluasi praanestesi terdiri dari berbagai
sumber yang mungkin termasuk catatan medis pasien, wawancara, pemeriksaan fisik,
dan temuan dari pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan lab dan evaluasi medis.
Selain itu ASA juga mengeluarkan pedoman yang menunjukkan bahwa kunjungan
praanesthesia harus mencakup hal-hal berikut:

1. Wawancara dengan pasien untuk meninjau riwayat medis, anestesi, dan


pengobatan
2. Pemeriksaan fisik yang tepat
3. Tinjauan data diagnostik (laboratorium, elektrokardiogram, radiografi)
4. Penilaian status fisik dengan skor ASA
5. Perumusan dan diskusi rencana anestesi dengan pasien atau orang dewasa
yang bertanggung jawab.

Pentingnya dilakukan penilaian dan persiapan sebelum tindakan anestesi untuk


mencegah terjadinya komplikasi anestesi maupun komplikasi pasca operasi. Berikut ini
tujuan dilakukannya penilaian dan persiapan pra-anestesi :

1. Untuk mengidentifikasi dan mengelola kondisi komorbiditas yang dimiliki


pasien dengan benar
2. Untuk menilai dan menghindari risiko anestesi dan operasi.
3. Untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin memerlukan teknik anestesi
khusus atau perawatan pasca operasi.
4. Untuk menetapkan hasil dasar untuk keputusan perioperatif.
5. Untuk memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang anestesi
dan peran ahli anestesi.
6. Untuk mendapatkan persetujuan.
7. Untuk memfasilitasi perawatan tepat waktu dan menghindari pembatalan
pada hari operasi.
4

2.2 Waktu untuk Pemeriksaan Pra operatif


Riwayat Medis Pasien

 Penilaian rekam medis yang mudah diakses, terkait dengan konsultasi, bila perlu,
harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi pra-anestesi sebelum hari operasi
untuk prosedur dengan invasi bedah yang tinggi.
 Untuk prosedur dengan invasi bedah rendah, ulasan dan penilaian catatan rekam
medis dapat dilakukan pada atau sebelum hari operasi oleh staf anestesi.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

 Tinjauan catatan awal, wawancara pasien, dan pemeriksaan fisik harus dilakukan
sebelum hari operasi untuk pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang tinggi.
 Untuk pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang rendah dan menjalani
prosedur dengan invasi bedah yang tinggi, wawancara dan pemeriksaan fisik juga
harus dilakukan sebelum hari itu operasi.
 Untuk pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang rendah yang menjalani
prosedur dengan invasi bedah sedang atau rendah, wawancara dan pemeriksaan
fisik dapat dilakukan pada atau sebelum hari operasi.

2.3 Pemeriksaan Klinis Pra-anestesi


A. Anamnesis
Terdapat beberapa hal penting yang harus ditanyakan kepada pasien maupun
didapatkan dari catatan rekam medis pasien pada saat evaluasi pra-operatif. Berikut
beberapa hal yang perlu diketahui dan ditanyakan kepada pasien :
 Masalah medis pasien,
 Operasi sebelumnya yang pernah dilakukan,
 Komplikasi terkait anestesi sebelumnya
 Alergi, dan penggunaan tembakau, alkohol, atau obat-obatan terlarang

Pencatatan Riwayat penyakit tidak hanya menanyakan pertanyaan;


Pencatatan riwayat termasuk menafsirkan dan mencatat dengan hati-hati jawaban.
Riwayat yang lengkap dan menyeluruh tidak hanya membantu dalam perencanaan
perawatan anestesi yang tepat dan aman, tetapi juga lebih akurat dan efektif dalam
menegakkan diagnosis dibandingkan pemeriksaan laboratorium. Yang sama
pentingnya untuk mengidentifikasi keberadaan penyakit adalah menentukan
keparahan, stabilitas, dan perawatan sebelumnya dari kondisi tersebut. Tinjauan
skrining sistem membutuhkan penekanan khusus pada kelainan jalan napas, riwayat
pribadi atau keluarga dari efek samping yang berkaitan dengan anestesi, dan gejala
5

kardiovaskular, paru, endokrin, atau neurologis. Adapun penjelasan mengenai


kelainan – kelainan pada kardiovaskular, paru, endokrin ataupun gastrointestinal
yang berhubungan dengan anestesi sebagai berikut :
a. Kardiovaskular
Pedoman untuk penilaian jantung pra operasi diperbarui secara
berkala dan tersedia dari American College of Cardiology / American
Heart Association dan dari European Society of Cardiology. Fokus
penilaian jantung pra operasi harus pada menentukan apakah pasien
akan mendapat manfaat dari evaluasi jantung lebih lanjut atau
intervensi sebelum operasi dijadwalkan. Secara umum, indikasi
untuk penyelidikan kardiovaskular adalah sama pada pasien bedah
elektif seperti pada pasien lain dengan kondisi medis yang sama.
Dengan kata lain, fakta bahwa seorang pasien dijadwalkan untuk
menjalani operasi elektif tidak mengubah indikasi untuk pengujian
untuk mendiagnosis penyakit arteri koroner. Tujuan pemeriksaan pra-
anestesi pada pasien dengan masalah kardivaskular adalah untuk :
 Identifikasi risiko penyakit jantung berdasarkan penyakit
penyerta.
 Identifikasi keberadaan dan tingkat keparahan penyakit
jantung dari gejala, temuan fisik, atau tes diagnostik
 Menentukan kebutuhan untuk intervensi pra operasi dan
 Memodifikasi risiko efek samping perioperatif.

b. Paru
Komplikasi paru perioperatif, terutama depresi pernafasan
pascaoperasi dan gagal napas, merupakan masalah yang terkait
dengan obesitas dan Obstructive sleep apnea. Sebuah pedoman yang
dikembangkan oleh American College of Physicians mengidentifikasi
pasien yang berusia 60 tahun atau lebih dan pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis, dengan toleransi olahraga yang sangat
berkurang, dengan ketergantungan fungsional, atau dengan gagal
jantung yang berpotensi memerlukan intervensi pra operasi dan pasca
operasi untuk menghindari komplikasi pernapasan. . Risiko
komplikasi pernapasan pasca operasi berhubungan erat dengan
faktor-faktor ini, dan dengan yang berikut: status fisik ASA 3 dan 4,
merokok, operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam, jenis operasi
tertentu (perut, dada, aneurisma aorta, kepala dan leher) , dan operasi
darurat), dan anestesi umum (dibandingkan dengan kasus-kasus di
mana anestesi umum tidak digunakan). Upaya pencegahan
6

komplikasi pernapasan pada pasien yang berisiko harus mencakup


penghentian merokok beberapa minggu sebelum operasi dan teknik
ekspansi paru-paru (misalnya, spirometri insentif) setelah operasi.
Pasien dengan asma, terutama mereka yang menerima manajemen
medis suboptimal, memiliki risiko lebih besar untuk bronkospasme
selama manipulasi jalan napas. Penggunaan yang tepat dari analgesia
dan pemantauan adalah strategi utama untuk menghindari depresi
pernapasan pasca operasi pada pasien dengan Obstructive sleep apne.
c. Endokrin dan Metabolik
Target konsentrasi glukosa darah yang tepat telah menjadi subjek
beberapa uji klinis terkenal. Kontrol "ketat" glukosa darah, dengan
target konsentrasi dalam kisaran "normal", ditunjukkan dalam Uji
Kontrol dan Komplikasi Diabetes untuk meningkatkan hasil pada
pasien rawat jalan dengan diabetes mellitus tipe 1. Praktik yang biasa
dilakukan adalah mendapatkan pengukuran glukosa darah pada
pasien diabetes pada pagi hari untuk pasien operasi elektif.
Sayangnya, banyak pasien diabetes yang datang untuk operasi elektif
tidak mempertahankan glukosa darah dalam kisaran yang diinginkan.
Pasien lain, yang mungkin tidak menyadari bahwa mereka memiliki
diabetes tipe 2, hadir dengan pengukuran glukosa darah di atas
kisaran normal. Kecukupan kontrol glukosa darah jangka panjang
dapat dengan mudah dan cepat dinilai dengan pengukuran hbA1c.
Pada pasien dengan peningkatan hbA1c yang abnormal, dapat
dilakukan rujukan ke layanan diabetologi untuk mendapatkan edukasi
tentang penyakit dan penyesuaian diet dan obat-obatan untuk
meningkatkan kontrol metabolik mungkin bermanfaat. Operasi
elektif harus ditunda pada pasien dengan hiperglikemia yang jelas;
pada pasien diabetes tipe 1 yang terkontrol, keterlambatan ini
mungkin hanya terdiri dari menata ulang urutan kasus yang
dijadwalkan untuk memungkinkan infus insulin untuk membawa
konsentrasi glukosa darah lebih dekat ke kisaran normal sebelum
operasi.
d. Masalah Koagulasi
Tiga masalah koagulasi penting yang harus diatasi selama
evaluasi pra operasi adalah (1) bagaimana mengelola pasien yang
menggunakan warfarin atau antikoagulan jangka panjang lainnya
dengan dasar jangka panjang; (2) bagaimana mengelola pasien
dengan penyakit arteri koroner yang menggunakan clopidogrel atau
agen terkait; dan (3) apakah seseorang dapat dengan aman
7

memberikan anestesi neuraxial kepada pasien yang menerima terapi


antikoagulasi jangka panjang atau yang akan menerima antikoagulasi
secara perioperatif.
Dalam keadaan pertama, sebagian besar pasien yang
menjalani sesuatu yang lebih terlibat daripada operasi kecil akan
membutuhkan penghentian antikoagulasi sebelum operasi untuk
menghindari kehilangan darah yang berlebihan. Masalah utama yang
harus diatasi adalah sejauh apa obat itu digunakan harus dihentikan
dan apakah pasien akan membutuhkan terapi "penghubung" dengan
agen lain yang bekerja lebih pendek. Pada pasien yang dianggap
berisiko tinggi untuk trombosis (misalnya, mereka yang memiliki
implan katup jantung mekanis tertentu atau dengan fibrilasi atrium
dan stroke tromboemboli sebelumnya), antikoagulan kronis harus
diganti dengan heparin berat molekul rendah intramuskuler
(misalnya enoxaparin) atau dengan heparin yang tidak terfraksi
intravena. Dokter dan ahli bedah yang meresepkan mungkin perlu
berkonsultasi tentang penghentian agen-agen ini dan apakah perlu
menjembatani. Pada pasien dengan risiko tinggi trombosis yang
menerima terapi bridging, risiko kematian akibat perdarahan
berlebihan adalah urutan besarnya lebih rendah daripada risiko
kematian atau cacat akibat stroke jika terapi bridging dihilangkan.
Pasien dengan risiko lebih rendah untuk trombosis mungkin
memiliki obat antikoagulan mereka dihentikan sebelum operasi dan
kemudian diinisiasi kembali setelah operasi yang sukses. Clopidogrel
dan agen serupa sering diberikan dengan aspirin (disebut terapi
antiplatelet ganda) untuk pasien dengan penyakit arteri koroner yang
telah menerima stenting intrakoroner. Segera setelah pemasangan
stent, pasien tersebut berisiko tinggi mengalami infark miokard akut
jika clopidogrel (atau agen terkait) dan aspirin dihentikan secara tiba-
tiba. Oleh karena itu, pedoman saat ini merekomendasikan menunda
semua kecuali operasi wajib sampai setidaknya 1 bulan setelah
intervensi koroner dan menyarankan bahwa pilihan pengobatan
selain stent pelepasan obat (yang akan membutuhkan terapi
antiplatelet ganda berkepanjangan) digunakan pada pasien yang
diharapkan menjalani prosedur bedah dalam 12 berbulan-bulan
setelah intervensi (misalnya, seorang pasien dengan penyakit jantung
yang juga memiliki kanker usus besar yang dapat direseksi).
Masalah ketiga - ketika mungkin aman untuk melakukan
anestesi regional (khususnya neuraxial) pada pasien yang sedang
8

atau akan menerima terapi antikoagulasi juga telah menjadi bahan


perdebatan. American Society of Regional Anesthesia dan Pain
Medicine menerbitkan pedoman konsensus yang diperbarui secara
teratur tentang topik ini, dan masyarakat terkemuka lainnya.
e. Gastrointestinal
Aspirasi isi lambung telah diakui sebagai komplikasi paru yang
berpotensi menjadi komplikasi anestesi bedah. Sudah lama diketahui
bahwa risiko aspirasi meningkat pada kelompok pasien tertentu:
wanita hamil pada kelompok kedua dan ketiga trimester, mereka
yang perutnya belum kosong setelah makan baru-baru ini, dan
mereka yang menderita penyakit refluks gastroesofagus serius
(GERD). Meskipun ada konsensus bahwa wanita hamil dan mereka
yang baru-baru ini (dalam 6 jam) mengkonsumsi makanan lengkap
harus diperlakukan seolah-olah mereka memiliki perut "penuh",
konsensus mengenai periode waktu yang diperlukan di mana pasien
harus berpuasa sebelum operasi elektif. Pembatasan asupan cairan
(dalam bentuk apa pun atau jumlah apa pun) lebih dari 2 jam sebelum
induksi anestesi umum pada pasien sehat yang menjalani prosedur
elektif; Selain itu, ada bukti kuat bahwa pasien nondiabetes yang
minum cairan yang mengandung karbohidrat dan protein hingga 2
jam sebelum induksi anestesi menderita mual dan dehidrasi
perioperatif yang lebih sedikit daripada mereka yang berpuasa lebih
lama. Pasien yang mengklaim riwayat GERD akan berisiko lebih
tinggi untuk mengalami aspirasi. Pendekatan untuk mengobati pasien
yang hanya memiliki gejala sesekali seperti pasien lain tanpa GERD,
dan untuk mengobati pasien dengan gejala yang konsisten (beberapa
kali per minggu) dengan obat-obatan (misalnya, antasida non-
partikulat seperti natrium sitrat) dan teknik (misalnya, intubasi trakea
daripada jalan nafas laring) seolah-olah mereka berisiko lebih tinggi
untuk aspirasi.

Masalah medis pasien, operasi sebelumnya, dan respons terhadap pertanyaan


harus menimbulkan pertanyaan lebih lanjut untuk menentukan keparahan penyakit,
stabilitasnya, eksaserbasi saat ini atau baru-baru ini, dan intervensi terbaru atau yang
direncanakan. Bukan merupakan hal yang sederhana dari penyakit atau gejala seperti
hipertensi (HTN), diabetes mellitus (DM), penyakit arteri koroner (CAD), sesak
napas (SOB) atau nyeri dada yang cukup. Tingkat keparahan, tingkat kontrol, dan
aktivitas merupakan hal yang sama pentingnya untuk diketahui.
9

B. Pemeriksaan Fisik

Riwayat pra operasi dan pemeriksaan fisik saling melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi kelainan yang tidak tampak dari riwayat, dan
riwayat membantu memfokuskan pemeriksaan fisik. Minimal, pemeriksaan fisik pra-
anestesi harus mencakup jalan napas, pemeriksaan jantung dan paru-paru
menggunakan teknik pemeriksaan standar, palpasi, perkusi, dan auskultasi, tanda-
tanda vital, termasuk saturasi oksigen, pemeriksaan neurologis singkat diperlukan
sebelum dilakukannya regional anestesi untuk mendeteksi adanya deficit neurologis
dan tinggi dan berat. Indeks massa tubuh (BMI) adalah salah satu dari banyak faktor
yang terkait dengan perkembangan penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker,
dan diabetes, dan dapat dihitung dari tinggi dan berat badan individu. Pemeriksaan
jalan nafas ditujukan untuk mengidentifikasi adanya penyulit dalam melakukan
intubasi dan harus mencakup hal-hal:

 Panjang gigi seri atas


 Kondisi gigi
 Hubungan antara gigi seri atas (maksila) dengan gigi seri bawah (mandibular)
 Kemampuan untuk menonjol atau memajukan gigi seri bawah (mandibula) di
depan gigi seri atas (maksila)
 Jarak interincisor atau intergum (jika edentulous)
 Visibilitas uvula (Gambar 1)
 Kehadiran rambut wajah yang tebal
 Kesesuaian ruang mandibula
 Jarak thyromental (Gambar 2)
 Panjang leher
 Ketebalan leher
 Rentang gerakan kepala dan leher

Gambar 1 Mallampati Score


10

Gambar 2 Thyromental Distance

C. Pemeriksaan Penunjang
Tes Diagnostik atau pemeriksaan penunjang tidak dianjurkan untuk pasien
yang fit dan tanpa gejala. Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang
sangat mahal dan jarang mengubah manajemen perioperative. Selain itu, apabila
terdapat nilai abnormal yang tidak penting hanya menyebabkan penundaan dan
biaya lebih. Meskipun demikian, beberapa dokter biasanya meminta beberapa
pemeriksaan rutin seperti tes darah, elektrokardiogram, dan radiografi dada untuk
semua pasien, mungkin dengan harapan mengurangi risiko komplikasi dan dapat
menangani risiko dengan baik. Idealnya, pengujian harus dipandu oleh riwayat dan
pemeriksaan fisik. Untuk menjadi berharga, pengujian pra operasi harus dibedakan:
Harus ada peningkatan risiko perioperatif yang dapat dihindari ketika hasilnya
abnormal (dan risiko akan tetap tidak diketahui jika tes tidak dilakukan), dan ketika
pengujian gagal mendeteksi kelainan (atau telah dikoreksi), harus ada pengurangan
risiko. Berikut ini gambar contoh pemeriksaan rutin diagnostik pada pasien yang
sering diminta oleh dokter ataupun ahli anestesi.
11
12

2.4 Klasifikasi Status Fisik Pasien


Sistem Klasifikasi Status Fisik berdasarkan American Society
Anethesiologist (ASA) telah digunakan selama lebih dari 60 tahun. Tujuan dari
sistem ini adalah untuk menilai dan mengkomunikasikan komorbiditas medis pra-
anestesi pasien. Sistem klasifikasi saja tidak memprediksi risiko perioperatif, tetapi
digunakan dengan faktor-faktor lain (misalnya, jenis operasi, kelemahan, tingkat
dekondisi), dapat membantu dalam memprediksi risiko perioperatif.

Definisi dan contoh yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini adalah
pedoman untuk dokter. Untuk meningkatkan komunikasi dan penilaian di institusi
tertentu, departemen anestesiologi dapat memilih untuk mengembangkan contoh
spesifik institusi untuk melengkapi contoh yang disetujui ASA. Contoh-contoh
dalam tabel di bawah ini membahas pasien dewasa dan belum tentu berlaku untuk
pasien anak atau kebidanan. Menetapkan tingkat klasifikasi Status Fisik adalah
keputusan klinis berdasarkan banyak faktor. Sementara klasifikasi Status Fisik
awalnya dapat ditentukan pada berbagai waktu selama penilaian pra operasi pasien,
tugas akhir klasifikasi Status Fisik dibuat pada hari perawatan anestesi oleh ahli
anestesi setelah mengevaluasi pasien.

Tabel 1 Klasifikasi Status Fisik ASA

2.5 Premedikasi
Premedikasi mengacu pada pemberian obat-obatan sebelum induksi anestesi.
Obat-obatan ini bukan bagian dari regimen medis pasien bedah juga bukan bagian
dari anestesi melainkan merupakan obat – obatan yang diberikan sebelum
dilakukannya tindakan anestesi di ruang tunggu operasi. Premedikasi diberikan
13

untuk mengurangi kecemasan, mengontrol rasa sakit, mengurangi risiko


pneumonitis aspirasi, dan menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi.

Anak-anak, terutama mereka yang berusia 2 hingga 10 tahun yang (bersama


dengan orang tua mereka) kemungkinan akan mengalami kecemasan akan
perpisahan dan akan mendapat manfaat dari premedikasi yang diberikan di ruang
tunggu sebelum operasi. Midazolam oral atau intravena atau dexmedetomidine
hidung adalah metode yang umum. Orang dewasa sering menerima midazolam
intravena (2-5 mg) setelah jalur intravena dibuat. Jika prosedur yang memiliki risiko
nyeri post operatif (misalnya, blok regional atau jalur vena sentral) akan dilakukan
ketika pasien tetap terjaga, dosis kecil opioid (biasanya fentanyl) akan sering
diberikan. Pasien yang akan menjalani operasi jalan napas atau manipulasi jalan
napas yang luas mendapat manfaat dari pemberian agen antikolinergik (glikoprolrol
atau atropin pra operasi) untuk mengurangi sekresi jalan napas sebelum dan selama
operasi. Pasien yang diperkirakan mengalami nyeri post-operatif dalam jumlah
besar akan sering diberikan analgesia “multimodal”, termasuk berbagai kombinasi
obat antiinflamasi nonsteroid, asetaminofen, gabapentinoid, dan obat anti-mual di
ruang tunggu pra operasi.

2.6 Persiapan Induksi Anestesi


Sebelum memulai induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesia sebaiknya kita ingat
kata STATICS :

 S = Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-


Scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
 T : Tubes, Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
 A: Airway, Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal ainuay) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal ainttay). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
 T : Tape, Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
 l: Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
 C: Connector, Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
 S: Suction, Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
14

2.7 Risiko terkait anestesi


Sampai saat sekarang sangat sulit membuat definisi atau batasan ter-rtang
kematian anestesia. Kematian anestesia primer memang lebih mudah dapat
diketahui, tetapi yang sekuncler sangat sulit diketahui, karena banyak sekali faktor
yang mempengaruhinya seperti keadaan penyakit pasien yang diiclap sebelum
anestesia pembedahan, kesalahan pengelolaan pembedahan atau anestesia.

Faktor Penyebab Kematian

Risiko anestesia dapat berupa morbiditas atau mortalitas. Kematian dapat


primer anestesia murni atau sekunder akibat sumbangan anestesia. iika kematian
anestesia dianalisis faktor penyebabnya, maka faktor manusia menduduki peringkat
paling atas. Ahli anestesi kadang-kadang kurang pandai berkomunikasi, kurang
pengalaman, jam terbang masih reudah, pengetahuannya terbatas, salah pilih jenis
dan teknik anestesia, salah pilihobat, kelebihan dosis obat, persiapan kurang
sempurna baik alat atau obat atau ia sedang dalam keadaan kurang sehat atau
kurang fit. Kesalahan manusia sangat berperan dalam kecelakaan anestesia. Tidak
ada obat anestesia yang jelek, yang ada ialah oknum anestetis yang jelek ‘There are
no bad anesthetics, only bad anesthetist' .

Risiko anestesia yang bukan kematian

Risiko terjadinya kecelakaan akibat anestesia dapat digolongkan menjadi


dapat dicegah dan tak dapat dicegah. Ahli Anestetis yang teliti dan selalu waspada
akan dapat mencegah terjadinya kecelakaan akibat tindakan anestesia. Cidera
anestesia dapat bersifat menetap atau sementara dan derajatnya dapat ringan, sedang
atau berat.

Komplikasi anestesia yang sering terjadi dan sangat serius ialah gangguan
pada sistem respirasi, akibat salah pilih obat, salah pilih sirkuit anestesi, tidak
terdeteksi adanya diskoneksi alat, intubasi esofagus, intubasi bronkial, ekstubasi
terlalu dini, ventilasi buatan kurang adekuat dan sebagainya. Akibat salah urus
ventilasi dapat menimbulkan hipoksia, hiperkarbia, hipokarbia, asidosis, alkalosis
dengan segala macam akibatnya. Untuk mencegah gangguan ventilasi ini digunakan
peralatan untuk mendeteksi kadar saturasi oksigen dalam darah seperti oksimeter
denyut (pulse oxymetry), pengukur volume tidal mendeteksi pengembangan paru/
kapnograf mendeteksi kadar CO, dalam udara ekspirasi, stetoskop mendengarkan
suara kedua paru apakah kiri-kanan sama.

Gangguan jantung pembuluh darah dapat diakibatkan salah urus ventilasi.


Posisi pasien sangat ekstrem kepala lebih rendah dari tungkai (Trendelenburg) atau
15

sebaliknya, dapat menyebabkan penurunan curah jantung, penurunan resistensi


perifer, hipotensi dan bradikardi. Posisi lain juga mempengaruhi kerja jantung
seperti posisi telungkup, posisi duduk, dikubitus lateral dan lain-lainnya. salah pilih
obat, terapi cairan tidak adekuat, anestesia terlalu dalam atau terlalu dangkal juga
dapat mengganggu jantung.

Gangguan sistem tubuh lain dapat terjadi seperti mual muntah,


hiperperistaltik usus, ileus, gangguan faal hati, trauma pemasangan laringoskop,
pemasangan pipa trakea, kateter dan lain-lainnya. Pengalaman dalam dunia
anestesiologi dapat dibandingkan dengan pengalaman dalam dunia penerbangan.
Induksi anestesia dapat diibaratkan saat pesawat terbang take-off dan pulih anestesi
dapat diidentikkan pesawat terbang landing. Faktor manusia sangat berperan dalam
situasi peristiwa diatas untuk keselamatan pasien atau penumpang. – Ahli anestesi
senior harus mengajarkan strategi cara-cara anestesia yang baik kepada yang lebih
muda supaya diketahui apa saja yang mungkin terjadi dan bagaimana
pencegahannya atau penanggulangannya. Selain itu anestetis harus mengetahui
sifat-sifat dokter bedah dan penyakit apa saja yang sedang diidap pasien pra
anestesia. selain itu tentunya kita harus menilai diri kita sendiri apakah sudah cukup
profesional dalam penanganan pasien perianestesia.

2.8 Dokumentasi
Dokter harus memberikan perawatan medis yang berkualitas tinggi, aman,
dan hemat biaya. Tetapi mereka juga harus mendokumentasikan perawatan yang
mereka berikan. Dokumentasi yang memadai memberikan panduan bagi mereka
yang akan menghadapi pasien di masa depan. Ini memungkinkan orang lain untuk
menilai kualitas perawatan yang diberikan dan untuk memberikan penyesuaian
risiko hasil. Tanpa dokumentasi seorang dokter tidak akan dibayar untuk jasanya;
dokumentasi yang tidak lengkap mungkin tidak membenarkan pembayaran penuh
yang sesuai. Dokumentasi yang tidak lengkap dapat mempersulit sistem rumah sakit
untuk mengembalikan biayanya dan dapat secara keliru mengarah pada kesimpulan
bahwa perawatan di rumah sakit pasien diperpanjang secara tidak tepat. Akhirnya,
dokumentasi yang memadai dan terorganisir mendukung dapat menjadi bahan atau
bukti pembelaan jika terjadi klaim atau tuntutan untuk malpraktek medis. Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang dokter haru melakukan pencatatan atau
dokumentasi, untuk pembahasan ini seorang ahli anestesi harus melakukan
pencatatan dimulai dari evaluasi pra operatif, Intra Operatif, dan post operatif.

A. Dokumentasi Pra Operatif


Catatan penilaian pra operasi harus muncul dalam catatan medis
pasien dan harus menggambarkan temuan terkait, termasuk riwayat
16

medis, riwayat anestesi, obat saat ini (dan apakah mereka diambil
pada hari operasi), pemeriksaan fisik, status fisik ASA, hasil
laboratorium , interpretasi pencitraan, elektrokardiogram, dan
rekomendasi terkait dari setiap konsultan. Catatan pra operasi harus
mengidentifikasi rencana anestesi, yang menunjukkan apakah
anestesi regional atau umum (atau sedasi) akan digunakan, dan
apakah pemantauan invasif atau teknik lainnya akan digunakan. Ini
harus mencakup pernyataan tentang diskusi persetujuan tertulis
dengan pasien (atau wali). Dokumentasi diskusi informed consent
dapat mengambil bentuk narasi yang menunjukkan bahwa rencana,
rencana alternatif, dan keuntungan dan kerugiannya (termasuk risiko
relatifnya) disajikan, dipahami, dan diterima oleh pasien. Beberapa
pusat termasuk persetujuan untuk anestesi dalam persetujuan untuk
operasi (atau prosedur). Atau, pasien mungkin diminta untuk
membaca dan menandatangani formulir persetujuan anestesi terpisah
yang berisi informasi yang sama.
B. Dokumentasi Intra Operatif
Catatan anestesi intraoperative ini berfungsi sebagai dokumentasi
pemantauan intraoperatif, referensi untuk anestesi masa depan untuk
pasien itu, dan sumber data untuk jaminan kualitas. Catatan ini harus
singkat, relevan, dan akurat. Cara pencatatan saat intra operatif
memiliki du acara yaitu secara konvensional dengan tulis tangan
ataupun secara modern dengan mesin computer otomatis.
Mendokumentasikan perawatan anestesi di ruang operasi
dengan memasukkan unsur-unsur berikut:
1. Bahwa telah ada pemeriksaan pra operasi mesin anestesi dan
peralatan terkait lainnya pasien segera sebelum induksi
anestesi (persyaratan TJC)
2. Waktu pemberian, dosis, dan rute obat yang diberikan secara
intraoperative
3. Perkiraan kehilangan darah dan keluaran urin intraoperatif
4. Hasil tes laboratorium diperoleh selama operasi
5. Cairan intravena dan produk darah apa pun yang diberikan
6. Catatan prosedur terkait (misalnya, untuk intubasi trakea atau
pemasangan monitor invasif)
7. Teknik intraoperatif khusus seperti anestesi hipot ventilasi
paru-paru, ventilasi jet frekuensi tinggi, atau kardiopulmoner
Bypass
17

8. Pengaturan waktu dan pelaksanaan peristiwa intraoperatif


seperti induksi, penentuan posisi, sayatan bedah, dan
ekstubasi
9. Kejadian atau komplikasi yang tidak biasa (misalnya, henti
jantung)
10. Kondisi pasien pada saat "handoff" ke postanesthesia atau
perawat unit perawatan intensif
Berdasarkan tradisi dan konvensi (dan, di Amerika Serikat, sesuai
dengan pedoman praktik) tekanan darah arteri dan denyut jantung
dicatat secara grafis pada interval paling sedikit 5 menit. Data dari
monitor lain juga biasanya dimasukkan secara grafis, sedangkan
deskripsi teknik atau komplikasi dijelaskan dalam teks. Sayangnya,
catatan anestesi konvensional yang ditulis tangan tidak cocok untuk
mendokumentasikan insiden kritis, seperti henti jantung. Dalam
kasus seperti itu, catatan teks terpisah yang dimasukkan dalam rekam
medis pasien mungkin diperlukan. Pencatatan waktu kejadian yang
cermat diperlukan untuk menghindari perbedaan antara beberapa
catatan simultan (catatan anestesi, catatan perawat, catatan resusitasi
kardiopulmoner, dan entri dokter lain dalam rekam medis).
Perbedaan tersebut sering menjadi sasaran pengacara malpraktek
sebagai bukti ketidakmampuan, ketidaktepatan, atau penipuan.
Catatan yang tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak terbaca yang
tidak perlu mempersulit membela seorang dokter terhadap tuduhan
malpraktik yang tidak dibenarkan.
C. Dokumentasi Post Operatif
Setelah menemani pasien ke unit perawatan pasca-anestesi
(PACU), ahli anestesi harus tetap bersama pasien sampai tanda-tanda
vital normal telah diukur dan kondisi pasien dianggap stabil. Pasien
yang tidak stabil mungkin perlu diserahkan ke dokter lain. Sebelum
keluar dari PACU, catatan harus ditulis oleh ahli anestesi untuk
mendokumentasikan pemulihan pasien dari anestesi, segala
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi, kondisi segera pasca
operasi pasien, dan disposisi pasien atau perpindahan pasien ke ruang
perawatan biasa atau ke ruang perawatan intensif. Pemulihan dari
anestesi harus dinilai setidaknya sekali dalam 48 jam setelah keluar
dari PACU di semua pasien rawat inap. Catatan pasca operasi harus
mendokumentasikan kondisi umum pasien, ada atau tidak adanya
komplikasi terkait anestesi, dan tindakan apa pun yang dilakukan
untuk mengobati komplikasi tersebut. Keterlibatan ahli anestesi
18

dengan pasien dapat berlanjut melalui tahap awal pemulihan pasca


operasi ketika ahli anestesi terlibat dalam rumah bedah perioperatif
yang berfungsi atau memberikan pengobatan nyeri pasca operasi.
Berikut ini merupakan hal – hal yang perlu diperiksan dan dicatat
post operatif :
1. Fungsi Paru
2. Fungsi Jantung
3. Status Mental
4. Nyeri post operatif
5. Efek mual muntah post operatif
6. Hidrasi postoperatif
19

BAB 3
PENUTUP

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an-, yang berarti “tanpa” dan aisthēsi, yang berarti
sensasi. Menurut Oliver W. Holmes (1864), Anestesi adalah istilah untuk menunjukkan
keadaan yang menggabungkan amnesia, analgesia, dan narkosis untuk memungkinkan
operasi tanpa rasa sakit.

Keamanan dalam tindakan anestesia (anaesthesia safety) merupakan suatu masalah


penting yang harus diperhatikan secara serius sejak saat pra operatif hingga pasca operatif.
Keamanan tindakan anesthesia meliputi keamanan pasien yang sedang ditangani (patient
safety). Dalam mewujudkan keamanan selama tindakan anestesi maka dibutuhkan
persiapan dan perencanaan yang akurat oleh karen itu perlu dilakukannya penilaian dan
persiapan pra anestesi dengan tujuan mengidentifikasi risiko komplikasi anestesi sehingga
dapat dilakukannya penanganan yang tepat. Evaluasi praanestesi terdiri dari berbagai
sumber yang mungkin termasuk catatan medis pasien, wawancara, pemeriksaan fisik, dan
temuan dari pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan lab dan evaluasi medis. Sehingga
ahli anestesi dapat mempersiapkan perencanaan yang aman dan nyaman untuk pasien.
20

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologist. 2019. ASA Physical Status Classification System.


https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classification-system

Latief, Said. Suryadi, Kartini. Dachlan, M. Ruswan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Longnecker, David E. Brown, David L. Newman, Mark F. Zapol, Warren M.


Anesthesiology. 2008. United States: The McGraw-Hill.

Morgan, G.E. Mikhail. M.S. dan Murray. M.J. 2018. Clinical Anesthesiology 6th edition.
USA: Lange Medical Books.

Practice Advisory for Preanesthesia Evaluation: An Updated Report by the American


Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation. Anesthesiologist.
2012;116(3):522-538. doi: https://doi.org/10.1097/ALN.0b013e31823c1067.

Sakliressy, M.F., Kumaat, L.T. and Wuwungan, A.A., 2012. Keamanan Dalam Tindakan
Anestesia. Jurnal Biomedik: JBM, 4(3).

Anda mungkin juga menyukai