Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA

“Tsunami Palu Provinsi Sulawesi Tengah“

Disusun Oleh :
Hermawan Andi Pradana 02190200040

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

PROGRAM STUDI S1-2 KESEHATAN MASYARAKAT

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas
anugerah yang telah di limpahkan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
Manajemen Bencana yang berjudul tentang “Tsunami Palu Provinsi Sulawesi
Tengah”. Penyusunan makalah ini di latar belakangi oleh keinginan saya untuk
memberikan informasi tentang tsunami Palu serta penanganan bencana yang baik
dan benar.

Saya selaku penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah yang kami


buat ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk saran dan kritik yang membangun
sangat saya butuhkan untuk melengkapi makalah yang saya buat. Akhir kata tidak
lupa saya ucapkan banyak terima kasih atas segala bentuk dukungan dari berbagai
pihak dalam penyelesaian makalah ini.

Jakarta, Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Tujuan.........................................................................................................................4
1.2.1 Tujuan Umum....................................................................................................4
1.2.2 Tujuan Khusus...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
2.1 Sejarah Gempa & Tsunami Palu.................................................................................5
2.2 Uraian Kejadian..........................................................................................................6
2.3 Proses Manajemen Bencana dan Penanganan dari Pemerintah..................................8
2.3.1 Sebelum bencana terjadi....................................................................................8
2.3.2 Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi................................................10
2.3.3 Sesudah terjadinya bencana.............................................................................11
2.4 Masalah Dalam Penanganan.....................................................................................12
2.5 Rekomendasi Penanganan.........................................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah rawan bencana.


Posisinya yang terletak di garis Katulistiwa dan berbentuk Kepulauan menimbulkan
potensi tinggi untuk berbagai jenis bencana terkait hidrometeorologi, seperti banjir, banjir
bandang, kekeringan, cuaca ekstrim (angin puting beliung), gelobang ekstrim dan abrasi
serta kebakaran lahan dan hutan. Fenomena perubahan iklim juga semakin meningkatkan
ancaman bencana hidrometeorologi, selain itu pulau-pulau di Indonesia terletak pada tiga
lempeng tektonik dunia yaitu lempeng Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia
yang menyebabkan potensi tinggi terhadap terjadinya bencana gempa bumi, tsunami,
letusan gunungapi dan gerakan tanah (tanah longsor). (Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana, 2019)

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulau besar dan kecil
(sekitar 13.677 pulau) serta memiliki garis pantai yang sangat panjang yaitu sekitar 80
ribu kilo meter. Sejarah pertumbuhan kota dan permukiman pada umumnya menempati
lokasi di pesisir ataupun di pinggir sungai. Dengan demikian banyak sekali kota-kota
yang merupakan kota di tepian atau menghadap air (water front city). Bisa dicontohkan di
sini beberapa kota yang merupakan kota tepi air, antara lain kota tepi air Laut Jawa
(Jakarta, Semarang, Surabaya, Cirebon), Bandar Lampung (tepi air Teluk lampung),
Banda Aceh serta Meulaboh yang merupakan tepi air Samudera Indonesia. Bila melihat
atlas, kita akan kembali disadarkan betapa Indonesia merupakan negara kepulauan,
negara maritim, archipelago. (Jokowinarno, 2011)

Potensi sumberdaya pesisir mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif karena


Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya pesisir dan lautan tropis yang terkaya di
dunia dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu memperkuat
kapasitas penawaran (supply capacity). Namun demikian, karena kondisi geografis dan
geologisnya, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia berpotensi besar
mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau kombinasi dari gempa bumi,
tsunami, angin topan/badai, banjir. Seperti diketahui bahwa Indonesia dikepung oleh tiga
lempeng benua yaitu Pasifik, Eurasia, serta Indo-australia (Jokowinarno, 2011)

1
Sebagai negara yang dikelilingi oleh jalur gunung berapi, Indonesia menjadi salah
satu negara yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap bencana gempa dan tsunami.
Kejadian bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang menelan
126.741 jiwa dan lebih dari 750.000 orang kehilangan mata pencaharian menunjukkan
besarnya kerugian yang ditimbukan oleh bencana ini. Kejadian bencana di Aceh telah
menjadi dasar bagi perkembangan penanggulangan bencana di Indonesia. Dengan adanya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), maka tanggung jawab penanggulangan bencana di Indonesia dikelola oleh
institusi resmi BNPB. Kehadiran BNPB membuat perkembangan usaha penanggulangan
bencana di Indonesia menemui titik terang agar dapat lebih terencana dan terarah. Sistem
otonomi daerah yang telah dijalankan sejak reformasi selanjutnya menuntut pembentukan
lembaga khusus yang menangani kebencanaan di daerah, sehingga Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kemudian berangsur-angsur terbentuk di
masing-masing daerah, sebagai turunan dari BNPB. ( Anam dkk, 2018)

Secara umum penanggulangan bencana terbagi menjadi tiga filosofi, pertama


menjauhkan masyarakat dari ancaman bencana (hazard); kedua menjauhkan bencana dari
masyarakat; apabila kedua sikap tersebut sulit untuk dilakukan maka pilihan selanjutnya
adalah hidup harmoni dan bersahabat dengan ancaman serta mengembangkan kearifan
lokal. Pemerintah mampu menggunakan ketiga filosofi ini dalam pengelolaan risiko
bencana melalui program dan kebijakan untuk meminimalisasi dampak dari
bencana,termasuk dengan melibatkan masyarakat dan institusi lokal. ( Anam dkk, 2018)

Selama ini ancaman dan bahaya dari bencana alam seringkali hanya dianggap sebagai
proses alamiah lingkungan, sehingga masyarakat kurang dipertimbangkan dalam
pengelolaan risiko bencana. Oleh karena itu, solusi-solusi yang bersifat teknis sering
menjadi pilihan untuk menanggulangi risiko bencana, padahal tidak dapat dipungkiri
bahwa solusi-solusi teknis tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah kebencanaan
tersebut. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka pelibatan institusi lokal dan
masyarakat yang rentan menjadi bagian dari solusi dan merupakan alternatif penyelesaian
masalah kebencanaan. Dalam berbagai kesempatan, peran institusi lokal dan masyarakat
dipertimbangkan sebagai komponen utama dalam mengatur masyarakat yang berada di
daerah rawan bencana untuk berperan dalam penanggulangan bencana alam. Hal ini
dilakukan dalam rangka mewujudkan kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana. Mallick

2
& Vogt (2011) menyatakan bahwa manajemen bencana yang efektif membutuhkan
kolaborasi antara negara, sektor swasta dan masyarakat sipil. Sejauh ini, pelibatan
berbagai pihak dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia telah dilakukan namun
efektivitas dan formulasinya masih perlu dikaji. Pada tingkat lokal, institusi lokal dalam
hal ini institusi kelurahan memegang peranan penting dalam keberhasilan kolaborasi
ketiga pihak tersebut. ( Anam dkk, 2018)

Kota Palu adalah Ibu kota Propinsi Sulawesi Tengah dengan letak geografis terletak
pada Koordinatnya adalah 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Kota Palu merupakan
kota lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Kota
Palu adalah salah satu ibukota Propinsi di Indonesia yang berada tepat di garis
Khatulistiwa. Salah satu dari sekian banyak wilayah di bagian timur Indonesia yang
menyimpan potensi tsunami yang cukup besar adalah Kota Palu dan sekitarnya. Tercatat
telah terjadi tiga kali kejadian di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun 1927, 1968 dan
1996, sementara sekitar Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6 kejadian bencana alam
yang terjadi di kota Palu terjadi dalam tiga jenis bencana, pertama adalah gempa bumi,
kedua tsunami dan terakhir adalah likuifasi. Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya
kekuatan lapisan tanah akibat getaran gempa. Gempabumi tektonik telah terjadi di
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada hari Jumat, 28 September 2018, jam
17.02.44 WIB dengan M 7.7 Lokasi 0.18 LS dan 119.85BT dan jarak 26 km dari Utara
Donggala Sulawesi Tengah, dengan kedalaman 10 km. Bencana alam yang terjadi di kota
Palu terjadi dalam tiga jenis bencana, pertama adalah gempa bumi, kedua tsunami dan
terakhir adalah likuifasi. Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan
tanah akibat getaran gempa. Getaran-getaran kecil terjadi sepanjang hari, namun gempa
7,4 pada skala Richter berlangsung saat Patahan Palu Koro yang melintasi Kota Palu,
bergeser sekitar 10 kilometer di bawah permukaan tanah. Sejak saat itu, ada sedikitnya
500 gempa susulan di Palu, yang sebagian besar di antaranya tidak dirasakan warga.
( Samad dkk, 2018)

Gempa terjadi di Indonesia dalam rentang dua tahun yaitu pada 2017 dan 2018.
Gempa tersebut dikaitkan dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang
meliputi banyak gunung berapi, patahan, dan titik pertemuan antara lempeng Australia
dan lempeng Asia di sepanjang selatan. wilayah pesisir Indonesia hingga wilayah pesisir
barat Indonesia Kejadian bencana alam yang terjadi di kota Palu pada tanggal 28
September 2018 memperlihtakan pola koordinasi pemerintah seakan tak berdaya. Ketika

3
terjadi tsunami, hampir seluruh instansi pemerintah yang berwenang mengatur dan
memberikan bantuan terhadap korban di Palu 'lumpuh'. Sebagian kecil aparat pemerintah
menjadi korban, sedangkan aparat yang masih hidup, sibuk menyelamatkan diri dan
anggota keluarganya. Hal ini yang mendasari penulis untuk membuat makalah tentang
manajemen bencana di Palu yang memuat tentang penanganan pemerintah terhadap
bencana di Palu dan rekomendasi penulis terhadap penanganan bencana berdasarkan
peraturan – peraturan yang ada.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui proses penanganan bencana tsunami di Palu Sulawesi Tengah

1.2.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :

a. Mengetahui proses manajemen bencana dari pemerintah


b. Mengetahui masalah dalam penanganan

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Gempa & Tsunami Palu
Berdasarkan Data BMKG dan hasil Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam
(PPMBA) pada Lembaga Penelitian Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sejarah gempa
dan tsunami di sepanjang sesar Palu-Koro 100 tahun terakhir tercatat beberapa gempa
besar yang pernah terjadi dalam 100 tahun terakhir yang diurakian sebagai berikut:
(PusGen, 2018)
• 1 Desember 1927, gempa berkekuatan M6,5 yang berasal dari aktivitas tektonik
Watusampo dengan pusat gempa di Teluk Palu. Akibatnya 14 orang meninggal dunia
dan 50 orang luka-luka.
• 30 Januari 1930, gempa di Pantai Barat Kabupaten Donggala yang disertai tsunami
setinggi 2 meter.
• 14 Agustus 1938, gempa berkekuatan M6 berpusat di Teluk Tambu Kecamatan
Balaesang Donggala dan menyebabkan tsunami setinggi 8 hingga 10 meter di Pantai
Barat Kabupaten Donggala. Akibat dari kejadian ini ratusan orang meninggal dunia
dan seluruh desa di pesisir pantai barat Donggala hampir tenggelam.
• Tahun 1994 gempa mengguncang Kabupaten Donggala.
• 1 Januari 1996, gempa berkekuatan M7,4 berpusat di Selat Makassar sehingga
mengakibatkan tsunami di wilayah pantai barat Kabupaten Donggala dan Toli- Toli.
• Tahun 1996 gempa mengguncang Desa Bankir, Tonggolobibi dan Donggala, serta
mengakibatkan tsunami setinggi tiga hingga empat meter.
• 11 Oktober 1998, gempa berkekuatan M5,5 mengguncang Kabupaten Donggala.
• 24 Januari 2005, gempa berkekuatan M6,2 dengan pusat gempa 16 km arah tenggara
kota Palu.
• 17 November 2008, gempa berkekuatan M7,7 berpusat di Laut Sulawesi
mengguncang Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
• 18 Agustus 2012, gempa berkekuatan M6,2 terjadi di Kabupaten Sigi dan Parigi
Moutong

5
Beberapa kejadian gempa di atas memnimbulkan tsunami. Pada dasarnya masyarakat
pesisir Donggala khususnya di daerah Balaesang telah mengenal tsunami dengan
memberikan istilah lokal sebagai berikut :

• Balumba bose (gelombang besar, Bahasa Kelli)


• Balumba latollu (gelombang tiga, Bahasa Kelli)
• Limbo talu (Bahasa mandar)
• Bomba tellu (Bahasa bugis)

Mereka juga mengamati bahwa bila terjadi gempa maka muka air di dalam teluk sering
bergejolak, hal ini dikarenakan oleh longsor bawah laut meskipun skalanya kecil.

2.2 Uraian Kejadian

Gempa Palu terjadi pada Jumat sore, 28 September 2018, pukul 18:02:44 waktu
setempat (Waktu Indonesia Tengah, WITA) dengan magnitude 7,4 M berpusat di 26 km
Utara Donggala, Sulawesi Tengah. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan
Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho
menyampaikan kronologi gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Menurut Sutopo, gempa
pertama kali mengguncang Donggala pukul 14.00 WIB. Gempa tersebut berkekuatan
magnitudo 6 dengan kedalaman 10 km. Akibat gempa itu, satu orang meninggal dunia, 10
orang luka, dan puluhan rumah rusak di Kecamatan Singaraja, Kabupaten Donggala.
Setelah itu, gempa kembali terjadi pukul 17.02 WIB dengan kekuatan yang lebih besar,
yaitu magnitudo 7,4 dengan kedalaman yang sama, 10 km di jalur sesar Palu Koro.
Menurut Sutopo, gempa tersebut tergolong gempa dangkal dan berpotensi memicu
tsunami. "Gempa ini adalah gempa yang dangkal akibat jalur sesar Palu Koro yang
dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar
miring, dan gempa ini berpotensi memicu tsunami," kata Sutopo di kantor BNPB. Lima
menit pasca gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
menyampaikan peringatan dini tsunami. "Ketika terjadi warning tsunami, BMKG
menyatakan pada pukul 17.02 dengan status Siaga dan Waspada. Arti status Siaga, tinggi
tsunami adalah 0,5-3 meter untuk di pantai barat Donggala. sedangkan Waspada, kurang
dari setengah meter Kota Palu bagian barat," ujar Sutopo. Saat itu, menurut Sutopo,
pihaknya tengah menyiapkan rilis untuk mengimbau masyarakat supaya menjauhi
kawasan pantai dan sungai dalam kurun waktu 30 menit. Namun, 30 menit setelah

6
dikeluarkan peringatan tersebut, BMKG mencabutnya pada pukul 17.37 WIB. Akan
tetapi, tsunami benar-benar terhadi pada pukul 17.22 WIB. Berdasarkan data BNPB,
ketinggian tsunami ada yang mencapai 6 meter. Sejak gempa dan tsunami terjadi di Kota
Palu dan Kabupaten Donggala, Jumat (28/9/2018), sejumlah gempa susulan terus terjadi
di kawasan tersebut hingga Jumat malam. Tercatat, setidaknya ada 13 gempa dengan
kekuatan di atas magnitudo 5 sejak pukul 14.00 WIB hingga 21.26 WIB (Kompas, 2018)

Gempa ini menyebabkan goncangan yang kuat dan menghasilkan tsunami yang
melanda kota Palu, yang berada di teluk Palu, serta likuifaksi besar-besaran terutama di
daerah Petobo dan daerah Balaroa di Kota Palu. Bencana alam ini menyebabkan banyak
korban jiwa dan berbagai kerusakan material. Berdasarkan laporan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 5 Oktober 2018 17:00 Waktu Indonesia Tengah,
gempa ini telah menyebabkan 1.649 korban jiwa, dimana sebagian besar korban berada di
kota Palu,Donggala, Sigi, Parigi Mountong, dan Pasangkayu, Sulawesi Barat. (PusGen,
2018)

Kota Palu adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki tingkat aktivitas
gempa tektonik yang sangat tinggi, karena adanya sesar Palu-Koro. Sesar ini memanjang
mulai dari Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone dengan panjang patahan
sekitar 250 km. Sesar Palu-Koro melintas dari Teluk Palu masuk ke wilayah daratan,
memotong jantung kota,terus sampai ke Sungai Lariang di Lembah Pipikoro, Donggala
(arah selatan Palu). Sesar ini merupakan pertemuan lempeng – lempeng tektonik Pasifik,
Euro-Asia dan Indo-Australia. Sesar itu terus bergerak satu sama lain dan memiliki sifat
pergeseran strike slip mendatar sinistral (pergeseran ke arah kanan) dengan kecepatan
geser sekitar 40 mm/tahun. (PusGen, 2018)

Aktivitas sesar Palu-Koro ini menimbulkan gempa yang terjadi pada tanggal 28
September 2018, pukul 18:02:43 WITA atau10:02:43 (UTC) dengan koordinat episenter
0,178° LS 119,840°BT pada kedalaman 13,5 meter dengan durasi 20,48 detik akibat
pergerakan strike-slip sesar Palu-Koro. Kekuatan gempa ini memilki momen magnitude
sebesar Mw= 7,53 M=2,497e+20 N-m(USGS), dan memicu terjadinya longsoran bawah
laut yang menimbulkan tsunami di Teluk Palu. Disamping tsunami dan longsoran bawah
laut, gempa ini juga memicu tejadinya liquifaksi. (UNDRR, 2019)

Berdasarkan Data terkahir yang disampaikan oleh BNPB tentang jumlah korban, yaitu
sampai pukul 13:00, tanggal 10 Oktober (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-

7
45795714), bahwa kejadian ini menelan korban jiwa seluruhnya sekitar 2.045 orang.
Korban paling banyak berada di Palu yang berjumlah 1.636 orang, sementara di Donggala
171 orang dan Sigi 222 orang, Parigi 15 orang dan di Pasang kayu seorang. Sedangkan
jumlah korban hilang hingga kini mencapai 671 orang. Korban luka berjumlah 10.679,
dari angka ini, 2.549 di antaranya mengalami luka berat dan 8.130 luka ringan. 265 orang
hilang, 152 orang diperkirakan masih terkubur dan belum dievakuasi. Jumlah pengungsi
sejauh ini 82.775 orang, dan 8.731 di antaranya di luar Sulawesi Tengah. Gempa dan
tsunami yang terjadi di Palu, Donggala, juga Sigi menyebabkan 1.724 sekolah tak
berfungsi dengan normal. Selain itu, korban dengan luka berat tercatat sebanyak 2.549
orang, serta tercatat pula 66.926 rumah diperkirakan rusak. (UNDRR, 2019)

2.3 Proses Manajemen Bencana dan Penanganan dari Pemerintah


2.3.1 Sebelum bencana terjadi

Dengan sejarah panjang tsunami yang pernah melanda kawasan ini, Kota Palu
dan Donggala telah dipetakan sebagai daerah dengan kerentanan tsunami kategori
sedang hingga tinggi. Dokumen Kajian Risiko Bencana Kota Palu 2016 - 2020
menyebutkan, dari 8 kecamatan di Kota Palu, sebanyak 7 kecamatan di antaranya
berada di zona bencana tsunami dengan kategori tinggi dan hanya 1 kecamatan
dengan kategori kerentanan rendah. Sedangkan total luas daerah yang berada dalam
bahaya tsunami mencapai 1.785 hektar. (PusGen, 2018)

Dokumen Kajian Risiko Bencana Kabupaten Donggala 2016-2020,


menyebutkan 14 kecamatan di kabupaten ini memiliki kerentanan tsunami kategori
tinggi dengan luasan wilayah berpotensi terdampak mencapai 5.846 ha. Sekalipun
demikian, dalam dua dokumen ini juga disebutkan bahwa tsunami belum pernah
terjadi di Kota Palu maupun di Kabupaten Donggala. Kedua dokumen tersebut
mencerminkan minimnya referensi sejarah bencana yang menjadi referensi
kebijakan pengurangan risiko bencana, padahal banyak kajian ilmiah dan data-data
historis telah menyebutkan bahwa tsunami telah berulangkali terjadi di kawasan ini.
(PusGen, 2018)

Selain dokumen Kajian Risiko Bencana, Kota Palu sebenarnya telah memiliki
rencana kedaruratan (rencana kontijensi) menghadapi gempa bumi dan tsunami
yang ditandatangani Walikota Palu pada tahun 2012. Dalam dokumen ini
disebutkan, pergerakan patahan utama Palu–Koro berpotensi menyebabkan

8
terjadinya gelombang tsunami di sekitar Kota Palu. Maka, skenario yang akan
disusun adalah kejadian gempa bumi dengan episentrum di lempeng Palu–Koro
(posisi 0.61 Lintang Selatan, 119.49 Bujur Timur) berkekuatan M 7,4 kedalaman
10 Km, dengan durasi gempa 40 detik dan tsunami akan menyerang Teluk Palu
dalam 15 menit. Dengan mengacu pada Rencana Kontijensi ini, Kota Palu juga
menyelenggarakan perhelatan Gladi Nasional Penanggulangan Bencana Tsunami.
Kegiatan itu diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), dengan pelbagai mata acara: diskusi - diskusi topik kebencanaan, pameran,
dan pemutaran film, hingga simulasi menghadapi tsunami. Pelatihan bagi
masyarakat juga disiapkan. Masyarakat yang hadir dalam pelatihan tiga hari ini
kemudian didaulat menjadi KSB atau Kelompok Siaga Bencana masing-masing
kelurahan. (UNDRR, 2019)

Pelatihan tersebut, warga mendapatkan instruksi untuk mengikuti tsunami


drill.
Sebagian kelurahan mengikuti kegiatan evakuasi mandiri beberapa hari sebelumnya
yang difasilitasi oleh konsorsium organisasi non pemerintah. Dalam skenario, ibu-
ibu, anak-anak, lansia dan ibu hamil diangkut oleh kendaraan mobil atau motor.
Sirene dibunyikan sebagai penanda gempa, dan waktunya lari untuk menyelamatkan
diri ke tempat aman. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu
juga sudah sudah memiliki WRS (Warning Receiver System), yaitu perangkat
penerima informasi berita gempa bumi dan tsunami dari BMKG. Melalui WRS ini
mestinya didapat informasi wilayah mana yang masuk dalam segmen peringatan
WASPADA (ancaman gelombang 50 cm atau kurang), AWAS (ancaman
gelombang 50 cm hingga 3 meter), maupun SIAGA (ancaman gelombang lebih dari
3 meter) pada saat berita Peringatan Dini Tsunami diterima. Selain itu, dalam berita
yang idealnya terkirim melalui WRS ini, disiapkan pula saran sebagai arahan
evakuasi tsunami yang diperlukan oleh pemerintah daerah. (UNDRR, 2019)
Di Kota Palu juga telah terpasang sirene tsunami. Sirene ini dibangun BMKG
pada tahun 2011. Ini merupakan satu-satunya sirene tsunami di Kota Palu, yang jika
dibandingkan dengan luasan kota dan garis pantai, jelas tidak mencukupi. Lokasi
sirene ini sekiar 1,8 kilometer dari pantai, terletak di pusat kota. Masyarakat di
sekitar area ini mengetahui tentang sirene ini dan apa fungsinya. Sesuai mandat
BMKG, setiap tanggal 26, sirene ini dibunyikan untuk mengujinya. Beberapa

9
informan yang ditemui mengatakan, sirene tsunami ini sudah tidak pernah berbunyi
lagi sejak beberapa bulan terakhir sebelum tsunami. Di beberapa lokasi di Palu
sebenarnya juga sudah dibuat penanda untuk jalur evakuasi. Namun, tidak semua
orang menyadari fungsinya. Apalagi, tidak semua pernah mengikuti pelatihan
evakuasi. Berbeda dengan di Palu, BPBD Kabupaten Donggala belum memiliki
dokumen kontijensi maupun WRS yang terhubung dengan BMKG. Mereka juga
tidak memiliki sirene tsunami. Sekalipun demikian, pada tahun 2008 beberapa
daerah di Pantai Barat Donggala pernah mendapatkan intervensi tentang
kesiapsiagaan tsunami dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal. (UNDRR,
2019)
2.3.2 Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi
Berdasarkan data-data dari (UNDRR, 2019) berdasarkan studi kasus yang
kumpulkan di lapangan, dengan mewawancarai para pihak, khususnya penyintas
tsunami Palu dan Donggala, serta proses analisis dengan membandingkan kejadian-
kejadian yang lain, kami mendapatkan beberapa kesimpulan, berikut:
1. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) belum bekerja hingga ke
tingkat terbawah, terbukti masyarakat di area terdampak di Palu dan Donggala
tidak mendapatkan produk peringatan dini melalui media apa pun (sms, televisi,
ataupun sirine tsunami) sebelum gelombang tsunami tiba.
2. Alasan utama yang menyebabkan sistem peringatan tsunami Indonesia tidak
berhasil memberi peringatan dini kepada masyarakat di Palu-Donggala adalah,
waktu tiba gelombang tsunami yang sangat cepat, melebihi kemampuan
diseminasi peringatan dari BMKG. Perlu dicatat bahwa, mekanisme
tsunamigenik di Teluk Palu, yang besar kemungkinan dipicu oleh longsoran
bawah laut ini belum diperhitungkan dalam pemodelan dan skenario peringatan
dini tsunami InaTEWS. Kegagalan ini sangat mungkin kembali terjadi di tempat
lain yang memiliki sumber tsunami lokal dengan waktu tiba kurang dari 10
menit.
3. Terdapat kegagalan sistem mencapai level terbawah dikarenakan berbagai
persoalan teknis, seperti matinya listrik dan telekomunikasi, sehingga memutus
rantai peringatan dini tsunami dari BMKG ke masyarakat.
4. Kegagalan sistem peringatan dini di level masyarakat (donwstream) ini juga
mencerminkan adanya persoalan di level hulu (upstream). Dengan

10
membandingkan beberapa kasus sebelumnya, kami melihat bahwa kegagalan ini
karena pendekatan yang dipakai dalam pembangunan sistem peringatan dini
tsunami cenderung teknokratik dan topdown dengan mengabaikan kompleksitas
sosial masyarakat. Dengan pendekatan ini, pemerintah dan pelaku intervensi
cenderung mengambil alih risiko dari masyarakat. Masyarakat kemudian
diarahkan untuk menunggu perintah evakuasi melalui sirene tsunami, yang
dalam praktiknya tidak berjalan. Temuan di lapangan ini menguatkan kajian
Andrew Collins (2009)17 tentang kegagalan sistem peringatan dini dalam
kejadian- kejadian bencana besar di dunia.
5. Masyarakat yang tidak terlalu siap karena terjadinya kepanikan dan tidak semua
masyarakat mengetahui tentang tsunami drill serta masih beracuan terhadap
pengertian tsunami secara nasional.
6. Susahnya evakusai karena jalan – jalan evakuasi sudah padat dengan bangunan
penduduk di pesisir pantai.

2.3.3 Sesudah terjadinya bencana

Pemerintah bersama TNI, Polri dan lembaga terkait melakukan penanganan


gempa dan tsunami Palu - Donggala dengan mengutamakan enam penanganan
prioritas. Enam prioritas itu, menjadi fokus penanganan yang dilakukan adalah :
(https://nasional.kompas.com,2018)

1. Melakukan evakuasi, pencarian dan penyelamatan korban


Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, pihaknya
membutuhkan banyak alat berat untuk proses evakuasi dan pencarian tersebut.
Sebab, banyak korban yang diduga tertimpa reruntuhan bangunan, material
longsor, dan tertimbun lumpur yang perlu untuk dievakuasI. Melalui
Radiogram, Mendagri Minta Seluruh Pemda Bantu Korban Gempa di Sulteng .
2. Pemakaman jenazah
Kepala BNBP mengatakan, harus segera dilakukan pemakaman massal lantaran
tiga hari pascagempa korban meninggal dunia sudah mengeluarkan bau dan
sudah menyiapkan TPU Papuya. sudah digali, disiapkan, ada 1.000 ruang.
3. Percepatan pemulihan jaringan listrik
Donggala, Sigi, dan Parigi Mountong kondisi listrik masih padam sesudah
bencana. Hal ini, kata Sutopo untuk mengerahkan 216 personil PLN

11
memperbaiki gardu induk dan jaringan listrik. Diharapakan PLN menyelesaikan
jaringan listrik ini maksimal 2 hari ke depan agar bias segra digunakan dalam
proses evaluasi
4. Percepatan pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM)
Sutopo menyebut, Senin pagi ini, 10 mobil tangki bbm dari Pare-Pare tiba di
Kota Palu. Sementara itu, Pertamina juga menerbangkan 4.000 liter solar dengan
pesawat khusus. BBM ini nantinya akan digunakan untuk keperluan khusu
seperti genset rumah sakit dan operator seluler.
5. Distribusi dan logistik
Pemerintah melalui kepala BNPB mentakan bantuan logistik terus berdatangan,
baik dari jalur udara, darat, dan laut
6. Percepatan jaringan komunikasi

2.4 Masalah Dalam Penanganan

Masalah penenganan bencana tsunami di Palu berdasarkan Kajian dari UNDRR ini
menemukan bahwa bulletin peringatan yang diterbitkan oleh InaTEWS tidak
tersampaikan kepada masyarakat teluk Palu. Hal tersebut kemudian ditelaah dan
ditemukan permasalahan penting yang menyebabkan situasi tersebut. (UNDRR, 2019)
a. Keterbatasan sistem peringatan dini tsunami yang bertumpu pada teknologi
Filosofi sistem peringatan dini adalah menyediakan waktu yang cukup bagi
masyarakat dengan risiko bencana untuk menyelamatkan diri dari dampak bencana.
Rentang waktu ini diistilahkan sebagai “golden time”. Semakin lama golden time,
maka peringatan dini akan semakin efektif. Pada kasus tsunami Palu, BMKG telah
mampu menerbitkan peringatan dini tsunami lima menit pasca gempa. Hal tersebut
telah sesuai dengan petunjuk teknis, namun tsunami melanda kota lebih cepat dari
perkiraan. Sebagai tambahan, BMKG telah menghitung ketinggian gelombang, saat
itu diperoleh bahwa gelombang lebih rendah daripada kejadian. Variasi tinggi
gelombang kemudian disimpulkan sebagai akibat longsoran bawah laut yang
kemudian menyebabkan gelombang tsunami. Namun demikian, pemodelan yang
selama ini digunakan belum memperkirakan longsoran bawah laut sebagai skenario
pemicu tsunami. Meskipun BMKG dapat menyusun model tsunami yang dipicu
longsor bawah laut dan mengeluarkan peringatan dini kurang dari lima menit,
“golden time” yang akan diperoleh masyarakat berisiko akan tetap terlalu pendek
untuk penyelamatan diri. Kondisi ini menujukkan InaTEWS memiliki keterbatasan

12
bila dilihat dari tsunami dengan pemicu jarak dekat (near-source tsunami) dengan
kategori waktu sampai ke lokasi risiko kurang dari 10 menit. Sistem InaTEWS akan
lebih efektif untuk tsunami yang dipicu gempa bumi pada zona subduksi dengan rata-
rata waktu landaan 20 menit atau lebih pasca gempa. Sebagai pendukung , beberapa
studi terdahulu mengidentifikasi empat tsunami yang terjadi di Teluk Palu (1927,
1938, 1968 and 1996) diduga memiliki episentrum dekat dengan pesisir dengan waktu
tiba yang cepat. Belajar dari situasi ini, akibat yang muncul adalah jika masyarakat
menunggu terbitnya peringatan dini diterbitkan oleh pihak berwenang sebelum
evakuasi, maka kegagalan untuk menyelamatkan jiwa berpeluang lebih besar.
b. Kegagalan rantai administrasi sistem peringatan dini
Isu yang signifikan adalah kegagalan sistem peringatan dini untuk dapat
mencapai kelompok masyarakat berisiko. Hal ini tergambar dari kurang cakapnya
dukungan proses administrasi. Terutama jumalah badan dan lembaga di tingkat
daerah yang terlalu banyak terlibat dalam rantai peringatan dini. Peraturan Pemerintah
No 21 tahun 2008 dalam Manajemen Bencana menunjuk BMKG sebagai otoritas
penerbit peringatan tsunami (komponen upstream), sementara perintah evakuasi
adalah bagian dari pemerintah daerah (komponen downstream) otoritas tersebut
termasuk mengaktifkan sirine peringatan. Melalui prosedur ini, system peringatan dini
tsunami oleh BMKG dikomunikasikan kepada Komando Pengendalian (Kodal) untuk
memperoleh persetujuan sebelum disampaikan kepada masyarakat. Sedangkan
didalamnya Kodal sendiri terdiri dari Gubernur, Pangdam dan Kapolda. Untuk
mendudukkan semua pihak dalam satu pertemuan dan sepakat terhadap keputusan
penerbitan peringatan dini memerlukan waktu yang tidak sebentar. Proses
administrasi yang panjang ini menghabiskan “golden time” yang seharusnya dapat
menyelamatkan warga. Dalam sepuluh tahun terakhir sejak dibentuknya manajemen
sistem peringatan dini tsunami, tidak ada satupun pemerintah daerah yang mampu
mengambil keputusan dengan ringkas dan efektif setelah BMKG mengeluarkan
peringatan.
Pada segi teknis, rantai peringatan dini juga sering terputus akibat matinya aliran
listrik dan terputusnya jaringan komunikasi. Kedua permasalah ini dialami oleh Palu
pada tahun 2018. Pemutusan sambungan listrik sesaat setelah gempa sementara UPS
dan cadangan tenaga di Pusdalop BPBD Kota Palu tidak berfungsi dan ini seharusnya
menjadi tanggung jawab pemerintah lokal. Selain itu, peringatan dini dari BMKG
tidak diterima akibat kegagalan jaringan komunikasi. Lemahnya kapasitas pemerintah
13
lokal dan BPBD setempat dalam mengoperasikan satu-satunya sirine dalam kota serta
kegagalan pesan singkat (SMS) menjangkau warga menyebabkan evakuasi berdasar
informasi resmi tidak berlangsung.
c. Sistem peringatan dini Tsunami membentuk situasi aman yang ‘palsu’
Warga yang menunda evakuasi dan menunggu sirine tsunami diaktifkan pada 28
September 2018 kehilangan ‘golden time' dan gagal menyelamatkan diri. Sayangnya
mereka adalah warga yang terlibat pada tsunami driil termasuk yang memperoleh
informasi tentang keberadaan InaTEWS. Sehingga kelompok ini menasumsikan
bahwa evakuasi akan dilakukan setelah sirine terdengar. Akan tetapi mereka tidak
mengetahui bahwa sirine tsunami Kota Palu gagal memberi peringatan pasca gempa.
Temuan yang sama juga didapati di Kecamatan Tipo, yang menunggu berbunyinya
sirine dan pesan pendek. Kesalahpahman tejadi karena informasi yang diterima oleh
masyarakat bahwa ada tower sirine yang diperbaiki dianggap sebagai menara sirine
tsunami.Padahal, menara yang berada di dekat komunitas tersebut adalah menara
komunikasi operator selular. Tanggal 28 September 2018, warga menunggu sirine
dari menara tersebut sebelum memutuskan evakuasi, dan terlambat menyelamatkan
diri karena kesalahpahaman. Perasaan aman yang ‘palsu’ ini juga muncul kembali di
Desa Labean, dimana warga kembali ke permukiman 2,5 jam pasca gempa pertama
akibat adanya pesan pendek yang menyatakan tidak ada potensi tsunami. Namun,
setibanya mereka kembali ke permukiman tsunami menerjang permukiman. Hal ini
diakibatkan pesan singkat yang terlambat sampai ke warga yang berkibat sangat fatal.
d. Jalur evakuasi yang terhalang
Pantai Talise di Kota Palu mengalami kesulitan evakuasi karena pantai terhalang
bangunan dan dinding permukiman yang banyak ditepian pantai. Para penyintas harus
melompat pagar sehingga wanita dan anak-anak terjebak dan gagal menyelamatkan
diri.
e. Struktur bangunan belum terstandar
Berdasarkan hasil kajian lapangan, ditemukan kondisi bahwa persyaratan
bangunan tahan gempa yang telah diatur didalam SNI 1726-2012 dan SNI 2847-2013
belum secara konsisten terpenuhi baik itu dari aspek perencanaan maupun aspek
pelaksanaan. Hal ini menyebabkan terjadinya kegagalan struktur bangunan akibat
gempa. Kerusakan-kerusakan yang terjadi dapat menimbulkan kondisi tegangan
residual yang signifikan pada elemen-elemen struktur bangunan. Hal ini tentunya

14
harus menjadi pertimbangan saat akan memutuskan apakah bangunan-bangunan yang
rusak tersebut masih layak dipertahankan atau harus dibongkar. (PusGen, 2019)
f. Pengalaman turun temurun yang menjadi acuan
Warga Palu menganggap Palu aman dari Tsunami karena topografi Teluk Palu
dianggap mampu melindungi dari Tsunami. Pengetahuan yang kurang tepat ini
tersebar sejak gempa 2005 dimana warga yang menyelamatkan diri di tempat lebih
tinggi menganggap tsunami tidak akan mencapai pesisir kota Palu. Meskipun ada
informasi yang diturunkan melalui orang tua mengenai kejadian tsunami tahun 1938
mereka menganggap kejadian tersebut tidak akan terulang kembali
g. Pendidikan kesiapsiagaan yang tidak berdasar karakteristik ancaman di tingkat lokal
Sebagian besar pengetahuan yang diterima komunitas di Palu dan Donggala
melalui kelompok pendidikan kebencanaan dari luar berdasarkan karakteristik
tsunami di Aceh tahun 2004. Mereka memperoleh pengetahuan bahwa tsunami
diawali oleh tanda seperti surutnya air laut dengan waktu sampai ke pesisir 20-30
menit pasca gempa. Warga diminta untuk melihat muka air laut di pesisir untuk
memastikan tanda-tanda tersebut sebelum evakuasi. Padahal tidak semua tsunami
bersifat seperti itu, seperti halnya di Palu tsunami terjadi tanpa adanya air laut yang
surut dan hanya terjadi dalam 5 menit.
h. Serapan energi tsunami yang kurang
Berdasarkan pengamatan dilapangan sebagain pesiri pantai tidak di tanami dengan
tanaman (misalnya mangrove) dan lapangan terbuka yang secara efektif dapat menyerap
energi gelombang.
2.5 Rekomendasi Penanganan
a. Teknologi & Kebijakan pemerintah
Keberadaan teknologi dan instrument peringatan dini tsunami memang penting,
namun meningkatkan aspek instutusi InaTEWS juga perlu dilakukan. Terlebih dengan
rantai administrasi yang saat ini terlalu rumit. Berdasar temuan kajian ini maka
rekomendasi yang diberikan sebagai berikut:
1. Penyederhanaan struktur birokrasi dan proses diseminasi peringatan tsunami perlu
dilakukan
2. BMKG dan KPI yang saat ini mendukung proses diseminasi 5 menit perlu ditinjau
kembali struktur birokrasinya sehingga proses penyampaian ke masyarakat
berisiko dapat dilakukan.

15
3. Model Ina TEWS perlu direvisi disesuaikan dengan parameter yang sesuai dengan
kondisi Indonesia khususnya wilayah yang dekat dengan sumber tsunami terutama
nearsource tsunami.
4. Penanaman tanaman di pesisir pantai (misalnya mangrove) untuk mengurangi
dampak yang ditimbulkan tsunami
5. Membuat dike/breakwater di daerah yang mempunyai dampak besar
b. Bangunan
1) Bangunan di dataran
Kondisi geologi daerah kota Palu yang dilalui jalur sesar aktif Palukoro,
ditambah dengan susunan batuan yang didominasi oleh satuan batuan alluvium
yang sebagian besar merupakan batu pasir lepas dan kerikil bentuk morfologi
pantai berupa teluk yang sempit, dsb. merupakan daerah yang sangat rawan
terhadap gempa dan bahaya ikutan lainnya, sehingga kedepannya harus mulai
diperhitungkan dalam pembangunan dengan menerapkan peraturan secara ketat
berdasarkan rencana tata ruang yang berbasis bencana dan penerapan SNI gempa
sudah menjadi keharusan bangunan tahan gempa yang telah diatur didalam SNI
1726-2012 dan SNI 2847-2013. Kemudian mengingat gempa besar yang disertai
deformasi sesar permukaan ini akan terjadi lagi secara berulang-ulang di masa
depan, maka sebaiknya rumah-rumah dan bangunan lain yang sudah rusak berat di
zona sepanjang jalur sesar aktif Palukoro tidak dibangun lagi dan kemudian dibuat
buffer (zona aman) selebar 100 meter di kiri dan kanan sesar (total 200 meter).
2) Bangunan di pesisir pantai
Melakukan relokasi daerah permukiman yang rawan terhadap ancaman tsunami
ke daerah yang lebih tinggi hal ini juga mempermudah proses evakuasi jika terjadi
tsunami karena tidak ada bangunan yang berada di pesisir pantai.
c. Evakuasi
1) Melakukan mitigasi jalur – jalur evakuasi yang tegak lurus dengan pantai yang
mengarah ke dataran yang lebih tinggi
2) Perlu penyegaran kembali dan pembuatan kembali jalur evakuasi dengan baik
3) Melakukan sosialisai kepada penduduk terkait jalur evakuasi, cara evakuasi dan
kesiapsiagaan terhadap bencana selanjutnya
4) Mendirikan tempat – tempat evakuasi sebagai titik evakuasi yang searah dengan
jalur evakuasi
d. Pendidikan

16
1) Pelatihan dan pendidikan pemerintah terutama petugas di lapangan maupun
operator pemerintah terhadap karakteristik bencana yang bervariasi antar lokasi
sehingga perlu untuk memberikan infromasi dan pendidikan berdasarkan situasi
lapangan dan kondisi ancaman di tingkat lokal.
2) Memberikan pendidikan dan wawasan tentang kebencanaan di wilayah. Situasi ini
mengingatkan bahwa pengetahuan lokal adalah suatu proses yang dinamis dan
cepat berubah. Sehingga penting untuk terus mengedukasi dan memperbaharui
pengetahuan untuk kesiapsiagaan menghadapi tsunami.
3) Memberikan informasi dan pendidikan bahwa gempa yang kuat adalah tanda
utama untuk evakuasi ke tempat yang lebih tinggi tanpa harus menunggu perintah
resmi dari pemerintah.
4) Memberikan edukasi pasca bencana bagi masyarakat seperti:
a. Ketika kembali ke rumah, jangan lupa memeriksa kerabat satupersatu
b. Jangan memasuki wilayah yang rusak, kecuali setelah dinyatakan aman
c. Hindari instalasi listrik
d. Jalinlah komunikasi dan kerja sama dengan warga sekitar
e. Datangi posko bencana, untuk mendapatkan informasi
f. Bersiaplah untuk kembali ke kehidupan yang normal
5) Memasukan materi kebencanaan daerah di muatan lokal pendidikan daerah, hal
ini dimaksudkan agar tercipta kesiapsiagaan bencana sejak dini.

17
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan di lapangan dan beberapa sumber terkait, serta studi
literatur tentang bencana di kota Palu dan sekitarnya memberikan beberapa informasi
penting bahwa ternyata kekurangan dalam penanaganan saat sebelum dan sesudah
terjadi bencana sehingga kurang maksimal dalam memberikan sehingga menyebabkan
terjadinya banyak korban jiwa, selain itu terjadinya simpang siur terhadap peringatan
dini yang diberikan oleh BMKG. Sehingga perlu adanya kebijakan mitigasi bencana,
perbaikan sistem dan memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk
mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk
mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari.
5.2 Saran

Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat


serta menjadi penambah wawasan dan pemahaman bagi teman-teman semua sehingga
tentang bencana di palu dan manajemennya, agar kedepannya bisa diimplementasikan
dan diterapkan dilapangan untuk penanganan – penanganan bencana lainnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anam, dkk. 2018. Kesiapan Institusi Lokal dalam Menghadapi Bencana Tsunami: Studi
Kasus Kelurahan Air Manis dan Kelurahan Parus Kota Padang. Jurnal Wilayah dan
Lingkungan Vol. 6 No. 1 Hal. 15-29. Universitas Andalas. Padang

Artikel Kompas.com "Begini Kronologi Gempa dan Tsunami Palu-Donggala yang Tewaskan
Ratusan Orang", https://nasional.kompas.com/read/2018/09/29/16415971/begini-
kronologi-gempa-dan-tsunami-palu-donggala-yang-tewaskan-ratusan-orang?page=all.

BNPB. 2019. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015 – 2019. Jakarta

Fitria Chusna Farisa. 2018. 6 Prioritas Penanganan Gempa dan Tsunami Palu-Donggala"
Kompas.https://nasional.kompas.com/read/2018/10/01/17093251/ini-6-prioritas
penanganan-gempa-dan-tsunami-palu-donggala?page=all.

Jokowinarno D. 2011. Mitigasi Bencana Tsunami Wilayah Pesisir Lampung. Jurnal


Rekayasa Vol .15 No.1. Universitas Lampung. Lampung

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.2018. Kajian Gempa Palu Provinsi
Sulawesi Tengah. Pusat Studi Gempa Nasional Balitbang PUPR. Jakarta

Samad, dkk. 2018. Manajemen Resiko Bencana Kota Palu. Universitas Tadakulo. Palu

UN Office For Disaster Risk Reduction (UNDRR). 2019. Keterbatasan dan Tantangan
Sistem Peringatan Dini. Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai